A. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak
disekitar tulang dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).
Menurut Mansjoer (2005:356), fraktur tibia (bumper fracture atau fraktur tibia
plateau) adalah fraktur yang terjadi akibat trauma langsung dari arah samping lutut
dengan kaki yang masih terfiksasi ke tanah.
Tibia dalah satu dari dua tulang yang lebih besar dan lebih kuat yang berada di
bawah lutut pada vertebrata (tulang yang satunya lagi adalah fibula), yang
menghubungkan lutut dengan tulang pergelangan kaki.
Jadi fraktur tibia (Fraktur/olles) adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia
sebelah kananakibat jatuh yang bertumpu pada tangan dorsifleksi terbuka. Fraktur
ini sering terjadi pada anak-anak dan wanita lanjut usia dengan tulang osteoporesis
dan tulang lemah yang takmampu menahan energi akibat jatuh (Oswari, 1995).
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2000)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur , menurut Brunner and Suddarth (2002)
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa
diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
a) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
b) Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c) Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d) Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat dilakukan dengan cara :
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(Brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk
menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan
analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia.
Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips,
biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga
reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x
harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam
kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x.
Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang
atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi
dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation =
OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi
eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan
lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif
yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-
latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan
fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna),
sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik,
proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan
hambatan lain dalam melakukan gerakan)
4. ORIF
ORIF (Open Reduction and Interna Fixation) adalah suatu bentuk
pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami
fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe
fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF= open reduction and internal
fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi
dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup
misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang
membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya.
Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF= open reduction and
external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak,
atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur
pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng pertumbuhan,
fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur
yang disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada
keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi internal.
Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin,
Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3
macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring
(Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi
eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin
graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi
fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka,
status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur.
Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat
melepas fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif
meliputi perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko
infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi.
Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan
kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein
untuk menunjang proses penyembuhan.
Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang
jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama
follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis
pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk
pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris
setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil
atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan,
6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur.
Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin
5. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur, setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
6. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan,
ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse
dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan
tingkat aktivitas dan beban berat badan.
3. Non union
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
4. Delayed union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera.
8. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan
gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan
penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
(Brunner & Suddarth, 2002)
H. Pathway (Asuhan Kperawatan Praktis NANDA NIC NOC, 2016)
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang paling
enentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan
data (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009; 24).
Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan klien dengan
menggunakan teknik anamnesis (autoanamnesa dan aloanamnesa) dan observasi.
1. Biodata Klien
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji karena biasanya
laki-laki lebih rentan terhadap terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor,
pendidikan, pekerjaan, agama, suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit,
tanggal pengkajian, diagnosa medis, nomor medrek dan alamat.
2. Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama,
pendidikan, suku/bangsa, alamat, hubungan dengan klien.
3. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang dirasakan saat
dilakukan pengkajian yang ditulis dengan singkat dan jelas, dua atau tiga kata
yang merupakan keluhan yang membuat klien meminta bantuan pelayanan
kesehatan.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai
dengan dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari keluhan utama
b) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat trauma, riwayat
penyakit tulang seperti osteoporosis, osteomalacia, osteomielitis, gout
ataupun penyakit metabolisme yang berhubungan dengan tulang seperti
diabetes mellitus (lapar terus-menerus, haus dan kencing terus–menerus),
gangguan tiroid dan paratiroid.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluarga klien terdapat penyakit
keturunan ataupun penyakit menular dan penyakit-penyakit yang karena
lingkungan yang kurang sehat yang berdampak negatif pada kesehatan
anggota keluarga termasuk klien.
5. Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-makanan yang
mengandung kalsium yang sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan
tulang dan kebiasaan minum klien sehari-hari, meliputi frekwensi, jenis,
jumlah dan masalah yang dirasakan.
b. Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap perubahan
sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
c. Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan setelah mengalani
fraktur.
d. Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku perlu dkaji
sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
e. Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini dan
kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
b. TTV
Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan lemah ataun
kuat. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
c. Kepala dan Rambut
Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, ada kelainan atau tidak,
pembekakan/edema
d. Mata
Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak mata, lesi adanya
benda asing yang menyebabkan gangguan penglihatan.
e. Hidung
Catat adanya perdarahan, mukosa kering, secret, Tidak ada deformitas, tak
ada pernafasan cuping hidung
f. Mulut
Mukosa bibir, sianosis, kondisi gigi, lidah, adanya stomatitis atau kelainan
lainnya
g. Telinga
Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan
serumen
h. Leher
Catat adanya kelaianan, bentuk simetris atau tidak, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
i. Jantung
a. I : ic tidak nampak
b. Pa : apeks jantung pada mid klavikula kiri ic 5
c. Pe : pekak
d. A : BJ I,II, tidak ada mur mur
j. Thorax
a. I : inspeksi bentuk thorax, irama pernapasan
b. Pa : simetris tidak ada nyeri tekan, fremitus taktil
c. Pe : sonor
d. A : vesikular, wheezing, ronchi
k. Abdomen
a. I : adanya asietes, lesi, perdarahan
b. A : bising usus
c. Pa : nyeri tekan, distensi abdomen
d. Pe : tympani
l. Ekstermitas
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
b. Cape au lait spot (birth mark).
c. Fistulae.
d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
f. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time à Normal > 3 detik
b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
c. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot : tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.
m. Genetalia
Kebersihan, tampak ada kelainan atau tidak, terpasang alat bantu
7. Data Penunjang
Menurut Doengoes et. al (2002), pemeriksaaan diagnostik yang biasa dilakukan
pada pasien dengan fraktur:
a. Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b. Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak dan untuk mengetahui lokasi dan panjangnya patah
tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
c. Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
d. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang biasanya lebih
rendah karena perdarahan akibat trauma. Hematokrit mungkin meningkat atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma
multiple). Kreatinin (trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal). Profil koagulasi (perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multipel atau cedera hati).
8. Terapi obat
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cidera jaringan lunak, pemasangan traksi.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai darah
3. Kerusakan integritas kulit b.d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
4. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuskular, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
5. Resiko infeksi agen cidera, kerusakan integrits kulit
6. Resiko syok
C. Intervensi
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Huda, Amin & Hardhi Kusuma. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Diagnosa NANDA NIC NOC Jilid 1. Jakarta : Mediaction
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hadi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC: Yogyakarta : Mediaction
Publishing