Anda di halaman 1dari 13

DENGAN BANTUAN BIAYA

DARI UNIVERSITAS NASIONAL

LAPORAN PENELITIAN
UNIVERSITAS NASIONAL

ANALISIS DETEKSI DINI KESEHATAN JIWA REMAJA DI MASA


PANDEMI COVID-19

TIM PENELITI

Ketua : Risza Choirunissa SSiT, MKM


Anggota : Siti Syamsiah SST, MKeb
Intan Ratna Komala AmKeb

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2020
ANALISIS DETEKSI DINI KESEHATAN JIWA REMAJA DI MASA
PANDEMI COVID-19
Risza Choirunissa, Siti Syamsiah, Intan Ratna Komala
Program Studi Kebidanan Program Sarjana Terapan, Fakultas Kesehatan
Universitas Nasional Jakarta

ABSTRAK

Dampak COVID-19 juga menimpa pada dunia pendidikan di seluruh dunia. Di


Indonesia, beberapa kampus dan sekolah mulai menerapkan kebijakan kegiatan belajar
mengajar dari jarak jauh atau kuliah online. Kondisi tersebut menjadikan para pelajar
dan mahasiswa “dipaksa” harus belajar di rumah dimana sebagian besar tidak terbiasa
melakukan hal tersebut. Untuk jangka waktu pendek hal tersebut tentunya tidak menjadi
masalah, tetapi dalam jangka panjang akan membuat anak menjadi bosan dan tertekan,
sehingga hal tersebut menyebabkan anak remaja menjadi terganggu kesehatan
mentalnya, mulai dari cemas sampai kasus depresi. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeteksi dini kesehatan jiwa remaja di masa pandemik covid-19. Penelitian ini
menggunakan desain kuantitatif dengan metode Deskriptif Survey, populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa dan siswi SMA Negeri 2 Rangkasbitung yang
berjumlah 864 siswa. Sampel berjumlah 93 responden. Instrumen penelitian
menggunakan kuesioner SDQ (Strength and Difficulties Questionnaire) yaiu kuesioner
yang berisi 25 pertanyaan untuk mendeteksi dini kesehatan remaja. Hasil penelitian
dilihat dari 5 indikator aspek emosi dan perilaku remaja yaitu masalah emosional,
conduct, hiperaktivitas, perilaku pro-sosial, masalah hubungan teman sebaya, dan
didapatkan hasil bahwa kategori abnormal pada responden yang tertinggi adalah
masalah hiperaktivitas yaitu sebanyak 34,41%. Diharapkan bagi tenaga kesehatan,
orang tua, dan guru dapat meningkatkan kolaborasi dalam rangka menjaga kesehatan
mental pada remaja melalui program atau penyuluhan tentang kesehatan jiwa remaja

Kata Kunci : Deteksi Dini, Kesehatan jiwa, remaja, pandemic covid -19

1. Pendahuluan

Coronavirus adalah salah satu patogen utama yang terutama menargetkan sistem
pernapasan manusia (Rothan and Byrareddy, 2020). Corona Virus Disease (COVID-19)
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan
(WHO, 2020). COVID-19 merupakan virus baru dan penyakit yang sebelumnya tidak
dikenal sebelum terjadi wabah di Wuhan, Tiongkok, bulan Desember 2019 (WHO,
2020). Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah
COVID-19 sebagai pandemi. Menurut WHO, COVID-19 merupakan masalah kesehatan
yang serius dan memiliki risiko lebih tinggi untuk penyakit parah dan menyebar dengan
cepat di seluruh dunia (Ranjan and Ranjan, 2020).
Coronavirus Novel 2019 (COVID-19) adalah suatu kondisi infeksi, yang dapat
menyebar secara langsung atau tidak langsung dari satu orang ke orang lain dan
menyebabkan penyakit pernapasan, mulai dari flu biasa hingga sindrom pernapasan
akut (Chen et al., 2020). Kasus pertama virus ini ditemukan di Wuhan, Cina. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia, COVID-19 adalah masalah kesehatan yang serius dan
memiliki risiko lebih tinggi untuk penyakit parah dan menyebar dengan cepat di seluruh
dunia. Di seluruh dunia, hingga Mei 2020, total 5.406.282 kasus yang dikonfirmasi
dilaporkan Dari jumlah tersebut, 343.562 (6,35%) telah berakibat fatal. Sementara itu,
kasus terkonfirmasi di Indonesia sampai Mei 2020, jumlah kasus positif terinfeksi
positif sebanyak 23.165 dan kasus meninggal tercatat sebanyak 1.418 kasus atau 6,12%
(www.covid19.go.id). Sebagian besar kasus kematian terjadi pada pasien berusia di atas
50 tahun diikuti oleh anak kecil. Untuk kasus-kasus yang dikonfirmasi yang mencakup
laboratorium dan diagnosa klinis sampai sekarang tidak ada pengobatan antivirus
khusus yang direkomendasikan dan tidak ada vaksin saat ini tersedia (Huffington dan
Williams, 2020).
COVID-19 sekarang menjadi pandemi dan dunia tidak harus menganggap remeh
atau sembrono. Jika ditemukan kasus positif, negara harus mendeteksi, menguji,
mengobati, mengisolasi, melacak, dan memobilisasi orang-orang mereka dalam respon.
Ini adalah tantangan bagi banyak negara yang sekarang berurusan dengan kelompok
besar atau transmisi komunitas (WHO, 2020).
Pandemi COVID-19 tersebut membuat semua negara menetapkan standar
penanganan yang berbeda, sesuai dengan kondisi masing-masing. Beberapa negara
menetapkan status Lockdown, dimana semua aktivitas masyarakat dihentikan atau
dilarang. Hanya kegiatan-kegiatan tertentu saja yang diijinkan, seperti aktivitas membeli
kebutuhan pokok, kesehatan, dan aktivitas penting lainnya. Tetapi aktivitas-aktivitas
tersebut dibatasi intensitasnya. Kebijakan tersebut diterapkan di banyak negara Eropa,
seperti: Italia, Jerman, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Sebelumnya juga
Tiongkok, sebagai negara asal penyebaran COVID-19 menetapkan status Lockdown.
Sementara itu, ada juga yang menetapkan kebijakan pembatasan terhadap sejumlah
aktivitas, seperti yang diambil oleh sejumlah negara di Asia, diantaranya: Jepang, Korea
Selatan, Vietnam, dan lain sebagainya. Adapun di Indonesia, kebijakan yang diambil
adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Kebijakan tersebut diambil Pemerintah pada akhir Maret 2020 sebagai upaya
mengurangi penyebaran CIVID-19 secara masif, sebagaimana tertuang dalam
Permenkes 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan
COVID-19 adalah kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) menyebutkan bahwa PSBB ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu
penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-I9) demikian definisi PSBB dalam Permenkes 9 tahun 2020
tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19
(www.covid19.go.id).
Kasus pandemi COVID-19 yang terbilang masif tersebut telah membuat hampir
seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia mengalami kecemasan. Mereka menjadi
cemas, khawatir terinfeksi COVID-19. Bahkan, saat ini banyak ditemukan orang
terinfeksi tanpa adanya gejala terlebih dahulu, yang selanjutnya dikenal dengan istilah
OTG (Orang Tanpa Gejala). Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia
menetapkan sejumlah langkah-langkah antisipatif, seperti Physical Distancing.
Kebijakan tersebut menjadikan semua pihak terbatas untuk melakukan kontak sosial.
Bahkan, dengan adanya kebijakan tersebut kegiatan pendidikan di sekolah untuk
sementara dibatasi. Para siswa harus mengikuti kegiatan pembelajarn di rumah, melalui
pembelajaran daring (online) yang dipandu oleh guru masing-masing.
Khusus bagi mereka yang berusia muda atau remaha, adanya pandemi COVID-19
yang menyebakan pembatasan beraktivitas tentu berdampak pada adanya tekanan
mental. Mereka yang bisanya banyak melakukan aktivitas di luar rumah “dipaksa”
harus melakukannya di rumah atau tempat-tempat terbatas. Kondisi tersebut berdampak
pada masalah emosi dan perilaku atau kesehatan mental mereka.
Sebelum adanya pandemi COVID-19, permasalahan kesehatan jiwa atau mental
para remaja merupakan masalah yang sangat serius karena berdampak pada
perkembangan mereka, serta menurunkan produktivitas serta kualitas hidup mereka.
Disejumlah negara, masalah kesehatan mental anak remaja menjadi perhatian serius
pemerintahnya. Seperti kasus di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa para orang
tua yang melaporkan kasus adanya masalah kejiwaan anak-anaknya. Sebagai contoh,
41% orang tua di Amerika Serikat khawatir anaknya mengalami kesulitan belajar, dan
36% khawatir mengalami gangguan depresi Permasalahan tersebut timbul karena
adanya masalah mental, emosi, dan perilaku anak-anak di Amerika Serikat (Wiguna,
dkk. 2010).
Berbagai stresor psikososial seringkali dikaitkan dengan terjadinya masalah
emosi dan perilaku pada anak dan remaja, seperti adanya penyakit fisik, pola asuh
yang inadekuat, kekerasan dalam rumah tangga, hubungan dengan teman sebaya yang
inadekuat, serta kemiskinan. Stresor psikososial tersebut mempengaruhi proses
perkembangan kognitif anak sehingga anak lebih memandang negatif lingkungan
sekitar dan juga persepsi yang negatif mengenai dirinya. Disamping itu, stresor
psikososial juga berkaitan dengan peningkatan emosi negatif, perilaku disruptif dan
impulsif, serta menimbulkan cara-cara interaksi yang negatif sehingga berdampak pada
hubungan dengan teman sebaya yang tidak optimal (Gelder et al., 2003).
Masalah emosi dan perilaku yang terjadi berdampak terhadap tumbuh kembang
dan kehidupan sehari-hari anak. Gangguan perkembangan kognitif, kesulitan dalam
belajar karena mereka tidak mampu berkonsentrasi terhadap pelajaran, kemampuan
mengingat yang buruk, atau bertingkah yang tidak sesuai di dalam lingkungan
sekolah, akan meningkat- kan angka kenakalan dan kriminalitas di masa dewasa
(Gimpel et al., 2003).
Lambatnya penanganan terhadap permasalahan tersebut akan berdampak pada
kondisi stress anak-anak, terutama para remaja. Kelompok remaja dikenal sebagai
kelompok yang cepat mengalami perubahan yang sangat signifikan, baik itu terhadap
fisik dan jiwanya, Hal itulah yang menjadikan kelompok remaja disebut sebagai
kelompok yang unik (Stuart, 2016).
Pada saat pandemi COVID-19 ini, kaum remaja mengalami masa yang sulit.
Mereka yang mampu mengendalikan emosinya tentu akan dengan mudah menghadapi
situasi tersebut, sebaliknya mereka yang labil emosinya tentu akan mengalami masa
tekanan yang lebih besar. Masa remaja juga merupakan masa dimana mental mereka
mengalami fluktuatif. Oleh karena itu, remaja yang menyadari adanya fluktuatif mental
mereka akan dengan mudah mengatasi emosi mereka yang terlalu berlebihan. Namun,
ada juga remaja yang tidak dapat mengendalikan mental mereka secara efektif sehingga
mereka akan mudah menderita depresi, emosional (mudah marah), dan hal tersebut
berdampak lebih lanjut terhadap adanya kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, dan
kenakalan remaja (Santrock, 2007).
Dampak COVID-19 juga menimpa pada dunia pendidikan di selurih dunia. Dalam
situs UNESCO dikemukakan bahwa pandemi corona ini mengancam 577 juta pelajar
di dunia. Disebutkan juga bahwa terdapat 39 negara yang menerapkan penutupan
sekolah dengan total jumlah pelajar yang terpengaruh mencapai 421.388.462 anak.
Total jumlah pelajar yang berpotensi berisiko dari pendidikan pra-sekolah dasar
hingga menengah atas adalah 577.305.660. Sedangkan jumlah pelajar yang berpotensi
berisiko dari pendidikan tinggi sebanyak 86.034.287 orang. Di Indonesia, beberapa
kampus dan sekolah mulai menerapkan kebijakan kegiatan belajar mengajar dari jarak
jauh atau kuliah online. Kondisi tersebut menjadikan para pelajar dan mahasiswa
“dipaksa” harus belajar di rumah dimana sebagian besar tidak terbiasa melakukan hal
tersebut. Untuk jangka waktu pendek hal tersebut tentunya tidak menjadi masalah,
tetapi dalam jangka panjang akan membuat anak menjadi bosan dan tertekan, sehingga
hal tersbut menyebkan anak menjadi terganggu kesehatan mentalnya, mulai dari cemas
sampai kasus depresi (Purwanto, dkk., 2020).
2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kuantitatif dengan jenis penelitian yaitu deskripttif survey Lokasi penelitian ini berada
di Indonesia. Waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu dilakukan pada bulan Mei 2020.
Populasi penelitian adalah seluruh masyarakat yang berada di Indonesia.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 2 Rangkasbitung
yang berjumlah 864 siswa. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan distribusi online dan pengajuan kuesioner. Kuesioner dibuat dalam Formulir
Google Form dan tautan Google Forms yang telah dibuat selanjutnya dikirimkan ke
para siswa melalui Email dan WhatsApp mereka. Besarnya sampel ditetapkan dengan
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Slovin (Umar, 2008). Dengan demikian,
jumlah sampel penelitian ditetapkan sebanyak 274 siswa sebagai responden.
Pengambilan sampel ditetapkan selama 14 hari melalui penyebaran secara elektronik
(online). Namun, setelah 14 hari, jumlah responden yang merespon kuesioner yang
disebarkan secara online hanya ada 93 orang. Dengan demikian, pada penelitian ini, ke-
93 responden tersebut ditetapkan sebagai sampel penelitian. Adapun Kriteria inklusi
dalam penelitian ini adalah semua Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah responden
merupakan siswa SMA Negeri 2 Rangkasbitung aktif, bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini, mampu menggunakan internet dengan komputer maupun smartphone.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalalah bukan siswa SMA Negeri 2 Rangkasbitung
aktif, tidak mampu menggunakan internet dengan komputer maupun smartphone.
Instrumen dalam penelitian ini yaitu berupa Kuesioner SDQ (Strength and
Difficulties Questionnaire) yang berisi 25 butir pertanyaan. Kuesioner struktur dibuat
dalam Formulir Google dan tautan dibuat dan didistribusikan di antara orang-orang dari
responden yang menjadi sampel penelitian. Teknik pengambilan sampel yang mudah
digunakan untuk pemilihan sampel dengan pendekatan distribusi kuesioner secara
online. Tautan yang dihasilkan Formulir Google dikirim ke peserta melalui Email dan
WhatsApp
Data dalam penelitian ini diolah menggunakan SPSS dan disajikan dalam bentuk
tabel frakuensi dan presentase
3. Hasil dan Pembahasan

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Dan Persentase Dari Kesehatan Jiwa Remaja


SMA Negeri 2 Rangkasbitung

Kesehatan Jiwa Remaja Frekuensi (f) Persentase (%)


Perilaku Pro – Sosial
Normal 84 90,32%
Boderline 4 4,30%
Abnormal 5 5,38%
Masalah Emosional
Normal 57 61,29%
Boderline 10 10,75%
Abnormal 26 27,96%
Masalah Conduct
Normal 77 82,80%
Boderline 10 10,75%
Abnormal 6 6,45%
Hiperaktivitas
Normal 37 39,78%
Boderline 24 25,81%
Abnormal 32 34,41%

Masalah dengan Teman Sebaya


Normal 26 27,96%
Boderline 44 47,31%
Abnormal 23 24,73%

Berdasarkan hasil data demografi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1
bahwa dari 93 responden, bahwa masalah perilaku pro-sosial yang terbanyak adalah
responden dengan kategori normal yaitu sebanyak (90,32%), Kemudian masalah
emosional paling banyak responden berada pada kategori normal yaitu sebanyak
(61,29%), Hal ini karena masa remaja dimana individu lebih menyadari siklus
emosinya seperti perasaan bersalah karena marah. Kesadaran yang baru ini dapat
meningkatkan kemampuan remaja dalam mengatasi emosi – emosinya (Santrock,
2007). Masalah conduct juga terbanyak pada kategori normal yaitu sebanyak (82,80%),
Masalah Conduct merupakan perilaku atau sikap yang tidak sesuai aturan dalam
keluarga atau norma yang berlaku di masyarakat. Proporsi nilai borderline dan abnormal
tinggi. Remaja banyak memberikan jawaban menjadi sangat marah dan tidak dapat
mengendalikan kemarahan bila ada yang menyakiti dan sebanyak 50% menjawab benar
pada pernyataan sering dituduh berbohong atau berbuat curang. Hurlock (2002)
mengatakan ciri masa remaja adalah masa terjadinya perubahan dimana ada empat
perubahan besar yang terjadi pada remaja yaitu : perubahahan emosi, perubahan peran
dan minta, perubahan pola perilaku dan perubahan sikap menjadi ambivalen. Depkes
(2003) juga mengatakan dikatakan sehat jiwa yaitu tidak mengakali orang lain dan tidak
membiarkan dirinya diakali. Masalah conduct merupakan suatu pola perilaku yang terus
berulang di mana hak dasar orang lain atau norma atau aturan dalam masyarakat
dilanggar. Memiliki empat tanda – tanda utama yaitu menyakiti manusia atau hewan,
merusak milik orang lain, berbohong atau mencuri dan melanggar aturan (Fajrin, 2013).
masalah hiperaktivitas juga terbanyak pada kategori normal yaitu (39,7%) namun
disusul oleh kategori abnormal sebanyak (34,41%), Remaja hiperaktivitas menunjukkan
adanya suatu pola perilaku yang menetap pada seseorang. Perilaku ini ditandai dengan
sikap tidak mau diam, tidak bisa berkonsentrasi dan bertindak sekehendak hatinya.
Sedikit remaja yang mengatakan benar pada pernyataan sebelum melakukan sesuatu
berpikir dahulu tentang akibatnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (2002)
bahwa masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang
kehidupan melalui kacamatanya sendiri, baik dalam melihat dirinya maupun melihat
orang lain. Mereka belum melihat apa adanya tetapi menginginkan sebagaimana yang ia
harapkan. Remaja seakan – akan tanpa henti mencari sesuatu yang menarik dan
mengasikkan namun tidak kunjung datang. Hiperaktif juga mengacu kepada
ketiadaanya pengendalian diri, contohnya dalam mengambil keputusan atau kesimpulan
tanpa memikirkan akibat – akibat terkena hukuman atau mengalami kecelakaan
(Mulyadi, 2009). Kasus virus covid-19 ini memberikan dampak bagi pendidikan hal ini
telah diakui oleh UNESCO, penutupan sekolah di 166 negara yang berdampak bagi
anak dan remaja sejumlah 1,52 miliar orang dan guru 60,2 juta di seluruh dunia. Hal ini
akan mengganggu kegiatan sekolah dan mengancam akan hak-hak pendidikan mereka
di masa depan. Dalam penanganan virus ini pemerintah memberlakukan beberapa upaya
untuk memutus rantai penularan covid-19 yaitu social distancing dengan cara belajar
dan kerja di rumah atau work from home (WFH). Selain itu pemerintah juga
meberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga larangan untuk mudik.
Walaupun remaja harus melakukan stay at home namun tidak mengurangi aktifitas pada
remaja ditunjukkan dalam penelitian ini masalah hiperaktifitas remaja pada proporsi
abnormal sebanyak (34,41%). Dengan adanya kebijakan ini maka mempengaruhi sistem
dalam pendidikan di Indonesia. Pembelajaran di lakukan dengan jarak jauh atau
pembelajaran daring, yang akan berdampak bagi unsur -- unsur dalam pendidikan.
Seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, menteri Nadiem Anwar
Makarim dalam Surat Edaran Nomer 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan
Dalam Masa Darurat Corona Virus Disease (Covid-19) bahwa pembelajaran jarak jauh
ini agar bisa lebih memaknai proses pendidikan dan ikut serta berpartisipasi dalam
pelaksanaan pendidikan. Saat ini tercatat ada 28,6 juta siswa dan 2,6 juta guru yang
terdampak menghadapi virus corona di Indonesia. Dengan jumlah siswa dan pengajar
yang banyak oleh karena itu seluruh siswa dari tingkat Paud/TK, SD, SMP, SMA/SMK,
hingga mahasiswa Perguruan Tinggi melakukan pembelajaran daring atau dengan
metode e-learning. Hal ini terpaksa dilakukan agar dapat mencegah penyebaran virus
lebih luas lagi. Tentu saja baik guru, siswa, dan orang tua murid tidak ada yang siap
dengan keterpaksaan PJJ hal ini memberikan banyak dampak di berbagai aspek. Sangat
di maklumi bahwa proses pembelajaran ini butuh waktu untuk penyesuainnya dengan
metode daring, yang dimana interaksi antara guru dengan murid tidak bisa dipisahkan.
Oleh karena itu pendidikan harus tetap dilakukan dengan berbagai macam upaya.
Sistem pembelajaran jarak jauh di berbagai tingkat pendidikan menggunakan aplikasi
berbasis internet, metode ini menggunakan beberapa platform belajar online seperti
yang dianjurkan pemerintah yaitu Zenius, Quipper, Google Classroom, bahkan
menggunakan Whatssap Group. Selain itu Kemendikbud sendiri mengembangkan
aplikasi pembelajaran jarak jauh berbasis portal dan android Rumah Belajar yang dapat
diakses di belajar.kemendikbud.go.id. Untuk variabel masalah dengan teman sebaya ,
yang terbanyak proporsinya adalah pada kategori borderline (47,31%), Menurut Robert
Havighurst dalam Sarwono Sarlito (2006) salah satu tugas perkembangan remaja adalah
menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang
manapun. Remaja banyak menjawab lebih mudah berteman dengan orang dewasa
daripada orang yang seumuran. Hurlock (2002) mengungkapkan bahwa remaja
menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai – nilai yang sama, yang mengerti
dan membuat remaja merasa aman dan kepada temannya remaja dapat mempercayakan
masalah – masalah dan membahas hal – hal yang tidak dapat dibicarakan dengan
orangtua. Pada penelitian ini masalah hubungan teman sebaya memiliki proporsi nilai
borderline dan abnormal yang tinggi. Depkes (2003) mengatakan ciri – ciri seseorang
dikatakan sehat jiwa adalah merasa nyaman berhubungan dengan orang lain yaitu
merasa bagian dari kelompok. Remaja banyak menjawab sering diganggu atau
dipermainkan oleh anak – anak atau remaja lainnya dan lebih suka sendirian daripada
bersama dengan yang seumuran. Bagi beberapa remaja pengalaman ditolak atau
diabaikan dapat membuat remaja merasa kesepian dan bersikap bermusuhan (Santrock,
2007).

4. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa pada
walaupun dalam masa pandemic covid-19 ,kesehatan jiwa remaja dari aspek masalah
emosional mayoritas dalam kategori normal, remaja sudah menyadari cara untuk
mengendalikan emosi. Pada aspek masalah hiperaktifitas remaja juga dalam kategori
normal namun proporsi nya disusul oleh kategori abnormal. Dalam penanganan virus
covid-19 pemerintah memberlakukan beberapa upaya untuk memutus rantai penularan
covid-19 yaitu social distancing dengan cara belajar dan kerja di rumah atau work from
home (WFH). Selain itu pemerintah juga meberlakukan pembatasan sosial berskala
besar (PSBB) hingga larangan untuk mudik. Walaupun remaja harus melakukan stay at
home namun tidak mengurangi aktifitas pada remaja ditunjukkan dalam penelitian ini
masalah hiperaktifitas remaja pada proporsi abnormal sebanyak (34,41%). Pada aspek
perilaku masalah hubungan teman sebaya memilik nilai abnormal yang cukup tinggi.
Remaja belum memenuhi tugas perkembangan remaja untuk menerima hubungan yang
lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin manapun. Disarankan kepada
tenaga kesehatan, orang tua, dan guru dapat meningkatkan kolaborasi dalam rangka
menjaga kesehatan mental pada remaja melalui program atau penyuluhan tentang
kesehatan jiwa remaja

5. Ucapan Terima Kasih


Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Universitas Nasional Jakarta atas
dukungannya dalam penelitian ini.

6. Daftar pustaka
Ariffin, Z. (2012). Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT
Remaja Rodaskarya
Azwar, S. (2014). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chen, Y., Liu, Q., dan Guo, D. (2020). “Emerging coronaviruses: Genome structure,
replication, and pathogenesis”. J. Med. Virol. 92 (4)
Gelder, M. G., Lopez, I., dan Andresen, J. J. (2003). New Oxford Textbook of
Psychiatry. Oxford University Press;
Gimpel, G. A. dan Holland, M. L. (2003). Emotional and Behavioral Problems in
Young Children: Effective Interventions in the Preschool and Kindergarten Years. New
York: Guilford.
Gugus Tugas COVID-19. (2020). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2020 tentang PSBB. [Online, Tersedia]. Diakses pada tanggal 26 Mei 2020 dari
https://covid19.go.id.
_________. (2020). Peta Sebaran Covid-19. [Online, Tersedia]. Diakses pada tanggal
26 Mei 2020 dari https://covid19.go.id.
Dzaky, Adz. dan Bakran, M. H. (2002). Konseling dan Psikoterapi Islam. Yogyakarta :
Fajar Pustaka Baru
Huffington, A. dan Williams, M. (2020). Coronavirus Health Care-Workers-Well-
Being. [Online, Tersedia]. Diakses pada tanggal 26 Mei 2020 dari
https://fortune.com/2020/03/11/coronavirus-health-care-workers-well-being.
Kamal, M. (2015). Resume Metodologi Penelitian: Etika Penelitian. Naskah Publikasi.
Riau: UIN Suska Riau
Karlina, A. (2010). Pengertian Remaja. [Online, Tersedia]. Diakses pada tanggal 24
Mei 2020 dari http://blog.com/2010/01/06.
KPAI. (2016). KPAI Anjurkan Partsipasi Siswa dalam Penyusunan Tatib Sekolah.
[Online, Tersedia]. Diakses pada tanggal 25 Mei 2020 dari https://www.kpai.go.id.
Nasriati, R. (2011). “Kesehatan Jiwa Remaja”. Jurnal Florence, II (4).
Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Purwanto, A. dkk. (2020). “Studi Eksploratif Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap
Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar”. Journal of Education, Psychology, and
Counseling (EduPsyCouns Journal), 2 (1).
Riduwan, (2010). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta
Santrock, J. W. (2007). Remaja. Edisi 7. Jakarta: Erlangga
Saryono dan Anggraeni,. D. M. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Sianturi, A. W Br. (2018). “Deteksi Dini Kesehatan Jiwa Remaja di Kelurahan Darat
Kecamatan Medan Baru”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Singapore: Elsevier.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta
Umar, H. (2008). Riset Sumberdaya Manusia dalam Organisasi. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama
UNESCO. (2020). 290 Million Students Out of School Due to Covid-19: Unesco
Releases First Global Numbers and Mobilizes Response. [Online, Tersedia]. Diakses
pada tanggal 27 Mei 2020 dari https://en.unesco.org/news/290-million-students-out-
school-due-covid-19-unesco-releases-first-global-numbers-and-mobilizes
WHO. (2020). Coronaviruse. [Online, Tersedia]. Diakses pada tanggal 26 Mei 2020
dari https://www.who.int/docs/default- source/coronaviruse/situation-reports/20200221-
sitrep-32-covid 19.pdf?sfvrsn=4802d089_2.
Widyaningrum, R. (2015). Hubungan Antara Perkembangan Psikososial Remaja dengan
Perilaku Seks Bebas Remaja di SMAN 1 Keradenan Kabupaten Grobongan. Skripsi.
Semarang: Program Studi Keperawatan UNDIP.
Wiguna, Tj., dkk. (2010). “Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja di
Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSUPN dr. Ciptomangunkusumo (RSCM), Jakarta”.
Dari Pedatri, 12 (4).
Wijaya, S. (2020). Berserah Kepada Alam dan Ikut Webinar Jadi Cara Sebagian
Warga Indonesia Beradaptasi Saat Pandemi Corona. [Online, Tersedia]. Diakses pada
tanggal 26 Mei 2020 dari https://www.abc.net.au/indonesian/ 2020-05-08/dampak-
psikologis-warga-indonesia-karena-pandemi-covid-19/ 12228856

Anda mungkin juga menyukai