Disusun oleh:
Aulia Andjaini 134180226
Akhmad Adin Abdilah 134180227
Arnia Nur Anggita 134180228
Imam Sumantri 134180230
Bekti Darmayanti 134180246
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman teh pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1684, berupa biji teh
dari Jepang yang ditanam sebagai tanaman hias. Kemudian dilaporkan pada tahun
1694 terdapat perdu teh muda berasal dari China tumbuh di Jakarta. Teh jenis
Assam mulai masuk ke Indonesia dari Sri Lanka (Ceylon) pada tahun 1877 dan
ditanam di Kebun Gambung, Jawa Barat oleh R.E Kerk Hoven. Sejak saat itu, teh
China secara berangsur-angsur diganti dengan the Assam, sejalan dengan
perkembangan perkebunan teh di Indonesia, yang mulai sejak tahun 1910 dengan
dibangunnya perkebunan teh di Simalungun, Sumatera Utara. Dalam
perkembangannya industri teh di Indonesia mengalami pasang surut sesuai
perkembangan situasi pasar dunia maupun Indonesia, antara lain pada masa
pendudukan Jepang (1942-1945) banyak areal kebun teh menjadi terlantar
(Soehardjo, Dkk, 1996).
Tanaman teh dapat tumbuh sampai sekitar 6-9 meter tingginya. Di
perkebunan-perkebunan, tanaman teh dipertahankan hanya sekitar 1 meter
tingginya dengan pemangkasan secara berkala. Hal ini adalah untuk memudahkan
pemetikan daun dan agar diperoleh tunas-tunas daun teh yang cukup banyak.
Tanaman teh umumnya mulai dapat dipetik daunnya secara terus-menerus setelah
5 tahun dan dapat memberikan hasil daun the cukup besar selama 40 tahun, baru
kemudian diadakan peremajaan. Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur di
daerah ketinggian 200-2000 meter di atas permukaan air laut. Semakin tinggi
letak daerahnya, semakin menghasilkan mutu teh yang baik (Spillane, 1992).
Pada tahun 1998 terjadi kenaikan harga teh dunia secara menyeluruh dari
harga tahun 1997 sebesar $1.65 (Indonesia), $1.70 (India) dan $2.02 (Sri Lanka)
menjadi masing-masing $1.70, $1.80 dan $2.28 pada tahun berikutnya, dan yang
tertinggi adalah Sri Lanka. Seperti kejadian yang umum berlaku, setelah kenaikan
harga selalu disusul dengan penurunan harga, karena sebagai respon penjual
terhadap fenomena kenaikan harga yang melonjak. Pada saat harga baik setiap
produsen berusaha meningkatkan produksinya agar memperoleh manfaat yang
tinggi dalam jangka pendek, akibatnya pasar dibanjiri oleh the kualitas rendah
sehingga disusul dengan penurunan harga. Jika diperhatikan antara tahun 1998 ke
1999 penurunan harga Sri Lanka dari $2.28 menjadi $1.64 atau 72%, India dari
$1.80 menjadi $1.44 atau 80% tapi Indonesia dari $1.70 menjadi $1.05 atau 62%
dan setelah itu harga teh Indonesia selalu terpuruk (Tim Penulis Pusat Penelitian
Teh dan Kina, 2008).
B. Rumusan Masalah
1. bagaimana pertumbuhan komoditas teh di indonesia ?
2. peran berbagai lembaga dalam pertumbuhan komoditas teh di indonesia?
3. Peluang pertumbuhan komoditas teh di indonesia ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pertumbuhan komoditas teh di indonesia
2. Mengetahui dan mempelaajari pengaruh berbagai lembaga dalam menunjang
pertumbuhan komoditas teh di indonesia
3. Mengetahui peluang pertumbuhan komoditas teh di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber daya alam (SDA) mencakup lahan, air dan iklim yang dapat digunakan
untuk pengembangan komoditi teh. Lahan untuk komoditi teh ini tumbuh baik di
dataran tinggi, dan paling produktif di dataran tropis. Sumber daya alam untuk
komoditi teh dilihat dari luas areal yang sudah digunakan, potensi dan ketersediaan
lahan Di daerah tropika termasuk Indonesia teh umumnya ditanam di tempat yang
relatif tinggi (>600 m di atas permukaan laut). Teh dapat berhasil baik jika hujan
tahunan di sekitar 2500 mm dan terbagi merata sepanjang tahun (Ochse dkk, 1962;
Turon, 1999; dan Wardiyatmo, 1997). Jika teh ditanam di wilayah yang mempunyai
musim hujan dan musim kemarau hasilnya akan turun tajam jika musim kemaraunya
terlalu kering. Sebaliknya di wilayah seperti itu jika dalam musim kemarau terjadi
relatif banyak hujan akan diperoleh kualitas hasil yang lebih baik daripada jika lembab
sepanjang tahun (Ochse dkk, 1961). Di wilayah yang relatif basah sepanjang tahun teh
dapat tumbuh dan menguntungkan di tempat yang tidak terlalu tinggi, seperti di jumpai
di Jawa Barat (Soeratni, 1985). Hal ini berkaitan erat antara produksi pucuk teh dengan
curah hujan, Williams & Joseph (1970) menyebutkan bahwa tinggi-rendahnya
produksi teh lebih kuat berhubungan dengan hujan dalam musim kemarau daripada
dengan jumlah hujan satu tahun11.
Luas areal perkebunan teh di Indonesia sebenarnya memiliki prospek yang cukup
cerah selain iklim dan kondisi tanahnya yang mendukung juga luas perkebunan teh
Indonesia yang cukup luas dan tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
yang luasnya mencapai 160 529 ha. Perkebunan teh diusahakan oleh PTP Nusantara
(PTPN) seluas 54 795 ha (34,13%) Perkebunan Besar Swasta (PBS) 44 270 ha (27,58%),
dan Perkebunan Teh Rakyat (PTR) 61 464 ha (38,28%)12.
Menurut International Tea Comittee (2006), luas areal tanaman teh di
Indonesia menempati peringkat keempat terluas di dunia dengan luas 142.782 Hektar
setelah Cina (1.351.900 ha), India (523.000 ha), Sri Lanka (188.480 ha). Pesaing
utama lainnya yaitu Kenya memiliki luas areal teh sebesar 141.315 hektar atau
menempati posisi kelima. Berdasarkan luas areal teh Indonesia lebih unggul
dibandingkan Kenya.
Pada sisi lain, seiring dengan tekanan kependudukan di daerah perkebunan teh,
luas areal pemilikan/penguasaan kebun cenderung mengecil dari tahun ke tahun serta
harga teh rakyat yang anjlok mengakibatkan petani mengkonversi lahannya ke bidang
lain yang lebih menguntungkan. Saat ini luas pemilikan per petani diperkirakan kurang
dari 2 hektar. Seperti diketahui, luas pemilikan/penguasaan kebun per petani untuk
dapat hidup layak diperkirakan minimal 2 hektar. Luas pemilikan yang mengecil ini
sedikit banyak melemahkan efisiensi usaha tani.
Secara potensial, Indonesia dapat memiliki tingkat daya saing yang tinggi
didasarkan pada faktor sumberdaya alam yang dimilikinya. Tetapi, akibat perubahan
teknologi, kualitas mutu teh yang rendah dan semakin banyaknya tuntutan-tuntutan
masyarakat dunia yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, keamanan, hak azasi
manusia dan binatang, dan perlindungan lingkungan, maka untuk mendapatkan suatu
tingkat daya saing yang tinggi Indonesia juga harus mengembangkan faktor
sumberdaya alam secara maksimal.
A. Sumberdaya Manusia
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sangat penting dalam usaha peningkatan daya
saing komoditi teh Indonesia. Pengembangan IPTEK dilakukan oleh lembaga-lembaga
penelitian dan lembaga pendidikan, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun
swasta. Upaya peningkatan IPTEK dilakukan mulai dari tahap produksi sampai
pengemasan.
Indonesia telah mengembangkan teknologi diantaranya ditemukan “Klon Teh
Baru Harapan”, klon teh ini mempunyai potensi hasil di atas 5.000 kg teh kering per
hektar/tahun. Kualitas klon teh yang akan dilepas jauh lebih tinggi dari TRI 2025. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah bulu daun klon yang akan dilepas 7-20 kali. Klon tersebut
mempunyai daya adaptasi di berbagai ketinggian cukup baik dan tahan terhadap
serangan cacar daun teh13.
Pada tahap pemeliharaan yang membutuhkan banyak tenaga pemetik para
pekebun teh mulai kesulitan memperoleh tenaga kerja pemetik karena persaingan
dengan sektor industri. Padahal 70 persen dari tenaga kerja di perkebunan teh adalah
tenaga pemetik. Penggunaan gunting petik atau mesin petik diharapkan dapat menekan
biaya produksi. Hasil penelitian pada tahun 2005 di Pasir Sarongge menunjukkan
bahwa penggunaan gunting dan mesin petik berguna untuk, (a) meningkatkan
kapasitas pemetik dua kali lipat dibandingkan cara manual, dan (b) memacu
pertumbuhan pucuk. Agar mutu hasil terjaga, keterampilan penggunaan alat petik perlu
ditingkatkan, diikuti pemberian pupuk pada dosis yang tepat
Minat kerja sebagai tenaga pemetik teh saat ini sudah berkurang, terutama di
kawasan wisata. Dengan berkurangnya tenaga pemetik menyebabkan sebagian pucuk
tidak terpetik pada saatnya, akibatnya menghambat pertumbuhan tunas dan
menurunkan mutu pucuk. Dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penggunaan
mesin petik tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas pucuk dan kesehatan
tanaman. Kapasitas kerja mesin petik dapat mencapai 5 kali petikan tangan. Introdusir
mesin petik diharapkan disamping dapat mensubstitusi kebutuhan tenaga pemetik juga
dapat meningkatkan pendapatan pemetik serta dapat menekan biaya pemetikan.
Kegiatan ini bertujuan memenuhi kekurangan tenaga pemetik teh dengan sasaran
meningkatkan kuantitas dan kualitas pucuk pada perkebunan yang kekurangan tenaga
pemetik dan membangkitkan industri mesin petik teh di Indonesia. Kapasitas kerja
mesin petik hasil rancangan TA 2000 seluas 0,25 ha /jam (400 – 750 kg/jam) dengan
harga pokok pemetik-an Rp. 96,-/kg (biaya petik manual Rp. 175,- Rp. 200,-/kg15.
Pengusahaan teh rakyat dicirikan dengan pemilikan lahan sempit yang
berpencar, lemah permodalan dan penguasaan teknologi serta tidak terkuasainya pasar
dengan baik. Idealnya petani teh rakyat perlu membentuk kelompok usaha tani
bersama, memiliki pabrik pengolahan, menguasai teknologi produksi, serta menguasai
teknologi pemasarannya agar lebih mandiri. Untuk mempersiapkan kelompok petani
teh menuju kemandirian tersebut telah dicoba untuk merakit mesin pengolah teh hijau
mutu ekspor (dan domestik) skala usaha tani dengan kapasitas olah 2.000 kg pucuk
segar per hektar yang dapat dihasilkan kebun teh rakyat secara berkelompok seluas
100 ha. Rekayasa mesin teh hijau meliputi mesin pelayu (Rotary Panner), mesin
penggulung (Pressure Cap Roller 26”), mesin pengering dan penukar panas (Endless
Chain Pressure Drier dan Heat Exchanger), mesin pengering ber-putar (Rotary
Drier), mesin pengering akhir (Boll Tea Drier), mesin pemotong (Tea Cutter), dan
mesin sortasi kering (Rotary Sifter, Reciprocating Sifter dan Winnower). Semua mesin
pengolah ini dirancang dengan komponen produksi dalam negeri dengan
memperhatikan kaidah-kaidah murah, mudah, efisien, dan ramah lingkungan. Mesin
pengering akhir (Boll Tea Drier) merupakan mesin yang membedakan pengolahan teh
hijau ekspor dan pengolahan teh hijau domestik16.
Tahap terakhir yang tidak kalah penting adalah tahap pengangkutan, jika terjadi
kerusakan akibat salah penanganan selama penampungan dan pengangkutan maka
akan menyebabkan mutu pucuk teh berkualitas rendah. Kerusakan pucuk dapat
menyebabkan oksidasi senyawa polifenol teh tak terkendali sehingga terbentuk warna,
cita rasa dan aroma teh yang menyimpang dari kriteria mutu yang baik. Telah
dilakukan pengujian terhadap penanganan pucuk teh yang menjamin mutu pucuk teh
segar dan teh hijau yang dihasilkan. Pada dasarnya, ada tiga hal yang perlu
diperhatikan yaitu (1) wadah yang kokoh/kekar ; (2) pengisian yang tidak dipaksakan ;
dan (3) jaminan aerasi yang lancar. Kerusakan pucuk teh rakyat yang terjadi selama
pengangkutan, pada umumnya dapat mencapai 20 persen 17. Asosiasi atau himpunan
pengusaha dan pedagang yang terkait dengan sektor komoditi teh juga turut berperan
dalam peningkatan daya saing teh antara lain Dewan Teh Indonesia (DTI),
Cooperative Tea Commodity Development Centre (CDCC), Asosiasi Teh Indonesia
(ATI), Jakarta Tea Buyers Association (JTBA), Asosiasi Petani Teh Indonesia
(APTEHINDO). Lembaga-lembaga ini sangat berperan dalam dalam usaha
pembenahan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti desakan untuk
menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPn) untuk menggairahkan industri hilir teh
Indonesia. Tetapi untuk pengembangan IPTEK umumnya sudah dilakukan oleh
lembaga-lembaga penelitian ataupun pendidikan seperti Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia (LRPI), Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) dan lainnya.
C.Sumberdaya Modal
Peran Pemerintah
Pemerintah sangat berperan dalam mengembangkan suatu komoditi pertanian
khususnya komoditi teh melalui kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah
merupakan instrumen untuk mengembangkan sistem dan usaha agribisnis perkebunan
khususnya komoditi teh. Kebijakan pemerintah tersebut untuk membantu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, bersifat proteksi atau promosi dan diharapkan konsisten,
serta terkoordinasi.
Secara umum, kebijakan pemerintah yang terkait dengan pembangunan
perkebunan khususnya komoditi teh dapat dikatakan masih belum kondusif, kurang
terkoordinasi, inkonsisten, dan belum efisien dalam perspektif waktu
maupun sifat proteksi atau promosi komoditi. Berikut ini menunjukkan kelemahan dari
kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan teh.
•Upaya peremajaan atau perluasan areal oleh petani atau calon investor terkendala oleh
masalah sumber pembiayaan investasi, akses, dan sistem pembiayaan komersial yang
tidak sesuai dengan karakteristik perkebunan. Keberadaan lembaga keuangan
perbankan di daerah masih belum menjangkau daerah perkebunan rakyat secara
efektif. Apabila menjangkau, pengadaan dan penyaluran kredit menggunakan sistem
komersial dan peruntukannya terbatas untuk modal kerja maksimal 5 tahun.
•Dalam rangka untuk menggali sumber dana pembangunan, perkebunan teh yang masih
perlu didukung pengembangannya masih terkena beban pajak (pajak pertambahan
nilai, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, serta pajak lainnya)
dan retribusi yang memberatkan. Kebijakan untuk menghapus PPN, pajak ekspor dan
retribusi dihadapkan pada perbedaan pendapat diantara lembaga pemerintah yang
terkait.
•Pemerintah tidak menciptakan atau memberikan insentif fiskal untuk mendorong
pengembangan industri hilir perkebunan. Insentif yang ada berlaku bagi industri yang
dibangun di daerah/kawasan berikat bukan di daerah sentra produksi perkebunan.
Pengembangan industri hilir di Vietnam sedang digalakkan dan investor mendapatkan
berbagai insentif pada masa awal operasi;
•Tarif atau pajak impor komoditas perkebunan dan produk olahannya cenderung tidak
melindungi produsen dan industri pengolahan nasional. Kebijakan harmonisasi tarif
yang diharapkan oleh produsen (didalamnya termasuk petani) dan industri pengolahan
tidak kunjung muncul. Sri Lanka dan Vietnam sudah melaksanakan harmonisasi tarif
impor komoditas perkebunan dan produk olahannya ;
•Dukungan kebijakan infrastruktur di daerah (energi, transportasi dan telekomunikasi)
masih lemah. Kondisi perlistrikan sebagai penggerak mesin pengolahan masih sering
terganggu. Kondisi sarana transportasi (jalan dan pelabuhan) masih sederhana dan saat
ini sebagian besar rusak. Jaringan telekomunikasi juga masih terbatas jangkauannya.
Cina lebih maju dalam hal dukungan kebijakan infrastruktur ini;
•Dalam hal kebijakan investasi, birokrasi investasi Indonesia termasuk untuk investasi
perkebunan dinilai buruk. Hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy
dalam Kompas 2 Juli 2005 menunjukkan bahwa birokrasi investasi memerlukan
prosedur yang panjang sehingga membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Indonesia
menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi investasi, hanya lebih baik
dari India. Dalam pendirian usaha, jumlah prosedur yang harus dilalui 12, waktu 151
hari, dan rasio biaya terhadap pendapatan per kapita 130,7 persen. Sedangkan rata-rata
di Asia untuk parameter tersebut adalah 8, 51 hari dan 48,3 persen.
Dengan mencermati uraian di atas, dukungan kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan pembangunan perkebunan masih mempunyai kelemahan baik dalam
hal penciptaan iklim investasi yang kondusif, konsistensi, koordinasi, dan efisiensi.
Strategi Pemasaran
1. Strategi Produk
Produsen melakukan strategi dengan mengembangkan bentuk teh atau
dikemas dalam bentuk yang lebih mudah di gunakan konsumen dan menarik
di mata konsumen, misalnya dalam berbagai bentuk kemasan, teh celup yang
dikemas dalam kantong kecil yang dibuat dari kertas dengan tali yang mudah
untuk di seduh, teh saring yang dikemas dengan kertas tanpa tali, teh stik teh
yang dikemas dalam stik yang dibuat dari lembaran alumunium tipis yang
mempunyai lubang-lubang kecil yang berfungsi sebagai saringan teh atau teh
instan yang berbentuk bubuk tinggal dilarutkan dalam air panas atau dingin.
Bahkan ada yang dalam kemasan langsung minum berbentuk gelas, botol kaca
atau botol plastic dan bahkan kaleng. teh disesuaikan dengan kebutuhan juga
keinginan dari konsumen. Hal itu dapat dilihat dari pilihan rasa yang dibeli
atau manfaat apa yang di perlukan oleh konsumen setelah mengkonsumsinya.
2. Strategi Harga
Harga yang ditetapkan produsen sangat mempengaruhi minat
konsumen dalam melakukan pembelian. Startegi yang dapat dilakukan
misalnya dengan member potongan harga untuk jumlah pembelian tertentu,
hal ini dapat menarik konsumen untuk membeli dalam jumlah banyak tetapi
juga memberi keringanan dalam biaya dan pembelian.
3. Strategi Promosi
Tujuan promosi yaitu untuk memberi informasi kepada konsumem
tentang keberadaan produk dan juga keunggulan yang dimiliki produk dan
manfaat apa yang akan di peroleh apabila memkonsumsi produk tersebut.
Promosi penjualan yaitu kegiatan pemasaran yang memberikan nilaitambah
atau insentif kepada tenaga penjualan, distributor, atau konsumen yang
diharapkan dapat meningkatkan penjualan. (Morissan, MA, 2010:25).
4. Strategi Distribusi
Tempat penjualan merupakan salah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan juga untuk menarik perhatian konsumen, suasana yang nyaman
dan bersih juga member nilai tersendiri untuk konsumen yang akan membeli.
Misalnya di pada supermarket, atau jika produk bertujuan untuk kesehatan
dapat di temukan pada apotik.