Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya, seperti
yang berkaitan dengan konteks amal ibadah pokok seperti shalat, selain itu islam
juga mengatur hubungan sosial kemasyarakatan maupun dalam hal
pendistribusian kesejahteraan (kekayaan) dengan cara menafkahkan harta yang
dimiliki demi kesejahteraan umum seperti adanya perintah zakat, infaq, shadaqah,
qurban, hibah dan wakaf.
Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam yang
beberapa diantaranya telah mengenal wakaf dengan baik . Potensi wakaf sebagai
salah satu sumber dana publik mendapat perhatian cukup dari masyarakat. Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya bermunculan lembaga-lembaga amal yang
salah satu peranannya adalah mengelola dana umat, dalam hal ini termasuk
wakaf. Dengan adanya pengelolaan wakaf dari lembaga lembaga amal diharapkan
wakaf dapat memajukan kesejahteraan umum.
Pada umumnya wakaf diartikan dengan memberikan harta secara sukarela
untuk digunakan bagi kepentingan umum dan memberikan manfaat bagi orang
banyak seperti untuk masjid, mushola, sekolah, dan lain-lain. Dengan seiring
berjalannya waktu wakaf nantinya tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan
sosial tetapi juga memiliki kekuatan ekonomiyang berpotensi antara lain untuk
memajukan kesejahteraan umum, sehingga perludikembangkan pemanfaatannya
sesuai dengan prinsip syariah.
Saat ini definisi wakaf lebih mudah dipahami, yaitu wakaf diartikan
sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Lalu pengertian harta benda wakaf sendiri
juga mengalami perubahanmaksud yang lebih mudah, yaitubahwa harta benda
wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif, yang memiliki daya tahan
lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut
syariah. Harta benda wakaf tersebut dapat berupa harta benda tidak bergerak
maupun yang bergerak.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka penulis
merumuskan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini, yakni sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah dan pengertian wakaf?
2. Apa sajakah jenis-jenis wakaf?
3. Apa sasaran dan tujuan wakaf?
4. Bagaimana dasar-dasar syariah?
5. Apa saja dalil-dalil tentang wakaf?
6. Apa saja ketentuan bagi pengelola wakaf?
7. Bagaimana akuntansi lembaga wakaf?
8. Apa sajakah permasalahan dalam praktik perwakafan?

1.3 Tujuan
Beberapa tujuan yang akan dicapai dari pemaparan penulis dalam makalah ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sejarah dan pengertian wakaf
2. Mengetahui jenis-jenis wakaf
3. Mengetahui sasaran dan tujuan wakaf
4. Mengetahuidasar-dasar syariah
5. Mengetahui ketentuan bagi pengelola wakaf
6. Mengetahui akuntansi lembaga wakaf
7. Mengetahui permasalahan dalam praktik perwakafan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan Pengertian Wakaf


A. Sejarah Wakaf
Esensi wakaf pada dasarnya telah dilakukan oleh umat- umat terdahulu,
termasuk dikalangan nonmuslim. Hanya saja apa yang dilakukan oleh umat
terdahulu tersebut bukan untuk mendapat keridaan Allah melainkan
persembahan untuk kepercayaan mereka. Kondisi ini menjadi penyebab ulama
besar seperti Imam Syafi’I menyatakan bahwa tidak ada wakaf sebelum umat
islam. Sejarah wakaf dibagi dalam dua kelompok yaitu : masa Rasulullah dan
para sahabat, dan masa dinasti-dinasti Islam. 1
1. Masa Rasulullah dan para sahabat
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang siapa yang melakukan wakaf
pertama kali, sebagian mengatakan bahwa wakaf dilakukan oleh
Rasulullah atas pembangunan masjid, dan sebagian lagi mengatakan
dilakukan oleh sahabat Umar atas tanahnya di Khaibar. Rasulullah pernah
mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah, selanjutnya disusul oleh para
sahabat lainnya, seperti : Abu Thalhah yang mewakafkan kebunnya, Abu
Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah, Utsman bin Affan
menyedekahkan hartanya di Khaibar, Ali Bin Abi Thalib mewakafkan
tanahnya yang subur, Muadz bin Jabal mewakafkan rumahnya. Kemudian
pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar,
Zubair bin Awwan dan ‘Aisyah istri Rasulullah SAW.

1
Rohmah Suryaningsih,”makalah wakaf, ekonomi syariah”, diakses dari
http://fullindo.blogspot.com/2015/04/makalah-wakaf-ekonomi-syariah.html , pada tanggal
15 September 2018 pukul 22.00.
2. Masa dinasti-dinasti Islam
Pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, pelaksanaan wakaf menjadi
lebih luas lagi, yaitu untuk turut membangun solidaritas umat dan
ekonomi masyarakat.Pada dinasti Abbasiyah, pengelolaan wakaf baik
secara administrasi dan independen dilakukan oleh lembaga disebut
dengan”shadr al-wuquf”.Pada masa Ayyubiyah, terjadi lompatan besar
dalam berwakaf. Dinasti utsmani, yang menguasai sebagian besar wilayah
Negara Arab, menerapkan syariah islam dengan lebih mudah termasuk
mengatur tentang wakaf yang mulai diberlakukan pada tanggal 19 Jumadil
Akhir tahun 1280 H (1859 M). Selanjutnya tahun 1287 H (1866 M)
dikeluarkan Undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan dan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsman dan tanah produktif yang berstatus
wakaf.Dari implementasi undang-undang tersebut di Negara-negara Arab
masih banyak tanh yang berstatus wakaf dan dipraktikan sampai sekarang.

B. Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa arab “waqafa” berarti menahan atau berhenti
atau diam di tempat atau tetap berdiri. Secara syariah, wakaf berarti menahan
harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Perbedaan pandangan
tentang terminology wakaf adalah sebagai berikut :
1. Mazhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si
wakif/pewakaf dan mempergunakan manfaatnya untuk kebijakan.
2. Mazhab Maliki
Wakaf adalah menahan benda milik pewakaf(dari penggunaan secara
kepemilikan termasuk upah), tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya
untuk tujuan kebaikan yaitu pemberian manfaat benda secara wajar.
3. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Wakaf adalah menahan harta pewakaf untuk bisa dimanfaatkan di segala
bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
4. Pendapat Lain
Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi
kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik
mauquf’alaih/penerima wakaf, meskipun ia tidak berhak melakukan suatu
tindakan atas benda tersebut, baik menjual/ menghibahkannya.

PERBEDAAN WAKAF DENGAN SHADAQAH/HIBAH

Wakaf Infak/shadaqah/hibah
Menyerahkan kepemilikan suatu Menyerahkan kepemilikan suatu
barang kepada orang lain barang kepada pihak lain
Hak milik atas barang dikembalikan Hak milik atas barang diberikan
kepada Allah kepada penerima shadaqah/hibah
Objek wakaf tidak boleh diberikan Objek shadaqah.hibah boleh
atau dijual kepada pihak lain diberikan atau dijual kepada pihak
lain
Manfaat barang biasanya dinikmati Manfaat barang dinikmati oleh
untuk kepentingan social penerima shadaqah/hibah
Objek wakaf biasanya kekal zatnya Objek shadaqah/hibah tidak harus
kekal zatnya
Pengelolaan objek wakaf diserhakan Pengelolaan obejek shadaqah/hibah
kepada administratur yang disebut diserahkan kepada si penerima
nadzir/mutawali

2.2 Jenis-Jenis Wakaf


A. Berdasarkan Peruntukannya
1. Wakaf ahli (Wakaf Dzurri) atau disebut juga wakaf ‘alal aulad, yaitu
wakaf yang dipeuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam
lingkungan keluarga, dan lingkungan kerabat sendiri. Wakaf ahli (dzurri)
ini adalah suatu hal yang baik karena pewakaf akan mendapat dua
kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga dari
silaturrahmi terhadap keluarga. Akan tetapi, wakaf ahli ini sering
menimbulkan masalah, akibat terbatasnya pihak-pihak yang dapat
mengambil manfaat darinya.
2. Wakaf Khairi (kebajikan) adalah wakaf yang secara tegas untuk
kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).
Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,
sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain
sebagainya. Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan
dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang dapat
mengambil manfaat darinya.Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya
paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. 2

B. Berdasarkan Jenis Harta


Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dilihat dari jenis
harta yang diwakafkan, wakaf terdiri atas :
1. Benda tidak bergerak, yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi:
- Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
- Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
- Tanaman dan benda bagian lain yang berkaitan dengan tanah
- Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
- Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah dan
peraturan perundang-undangan

2
Kank Arie, “Makalah Wakaf”, diakses dari
https://kankarie1234.blogspot.com/2017/02/makalah-wakaf.html , pada tanggal 15
September 2018 pukul 22.00.
2. Benda bergerak selain uang, terdiri atas :
- Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang.
- Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan
dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.
- Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat
diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya
berkelanjutan.
- Benda bergera karena sifatnya yang dapat diwakafkan (kapal, pesawat
terbang, kendaraan bermotor, mesin, logam dan batu mulia).
- Benda bergerakselain uang karena peraturan perundang-undangan
yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah (surat berharga, hak atas kekayaan intelektual, hak atas benda
bergerak lainnya).

3. Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai, cash waqf) yang merupakan
inovasi dalam keuangan publik Islam (Islamic society finance), karena
jarang ditemukan pada fikih klasik. Berdasarkan beberapa dalil dan
pendapat para ulama maka MUI melalui komisi fatwa mengeluarkan
tentang wakaf uang yang intinya berisi sebagai berikut :
Wakaf uang (cash wakaf/waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan
oleh seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai;
- Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga;
- Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh);
- Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibolehkan secara syar’i;
- Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
C. Berdasarkan Waktu
1. Muabbad, yaitu wakaf yang diberikan untuk selamanya.
2. Mu’aqqot, yaitu wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.

D. Berdasarkan Penggunaan Harta yang Diwakafkan


1. Mubayir/dzati yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat
dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit.
2. Istitsmary, yaitu harta wakaf yang ditunjukan untuk penanaman modal
dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’
dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan
pewakaf.

2.3 Sasaran dan tujuan wakaf


Secara umum, tujuan wakaf adalah untuk kemaslahatan manusia, dengan
mendekatkan diri kepada Allah, serta memperoleh pahala dari pemanfaatan harta
yang diwakafkan yang akan terus mengalir walaupun pewakaf sudah meninggal
dunia. Selain itu wakaf memiliki fungsi sosial, karena sasaran wakaf bukan
sekedar untuk fakir miskin tetapi juga untuk kepentingan publik dan masyarakat
luas. Wakaf memiliki sasaran khusus, yaitu :
1. Semangat keagamaan
Sasaran wakaf ini berperan sebagai saran untuk mewujudkan sesuatu yang
diniatkan oleh seorang pewakaf. Dengan wakaf, pewakaf berniat untuk
mendapatkan rida Allah dan kesinambungan pahala yaitu selama harta yang
diwakafkan memberi manfaat sekalipun ia telah meninggal dunia.
2. Semangat sosial
Sasaran ini diarahkan pada aktivitas kebajikan, didasarkan pada kesadaran
manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat.Sehingga, wakaf
yang dikluarkan merupakan bukti partisipasi dalam pembangunan masyarakat.
3. Motivasi keluarga
Motivasi ini ingin menjadikan wakaf sebagai saran untuk mewujudkan rasa
tanggung jawab kepada keluarga, terutama sebagai jaminan hidup di masa
depan. Namun wakaf tidak dapat diperuntukkan untuk diri pewakaf sendiri
ataupun pada janin yang masih dalam kandungan.
4. Dorongan kondisional
Terjadi jika ada seseorang yang ditinggalkan keluarganya, sehingga tidak ada
yang akan menanggungnya. Atau, seorang perantau yang jauh meninggalkan
kluarganya.Dengan wakaf, pewakaf bisa menyalurkan hartanya untuk
menyantuni orang-orang tersebut.
5. Dorongan naluri
Naluri manusia memang tidak ingin lepas dari kepemilikannya.Setiap orang
cenderung ingin menjaga peninggalan harta orang tua atau kakeknya dari
kehancuran atau kemusnahan. Dengan wakaf, maka dia akan terdorong untuk
membatasi pembelanjaan. Dengan berniat wakaf kepada seseorang atau
lembaga tertentu, dia bisa menyalurkan hartanya dengan baik, tidak kuatir
terjadi, pemborosan atau kepunahan kekayaan.3

2.4 Dasar-dasar syariah


A. Sumber Hukum
Perintah untuk melakukan wakaf serta sumber hukum mengenai wakaf
terdapat pada :
1. Al Qur’an
2. As Sunnah4

3
Emas Kuwinggo, “Makalah Tentang Wakaf”, diakses dari
https://emaskuwinggo.blogspot.com/2016/08/makalah-tentang-wakaf.html , Pada Tanggal
15 September 2018 pukul 22.10.
4
Mohamad Ali Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta:Universitas
Indonesia,1988),hlm121-124
Dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi, disimpulkan bahwa Allah
dan Nabi Muhammad SAW menganjurkan manusia utnuk memberikan wakaf
untuk kemaslahatan umat manusia dan pahalanya akan tetap mengalir pada
pewakaf, sekalipun ia telah meninggal dunia, selama harta yang diwakafkan
masih memberikan manfaat. 5

B. Rukun dan Ketentuan Syariah


Rukun wakaf ada 4 (empat) (Depag, 2006), yaitu:
1. Pelaku terdiri atas orang yang menakafkan harta (wakil/pewakaf). Namun,
ada pihak yang memiliki peranan penting walaupun di luar rukun wakaf
yaitu pihak yang diberi wakaf/diamanahkan untuk mengelola wakaf yang
disebut nazhir
2. Barang atau harta yang diwakafkan (mauquf bih)
3. Peruntukan wakaf (mauquf’alaih)
4. Shighat (pernyataan atau ikrar sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
sebagian harta bendanya termasuk penetapan jangka waktu dan
peruntukan).

C. Pewakaf
Kriteria pewakaf :
1. Merdeka
2. Berakal sehat
3. Dewasa (baligh)
4. Tidak berada di bawah pengampuan

5
Rohmah Suryaningsih,”makalah wakaf, ekonomi syariah”, diakses dari
http://fullindo.blogspot.com/2015/04/makalah-wakaf-ekonomi-syariah.html , pada tanggal
15 September 2018 pukul 22.00.
Ada kalanya seseorang mewakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak
langsung terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan keberadaan orang
lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan degan masalah ini:

1. Orang yang mempunyai utang, maka wakafnya ada 3 macam:

a. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan


seluruh atau sebagian hartanya, sedang utangnya meliputi seluruh
harta yang dimiliki, hukum wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya
tergantung pada kerelaan para kreditornya.
b. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan
seluruh atau sebagian hartanya ketika sedang menderita sakit parah,
maka wakafnya sah. Akan tetapi pelaksanaannya bergantung pada
kerelaan para kreditor.
c. Jika dia tidak di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan
seluruh atau sebgaian hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka
wakafnya sah dan dapat dilaksanakan, baik utangnya meliputi seluruh
harta yang dimiliki atau hanya sebagian saja.

2. Apabila pewakaf mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, dan


ketika mewakafkan harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan
perbuatan baik (tabarru’), maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan
selama dia masih hidup. Hal ini karena penyakitnya tidak bisa dipastikan
sebagai penyakit kematian. Jika kemudian pewakaf meninggal, maka
hukum wakafnya sebagai berikut:
a. Jika dia meninggal sebagai debitor, maka hukum wakafnya seperti
yang telah diuraikan dalam butir (1) di atas
b. Jika dia meninggal tidak sebagai debitor, maka hukum wakaf yang
terjadi ketika dia sedang sakit keras seperti wasiat. Yaitu jika yang
diberi wakaf bukan ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak
lebih dari 1/3 hartanya, maka wakaf terlaksana hanya sebatas 1/3
hartanya saja, jika harta yang diwakafkan lebih dari 1/3, maka
kelebihan dari 1/3 tersebut bergantung pada kerelaan ahli waris
sebagai pemilik harta tersebut.

Syarat seorang Nazhir atau pengelola wakaf :

1. Muslim
2. Berakal
3. Dewasa
4. Adil
5. Cakap hukum

D. Mauquf Bih (Harta yang Diwakafkan)


Dalam UU No.41/2004 dinyatakan tidak ada pembatasan dalam jumlah harta
yang di wakafkan. Namun terkait dengan hukum wasiat, maka sangat relevan
bahwa pembatasan wakaf adalah 1/3 dari jumlah harta yang dimiliki.
Tujuannya adalah untuk kesejahteraan anggota keluarga pewakaf.
Sebagaimana hadist nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, seseorang diharamkan memberikan wakaf yang merugikan
ahli waris.Barang yang diwakafkan harus memenuhi kriteria harta benda yang
bernilai (mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum) dan milik sempurna (tidak
dalam keadaan khiyar).
Syarat sahnya harta wakaf, adalah :
1. Harta yang diwakafkan harus merupakan harta yang bernilai (mal
mutaqowwam). Mutaqowwam adalah segala sesuatu yang dapat disimpan
dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan
darurat) dan memiliki nilai (harga). Contoh barang yang tidak
mutaqowwam yaitu buku-buku anti Islam, peternakan babi, dan lain
sebagainya.
2. Harta yang akan diwakafkan harus jelas sehingga tidak akan menimbulkan
persengketaan.
3. Milik pewakaf secara penuh. Contoh : X mewasiatkan pemberian rumah
kepada Y. Kemudian Y mewakafkannya kepada Z, sementara X masih
hidup. Wakaf ini tidak syah karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah
setelah yang berwasiat wafat. Contoh lain mewakafkan barang gadai,
barang curian, dsb.
4. Harta tersebut bukan milik bersama (musya’) dan terpisah. Para ulama
sepakat bahwa harta wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur,
khususnya untuk masjid dan kuburan karena wakaf tidak terlaksana
kecuali harta itu terpisah dan bebas (independen). Contoh : A mewakafkan
sebagian dari harta bersama untuk dijadikan masjid atau pemakaman maka
ini tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali apabila bagian
yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan ditetapkan batas-batasnya.
5. Syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf terkait harta wakaf. Syarat yang
ditetapkan pewakaf dapat diterima asalkan tidak melanggar prinsip dan
hukum syariah/wakaf ataupun menghambat pemanfaatan barang yang
diwakafkan.

E. Syarat Mauquf’alaih
Yang dimaksud mauquf’alaih adalah tujuan/peruntukkan wakaf.Wakaf harus
dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat Islam.
Ada perbedaan pendapat dari para ahli fikih terkait dengan syarat peruntukkan
wakaf yaitu :
1. Mazhab Hanafi, menyaratkan agar peruntukkan wakaf ditujukan untuk
ibadah dan syiar Islam menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan
pewakaf.
2. Mazhab Maliki, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf untuk ibadat
menurut pandangan pewakaf.
3. Mazhab Syafi’i dan Hambali, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf
adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan
pewakaf.

Imam Syafi’i membagi tempat penyaluran wakaf menjadi 2 bagian, yaitu :


1. Kepada orang-orang tertentu (satu orang atau jamaah tertentu), seperti
wakaf kepada muslim dan wakaf kepada nonmuslim tertentu-kepada kafir
dzimmi dari muslim-adalah sah, sebagaimana Syafiyah binti Huyyai istri
nabi SAW telah mewakafkan kepada saudaranya yang yahudi. Sedangkan
wakaf kepada kafir harbi dan orang murtad dari muslim tidak sah
hukumnya.
2. Kepada pihak yang tidak tertentu , tujuan wakaf ini untuk memberikan
wakaf kepada pihak yang menderita kefakiran dan kemiskinan secara
umum atau untuk Syiar Islam dengan tujuan ibadah adalah sah. Seperti
wakaf kepada fakir miskin, mujahid, masjid, sekolah, pengurusan jenazah,
tempat penampungan anak yatim piatu dan jihad.

F. Syarat Shighat (Ikrar Wakaf)


Pengertian shighat adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang
berwakaf untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang
diinginkannya. Namun, shighat wakaf cukup dengan pernyataan/ikrar ijab
atau penyerahan dari pewakaf tanpa memerlukan qabul dari penerima wakaf.
Pernyataan dalam bentuk ijab/penyerahan harus dilakukan karena wakaf
adalah melepaskan hak milik atas suatu benda dan manfaatnya atau dari
manfaatnya saja, dan mengalihkannya kepada pihak lain. Ijab pewakaf
mengungkapkan dengan jelas keinginan /peruntukkan wakaf dari pewakaf.
Adapun lafal shighat wakaf ada dua macam, yaitu :
1. Lafal yang jelas (sharih), dalam lafal ini, tidak ada kata yang mengandung
suatu pengertian lain kecuali wakaf. Ada tiga jenis wakaf yang termasuk
dalam kelompok ini yaitu : 1. Al waqf (wakaf); 2. Al-habs (menahan); 3.
Al-asbil (berderma). Ibnu Qodamah berkata,”lafal-lafal yang sharih (jelas)
yaitu : waqaftu (saya mewakafkan), habistu (saya menahan harta ), dan
sabbaltu (saya mendermakan).
2. Lafal kiasan (kinayah), lafal kinayah merupakan lafal yang menunjukkan
beberapa kemungkinan makna, bisa berarti wakaf bisa juga bermakna lain.
Lafal sedekah atau nazar adalah lafal kiasan jika tidak disertai dengan
indikasi yang mengisyaratkan makna wakaf. Menurut Ibnu Qodimah ,
lafal-lafal kiasan semisal ,”saya bersedekah” atau “saya abadikan”.

Syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan ialah :
1. Shighat harus munajah (terjadi seketika/selesai). Maksudnya ialah shighat
menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah shighat ijab
diucapkan atau ditulis. Shighat harus singkat dan tidak bertele-tele, jelas,
dan tegas.
2. Shighat tidak diikuti syarat batil (palsu). Maksudnya ialah syarat yang
menodai dasar atau meniadakan hukum wakaf.
3. Shighat tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali
wakaf yang sudah dilakukan. Tidak ada syarat yang mengikat, yang bisa
mempengaruhi hakikat wakaf dan bertentangan dengan ketentuan wakaf.

Apabila dihasilkan keuntungan dari pendayagunaan harta wakaf maka


hasilnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkan awal ketika pewakafan itu
terjadi.6

6
Abdurrohman Kasdi,Fikih Wakaf(Yogyakarta:Idea Press,2017),hlm.49-70
2.5 Dalil-Dalil Tentang Wakaf
Ada beberapa dalil yang membahas tentang disyariatkannya wakaf, baik dari al-
Qur’an, sunnah, maupun ijma.
A. Dalil al-Qur’an
Allah berfirman :
ْ Uُ‫ُّون َو َما تُنفِق‬
‫إِ َّن ٱهَّلل َ بِ ِهۦ‬Uَ‫ ۡي ٖء ف‬U‫وا ِمن َش‬U ْ ُ‫وا ۡٱلبِ َّر َحتَّ ٰى تُنفِق‬
َ ۚ ‫وا ِم َّما تُ ِحب‬ ْ ُ‫لَن تَنَال‬
٩٢ ‫يم‬ٞ ِ‫َعل‬
Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”(QS.
Ali Imran:92)

َ ِ‫وا ِم ۡن َخ ۡي ٖر فَلَن ي ُۡكفَرُو ۗهُ َوٱهَّلل ُ َعلِي ۢ ُم بِ ۡٱل ُمتَّق‬


١١٥ ‫ين‬ ْ ُ‫َو َما يَ ۡف َعل‬
Artinya : “Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali
mereka tidak dihalangi (menenerima pahala)nya; dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertakwa”(QS. Ali Imran: 115)

B. Sunnah Nabawiyah
Hadis\ riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
Telah meriwayatkan kepada kami, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibn ujr,
mereka berkata, ‘Telah meriwayatkan kepada kami Isma‘il dari al-‘Ala’ dari
ayahnya dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Jika
seorang manusia meninggal, maka terputuslah seluruh amalnya, kecuali tiga
perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang
mendoakannya (HR. Muslim, 1929: 68).

Hadis\ riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn Umar :


Dari Ibn Umar ra., ia berkata, “Bahwa sahabat Umar ra., memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar, menghadap Rasulullah Saw.
untuk meminta petunjuk, Umar berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda, “Bila
engkau suka, engkau tahan pokoknya, dan engkau sedekahkan hasilnya.”
Kemudian Umar menyedekahkannya, harta itu tidak dijual, tidak dihibahkan
dan tidak diwariskan. Ibn Umar berkata, “Umar menyedekahkannya (hasil
pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak dilarang bagi yang mengelola (naz}ir)
wakaf, makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau
memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.
Bukhari, 1319 H: 2737 dan Muslim, 1929 M: 1632).

C. Ijma’ (Kesepakatan Para Ulama)


Imam al-Qurtubi mengatakan bahwa sesungguhnya permasalahan wakaf
merupakan ijma (kesepakatan) di antara para sahabat Nabi, hal ini karena Abu
Bakar, Umar, Usman, Ali, Aisyah, Fatimah, Amr ibn al-As, Ibn Zubair, Jabir,
dan mayoritas sahabat Nabi mengamalkan syariat wakaf. Wakaf-wakaf
mereka, baik di Makkah maupun di Madinah, sudah dikenal masyhur oleh
khalayak ramai.
Ibn Hubairah juga mengatakan bahwa para sahabat sepakat atas
dibolehkannya wakaf. Demikian juga Ibn Qudamah yang mengatakan :
“Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan
kelapangan rizki, kecuali pasti pernah mewakafkannya”.

Imam Syafi‘i mengatakan : “Bahwa ada 80 orang sahabat Nabi dari kalangan
Ansar yang mengeluarkan sadaqah dengan adaqah mulia. Imam Tirmizi juga
meriwayatkan bahwa wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari
kalangan sahabat Nabi maupun yang lainnya, ia tidak melihat ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik
wakaf tanah maupun wakaf yang lainnya (Tirmizi, 1359 H: 1376)”.

Berdasarkan dalil-dalil di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf merupakan


anjuran syar‘i yang disyariatkan oleh Islam, bukan produk pemikiran
manusia.7

2.6 Ketentuan bagi pengelola wakaf


Pengelola wakaf (Nazhir) adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
pewakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Pengelola wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam pewakafan yang
bertugas untuk memelihara dan mengelola harta wakaf.Pengelola wakaf dapat
dijalankan oleh perseorangan maupun lembaga (baik berbadan hukum atau
organisasi kemasyarakatan). Sedemikian pentingnya pengelola wakaf dalam
perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf sangat bergantung padanya.
Meskipun demikian tidak berarti pengelola wakaf mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap harta yang diamanahkan/dititipkan kepadanya.
Hal-hal yang wajib dilakukan oleh pengelola wakaf (Alkabisi, 2004), yaitu :
1. Melakukan pengelolaan dan pemeliharaan barang yang diwakafkan, baik
pewakaf mensyaratkan secara tertulis atau tidak (pendapat jumhur ahli fikih).
Sumber dana wakaf harus terus dikelola, baik diperoleh dari dana khusus yang
disiapkan pewakaf untuk pembangunan, ataupun harta wakaf yang siap
dimanfaatkan secara langsung.
2. Melaksanakan syarat dari pewakaf
Pengelola wakaf wajib menjalankan semua syarat-syarat yang dibuat oleh
pewakaf dengan tidak menyalahi aturan syariah dan wakaf.Contoh :
menyamaratakan pembagian atau memprioritaskan pembagian pada mustahik
7
Abdurrohman Kasdi,Fikih Wakaf(Yogyakarta:Idea Press,2017),hlm.21-30
tertentu, atau siapa yang harus menerima terlebih dahulu saat pembagian
hasil, dan dalam hal apa saja dana itu digunakan.
Pengelola wakaf boleh melanggar syarat pewakaf apabila :
a. Adanya maslahat yang mendorong pengelola wakaf untuk melanggar
syarat tersebut.
b. Perkara itu diajukan ke hadapan hakim, agar pengelola wakaf diberikan
izin untuk melanggar syarat yang telah dibuat oleh pewakaf, karena hakim
memiliki hak perwalian umum.
3. Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf
Usaha ini dapat dilakukan sendiri atau dengan bantuan pihak lain (wakilnya),
seperti pengacara atau penasihat hukum.
4. Melunasi hutang wakaf dengan menggunakan pendapatan atau hasil produksi
harta wakaf tersebut.
5. Menunaikan hak-hak mustahik dari harta wakaf, tanpa menundanya, kecuali
terjadi sesuatu yang mengakibatkan pembagian tersebut tertunda. Misalnya,
kebutuhan mendesak guna merenovasi atau memperbaiki harta wakaf yang
menuntut wakaf dialokasikan untuk kepentingan tersebut, atau melunasi utang
terkait dengan harta wakaf. Hal ini harus didahulukan ketimbang
menyerahkannya kepada para mustahik.

Hal-hal yang boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004), yaitu :

1. Menyewakan harta wakaf


Pengelola wakaf berwenang untuk menyewakan wakaf jika menurutnya akan
mendatangkan keuntungan dan tidak ada pihak yang melarangnya, sehingga
dari penerimaan itu, pengelola wakaf dapat membiayai hal-halyang ditentuka
oleh pewakaf atau untuk kepentingan wakaf dan penerima wakaf, seperti
membangun, mengembangkan, maupun memperbaiki kerusakannya.
2. Menanami tanah wakaf
Pengelola boleh memanfaatkan tanah wakaf dengan cara menanaminya
dengan aneka jenis tanaman perkebunan, dengan memperhatikan dampaknya
pada tanah wakaf dan kepentingan para mustahik.
3. Membangun pemukiman di atas tanah wakaf untuk disewakan
Pengelola wakaf berwenang mendirikan bangunan berupa gedung untuk
disewakan, seperti membangun rumah kediaman, dalam hal ini jika
keuntungan yang didapat dari hasil sewa bangunan lebih besar ketimbang jika
digunakan untuk lahan pertanian.
4. Mengubah kondisi harta wakaf menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para
fakir miskin dan mustahik
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa dalam pengubahan tersebut dia harus
menjaga dan memperhatikan kondisi harta wakaf dan kebutuhan penerima
wakaf, sehingga dapat dipadukan antara pelaksanaan syarat dari pewakaf dan
tujuan dari wakaf.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004) :

1. Tidak melakukan dominasi atas harta wakaf, karena dua pihak yang
bertransaksi tidak bolehterkumpul pada satu orang ( misalnya, pengelola
wakaf merangkap sebagai penyewa harta wakaf ). Pengelola wakaf juga tidak
boleh menyewakan harta wakaf kepada orang yang tidak diterima atau
diragukan kesaksiannya, baik orang tua, anak atau istrinya, untuk mencegah
timbulnya fitnah dan untuk berhati-hati dalam melakukan tindakan.
2. Tidak boleh berutang atas nama wakaf, baik melalui pinjaman ataupun dengan
membeli keperluan yang dibutuhkan untuk perawatan harta wakaf secara
kredit. Di mana ia berjanji untuk membayar harganya setelah adanya
keuntungan yang dihasilkan dari harta wakaf. Hal ini untuk menghindari sita
atas harta wakaf atau hasil yang didapatkan untuk dapat melunasi hutangnya,
sehingga harta wakaf menjadi hilang dan para mustahik tidak dapat
mendapatkan keuntungan darinya.
3. Tidak boleh menggadaikan harta wakaf dengan membebankan biaya tebusan
kepada kekayaan wakaf, atau dirinya, atau kepada salah seorang mustahik.
Hal tersebut dapat mengakibatkan hilangnya harta wakaf, dan dapat
menghilangkan manfaat dari harta wakaf itu sendiri.
4. Tidak boleh mengizinkan seseorang menggunakan harta wakaf tanpa bayaran,
kecuali dengan alasan hukum. Apabila pengelola wakaf menempatkan
seseorang di rumah wakaf tanpa bayaran, maka orang yang emnempati rumah
tersebut haus membayar ongkos sewa dengan harga yang pantas, baik rumah
dalam kondisi siap pakai maupun tidak.
5. Tidak boleh meminjamkan harta wakaf kepada pihak yang tidak termasuk
dalam golongan peruntukkan wakaf. Sebab, tindakannya itu termasuk dalam
pemakaian harta secara gratis yang menyebabkan tidak adanya keuntungan
bagi wakaf dan mengabaikan hak-hak para mustahik. Orang yang telah
meminjam harat wakaf dan mengambil manfaat darinya harus membayar
ongkos sewa dengan harga yang pantas.

Pengelola wakaf tidak wajib memberikan ganti rugi apabila harta atau sumber
wakaf rusak jika penyebabnya adalah kekuatan besar yang sulit dihindari atau
bencana yang tidak bisa dicegah, sementara dia tidak lalai dalam menjaga harta
wakaf tersebut. Pengelola wakaf diperbolehkan memakan sebagian dari hasil
wakaf itu, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar : “Dan tidak
ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya
dengan cara yang ma’ruf (besaran yang wajar).”

2.7 Akuntansi lembaga wakaf


Secara umum, lembaga wakaf dibentuk atau didirikan untuk mengelola sebuah
atau sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimalnya dapat dicapai untuk
kesejahteraan umat umumnya, dan menolong mereka yang kurang mampu
khususnya. Hingga saat ini belum ada PSAK yang mengatur tentang akuntansi
lembaga wakaf. Namun merujuk pada akuntansi konvensional serta praktik dari
lembaga wakaf yang telah beroperasi di Indonesia saat ini, maka perlakuan
akuntansi untuk zakat, infak/sedekah dengan wakaf tidak akan berbeda jauh. Hal
ini disebabkan akuntansi untuk zakat, infak/sedekah harus dilakukan
pencatatannya secara terpisah atas setiap dana yang diterima.

2.8 Permasalahan dalam praktik perwakafan


1. Masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf
Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan
benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkan
wakaf. Selain itu, masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa
benda yang diwakafkan hanyalah benda tidak bergerak, seperti tanah,
bangunan dan benda-benda tidak bergerak lainnya. Dengan demikian,
peruntukkannya pun menjadi sangat terbatas, seperti masjid , mushalla, rumah
yatim piatu, madrasah, dan sejenisnya. Sehingga perlu disosialisasikan kepada
masyarakat perlu dikembangkannya wakaf benda bergerak, selain benda tiak
bergerak.
Pewakaf pun kurang mempertimbangkan kemampuan nadzir untuk
mengelola harta wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan umat tidak optimal. Sementara di masa lalu
cukup banyak wakaf berupa kebun yang produktif, yang hasilnya
diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan.Untuk itu, kompetensi
pengelola wakaf harus diperhatikan agar sasaran wakaf dapat tercapai
optimal.
2. Pengelolaan dan manajemen wakaf
Pengelolaan dan manajemen wakaf yang lemah dapat mengakibatkan
pengelolaan harta wakaf tidak optimal, harta wakaf terlantar, bahkan harta
wakaf dapat hilang.Untuk mengatasi masalah ini, paradigma baru dalam
pengelolaan wakaf harus diterapkan.Wakaf harus dikelola secara produktif
dengan menggunakan manajemen modern. Selain perumusan konsepsi fikih
wakaf dan peraturan perundang-undangan, pengelola wakaf harus dibina dan
dilatih menjadi pengelola wakaf profesional untuk dapat mengembangkan
harta yang dikelolanya, apalagi jika harta itu berupa uang.
Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan
badan khusus untuk melakukan pembinaan pengelola wakaf, antara lain
Badan Wakaf Mesir, Badan Wakaf Sudan, Badan Wakaf Indonesia, dan lain-
lain. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan
pengelola wakaf. Apabila pengelola wakaf kurang cakap dalam mengelola
harta wakaf, dapat mengakibatkan potensi harta wakaf sebagai sarana untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat muslim tidak optimal. Bahkan
dalam bebagai kasus ada pengelola wakaf yang kurang memegang amanah,
seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi
harta wakaf, dan kecurang-kecurangan lain sehingga memungkinkan harta
tersebut berpindah tangan. Hendaknya calon pewakaf sebelum berwakaf
memperhatikan lebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam
memilih pengelola hendaknya dipertimbangkan kompetensinya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT
atau dapat dikatakan juga perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.Masih cukup banyak harta benda
wakaf, terutama yang berupa tanah, yang belum dikelola secara baik dan
maksimal.Untuk itu perlu dirumuskan strategi pengelolaan dan menerapkannya
dalam rangka pengembangan wakaf secara berkesinambungan.Hal ini perlu
dilakukan untuk mencapai tujuan wakaf secara umum yaitu untuk kemaslahatan
manusia, dengan mendekatkan diri kepada Allah, serta memperoleh pahala dari
pemanfaatan harta yang diwakafkan yang akan terus mengalir walaupun pewakaf
sudah meninggal dunia serta fungsi sosial yang dimiliki dari wakaf, karena
sasaran wakaf bukan sekedar untuk fakir miskin tetapi juga untuk kepentingan
publik dan masyarakat luas. Sehingga wakaf menjadi salah satu alternatif
pemberdayaan kesejahteraan umat secara keseluruhan. Hal ini juga tidak lepas
dari peranan nadzir sebagai pihak yang mengelola wakaf untuk menciptakan
wakaf yang mempunyai potensi sebagai sarana untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat muslimsecara optimal.

3.2 Saran
Pemberitahuan mengenai hukum wakaf sangat diperlukan karena pada umumnya
masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi
rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkan wakaf. Seperti pengetahuan
mengenai benda yang diwakafkan adalah benda tidak bergerak (tanah), padahal
benda yang diwakafkan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Lalu mempertimbangkan kemampuan nadzir atau dapat dikatakan telah
memenuhi standar kualifikasi untuk mengelola harta wakaf sehingga tujuan wakaf
untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan umat akan
optimal.Pengelolaan dan manajemen wakaf yang baik dapat mengakibatkan
pengelolaan harta wakaf optimal, harta wakaf terurus dengan baik, dan harta
wakaf tidak hilang.Dengan demikian pengelolaan harta wakaf tentu akan bisa
berkembang dan diberdayakan dengan baik serta maksimal sebagaimana
diharapkan bersama.

Anda mungkin juga menyukai