TANAMAN HUTAN
SIAP TANAM :
untuk pembangunan hutan
dan rehabilitasi lahan
KRITERIA BIBIT
TANAMAN HUTAN
SIAP TANAM :
untuk pembangunan hutan
dan rehabilitasi lahan
Nurhasybi
Dede J. Sudrajat
Eliya Suita
Editor :
Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.
Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.
C.01/10.2019
Judul Buku:
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Penulis:
Nurhasybi
Dede J. Sudrajat
Eliya Suita
Editor:
Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.
Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.
Editor Typografi:
Atika Mayang Sari
Penata Isi:
Army Trihandi Putra
M. Ade Nurdiansyah
Desain Sampul:
Army Trihandi Putra
Jumlah Halaman:
190 + 18 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, Oktober 2019
ISBN: 978-602-440-934-0
bukan hanya untuk menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik, tetapi
juga menciptakan peluang manfaat yang lain secara sosial dan ekonomi.
Akhirnya, kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memungkinkan buku ini sampai ditangan pengguna.
Penulis
vi
SAMBUTAN KEPALA
BALAI PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya buku Kriteria Bibit
Tanaman Hutan Siap Tanam : untuk pembangunan hutan dan rehabilitasi
lahan ini. Informasi yang dituangkan dalam buku ini antara lain berasal dari
berbagai sumber seperti jurnal, laporan penelitian, prosiding, buku, petunjuk
teknis, Surat Keputusan (SK) dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Buku memuat informasi kriteria bibit siap tanam khususnya untuk tujuan
pembangunan hutan tanaman, hutan rakyat dan rehabilitasi lahan kritis
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Informasi penanganan bibit
juga menjadi pendukung yang diharapkan mampu memberikan gambaran
bagaimana membuat bibit tanaman hutan untuk mencapai standar yang
diinginkan atau ditetapkan dalam bentuk peraturan atau SNI. Selain itu,
tinjauan umum bagaimana standar bibit untuk tujuan khusus, seperti untuk
penanaman pada kawasan perkotaan disajikan dengan merujuk beberapa
sumber yang relevan.
Kami berharap buku ini mampu menjadi panduan bagi petugas
penyuluh kehutanan, pengada bibit, dan praktisi pembibitan lainnya serta
mampu menjadi acuan bagi peneliti dan mahasiswa dalam kegiatan penelitian
ataupun praktek pembibitan tanaman hutan.
Bogor, Agustus 2019
Kepala Balai,
KATA PENGANTAR...............................................................................v
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN............................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................ix
DAFTAR TABEL................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................xvii
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................1
x
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................119
LAMPIRAN.........................................................................................143
PROFIL PENULIS..............................................................................187
xi
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 11. Bibit jati yang belum diaklimatisasi (kiri) dan bibit yang
sudah diaklimatisasi (kanan) (Sudrajat, 2010)........................ 67
Gambar 12. Jenis dan persentase jumlah pengujian bibit tanaman hutan
di Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b)......... 71
Gambar 13. Jenis dan jumlah kelompok bibit tanaman hutan yang diuji
di Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b).......... 72
Gambar 14. Kekompakan media bibit tanamam hutan
(SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan).................... 75
Gambar 15. Kegiatan pengukuran bibit di lapangan: (a) persemaian,
(b) contoh bibit yang akan diukur, (c) pengukuran diameter,
(d) pengukuran tinggi, (e) pengamatan kekompakkan media,
dan (f) pencatatan data.......................................................... 78
Gambar 16. Skema pemeriksaan mutu bibit tanaman hutan
(Peraturan Dirjen RLPS No. P. 05/V-SET/2009)................. 79
Gambar 17. Contoh hasil pengujian bibit tanaman hutan......................... 80
Gambar 18. Bibit yang telah diuji dipisahkan dan diberi label atau tanda.... 81
Gambar 19. Bahan tanaman yang berasal puteran bagian akar dan
medianya dibungkus dengan kantong plastik dan karung (a),
dan jika belum digunakan untuk penanaman pada musim
hujan berikutnya, maka ditanam kembali dengan wadahnya
di persemaian (b)................................................................... 88
Gambar 20. Pengukuran kedalaman gumpalan akar (root ball)
dari American Standard for Nursery Stock
(ANSI Z60.1 tahun 2014) dan contoh bagian akar
tanaman puteran yang dibungkus dengan karung.................. 90
Gambar 21. Model konseptual untuk mengkaji keberhasilan
penanaman (reforestation) (Lee et al., 2011)........................... 96
Gambar 22. Model faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penanaman
(Hirons & Percival, 2010)..................................................... 98
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
2
BAB I.
PENDAHULUAN
3
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
tanaman, rehabilitasi lahan dan hutan. Buku ini dibagi ke dalam beberapa
pokok bahasan, yaitu pendahuluan, parameter mutu bibit, pengelolaan
persemaian praktis, standar mutu bibit siap tanam untuk tujuan rehabilitasi
hutan dan lahan serta pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penanaman tanaman hutan.
Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang
lebih baik terhadap pemegang kebijakan, pengawas, pengada, pengedar,
pengguna, dan stakeholder lainnya mengenai kriteria bibit tanaman hutan
siap tanam dan penerapannya di lapangan untuk mencapai kualitas tanaman
(plant quality) yang terbaik.
Buku ini juga mengupas proses pengadaan bibit tanaman hutan yang
dimulai dari pengadaan benih bermutu sebagai awal dari semua kegiatan
persemaian. Benih bermutu dapat diperoleh dari sumber-sumber benih
berkualitas hasil kegiatan pemuliaan yang diproses melalui penerapan
teknologi penanganan benih yang tepat sesuai dengan karakter benihnya.
Proses pengadaan bibit selanjutnya adalah pembuatan bibit di persemaian
yang dimulai dari penaburan, penyapihan, pemeliharaan dan aklimatisasi bibit
(hardening off). Selanjutnya bibit diseleksi dan disertifikasi untuk mendapatkan
legalitas siap tanam sesuai dengan standar mutu bibit yang telah ditetapkan.
Bibit-bibit yang lulus sertifikasi tersebut merupakan bibit layak tanam yang
dapat menjadi jaminan bagi pengada, pengedar dan pengguna bibit tersebut.
4
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
berbeda juga, tetapi secara umum bibit tersebut harus mempunyai perakaran
yang berkembang baik dengan akar-akar baru yang mampu tumbuh cepat.
Bibit yang mampu tumbuh dan berkembang baik memiliki potensi tumbuh
baik pada areal agak ekstrim, seperti daerah banjir, kandungan garam tinggi,
kering, dan miskin hara atau lahan marjinal. Bibit yang memiliki perakaran
dalam mampu tumbuh dengan baik pada daerah kering, sedangkan pada
daerah yang banyak gulmanya, bibit yang berukuran lebih besar diduga akan
tumbuh lebih baik karena mampu bersaing pada tahap pertumbuhan awal.
Rose et al. (1990) menyebutkan bibit yang siap tanam sebagai target bibit
(seedling target).
Konsep target bibit menurut Rose et al. (1990) merupakan target
karakteristik morfologi dan fisiologi bibit yang secara kuantitatif berhubungan
dengan keberhasilan program penanaman. Konsep ini didasarkan pada
suatu hipotesis bahwa banyak karakteristik bibit memegang peran secara
bersamaan untuk memenuhi respon lapangan yang diinginkan. Perusahaan
kayu Weyerhaeuser di Amerika Serikat melakukan pengamatan kondisi
morfologi bibit Pinus taeda secara kontinyu untuk mengkaji adaptasi dan
pertumbuhannya setelah penanaman di lapangan. Target seedling untuk jenis
tersebut diidentifikasi pada tinggi 20 – 25 cm, diameter batang >4 mm,
batang dan pertumbuhan tunas baik, bentuk perakaran dan volume >3,5 ml
dan memiliki pertumbuhan akar yang tinggi (Rose et al., 1990). Sementara
Karyaatmaja et al. (2001) melaporkan morfologi bibit siap tanam untuk jenis
tropis Pinus merkusii bahwa bibit dengan tinggi 6,1 -10 cm, diameter bibit >
2 mm, dan telah berkayu menghasilkan penampilan yang lebih baik hingga
umur 6 bulan setelah tanam di lapangan. Perbedaan jenis, tapak dan iklim
tentunya akan mempengaruhi kriteria bibit siap tanam.
Duryea (1984) menyatakan bahwa kriteria mutu bibit yang banyak
digunakan meliputi karakteristik morfologi dan fisiologi bibit, serta deskripsi
kelompok bibit lainnya. Umur bibit dan lokasi penanaman secara umum
dapat menjadi gambaran kelompok bibit siap tanam. Karakteristik morfologi
bibit merupakan deskripsi visual dari tinggi bibit, diameter pangkal batang,
bobot kering akar, dan rasio pucuk akar, sedangkan fisiologis bibit merupakan
gambaran kondisi awal proses fisiologi bibit seperti kemampuan menumbuhkan
tunas dan akar baru, keseimbangan nutrisi, ketahanan terhadap stress dan
karakter lainnya (Haase, 2008, Dumroese et al., 2016; Grossnickle et al.,
2017). Untuk menentukan kriteria bibit siap tanam, karakteristk morfologi
6
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
7
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Gambar 1. Contoh ukuran optimum bibit siap tanam untuk: (a) daun jarum
jenis Pinus taeda (Thompson & Schultz, 1995) dan (b) daun lebar
Shorea sp. (dimodifikasi dari Omon, 2008)
8
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
seperti tinggi, diameter pangkal batang, volume akar dan jumlah akar lateral
telah digunakan dan hasilnya cukup baik (Thompson & Schultz, 1995; Jacobs
& Seifert, 2004; Omon, 2008) (Gambar 1), namun bagaimana pun juga
efektifitasnya sangat tergantung pada kondisi fisiologi bibit dan lingkungan
atau areal penanaman. Bibit yang berukuran besar tidak selalu menunjukkan
bahwa bibit tersebut bermutu tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa uji morfologi bibit memberikan hasil yang tidak konsisten, hal ini
disebabkan oleh perbedaan dalam praktek/pengelolaan persemaian, jenis, dan
kondisi lingkungan areal penanaman (Wakeley, 1954).
Dalam prakteknya, klasifikasi mutu bibit berdasarkan morfologinya
banyak diterapkan di beberapa negara, seperti yang dikembangkan di Kanada
dalam bentuk Canadian Nursery Stock Standard (CNLA, 2017) dan di
Carolina Utara, Amerika Serikat dalam bentuk Pocket guide to seedling care
and planting standards (NCDENS, 2007). Hal ini disebabkan pengukuran
morfologi bibit lebih mudah, lebih cepat dan murah serta tidak memerlukan
keahlian atau keterampilan khusus. Karakteristik morfologi yang paling
banyak dipakai menilai mutu bibit adalah tinggi, diameter, jumlah daun,
volume akar, dan bentuk batang bibit (Haase, 2008). Beberapa parameter
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a. Tinggi
Parameter bibit yang paling mudah diamati adalah tinggi. Tinggi bibit
diukur dengan mistar dari pangkal batang (bekas kotiledon) sampai
ujung terminal pucuk. Jika tidak ada terminal pucuk karena adanya
luka atau pertumbuhan yang aktif, pengukuran dilakukan sampai titik
tertinggi atau dengan memperkirakan titik tumbuhnya (Thompson,
1985). Standar minimum tinggi bibit sangat beragam untuk setiap jenis,
zona benih dan kelas umur.
Tinggi bibit berkorelasi dengan jumlah daun yang dapat memberikan
perkiraan kapasitas fotosintesis dan areal transpirasi. Bibit yang lebih
tinggi mempunyai keunggulan bersaing dengan gulma dan dapat
mengindikasikan sifat genetik yang unggul. Bagaimanapun juga,
areal transpirasi yang lebih besar pada bibit yang lebih tinggi akan
mengakibatkan stress pada saat ditanam di tapak yang kering, khususnya
sebelum terbentuknya akar. Bibit yang sangat tinggi akan lebih sulit untuk
ditanam, kurang seimbang, dan mudah terkena kerusakan oleh angin.
9
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Persen hidup bibit tidak berhubungan secara linear dengan tinggi awal
bibit tetapi memperlihatkan nilai maksimum tertentu. Nilai maksimum
tinggi bibit tergantung dari ukuran sistem perakaran bibit dan tapak
penanaman. Pada tapak-tapak yang lebih kering, tinggi optimum bibit
harus lebih rendah.
b. Diameter
Diameter merupakan ukuran morfologi umum digunakan dalam seleksi
bibit di persemaian. Diameter diukur dengan kaliper sedikit di bawah
bekas kotiledon atau pada pangkal akar (root collar diameter). Pada saat
pengukuran perlu diperhatikan bahwa caliper harus tegak lurus terhadap
batang dan sedikit menekan dengan tekanan yang konstan, tetapi tidak
menyebabkan kerusakan bibit. Secara umum, diameter yang lebih
besar mengindikasi bibit lebih baik (Haase, 2008). Diameter batang
dianggap sebagai penduga terbaik persentase hidup dan pertumbuhan
bibit di lapangan. Diameter yang lebih besar juga mengindikasikan
sistem perakaran dan volume batang yang besar. Diameter tidak selalu
berkorelasi dengan persen hidup di lapangan, tetapi berkorelasi dengan
pertumbuhan selanjutnya (Thompson, 1985).
c. Berat bibit
Pengukuran berat dapat dilakukan baik pada berat segar maupun berat
kering. Berat segar, meskipun mudah diukur, sangat beragam dengan
jaringan yang berisi air, sehingga pengukuran berat kering memberikan
hasil lebih konsiten. Umumnya, jaringan yang diukur adalah seluruh
tanaman atau secara terpisah pada bagian-bagian tanaman, seperti
akar, batang dan daun. Jaringan tanaman sebaiknya dicuci sebelum
pengeringan. Jika berat kering akar dan pucuk diukur secara terpisah,
bibit dipotong pada bagian pangkal akar atau beberapa posisi lainnya
yang mudah diulang dan setiap potongan ditempatkan pada kantung
kertas terpisah. Suhu pengeringan sebaiknya cukup untuk mengubah
enzim yang bertanggung jawab untuk dekomposisi (>60°C), namun
tidak menyebabkan dekomposisi termal dan volatisasi nirogen (<70°C)
(Bickehaupt, 1980). Umumnya pengeringan dilakukan hingga tercapainya
berat kering konstan yang dicapai selama 24 jam (Thompson, 1985),
namun Haase (2008) menyatakan bahwa pengeringan dapat dilakukan
pada suhu 68o C selama 48 jam.
10
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
11
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
e. Panjang pucuk
Panjang atau tinggi pucuk diukur dengan menggunakan mistar atau
caliper dari pangkal pucuk hingga ujung pucuk. Pengukuran harus
dilakukan secara hati-hati supaya tidak merusak jaringan pucuk.
Pada beberapa jenis, seperti Pseudotsuga menziesii dan Pinus penderosa
(Hanover, 1963), panjang pucuk berkorelasi dengan jumlah daun
primordia dan kemudian mempengaruhi pertumbuhan. Haase (2008)
juga menyatakan bahwa panjang pucuk berkorelasi dengan jumlah
daun muda pada banyak jenis dan memberikan indikasi vigor bibit dan
potensi pertumbuhan pucuk. Tinggi pucuk merupakan indikator yang
mungkin berguna untuk mengukur potensi pertumbuhan di lapangan.
Tinggi pucuk juga merupakan indikator tidak langsung dormansi dan
vigor bibit (Thompson, 1985).
f. Rasio pucuk akar
Rasio pucuk akar (RPA) merupakan perbandingan antara pucuk dengan
akar. RPA merupakan ukuran keseimbangan antara areal transpirasi
(pucuk) dengan areal penyerapan air (akar). Umumnya, bibit dalam
wadah memiliki rasio pucuk akar 2:1 atau kurang (Haase, 2008).
berat kering pucuk (batang + daun) (g)
RPA =
berat kering akar
Menurut Mullin dan Christl (1982), rasio pucuk akar dapat menjadi indek
untuk memprediksi persen hidup bibit di lapangan, tetapi kemungkinan
mempunyai nilai yang kecil dalam memprediksi pertumbuhan di
lapangan.
g. Bentuk batang dan akar bibit
Pengamatan visual biasanya dilakukan untuk mengetahui banyaknya
tunas (multiple shoots) atau bergarpu, batang bengkok, bentuk akar,
dan kerusakan fisik. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang tidak
diinginkan dan dapat berpengaruh negatif terhadap penampilan bibit
di lapangan. Bibit tunas garpu atau bentuk batang yang bengkok dapat
disebabkan karena genetik atau hasil dari praktek budidaya, dan juga
serangan hama dan penyakit. Ketika bibit bertunas garpu dihasilkan dari
kerusakan di persemaian atau serangan hama, bibit biasanya mampu
memulihkan diri dan menghasilkan bibit berbatang tunggal (Mclemore,
12
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
13
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
14
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
15
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
16
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
17
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
batang lebih dari 4 mm dapat dijadikan kriteria morfologi bibit kepuh siap
tanam di lapangan (Nurhasybi, 2010). Pada jenis nyamplung (Calophyllum
inophyllum), klasifikasi morfologi bibit nyamplung berpengaruh nyata
terhadap persen hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter batang pada umur
2 tahun di lapangan (Sianturi & Sudrajat, 2019). Tinggi dan diemeter bibit
berkorelasi nyata dengan parameter mutu bibit lainnya dan juga berkorelasi
nyata dengan penampilan tanaman. Bibit bermutu baik untuk penanaman
dicirikan oleh tinggi bibit ≥30 cm dan diameter ≥5,1 mm (Sudrajat et al.,
2010). Penanaman tipe morfologi tersebut akan memperbaiki penampilan
tanaman, yang akan meningkatkan keberhasilan pengembangan tanaman
nyamplung. Kriteria ini berlaku khususnya untuk karakteristik tapak yang
serupa atau tidak jauh berbeda dengan kondisi tapak di Hutan Penelitian
Parung Panjang, Bogor, dengan jenis tanah podsolik haplik dan pH rata-rata
4,8 (Sudrajat et al., 2010).
Mutu bibit dicerminkan dari keberhasilan bibit tersebut beradaptasi dan
tumbuh baik setelah penanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
parameter mutu bibit (morfologi maupun fisiologi) berpengaruh terhadap
penampilan bibit setelah penanaman (Tabel 2).
Pseudotsuga Diameter batang bibit dan ukuran akar Long dan Carrier
menziesii mempengaruhi penampilan bibit setelah (1993)
penanaman. Penambahan 1 mm diameter awal
meningkatkan diameter tanaman umur 5 tahun
5-15%.
Quercus rubra Bibit yang memiliki 5 atau lebih akar lateral Thompson dan
mempunyai kemungkinan tumbuh baik daripada Schultz (1995)
bibit dengan 4 atau kurang akar lateral.
Pinus ponderosa - Bibit dengan volume akar besar (>7cm3) Rose et al. (1997)
berpengaruh signifikan terhadap daya hidup bibit.
- Tinggi, diameter bibit dan volume batang Pinto et al.
merupakan penduga kinerja yang baik hingga (2011)
umur 1 tahun setelah tanam
18
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT
19
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
20
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN
UNTUK MENGHASILKAN
BIBIT BERMUTU
A. Penanganan Benih
Benih diartikan sebagai bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji)
atau bahan vegetatif yang digunakan untuk mengembangbiakkan tanaman
hutan. Mutu benih dibedakan menjadi tiga yaitu mutu fisik, fisiologis,
dan genetik (Schmidt, 2000). Mutu fisik adalah hasil kinerja fisik seperti
kebersihan, kesegaran butiran serta utuhnya kulit benih, dan mutu fisiologis
menunjukkan kemampuan benih untuk tumbuh atau disimpan lama. Secara
singkat, mutu fisik dan fisiologis menunjukkan kinerja pengadaan benih (“seed
procurement”) (Barner & Ditlevsen, 1988). Mutu genetik benih menunjukkan
tingkat kemurnian varietas, yang dihasilkan dari kinerja pemuliaan pohon
(“tree improvement”) (Barner & Ditlevsen, 1988). Mutu genetik juga
didefinisikan sebagai tingkat keterwakilan keragaman genetik suatu sumber
benih (IFSP, 2000).
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
22
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
a. Pengumpulan benih
Pengumpulan benih dilakukan pada lokasi sumber benih berdasarkan
kondisi pembuahan dan indikator kemasakan dengan berbagai cara, seperti
pengumpulan buah yang jatuh di lantai hutan, perontokan dan pemetikan
dengan pemanjatan. Sumber benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan
hutan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih
berkualitas. Kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan sumber
benih ini adalah satuan pengumpulan (pohon tunggal, seluruh tegakan),
perkembangan dan komposisi (umur, distribusi, kriteria seleksi), sejarah
geografis (asal, provenansi), sejarah genetik (seleksi alam atau manusia, jumlah
pohon induk, isolasi) (Barner et al., 1988). Sumber benih dibedakan menurut
kualitas genetik berdasarkan kelas sumber benih dengan klasifikasi sebagai
berikut (1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), (2) Tegakan Benih Terseleksi
(TBS), (3) Areal Produksi Benih (APB), (4) Tegakan Benih Provenans (TBP),
(5) Kebun Benih Semai (KBS), dan (6) Kebun Benih Klonal (KBK), dan
(7) Kebun Pangkas (KP). Sumber benih nomor satu (TBT) hingga nomor
23
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
enam (KBK) merupakan sumber benih yang ditujukan untuk produksi benih
(biji), sedangkan nomor tujuh (KP) ditujukkan untuk menghasilkan stek
(vegetatif). Dalam kondisi tertentu untuk jenis-jenis tanaman hutan yang
belum tersedia sumber benihnya, maka dapat dipertimbangkan beberapa
lokasi lain, seperti hutan rakyat, hutan tanaman dan hutan alam, dengan
jumlah pohon induk minimal 25 pohon yang tidak berkerabat. Kekerabatan
antar pohon induk di hutan alam dapat didekati dengan mengumpulkan
benih dari pojom induk yang satu sama lainnya berjarak ±100 m, sedangkan
di hutan tanaman, penentuan pohon induk tidak perlu mempertimbangkan
jarak karena diasumsikan pohon-pohon yang ditanam tidak berkerabat atau
berasal dari benih yang diperoleh dari banyak pohon.
Pengumpulan benih sebaiknya dilakukan pada saat puncak musim buah
dengan memperhatikan tingkat kemasakan buah berdasarkan warna kulit buah,
bau, kelunakan buah, kadar air, jatuhnya buah secara alami, atau merekahnya
buah. Cara pengumpulan benih atau pemanenan buah dengan perontokan
dilakukan terhadap jenis pohon yang memiliki waktu panen buah yang
singkat dan mudah rontok serta buah atau biji berukuran besar. Pemetikan
buah dilakukan dengan pemanjatan yang dapat dilakukan secara langsung
memetik buah pada tangkai pohon yang terjangkau dengan menggunakan
alat (galah) pada pohon yang buahnya sulit dijangkau. Cara pemetikan buah
ini dilakukan pada tipe buah kering pecah (indehischent) seperti buah polong-
polongan (jelutung, pulai, sengon), buah kerucut (agathis, pinus), dan kapsul
(seperti Eucaliptus spp., benuang, puspa). Pemetikan buah pada pohon yang
tinggi dapat dilakukan dengan pemanjatan pohon. Pengumpulan benih/buah
di lantai hutan dapat dilakukan untuk buah yang jatuh atau terlepas dari
tangkai buahnya ketika sudah masak seperti jati, gmelina dan lainnya, buah
tidak mudah tersebar/terbang dan dimakan pemangsa, berukuran besar, tidak
cepat berkecambah, tidak cepat rusak dan berukuran besar. Lantai hutan
dibersihkan terlebih dahulu dan diberi alas berupa jaring atau terpal untuk
menampung buah yang jatuh. Pengumpulan buah harus segera dilakukan
sebelum buah rusak dan terbuka serta sebelum berkecambah (Schmidt,
2002).
Apabila pengumpulan buah memerlukan waktu yang lama dan
lokasi pengumpulan buah jauh maka dapat dilakukan penyimpanan buah
sementara. Di lokasi penyimpanan sementara dilakukan beberapa kegiatan
24
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
b. Ekstraksi benih
Ekstraksi umumnya dilakukan pada buah-buah yang telah masak.
Pemasakan buatan (pemeraman/curing) diperlukan untuk buah yang belum
mencapai tingkat kemasakan sempurna, seperti Pinus spp. Pemasakan lanjutan
(after ripening) diperlukan untuk benih yang telah masak secara fisik, namun
embrionya belum berkembang sempurna, seperti pada gmelina (Gmelina
arborea), kesambi (Schleichera oleosa) dan jati (Tectona grandis). Buah yang
tidak memerlukan pemasakan lanjutan atau pemeraman dapat langsung
dilakukan ekstraksi (Nurhasybi et al., 2007). Ekstraksi benih merupakan
proses untuk mengeluarkan benih dari bagian buah lainnya. Secara umum,
ekstraksi benih tanaman hutan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
ekstraksi basah dan ekstraksi kering.
Ekstraksi basah umumnya dilakukan pada buah berdaging dengan cara
manual atau semi mekanis. Tahapan ekstraksi basah adalah sebagai berikut:
(1). Perendaman buah dalam air hingga daging buah melunak dan benih
mudah dikeluarkan dari buah,
(2). Pengelupasan dan pembersihan kulit buah dari sisa-sisa daging
buah menggunakan pasir halus atau bahan lainnya pada air yang
mengalir,
25
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
26
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
d. Pematahan dormansi
Sebagian besar benih tanaman hutan di daerah tropis tidak memiliki
dormansi dan sebagian lainnya memiliki dormansi, sehingga benihnya tidak
langsung berkecambah meskipun berada pada kondisi lingkungan yang
mendukung (Baskin & Baskin, 2005). Benih-benih yang tidak berkecambah
diduga sudah mengalami kematian (tidak viabel), kosong, atau dorman. Benih
segar yang tidak mau berkecambah hingga akhir uji perkecambahan, maka
benih tersebut diduga mengalami dormansi. Dormansi dapat dinyatakan
sebagai kondisi terjadinya hambatan perkecambahan yang disebabkan embrio
mengalami beberapa halangan seperti kulit benih, embrio belum berkembang
sempurna, atau adanya suatu zat atau materi penghambat yang terdapat pada
kulit dan jaringan dalam benih.
Suatu kondisi dimana benih-benih viabel (sehat) tidak mampu
berkecambah meskipun berada pada kondisi optimal untuk berkecambah
diartikan sebagai dormansi benih (Schmidt, 2002). Dormansi benih dapat
diklasifikasikan menjadi dormansi bawaan (innate dormancy), dormansi
rangsangan (induced dormancy) dan dormansi paksaan (enforced dormancy).
Dormansi bawaan merupakan dormansi yang terjadi sejak benih tersebut
masih berada pada tanaman induk. Dormansi rangsangan dan dormansi
27
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
28
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
29
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
30
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
e. Invigorasi (priming)
Mutu benih tanaman hutan terus mengalami proses penurunan setelah
pemanenan dan pengolahan (seed prosessing) karena kerusakan fisik dan
fisiologi akibat kadar air benih mengalami penurunan dan kerusakan sel.
Salah satu cara meningkatkan potensi benih yang telah menurun mutu
fisiologisnya adalah perlakuan invigorasi. Invigorasi merupakan perlakuan
benih sebelum penanaman/penaburan yang bertujuan untuk memperbaiki
kondisi fisiologis dan biokimia benih melalui perbaikan metabolisme dan
potensi untuk berkecambah (Khan et al., 1992). Berbagai perlakuan invigorasi
benih sebelum tanam di antaranya adalah priming yang merupakan metode
mempercepat dan menyeragamkan perkecambahan, melalui pengontrolan
penyerapan air sehingga perkecambahan dapat terjadi. Selama priming
keragaman dalam tingkat penyerapan awal dapat dikontrol. Metode priming
dapat dilakukan melalui hydro-priming, osmoconditioning, hormone-priming
dan perbaikan mutu yang dilakukan secara fisik menggunakan radiasi sinar
gamma dosis rendah.
Priming adalah mengaktifkan sumber daya internal benih ditambah
dengan sumber daya eksternal yang akan mengoptimalkan pertumbuhan.
Invigorasi atau priming dilakukan pada benih-benih dengan daya berkecambah
di atas 50%, karena jika daya berkecambah benih di bawah 50% berarti
benih tersebut sudah mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi
(Schmidt, 2002). Perlakuan priming yang tepat akan mengendalikan laju
kebutuhan air selama perkecambahan dan memacu laju metabolisme.
Semua proses ini menyebabkan fase aktivasi berlangsung lama sehingga akan
memberikan perbaikan fisiologis, antara lain benih berkecambah lebih cepat
dan serempak, serta meningkatkan persentase perkecambahannya. Priming
dapat dilakukan pada benih berukuran kecil hingga besar terutama pada
benih-benih yang sudah menurun vigor dan viabilitasnya. Priming dapat
diterapkan di awal, di tengah maupun di akhir periode simpan. Perlakuan
ini dilakukan hingga radikel memanjang namun dihentikan sebelum radikel
menembus kulit benih. Tahap perlakuan priming meliputi: pelembapan,
kontrol kelembapan, pengeringan antara, pencucian, pengeringan akhir dan
pengemasan (Zanzibar, 2010) (Tabel 5).
31
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
5 Pengeringan dikering
dikering
dikering
akhir dan anginkan pada anginkan pada anginkan pada
pengemasan suhu kamar suhu kamar suhu kamar
selama 120 jam selama 120 jam selama 120 jam
dikemas dalam
dikemas dalam
dikemas dalam
wadah yang wadah yang wadah yang
sesuai dengan sesuai dengan sesuai dengan
karakter benih karakter benih karakter benih
Keterangan: khusus pada perlakuan hidrasi – dehidrasi, tahap 1 sampai dengan 3 diulang
sebanyak 2 kali; Sumber : Zanzibar (2010), BSN (2014)
32
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
perkecambahan dan pertumbuhan bibit (Ikram et al., 2010; Piri et al., 2011;
Iglesias-Andreu et al., 2012; Araujo et al., 2016). Penelitian pada benih
tembesu yang disimpan selama 2 bulan dengan dosis iradiasi 120 Gy mampu
meningkatkan daya berkecambah dan dosis 30 Gy dapat meningkatkan
kualitas bibit tembesu (Zanzibar et al., 2015). Benih Terminalia arjuna
dengan dosis 5 Gy dan 30 Gy meningkatkan daya berkecambah, indek vigor
dan rata-rata laju pertumbuhan (Akshatha et al., 2013) serta meningkatkan
daya berkecambah dan kecepatan tumbuh pada benih Triticum durum dengan
dosis radiasi 10 Gy dan 20 Gy (Melki & Marouani 2009).
33
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
34
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
35
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
a b c
Gambar 4. Densitas (kerapatan) benih pada waktu penaburan jabon putih
(dari kiri ke kanan : (a) kerapatan optimal, (b) terlalu rapat
dan (c) serangan jamur terjadi pada kerapatan yang berlebihan
(Nurhasybi, 2015)
36
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
2. Persiapan persemaian
a. Wadah bibit (container)
Pertumbuhan bibit di persemaian dipengaruhi oleh mutu benih dan
pelakuan persemaian (wadah bibit, media, pemupukan dan aklimatisasi).
Fungsi utama wadah bibit adalah mempertahankan media tumbuh tetap utuh
yang akan menyuplai akar bibit dengan air, udara, unsur hara, dan dukungan
fisik selama bibit masih di persemaian (Landis et al., 1990; Puslitbang Perum
Perhutani, 2007a). Wadah bibit harus mampu meningkatkan kemampuan
bibit untuk tumbuh di lapangan sehingga wadah tersebut harus dirancang
untuk memberikan kemampuan sistem perakaran menumbuhkan akar-akar
baru dan berkembang setelah ditanam (Ritchie, 1984; Kelkar, 2001). Untuk
maksud tersebut, banyak wadah bibit yang didesain untuk membentuk sistem
perakaran yang baik, melindungi bibit sebelum ditanam, dan meningkatkan
keseimbangan akar dan pucuk (Landis et al., 1990).
Pada persemaian tanaman hutan, beberapa tipe wadah bibit yang
banyak digunakan adalah polybag, polytube, dan pottray. Polybag lebih
banyak digunakan pada persemaian beberapa penangkar bibit skala kecil dan
menengah, sedangkan polytube dan pottray banyak digunakan di perusahaan
HPHTI (Gambar 5). Sementara, sebagian besar persemaian seperti persemaian
tradisional yang dikelola petani hutan rakyat masih banyak menggunakan
polybag (Gambar 6). Beberapa keuntungan penggunaan polybag dan politube/
pottray dapat dilihat pada Tabel 5.
37
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Gambar 5. Wadah bibit yang digunakan PT. Musi Hutan Persada dengan
metode direct sowing untuk jenis Acacia spp. (Sudrajat, 2010)
38
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
Wadah terbaik untuk bibit tanaman hutan tergantung pada faktor biologi
dan ekonomi. Pertimbangan biologi meliputi ukuran benih atau stek, ukuran
tanaman, dan kondisi lingkungan/tapak penanaman, sedangkan faktor
ekonomi meliputi biaya, ketersediaan wadah dan jumlah ruang persemaian
yang tersedia (Sharma, 2001b; Landis et al., 1990). Untuk benih halus
seperti D. moluccana, polybag berukuran kecil (5 cm x 9 cm) memberikan
39
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
b. Media bibit
Media yang digunakan untuk persemaian tanaman hutan dapat
dibagi menjadi dua karakteriktik, yaitu karakteristik kultural yang
mempengaruhi pertumbuhan bibit dan karakteristik operasional yang
mempengaruhi operasional persemaian. Karakteristik kultural media
persemaian berhubungan dengan kemampuan media secara konsisten
untuk menghasilkan tanaman yang sehat. Kondisi media secara kultural
harus mempunyai pH yang sesuai dengan karakter jenisnya (umumnya
6-7), kapasitas tukar kation tinggi, sifat kesuburan rendah, porositas
cukup, biaya murah dan ketersediaannya cukup, dan bebas dari
hama dan penyakit (Landis et al., 1990; Puslitbang Perum Perhutani,
2007a,b). Media yang baik harus mampu mengikat air, menyediakan
hara yang mencukupi dan memiliki porositas yang baik sehingga akar
mampu berkembang baik (Gambar 7).
Bersadarkan SNI 5006.2.2008, media bibit tanaman hutan harus terdiri
dari bahan utama dan bahan-bahan pembenah, tidak mengandung hama,
penyakit dan racun bagi tanaman, komposisi media harus tercampur merata,
dan mudah diperoleh dalam jumlah besar. Bahan utama media bibit di
Indonesia umumnya berupa tanah mineral, gambut, dan bahan utama media
lainnya. Media bibit dengan bahan utama tanah mineral harus mempunyai
kandungan bahan organik dan mengandung nutrisi yang siap diserap oleh
40
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
bibit, bersifat porus dengan keteguhan yang cukup, pH sesuai dengan kondisi
lahan tanamnya. Media bibit dengan bahan utama gambut yang telah diproses
juga harus mempunyai kandungan bahan organik dan mengandung nutrisi
yang siap diserap oleh bibit, mempunyai keteguhan media yang cukup dan
pH yang sesuai dengan kondisi lahan tanamnya. Media bibit dengan bahan
utama lainnya yang sudah diproses harus mempunyai kandungan bahan
organik dan mengandung nutrisi yang siap diserap oleh bibit, mempunyai
keteguhan media yang cukup dan pH yang sesuai dengan kondisi lahan
tanamnya, memenuhi standar mutu media gambut jika akan ditanam di
tanah gambut, atau memenuhi standar mutu media tanah mineral jika akan
ditanam di tanah mineral. Di beberapa perusahaan, pencampuran media
mengunakan alat molen sehingga kegiatan tersebut lebih praktis dengan hasil
yang lebih banyak (Gambar 8).
41
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
42
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
atau komposisi bahan media bibit akan berpengaruh pada kualitas kesuburan
media bibit (Tabel 7). SNI 5006.2. 2018 juga menetapkan persyaratan sifat
fisik dan kimia media bibit tanaman hutan berdasarkan bahan utama media
tanah mineral dan gambut (Tabel 8).
Tabel 8. Persyaratan sifat fisik dan kimia media bibit tanaman hutan sesuai
SNI 5006.2. 2018 Media bibit tanaman hutan (BSN, 2018a)
Standar mutu
Metode
No. Parameter Satuan Tanah
analisis Gambut
mineral
1. Kandungan nitrogen Kjeldahl % 0,21-0,75 0,21-0,75
2. Kandungan Fosfor Olsen ppm 11-20 -
(P2O5) tersedia
3. Kandungan Fosfor Bray I ppm - 8-15
(P2O5) tersedia
4. Kandungan Kalium Amonium me/100g 0,4-1,0 0,4-1,0
(K) yang dapat asetat pH 7
dipertukarkan
5. pH (H2O) media SNI 03- - 6,6-7,5 4,5-5,5
utama + pencampuran 6787
6. Porositas total Metode PF %/vol 52,25-57,75 52,25-57,75
7. C organik Walkey & % ≥ 2,01 > 12,00
Black
43
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
a b
c d
Keterangan: (a) biopot yang disusun di rak persemaian, (b) bibit biopot di rak persemaian,
(c) bibit biopot siap tanam, dan (d) penampilan tanaman umur 2 bulan di
lapangan.
Gambar 9. Biopot yang dikembangkan Balai Litbang Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan (BPPTPTH) Bogor (Foto: Sudrajat, 2018)
44
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
3. Penyapihan
Penyapihan atau pemindahan semai yang tumbuh normal pada media
sapih dilakukan ketika semai memiliki tinggi minimal 3 kali panjang benih,
atau minimal memiliki sepasang daun yang tumbuh dan berkembang sehat.
Penyapihan sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari ketika panas
sinar matahari tidak terlalu tinggi atau kondisi lebih teduh, sehingga bibit tidak
layu. Sebelum penyapihan, media tabur dibasahi terlebih dahulu, kemudian
ambil semai dan buat lubang kecil di media untuk memasukkan semai.
Penyapihan dilakukan dengan cara semai tidak dipegang pada batangnya
tetapi dipegang pada bagian kotiledon atau daunnya. Usahakan posisi akar
tertanam lurus dan tidak rusak (Pramono et al., 2016). Lubang semai jangan
terlalu dalam karena dikhawatirkan semai terkubur atau lubang semai juga
jangan terlalu dangkal karena dapat mengakibatkan akar semai tersingkap,
semai mudah mengalami kekeringan, atau akar terlipat dan menjadi bengkok.
Penyapihan yang tidak tepat sering kali mengakibatkan perkembangan akar
tidak sempurna yang mengakibatkan pertumbuhan bibit kurang optimal dan
akan berpengaruh juga pada kinerja bibit setelah ditanam di lapangan.
45
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
46
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
Gambar 10. Kebun pangkas jati (Tectona grandis) dan penanaman stek ke
dalam polybag di Puslitbang Perhutani, Cepu (Sudrajat, 2010)
47
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
48
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
49
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
50
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
51
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Sumber: Nurhasybi, et al. (2000); Buharman, et al. (2001); Danu, et al. (2006); Iriantono, et
al. (1998)
52
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
a. Eksplan
Eksplan merupakan bagian-bagian tanaman yang digunakan sebagai
bahan untuk inisiasi pada proses kultur jaringan. Bagian-bagian tanaman
tersebut harus bebas mikroorganisme, akan tetapi tidak semua bagian tanaman
bisa ditumbuhkan sehingga pengujian setiap bahan tersebut mutlak harus
dilakukan untuk dapat dijadikan bahan pembiakan dengan kultur jaringan
(Wareing & Phillips, 1976). Pemilihan bahan eksplan untuk kultur jaringan
perlu memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan
kultur, seperti organ yang menjadi sumber bahan tanaman, umur fisiologi,
dan ukuran eksplan (Hartmann et al., 1990). Secara umum, ukuran tunas
yang lebih besar pada waktu dipindahkan ke dalam kultur akan menghasilkan
53
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
lebih banyak tunas aksial dan pertumbuhan yang lebih cepat. Namun, ukuran
tunas yang lebih besar dapat menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan
kultur yang aseptic. Bahan tanaman yang diambil sebagai eksplan lebih baik
diambil dari tanaman yang masih juvenil dari pada tanaman yang berumur
tua. Bagian-bagian tanaman yang masih muda atau yang masih juvenil
mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih tinggi dibandingkan tanaman
tua (Gunawan, 1995). Bagian tanaman/jaringan yang masih muda juga
memiliki kemampuan morfo-genetik yang lebih tinggi daripada jaringan tua.
Umumnya untuk tanaman hutan (berkayu), tunas juvenil banyak digunakan
untuk kegiatan kultur jaringan produksi bibit secara massal. Tunas-tunas
juvenil dapat diperoleh dengan perlakuan pemangkasan berat. Kondisi
juvenil pada tanaman dapat juga diinduksi dengan perlakuan penyemprotan
hormon GA3 atau dengan campuran hormon GA3 dan auksin (George &
Sherrington, 1984).
Sterilisasi eksplan atau bahan tanaman yang akan dikulturkan sebaiknya
dilakukan pada tanaman induk yang ditumbuhkan di rumah kaca sehingga
akan memudahkan penyemprotan untuk mengendalikan bakterisida dan
fungisida secara periodik sehingga dapat menghilangkan kontaminasi selama
proses kultur berlangsung. Bahan tanaman/eksplan harus disterilisasi bagian
permukaannya. Bahan sterilisasi yang umum digunakan adalah hidrogen
peroksida, sodium hipoklorit, silver nitrat dan bromine water. Pada saat
sterilisasi permukaan, hal penting yang harus diperhatikan adalah seluruh
permukaan eksplan harus terbasahi oleh larutan sterilisasi. Deterjen dan
alkohol 70% atau tween 80 dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas
proses sterilisasi (Biondi dan Thorpe, 1981; Nursyamsi, 2010). Pada saat
isolasi, senyawa fenol seringkali dikeluarkan oleh eksplan tanaman berkayu
yang dapat menyebabkan pencokelatan (Wattimena, 1992) yang bila
dibiarkan akan menyebabkan kematian. Beberapa perlakuan yang dapat
mengatasi masalah ini di antaranya dengan pembilasan dengan air secara terus-
menerus atau perlakuan arang aktif untuk menyerap senyawa fenol (Santoso
& Nursandi, 2002). Masalah pencokelatan pada kultur jaringan jati dapat
ditanggulangi dengan subkulur atau pemindahan eksplan secara periodik
dengan perlakukan waktu berbeda (Tiwari et al., 2002). Pada tanaman jati,
pemindahan (transfer) eksplan sebanyak lima kali yang dipindahkan ke media
baru setiap 12 jam mampu menumbuhkan 76,8 eksplan yang bertunas.
54
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
b. Media kultur
Media kultur harus memiliki beberapa unsur penting seperti sumber
energi, zat pengatur tumbuh, vitamin, garam-garam anorganik, dan karbon.
Menurut Orcutt dan Nilsen (2000), garam anorganik mengandung unsur-
unsur hara yang esensial yang diperlukan tanaman memiliki fungsi tidak bisa
digantikan unsur lain yang diperlukan proses metabolisme tanaman atau
sebagai kofaktor reaksi enzim. Unsur hara esensial terdiri dari 2 kelompok,
yaitu unsur hara makro dan hara mikro. Unsur hara makro merupakan unsur
hara penting yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar (1-15 mg/berat
kering tanaman) seperti nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, kalsium, dan
sulfur (George & Klerk, 2008). Unsur mikro merupakan unsur hara yang
diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit (0,1μg-0,1 mg/g
berat kering tanaman). Beberapa unsur yang termasuk unsur hara mikro di
anataranya adalah Mn, Fe, Zn, Co, B, Co, Mo, Co (Gamborg & Shylluk,
1981) dan CL (George & Klerk, 2008). Selain itu, media kultur jaringan
juga tidak hanya mengandung unsur hara makro dan mikro, namun
membutuhkan karbohidrat yang berupa gula untuk menggantikan karbon
(Gunawan, 1987), seperti glukosa atau sukrosa (Santoso & Nursandi, 2002),
dengan konsentrasi biasanya 2%- 4%. Komposisi media dasar untuk setiap
jenis berbeda-beda, seperti media Vacin dan Went yang umumnya digunakan
untuk jenis anggrek, media dasar B5 untuk jenis kedelai, alfafa, dan jenis-jenis
legum lainnya. Media dasar WPM (woody plant media) banyak dipakai untuk
jenis-jenis tanaman hutan. Pada jenis jati, media WPM yang digunakan
mengandung BAP 2,5 mg/l yang mampu memproduksi jumlah tunas rata-rata
7 tunas (Nursyamsi & Suhartati, 2007). Media MS (Murashige dan Skoog)
mempunyai komposisi unsur yang lebih lengkap sehingga dapat digunakan
untuk kultur hampir semua jenis tanaman (Gunawan, 1987). Pembiakan
jenis jati dengan menggunakan media MS mampu menumbuhkan jumlah
tunas terbanyak dibandingkan dengan menggunakan media lainnya (rata-rata
tujuh tunas) (Herawan & Husnaeni, 2001).
55
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
56
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
57
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
58
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
59
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
60
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
E. Pemeliharaan Bibit
Pemeliharaan bibit di persemaian meliputi pembersihan gulma,
penyiraman dan pemupukan. Naungan diperlukan hingga bibit siap untuk
diaklimatisasi dan untuk jenis cepat tumbuh naungan mulai dikurangi pada
umur 40-45 hari setelah sapih (Chandra, 2001).
1. Penyiraman
Intensitas penyiraman ini harus mempertimbangkan kondisi iklim
setempat dan media semai yang digunakan. Pada daerah kering, intensitas
penyiraman dapat dilakukan 2 kali sehari atau sebaliknya di daerah yang
sering turun hujan penyiraman hanya dilakukan pada hari tidak turun hujan.
Selain itu, bibit-bibit yang baru disapih umumnya memerlukan naungan
dengan intensitas pencahayaan bervariasi (40 – 60%).
Penyiraman media di dalam polybag/wadah harus betul-betul dalam
keadaan jenuh dimana semua bagian media basah secara menyeluruh. Pada
saat penyiraman, kekuatan semprotan air jangan terlampau keras sehingga
tidak menyebabkan kerusakan bibit, erosi atau kehilangan permukaan media.
Secara umum, penyiraman diaplikasikan dua kali dalam sehari khususnya pada
musim panas di saat tidak ada hujan. Penyiraman harus mempertimbangkan
kondisi bibit, pada bibit muda yang berukuran kecil, air semprotan harus
lebih halus dan tidak terlalu kencang. Penyiraman juga harus sesuai dengan
kebutuhan tanaman, penyiraman yang terlalu banyak akan merusak bibit
karena akan menyebabkan genangan air yang memenuhi pori-pori udara di
dalam media sehingga akar tidak bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga
menyebabkan bibit tumbuh terlalu cepat namun kurang kuat dan memacu
pertumbuhan jamur dan bakteri pathogen (Sudrajat et al., 2010).
Pada persemaian permanen, penyiraman dilakukan dengan sistem irigasi
yang lebih modern dengan menggunakan nozzle yang diatur dengan sistem
control panel sebagai pengendali on/off secara otomatis. Sistem penyimpanan
tersebut dapat digantung atau ditanam dengan menggunakan pipa high density
polyethylene. Sistem irigasi di persemaian permanen juga dilengkapi dengan
saluran air pembuangan (BSN, 2016).
61
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
62
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
waktu yang lama untuk pemulihannya menjadi bibit siap tanam. Pemangkasan
akar dilakukan pagi atau sore hari dengan penyiraman bibit terlebih dulu,
kemudian akar bibit yang tumbuh ke luar media dipotong.
63
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Tabel 12. Hama dan penyakit bibit tanaman hutan di persemaian dan cara
pengendaliannya
No Hama/penyakit Tanaman inang Teknik pengendalian
1. Hama perusak daun
- Eurema spp. (kupu Paraserianthes Insektisida biologi berbahan
kuning) falcataria, Acacia aktif Baccilus thuringiensis
spp., Cassia (Deftin WDG dan Dipel
siamea, Sesbania WP) dengan dosis cc per
grandiflora. liter atau insektisida biologi
yang mengandung jamur
entomopotogenik Beauveria
bassiana dengan dosis 25 g
kultur jamur per liter.
- Pteroma plagiphelps, P. falcataria, Acacia Insektisida sistemik berbahan
Amatissa sp., spp., Eucalyptus aktif dimetoat (Perfekthion 400
Cryptothelea spp. spp., Pinus merkusii EC) dengan dosis 2-4 cc per
(ulat kantong) liter.
- Locusta sp. dan Hampir semua Insektisida berbahan aktif
Valanga sp. jenis. BPMC (Bassa 50 EC) dengan
(belalang) dosis 2-4 cc per liter.
- Kutu lilin T. grandis, P. a. Mekanis : pemangkasan
merkusii bagian tanaman yang
terserang dan dibakar
b. Sistemik :
- Insektisida berupa larutan
“demikron” secara kontinyu
- Insektisida berbentuk
butiran (Furadan G dan
Dharmaphur G) dengan
dosis ± 10 gr/tanaman yang
ditebarkan di sekeliling
tanaman
- Insektisida nabati/hayati
yang disemprotkan pada
batang dan atau daun.
2. Hama perusak pucuk
- Hypsiphyla robusta Swietenia Insektisida sistemik berbahan
(penggerek pucuk) macrophylla aktif dimetoat (Perfekthion 400
EC) dengan dosis 2-4 cc per
liter.
64
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
Tabel 12. Hama dan penyakit bibit tanaman hutan di persemaian dan cara
pengendaliannya (lanjutan)
No Hama/penyakit Tanaman inang Teknik pengendalian
- Dioryctria rubella P. merkusii Insektisida sistemik berbahan
aktif dimetoat (Perfekthion 400
EC) dengan dosis 2-4 cc per
liter.
3. Penyakit lodoh Acacia spp., Sterilisasi media semai
(dumping off) Eucalyptus spp., P. (penggorengan, air panas,
merkusii, Falcataria fumigasi) dengan larutan
moluccana, dll. fungisida (seperti captan,
ceresan).
4. Penyakit embun Leucaena Fungisida berbahan aktif
tepung lecochepala, Acacia benomil (Benlate) dengan dosis
spp., Falcataria 1-2 gr per liter.
moluccana.
5. Penyakit layu bakteri Tectona grandis Penyiraman tidak
(bakteri Pseudomonas terlalu lembap, media
tectonae) disterilkan dengan larutan
dihydrostrepotomycin 0,005%
atau formaldelhide 4%,
bakterisida dengan bahan aktif
asam oksolinik (Starner 20 WP).
6. Penyakit bercak daun
- Altelaria sp. Acacia spp. Menjaga kelembapan, fungisida
- Curvularia sp. dan Eucalyptus sp. dengan bahan aktif tembaga
Cylyndrocladium oksiklorida atau propineb
sp. dengan dosis sesuai label.
- Pestalotiopsis sp. P. merkusii
- Pestalotia sp. Shorea sp. dan
Gmelina arborea
7. Penyakit karat daun Acacia spp. Fungisida Bayleton 250 EC,
(jamur Atelocauda Cupravit OB 21, Benlate T
digitata) 20/20 WP, Daconil 75 WP,
Dithane M-45 80 WP, Antracol
74 WP, Baycor 300 EC,
Orthocide 50 WP, Tilt 250 EC,
Cobox, Calixin 750 EC dengan
dosis 1-2 cc per liter.
Sumber: Departemen Kehutanan (2004), DPSP (2016)
65
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
5. Pemupukan
Pemupukan merupakan kegiatan yang diperlukan untuk menyediakan
hara bagi pertumbuhan bibit secara optimal. Analisis kesuburan media bibit
sangat dianjurkan untuk menentukan kebutuhan dan dosis pupuk yang akan
diberikan. Beberapa penelitian melaporkan efektivitas pemupukan terhadap
pertumbuhan bibit beberapa jenis tanaman hutan, seperti pada jenis Falcataria
moluccana, A. mangium, P. canescens, P. merkusii, S. pinanga, S. leprosula,
Dryobalanops aromatica, D. oblongifolia dan jenis-jenis lainnya. Namun,
pemupukan tidak selamanya memberikan respon terhadap pertumbuhan
bibit seperti pada bibit S. macroptera dan Dipterocarpus kunstleri. Pemupukan
harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tidak berlebihan.
Dosis berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan tidak seimbang (terlalu
cepat tapi bibit mudah patah, cepat layu) dan tidak seimbangnya rasio pucuk
akar (pertumbuhan pucuk terlalu dominan sehingga rasionya terlalu tinggi).
Selain itu, dosis yang terlalu tinggi juga menyebabkan pertumbuhan bibit
terganggu karena pupuk akan meracuni tanaman. Pupuk NPK dan Urea
merupakan pupuk yang paling umum digunakan di persemaian. Pupuk
tersebut umumnya dicairkan dengan dosis 1 sendok makan untuk 10 l air.
Pemberian pupuk kimiawi tersebut disarankan untuk tidak dilakukan apabila
media bibit telah memiliki kandungan hara yang memadai untuk pertumbuhan
bibit. Umumnya media dengan campuran tanah, pupuk kandang, kompos
atau sekam yang optimal sudah cukup untuk mendukung pertumbuhan bibit
di persemaian (Sudrajat et al., 2010; Pramono et al., 2016).
66
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU
Gambar 11. Bibit jati yang belum diaklimatisasi (kiri) dan bibit yang sudah
diaklimatisasi (kanan) (Sudrajat, 2010)
67
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
68
BAB IV.
STANDAR MUTU BIBIT
UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN
DAN HUTAN
70
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
Gambar 12. Jenis dan persentase jumlah pengujian bibit tanaman hutan di
Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b)
71
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Gambar 13. Jenis dan jumlah kelompok bibit tanaman hutan yang diuji di
Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b)
72
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
1. Persyaratan umum
Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing lot bibit dengan menelusuri
kebenaran dokumen bahwa bibit yang diproduksi berasal dari sumber benih
dan/atau dari benih bersertifikat. Pemeriksaan terhadap mutu bibit (secara
genetik) didekati dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan keabsahan Sertifikat Sumber Benih dan/atau Sertifikat
Mutu Benih yang digunakan sebagai benih untuk produksi bibit,
dan
b. Apabila benih diperoleh dari pihak ketiga, pemohon harus
menunjukkan bukti Berita Acara Surat Pembelian Benih atau
mengkonfirmasikan kebenaran Sertifikat tersebut kepada institusi
yang menerbitkan Sertifikat Sumber Benih dan/atau Sertifikat Mutu
Benih.
Untuk itu, persyaratan umum bibit tanaman hutan berdasarkan hasil
pemeriksaan bertahap tersebut meliputi:
a. Asal usul benih yang ditunjukkan dengan sertifikat sumber benih
atau surat keterangan atau sertifikat mutu benih;
b. Bibit berbatang tunggal dan lurus, tinggi maksimal 1,5 m;
c. Bibit sehat (tidak terserang hama dan penyakit), warna daun normal
dan tidak menunjukkan kekurangan unsur hara dan tidak mati
pucuk;
d. Bibit telah berkayu (50% bagian tinggi batangnya yang telah
berkayu);
e. Bibit yang memenuhi persyaratan umum di atas dinyatakan sebagai bibit
normal dan kelompok bibit yang telah memenuhi persyaratan umum
(bibit normal) dapat dilanjutkan untuk pengujian persyaratan khusus.
73
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
2. Persyaratan khusus
Pengujian persyaratan khusus dilakukan setelah persyaratan umum
terpenuhi. Persyaratan khusus bibit tanaman hutan ditentukan berdasarkan
hasil pengukuran terhadap parameter:
a. tinggi bibit,
b. diameter pangkal batang bibit,
c. kekompakan media,
d. jumlah daun.
Persyaratan khusus setiap jenis tanaman hutan sesuai Tabel 15 (Sub
Bab Standar Mutu Bibit). Untuk jenis yang belum tercantum dalam tabel,
penilaian didasarkan pada genus atau famili yang sama.
3. Pengambilan contoh
Pengambilan contoh dilakukan pada setiap bedeng dalam kelompok
bibit secara sistematis dengan awal acak (systematic sampling with random start)
dengan jumlah contoh uji sesuai Tabel 13. Intensitas pengambilan contoh
bibit untuk pengujian mutu bibit adalah maksimal 10%.
Tabel 13. Jumlah contoh (sampel) bibit yang akan diperiksa dengan intensitas
sesuai dengan jumlah bibit yang akan disertifikasi
Jumlah bibit yang diperiksa (batang) Jumlah contoh (batang)
< 1.000 10
1.000 - < 10.000 100
10.000 - < 50.000 200
50.000 - < 100.000 500
100.000 - < 1.000.000 1.000
> 1.000.000 2.000
74
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
4. Cara pengujian
Peralatan yang diperlukan untuk pengujian mutu bibit di antaranya
adalah kaliper atau jangka sorong dengan ketelitian 0,5 mm, alat ukur tinggi
atau penggaris, pisau tajam (cutter), alat penghitung manual, kalkulator, dan
tallysheet. Parameter yangn diuji adalah persentase bibit normal, kekompakan
media, tinggi bibit, diameter dan jumlah daun.
a. Prosedur perhitungan
1). Perhitungan persentase bibit normal adalah sebagai berikut:
Jumlah bibit normal
Bibit normal = × 100 %
Jumlah bibit yang diperiksa
2). Kekompakan media
Kekompakan media dan perakarannya ditetapkan dengan cara
mengeluarkan bibit dari wadah media kemudian diamati kekompakan
media dan perakarannya, sebagaimana pada Gambar 14.
75
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
76
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
77
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
78
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
6. Laporan hasil
Laporan hasil umumnya dinyatakan dalam bentuk sertifikat mutu bibit
yang menerangkan hasil pengujian mutu bibit dengan rekomendasi lulus
atau tidak lulus uji. Jika lulus uji, bibit tersebut layak untuk diedarkan atau
dikomersialisasikan. Hasil pengujian dinyatakan dalam bentuk tabel sesuai
Gambar 17.
79
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
7. Penandaan
Label bibit dicetak dan dipasang oleh produsen bibit yang dimonitor dan
dievaluasi oleh Balai yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
perbenihan tanaman hutan. Bibit lulus uji diberikan keterangan sebagai
berikut:
a) jenis;
b) sumber benih (lokasi dan kelas sumber benih);
80
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
c) jumlah bibit;
d) keterangan pengujian bibit (nama penguji, waktu, dan lembaga
penguji).
Masa kedaluwarsa hasil pengujian mutu bibit adalah 6 bulan atau tinggi
bibit telah melebihi 1,5 m.
Gambar 18. Bibit yang telah diuji dipisahkan dan diberi label atau tanda
81
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Acacia crassicarpa Leguminosae Karpa ≥25 ≥3,5 ≥6
Acacia mangium Leguminosae Mangium ≥25 ≥3 ≥6
Adenanthera Leguminosae Saga pohon ≥30 ≥3 ≥8
microsperma
Agathis loranthifolia Araucariaceae Damar ≥30 ≥6 ≥6
Albasia chinensis Leguminosae Sengon ≥40 ≥4 LCR ≥45%
merah
Alstonia scholaris Apocynaceae Pulai ≥40 ≥5 ≥9
Aleurites moluccana Phyllanthaceae Kemiri ≥45 ≥5 ≥6
(Euphorbiaceae)
Artocarpus Moraceae Nangka ≥40 ≥4,5 ≥6
heterophyllus
Artocarpus camansi Moraceae Kluwih ≥35 ≥4,5 ≥4
82
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
(lanjutan)
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae Gaharu ≥30 ≥3,53 LCR ≥9 %
Avicennia sp. Acanthaceae Api-api ≥35 ≥5 ≥6
Azadirachta indica Meliaceae Intaran/ ≥25 ≥3 ≥8
mimba
Bruguera sexangula Rhizophoraceae Bakau ≥30 ≥4,5 ≥4
Calophyllum Guttiveraceae Nyamplung ≥30 ≥4 ≥6
inophyllum
Caliandra callothyrsus Leguminosae Kaliandra ≥30 ≥4 LCR ≥45%
merah
Calliandra tetragona Leguminosae Kaliandra ≥30 ≥4 LCR ≥45%
putih
Canarium odorata Burseraceae Kenari ≥30 ≥4 ≥6
Casuarina Burseraceae Cemara ≥45 ≥2,5 LCR ≥50%
junghuniana gunung
Dipterocarpus sp. Dipterocarpaceae Keruing ≥40 ≥4 ≥8
Delonix regia Leguminosae Flamboyan ≥35 ≥3,5 LCR≥40%
Diospyros celebica Ebenaceae Eboni ≥30 ≥3 ≥10
Duabanga moluccana Sonneratiaceae Benuang ≥40 ≥4,5 ≥10
laki/takir
Dyera lowii Apocynaceae Jelutung ≥35 ≥6 ≥6
rawa
Dysoxylum parasiticum Meliaceae Majegau ≥30 ≥5 ≥8
Dryobalanops Dipterocarpaceae Kapur ≥35 ≥3,5 ≥10
aromatica
Enterobium Leguminosae Sengon buto ≥50 ≥4 LCR ≥80%
ciclocarpum
Eucalyptus urophylla Myrtaceae Ampupu >30 > 2,5 ≥8
Eucalyptus pellita Myrtaceae Pelita >20 >2 ≥6
Eusideroxylon zwagery Lauraceae Ulin ≥40 ≥6 ≥6
Ficus benyamin Moraceae Beringin ≥40 ≥5 ≥18
Ficus variegata Moraceae Nyawai ≥35 ≥4 ≥6
Gyrinopsis versteegii Thymelaeaceae Ketimunan ≥25 ≥3,5 ≥12
Gmelina moluccana Verbenaceae Kayu titi ≥30 ≥4 ≥5
Gmelina arborea Verbenaceae Jati putih ≥30 ≥4 ≥5
Hibiscus macrophyllus Malvaceae Tisuk ≥30 ≥5 ≥10
83
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
(lanjutan)
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Hura crepitans Euphorbiaceae Hura ≥30 ≥6 ≥10
Hymenea courbaril Leguminosae Hymnea ≥50 ≥5 ≥8
Instia bijuga Leguminosae Merbau ≥30 ≥4,5 ≥4
Lagerstoemia speciosa Lythraceae Bungur ≥30 ≥4 ≥6
Maesopsis emenii Rhamnaceae Kayu afrika ≥35 ≥4 ≥8
Magnolia blumei Magnoliaceae Manglid ≥35 ≥4,5 ≥8
(sinonim: Manglieta
glauca)
Magnolia champaca Magnoliaceae Bambang ≥35 ≥4,5 ≥8
(sinonim: Michelia lanang
champaca)
Manilkara kauki Sapotaceae Sawo kecik ≥25 ≥3 ≥12
Mangifera kasturi Anacardiaceae Kasturi ≥35 ≥4,5 ≥6
Melia azedarach Meliaceae Mindi ≥35 ≥3,5 ≥8
Melia excelsa Meliaceae Sentang/ ≥40 ≥6 ≥6
kayu
bawang
Mimosops elengi Sapotaceae Tanjung ≥35 ≥5 ≥6
Neolamarckia Rubiaceae Jabon putih ≥35 ≥4,5 ≥6
cadamba (sinonim:
Anthocephalus
cadamba)
Neolamarckia Rubiaceae Jabon merah ≥25 ≥4 ≥5
macrophilla (sinonim:
Antocephalus
macrophyllus).
Octomeles sumatrana Tetramelaceae Benuang ≥25 ≥7 ≥6
bini
Palaquium alovium Sapotaceae Nyatoh ≥28 ≥3 ≥8
Palaquium Sapotaceae Nyatoh ≥35 ≥4 ≥8
dasyphyllum
Falcataria Leguminosae Sengon ≥35 ≥4 LCR ≥30%
moluccana (sinonim:
Paraserianthes
falcataria)
84
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
(lanjutan)
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Pericopsis mooniana Papilionaceae Kayu kuku ≥30 ≥4 ≥8
Peronema canescens Sungkai ≥30 ≥4 9
Planchonia valida Lecythraceae Putat ≥35 ≥6 ≥10
Polyalthia longifolia Anonaceae Glodogan ≥45 ≥6 ≥10
tiang
Pometia pinnata Sapindanceae Matoa ≥40 ≥5 ≥6
Pterocarpus indicus Leguminosae Angsana ≥35 ≥4 ≥8
Pterospermum Sterculiaceae Bayur ≥35 ≥4,0 ≥8
javanicum
Rhizophora apiculata Rhizopharaceae Bakau ≥35 ≥5 ≥4
Rhizophora mucronata Rhizopharaceae Bakau ≥50 ≥16 ≥4
Rhizophora stylosa Rhizopharaceae Bakau ≥40 ≥15 ≥4
Pinus merkusii Pinaceae Tusam ≥25 ≥3 ≥8
Santalum album Santalaceae Cendana ≥35 ≥4 ≥11
Scheleichera oleosa Sapindaceae Kesambi ≥35 ≥4 ≥8
Shorea balangeran Dipterocarpaceae Balangeran ≥40 ≥4 ≥8
Shorea leprosula Dipterocarpaceae Meranti ≥40 ≥3,5 ≥7
Shorea levis Dipterocarpaceae Bangkirai ≥50 ≥4 ≥8
Shorea parvifolia Dipterocarpaceae Meranti ≥34 ≥3,6 ≥10
Shorea stenoptera Dipterocarpaceae Tengkawang ≥38 ≥4 LCR ≥10
Shorea sp. Dipterocarpaceae Meranti ≥45 ≥4 ≥8
85
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
86
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
87
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
a b
Gambar 19. Bahan tanaman yang berasal puteran bagian akar dan medianya
dibungkus dengan kantong plastik dan karung (a), dan jika belum
digunakan untuk penanaman pada musim hujan berikutnya,
maka ditanam kembali dengan wadahnya di persemaian (b)
88
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
Tabel 15. Ukuran karung plastik bibit untuk diletakkan di dalam tanah
Diameter Kedalaman minimum Minimum volume
(cm) (cm) (cm3)**
13 10 1.278
20 18 5.768
25 23 11.586
30 25 18.534
36 30 30.431
40 30 39.542
46 36 58.387
50 36 72.086
56 40 99.666
60 40 118.609
Sumber : ANSI Z60.1 (2014); CNLA (2017);
Catatan : ** cm3 x 0,001 = liter; 1.000 cm3 = 1 liter
89
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Gambar 20. Pengukuran kedalaman gumpalan akar (root ball) dari American
Standard for Nursery Stock (ANSI Z60.1 tahun 2014) dan contoh
bagian akar tanaman puteran yang dibungkus dengan karung
90
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
Tabel 16. Ukuran gumpalan akar dalam hubungannya dengan tinggi atau
lebar bibit/tanaman konifer untuk tipe tajuk kerucut
Lebar atau tinggi Minimum diameter
Minimum diameter
(bagian mana yang karung plastik untuk
gumpalan akar (cm)
lebih besar) (cm) penggunaan di tanah (cm)
30 20 13
40 25 13
50 30 13
60 35 20
80 40 20
100 45 25
125 50 25
150 50 30
175 60 30
200 70 36
225 75 40
250 80 50
Catatan: modifikasi dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60, 1-2014) dengan
pendekatan ukuran konversi meter (CNLA, 2017)
91
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
92
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN
Tabel 19. Keterkaitan diameter bibit/tanaman, tinggi dan sebaran akar untuk
cabutan/puteran di persemaian
Diameter bibit/tanaman Selang rata-rata tinggi Minimum sebaran akar
(cm) (cm) (cm)
1,3 152 - 183 30
1,9 183 - 244 41
2,5 244 - 305 46
3,2 244 - 305 51
3,8 305 - 366 56
4,5 305 - 366 61
5,1 366 - 427 71
6,4 366 - 427 81
7,6 427 - 488 97
Sumber : dimodifikasi dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60.1-2014)
93
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
94
BAB V.
KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA
A. Keberhasilan Penanaman
Penanaman, secara umum, ditujukan untuk pembangunan hutan
tanaman dengan jenis-jenis cepat tumbuh (umumnya eksotik) hingga
untuk menciptakan tipe dan struktur hutan yang mendekati alami dengan
menggunakan jenis-jenis asli (native species) (Lee et al., 2011). Keberhasilan
penanaman dapat dikaji dari keberhasilan pembangunan tanaman awal
hingga mencapai dewasa dan realisasi manfaat terhadap lingkungan, sosial
dan ekonomi dari keberadaan hutan yang dibangun tersebut (Reay &
Norton, 1999). Hal ini memberi indikasi bahwa pengukuran keberhasilan
penanaman memerlukan beberapa tahapan yang berbeda hingga manfaat
sosial ekonominya. Lee et al. (2011) membuat model konseptual untuk
mengkaji keberhasilan penanaman seperti pada Gambar 21.
Perencanaan untuk penanaman dan pengkajian keberhasilannya
merupakan suatu hal yang komplek. Ada beberapa tahapan dalam penanaman
yang perlu dipertimbangkan, beberapa tujuan dan multi indikator dan
pengendali. Model konseptual yang dikembangkan Lee et al. (2011) terdiri dari
4 kelompok indikator, meliputi indikator keberhasilan penanaman, indikator
keberhasilan pertumbuhan tanaman, indikator keberhasilan lingkungan, dan
indikator keberhasilan sosial ekonomi. Indikator-indikator tersebut tidak
berdiri sendiri, namun saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
96
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
B. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan
Penanaman
Berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan penanaman
diformulasikan dalam bentuk model oleh Hirons dan Percival (2010). Model
tersebut meliputi 4 faktor penting, yaitu ekofisiologi tanaman, kualitas
bibit, penanaman/pemeliharaan, dan lingkungan perakaran (Gambar 22).
Ekofisiologi pohon mempertimbangkan potensi genetik pohon untuk ditanam
di lingkungan dengan karakteristik jenis tertentu yang dapat mengurangi
dampak akibat stress (cekaman) tertentu. Mutu bahan tanaman atau bibit
memegang peranan yang penting pada setiap proyek penanaman. Penanaman
dan praktek paska penanaman adalah dasar dari keberhasilan adaptasi dan
pertumbuhan bahan tanaman atau bibit, dengan memperhatikan lingkungan
perakaran untuk memastikan ketersediaan hara dan simpanan. Kegagalan
dalam mengantisipasi salah satu dari semua faktor ini akan meningkatkan
kematian bahan tanaman dalam skema penanaman pohon. Beberapa tekanan
abiotik yang mempengaruhi keberhasilan penanaman digambarkan dalam
uraian pada Tabel 20.
97
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
98
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
1. Ekofisiologi tanaman
Setiap jenis tanaman memiliki kapasitas yang menjadi sifat pertumbuhan
dan perkembangannya. Kondisi ini berhubungan dengan susunan komplek
morfologi, anatomi dan fisiologi masing-masing tanaman. Ketahanan bibit/
tanaman sangat dipengaruhi oleh (termasuk iklim mikro), namun sejumlah
karakter bibit dapat mendukung ketahanan bibit terhadap lingkungan
penanaman.
a. Iklim mikro
Iklim berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan pohon secara umum.
Apabila keputusan tentang pemilihan jenis tanaman untuk tapak
tertentu tidak mempertimbangkan data tentang kesesuaian iklim, maka
pertumbuhan tanaman di lapangan mungkin tidak optimum. Iklim yang
kurang sesuai pada saat musim tanam, seperti suhu dan radiasi matahari
dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Jenis yang tumbuh sangat
baik di wilayah tertentu, harus beradaptasi terhadap cekaman yang berat
pada kondisi iklim yang berbeda di bagian wilayah lain (Percival &
Hitchmough, 1995).
Permasalahan iklim bisa lebih buruk di lanskap perkotaan dimana
beberapa mikrolimat (zona lingkungan iklim lokal yang berbeda dari
daerah sekitarnya) mungkin ada dalam jarak sangat pendek. Iklim mikro
bisa terbentuk di dekat danau atau tampungan air yang besar yang
99
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
100
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
2. Kualitas tanaman
Bahan tanaman atau bibit bermutu baik harus tersedia untuk penanaman
jika ingin mencapai keberhasilan penanaman. Mekanisme persemaian, seperti
perlakuan persemaian dan spesifikasi bahan tanaman, berperan penting dalam
mengamankan stok berkualitas baik. Prosedur penanganan bibit sangat
penting selama transportasi dan pemindahan untuk melindungi bahan
tanaman dari kerusakan.
a. Spesifikasi pohon
Ada variasi yang cukup besar dalam pelaksanaan pembibitan tanaman.
Pembeli bibit harus belajar untuk mengevaluasi pembibitan dan jika
perlu mendiskriminasikan penangkar/penjual bibit yang bibitnya
mengalami kegagalan tumbuh di lapangan, mencatat penangkar/penjual
bibit dan orang-orang yang secara konsisten memberikan stok berkualitas
tinggi. Beberapa pakar menyarankan pembuatan panduan penggunaan
bibit tanaman dengan spesifikasi yang tepat merinci karakter bibit
yang dibutuhkan pada saat pembelian. Di Indonesia, jaminan kualitas
bibit yang akan ditanam dilakukan dengan skema sertifikasi mutu bibit
(Sudrajat, 2010a)
b. Praktek pembibitan
Praktek pembuatan bibit di persemaian sangat mempengaruhi kualitas
bibit yang dihasilkan. Pemilihan wadah dan media juga sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit. Praktek dan metode yang
101
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
102
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
c. Penanganan bibit
Pada saat transportasi bibit/bahan tanaman ke lokasi penanaman harus
selalu menggunakan kendaraan tertutup untuk melindungi akar dari
angin dan suhu yang ekstrem. Bibit/bahan tanaman harus disiram
sebelum pengiriman dan idealnya pada bagian gumpalan akar diperiksa
kelembabannya pada saat kedatangan dengan menggunakan alat
pengukur kelembaban tanah. Lokasi bibit atau bahan tanaman harus
dijaga di bawah naungan dan disiram minimal dua kali sehari jika suhu
≥ 24°C. Tanaman harus dilindungi dari suhu ekstrem.
3. Lingkungan perakaran
Solotaroff (1911) menyatakan keberhasilan penanaman bibit dan
pertumbuhannya tergantung pada sifat dan persiapan tanah. Pernyataan ini,
dari waktu ke waktu, terbukti benar. Tanah menyediakan media penting
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui penyediaan air
dan mineral/hara dan bertindak sebagai substrat untuk berdirinya tanaman
(Kozlowski et al., 1991). Tanah sangat bervariasi, tanah alami yang sehat
berhubungan dengan keseimbangan bahan padat, udara dan air yang memiliki
komposisi yang khas. Partikel batuan (mineral matter) dapat mencapai 45%,
bahan organik 5%, sedangkan udara dan air masing-masing menempati 20-
30% volume tanah (Brady & Weil, 2008). Bahan padat menempati labirin
ruang pori-pori yang pada gilirannya menyediakan aerasi dan menahan air di
dalam profil tanah. Tekstur tanah, struktur tanah dan biota tanah merupakan
karakteristik lebih lanjut yang mengendalikan fungsi tanah yang penting
untuk pertumbuhan tanaman.
Tanah pada lahan-lahan terdegradasi memiliki karakteristik yang sangat
bervariasi dan rendah kesuburannya (Craul, 1999). Keragaman kondisi tanah
ini membutuhkan profesional dan praktisi yang terlibat dalam penanaman
pohon. Tingkat pengetahuan yang mendalam diperlukan berkaitan dengan
pengembangan jenis-jenis pohon pada kondisi tanah yang berbeda. Pada
tanah yang padat, ketahanan fisik akar meningkat, agregat tanah rusak dan
ruang pori berkurang. Ini mengurangi aerasi tanah, yang merugikan dan
mempengaruhi secara biologis respirasi akar dan biota tanah, yang dapat
berdampak terhadap siklus dan ketersediaan hara. Modifikasi struktur tanah
103
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
juga mengubah sifat hidrolik dan secara nyata memperlambat pergerakan air
melalui tanah yang merepresentasikan defisit air dan genangan air sebagai
masalah potensial (Kozlowski, 1999). Secara umum, sebagian besar akar tidak
dapat menembus tanah lembap dengan kerapatan bulk lebih besar dari 1,4-
1,6 g cm-3 inci tanah, bertekstur halus dan 1,75 g cm-3 bertekstur lebih kasar
(Kozlowski, 1999; Brady & Weil, 2008).
Pohon yang tumbuh pada tanah yang tidak padat memiliki penampilan
lebih baik dibandingkan pohon-pohon pada tanah yang padat hampir pada
semua parameter yang diukur. Hal ini memerlukan aplikasi teknologi
pengolahan lahan yang mampu memperbaiki struktur tanah, sehingga
penanaman ke depan, khususnya untuk daerah-daerah marjinal, dapat lebih
berhasil.
4. Praktek penanaman
Seringkali jenis pohon yang tepat telah dipilih untuk lokasi yang sesuai,
bibit tanaman yang bermutu baik sudah dipersiapkan dari persemaian dan
lingkungan perakaran sudah dinilai mampu menyediakan sumber daya untuk
perkembangan pohon, namun praktik penanaman dan pemeliharaan paska
tanam yang tidak memadai menyebabkan kegagalan penanaman. Praktek yang
baik seharusnya dilakukan melalui manajemen yang kuat dan penggunaan
yang ekstensif dari kriteria bibit tanaman yang memberikan ekspektasi yang
tepat dari semua operasi penanaman dan paska tanam.
Penanaman umumnya menggunakan bibit dalam wadah, seperti polybag,
sehingga sangat penting plastik polybag tersebut tidak tertanam ke dalam
tanah. Lubang tanam disesuaikan dengan ukuran bibit dan besarnya media
bibit. Penambahan pupuk dasar yang berupa kompos atau pupuk kandang
sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas tapak penanaman. Pada saat
penanaman, setelah pupuk dasar dimasukkan ke lubang tanam (minimal dua
minggu sebelum penanaman), tanah lapisan atas dimasukan ke lubang tanam,
kemudian bibit dengan hati-hati dikeluarkan dari wadahnya dan ditanam.
Tanah bekas galian lubang tanam selanjutnya dimasukan ke lubang tanam
dan dipadatkan secara perlahan dan bibit harus tetap berdiri tegak. Timbunan
tanah di sekitar bibit harus lebih tinggi dari pada tanah di sekitarnya.
104
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
105
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
b. Pemeliharaan rhizosfer
Rhizosfer adalah wilayah tanah yang berhubungan erat dengan akar
tanaman dan kesehatan tanaman. Ini wilayah yang rumit terkait
hubungan tanaman dengan komunitas organisme yang penting untuk
kesehatan tanah (Buée et al., 2009). Meski sulit untuk secara langsung
mempengaruhi kondisi sebenarnya dari rhizosfer, intervensi diperlukan
untuk mendukung ekologi tanah dan struktur tanah yang baik, yang akan
meningkatkan kesehatan rhizosfer dan secara bersamaan memperbaiki
kinerja pohon. Pemberian mulsa dapat meningkatkan keberhasilan
penanaman karena mulsa bermanfaat untuk meminimalkan fluktuasi
suhu dan melembapkan tanah, menekan gulma, meningkatkan nutrisi
tanah, mencegah erosi tanah akibat hujan lebat, mengatur pH tanah dan
kapasitas tukar kation (KTK) serta mencegah berkembangnya penyakit
tanaman (patogen), meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan aerasi
tanah. Penggunaan mulsa organik seperti serasah, jerami atau bahan
lainnya lebih disarankan untuk pertumbuhan akar dan pohon yang lebih
baik (Chalker-Scott, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mulsa
murni dapat memiliki pengaruh substansial pada tingkat kelangsungan
hidup dan pertumbuhan pohon (Percival et al., 2009). Mulsa harus
berukuran tebal antara 5 - 10 cm dan diletakkan dari permukaan tanah
ke bagian dalam tanah. Jika ini tidak praktis, minimum lingkaran mulsa
harus 0,3 m untuk pohon kecil, 1 m untuk pohon sedang dan 3 m untuk
pohon besar. Mulsa tidak diposisi dekat dengan batang karena ini akan
menimbulkan kelembapan yang berlebih di sekitar batang dan dapat
menimbulkan penyakit.
Defisit air mempengaruhi hampir semua aspek pertumbuhan dan
perkembangan bibit (Pallardy, 2008). Defisit air pada bibit yang baru
ditanam hampir selalu dikaitkan dengan kekeringan periodik yang dapat
merusak sistem perakaran pada volume tanah yang terbatas, dan seringkali
terjadi pada lokasi penanaman. Defisit air yang parah mengakibatkan tidak
dipenuhinya fungsi transpirasi sebagai akibat dari hilangnya peranan akar
selama penanaman dan terbatasnya akses terhadap air tanah. Defisit air
dianggap sebagai penyebab utama kegagalan bibit yang baru ditanam dengan
tidak adanya turgor daun, penutupan stomata, menurunnya fotosintesis dan
106
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
107
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
108
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
sebagian akan tumbuh dengan baik di tanah berpasir sementara yang lain
lebih menyukai tanah liat. Survei dan peta tanah di daerah dapat memberi
gambaran jenis tanah yang ada di lokasi tertentu, tetapi informasinya mungkin
sangat umum, sehingga analisis tanah untuk mengetahui kondisi fisik dan
kimia tanah yang terkait dengan kesuburannya harus dilakukan (Wisconsin
DNR Forestry Nursery, 2008).
Sebelum penanaman skala besar, contoh tanah harus dianalisis kandungan
nutrisi tanahnya dan setiap kekurangan nutrisi diperbaiki dengan pemupukan
yang tepat. Pohon yang ditanam di tanah kering yang mengandung air
dan ketersediaan nutrisi yang memadai tidak perlu disuburkan. Menurut
beberapa penelitian, pertumbuhan tanaman sampai besar bisa diatur dengan
tingkat nutrisi dalam pupuk seperti nitrogen (N) yang diidentifikasi sebagai
makronutrien yang memiliki pengaruh terbesar (Zandstra & Liptay, 1999).
Pertumbuhan akar pohon meningkat secara eksponensial dengan ketersediaan
N tanah (Gilbertson et al., 1985). Peneliti di Arboretum Morton di Amerika
Serikat menyimpulkan bahwa aplikasi granular N meningkatkan kerapatan
akar Gleditsia triacanthos var. Inermis dan Quercus palustris dibandingkan
dengan granular potassium dan pupuk fosfor (Watson,1994), walaupun
dari hasil penelitian lain yang mempelajari pengaruh pupuk N terhadap
perubahan rasio akar terhadap tunas menunjukkan sedikit atau tidak ada
dampak pada stimulasi akar (Hari & Harris, 2007). Hasil ini konsisten
dengan hasil penelitian lain (Zainudin et al., 2003; Day & Harris, 2007)
yang menggunakan Azadirachta excelsa, Mimusops elengi, Hopea odorata,
Pseudoacacia menziesii, Rubro acer, Liriodendron tulipifera, dan Tilia cordata
sebagai spesies uji.
109
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
110
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
111
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Nama jenis harus diambil dari daftar taksonomi yang diterima secara luas
dan tersedia, seperti daftar tanaman (http: //www.theplantlist.org/), jika tidak,
akan sulit untuk menyesuaikan apabila ada kegiatan yang menggunakan jenis
yang sama, namun nama ilmiahnya berbeda-beda. Asal benih harus dijelaskan
secara rinci, termasuk asalnya dan, jika tersedia, informasi pengumpulan
seperti lokasi, tanggal, dan jumlah pohon induk.
Penyimpanan benih, protokol seleksi benih, dan/ atau kondisi dan teknik
yang digunakan untuk perkecambahan juga merupakan prosedur penting
untuk dicatat. Setelah bahan tanaman dijelaskan dengan benar, maka harus
dipastikan deskripsi lengkap kondisi persemaian atau kondisi pertumbuhan
bibit. Koordinat geografis dari persemaian dan periode perbanyakan tanaman
akan berguna untuk menentukan kondisi iklim (jika tidak dilaporkan)
pada saat bibit ditanam di lapangan akan mempengaruhi kualitas bibit dan
penampilan pasca penanaman (Mollá et al. 2006). Informasi tersebut akan
dimasukkan dalam deskripsi kondisi pertumbuhan bibit di persemaian yang
menggambarkan karakter bibit yang dipelihara di persemaian. Informasi
112
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
113
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
114
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
115
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
dari lahan hutan tanaman, dan setiap heterogenitas plot yang jelas (misalnya
orientasi kemiringan yang berbeda) harus dijelaskan. Tanggal saat pengukuran
kinerja adalah penting untuk mengetahui secara pasti periode pertumbuhan
tanaman. Akhirnya, penggunaan ekoteknologi, seperti tempat naungan dari
pohon, amandemen organik, mulsa, dan hidrogel (Pineiro et al., 2013) harus
dijelaskan secara detail. Setelah bibit ditanan, beberapa kegiatan manajemen
dan pemeliharaan dapat dilakukan yang sangat mempengaruhi penampilan
bibit di lapangan. Penyiangan adalah kegiatan pemeliharaan yang tersebar
luas di hutan tanaman tetapi bervariasi dengan kondisi lingkungan, kerapatan
penanaman, jenis gulma dan bibit yang dibuang (Gomez-Aparicio, 2009;
Kabrick et al., 2015). Dengan demikian, informasi penyiangan mengenai
intensitas, frekuensi, waktu, dan metode harus dimasukkan dalam metode
pemeliharaan. Pemupukan dan irigasi dapat dilakukan pada saat penanaman
dan/atau sesudah penanaman (Rey-Benaya, 1998; Casselman et al., 2006).
Dalam kedua kegiatan tersebut, termasuk ketika praktek pemupukan dan
irigasi dimulai, frekuensi berikutnya, dan total jumlah yang diterapkan per
tanaman. Untuk praktik pemupukan, jenis dan formulasi pupuk harus tersedia.
Kegiatan pemeliharaan dan manajemen lainnya, seperti penanaman kembali,
pemangkasan, atau penjarangan juga harus diinformasikan. Informasi-
informasi tersebut sangat penting sebagai rujukan untuk menentukan kegiatan
pengelolaan yang tepat sehingga kegiatan rehabilitasi lahan, penanaman atau
pembangunan hutan dapat berhasil sesuai dengan target dan tujuan.
116
BAB VI.
PENUTUP
Kebutuhan bibit atau bahan tanaman siap tanam untuk berbagai program
penanaman mendorong diberlakukannya suatu standar mutu bibit sebagai
refleksi dari kriteria bibit siap tanam. Mutu bibit diartikan sebagai suatu
karakter yang sesuai dengan tujuan yang memberi indikasi bahwa karakter bibit
yang dijadikan parameter penentu dapat menjamin kemampuan bibit untuk
beradaptasi dan tumbuh optimal setelah penanaman. Mutu bibit berhubungan
dengan lingkungan penanaman dan jenis sehingga sifatnya dinamis dan tidak
dapat diadopsi langsung untuk jenis dan lokasi penanaman yang berbeda
secara ekologis. Artinya mutu bibit tidak dapat hanya dideskripsikan di
persemaian, tetapi juga dapat dibuktikan di lokasi penanaman. Mutu bibit
yang banyak diaplikasikan didasarkan pada morfologi bibit (tinggi bibit,
diameter batang, jumlah daun) yang didukung oleh fisiologi bibit. Standar
bibit tanaman hutan layak tanam di Indonesia telah disusun oleh Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Dirjen PDASHL, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
merupakan produk Badan Standardisasi Nasional (BSN). Kriteria bibit layak
edar ukuran besar untuk jenis-jenis tanaman hutan, semak dan hortikultura
yang dicantumkan disini berpedoman pada buku American Standard for
Nursery Stock, ANSI Z60.1-2014. Amerika Serikat telah mencanangkan
free to grow yang menyatakan kriteria bibit tanaman di persemaian bukan
hanya hidup jika ditanam tapi juga harus tumbuh lebih baik dari vegetasi
pesaing dalam kurun waktu 5 tahun. Bagaimanapun optimalnya penampilan
bibit di persemaian harus dapat mecapai hakekat tujuan sebenarnya yang
hendak dicapai dari suatu standar mutu bibit yaitu menghasilkan tanaman
berkualitas terbaik (plant quality) yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi,
pertumbuhan awal yang cepat dan memiliki penampilan yang sesuai dengan
harapan.
Keberhasilan tanaman mencapai tanaman berkualitas di lapangan tidak
hanya ditentukan oleh kualitas bibit (spesifikasi bibit, praktek persemaian,
penanganan bibit), tetapi juga oleh ekofisiologi tanaman (iklim lokal, toleransi
tanaman, fenologi), lingkungan perakaran (volume tanah, ekologi tanah,
struktur tanah), dan penanaman dan pasca penanaman (praktek penanaman,
pengelolaan kanopi, pemeliharaan rhizosfer). Banyaknya faktor yang berperan
terhadap keberhasilan bibit tumbuh menjadi tanaman yang berkualitas
baik, memberikan pengertian kepada siapapun yang terlibat dalam program
penanaman untuk memahami faktor-faktor yang berperan tersebut dan
memaksimalkan semua upaya agar mampu mewujudkan tanaman berkualitas
baik di lokasi penanaman.
118
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R. M. (1953). Large longleaf seedlings survive well. Tree Planters’ Notes.
14, 17 - 18.
American Horticulture Industry Association. (2014). American Standard for
Nursery Stock (ANSI Z60.1-2014). American Hort.
Andivia, E., Villar‑Salvador, P., Oliet, J. A., Puértolas, J., & Dumroese, R. K.
(2018). How can my research paper be useful for future meta‑analyses
on forest restoration plantations?. New Forest. https://doi.org/10.1007/
s11056-018-9631-y.
ANLA (American Nursery & Landscape Association). (2004). American
Standard for Nursery Stock. Washington, USA: American Nursery &
Landscape Association.
Appleton, B. L., Cannella, C. M., Wiseman, P. E. & Alvey, A. A. (2008).
Tree stabilization: current products and practices. Arboriculture and
Urban Forestry 34, 54 – 58.
Arnold, M. A. (1987). Cupric carbonate modification of Quercus rubra and
Fraxinus pennsylvanica root systems and implications for production and
transplant. MSc, The Ohio State University.
Arnold, M. A., Mcdonald, G. V., Bryan, D. L., Denny, G. C., Watson, W. T.
& Lombardini, L. (2007). Below-grade planting adversely affects survival
and growth of tree species from five different families. Arboriculture and
Urban Forestry 33, 64 – 69.
Arnott, J. T. & Pendl, F. T. (1994). Field performance of several tree species
and stock types planted in montane forest of coastal British Columbia,
Natural Resouces Canada, Canadian Forest Service-Pacific and Yukon
Region. International Report BC-X-347. 45p.
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Ayub, M., & Batara, I. (2015). Peran BPDAS dalam Peningkatan Produktivitas
Hutan Rakyat. Prosiding seminar teknologi perbenihan, silvikultur, dan
kelembagaan dalam peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Bandar
Lampung: Pusat Penellitian dan Pengembangan Hutan, p 199 - 206.
Babaie, H., Zarei, H., & Hemmati, K. (2014). Propagation of Ficus benjamina
var. starlight by stenting technique under different concentrations of IBA
in various times of taking cutting. Journal of Ornamental Plants, 4(2),
75 - 79.
Bacon, G. J., Hawkins, P. J. & Jermyn, D. (1977). Morphological grading
studies with 1-0 slash pine seedlings. Australian Forestry. 40, 293 - 303.
Barner, H. & Ditlevsen. (1988). Strategies and procedures for an integrated
national tree-seed programe for seed procurement, tree improvement and
genetic resources. Lecture Note A-1. Humlebaek: Danida Forest Seed
Centre.
Barner, H., Olesen, K. & Wellendorf, H. (1988). Classification and selection
of seed sources. Lecture Note B-1. Humlebaek: Danida Forest Seed
Centre.
Barnes, S. & Percival, G. C. (2006). The influence of biostimulants and water-
retaining polymer root dips on survival and growth of newly transplanted
bare-rooted silver birch and rowan. Journal of Environmental Horticulture
24, 173 –179.
Baskin, C. C. & Baskin, J. M. (2005). Seed Dormancy in trees of climax
tropical vegetation types. Tropical Ecology 46(1), 17 - 28.
Bhardwaj & Mishra, V. K. (2005). Vegetative propagation of Ulmus villosa:
effects of plant growth regulators, collection time, type of donor and
position of shoot on adventitious root formation in stem cuttings. New
Forest, 29,105 - 106.
Bickelhaupt, D. H. (1980). Nursery soil and seedling analysis methodology.
pp 237 -260. In Proc. North American Forest Tree Nursery Soils
Workshop (L.P. Abrahamson and D.H. Bickelhaupt eds.) State Univ.
New York College Environ. Sci. and Forestry, Syracuse.
Biondi, S. & Thorpe, T. A. (1981). Requirements for a tissue culture facility:
Methode and application in agriculture. Thorpe, T. A. (ed.). New York
London-Sidney-San Francisco: Academic Press.
120
DAFTAR PUSTAKA
121
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
122
DAFTAR PUSTAKA
Danu, Putri, K. P., & Sudrajat, D. J. (2017). Pengaruh media dan zat pengatur
tumbuh terhadap perbanyakan stek pucuk nyawai (Ficus variegata
Blume). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 11(1), 155 – 168.
Danu, Siregar, I. Z., & Wibowo, C. (2010). Pengaruh umur sumber bahan
stek terhadap keberhasilan stek pucuk meranti tembaga (Shorea leprosula
Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(3),131 - 139.
Davies, M. J., Hipps, N. A. & Kingswell, G. (2002). The effects of indole-3-
butric acid root dips on the development and shoot growth of transplanted
Fagussylvatica L. and Quercus robur L. seedlings. Journal of Horticultural
Science and Biotechnology 77, 209–216. Parallel session 1a: Tree planting
and establishment 61.
Day, S. D. & Harris, J. R. (2007). Fertilization of redmaple (Acer rubrum)
and littleleaf linden (Tilia cordata) trees at recommended rates does not
aid tree establishment. Society 33, 113 – 121.
De Jong,W., Sam, D. D., & Hung, T. V. (2006). Forest Rehabilitation in
Vietnam: Histories, Realities and Future. Bogor, Indonesia: Center for
International Forestry Research (CIFOR).
Deans, J.D., Lundberg, C., Cannel, M.G.R., Murray, M.B., & Sheppard, J.
(1990). Root system fibrosity of Sitka spruce transplants: relationship
with root growth potensial. Forestry 63, 1 - 7.
Departemen Kehutanan. (2004). Teknik pembibitan dan konservasi tanah.
Buku I. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jakarta:
Departemen Kehutanan.
Dey, D. C. & Parker, W. C. (1997). Morphological indicators of stock quality
and yield performance of red oak (Quercusrubra L.) seedlings under
planted in a central Ontario Shelterwood. New Forests 14, 145 - 156.
Dickson, A., Leaf, A. L., & Hosner, J. F. (1960). Quality appraisal of white
spruce and white pine seedling stock in nurseries. Forest Chronical 36,
10-13.
DPSP (Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian). (2016).
Pestisida terdaftar dan diizinkan untuk pertanian dan kehutanan.
Jakarta: Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Prasarana
dan Sarana Pertanian
123
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
124
DAFTAR PUSTAKA
125
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Günter, S., Gonzalez, P., Álvarez, G., Aguirre, N., Palomeque, X., Haubrich,
F., & Weber, M. (2009). Determinants for successful reforestation of
abandoned pastures in the Andes: soil conditions and vegetation cover.
Forest Ecology and Management 258 (2), 81 - 91.
Haase, D. L. (2008). Understanding Forest Seedling Quality: Measurements
and Interpretation. Tree Planters’ Notes. 52(2), 24 - 30.
Hanover, J. W. (1963). Geographic variation in ponderosa pine leader growth.
For. Sci. 9, 86 - 95.
Hanum I. F. & van der Maesen, L. J. G. (1997). Plant Resources of South-
East Asia 11. Auxiliary plants. PROSEA
Harris, R. W. (1978). Root development of nursery-grown landscape trees. p.
287 -291. In Proceedings of the Root Form of Planted Trees Symposium
B.C. Ministry of Forest/Canadian Forestry Service Joint Report 8.
Harris, J. R. & Fanelli, J. (1998). Root pruning redmaple and Washington
hawthorn liners does not affect harvested root length aftern two years of
field production. Journal of Environmental Horticulture 16,127 – 129.
Hartmann, H. T., Kester, D. E., & Davies Jr., F. T. (1990). Plant Propagation,
Principles and Practices. Fifth Edition. Englewood Cliffs. New Jersey:
Prentice Hall.
Hassanein, A. M. A. (2013). Factors influencing plant propagation efficiency
via stem cuttings. Journal of Horticultural Science & Ornamental Plants,
5(3), 171 - 176
Hawkins, B. J. (1996). Planting stock quality assessment. In Yapa, A.C. (ed.).
Proc Intl. Symp. Recent Advances in Tropical Tree Seed Technol. and
Planting Stock Production. ASEAN Forest Tree Seed Centre, Muaklek,
Saraburi, Thailand.
Hendromono, N. Mindawati, S. Bustomi, A. S. Kosasih, Maffudz, A.
Nirsatmanto, T. Rostiwati, Y. Heryati, I. Anggraini, R. Bogidarmanti
dan B. Rusataman. 2006. Informasi Kesesuaian Jenis Pohon untuk
Hutan Tanaman di Sumatera dan Kalimantan. Departemen Kehutan.
Badan Litbang Kehutanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman
Herawan, T. & Husnaeni, Y. (2001). Perbanyakan jati (Tectona grandis).
Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon 5(2), 62 - 74.
126
DAFTAR PUSTAKA
127
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
128
DAFTAR PUSTAKA
129
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
130
DAFTAR PUSTAKA
131
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
132
DAFTAR PUSTAKA
133
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
134
DAFTAR PUSTAKA
Rose, R., Carson, W.C. & Morgan, P. (1990). The target seedling concept. In
Rose, R., Campbell, S.J. & Landis, T.D. Eds. Target Seedling Symposium,
13-17 August 1990. Fort Collins, CO: USDA Rocky Mountain Forest
and Range Experiment Station. pp. 1 - 8.
Rose, R., Haase, D. L., Kroiher, F. & Sabin, T. (1997). Root volume and
growth of ponderosa pine and Douglas-fir seedlings. A Summary of eigth
growing seasons.Western Journal of Applied Forestry. 12, 69 -7 3.
Rose, R. & Ketchum, J. S. (2003). Interaction of initial seedling diameter,
fertilization, and weed control on Douglas-fir growth over first four years
after planting. Annals of Forest Science. 60, 625 - 635.
Rowan, S. J. (1986). Seedbed density affects performance of slash and loblolly
pine in Georgia. p. 126-135. In Proc International Symposium on
Nursery Management Practices for the Southern Pines (D.B. South, ed.).
Ala. Agric. Exp. Sta., Auburn University, AL.
Sakai, C. & Subiakto A. (2007). Manajemen persemaian KOFFCO system.
Bogor: Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan-
Komatsu-JICA. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam.
Santoso, U. & Nursandi, F. (2002). Kultur Jaringan Tanaman. Malang:
UMM Pres.
Santoso, E, Turjaman, M. & Irianto, R.S.B. (2006). Aplikasi mikoriza
untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi
Sumberdaya Hutan. Padang 20 September 2006. Badan Litbang
Kehutanan.
Santoso, E, Pasaribu, H., Sitepu, R., Kumalawati, S. & Turjaman, M.
(2007). Pembuatan biopot dan inokulasi mikoriza sebagai pupuk biologi.
Laboratorium Mikrobiologi Hutan. Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Sapulete, E. (1997). Perbanyakan Acacia crassicarpa melalui teknik kultur
jaringan. Buletin Penelitian Kehutanan 13(3), 237 - 248.
Schmidt, L. (2002). Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis
dan Sub Tropis. Terjemahan. Jakarta: Kerjasama Direktorat Jenderal
Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan Sosial dengan Indonesia Forest Seed
Project.
135
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
136
DAFTAR PUSTAKA
137
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
138
DAFTAR PUSTAKA
139
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
140
DAFTAR PUSTAKA
141
LAMPIRAN
144
LAMPIRAN
145
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
146
LAMPIRAN
147
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
148
LAMPIRAN
149
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
150
LAMPIRAN
151
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
152
LAMPIRAN
153
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
154
LAMPIRAN
155
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
156
LAMPIRAN
157
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
158
LAMPIRAN
159
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
160
LAMPIRAN
161
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
162
LAMPIRAN
163
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
164
LAMPIRAN
165
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
166
LAMPIRAN
167
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
168
LAMPIRAN
169
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
170
LAMPIRAN
171
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
172
LAMPIRAN
173
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
174
LAMPIRAN
175
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
176
LAMPIRAN
177
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Acacia spp. Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap PS, PM, PG, PA, PHP, AK
pemetikan kering
buah
Adenanthera Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC, BM Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Rr Mpt, Rap PS, PM, PG, PA, PHP, AK
microsperma pemetikan kering
buah
Agathis Rekalsitran Pemanjatan/ Okt BHC Ekstraksi Mt Kering angin Wp Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
loranthifolia pemetikan kering, suhu kamar
buah pemeraman
Aleurites Ortodok Pengumpulan Jul-Agt BC EB Spa Penjemuran Wk, Rac, Rk Mpt, Prj PS, PM, PG, PA, PHP, AK
moluccana di lantai hutan
Albizzia Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap PS, PM, PG, PA, PHP, AK
procera pemetikan kering
178
buah
Alstonia Ortodok Pemanjatan/ Okt-Nop BHK Ekstraksi Pfp Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
scholaris pemetikan kering
buah
Altingia Ortodok Pemanjatan/ Agt-Okt BHC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
excelsa pemetikan kering
buah
Anacardium Intermediet Pemanjatan/ Agt-Sep BKM Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Dcs, Rr Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
ocidentale pemetikan kering suhu kamar
buah
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Azadirachta Rekalsitran Pemanjatan/ Okt-Nop BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
179
argentea di lantai hutan basah suhu kamar
Cassuarina Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
LAMPIRAN
180
Dyera lowii Intermediet Pemanjatan/ Mar-Mei BC Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
pemetikan kering suhu kamar
buah
Enterolobium Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rpd/As PS, PM, PG, PA, PHP, AK
cyclocarpum pemetikan kering
buah
Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Jun-Sep BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk PS, PM, PG, PA, PHP, AK
camadulensis pemetikan kering
buah
Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Jun-Jul BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
deglupta pemetikan kering
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
buah
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pellita pemetikan kering
buah
Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Apr-Mei BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
urophylla pemetikan kering
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Fagara rhetsa Ortodok Pemanjatan/ Jan-Feb BMH Ekstraksi Mn Kering angin WK, Dcs RR Mpt, Prj Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pemetikan basah atau suhu kamar
buah kering
Fagraea Ortodok Pemanjatan/ Apr-Mei BM Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
fragrans pemetikan basah suhu kamar
buah
Falcataria Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
moluccana pemetikan kering
buah
Ficus Intermediet Pemanjatan/ Mei-Jul BMH Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
variegata pemetikan basah suhu kamar
buah
Gliricidia Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
181
sepium pemetikan kering
buah
LAMPIRAN
Gmelina Intermediet Pengumpulan Agt-Sep BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
arborea di lantai hutan basah suhu kamar
Gmelina Intermediet Pengumpulan Jul-Sep BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
moluccana di lantai hutan basah suhu kamar
Gyrinops Rekalsitran Pemanjatan/ Jan-Mar BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
versteegii pemetikan basah suhu kamar
buah
Hibiscus Ortodok Pemanjatan/ Jul-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, As Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
macrophyllus pemetikan kering
buah
Intsia bijuga Ortodok Pemanjatan/ Jun-Sep BC Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Pkb/As Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pemetikan kering
buah;
pengumpulan
di lantai hutan
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Khaya Ortodok Pemanjatan/ Agt-Okt BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
anthotecha pemetikan kering suhu kamar
buah
Lagerstroemia Ortodok Pemanjatan/ Jul-Okt BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
speciosa pemetikan kering
buah
Leucaena Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
glauca pemetikan kering
buah
Leucaena Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
leucocephala pemetikan kering
buah
182
Maesopsis Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BMH Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt, Kno Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
eminii pemetikan basah suhu kamar
buah;
pengumpulan
di lantai hutan
Manilkara Intermediet Pemanjatan/ Mei-Agt BKM Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
kauki pemetikan basah suhu kamar
buah
Magnolia Intermediet Pemanjatan/ Apr, Okt BHC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
ovalis pemetikan kering suhu kamar
buah
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Magnolia Rekalsitran Pemanjatan/ Okt-Mar BHM Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
Blumei pemetikan kering suhu kamar
buah
Magnolia Intermediet Pemanjatan/ Okt-Mar BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
champaca pemetikan basah suhu kamar
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Melaleuca Ortodok Pemanjatan/ Sep-Nop BHC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
cajuputi pemetikan kering
buah
Melaleuca Ortodok Pemanjatan/ Sep-Nop BHC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
leucadendron pemetikan kering
buah
Melia Intermediet Pemanjatan/ Feb-Apr BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
azedarach pemetikan basah suhu kamar
buah
Mimusops Ortodok Pemanjatan/ Jul-Sep BMH Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
elengi pemetikan basah
buah
Neolamarckia Ortodok Pengumpulan Apr-Jun BHK Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
183
cadamba di lantai hutan basah suhu kamar
LAMPIRAN
Neolamarckia Ortodok Pengumpulan Apr-Jun BHK Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
macrophylla di lantai hutan basah suhu kamar
Octomeles Ortodok Pemanjatan/ Des, Jun BHT Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
sumatrana pemetikan kering suhu kamar
buah;
pengumpulan
di lantai hutan
Palaquium Rekalsitran Pemanjatan/ Okt-Nop BHT Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
rostratum pemetikan basah suhu kamar
buah
Pericopsis Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rad Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
mooniana pemetikan kering
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Pinus Intermediet Pemanjatan/ Sept, Jan BHC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpth Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
merkusii pemetikan kering
buah
Planchonia Rekalsitran Pemanjatan/ Apr-Mei HC Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
valida pemetikan basah suhu kamar
buah
Podocarpus Rekalsitran Pengumpulan Jan-Apr BM Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
imbricatus di lantai hutan kering suhu kamar
Pongamia Intermediet Pemanjatan/ Agt-Des HC Ekstraksi Mt Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pinnata pemetikan kering suhu kamar
buah
Pterocarpus Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
184
indicus pemetikan kering suhu kamar
buah
Pterospermum Intermediet Pemanjatan/ Okt-Des BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
javanicum pemetikan kering suhu kamar
buah
Santalum Intermediet Pemanjatan/ Agt-Nop BHT Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt, Ti Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
album pemetikan basah suhu kamar
buah
Samanea Ortodok PL Jul-Sep BC Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpth, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
saman kering
Schleichera Intermediet Pemanjatan/ Feb-Apr BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt, Rad Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Schima Ortodok Pemanjatan/ Agt-sep BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
wallichii pemetikan kering
buah
Senna siamea Ortodok Pemanjatan/ Agt-Okt BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pemetikan kering
buah
Sesbania Ortodok Pemanjatan/ Jul-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
grandiflora pemetikan kering
buah
Shorea Rekalsitran Pemanjatan/ Feb-Apr BC Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pinanga pemetikan kering, suhu kamar
buah sayap
dihilangkan
185
Sterculia Intermediet PP, PL Jul-Sep BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
LAMPIRAN
186
PROFIL PENULIS
188
PROFIL PENULIS
189