Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN GEL

Dosen Pembimbing : Fadli, S.Farm., Apt

Tanggal Praktikum : 15 Oktober 2020

Tempat Praktikum : Laboratorium Akademi Farmasi Yarsi Pontianak

Nama : Aulia Nurtafani Reforma

NIM : 189296

AKADEMI FARMASI YARSI PONTIANAK

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelor (Moringa oleifera Lam) merupakan salah satu pohon sayuran hijau yang banyak
tumbuh di Asia termasuk di Indonesia seperti wilayah Sulawesi Tengah. Bagian kelor yang
telah diteliti mengandung banyak manfaat bagi kesehatan tubuh adalah daunnya. Daun kelor
mengandung makro dan mikronutrien seperti protein, Fe, vitamin A, vitamin C dan
betakaroten, yang sesuai dengan intake harian yang dianjurkan WHO untuk memenuhi
kebutuhan gizi tubuh (Luthfiyah, 2012). Rajanandh, and Kavitha (2010), menyatakan
bahwa daun kelor mengandung β-sitosterol 90mg/g, total fenolik 8μg/ml dan flavonoid
27μg/ml, yang mana materi tersebut berhubungan dengan aktivitas antioksidan. Daun kelor
memiliki aktivitas antioksidan dari senyawa fenolik golongan flavonoid yang diidentifikasi
berupa kaempferol dan kuersetin (Karthivashan, et. al, 2013). Vongsak, et. al (2013)
memperoleh IC50 62,94 ppm dari daun kelor yang merupakan aktivitas antioksidan kuat
terhadap radikal bebas DPPH. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa daun kelor
memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk kesehatan dan memiliki peran sebagai
antioksidan dengan potensi aktivitas yang kuat. Untuk memanfaatkannya, selain dikonsumsi
sebagai olahan makanan dan minuman atau digunakan dalam sediaan oral seperti kapsul,
tablet dan lainnya, ekstrak daun kelor juga dapat diformulasikan sebagai zat aktif dalam
sediaan semipadat yang tujuannya digunakan pada kulit.
Sediaan semipadat digunakan pada kulit berfungsi sebagai pembawa untuk obat-obat
topikal, sebagai pelunak kulit atau sebagai pelindung (Lachman and Lieberman, 1994).
Sediaan dengan kandungan antioksidan yang digunakan secara topikal memberikan
konsentrasi yang lebih tinggi pada kulit dibandingkan penggunaan oral. Sediaan antioksidan
topikal, secara alami dapat menjadi nutrisi untuk melindungi kulit dari radikal bebas yang
merusak (Diana, and Thaman, 2006). Sediaan antioksidan topikal juga digunakan sebagai
anti penuaan pada kulit (Burgess, 2005).
Sediaan topikal terdiri atas zat pembawa dan zat aktif. Suatu zat pembawa pada sediaan
topikal, idealnya mudah dioleskan, mudah dibersihkan, tidak mengiritasi dan
menyenangkan secara kosmetik, selain itu zat aktif dalam pembawa juga mudah dilepaskan.
Salah satu sediaan semipadat yang dapat digunakan topikal adalah gel (Yanhendri dan
Widya, 2012). Gel merupakan sediaan semipadat atau kental, yang dibuat dengan
mencampur ekstrak (zat aktif) dengan basis yang sesuai (Agoes, 2009). Basis air dalam
membentuk gel memiliki kemampuan melembabkan dengan bahan yang mengandung
banyak air, memiliki efek sejuk yang baik digunakan pada cuaca panas dan sesuai untuk
kulit berminyak (Mitsui, 1997). Kemampuan melembabkan suatu sediaan seperti pada gel
juga memberikan efek melembutkan, menghilangkan garis dan kerutan serta mencegah
iritasi pada kulit (Diana, dan Thaman, 2006). Kandungan air yang banyak dalam sediaan gel
juga membantu pelepasan zat aktif pada kulit (Anwar, 2012). Berdasarkan hal tersebut,
sediaan gel dengan basis air dipilih untuk formulasi ekstrak etanol daun kelor sebagai
antioksidan untuk kulit.
Gel basis air dapat dibuat menggunakan pembentuk gel seperti karbomer (Mitsui, 1997).
Karbomer umumnya dianggap sebagai bahan dasar tidak beracun, tidak mengiritasi dan
tidak menunjukkan reaksi hipersensitivitas pada manusia saat digunakan secara topikal
(Rowe, et. al, 2009). Karbomer merupakan pembentuk gel yang dapat terdispersi dalam air
dan membentuk semipadat dengan adanya senyawa alkali (Lachman, dkk, 1994). Karbomer
dapat membentuk gel fase tunggal yaitu sistem gel, yang mana tidak terlihat adanya ikatan
antara molekul terdispersi dengan cairannya (Depkes RI, 1995). Karbomer juga memiliki
toleransi tinggi terhadap alkohol dan dapat digunakan untuk mengentalkan dalam sistem
hidroalkohol (Anwar, 2012), sehingga diharapkan sesuai dengan ekstrak kelor yang
diperoleh menggunakan pelarut hidroalkohol. Berdasarkan latar belakang tersebut,
penelitian dilakukan untuk memformulasikan gel ekstrak etanol daun kelor dan evaluasi
sifat fisik sediaan gel serta mengukur aktivitas antioksidannya.

B. Tujuan Praktikum

1. Mahasiswa diharapkan mengetahui praformulasi sediaan gel.


2. Mahasiswa diharapkan memahami teknik proses pembuatan sediaan gel dan evaluasi
sediaan gel.
BAB II
DASAR TEORI
A. Landasan Teori

Kelor (Moringa oleifera L.)

Gambar 1. [A] Tanaman kelor secara keseluruhan, [B] Daun kelor (Brenner, 2002) 

1. Nama tumbuhan

Nama ilmiah : Moringa oleifera L.

Nama local : kelor 

2. Klasifikasi tumbuhan

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida
Ordo : Brassicales

Famili : Moringaceae

Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera L.

3. Uraian tumbuhan

Moringa oleifera L. dapat berupa semak atau dapat pula berupa pohon dengan tinggi 12
m dengan diameter 30 cm. Kayunya merupakan jenis kayu lunak dan memiliki kualitas
rendah. Daun tanaman kelor memiliki karakteristik bersirip tak sempurna, kecil, berbentuk
telur, sebesar ujung jari. Helaian anak daun memiliki warna hijau sampai hijau kecoklatan,
bentuk bundar telur atau bundar telur terbalik, panjang 1-3 cm, lebar 4 mm sampai 1 cm,
ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, tepi daun rata. Kulit akar berasa dan berbau
tajam dan pedas, dari dalam berwarna kuning pucat, bergaris halus, tetapi terang dan
melintang. Tidak keras, bentuk tidak beraturan, permukaan luar kulit agak licin, permukaan
dalam agak berserabut, bagian kayu warna cokelat muda, atau krem berserabut, sebagian
besar terpisah.

4. Kandungan kimia dan manfaat tumbuhan

Moringa oleifera L. mengandung kombinasi senyawa yang unik yaitu isotiosianat dan
glukosinolat. Isotiosianat (ITC) merupakan zat yang terdapat dalam berbagai tanaman,
termasuk Moringa oleifera L., dan memiliki potensi sebagai agen kemopreventif. Secara in
vivo, isotiosianat telah menunjukkan aktivitas sebagai agen antikanker. Di alam isotiosianat
berada dalam bentuk benzil isotiosianat (BITC) [Gambar 2.A], phenetil isotiosianat
(PEITC) [Gambar 2.B], atau phenyl isotiosianat (PITC) [Gambar 2.C] (Bose, 2007).
Isotiosianat terlepas dari tanamannya melalui aksi enzim mirosinase setelah sel tanaman itu
rusak, seperti saat dipanen atau saat dikunyah (Zhang dkk., 2009). Atas dasar fakta-fakta
tersebut berbagai penelitian mengenai isotiosianat telah banyak dilakukan.

Gambar 2. [A] Struktur benzil isotiosianat [B] fenetil isotiosianat [C] fenil


isotiosianat (Bose, 2007)

5. Penelitian mekanisme antikanker

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme aksi isotiosianat adalah melalui


induksi enzim pemetabolisme fase 1 dan enzim pemetabolisme fase 2. (Hetch, 1999).

Efektifitas tanaman ini sebagai agen antikanker juga terbukti dari beberapa publikasi
penelitian yang menyatakan bahwa benzyl isothiosianat (BITC) secara in vitro mampu
menginduksi apoptosis terhadap sel kanker ovarium (Bose, 2007). BITC juga dapat
menginhibisi pertumbuhan sel kanker pankreas BxPC-3 secara signifikan dengan IC 50 8 μM
melalui fase G2/M cell cycle arrest serta induksi apoptosis (Srivastava dan Singh, 2004).
Bharali dkk melaporkan bahwa ekstrak etanolik dari Moringa oleifera L. berpotensi sebagai
agen kemoprefentif terhadap karsinogenesis yang disebabkan oleh bahan kimia. PEITC
mampu menginhibisi induksi kanker paru-paru oleh NNK melalui mekanisme pengurangan
pembentukan DNA adduct dan juga dapat menginduksi apoptosis (Sticha dkk., 2002).

Kulit

Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh yang melindungi bagian dalam tubuh dari
gangguan fisik maupun mekanik, gangguan panas atau dingin, dan gangguan bakteri,
kuman, jamur, atau virus. Kulit sangat rentan terkena infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Tangan merupakan media utama dalam penyebaran bakteri. Oleh karena itu, perlu adanya
suatu sediaan antiseptik tangan.

Penggunaan antiseptik tangan dapat mengendalikan infeksi global dan dapat


mengurangi kontaminasi bakteri pada tangan (Kampf dan Ostermeyer, 2004). Minyak atsiri
bunga lavender berpotensi sebagai antibakteri (Sokovic, 2007). Antiseptik yang berasal dari
minyak atsiri bunga lavender mempunyai potensi antibakteri sebagai pengganti alkohol,
karena selama ini banyak antiseptik tangan berbahan kimia alkohol yang dapat
menimbulkan rasa terbakar, iritasi, kulit kering, dan tidak dapat digunakan pada kulit luka
(Sweetman, 2002).

Antiseptik tangan (hand sanitizer) dalam bentuk sediaan gel sangat praktis digunakan.
Cara pemakaiannya adalah dengan diteteskan pada telapak tangan, kemudian diratakan pada
permukaan tangan tanpa dibilas dengan air (Sari dan Isadiartuti, 2006). Sediaan gel lebih
banyak digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah mengering, dan mudah dicuci. Bahan
pembentuk gel yang biasa digunakan adalah Carbopol 940, Na-CMC dan HPMC. Gelling
agent tersebut banyak digunakan dalam produk kosmetik dan obat karena memiliki
stabilitas dan kompaktibilitas yang tinggi, toksisitas yang rendah, serta mampu
meningkatkan waktu kontak dengan kulit sehingga meningkatkan efektivitas penggunaan
gel sebagai antibakteri (Edwards dan Johnsons, 1987).

Berdasarkan hal-hal di atas peneliti tertarik untuk membuat sediaan gel antiseptik tangan
mengandung minyak atsiri bunga lavender yang menimbulkan rasa nyaman pada kulit,
mengurangi resiko terjadinya iritasi, praktis, dan memiliki aktivitas antibakteri. Optimasi
formula, evaluasi stabilitas fisik sediaan, dan uji kesukaan dilakukan untuk menentukan
formula terbaik

B. Monografi Bahan

1. Carbopol 940

Sinonim : Acritamer; acrylic acid polymer; carboxy


polymethylene, polyacrylic acid; Pemulen; Ultrez.
Pemerian : Carbopol berwarna putih, halus, bersifat asam dan berupa
serbuk yang higroskopis dengan bau yang khas.
Kelarutan : Larut dalam air.

pH : pH = 2.7–3.5 untuk 0.5% b/v dispersi berair; pH = 2.5–3.0


untuk 1% b/v dispersi berair.

Titik lebur : Dekomposisi terjadi dalam waktu 30 menit pada suhu 2600
C.

Inkompatibilitas : Tidak kompatibel dengan fenol, polimer kationik, asam kuat


dan elektrolit level tinggi.
2. Propilenglikol

Sinonim : E1520, metil glikol, metil etilen glikol, dsb.

Pemerian : Tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau, cair,


dengan rasa manis, rasa sedikit pedas menyerupai
gliserin
Kelarutan : Larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan
air; larut pada 1 : 6 bagian eter; tidak larut dengan minyak
atau tetap minyak mineral ringan, tetapi akan larut beberapa
minyak esensial
Penggunaan : Sebagai humektan dengan kadar 1-15%
Rumus molekul : C3H8O2.
Berat molekul : 76,09 g/mol
Fungsi : Desinfektan, humektan, antimikroba, pelarut.
Konsentrasi : 15 % sebagai humektan pada sediaan topikal.

Stabilitas : Pada suhu dingin, propilen glikol stabil dalam wadah


tertutup baik, tetapi pada suhu tinggi, di tempatterbuka,
ia cenderung untuk mengoksidasi. Propilenglikol
secara kimiawi stabil bila dicampur dengan etanol
(95%), gliserin, atau air; larutan dapat disterilkan oleh
autoklaf. Propilen glikol higroskopisdan harus
disimpan dalam wadah tertutup denganbaik, dilindungi
dari cahaya, di tempat yang dingin dan kering.

Inkompabilitas : Propilen glikol bertentangan dengan


pengoksidasiseperti kalium permanganat (Rowe,
2009:624).

3. Natrium metabisulfit (Handbook of Pharmaceutical Excipients hal 451)

Pemerian : Tidak berwarna, berbentuk kristal prisma atau serbuk


kristal berwarna putih hingga putih kecoklatan yang
berbau sulfur dioksida dan asam.

Kelarutan : Agak mudah larut dalam etanol, mudah larut dalam


gliserin, dan sangat mudah larut dalam air.

Kegunaan : Antioksidan.

Konsentrasi : 0,01 – 1,0 %.

pH : 3,5 – 5,0.

Stabilitas : Teroksidasi secara perlahan dalam udara panas dan


lembab.

Penyimpanan : Simpan ditempat yang sejuk dan kering.

OTT : derivat alkohol, kloramfenikol, dan fenil merkuri


asetat.

4. Trietaolamin (TEA) (Hope 6th hal. 663)


Pemerian : Berwarna sampai kuning pucat, cairan kental.
Rumus Molekul : C6H15NO3
Kelarutan : Bercampur dengan aseton, dalam benzene 1 : 24, larut dalam
kloroform, bercampur dengan etanol.
Konsentrasi : 2-4%
Kegunaan : Zat pengemulsi
OTT : akan bereaksi dengan asam mineral menjadi bentuk garam
kristal dan ester dengan adanya asam lemak tinggi.
Stabilitas : TEA dapat berubah menjadi warna coklat dengan paparan udara
dan cahaya

5. Metil paraben (Rowe, 2009; FI IV, Hal : 551)


Sinonim : Metil Paraben, nipagin, Methyl-4-hydroxybenzoat
RM/BM : C8H8O3 / 152.15
Pemerian : Serbuk hablur putih, hampir tidak berbau, tidak
mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal.
Kelarutan : Larut dalam 500 bagian air, 20 bagian air mendidih, dalam 3,5
bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton P, mudah larut
dalam eter P.
Penyimpanan :Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan :Sebagai pengawet.
Stabilitas : Larutan metil paraben stabil pada pH 3 – 6, disterilisasikan oleh
otoklaf 120ºC selama 20 menit tanpa terjadi peruraian. Dalam bentuk
larutan stabil pada pH 3 – 6 (terurai kurang dari 10%) untuk
penyimpanan lebih dari 4 tahun.
OTT : Surfaktan anionik, bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragakan.

6. Aquadest (FI Edisi III Hal 96)


Sinonim : Aquadest, air suling.
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02.
Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa.
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap.
Kegunaan : Zat pelarut.
BAB III

ALAT BAHAN DAN METODE

A. Alat
1. Beaker glass
2. Viskometer Brookfield Tipe RV
3. Batang pengaduk
4. Homogenizer
5. pH meter
6. Timbangan analitik
7. Gelas ukur
8. Mortir dan Stemper
B. Bahan
1. Carbopol 940
2. Trietanolamin
3. Propilenglikol
4. Metil paraben
5. Natrium Metabisulfit
6. Kunyit 4 %
7. Sirih merah 0,3%
8. Lidah buaya 0,4 %
9. Daun pegagan
10. Aquadest
C. Formulasi

Formula Jumlah Fungsi Konsentrasi


Ekstrak Daun Kelor 5 gram Zat aktif/antifungi 5%
Carbopol 940 1,75 gram Gelling agent 1,75%
Propilenglikol 10 ml Humektan 10%
Natrium metabisulfit 0,4 gram Antioksida/pengawet 0,40%
Trietaolamin (TEA) 1,75 ml Zat pengemulsi 1,75%
Metil paraben 0,18 ml pengawet 0,18
Aquadest 100 gram Pembawa/pelarut Add 100 ml

Anda mungkin juga menyukai