Anda di halaman 1dari 3

Pemeriksaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Tiara Pramudita, 1906292231

Menurut World Health Organization (WHO), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
merupakan penyakit paru – paru yang ditandai dengan obstruksi aliran udara paru kronis yang
mengganggu pernapasan normal dan tidak dapat pulih sepenuhnya. Sedangkan, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia mengatakan bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.

Diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan untuk menetukan faktor
risiko seperti usia (biasanya usia pertengahan), adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok,
polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu – satunya
penyebab kausal yang paling penting, jauh lebih penting daripada faktor lainnya. Riwayat
merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau
bekas perokok. Selanjutnya memperhatikan gejala atau keluhan – keluhan respirasi dengan teliti
yang berkaitan dengan PPOK seperti batuk kronik, sesak napas dengan mengukur skala sesak,
mengi atau wheezing yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan, ronkhi atau bunyi
diskontinu singkat yang meletup – letup yang terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi.
Penderita PPOK juga akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan
sehari – hari, yaitu kelemahan otot perifer yang disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi
dan malnutrisi kronis.

Pada pemeriksaan fisik, secara umum ditemukan hal – hal berikut, seperti mulai dari
pemeriksaan inspeksi ditemukan berupa dada seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas
purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot bantu napas,
pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher
dan edema tungkai, serta penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada palpasi dada didapatkan
vocal fremitus melemah dan sela iga melebar terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema
dominan. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor akibat peningkatan jumlah udara
yang terperangkap, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke
bawah. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler
melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronkhi, dan mengi.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti uji faal paru dengan
spirometri dan bronkodilator (post-bronchodilator). Uji faal paru berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting
untuk memperlihatkan secara objektif adanya obstruksi saluran napas dalam berbagai tingkat.
Sedangkan, spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan
setelah inspirasi maksimal, atau disebut dengan Forced Vital Capacity (FVC). Spirometri juga
digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat
melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai
fungsi paru. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan bronkodilator
inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1.

Pemeriksaan penunjang selanjutnya adalah radiologi (foto thoraks PA dan lateral) untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lainnya. Pada penderita emfisema dominan
didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung atau penduler
(memanjang tipis vertical). Pada penderita bronkritis kronis dominan hasil foto thoraks dapat
menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat
disertai Sebagian bagian yang hiperlusen.

Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran Analisa Gas Darah (AGD) sangat penting dilakukan
apabila nilai FEV1 penderita menunjukkan nilai <40% dari nilai prediksi dan secara klinis
tampak tanda – tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan. Pada hipoksemia kronik,
Analisa Gas Darah (AGD) menunjukkan hipoksemia yang sedang sampai berat pada pemberian
O2 100%. Analisa Gas Darah (AGD) berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan
oksigenasi serta memantau keseimbangan asam basa. Pemeriksaan bakteriologi gram pada
sputum juga diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat.
Kemudian, pemeriksaan darah rutin juga berfungsi untuk mengetahui adanya faktor pencetus
seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, dan polisitemia pada hipoksemia kronik.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan elektrokardiogam (EKG) untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal.
Pemeriksaan lain yang jarang dilakukan antara lain yaitu uji latih kardiopulmoner, uji provokasi
bronkus, CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.

Dapat disimpulkan bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ini merupakan penyakit paru
kronik progresif yang artinya penyakit ini dapat berlangsung seumut hidup dan dapat semakin
memburuk secara lambat dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, pasien harus menghindari faktor
– faktor risiko penyakit tersebut serta segera mengikuti alur pemeriksaan oleh tenaga kesehatan
jika gejala yang dikeluhkan terkait dengan PPOK untuk menegakkan diagnosis yang tepat mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang sehingga penatalaksaan
pengobatan dan perawatan penyakit ini dapat berjalan dengan baik dan optimal.

Referensi
Bellamy, D., & Booker, R. (2011). Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Primary Care
(4th ed.). London: Class Publishing. Retrieved Oktober 8, 2020, from
https://books.google.co.id/books?
id=BAKizJs_Zc8C&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=
onepage&q&f=true

Lindayani, L. P., & Tedjamartono, T. D. (2017). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 7-12. Retrieved Oktober 8, 2020, from
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ea91ca43e8db520c8a1e16ebf600
f7e5.pdf

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru


Obstruktif Kronik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Retrieved
Oktober 8, 2020, from http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk10222008.pdf

World Health Organization. (n.d.). Chronic respiratory diseases. Retrieved Oktober 8, 2020,
from COPD : Definition: https://www.who.int/respiratory/copd/definition/en/

Anda mungkin juga menyukai