Anda di halaman 1dari 7

LEMBAR TUGAS MANDIRI

Nama : Kevin Fernando Suhardi


NPM : 1706029735
Kelas :

Pertanyaan
2. Bagaimana cara menghitung fraksi regurgitan dari regurgitasi mitral?
3. Bagaimana mencari penyebab desatutasi arteri? Metode apa saja yang dapat digunakan?
4. Bagaimanakah gambaran pressure tracing dari:
Jawaban
2. Untuk menghitung fraksi regurgitan (RF) dari regurgitasi mitral (RM), dapat dilakukan
ekokardiografi. Ada dua metode kuantifikasi dari fraksi regurgitan, yaitu dari stroke volume
(SV) dan pendekatan proximal isovelocity surface area (PISA).
Stroke volume
Pada metode pertama, RF pada MR didefinisikan dari rumus berikut :

RgV atau volume regurgitan merujuk pada selisih antara SV yang melalui katup mitral dan SV
katup aorta, sebagaimana yang didefinisikan dari rumus berikut. Alasan digunakan selisih kedua
katup karena pada kondisi tidak ada regurgitasi katup, nilai SV pada katup seharusnya sama
(mitral dan aorta), sehingga RgV =0. Pada MR, ada sejumlah volume darah yang berbalik ke
atrium kiri dari ventrikel kiri sebagai akibat dari katup tidak menutup secara sempurna. Hal ini
menyebabkan SV yang dikeluarkan dari LV lebih rendah daripada SV yang dikeluarkan dari LA.

Untuk menentukan SV tiap katup, perlu diketahui dua komponen terlebih dahulu, yaitu velocity
time integral (VTI) dan cross-sectional area (CSA). VTI adalah integral dari kecepatan aliran
pada katup yang diukur menggunakan pulsed-wave (PW) Doppler). Sedangkan, CSA adalah luas
permukaan katup. Nilai SV katup adalah perkalian dari VTI dan CSA. Contoh untuk menghitung
SV katup aorta menggunakan rumus SV = VTILVOT × AreaLVOT

Metode PISA
Pada metode ini digunakan komponen effective regurgitation orificie area (EROA) yang didapat
dari rumus berikut :

Komponen-komponen EROA (r,Va, Vmax MR) diperoleh sebagai berikut

Bagaimana nilai EROA berhubungan dengan RgF ? Pada MR, nilai EROA dianggap sama
dengan RgV/VTI. Dengan memperoleh nilai VTI dari continous-wave (CW) doppler, dapat
diperoleh nilai RgV. Setelah itu, nilai RgF diperoleh dengan membagi RgV dengan SV katup
mitral/

2.
Dalam mencari etiologi desaturasi arteri (SaO2 <95%), ada beberapa komponen yang perlu
diketahui FiO2, PAO2, PaO2, dan PCO2

Ada 5 etiologi desaturasi arteri, yaitu ketinggian, hipoventilasi, keterbatasa difusi (diffusion
limitation), shunt, dan ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Etiologi ketinggian dapat dieliminasi
terlebih dahulu jika sudah jelas atau menghitung FiO2. Nilai FiO2 akan berkurang seiring
kenaikan posisi dari permukaan air laut.
Untuk menentukan etiologi, pertama lakukan pemeriksaan gradien A-a. Gradien A-a
adalah selisih dari PAO2 dan PaO2. Nilai keduanya diperoleh dari metode yang disebutkan pada
tabel 1. Apabila A-a gradien normal (5-10 mmHg), desaturasi arteri kemungkinan disebabkan
oleh ketinggian atau hipoventilasi. Namun, apabila Gradien A-a mengalami kenaikan (>10
mmHg), etiologi kemungkinan adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, diffusion limitation,
dan shunt. Untuk membedakan ketiganya, amati respon pasien setelah diberikan terapi oksigen.
Apabila pasien tidak berespon pada terapi oksigen (hipoksemia tidak terkoreksi), maka etiologi
desatuasi arteri kemungkinan besar karena shunt.
Hipoventilasi
Hipoventilasi ditandai dengan kenaikan PACO2/PaCO2 (>45 mmHg). Hipoventilasi terjadi
ketika ventilasi untuk pengeluaran CO2 dan pengambilan oksigen pada alveolar menurun.
Hipoventilasi dapat disebabkan karena depresi pada pusat pernapasan, seperti penggunaan
barbiturat atau turunan morfin, penyakit batang otak, gangguan pada persarafan otot pernapasan,
gangguan tulang belakang. Pada pemeriksaan radiografi, dapat terlihat gamabran paru yang
normal.
Penilaian utama dari penyebab hipoventilasi adalah PACO2/PaCO2. Nilai PACO2 dan PCO2
relatif sama, sehingga sering ditulis PCO2. Untuk menghitung PCO2, dapat digunakan rumus
ventilasi alveolar sebagai berikut :

Kenaikan PCO2 sering diasosiasikan dengan asidosis. Apabila pH darah <7,35, maka pasien
didiagnosis mengalami respiratori asidosis.
Diffusion impairment & Ventilation-perfusion inequality
Sebagaimana kita ketahui, cara oksigen dan karbondioksida melewati sawar gas-darah adalah
melalui difusi pasif. Daya difusi dari suatu gas ditentukan oleh Hukum Fick, yaitu :

Dari komponen-komponen ini, kita bisa menarik beberapa kondisi yang memungkinkan
terjadinya diffusion impairment pada pasien desaturasi arteri. Diffusion impairment dapat
menurun apabila terjadi penurunan luas permukaan alveolus (A), solubilitias gas, dan gradien
tekanan A-a (delta P) atau peningkatan ketebalan membran (T). Penurunan luas permukaan
alveolus umumnya terjadi emfisema. Contoh kondisi yang menyebabkan kenaikan ketebalan
membran adalah interstitial lung disease dan edema paru.
Rasio ventilasi perfusi adalah rasio ventilasi alveolar terhadap aliran darah ke paru-paru (0,8).
Desaturasi arteri dapat terjadi apabila terjadi perubahan pada kedua komponen. Penurunan rasio
ventilasi perfusi (<0,8) menyebabkan pertukaran gas yang tidak adekuat, baik O2 dan CO2.
Contohnya pada bronkitis kronik, edema paru, dan asma. Pada ventilasi pefusi yang tinggi (>0,8)
terjadi sirkulasi darah yang tidak adekuat pada alveolus, seperti pada emboli paru.
3.
a. stenosis aorta

Pada pressure tracing pasien dengan stenosis aorta, akan terlihat gambaran parvus (reduction)
dan tardus (delay) dari upstroke tekanan aorta setelah terjadi perbukaan katup.
b. regurgitasi aorta

Akan terlihat peningkatan tekanan sistolik pada LV dan aorta sebagai akibat dari aliran balik
darah ke LV pada diastolik. Hal ini menyebabkan peningkatan end-diastolic volume yang
berujung pada peningkatan SV. Namun, terjadi penurunan tekanan diastolik pada aorta karena
sejumlah volume balik ke LV.
c. stenosis subaortik
Mirip dengan pressure tracing stenosis aorta , hanya saja tekanan sistolik di aorta tidak serendah
di stenosis aorta.
d. Hypertrophic Cardiomyopathy

Setelah terjadi pembukaan katup aorta, tekanan di aorta naik secara cepat dan memunculkan
gambaran “spike-and-dome” sebagai akibat dari obstruksi pada akhir sistol. Tekanan di LV
punya menunjukkan tardus minimal.

Referensi.
1. Roggli VL, Gibbs AR, Attanoos R, Churg A, Popper H, Cagle P, et al. Pathology of
asbetosis- an update of the diagnostic criteria. Arch Pathol Lab Med. 2010;134:462-80.
2. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia;2011.p.22-29

Anda mungkin juga menyukai