Anda di halaman 1dari 5

ETIOPATOGENESIS

DERMATITIS ATOPIK

Predisposisi genetik
Penelitian genetik berdasarkan silsilah keluarga menyatakan, bahwa risiko DA pada kembar
monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot 25%. Dermatitis atopik sering dijumpai pada
sebuah keluarga, namun penurunannya tidak mengikuti hukum Mendel. Ada kecenderungan
lebih banyak terjadi pada perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada DA, sehingga
dapat disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat multifaktorial. Uehara dan Kimura (1993)
menyatakan bahwa 60% pasien DA mempunyai anak atopi. Jika kedua orangtuanya menderita
DA, maka 81% anaknya berisiko menderita DA. Apabila hanya salah satu orangtuanya
menderita
DA maka risiko menderita DA menjadi 59%. Peneliti lain menemukan pada ibu berpenyakit DA
menunjukkan rasio Odds (RO) anak kandung sebesar 2,66; sedangkan bila ayah yang menderita
DA maka risikonya menjadi 1,29. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan DA
cenderung bersifat maternal. Sejak lama telah diketahui keterkaitan antara dermatitis atopik,
asma bronkial, rinitis alergik, dan peningkatan kadar lgE dalam serum dengan human leukocyt
antigen (HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda. Hasil penelitian sebagai berikut.

1. Kromosom 5 (interleukin cluster): banyak penelitian terhadap kromosom 5


memperlihatkan hubungan antara asma, atopi, dan dermatitis atopik dengan 5q23-31 yang
merupakan kluster sitokin. Sitokin tersebut adalah IL-4, IL-13, CD14 antigen dan IL-12B.
2. Kromosom 6-Major Histocompatibility Complex (MHC): hasil penelitian menunjukkan
keterikatan antara asma dan atopi dengan gen MHC-11, yaitu pada alel HLA-DR4 dan
DR7.
3. Kromosom 16: telah terdeteksi keterkaitan polimorfisme gen IL-4RA dengan IL-4, IL-13,
sitokin Th2, dan lgE dengan fenotip dermatitis atopik serta asma bronchial.

Tidak semua fenotip DA diekspresikan oleh genotip. Gen predisposisi atopi pada ras atau
negara tertentu hasilnya bervariasi. Keadaan ini lazim ditemukan pada pola penurunan yang
bersifat multifaktor.

Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik


Patofisiologi pruritus pada DA belum diketahui pasti. Pada umumnya para pakar berpendapat
bahwa sensasi gatal dan nyeri disalurkan melalui saraf C tidak bermielin di daerah taut
dermoepidermal. Rangsangan ke reseptor gatal tersebut menjalar melalui saraf spinal sensorik
kemudian ke hipotalamus kontralateral dan selanjutnya ke korteks untuk dipersepsikan.
Rangsangan ringan dan superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, namun
bila lebih dalam dan intensitas tinggi dapat menyebabkan sensasi nyeri. Patogenesis DA
berkaitan dengan faktor genetik dan hipersensitivitas tipe I fase lambat (lgE mediated, late
phase). Namun, kemudian dianggap pada DA dapat terjadi reaksi yang diperantarai
hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Untuk memahami patogenesis pruritus pada DA, perlu
memahami lebih dulu berbagai faktor yang berpengaruh pada DA, antara lain lgE, sel
inflamasi DA, mediator, sitokin, serta faktor lainnya. Telah ditemukan peningkatan kadar
histamin di kulit pasien DA, namun peningkatan tersebut tidak disertai dengan peningkatan di
dalam darah. Hasil salah satu penelitian memperlihatkan antihistamin hanya memberi efek
minimal sampai sedang dalam mengatasi pruritus pada DA. Hal tersebut terjadi karena
mungkin histamin bukan satu-satunya zat pruritogenik. Perlu dipikirkan kemungkinan
mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mast atau faktor nonimunologik yang diduga sebagai
penyebab pruritus, yaitu zat tergolong neuropeptida, protease, opoid, eikosanoid, dan sitokin.
Faktor lain penyebab pruritus pada DA dapat dilihat dari berbagai perubahan abnormal pada
pasien DA menyebabkan pruritus dan kelainan kulit, antara lain perubahan pada respons
vaskular dan farmakologik. Demikian pula kulit yang kering pada DA menyebabkan ambang
rangsang gatal lebih rendah. Stimulus ringan (misalnya mekanis, elektris dan termal) dapat
menyebabkan pruritus melalui jalur refleks akson terminal yang mengeluarkan substansi P,
sehingga menyebabkan vasodilatasi atau rangsangan terhadap sel mas. Kulit yang kering
menyebabkan diskontinuitas sel keratinosit sehingga bahan pruritogenik yang dikeluarkan
merangsang reseptor dan dapat meningkatkan reaksi hipersensitivitas kulit.
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur, karena
imunitas seluler menurun (aktivitas TH1 menurun). Staphylococcus aureus ditemukan lebih dari 90%
pada kulit penderita dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk
koloni pada kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang dikeluarkannya merupakan
superantigen yang diduga memiliki peran patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas sel T dan
makrofag. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu akan menginduksi IgE
spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal garuk yang akan menimbulkan lesi.
Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid,
sehingga memperparah dermatitis atopik.

Faktor psikologis
Pada psiko analisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi, antara lain
berupa rasa cemas, stres, dan depresi. Rasa gatal yang hebat memicu garukan yang terus
menerus sehingga menyebabkan kerusakan kulit, sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit
rasa cemas makin meningkat. Rasa cemas bertambah manakala pasien bertemu dengan
saudara, teman di sekolah, dan kesukaran menghentikan garukan. Pasien DA mempunyai
kecenderungan bersifat temperamental, mudah marah, agresif, frustasi, dan sulit tidur. Stres
dapat menyebabkan rusaknya fungsi sawar kulit dan memicu terjadinya respon alergi atau
Th2. Pada saat stres, saraf sensoris melepaskan neuromediator yang meregulasi inflamasi dan
respon imun seperti pada penurunan fungsi sawar kulit. Respon hypothalamus-pituitary-
adrenal axis (HPA) pada sistem saraf pusat akan berespon terhadap stres psikologis dengan
meningkatkan regulasi hormon stres corticotrophin-releasing hormone (CRH) dan
adrenocorticotropic hormone (ACTH). CRH dan ACTH menstimulasi norepinefrin (NE) dan
pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal, serta langsung menstimulasi sel imun dalam darah
dan perifer melalui masing-masing reseptor. Akibatnya terjadi umpan balik negatif dari
kortisol pada CRH dan ACTH, kemudian hipotalamus dan hipofisis. Produksi serotonin pada
batang otak (5HT) meningkat. Substansi P (SP), gastrin-releasing peptide (GRP), dan
calcitonin gene related peptide (CGRP) pada ganglia spinalis dorsalis juga meningkat. Pada
kulit, sel-sel imun melepaskan sitokin, kemokin, dan neuropeptida, yang memodulasi respon
inflamasi lokal. Selain itu, saraf sensoris melepaskan neuromediator yang memodulasi
inflamasi kulit, nyeri, dan gatal, serta mengirimkan rangsangan sensorik melalui ganglia
spinalis dorsalis dan medula spinalis ke area tertentu dari sistem saraf pusat. Sel mast kulit
berhubungan erat dengan substansi P (SP), CGRP, pituitary adenylate cyclase-activating
protein (PACAP), dan opioid releasing neurons. Kesemuanya akan memicu sintesis dan
sekresi mediator inflamasi sebagai respon terhadap berbagai rangsangan fisik dan biokimia.
Produksi lokal dari neurohormon dan neuropeptida dengan serabut saraf SP terjadi pada kulit
sebagai respon terhadap stres
Teori atau hipotesis higiene
Awalnya diduga infeksi rnerupakan salah satu pencetus DA atau sebagai salah satu sumber
superantigen (antara lain sumber endotoksin SA). Jumlah anggota keluarga yang sedikit
menyebabkan sedikit pula pajanan terhadap infeksi akibat kontak dengan saudara yang lebih
tua (kakak) di satu keluarga. Pajanan dini tersebut menyebabkan sistem imun pada anak
berkembang secara normal, sehingga tubuh membentuk pertahanan imun selular. Hal tersebut
akan meningkatkan kerentanan terhadap alergi sehingga menurunkan risiko DA Sampai saat
ini hipotesis higiene masih dalam penelitian. Beberapa hasil di antaranya masih kontroversial,
termasuk penelitian probiotik (lacto-bacillus acidophilus) pada pengendalian DA.

SUMBER

1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2016.

2. Pandaleke T., Pandaleke H. ETIOPATOGENESIS DERMATITIS ATOPI. Diunduh dari


https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/download/5547/5076

Anda mungkin juga menyukai