Anda di halaman 1dari 4

A.

Patogenesis
Varicella-zoster virus (VZV) adalah virus-herpes dengan kemampuan untuk
membangun latensi pada neuron di akar dorsal, ganglia otonom, dan kranial sehingga
dapat terjadi reaktivasi virus setelah infeksi primer. Infeksi sistem saraf pusat dapat
terjadi dengan reaktivasi primer atau sekunder dari virus (De Broucke, 2012).
Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis, yaitu
virus mencapai sistem saraf pusat melalui darah (hematogen) dan melalui saraf (neuronal
spread). Penyebaran hemaogen diindikasikan karena ditemukannya VZV dalam sel-sel
endotelial pada kasus-kasus tertentu. Penyebaran secara neuronal spread diketahui
berdasarkan temuan neuropatologis yang menunjukkan penyebaran saraf secara
centripetal ke otak atau sumsum tulang belakang dari VZV trigeminal atau infeksi
ganglionik spinal (Gray, 1994).
Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung melalui
arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai, misalnya
arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut itu virus tiba di likuor
dan invasi ke dalam otak melalui penerobosan dari pia mater (Gray, 1994).
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui
neuron. Virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port d’entry dan
bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari ganglion
sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi virus untuk
tiba di susunan saraf pusat (Gray, 1994).
Selain penyebaran melalui hematogen dan secara neuronal spread, ditemukan
bahwa dalam kasus dengan meningo myeloradiculitis akut yang semuanya menunjukkan
necrotizing vasculitis, ditemukan bahwa terjadi penyebaran infeksi sepanjang jalur CSF.
Hal tersebut dikarenakan aktivasi VZV yang menyebabkan infeksi sumsum tulang
belakang dan radiks memungkinkan untuk menyalurkan sel-sel ependymal yang
terinfeksi ke dalam lumen ventrikel (Gray, 1994).
Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel inang, kapsel virus dihancurkan.
Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma inang untuk membuat protein yang
menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus berkontak langsung dengan
sitoplasma sel inang. Karena kontak ini sitoplasma dan nukleus sel inang membuat
nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi.
Proses replikasi berjalan terus hingga sel inang dapat dihancurkan. Dengan demikian
partikel-partikel viral tersebar ekstraselular (Gray, 1994).
Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbul manifestasi-
manifestasi toksemia yang kemudian disusul oleh manifestasi lokalisatorik. Gejala-gejala
toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang
manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik
dan motorik seperti gangguan penglihatan, gangguan berbicara, gangguan pendengaran
dan kelemahan anggota gerak, serta gangguan neurologis yakni peningkatan tekanan
intrakranial yang mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi
penurunan berat badan (Gray, 1994).
Menurut Grahn dan Studahl (2015), gambaran penyakit ensefalitis virus varicella
tidak banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya. Gejala ensefalitis virus varicella
ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan
muntah-muntah. Kemudian timbul “acute organic brain syndrome’ yang cepat memburuk
sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang
epileptik dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan
pleiositosis limpositer dengan eritrosit (Song, 2019).
Patofisiologi encephalitis varicella tergambarkan dalam skema patofiologi dalam
gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Patofisiologi Ensefalitis

B. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada encephalitis varicella biasanya terjadi beberapa hari hingga
berbulan-bulan setelah kemunculan erupsi kulit varicella yang khas, tetapi dapat terjadi
sebelum atau bersamaan dengan ruam. Ensefalitis varicella dimulai dengan fase
prodromal. Pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari sakit
kepala, muntah, perubahan personalitas dan gangguan daya ingat yang sangat sulit
dideteksi terutama pada anak kecil. Kemudian pasien dapat mengalami kejang dan
penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa kejang fokal atau umum. Perlu diingat bahwa
kejang umum pada encephalitis varicella dapat diawali oleh kejang fokal yang
berkembang menjadi kejang umum. Bila kejang fokal sangat singkat, orangtua seringkali
tidak mengetahui (De Broucke, 2012).
Empat puluh persen pasien datang di rumah sakit dalam keadaan koma sedangkan
sisanya dalam keadaan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien
yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat.
Kematian biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama (Heppleston, 1959).
Pemeriksaan neurologis seringkali menunjukkan adanya hemiparesis. Pada
encephalitis varicella, hemiparesis adalah manifestasi fokal terpenting. Beberapa kasus
dapat menunjukkan disfasia, ataksia, gangguan sistem otonom, paresis saraf kranialis,
dan edema papil N II (Heppleston, 1959).

Anda mungkin juga menyukai