Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT REFERAT

Agustus, 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

SADDLE NOSE

Oleh :

RAHYUNI, S. KED.

Pembimbing :

dr. Hj. Hasnah Makmur, Sp. THT-KL

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan THT)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:

Nama : Rahyuni

Judul Refarat : Saddle Nose

Telah menyelesaikan refarat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2020

Pembimbing,

dr. Hj. Hasnah Makmur, Sp. THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah subhanu wa ta’ala

karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga refarat

dengan judul “Saddle Nose” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat

senantiasa tercurah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, sang

pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing, dr. Hj. Hasnah

Makmur, Sp. THT-KL, yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat

yang sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan

kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.

Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi

penyempurnaan referat ini.

Demikian, semoga refarat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan

penulis secara khususnya.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

2
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING......................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2

A. Anatomi ............................................................................................. 2

B. Hidung luar ........................................................................................ 3

C. Hidung dalam .................................................................................... 7

D. Vaskularisasi...................................................................................... 8

E. Innervasi............................................................................................. 10

F. Fisiologi Hidung………………………………………………………11

G. Definisi………………………………………………………………13

H. Epidemiologi………………………………………………………….15

I. Etiology…………………………………………………………… 17

J. Klasifikasi…………………………………………………………….19

K. Diagnosis……………………………………………………………..20

L. Komplikasi…………………………………………………………….22

3
BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 25

BAB I

4
PENDAHULUAN

Struktur anatomi hidung yang merupakan proyeksi wajah rentan terhadap

trauma. Pola anatomi hidung normal relatif dan tergantung pada biotipe manusia.

Hidung dibentuk oleh dua bagian: bagian mobil (kartilago) dan bagian yang tetap

(tulang). Secara fisiologi fungsi hidung adalah menghangatkan, membersihkan

dan melembabkan udara pernafasan. Jika terdapat deformitas pada dorsum nasi

seperti sadlle nose atau hidung pelana, skoliosis, deviasi septum atau anomali

kongenital akan menimbulkan kelainan fisiologi bahkan gangguan sistemik.

Saddle nose dapat disebabkan oleh trauma yang diikuti oleh abses septum, infeksi

seperti lepra, sifilis, tuberkulosis dan blastomikosis bahkan iatrogenik yang

biasanya dari operasi orbito nasofrontal.1

Trauma hidung dapat menimbulkan hematom septum karena robeknya

pembuluh darah yang berbatasan dengan tulang rawan septum sehingga darah

akan terkumpul pada ruang antara tulang rawan dengan mukoperikondrium.

Hematom septum dapat terinfeksi sehingga terbentuk abses septum yang akan

menyebabkan nekrosis tulang rawan septum dan digantikan oleh jaringan ikat.

Hilangnya penyangga pada dorsum nasi akan menimbulkan saddle nose. Kelainan

ini dapat diperbaiki dengan septorinoplasti, jika diperlukan dapat menggunakan

implan sebagai bahan penambal biomaterial untuk memperbaiki deformitas

hidung agar tampak normal.1

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi4,5

1. Hidung luar

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah:

1) Pangkal hidung (bridge)

2) batang hidung (dorsum nasi)

3) puncak hidung (tip)

4) ala nasi

5) Kolumela

6) lubang hidung (nares anterior).4,5

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:

1) tulang hidung (os nasal)

2) prosesus frontalis os maksila

3) prosesus nasalis os frontal.4,5

6
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri beberapa pasang tulang rawan

yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:

1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

kartilago alar mayor

3) tepi anterior kartilago septum.4,5

2. Hidung Dalam3

7
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut

nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di

belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit

yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang

disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding

medial, lateral, inferior, dan superior.3

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang

dan tulang rawan. Bagian tulang adalah:

1) lamina perpendikularis ps etmoid

2) vomer

3) krista nasalis os maksila dan

4) krista nasalis os palatine.

Bagian tulang rawan adalah:

1) kartilago septum (lamina kuadrangularis)

2) kolumela.3

8
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa

hidung.4

Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,

lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga

sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus

yaitu meatus inferior, medius, dan superior.4

Dinding inferior dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan lamina

horizontalis ossis palatini.5

Dinding superior dibentuk di sebelah anterior mulai dari bagian bawah

batang hidung oleh os nasale dan os frontale, di tengah oleh lamina cribrosa

ossis ethmoidalis, terletak di bawah fossa cranii anterior, dan di sebelah

posterior oleh bagian miring ke bawah corpus ossis sphenoidalis.5

B. VASKULARISASI (3,5)

9
Vaskularisasi cavun nasi berasal dari cabang-cabang arteri maxilaris, yang

merupakan salah satu cabang terminal arteri carotis externa. Cabang yang

terpenting adalah arteria sphenopalatina.

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior

dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
(3,5)

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.

maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor a. sfenopalatina

yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.3

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. facialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor,

yang disebut pleksus Kiesseelbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.3

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke vena opthalmica yang berhubungan dengan sinus cavernosus.

Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor

predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.3

10
Gambar 2 A-B. Vaskularisasi hidung5

C. INNERVASI (3,5,6)

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

nervus ethmoidalis yang merupakan cabang dari nervus nasociliaris yang

berasal dari nervus optalmicus (N.V-1).

11
Rongga hidung posterior, sebagian besar mendapat persarafan sensoris

dari n. maxilla melalui ganglion sfenopalatina. Nervus olfactorius yang berasal

dari membrana mucosa olfactorius berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os

ethmoidale menuiu ke bulbus olfactorius Saraf untuk sensasi umum merupakan

cabang-cabang nervus ophthalmicus (N.Vl) dan nervus maxillaris (N.V2) divisi

nervus trigeminus.(3,5)

Ganglion sfenopalatina juga memberikan persarafan vasomotor atau

otonom untuk mucosa hidung yang terletak di belakang dan sedikit di atas

ujung posterior konka media.5

Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu:6

a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).

Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3,

berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis

superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus

karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung

dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis

mayor membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis

pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion

sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina

mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis

secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem

vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.6

b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ).

12
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus

salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus

superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan

mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut

post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf

parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang

menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan

erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls

sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga

rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan

terganggu.6

Fungsi peghidu berasal dari n.olfaktorius yang turun melalui lamina

cribrosa dan permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada

sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas

hidung.3

13
Gambar 3 A-B. Inervasi hidung5

D. FISIOLOGI HIDUNG (3)

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:3

a. Fungsi Respirasi

Fungsi pernapasan adalah untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),

penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan

mekanisme imunologik lokal.3

14
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares

anterior, lalu naik ke atas setinggi concha media dan kemudian turun

kebawah ke arah nasofaring.3

Udara yang dihirup akan mengalami humadifikasi oleh palut lendir. Pada

musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit

penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, pada musim dingin akan terjadi

sebaliknya.3

b. Fungsi Penghidu3

Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara

untuk menampung stimulus penghidu.3

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya

mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, concha nasi superior dan

sepertiga bagian atas septum.3

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan

rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa

manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa

asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.3

c. Fungsi Fonetik

Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara

dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.3

15
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau

hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).3

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,

bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga

mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun menutup untuk

aliran udara.3

e. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.3

B. Definisi6

Saddle nose adalah deformitas pada hidung di mana terdapat depresi pada

permukaan dorsal hidung. Hal ini terjadi akibat trauma atau infeksi, Namun bisa

disebabkan dari kongenital anomali/beberapa penyakit spesifik contoh (Walenger

Granulomatosis, Lues,dll).6

C. Epidemiology

Fraktur nasal merupakan peringkat ke tiga dari seluruh insiden fraktur

setelah fraktur klavikula, dan pergelangan tangan, sekitar 39-45% dari seluruh

16
fraktur wajah. Laki-laki 2-3 kali lebih sering dibandingkan perempuan untuk

terkena fraktur nasal. Insiden tertinggi pada rentang usia 15-30 tahun3

D. Etiologi2

Penyebab tersering saddle nose atau hidung pelana adalah trauma.

Penyebab saddle nose sangat penting untuk diketahui karena deformitas yang

terjadi merupakan suatu proses yang progresif/fluktuatif yang memerlukan

penanganan medis. Penyebab iatrogenic dapat termasuk dalam kategori trauma

karena saddle dapat terjadi akibat trauma surgical.2

Kondisi umum pasien harus diperhatikan karena terdpat beberapa penyakit

sistemik yang dapat menyebabkan saddle nose. Penyebab sistemik saddle nose :

- Relapsing perichondritis

- Wegner’s disease

- Syphilis

- T-cell lymphoma (lethal midline granulomatous disease)

- Keganasan sinus paranasal

Penyakit sistemik dan keganasan adalah suatu proses destruksi yang menyebabkan

perforasi septum dan menyebabkan kehilangan support nasal bagian dorsal.

Penatalaksanaan pada saddle nose yang diakibatkan oleh penyakit sistemik dan

keganasan memerlukan penanganan medis terlebih dahulu sebelum dilakukan

operasi rekonstruktif.2

17
E. Klasifikasi4

Saddle nose dapat menyebabkan berbagai derajat sumbatan hidung.

Saddle nose diklasifikasikan atas dua yaitu anterior bila yang terlibat adalah

bagian kartilago dan posterior bila yang terkena bagian tulang.

Klasifikasi saddle nose berdasarkan defisit anatomi (gambar 3.1):4

Tipe 1: Depress dorsum nasi atau minor supratip dengan proyeksi sepertiga

bawah hidung normal.

Tipe 2 : Depress dorsum nasi (sedang-berat) dengan puncak sepertiga bawah

masih ada.

Tipe 3 : Depress dorsum nasi (sedang-berat) dengan hilangnya penunjang tip

dan hilangnya struktur sepertiga bawah.

Tipe 4 : Catastrophic ( berat) hilangnya dorsum nasi dan struktur bagian

bawah dan sepertiga atas.4

Gambar 3.1 (1) Normal. (2) Tipe 1. (3) Tipe 2. (4) Tipe 3. (5) Tipe 4

( Vartanian, 2010)

18
F. Diagnosis9

1. Inspeksi

Saddle nose muncul dengan bermacam-macam gejala karateristik yang

didasari dengan mekanisme pathogenesis.9

a. Frontal

Perubahan berikut dapat dilihat dari temuan yang tidak terlalu mencolok

atau dalam beberapa kombinasi: hidung tampak lebih mendatar. Hal ini

mungkin mencolok di daerah supuratif atau mengenai seluruh dorsum nasal.

Jika tulang hidung disposisi atau melebar, hipertelorisme dapat terjadi.

Seringkali hal ini diperkuat dengan rupturnya ligament palpebral medial.

Lipatan epicanthal timbul akibat adanya disproporsi antara kulit dan turunnya

ketinggian hidung. Terbukanya atap bagian hidung juga menkontribusi

terjadinya pelebaran pada bagian dorsum nasal. Munculnya “inverted V” juga

merupakan tanda rupturnya sambungan antara kartilago dan tulang pndukung

hidung.9

b. Lateral

Dorsum nasal mengalami depresi. Tip hidung biasanya terotasi keatas atau

terkadang ke bawah. Dan dapat menyebabkan hilangnya proyeksi hidung. Jika

margi kartilago septum anterior hilang, makan kolumela tertarik cephalad

(hidden columella) dengan deformasi alar-columella complex. kolumela

memendek dan bibir atas akan terlihat memanjang.9

19
c. Basal

Basis hidung dan lubang hidung akan tampak lebih mendatar. Lubang

hidung membentuk garis yang lebih horizontal dan lebih oval atau bulat.

Kolumela lebih turun dan sudut antara septum dan kartilago aral lateral lebih

tumpul.9

2. Palpasi

Informasi yang penting dapat digali dengan palpasi eksternal dan internal

pada pasien dengan saddle nose.9

a. Eksternal Palpasi

Pada palpasi dapat ditemukan perbedaan dan rusaknya tulang pendukung

beserta kartilagonya, dan ditemukannya atap hidung yang lebih terbuka.

Sering ditemukan perbedaan yang tajam yang dihasilkan dari dari disposis

fragmen tulang hidung. Pemilihan teknik operasi ditentukan dari hasil dari

palpasi sambungan antara tip nasal dengan sudut anterior septum.9

b. Internal Palpasi

Palpasi internal hidung dapat memberikan informasi tentang septum

anterior, margin anteriornya, dan adanya fraktur cartilago atau defek dari

septum anterior.9

3. Nasal Endoscopy

Kavum nasi tampak lebih sempit, terlihat hiperplasi konka inferior, dan

terjadi fenomena ballooning pada kartilago lateral bagian atas. Pada endoskopi

ini dapat dilihat cartilaginous defect (soft septum). Granulasi dan perforasi

dapat di evaluasi dan membantu dalam pengambilan biospi. Informasi tentang

20
banyaknya kartilago yang masih utuh sama pentingnya dengan besarnya

ukuran perforasi pada septum tersebut.9

4. Laboratorium9

Pasien dengan saddle nose bisa dinilai dengan hitung darah sederhana dan

koagulasi dasar (Quick prothrobin time [PT], partial thromboplastin time [PTT],

platelets). Hitung darah lengkap biasanya jarang dilakukan kecuali dengan

pendarahan hidung hebat yang membutuhkan transfusi segera. Untuk menilai

inflamasi akut pada pasien dengan perforasi septum dan inflamasi granula

dilakukan pemerikasaan interleukin. Jika dicurigai mempunyai penyakit autoimun

seperti Wegener granulamatosis, perlu dilakukan foto thoraks ataupun CT

thoraks.9

E. Penatalaksanaan4

Beberapa cara yang umum dilakukan untuk mengkoreksi saddle nose

adalah:

a. Operasi septal : pada prosedur ini, struktur septal direkayasa untuk

mengkoreksi garis sepanjang hidung yang mengalami kerusakan.

b. Cangkok kulit/ tulang rusuk : pada prosedur ini, saddle nose dikoreksi dengan

menggunakan tulang rawan atau tulang rusuk pasien sendiri untuk dijadikan

batang hidung.

c. Rinoplasti : dapat memperbaiki septum nasal .

d. Bedah konka inferior : merupakan suatu operasi dimana konnka inferior

pasien dipotong dengan gunting dan meninggalkan periosteum secara utuh.

21
e. Silicon Droplet Method : metode mikrodroplet menggunakan silicon untuk

mengkoreksi cacat hidung. Tetapi metode ini dapat menyebabkan reaksi

fibroblastic yang kemungkinan membutuhkan waktu berbulan-bulan karena

kemungkinan area tersebut menjadi infeksi, kematian jaringan kulit,

pembentukan granuloma dan thrombosis vena kecil.4

f. KOMPLIKASI8

Deformitas dan gangguan fungsi hidung akibat abses septum nasi dapat

dibedakan dalam tiga proses di bawah ini. 1.Hilangnya sanggahan mekanik

dari kartilago piramid dan lobul 2.Retraksi dan atrofi jaringan ikat 3.Gangguan

pertumbuhan hidung dan muka bagian tengah. Selain kosmetik, abses septum

nasi dapat juga menimbulkan komplikasi yang berat dan berbahaya bila

terjadi penjalaran infeksi ke intrakranial berupa meningitis,abses otak dan

empiema subaraknoid.8

Penjalaran ke intrakranial dapat melalui berbagai jalan. Pertama melalui

pembuluh-pembuluh vena dari segitiga berbahaya, yaitu daerah di dalam garis

segitiga dari glabela ke kedua sudut mulut. Vena-vena tersebut melalui vena

angularis, vena oftalmika, vena etmoidalis, yang akan bermuara di sinus

kavernosus.8

Kedua, infeksi masuk melalui mukosa hidung kemudian melalui pembuluh

limfe atau pembuluh darah bermuara di sinus longitudinal dorsalis dan sinus

lateralis. Ketiga, melalui saluran limfe dari meatus superior melalui lamina

kribriformis dan lamina perpendikularis os etmoid yang bermuara ke ruang

subaraknoid. Keempat, invasi langsung dapat terjadi pada saat operasi, erosi

22
lokal diduga dapat juga merupakan jalan atau kebetulan ada kelainan

kongenital. Kelima, selubung perineural diduga dapat juga merupakan

jalannya penjalaran infeksi, dalam hal ini selubung olfaktorius yang menuju

intrakranial melalui lamina kribriformis.Penjalaran infeksi ke organ-organ di

sekitar hidung dapat juga melalui saluran limfe dan selubung saraf olfaktorius

sehingga terjadi infeksi ke orbita dan sinus paranasal8

Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan destruksi tulang rawan dan

tulang hidung sehingga terjadi deformitas yang berupa hidung pelana,retraksi

kolumella,dan pelebaran dasar hidung. Nekrosis pada setiap komponen

septum nasi dapat menyebabkan terjadinya perforasi septum nasi.8

23
KESIMPULAN1

Gangguan pada dinding pendukung septum mengakibatkan depresi dan

pelebaran kubah, retrusi kolumellar, dan pemendekkan hidung yang menjadi ciri

khas deformitas saddle nose. Selama bertahun-tahun, kemajuan dalam

pemahaman mekanisme hidung dan teknik okulasi autologous telah

memungkinkan adanya dan dilakukannya evaluasi sistematis dan rekonstruksi

deformitas tersebut. Prinsip utama rekonstruksi adalah pembentukkan kembali

dinding pendukung septum melalui perbaikan defek septum atau melalui

pembentukkan kolom dan balok konstruksi. Kartilago lateral yang sudah ada dan

kartilago yang baru, pelindung, dan cangkok tip kemudian dapat dilekatkan pada

struktur pendukung yang stabil tersebut untuk menyusun kembali kubah dan

nasal tip, menghasilkan estetika hidung yang diinginkan.1

24
DAFTAR PUSTAKA

1. M. Durbec, F. Distant. 2014. Saddle Nose : Classification and theraupetic

management. European Annals of Otorhinolaryngology, Head and Neck

Diseases (2014) 131,99-106

2. Ballenger, J.J. 2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal

Sinuses. In : Snow, J.B. and Ballenger, J.J., editors. Otorhinolaryngology

Head and Neck Surgery.

16th.Ed. Spanyol: BC Decker Inc. p. 547-55.

3. Soepardi Arsyad, et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6. FKUI: Jakarta. Hal 104-105

4. Munilson, J. Effy H., Sri M. 2014. Augmentasi Silikon Pada Hidung

Pelana. Jurnal. Fakultas kedokteran Universitas Andalas, Padang. 3(3):

543-48.

5. Kirschner G Celeste. Netter’s atlas of human anatomy. Head and neck

chapter. Page 37-38. Netter images.

6. Trimartani, Sawitra D. 2000. Septorinoplasti: penanganan komplikasi

abses septum akibat trauma. Jurnal. Otorhinolaryngologica Indonesiana.

30(3): 21-8.

7. Walsh, W.E. dan Kern, R.C. 2006. Sinonasal Anatomy, Function and

Evaluation. In : Bailey B.J, and Johnson, J.T., editors. Head & Neck

25
Surgery- Otolaryngology. 4th Ed. Vol.1 Philadephia: Lippincott Williams

& Wilkins. p. 307-18.

8. Krouse, J.H. dan Stachler, R.J. 2006. Anatomy and Physiology of the

Paranasal Sinuses. In: Brook, I., editor. Sinusitis from Microbiology to

Management. New York: Taylor & Francis Group. p. 95-108.

9. Pribitkin E A, dan Ezzat W H. 2009. Classification and Treatment of the

Saddle Nose Deformity. Elsevire. Diakses melalui

http://www.researchgate.net/publication/26257527_Classification_and_Tr

eatment_of_the_Saddle_Nose_Deformity

10. Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy. Edisi 25. Jakarta: EGC

26

Anda mungkin juga menyukai