Anda di halaman 1dari 208

KRITERIA BIBIT

TANAMAN HUTAN
SIAP TANAM :
untuk pembangunan hutan
dan rehabilitasi lahan
KRITERIA BIBIT
TANAMAN HUTAN
SIAP TANAM :
untuk pembangunan hutan
dan rehabilitasi lahan

Nurhasybi
Dede J. Sudrajat
Eliya Suita

Editor :
Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.
Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana No. 3,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/10.2019
Judul Buku:
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan
Penulis:
Nurhasybi
Dede J. Sudrajat
Eliya Suita
Editor:
Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.
Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.
Editor Typografi:
Atika Mayang Sari
Penata Isi:
Army Trihandi Putra
M. Ade Nurdiansyah
Desain Sampul:
Army Trihandi Putra
Jumlah Halaman:
190 + 18 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, Oktober 2019

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-602-440-934-0

Dicetak oleh IPB Press Printing, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Buku Kriteria Bibit Tanaman Hutan Siap Tanam: untuk pembangunan


hutan dan rehabilitasi lahan, merupakan salah satu buku yang ditulis untuk
melengkapi informasi terkait dengan mutu bibit tanaman hutan yang banyak
diperlukan oleh para pengambil kebijakan lingkup Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), peneliti, staf pengajar dan mahasiswa di
Perguruan Tinggi, penyuluh dan masyarakat umum dalam kaitannya dengan
penanaman pada lahan milik pribadi, lahan di dalam kawasan hutan dan di
luar kawasan hutan.
Metode perbanyakan tanaman dan cara-cara penanaman yang semakin
bervariasi dan mengalami perbaikan diharapkan meningkatkan keberhasilan
penanaman di lapangan. Pemilihan jenis yang tepat dan lahan yang sesuai
akan meningkatkan adaptasi dan pertumbuhan jenis-jenis tanaman hutan
yang ditanam. Dalam buku ini dikemukakan pembibitan tanaman hutan
menggunakan wadah bibit di persemaian untuk rehabilitasi hutan dan lahan,
dan tinjauan penggunaan cara cabutan serta puteran yang mulai banyak
digunakan untuk menyediakan bahan tanaman pada penanaman di lanskap
perkotaan.
Penulis berupaya memasukkan informasi terbaru berupa tinjauan
terkait dengan penyediaan bahan tanaman khusus untuk penanaman pada
lanskap perkotaan dengan mengadopsi keterangan-keterangan pada buku
pedoman American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60.1 tahun 2014)
dan penyederhanaannya pada pedoman Canadian Nursery Stock Standard
9th (CNLA, 2017) dan dilengkapi dengan penjelasan dalam praktek yang
dilakukan oleh masyarakat penangkar bibit tanaman hutan.
Semoga informasi yang terkandung dalam buku ini dapat dimanfaatkan
oleh semua lapisan masyarakat sehingga dimasa depan kesadaran untuk
menanam pohon dan jenis tanaman lainnya semakin tumbuh di masyarakat,
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

bukan hanya untuk menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik, tetapi
juga menciptakan peluang manfaat yang lain secara sosial dan ekonomi.
Akhirnya, kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memungkinkan buku ini sampai ditangan pengguna.

Bogor, Oktober 2019

Penulis

vi
SAMBUTAN KEPALA
BALAI PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya buku Kriteria Bibit
Tanaman Hutan Siap Tanam : untuk pembangunan hutan dan rehabilitasi
lahan ini. Informasi yang dituangkan dalam buku ini antara lain berasal dari
berbagai sumber seperti jurnal, laporan penelitian, prosiding, buku, petunjuk
teknis, Surat Keputusan (SK) dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Buku memuat informasi kriteria bibit siap tanam khususnya untuk tujuan
pembangunan hutan tanaman, hutan rakyat dan rehabilitasi lahan kritis
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Informasi penanganan bibit
juga menjadi pendukung yang diharapkan mampu memberikan gambaran
bagaimana membuat bibit tanaman hutan untuk mencapai standar yang
diinginkan atau ditetapkan dalam bentuk peraturan atau SNI. Selain itu,
tinjauan umum bagaimana standar bibit untuk tujuan khusus, seperti untuk
penanaman pada kawasan perkotaan disajikan dengan merujuk beberapa
sumber yang relevan.
Kami berharap buku ini mampu menjadi panduan bagi petugas
penyuluh kehutanan, pengada bibit, dan praktisi pembibitan lainnya serta
mampu menjadi acuan bagi peneliti dan mahasiswa dalam kegiatan penelitian
ataupun praktek pembibitan tanaman hutan.
Bogor, Agustus 2019
Kepala Balai,

Drs. Jonny Holbert Panjaitan, M.Si.


NIP. 196207291986031002
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................v
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN............................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................ix
DAFTAR TABEL................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................xvii

BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................1

BAB II. PARAMETER MUTU BIBIT....................................................5


A. Pengertian Mutu Bibit................................................................... 5
B. Parameter Penduga Mutu Bibit..................................................... 7
1. Parameter morfologi bibit....................................................... 8
2. Parameter fisiologi bibit........................................................ 14
C. Hubungan Parameter Mutu Bibit dengan
Keberhasilan Penanaman............................................................. 17

BAB III. PENGELOLAAN PERSEMAIAN


UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU....................21
A. Penanganan Benih....................................................................... 21
1. Penanganan benih generatif.................................................. 22
2. Penanganan benih vegetatif.................................................. 34
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

B. Pembuatan Bibit Generatif.......................................................... 34


1. Penaburan benih generatif.................................................... 34
2. Persiapan persemaian............................................................ 37
3. Penyapihan........................................................................... 45
C. Pembuatan Bibit Vegetatif........................................................... 45
1. Pembiakan dengan cara stek................................................. 46
2. Pembiakan dengan kultur jaringan....................................... 52
D. Aplikasi Rhizobium dan Mikoriza................................................ 58
E. Pemeliharaan Bibit....................................................................... 61
1. Penyiraman.......................................................................... 61
2. Wiwil dan penyiangan.......................................................... 62
3. Penjarangan dan pemangkasan akar...................................... 62
4. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit....................... 63
5. Pemupukan.......................................................................... 66
5. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off).................................. 66

BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN


DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN......................69
A. Perkembangan Standar Mutu Bibit di Indonesia......................... 69
B. Pengujian Mutu Bibit.................................................................. 73
1. Persyaratan umum................................................................ 73
2. Persyaratan khusus................................................................ 74
3. Pengambilan contoh............................................................. 74
4. Cara pengujian..................................................................... 75
5. Syarat lulus uji...................................................................... 77
6. Laporan hasil........................................................................ 79
7. Penandaan............................................................................ 80
C. Standar Mutu Bibit...................................................................... 81
D. Kriteria Mutu Bibit untuk Tujuan Khusus: Tinjauan
untuk Lanskap Perkotaan............................................................ 86

x
DAFTAR PUSTAKA

BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN DAN


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA.............95
A. Keberhasilan Penanaman............................................................. 95
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Penanaman.................................................................................. 97
1. Ekofisiologi tanaman............................................................ 99
2. Kualitas tanaman................................................................ 101
3. Lingkungan perakaran........................................................ 103
4. Praktek penanaman............................................................ 104
C. Sistem Dokumentasi dan Informasi untuk Meningkatkan
Keberhasilan Penanaman........................................................... 110
1. Informasi produksi bibit di persemaian............................... 111
2. Informasi tapak penanaman dan pengelolaannya................ 113
BAB VI. PENUTUP.............................................................................117

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................119
LAMPIRAN.........................................................................................143
PROFIL PENULIS..............................................................................187

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Parameter kriteria fisiologi bibit................................................. 15


Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya
dengan penampilan bibit setelah penanaman............................. 18
Tabel 3. Tipe dan karakteristik dormansi benih....................................... 28
Tabel 4. Teknik pematahan dormansi benih beberapa jenis
tanaman hutan........................................................................... 29
Tabel 5. Tahap priming dan perlakuan pengkondisian benih................... 32
Tabel 6. Keuntungan dan kerugian penggunaan polybag dan polytube/
pottray (Sharma, 2001a)............................................................. 38
Tabel 7. Kandungan hara beberapa jenis limbah bahan organik............... 43
Tabel 8. Persyaratan sifat fisik dan kimia media bibit tanaman hutan
sesuai SNI 5006.2. 2018 Media bibit tanaman hutan
(BSN, 2018a)............................................................................ 43
Tabel 9. Umur stock plants untuk produksi bahan stek............................. 48
Tabel 10. Beberapa informasi dan hasil penelitian pembiakan vegetatif
dengan cara stek......................................................................... 49
Tabel 11. Jenis tanaman hutan yang berasosiasi dengan mikoriza.............. 60
Tabel 12. Hama dan penyakit bibit tanaman hutan di persemaian
dan cara pengendaliannya.......................................................... 64
Tabel 13. Jumlah contoh (sampel) bibit yang akan diperiksa dengan
intensitas sesuai dengan jumlah bibit yang akan disertifikasi...... 74
Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa
jenis tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman
hutan) untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan
tanaman..................................................................................... 82
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 15. Ukuran karung plastik bibit untuk diletakkan


di dalam tanah........................................................................... 89
Tabel 16. Ukuran gumpalan akar dalam hubungannya dengan tinggi
atau lebar bibit/tanaman konifer untuk tipe tajuk kerucut......... 91
Tabel 17. Ukuran gumpalan akar tanaman konifer dalam hubungannya
dengan tinggi dan lebar untuk tipe tajuk melebar...................... 91
Tabel 18. Ukuran gumpalan akar hubungannya dengan diameter bibit/
tanaman untuk tipe pohon standar daun lebar yang tumbuh
di lapangan................................................................................ 92
Tabel 19. Keterkaitan diameter bibit/tanaman, tinggi dan sebaran akar
untuk cabutan/puteran di persemaian........................................ 93
Tabel 20. Beberapa tekanan abiotik yang mempengaruhi
keberhasilan penanaman............................................................ 98
Tabel 21. Tingkat keasaman tanah........................................................... 108
Tabel 22. Aspek pengendali biofisik dan teknis yang mempengaruhi
keberhasilan rehabilitasi lahan dan hutan................................. 109
Tabel 23. Informasi pembuatan bibit di persemaian yang harus
diketahui sebelum penanaman................................................. 111
Tabel 24. Informasi kondisi tapak penanaman........................................ 114

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Contoh ukuran optimum bibit siap tanam untuk:


(a) daun jarum jenis Pinus taeda (Thompson & Schultz, 1995)
dan (b) daun lebar Shorea sp. (dimodifikasi dari Omon, 2008)..... 8
Gambar 2. Seed gravity table (SGT) menggunakan hembusan angin,
kemiringan dan getaran untuk menyeleksi benih
berdasarkan berat (Suita, 2018)............................................. 27
Gambar 3. Tipe kecambah tanaman (Bonner et al., 1994)...................... 35
Gambar 4. Densitas (kerapatan) benih pada waktu penaburan
jabon putih (dari kiri ke kanan : (a) kerapatan optimal,
(b) terlalu rapat dan (c) serangan jamur pada kerapatan
yang berlebihan (Nurhasybi, 2015)........................................ 36
Gambar 5. Wadah bibit yang digunakan PT. Musi Hutan
Persada dengan metode direct sowing untuk jenis Acacia spp.
(Sudrajat, 2010).................................................................... 38
Gambar 6. Penyusunan wadah bibit pada persemaian tradisional (atas)
dan modern (bawah) (Sudrajat, 2010)................................... 38
Gambar 7. Media yang baik harus mampu memberikan pertumbuhan
akar yang kompak (Sudrajat, 2010)....................................... 41
Gambar 8. Penyiapan media pembibitan di PT. Musi Hutan Persada,
Sumatera Selatan (Sudrajat, 2010)......................................... 41
Gambar 9. Biopot yang dikembangkan Balai Litbang Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan (BPPTPTH) Bogor
(Foto: Sudrajat, 2018)........................................................... 44
Gambar 10. Kebun pangkas jati (Tectona grandis) dan penanaman stek
ke dalam polybag di Puslitbang Perhutani, Cepu
(Sudrajat, 2010).................................................................... 47
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 11. Bibit jati yang belum diaklimatisasi (kiri) dan bibit yang
sudah diaklimatisasi (kanan) (Sudrajat, 2010)........................ 67
Gambar 12. Jenis dan persentase jumlah pengujian bibit tanaman hutan
di Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b)......... 71
Gambar 13. Jenis dan jumlah kelompok bibit tanaman hutan yang diuji
di Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b).......... 72
Gambar 14. Kekompakan media bibit tanamam hutan
(SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan).................... 75
Gambar 15. Kegiatan pengukuran bibit di lapangan: (a) persemaian,
(b) contoh bibit yang akan diukur, (c) pengukuran diameter,
(d) pengukuran tinggi, (e) pengamatan kekompakkan media,
dan (f) pencatatan data.......................................................... 78
Gambar 16. Skema pemeriksaan mutu bibit tanaman hutan
(Peraturan Dirjen RLPS No. P. 05/V-SET/2009)................. 79
Gambar 17. Contoh hasil pengujian bibit tanaman hutan......................... 80
Gambar 18. Bibit yang telah diuji dipisahkan dan diberi label atau tanda.... 81
Gambar 19. Bahan tanaman yang berasal puteran bagian akar dan
medianya dibungkus dengan kantong plastik dan karung (a),
dan jika belum digunakan untuk penanaman pada musim
hujan berikutnya, maka ditanam kembali dengan wadahnya
di persemaian (b)................................................................... 88
Gambar 20. Pengukuran kedalaman gumpalan akar (root ball)
dari American Standard for Nursery Stock
(ANSI Z60.1 tahun 2014) dan contoh bagian akar
tanaman puteran yang dibungkus dengan karung.................. 90
Gambar 21. Model konseptual untuk mengkaji keberhasilan
penanaman (reforestation) (Lee et al., 2011)........................... 96
Gambar 22. Model faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penanaman
(Hirons & Percival, 2010)..................................................... 98

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan.............. 143


Lampiran 2. Standar mutu fisik-fisiologis benih tanaman hutan.............. 173
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan......... 178
BAB I.
PENDAHULUAN

Bibit tanaman hutan memegang peran penting dalam meningkatkan


produktivitas hutan dan memulihkan atau merehabilitasi lahan dan hutan
yang sekarang ini mengalamai degradasi. Pada saat ini, Indonesia mempunyai
kawasan hutan yang sangat luas, yaitu 120,6 juta ha dengan luas kawasan hutan
untuk tujuan produksi mencapai 68,8 juta ha (26,8 juta ha hutan produksi
terbatas, 29,2 juta ha hutan produksi, dan 12,8 hutan produksi yang dapat
dikonversi) (KLHK, 2017a; MoEF, 2018). Luasnya kasawan hutan produksi
tersebut belum mampu memenuhi rencana pemenuhan bahan baku kayu
sebesar 67,36 juta m3, sementara produksi kayu bulat dari hutan tanaman
dan hutan alam hanya 27,29 juta m3. Tidak optimalnya produksi hutan
tersebut disebabkan oleh produktivitas yang rendah dan sebagian kawasan
hutan (24,30 juta ha) tergolong kawasan kritis (KLHK, 2017a).
Pada saat ini, optimalisasi pengelolaan kawasan hutan, khususnya hutan
produksi, telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) dengan berbagai program yang salah satunya dengan pelibatan
masyarakat seperti pengembangan 347 unit Kesatuan Pemangkuan Hutan
Produksi (KPHP), pembangunan hutan tanaman dan hutan tanaman rakyat,
rehabilitasi lahan kritis seluas 5,5 juta ha (KLHK, 2015), dan restorasi
gambut dengan target 2,49 juta ha (Gunawan, 2016; BRG, 2016). Selain
itu, KLHK juga meluncurkan program-program yang sangat penting lainnya,
seperti pelibatan masyarakat dalam kegiatan perhutanan sosial dengan target
12,7 juta ha (KLHK, 2017b; Suharti et al., 2017), program penyerahan
pengelolaan lahan hutan negara seluas 37,2 juta ha kepada masyarakat sekitar
hutan yang melibatkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi (Kompas.com, 2015/02/26), dan pengembangan energi
terbarukan (bioenergi) yang berasal dari biomassa hutan yang dikelola secara
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

lestari (MAPEBHI, 2017). Pelaksanaan program-program tersebut sebagian


besar dilakukan melalui kegiatan penanaman yang tentunya memerlukan
bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai. Kegiatan penanaman juga
tidak hanya ditujukan untuk rehabilitasi atau pembangunan hutan tanaman,
tetapi dilakukan juga di daerah-daerah perkotaan untuk berbagai fungsi,
seperti jalur hijau, taman kota, hutan kota dan bentuk-bentuk lainnya yang
menitikberatkan pada fungsi estetika dan lingkungan.
Kegiatan penanaman tersebut membutuhkan jutaan bibit dari berbagai
jenis prosfektif tanaman hutan. Penanaman secara umum dilakukan
dengan menanam bibit hasil perbanyakan secara generatif atau vegetatif
yang dipelihara di persemaian. Keberhasilan program penanaman dalam
pembangunan hutan tanaman dan penghutanan kembali sering mengalami
hambatan karena terbatasnya bahan penanaman dan rendahnya kualitas bibit
tanaman hutan (Gregorio et al., 2015). Untuk meningkatkan kualitas bibit,
praktek persemaian yang tepat sangat diperlukan. Penanaman dengan bibit
atau bahan tanaman yang bermutu baik diharapkan dapat menghasilkan
tanaman dengan tingkat adaptasi yang tinggi, pertumbuhan awal yang cepat
dan memiliki penampilan yang sesuai dengan harapan. Selain itu, keberhasilan
penananam juga memerlukan regulasi yang mengatur atau menjamin bibit
tanaman hutan yang beredar secara umum.
Sistem pengendalian mutu benih dan bibit di negara berkembang
termasuk Indonesia dilakukan dengan skema sertifikasi yang diatur melalui
peraturan pemerintah (Van Gastel et al., 2002; Van der Meer, 2002; Louwaars,
2005). Sistem sertifikasi dimulai dari sertifikasi sumber benih, mutu benih
dan mutu bibit sebagai suatu mekanisme dalam pengendalian mutu benih
dan bibit yang dikomersialisasikan (ANLA, 2004; Jacobs et al., 2005). Sistem
sertifikasi ini memerlukan pengaturan atau perangkat yang berupa standar
uji dan kriteria mutu bibit sebagai acuan pelaksana sertifikasi di laboratorium
atau lapangan (Tripp, 1997; Louwaars, 2005). Jenis tanaman dan lingkungan
tempat tumbuhnya (ekologi) sangat mempengaruhi penetapan kriteria mutu
bibit, sehingga penerapannya tidak dapat diadopsi untuk jenis dan lingkungan
tempat tumbuh yang berbeda. Bibit bermutu adalah bibit dengan karakter
tertentu yang mampu beradaptasi, tumbuh dan berkembang baik ketika
ditanam pada tapak tertentu yang sesuai (Mattson, 1996; Wilson & Jacobs,
2005). Tentunya, kriteria mutu bibit untuk pembangunan hutan tanaman dan
rehabilitasi lahan akan berbeda dengan untuk tujuan lanskap perkotaan. Bibit

2
BAB I.
PENDAHULUAN

tanaman yang digunakan untuk kawasan perkotaan didominasi oleh bibit


dalam ukuran yang lebih besar dengan tujuan agar tanaman cepat tumbuh
besar dan mencapai ukuran pohon. Bibit tanaman dapat diperoleh dengan
cara cabutan atau dengan cara puteran (Dahlan, 2004; Nugraha, 2008) dan
harus diperlihara dalam wadah bibit yang relatif besar.
Penentuan kriteria bibit atau bahan tanaman siap tanam masih menjadi
masalah ketika akan dibuat menjadi suatu standar mutu bibit. Permasalahan
tersebut di antaranya adalah masih terbatasnya informasi dan pemahaman
terhadap penggunaan bibit tanaman hutan bermutu sesuai standar dan masih
adanya keraguan di antara pengawas, pengada, pengguna dan peneliti terhadap
standar mutu bibit yang berlaku. Selain itu, permasalahan lainnya adalah
masih terbatasnya jenis yang distandarkan untuk dijadikan pedoman penguji
di lapangan dan standar yang dibuat hanya berdasarkan kondisi morfologi
bibit di persemaian, bukan hasil uji fisiologi bibit atau uji penanaman
(Sudrajat et al., 2010). Penentuan kriteria bibit siap tanam sangat diperlukan
untuk mendapatkan standar mutu bibit yang mencerminkan penampilan
bibit setelah tanam (Mattson, 1996; Wilson & Jacobs, 2005; Haase, 2008).
Untuk itu, karakteristik morfologi bibit yang umumnya menjadi parameter
pengujian mutu bibit perlu didukung dengan uji fisiologi yang dihubungkan
dengan hasil uji lapang (Jacobs et al., 2005; Semerci, 2005; Dumroese et al.,
2016; Grossnickle et al., 2017; Sianturi & Sudrajat, 2019). Selain itu, prosedur
manajemen bibit, khususnya dalam aklimatisasi bibit perlu dikembangkan
sehingga mampu memberikan acuan atau standard operational and procedures
(SOP) bagi pengada atau penangkar dalam menyediakan bibit bermutu
sesuai standar yang telah ditetapkan, seperti pengurangan kerapatan bibit di
persemaian mampu meningkatkan daya hidup bibit hingga 4% sampai 10%
dibandingkan dengan bibit yang diletakkan rapat (Rowan, 1986; Leachet al.,
1986).
Pada saat ini standar bibit tanaman hutan layak tanam telah disusun oleh
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Dirjen Pengelolaan DAS dan Hutan
Lindung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang merupakan produk Badan Standardisasi
Nasional (BSN).
Buku kriteria bibit tanaman hutan siap tanam untuk kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan ini ditulis dalam rangka melengkapi informasi mengenai
standar mutu bibit tanaman hutan untuk tujuan pembangunan hutan

3
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

tanaman, rehabilitasi lahan dan hutan. Buku ini dibagi ke dalam beberapa
pokok bahasan, yaitu pendahuluan, parameter mutu bibit, pengelolaan
persemaian praktis, standar mutu bibit siap tanam untuk tujuan rehabilitasi
hutan dan lahan serta pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penanaman tanaman hutan.
Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang
lebih baik terhadap pemegang kebijakan, pengawas, pengada, pengedar,
pengguna, dan stakeholder lainnya mengenai kriteria bibit tanaman hutan
siap tanam dan penerapannya di lapangan untuk mencapai kualitas tanaman
(plant quality) yang terbaik.
Buku ini juga mengupas proses pengadaan bibit tanaman hutan yang
dimulai dari pengadaan benih bermutu sebagai awal dari semua kegiatan
persemaian. Benih bermutu dapat diperoleh dari sumber-sumber benih
berkualitas hasil kegiatan pemuliaan yang diproses melalui penerapan
teknologi penanganan benih yang tepat sesuai dengan karakter benihnya.
Proses pengadaan bibit selanjutnya adalah pembuatan bibit di persemaian
yang dimulai dari penaburan, penyapihan, pemeliharaan dan aklimatisasi bibit
(hardening off). Selanjutnya bibit diseleksi dan disertifikasi untuk mendapatkan
legalitas siap tanam sesuai dengan standar mutu bibit yang telah ditetapkan.
Bibit-bibit yang lulus sertifikasi tersebut merupakan bibit layak tanam yang
dapat menjadi jaminan bagi pengada, pengedar dan pengguna bibit tersebut.

4
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

A. Pengertian Mutu Bibit


Bibit merupakan tanaman muda yang dihasilkan dari perbanyakan baik
secara generatif (biji) atau vegetatif (bahan tanaman lainnya). Mutu bibit
harus mencerminkan kemampuan bibit untuk tumbuh dan beradaptasi
dengan lingkungannya setelah penanaman (Mattson, 1997; Wilson & Jacobs,
2005; Sianturi & Sudrajat, 2019). Mutu bibit merupakan suatu kriteria
yang disesuaikan dengan tujuan (fitness for purpose), meliputi paramater-
parameter yang menentukan kemampuan bibit untuk dapat tumbuh dan
beradaptasi dengan lingkungan setelah ditanam (Pattonen, 1985; Hawkins,
1996; Mattson, 1997; Wilson & Jacobs, 2005). Kriteria mutu bibit tidak
dapat hanya dideskripsikan di persemaian, tetapi harus dapat dibuktikan
di lokasi penanaman. Bibit yang terlihat bagus di persemaian belum tentu
mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada semua lahan, sehingga penting
sekali merencanakan jenis tanaman yang akan ditanam dan kriteria bibit yang
digunakan. Mutu bibit bersifat spesifik, sehingga tidak ada pengertian mutu
bibit untuk semua jenis dan tujuan penanaman. Beberapa negara bagian di
Amerika Serikat mencanangkan free to grow yang menyatakan kriteria bibit
tanaman di persemaian bukan hanya hidup jika ditanam tapi juga harus
tumbuh lebih baik dari vegetasi pesaing dalam kurun waktu 5 tahun (Landis
& Dumroesoe, 2006).
Standar mutu bibit merupakan parameter-parameter yang dinamis sesuai
dengan perkembangan iptek dan kebutuhan, serta merefleksikan faktor-faktor
lingkungan, perubahan musim, dan berbagai perlakuan bibit serta tanaman
di lapangan (Hawkins, 1996). Menurut Wilson dan Jacobs (2005), untuk
penanaman pada lokasi/tapak berbeda akan memerlukan kriteria bibit yang
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

berbeda juga, tetapi secara umum bibit tersebut harus mempunyai perakaran
yang berkembang baik dengan akar-akar baru yang mampu tumbuh cepat.
Bibit yang mampu tumbuh dan berkembang baik memiliki potensi tumbuh
baik pada areal agak ekstrim, seperti daerah banjir, kandungan garam tinggi,
kering, dan miskin hara atau lahan marjinal. Bibit yang memiliki perakaran
dalam mampu tumbuh dengan baik pada daerah kering, sedangkan pada
daerah yang banyak gulmanya, bibit yang berukuran lebih besar diduga akan
tumbuh lebih baik karena mampu bersaing pada tahap pertumbuhan awal.
Rose et al. (1990) menyebutkan bibit yang siap tanam sebagai target bibit
(seedling target).
Konsep target bibit menurut Rose et al. (1990) merupakan target
karakteristik morfologi dan fisiologi bibit yang secara kuantitatif berhubungan
dengan keberhasilan program penanaman. Konsep ini didasarkan pada
suatu hipotesis bahwa banyak karakteristik bibit memegang peran secara
bersamaan untuk memenuhi respon lapangan yang diinginkan. Perusahaan
kayu Weyerhaeuser di Amerika Serikat melakukan pengamatan kondisi
morfologi bibit Pinus taeda secara kontinyu untuk mengkaji adaptasi dan
pertumbuhannya setelah penanaman di lapangan. Target seedling untuk jenis
tersebut diidentifikasi pada tinggi 20 – 25 cm, diameter batang >4 mm,
batang dan pertumbuhan tunas baik, bentuk perakaran dan volume >3,5 ml
dan memiliki pertumbuhan akar yang tinggi (Rose et al., 1990). Sementara
Karyaatmaja et al. (2001) melaporkan morfologi bibit siap tanam untuk jenis
tropis Pinus merkusii bahwa bibit dengan tinggi 6,1 -10 cm, diameter bibit >
2 mm, dan telah berkayu menghasilkan penampilan yang lebih baik hingga
umur 6 bulan setelah tanam di lapangan. Perbedaan jenis, tapak dan iklim
tentunya akan mempengaruhi kriteria bibit siap tanam.
Duryea (1984) menyatakan bahwa kriteria mutu bibit yang banyak
digunakan meliputi karakteristik morfologi dan fisiologi bibit, serta deskripsi
kelompok bibit lainnya. Umur bibit dan lokasi penanaman secara umum
dapat menjadi gambaran kelompok bibit siap tanam. Karakteristik morfologi
bibit merupakan deskripsi visual dari tinggi bibit, diameter pangkal batang,
bobot kering akar, dan rasio pucuk akar, sedangkan fisiologis bibit merupakan
gambaran kondisi awal proses fisiologi bibit seperti kemampuan menumbuhkan
tunas dan akar baru, keseimbangan nutrisi, ketahanan terhadap stress dan
karakter lainnya (Haase, 2008, Dumroese et al., 2016; Grossnickle et al.,
2017). Untuk menentukan kriteria bibit siap tanam, karakteristk morfologi

6
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

sering dikorelasikan dengan penampilan bibit setelah penanaman di lapangan.


Hasil uji coba Sharma et al. (2007) pada jenis Pinus radiata menyatakan
bahwa indek kekokohan dan tinggi bibit merupakan penduga terbaik untuk
persentase hidup tanaman hingga umur tanaman 1 tahun.

B. Parameter Penduga Mutu Bibit


Atribut untuk menguji mutu bibit menurut Mattson (1996) dapat
dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu atribut material (material attributes)
yang dapat secara cepat dikaji oleh sejumlah metode baik langsung maupun
tidak langsung, dan atribut penampilan (performance attributes) yang dikaji
secara subyektif terhadap bibit untuk meyakinkan pengaruh lingkungan dan
mengevaluasi respon pertumbuhannya. Secara umum, mutu bibit tergantung
dari beberapa parameter sebagai berikut (Wilson & Jacobs, 2005):
- Kemampuan menghasilkan akar-akar baru secara cepat,
- Kecepatan bibit untuk mengakar di tanah dan mulai berasimilasi
serta tumbuh setelah ditanam di lapangan,
- Sistem perakaran berkembang baik,
- Daun-daun beradaptasi dengan cahaya matahari,
- Diameter pangkal batang besar,
- Keseimbangan rasio pucuk-akar,
- Cadangan karbohidrat baik,
- Kandungan hara mineral optimum,
- Pembentukan infeksi mikoriza dan rhizobium yang cocok.
Wilson dan Jacobs (2005) dan Haase (2008) membagi cara pengukuran
mutu bibit menjadi dua bagian, yaitu uji morfologi dan uji fisiologi. Uji
morfologi didasarkan pada fisik bibit, sedangkan uji fisiologi berdasarkan
fungsi internal bibit. Tentunya kedua kategori tersebut tidak berdiri sendiri.
Karakteristik morfologi dapat dianggap sebagai suatu manifestasi fisik dari
aktivitas fisiologi suatu bibit. Uji morfologi merupakan suatu uji yang umum
dipergunakan karena dapat dilakukan dengan cepat dan biayanya rendah,
tetapi beberapa parameter tidak selalu berkorelasi tinggi dengan penampilan
bibit di lapangan setelah penanaman, seperti tinggi dan ukuran daun seringkali
memiliki korelasi rendah.

7
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

1. Parameter morfologi bibit


Morfologi didefinisikan sebagai bentuk atau struktur organisme atau
beberapa bagiannya (Haase, 2008). Parameter morfologi merupakan
parameter yang populer dalam pengukuran kualitas bibit. Sebagai contoh,
hampir semua persemaian melakukan penilaian kualitas bibit berdasarkan
parameter morfologinya.

Gambar 1. Contoh ukuran optimum bibit siap tanam untuk: (a) daun jarum
jenis Pinus taeda (Thompson & Schultz, 1995) dan (b) daun lebar
Shorea sp. (dimodifikasi dari Omon, 2008)

Hal pertama yang dilakukan untuk menggambarkan bibit yang ideal


selalu dimulai dari karakteristik morfologi, seperti tinggi dan diameter batang,
yang dirubah ke dalam klasifikasi standard. Penelitian pada bibit Pinus spp.
menunjukkan bahwa karakteristik morfologi dan aspek fisiologi dari mutu bibit
sama pentingnya (Landis & Dumroese, 2006). Pengukuran mutu morfologi
bibit umumnya digunakan untuk bibit jenis-jenis kayu keras. Parameter

8
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

seperti tinggi, diameter pangkal batang, volume akar dan jumlah akar lateral
telah digunakan dan hasilnya cukup baik (Thompson & Schultz, 1995; Jacobs
& Seifert, 2004; Omon, 2008) (Gambar 1), namun bagaimana pun juga
efektifitasnya sangat tergantung pada kondisi fisiologi bibit dan lingkungan
atau areal penanaman. Bibit yang berukuran besar tidak selalu menunjukkan
bahwa bibit tersebut bermutu tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa uji morfologi bibit memberikan hasil yang tidak konsisten, hal ini
disebabkan oleh perbedaan dalam praktek/pengelolaan persemaian, jenis, dan
kondisi lingkungan areal penanaman (Wakeley, 1954).
Dalam prakteknya, klasifikasi mutu bibit berdasarkan morfologinya
banyak diterapkan di beberapa negara, seperti yang dikembangkan di Kanada
dalam bentuk Canadian Nursery Stock Standard (CNLA, 2017) dan di
Carolina Utara, Amerika Serikat dalam bentuk Pocket guide to seedling care
and planting standards (NCDENS, 2007). Hal ini disebabkan pengukuran
morfologi bibit lebih mudah, lebih cepat dan murah serta tidak memerlukan
keahlian atau keterampilan khusus. Karakteristik morfologi yang paling
banyak dipakai menilai mutu bibit adalah tinggi, diameter, jumlah daun,
volume akar, dan bentuk batang bibit (Haase, 2008). Beberapa parameter
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a. Tinggi
Parameter bibit yang paling mudah diamati adalah tinggi. Tinggi bibit
diukur dengan mistar dari pangkal batang (bekas kotiledon) sampai
ujung terminal pucuk. Jika tidak ada terminal pucuk karena adanya
luka atau pertumbuhan yang aktif, pengukuran dilakukan sampai titik
tertinggi atau dengan memperkirakan titik tumbuhnya (Thompson,
1985). Standar minimum tinggi bibit sangat beragam untuk setiap jenis,
zona benih dan kelas umur.
Tinggi bibit berkorelasi dengan jumlah daun yang dapat memberikan
perkiraan kapasitas fotosintesis dan areal transpirasi. Bibit yang lebih
tinggi mempunyai keunggulan bersaing dengan gulma dan dapat
mengindikasikan sifat genetik yang unggul. Bagaimanapun juga,
areal transpirasi yang lebih besar pada bibit yang lebih tinggi akan
mengakibatkan stress pada saat ditanam di tapak yang kering, khususnya
sebelum terbentuknya akar. Bibit yang sangat tinggi akan lebih sulit untuk
ditanam, kurang seimbang, dan mudah terkena kerusakan oleh angin.

9
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Persen hidup bibit tidak berhubungan secara linear dengan tinggi awal
bibit tetapi memperlihatkan nilai maksimum tertentu. Nilai maksimum
tinggi bibit tergantung dari ukuran sistem perakaran bibit dan tapak
penanaman. Pada tapak-tapak yang lebih kering, tinggi optimum bibit
harus lebih rendah.
b. Diameter
Diameter merupakan ukuran morfologi umum digunakan dalam seleksi
bibit di persemaian. Diameter diukur dengan kaliper sedikit di bawah
bekas kotiledon atau pada pangkal akar (root collar diameter). Pada saat
pengukuran perlu diperhatikan bahwa caliper harus tegak lurus terhadap
batang dan sedikit menekan dengan tekanan yang konstan, tetapi tidak
menyebabkan kerusakan bibit. Secara umum, diameter yang lebih
besar mengindikasi bibit lebih baik (Haase, 2008). Diameter batang
dianggap sebagai penduga terbaik persentase hidup dan pertumbuhan
bibit di lapangan. Diameter yang lebih besar juga mengindikasikan
sistem perakaran dan volume batang yang besar. Diameter tidak selalu
berkorelasi dengan persen hidup di lapangan, tetapi berkorelasi dengan
pertumbuhan selanjutnya (Thompson, 1985).
c. Berat bibit
Pengukuran berat dapat dilakukan baik pada berat segar maupun berat
kering. Berat segar, meskipun mudah diukur, sangat beragam dengan
jaringan yang berisi air, sehingga pengukuran berat kering memberikan
hasil lebih konsiten. Umumnya, jaringan yang diukur adalah seluruh
tanaman atau secara terpisah pada bagian-bagian tanaman, seperti
akar, batang dan daun. Jaringan tanaman sebaiknya dicuci sebelum
pengeringan. Jika berat kering akar dan pucuk diukur secara terpisah,
bibit dipotong pada bagian pangkal akar atau beberapa posisi lainnya
yang mudah diulang dan setiap potongan ditempatkan pada kantung
kertas terpisah. Suhu pengeringan sebaiknya cukup untuk mengubah
enzim yang bertanggung jawab untuk dekomposisi (>60°C), namun
tidak menyebabkan dekomposisi termal dan volatisasi nirogen (<70°C)
(Bickehaupt, 1980). Umumnya pengeringan dilakukan hingga tercapainya
berat kering konstan yang dicapai selama 24 jam (Thompson, 1985),
namun Haase (2008) menyatakan bahwa pengeringan dapat dilakukan
pada suhu 68o C selama 48 jam.

10
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

Bibit dengan berat pucuk lebih besar mempunyai kapasitas fotosintesis


dan potensi pertumbuhan yang lebih besar, namun akan meningkatkan
stress pada tapak yang kering sebelum berkembangnya akar. Bibit dengan
berat akar yang tinggi cenderung tumbuh dan bertahan hidup lebih
baik dari pada bibit dengan berat akar rendah. Berat akar bagaimana
pun tidak selalu merefleksikan akar serabut karena bibit yang banyak
akar halus dapat mempunyai masa yang sama dengan dengan akar
tunjang yang besar. Bibit berkualitas harus mempunyai perbandingan
berat pucuk yang seimbang dengan berat akar. Secara umum, berat
kering tidak digunakan sebagai kriteria seleksi atau pengkelasan bibit
karena pengukurannya memerlukan waktu yang relatif lama dan sifatnya
destruktif. Pengukuran berat umumnya digunakan untuk mengevaluasi
kelompok bibit atau perlakuan dalam kegiatan khusus seperti penelitian.
Pengukuran berat juga digunakan untuk menentukan rasio akar pucuk
dan indek kualitas bibit. Berat kering bibit pada banyak kasus berkorelasi
positif dengan diameter (Ritchi, 1984). Berat kering bibit berkorelasi
dengan persen hidup bibit dan pertumbuhannya di lapangan, dengan
tingkat konsistensi sepeti diameter. Namun, berat kering bibit tersebut
untuk menghasilkan bibit dengan adaptasi dan pertumbuhan terbaik
harus mempunyai keseimbangan antara berat pucuk dengan akarnya.
d. Warna bibit
Warna bibit sering digunakan sebagai ukuran kualitas yang bersifat
subyektif. Parameter ini mungkin mempunyai nilai, seperti daun bibit
yang berwarna kuning, cokelat atau hijau terang dapat menunjukkan bibit
yang kurang vigor dibandingkan dengan bibit dengan daun berwarna
hijau tua, namun parameter ini kurang meyakinkan dalam hubungannya
dengan persen hidup dan pertumbuhan setelah penanaman di lapangan
(Linder, 1980). Umumnya, makin banyak kandungan nitrogen daun
akan makin banyak menghasilkan klorofil sehingga warna daun menjadi
hijau gelap. Van den Driesshe (1984) menyatakan pada jenis Pseudotsuga
menziesii dan Picea sitchensis, kandungan nitrogen pada bibit berkorelasi
positif dengan persen hidup tanaman di lapangan, tetapi korelasi
tersebut tidak terjadi pada pertumbuhan dan persen hidup jenis Pinus
contorta. Sementara McGilvray dan Barnett (1982) melaporkan bahwa
kandungan klorofil tidak konsisten dalam korelasinya dengan persen
hidup di lapangan. Meskipun responnya beragam, namun warna hijau
gelap merupakan kriteria yang penting untuk bibit bermutu tinggi.

11
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

e. Panjang pucuk
Panjang atau tinggi pucuk diukur dengan menggunakan mistar atau
caliper dari pangkal pucuk hingga ujung pucuk. Pengukuran harus
dilakukan secara hati-hati supaya tidak merusak jaringan pucuk.
Pada beberapa jenis, seperti Pseudotsuga menziesii dan Pinus penderosa
(Hanover, 1963), panjang pucuk berkorelasi dengan jumlah daun
primordia dan kemudian mempengaruhi pertumbuhan. Haase (2008)
juga menyatakan bahwa panjang pucuk berkorelasi dengan jumlah
daun muda pada banyak jenis dan memberikan indikasi vigor bibit dan
potensi pertumbuhan pucuk. Tinggi pucuk merupakan indikator yang
mungkin berguna untuk mengukur potensi pertumbuhan di lapangan.
Tinggi pucuk juga merupakan indikator tidak langsung dormansi dan
vigor bibit (Thompson, 1985).
f. Rasio pucuk akar
Rasio pucuk akar (RPA) merupakan perbandingan antara pucuk dengan
akar. RPA merupakan ukuran keseimbangan antara areal transpirasi
(pucuk) dengan areal penyerapan air (akar). Umumnya, bibit dalam
wadah memiliki rasio pucuk akar 2:1 atau kurang (Haase, 2008).
berat kering pucuk (batang + daun) (g)
RPA =
berat kering akar
Menurut Mullin dan Christl (1982), rasio pucuk akar dapat menjadi indek
untuk memprediksi persen hidup bibit di lapangan, tetapi kemungkinan
mempunyai nilai yang kecil dalam memprediksi pertumbuhan di
lapangan.
g. Bentuk batang dan akar bibit
Pengamatan visual biasanya dilakukan untuk mengetahui banyaknya
tunas (multiple shoots) atau bergarpu, batang bengkok, bentuk akar,
dan kerusakan fisik. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang tidak
diinginkan dan dapat berpengaruh negatif terhadap penampilan bibit
di lapangan. Bibit tunas garpu atau bentuk batang yang bengkok dapat
disebabkan karena genetik atau hasil dari praktek budidaya, dan juga
serangan hama dan penyakit. Ketika bibit bertunas garpu dihasilkan dari
kerusakan di persemaian atau serangan hama, bibit biasanya mampu
memulihkan diri dan menghasilkan bibit berbatang tunggal (Mclemore,

12
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

1982). Selama pemulihan tersebut terjadi pengurangan/penundaan


pertumbuhan pada tahun pertama hingga satu batang tunggal menjadi
dominan.
Bentuk akar berhubungan dengan kemampuan perakaran dalam
mengeksplorasi volume tanah untuk menyerap air dan hara (Thompson,
1985). Bentuk wadah bibit sangat menentukan jumlah akar dan derajat
akar spiral dalam wadah. Akar berbetuk spiral dapat menurunkan
pertumbuhan dan akhirnya menyebabkan kematian (Haris, 1978).
h. Rasio tinggi dan diameter atau indek kekokohan
Rasio tinggi dan diameter atau disebut juga indek kekokohan (sturdiness
quotient) merupakan perbandingan antara tinggi (dalam cm) dengan
diameter (dalam mm). Rasio yang tinggi menunjukkan bibit relatif tinggi
kurus, sedangkan rasio yang rendah menunjukkan bibit yang kokoh.
Secara umum, bibit dengan indek kekokohan yang terlalu tinggi
menunjukkan kerentanannya terhadap kerusakan fisik sewaktu di
tanam. Roller (1977) menemukan bahwa bibit Picea mariana (black
spruce) dengan indek kekokohan lebih dari 6 sangat mudah mengalami
kerusakan ketika diterpa angin dan kekeringan. Secara umum, indek
kekokohan secara paralel sangat dekat dengan diameter bibit dalam
memprediksi persen hidup dan pertumbuhan bibit di lapangan.
i. Indek mutu bibit Dickson
Indek mutu dirancang untuk mengevaluasi sejumlah kombinasi parameter
morfologi untuk menduga performa bibit setelah ditanam di lapangan
yang dikembangkan pada jenis Picea glauca and Pinus strobus (Dickson
et al., 1960). Indek ini telah diuji untuk jenis Pseudotsuga menziesii
oleh Ritchie (1984) dan dapat merefleksikan keberhasilan penanaman
berbagai tipe bibit.
berat kering pucuk (batang + daun) (g)
Indek mutu bibit = Tinggi bibit (cm) Berat kering pucuk (g)
+
Diameter (mm) Berat kering akar (g)

Umumnya parameter morfologi bibit (tinggi dan diameter) lebih banyak


diterapkan dalam pengujian mutu bibit karena pengukurannya relatif mudah
dan cepat (Omi et al., 1986; Mexal & Landis, 1990; Rose & Ketchum, 2003),
walaupun tidak selalu mencerminkan kemampuan bibit tumbuh di lapangan

13
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

dan menurut Wakeley (1954), kriteria morfologi umumnya kurang realibel


untuk mempredikasi penampilan bibit di lapangan. Ketika membandingkan
morfologi bibit, tinggi dan diameter mungkin akan superior dalam menduga
mutu bibit, namun parameter lainnya juga mempunyai peran dan sangat
tergantung dengan jenis dan karakteristik areal penanaman.
Karakter morfologi lainnya yang dijadikan parameter mutu bibit adalah
sistem perakaran (fibrositas sistem akar, volume akar, akar-akar lateral baru, dan
panjang akar). Sistem serabut akar mempunyai areal absorbsi hara, air tinggi
dan jumlah ujung-ujung akar aktif yang bermanfaat dalam perkembangan
bibit (Thompson, 1985; Deans et al., 1990). Volume dan panjang akar juga
mempunyai korelasi yang positif dengan keberhasilan bibit tumbuh setelah
penanaman (Rose, et al., 1997; Chiatante et al., 2002; Gazal & Kubiske,
2004). Meskipun diterima secara umum dan banyak digunakan, banyak
peneliti yang menyatakan bahwa morfologi sendiri tidak dapat memprediksi
semua keragaman yang terlihat dalam persen tumbuh dan pertumbuhan
tanaman di lapangan (Ritchie, 1984; Sianturi & Sudrajat, 2019), sehingga
kajian fisiologis bibit juga perlu dilakukan.

2. Parameter fisiologi bibit


Pengukuran aktivitas fisiologi bibit dapat memberikan hasil pendugaan
mutu bibit yang lebih akurat (Ritchie, 1984). Uji fisiologi telah dipraktekkan
pada jenis-jenis konifer di beberapa lokasi persemaian secara operasional
oleh USDA Forest Service dan memberikan hasil yang lebih nyata. Menurut
Dumroese et al. (2005), uji mutu fisiologi bibit dapat dilakukan dengan cara
menguji: a). potensi pertumbuhan akar (root growth potential), b). electrolyte
leakage dari serabut akar, akar tunjang, tunas, daun dan pucuknya, c).
potensial air, d). kadar air akar, e). tingkat karbohidrat akar, f). kandungan
mineral/hara, g). chlorophyll fluorescence, h). fotosintesis, dan status dormansi
pucuk. Haase (2008) juga mengkaji beberapa cara uji fisiologis bibit seperti
potensi pertumbuhan akar, dormansi pucuk, cekaman/stress terhadap seluruh
bagian tanaman, hara/nutrisi tanaman, dan kapasitas fotosintesis (Tabel 1).
Uji fisiologi meskipun lebih mencerminkan kemampuan bibit tumbuh setelah
penanaman, namun uji ini relatif membutuhkan waktu dalam pengukurannya
(Rietveld & Tinus, 1987).

14
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

Tabel 1. Parameter kriteria fisiologi bibit


Sifat bibit Metode pengukuran Satuan ukuran Interpretasi
Potensi Bibit dipotkan Tipe akar PPA dipengaruhi oleh tipe
pertumbuhan dalam media tanah dikelompokkan stok, jenis, seedlot, dan
akar (RGP) atau cocopeat atau pada 0= tidak fisiologi dan berhubungan
ditempatkan dalam ada akar baru; dengan penampilan di
tangki hidroponik. 1=beberapa akar, lapangan ketika air diserap
Setelah 21 hari pada panjang kurang oleh akar-akar baru.
lingkungan yang dari 1 cm; 2= 1-3 Namun, PPA mungkin tidak
optimum untuk akar baru, panjang diekspresikan ketika kondisi
pertumbuhan, jumlah lebih dari 1 cm; lapangan atau suhu di bawah
dan panjang akar 3=4-10 akar baru, optimum untuk pertumbuhan
barunya diukur. panjang lebih dari akar.
1 cm; 4=11-30
akar baru panjang
lebih dari 1 cm;
5= lebih dari 30
akar baru panjang
lebih dari 1 cm.
Dormansi Bibit ditempatkan Jumlah hari Aktivitas tunas merupakan
tunas (Bud di bawah kondisi indikator atau dormansi dan
dormancy) pertumbuhan yang ketahanan terhadap cekaman
optimal dan jumlah (stress).
hari untuk tunas
berkembang dihitung.
Plant moisture Ruang bertekanan Bars: 10 bar PMS PMS mengindikasikan potensi
stress (PMS) merupakan metode setara dengan -1,0 air bibit dan merefleksikan
umum untuk MPa dari potensi interaksi antara suplai air,
menentukan tekanan air pada xylem. kebutuhan air, dan regulasi
air bibit (Cleary & tanaman. PMS dapat
Zaerr, 1980) dipengaruhi oleh waktu
harian, jenis, umur tanaman,
tingkat dormansi dan
ketahanan terhadap strees, dan
lingkungan. PMS meningkat
dengan meningkatnya tekanan
air tanaman. Tekanan air yang
lemah akan menyebabkan
tertutupnya stomata,
berkurangnya fotosintesis, dan
menurunnya pertumbuhan.
Tekanan yang terlalu tinggi
dapat mnyebabkan kerusakan
permanen terhadap sistem
fotosintesis dan menyebabkan
berkurangnya pertumbuhan
dan daya hidup.

15
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 1. Parameter kriteria fisiologi bibit (lanjutan)


Sifat bibit Metode pengukuran Satuan ukuran Interpretasi
Unsur hara Bermacam-macam Umumnya Keseimbangan hara tanaman
tanaman teknik laboratorium dinyatakan dalam sangat penting untuk proses
dapat digunakan persen (%) atau fisiologi yang optimal dan
untuk menentukan ppm, gram atau penampilan tanaman di
kandungan unsur hara milligram. lapangan.
makro dan mikro.
Untuk menentukan
kandungannya,
konsentrasi
digandakan dengan
biomassa contoh.
Chlorophyll Sistem fotosistesis Fvar/Fmax Flourescence merupakan
flourescence bibit dapat dievaluasi (jaringan daun noninvasif, metode yang tidak
melalui penjenuhan dapat beradaptasi merusak untuk mengevaluasi
cahaya dengan dengan gelap), tanaman. Teknik ini dapat
fluorometer. atau quantum memberikan informasi
yield (tidak dapat tentang aktivitas fotosintesis
beradaptasi dengan tanaman dan responnya
gelap) terhadap gangguan.
Sumber : Haase (2008)

Uji fisiologi mutu bibit yang banyak digunakan adalah potensi


pertumbuhan akar Root Growth Potential (RGP). RGP merupakan ukuran
mutu fisiologis bibit yang sangat penting karena mengintegrasikan atribut
bibit dalam satu ukuran biologi, yaitu kemampuan menumbuhkan akar baru
(Ritchie, 1984; Rietveld & Tinus, 1987). Namun pengklasifikasian fisiologis
masih tidak praktis sebab uji RGP tidak secepat uji morfologi bibit (Rietveld
& Tinus, 1987).
Sebenarnya tidak ada satu metoda pengujian mutu bibit yang secara
keseluruhan berhasil menduga kemampuan adaptasi bibit dan pertumbuhan.
Uji morfologi sepertinya cukup menjanjikan untuk membuat standar klasifikasi
bibit, namun penampilan bibit yang diklasifikasikan secara morfologi tidak
stabil pada tapak yang berbeda. Perbedaan lokasi persemaian, tanah, dan
praktek manajemen persemaian telah menghasilkan perbedaan ukuran
morfologi bibit sehingga menyulitkan untuk distandarkan (Kormanik, 1990).
Menurut Mattsson (1996), uji fisiologi yang potensial untuk dikembangkan
di masa depan adalah chlorophyll flourescence, infrared thermography, machine
vision system, integrated approaches dan evaluasi ekofisiologi. Solusi yang

16
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

dapat dilakukan adalah mengkombinasikan sejumlah uji untuk memperoleh


gambaran yang lebih baik mengenai bibit sehat dan vigor, karena yang
ingin diketahui bukan penampilan aktual bibit, tetapi potensi keberhasilan
penanaman di lapangan (Grossnickle et al., 1991; Wilson & Jacobs, 2005).
Fisiologi bibit merupakan konsep tradisional untuk reforestasi dan restorasi,
dan membantu mengembangkan konsep target tanaman (plant target) (Rose
et al., 1990).

C. Hubungan Parameter Mutu


Bibit dengan Keberhasilan
Penanaman
Beberapa hasil penelitian menyatakan diameter pangkal batang merupakan
parameter morfologi bibit yang berkorelasi positif terhadap kemampuan
beradaptasi, pertumbuhan bibit di lapangan. Selain itu, diameter pangkal
batang berkorelasi dengan perkembangan ukuran akar (Rose et al., 1997).
Beberapa ahli menyatakan bahwa diameter atau tinggi bibit yang lebih kecil
ternyata mampu beradaptasi dan memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada
tapak spesifik seperti pegunungan dan lokasi spesifik lainnya (Allen, 1953;
Venator, 1983; Jurasek et al., 2009). Hasil penelitian lainnya berpendapat
sebaliknya. Omon (2008) menyatakan berdasarkan uji penanaman di tiga
lokasi di Kalimantan maka kriteria mutu bibit siap tanam untuk beberapa
jenis meranti (Shorea parvifolia, S. leprosula, dan S. johorensis) adalah tinggi
bibit 60–65 cm, diameter bibit 5,0–8,0 mm dan indek kekokohan 6,3–10,8.
Standar atau kriteria tinggi bibit meranti dari hasil uji penanaman tersebut
lebih tinggi daripada ketentuan yang ditetapkan dalam Perdirjen No. P.05/
V-Set/2009 dan kondisi umum bibit di tingkat penangkar. Budiman et al.
(2015) menyatakan kriteria morfologi bibit jabon putih yang dapat beradaptasi
pada kondisi lapangan dari uji penanaman di Parung Panjang, Bogor adalah
tinggi bibit 20 – 30 cm, diameter lebih dari 4,5 mm, kekokohan batang di
bawah 6 dan berat kering total 3 g.
Pada jenis kepuh (Sterculia foetida), tinggi bibit di atas 30 cm dan
diameter bibit lebih dari 4 mm menghasilkan persen hidup bibit yang tinggi
di lapangan, yaitu 80%. Secara keseluruhan dilihat dari tinggi, diameter,
dan persen hidup, klasifikasi tinggi awal bibit lebih dari 40 cm dan diameter

17
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

batang lebih dari 4 mm dapat dijadikan kriteria morfologi bibit kepuh siap
tanam di lapangan (Nurhasybi, 2010). Pada jenis nyamplung (Calophyllum
inophyllum), klasifikasi morfologi bibit nyamplung berpengaruh nyata
terhadap persen hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter batang pada umur
2 tahun di lapangan (Sianturi & Sudrajat, 2019). Tinggi dan diemeter bibit
berkorelasi nyata dengan parameter mutu bibit lainnya dan juga berkorelasi
nyata dengan penampilan tanaman. Bibit bermutu baik untuk penanaman
dicirikan oleh tinggi bibit ≥30 cm dan diameter ≥5,1 mm (Sudrajat et al.,
2010). Penanaman tipe morfologi tersebut akan memperbaiki penampilan
tanaman, yang akan meningkatkan keberhasilan pengembangan tanaman
nyamplung. Kriteria ini berlaku khususnya untuk karakteristik tapak yang
serupa atau tidak jauh berbeda dengan kondisi tapak di Hutan Penelitian
Parung Panjang, Bogor, dengan jenis tanah podsolik haplik dan pH rata-rata
4,8 (Sudrajat et al., 2010).
Mutu bibit dicerminkan dari keberhasilan bibit tersebut beradaptasi dan
tumbuh baik setelah penanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
parameter mutu bibit (morfologi maupun fisiologi) berpengaruh terhadap
penampilan bibit setelah penanaman (Tabel 2).

Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya dengan


penampilan bibit setelah penanaman
Jenis Hasil penelitian Pustaka
Pinus taeda Diameter batang berkorelasi positif dengan South et al.
kemampuan adaptasi dan pertumbuhan. (1989)

Pseudotsuga Diameter batang bibit dan ukuran akar Long dan Carrier
menziesii mempengaruhi penampilan bibit setelah (1993)
penanaman. Penambahan 1 mm diameter awal
meningkatkan diameter tanaman umur 5 tahun
5-15%.
Quercus rubra Bibit yang memiliki 5 atau lebih akar lateral Thompson dan
mempunyai kemungkinan tumbuh baik daripada Schultz (1995)
bibit dengan 4 atau kurang akar lateral.

Pinus ponderosa - Bibit dengan volume akar besar (>7cm3) Rose et al. (1997)
berpengaruh signifikan terhadap daya hidup bibit.
- Tinggi, diameter bibit dan volume batang Pinto et al.
merupakan penduga kinerja yang baik hingga (2011)
umur 1 tahun setelah tanam

18
BAB II.
PARAMETER MUTU BIBIT

Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya dengan


penampilan bibit setelah penanaman (lanjutan)
Jenis Hasil penelitian Pustaka
Pseudotsuga Bibit dengan volume akar besar (>13cm3) Rose et al. (1997)
menziesii berpengaruh signifikan terhadap daya hidup bibit.
Quercus rubra Diameter batang merupakan indikator morfologi Dey dan Parker
yang lebih baik untuk menduga pertumbuhan (1997)
setelah penanaman daripada tinggi bibit.
Pinus merkusii Tinggi bibit 6,1 -10 cm, diameter bibit > 2mm, dan Karyaatmaja et
berkayu menghasilkan penampilan yang lebih baik al. (2001)
hingga umur 6 bulan setelah tanam.
Pinus elliotii Diameter batang merupakan indikator kemampuan South dan
hidup bibit yang baik setelah penanaman. Bibit Mitchell (1999)
berdiameter 9,5 – 11,5 mm mampu meningkatkan
persen hidup tanaman 87-99%.
Cedrus libani Diameter batang merupakan indikator yang baik Semerci (2005)
potensi pertumbuhan bibit setelah penanaman.
Acacia Tinggi bibit tidak berpengaruh nyata terhadap Zida et al. (2007)
macrostachya persen hidup dan pertumbuhan tanaman, namun
dan Pterocarpus diameter bibit ada hubungannya dengan diameter
erinaceus bibit setelah penanaman di lapangan.
Shorea spp. Bibit dengan tinggi 50-65 cm, diameter bibit 5-8 Omon (2008)
mm, nilai kekokohan bibit 9,88 – 10,4, rasio pucuk
akar 2,19-2,59 menghasilkan pertumbuhan bibit
terbaik hingga umur 1 tahun setelah tanam.
Pinus radiata Indek kekokohan dan tinggi bibit merupakan Sharma et al.
penduga terbaik untuk persentase hidup tanaman (2007)
hingga umur tanaman 1 tahun.
Cupressus Penilaian bibit berdasarkan variabel morfologi Kostopoulou et
sempervirens (panjang akar, lebar daun, berat kering akar dan al. (2010)
tunas) dan uji fisiologis seperti electrolyte leakage
dapat memperbaiki keberhasilan penanaman.
Quercus suber Penampilan tanaman di lapangan tidak berhubungan Trubat et al.
dengan ukuran bibit dan potensi pertumbuhan akar, (2010)
namun ada banyak faktor lainnya yang mungkin
berpengaruh.
Pistacia lentiscus, Kinerja bibit setelah penanaman dipengaruhi oleh Trubat et al.
Quercus coccifera, karakter fisik dan fisiologisnya. Untuk daerah semi- (2011)
Rhamnus lycioides, arid, bibit yang berukuran lebih kecil lebih adaptif
Rhamnus dibandingkaan bibit berukuran besar. Persen hidup
alaternus, bibit setelah satu tahun dilapangan berkorelasi
Tetrackinis negatif dengan ukuran morfologi bibit.
articulata

19
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya dengan


penampilan bibit setelah penanaman (lanjutan)
Jenis Hasil penelitian Pustaka
Neolamarckia Tinggi bibit 20-<30 cm dan diameter >4,5 cm Budiman et al.
cadamba dengan indeks kekokohan 5,47 mempunyai (2016)
korelasi yang nyata dengan keberhasilan tanaman di
lapangan.
Callophylum Karakter tinggi dan diameter bibit di persemaian Sianturi &
inophyllum berkorelasi positif dengan parameter mutu bibit Sudrajat (2019)
lainnya dan dengan persen hidup, tinggi, dan
diameter tanaman umur 2 tahun di lapangan

Penelitian kriteria mutu bibit yang mengkorelasikannya dengan


keberhasilan penanaman di lapangan lebih banyak dilakukan terhadap jenis-
jenis daun jarum jika dibandingkan dengan jenis-jenis daun lebar (daerah
tropis) (Wilson & Jacobs, 2005). Hasil dari beberapa penelitian menyebutkan
parameter diameter pangkal batang mempunyai korelasi yang kuat dengan
kemampuan hidup (adaptasi) dan pertumbuhan bibit di lapangan (Bacon et
al., 1977; Blair & Cech, 1974; White, 1979; Rose et al., 1997; Sianturi &
Sudrajat, 2019). Namun, pengaruh morfologi bibit tersebut tergantung dari
kondisi lingkungan penanaman dan kegiatan pengelolaan lainnya, sehingga
informasi detail tentang penanaman, seperti iklim, teknik persiapan lahan,
penggunaan lahan sebelumnya, dan pengelolaan setelah penanaman (post-
plantation management), sangat diperlukan untuk mempersiapkan kualitas
bibit yang diperlukan sesuai peruntukannya (Andivia et al., 2018).

20
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN
UNTUK MENGHASILKAN
BIBIT BERMUTU

Kegiatan persemaian dimulai dari pengadaan benih, pembuatan bibit


baik secara generatif (biji) maupun vegetatif (bagian tanaman lainnya seperti
tunas, batang, akar). Pengadaan benih dimulai dari pengunduhan atau
pengumpulan benih, pengolahan benih, pengujian dan penyimpanan yang
terangkum dalam kegiatan penanganan benih. Kegiatan penanganan benih
sangat penting karena akan menentukan keberhasilan kegiatan-kegiatan
selanjutnya.

A. Penanganan Benih
Benih diartikan sebagai bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji)
atau bahan vegetatif yang digunakan untuk mengembangbiakkan tanaman
hutan. Mutu benih dibedakan menjadi tiga yaitu mutu fisik, fisiologis,
dan genetik (Schmidt, 2000). Mutu fisik adalah hasil kinerja fisik seperti
kebersihan, kesegaran butiran serta utuhnya kulit benih, dan mutu fisiologis
menunjukkan kemampuan benih untuk tumbuh atau disimpan lama. Secara
singkat, mutu fisik dan fisiologis menunjukkan kinerja pengadaan benih (“seed
procurement”) (Barner & Ditlevsen, 1988). Mutu genetik benih menunjukkan
tingkat kemurnian varietas, yang dihasilkan dari kinerja pemuliaan pohon
(“tree improvement”) (Barner & Ditlevsen, 1988). Mutu genetik juga
didefinisikan sebagai tingkat keterwakilan keragaman genetik suatu sumber
benih (IFSP, 2000).
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Mutu benih berhubungan erat dengan mutu bibitnya. Mutu benih


yang rendah akan menghasilkan bibit bermutu rendah. Penanganan benih
yang kurang baik akan menurunkan mutu benih sehingga berdampak pada
mutu bibit. Penurunan mutu terjadi secara genetik yang disebabkan oleh
kerentaan benih terhadap kerusakan akibat penanganan benih berbeda untuk
setiap famili, karena kadar air, ketebalan dan struktur lapisan benih berbeda
antar famili sehingga secara langsung kegiatan penanganan benih yang kurang
baik akan menurunkan mutu genetik (menurunnya keragaman genetik) suatu
kelompok benih (seed lot) (Lauridsen, 1999).
Penurunan mutu genetik juga terjadi pada tahap seleksi baik pada
tingkat benih (seleksi dan sortasi benih), kecambah (seleksi kecambah pada
saat penyapihan), dan pada tingkat bibit (seleksi bibit). Proses penanganan
benih dan bibit yang dapat mempertahankan viabilitas dan vigor benih serta
keberhasilan benih menjadi bibit siap tanam akan mengurangi perubahan
genotipe dan mempertahankan potensi keragaman genetik secara maksimum
(Lauridsen, 1999). Dengan demikian, penanganan benih harus dilakukan
secara benar sesuai dengan karakteristik benih tersebut sehingga viabilitas dan
vigor benih dapat dipertahankan selama penanganannya dan kelompok benih
(seedlot) tersebut tidak banyak kehilangan keragaman sewaktu disemaikan.
Selain itu, keterangan sumber benih dan hasil pengujian mutu benih menjadi
informasi penting dalam pengujian mutu bibit.

1. Penanganan benih generatif


Penanganan benih generatif (biji) harus disesuaikan dengan
karakteristik atau watak benihnya. Secara umum, benih dapat
dikategorikan sebagai benih ortodok, rekalsitran dan intermediet
(Robert, 1973). Benih yang dapat dikeringkan hingga kadar air rendah
(2% - 5%) tanpa mengalami kerusakan disebut dengan istilah benih
ortodok. Daya simpan benih menjadi lebih lama sejalan dengan
menurunnya kadar air dan suhu ruang simpan yang lebih rendah
(Sudrajat, 2017). Sebaliknya, benih rekalsitran adalah benih yang
tidak dapat dikeringkan tanpa mengakibatkan kerusakan dan juga
tidak mampu mempertahankan viabilitasnya selama penyimpanan
(Robert, 1973). Benih rekalsitran sebagai benih berkadar air tinggi
yang sensitif terhadap pengeringan, bermetabolisme aktif dengan laju

22
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

respirasi yang tinggi dan tingkat diferensiasi intraseluler yang tinggi.


Kondisi tersebut menyebabkan benih akan cepat berkecambah jika
kadar air dipertahankan dalam keadaan tinggi, sehingga penyimpanan
dalam kondisi lembap juga hanya dapat dilakukan dalam waktu
singkat (Pammenter & Berjak, 2013). Benih rekasitran ini harus segera
ditangani.
Benih intermediet merupakan benih yang memiliki watak di
antara benih ortodok dan rekalsitran. Meskipun kadar air segarnya
relatif tinggi, namun benih intermediet masih mampu dikeringkan
(kering-angin) hingga kadar air tertentu dan disimpan dalam waktu
yang agak lama (umumnya < 1 tahun). Benih jenis ini juga sensitif
terhadap pengeringan, khususnya pengeringan di bawah sinar matahari.
Hilangnya viabilitas setelah pengeringan atau selama penyimpanan
tergantung pada jenis, tingkat kemasakan dan metode ekstraksi atau
penanganan. Secara umum, benih yang diekstraksi pada kondisi benih
telah masak secara fisiologis lebih toleran terhadap pengeringan dan
dapat disimpan lebih lama pada kondisi kelembapan relatif 40%-50%
dan kondisi kadar air benih sekitar 10% (Sudrajat, 2017).

a. Pengumpulan benih
Pengumpulan benih dilakukan pada lokasi sumber benih berdasarkan
kondisi pembuahan dan indikator kemasakan dengan berbagai cara, seperti
pengumpulan buah yang jatuh di lantai hutan, perontokan dan pemetikan
dengan pemanjatan. Sumber benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan
hutan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih
berkualitas. Kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan sumber
benih ini adalah satuan pengumpulan (pohon tunggal, seluruh tegakan),
perkembangan dan komposisi (umur, distribusi, kriteria seleksi), sejarah
geografis (asal, provenansi), sejarah genetik (seleksi alam atau manusia, jumlah
pohon induk, isolasi) (Barner et al., 1988). Sumber benih dibedakan menurut
kualitas genetik berdasarkan kelas sumber benih dengan klasifikasi sebagai
berikut (1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), (2) Tegakan Benih Terseleksi
(TBS), (3) Areal Produksi Benih (APB), (4) Tegakan Benih Provenans (TBP),
(5) Kebun Benih Semai (KBS), dan (6) Kebun Benih Klonal (KBK), dan
(7) Kebun Pangkas (KP). Sumber benih nomor satu (TBT) hingga nomor

23
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

enam (KBK) merupakan sumber benih yang ditujukan untuk produksi benih
(biji), sedangkan nomor tujuh (KP) ditujukkan untuk menghasilkan stek
(vegetatif). Dalam kondisi tertentu untuk jenis-jenis tanaman hutan yang
belum tersedia sumber benihnya, maka dapat dipertimbangkan beberapa
lokasi lain, seperti hutan rakyat, hutan tanaman dan hutan alam, dengan
jumlah pohon induk minimal 25 pohon yang tidak berkerabat. Kekerabatan
antar pohon induk di hutan alam dapat didekati dengan mengumpulkan
benih dari pojom induk yang satu sama lainnya berjarak ±100 m, sedangkan
di hutan tanaman, penentuan pohon induk tidak perlu mempertimbangkan
jarak karena diasumsikan pohon-pohon yang ditanam tidak berkerabat atau
berasal dari benih yang diperoleh dari banyak pohon.
Pengumpulan benih sebaiknya dilakukan pada saat puncak musim buah
dengan memperhatikan tingkat kemasakan buah berdasarkan warna kulit buah,
bau, kelunakan buah, kadar air, jatuhnya buah secara alami, atau merekahnya
buah. Cara pengumpulan benih atau pemanenan buah dengan perontokan
dilakukan terhadap jenis pohon yang memiliki waktu panen buah yang
singkat dan mudah rontok serta buah atau biji berukuran besar. Pemetikan
buah dilakukan dengan pemanjatan yang dapat dilakukan secara langsung
memetik buah pada tangkai pohon yang terjangkau dengan menggunakan
alat (galah) pada pohon yang buahnya sulit dijangkau. Cara pemetikan buah
ini dilakukan pada tipe buah kering pecah (indehischent) seperti buah polong-
polongan (jelutung, pulai, sengon), buah kerucut (agathis, pinus), dan kapsul
(seperti Eucaliptus spp., benuang, puspa). Pemetikan buah pada pohon yang
tinggi dapat dilakukan dengan pemanjatan pohon. Pengumpulan benih/buah
di lantai hutan dapat dilakukan untuk buah yang jatuh atau terlepas dari
tangkai buahnya ketika sudah masak seperti jati, gmelina dan lainnya, buah
tidak mudah tersebar/terbang dan dimakan pemangsa, berukuran besar, tidak
cepat berkecambah, tidak cepat rusak dan berukuran besar. Lantai hutan
dibersihkan terlebih dahulu dan diberi alas berupa jaring atau terpal untuk
menampung buah yang jatuh. Pengumpulan buah harus segera dilakukan
sebelum buah rusak dan terbuka serta sebelum berkecambah (Schmidt,
2002).
Apabila pengumpulan buah memerlukan waktu yang lama dan
lokasi pengumpulan buah jauh maka dapat dilakukan penyimpanan buah
sementara. Di lokasi penyimpanan sementara dilakukan beberapa kegiatan

24
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

untuk menyeleksi buah yang dikumpulkan, meliputi pembersihan buah/


benih dari campuran bagian-bagian tanaman lainnya dan pengendalian
kemunduran (seperti memisahkan buah/benih yang ada dari buah/benih
yang telah berjamur, mengalami fermentasi dan telah berkecambah).
Tempat penyimpanan buah/benih sementara di lapangan harus memiliki
sirkulasi udara yang baik, terlindung dari organisme pengganggu, terlindung
dari cahaya sinar matahari secara langsung dan hujan (di bawah naungan)
(Schmidt, 2002).
Buah/benih dengan karakter rekalsitran harus secepatnya diangkut setelah
pengumpulan buah. Pengangkutan benih harus menggunakan wadah yang
poros atau berpori, seperti karung goni atau keranjang. Setiap wadah buah
diberi label yang berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih
(letak geografi dan administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk
jika ada), jumlah/berat buah, tanggal pengunduhan, dan nama pengunduh.

b. Ekstraksi benih
Ekstraksi umumnya dilakukan pada buah-buah yang telah masak.
Pemasakan buatan (pemeraman/curing) diperlukan untuk buah yang belum
mencapai tingkat kemasakan sempurna, seperti Pinus spp. Pemasakan lanjutan
(after ripening) diperlukan untuk benih yang telah masak secara fisik, namun
embrionya belum berkembang sempurna, seperti pada gmelina (Gmelina
arborea), kesambi (Schleichera oleosa) dan jati (Tectona grandis). Buah yang
tidak memerlukan pemasakan lanjutan atau pemeraman dapat langsung
dilakukan ekstraksi (Nurhasybi et al., 2007). Ekstraksi benih merupakan
proses untuk mengeluarkan benih dari bagian buah lainnya. Secara umum,
ekstraksi benih tanaman hutan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
ekstraksi basah dan ekstraksi kering.
Ekstraksi basah umumnya dilakukan pada buah berdaging dengan cara
manual atau semi mekanis. Tahapan ekstraksi basah adalah sebagai berikut:
(1). Perendaman buah dalam air hingga daging buah melunak dan benih
mudah dikeluarkan dari buah,
(2). Pengelupasan dan pembersihan kulit buah dari sisa-sisa daging
buah menggunakan pasir halus atau bahan lainnya pada air yang
mengalir,

25
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

(3). Permukaan kulit benih dikeringkan dengan cara dikering-anginkan


dalam ruang kamar atau dijemur sesuai dengan karakter benihnya
(Schmidt, 2002). Untuk benih dengan karakter rekalsitran atau
intermediet disarankan untuk dilakukan kering angin di ruang
kamar.
Ekstraksi kering umumnya dilakukan pada buah kering (tidak berdaging)
berbentuk polong atau kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi
mekanis. Ekstraksi kering dilakukan dengan cara:
(1). Penjemuran buah pada lantai jemur atau menggunakan alas jemur
(terpal atau bahan lainnya), atau
(2). Penjemuran buah di bawah sinar matahari selama 1 - 3 hari, atau
dapat menggunakan alat pengering benih (seed drier) pada suhu 35
- 38º C selama 12 - 24 jam.
Apabila buah telah merekah dan benih mudah dikeluarkan dari buah,
maka penjemuran/ pemanasan buah dihentikan (Schmidt, 2002). Pengeluaran
benih juga dapat dilakukan dengan cara memasukan benih ke dalam karung
dan dipukul-pukul secara hati-hati sehingga benih keluar dari buah.

c. Seleksi dan sortasi benih


Pemrosesan (processing) benih bertujuan untuk menghasilkan benih
dengan tingkat kebersihan dan kemurnian tinggi sehingga mampu
meningkatkan kualitas fisik dan fisiologi benih. Seleksi dan sortasi benih
dapat dilakukan berdasarkan berat dan ukuran benih. Seleksi dilakukan untuk
memisahkan benih berisi dari benih kosong, benih jenis lain dan kotoran.
Umumnya, berat dan ukuran benih menjadi dasar untuk melakukan sortasi
benih. Seleksi dan sortasi benih dapat dilakukan dengan menggunakan alat
seed gravity table (SGT) (Gambar 2), teknik perendaman atau pengapungan,
penyaringan dengan ukuran tertentu, dan penghembusan (blower). Beberapa
hasil penelitian seleksi benih menunjukkan benih tanjung (Mimusops elengi)
berukuran 14,0 - 19,9 mm menghasilkan kecepatan berkecambah lebih
tinggi dibandingkan ukuran benih lainnya (Suita & Nurhasybi, 2008), benih
mindi (Melia azedarach) berukuran panjang ≥11 mm dan diameter ≥6,5 mm
menghasilkan bibit siap tanam yang lebih vigor (Suita & Megawati, 2009)
dan benih weru (Albizia procera) berukuran >4,7 mm memberikan hasil
pertumbuhan tinggi dan diameter bibit yang optimal (Suita et al., 2013).

26
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Gambar 2. Seed gravity table (SGT) menggunakan hembusan angin,


kemiringan dan getaran untuk menyeleksi benih berdasarkan
berat (Suita, 2018)

d. Pematahan dormansi
Sebagian besar benih tanaman hutan di daerah tropis tidak memiliki
dormansi dan sebagian lainnya memiliki dormansi, sehingga benihnya tidak
langsung berkecambah meskipun berada pada kondisi lingkungan yang
mendukung (Baskin & Baskin, 2005). Benih-benih yang tidak berkecambah
diduga sudah mengalami kematian (tidak viabel), kosong, atau dorman. Benih
segar yang tidak mau berkecambah hingga akhir uji perkecambahan, maka
benih tersebut diduga mengalami dormansi. Dormansi dapat dinyatakan
sebagai kondisi terjadinya hambatan perkecambahan yang disebabkan embrio
mengalami beberapa halangan seperti kulit benih, embrio belum berkembang
sempurna, atau adanya suatu zat atau materi penghambat yang terdapat pada
kulit dan jaringan dalam benih.
Suatu kondisi dimana benih-benih viabel (sehat) tidak mampu
berkecambah meskipun berada pada kondisi optimal untuk berkecambah
diartikan sebagai dormansi benih (Schmidt, 2002). Dormansi benih dapat
diklasifikasikan menjadi dormansi bawaan (innate dormancy), dormansi
rangsangan (induced dormancy) dan dormansi paksaan (enforced dormancy).
Dormansi bawaan merupakan dormansi yang terjadi sejak benih tersebut
masih berada pada tanaman induk. Dormansi rangsangan dan dormansi

27
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

paksaan merupakan dormansi karena faktor lingkungan (suhu dan cahaya),


dan dormansi dapat diatasi setelah faktor lingkungan yang menghambat
dihilangkan (Sudrajat, 2010a).
Berdasarkan sifat fisiologisnya, dormansi benih dapat diklasifikasikan ke
dalam 6 tipe (Schmidt, 2002; Sudrajat, 2010a) seperti tercantum pada pada
Tabel 3. Beberapa jenis tanaman hutan memiliki benih yang mempunyai
dormansi ganda sehingga memerlukan perlakuan kombinasi untuk
mematahkan dormansi benihnya.

Tabel 3. Tipe dan karakteristik dormansi benih


Tipe Perlakuan
Karakteristik
dormansi Alami Buatan
Dormansi Benih secara fisiologis Pertumbuhan setelah Pemeraman
embrio belum masak atau penyebaran
embrio dorman
Dormansi Pertumbuhan embrio Pembusukan bagian Pemencaran bagian
mekanis secara fisik dihambat yang keras oleh yang keras
karena kulit benih organisme tanah
Dormansi Penyerapan air Abrasi oleh pasir, Skarifikasi mekanis,
fisik dihambat karena suhu tinggi, air mendidih,
kulit benih yang pemangsaan oleh perlakuan dengan
kedap air binatang asam
Dormansi Benih mengandung Pemangsaan oleh Menghilangkan
kimia zat-zat kimia binatang, pelarutan daging buah dan
penghambat oleh hujan atau membersihkannya
perkecambahan pembusukan daging dengan air,
buah perendaman dengan
penggantian air,
rendam-jemur
Dormansi Benih tidak dapat Kondisi cahaya yang Pemberian
cahaya berkecambah kecuali tepat untuk memacu cahaya selama
jika berada dalam perkecambahan perkecambahan atau
kondisi cahaya perlakuan gelap dan
terang
Dormansi Perkecambahan Fluktuasi suhu Suhu tinggi, suhu
suhu rendah tanpa suhu harian, kebakaran berfluktuasi
yang tepat lantai hutan
Sumber : Schmidt (2000), Sudrajat (2010a)

28
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Benih yang memiliki dormansi sebelum ditabur harus dihilangkan


terlebih dahulu dormansinya dengan perlakuan pendahuluan untuk
meningkatkan daya berkecambah dan jumlah bibit yang akan dipelihara di
persemaian. Setiap jenis mempunyai karakteristik/watak benih yang berbeda-
beda sehingga memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda sebelum
benih ditabur (Tabel 4).

Tabel 4. Teknik pematahan dormansi benih beberapa jenis tanaman hutan


No. Jenis Teknik pematahan benih
1. Acacia auriculiformis Rendam air panas (80° C) selama 30 detik dan
(formis) dilanjutkan air dingin selama 24 jam.
2. Acacia mangium Rendam air panas (80° C) dan dibiarkan dingin
(mangium) selama 24 jam.
3. Acacia crassicarpa - Rendam dalam H2SO4 selama 7 menit, ditiriskan
3-5 menit dan dicucu air mengalir
- Rendam dalam air yang telah mendidih (suhu 80°
C) dan dibiarkan dingin selama 24 jam.
4. Aleurites moluccana Rendam dalam air dan jemur selama 7 hari berturut-
(kemiri) turut (malam direndam, siangnya dijemur)
5. Anthocephalus Perendaman dalam larutan Giberelin selama 4 jam
cadamba (jabon)
6. Arenga pinnata Pemeraman 20-30 hari dan diberi larutan KNO3
(aren) 0,5% selama 24 jam.
Pengikiran benih
7. Calliandra Perendaman dalam air selama 24 jam
calothyrsus
(kaliandra)
8. Callophyllum Pengupasan kulit benih
inophyllum
(nyamplung)
9. Canarium odoratum Peretakan benih dan dilanjutkan perendaman selama
(kenari) 3 hari
10. Enterolobium - Perendaman air dingin selama 24 jam
cyclocarpum (sengon - Pengikiran benih
buto) - Perendaman dengan H2SO2 pekat 35 menit.
11. Gmelina arborea Perendaman dalam air dingin 1-2 hari
(jati putih)

29
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 4. Teknik pematahan dormansi benih beberapa jenis tanaman hutan


(lanjutan)
No. Jenis Teknik pematahan benih
12. Hibiscus Perendaman dalam H2SO2 pekat selama 30 menit
macrophyllus (tisuk)
13. Intsia bijuga - Pengikiran
(merbau) - Perendaman dalam H2SO2 selama 1 jam
14. Maesopsis emenii - Perendaman dalam H2SO2 (20 N) selama 20 menit
(kayu afrika) - Perendaman dalam KNO3 2% selama 30 menit

15. Manilkara kauki Rendam jemur selama 3 hari


(sawo kecik)
16. Melia Azedarach - Perendaman dalam larutan H2SO2 12 N selama 10
(mindi) menit, kemudian direndam GA3 300 ppm selama
12 jam.
- Peretakan kulit benih
17. Mimosops elengi Perendaman dalam KNO3 0,4%
(tanjung)
18. Ochroma bicolor Perendaman benih dalam air selama 24 jam dan
(balsa) perendaman benih dalam GA3
19. Paraserianthes Rendam dalam air panas (80° C), kemudian
falcataria (sengon) dibiarkan dingin selama 24 jam.
20. Pericopsis mooniana - Rendam air panas (80° C), kemudian dibiarkan
(kayu kuku) dingin selama 24 jam.
- Perendaman dalam H2SO2 pekat selama 15 menit
21. Pinus merkusii Perendaman dalam larutan H2O2 1% selama 24 jam
(tusam)
22. Santalum album Perendaman benih dalam larutan Ethyl Alkohol 40%
(cendana) selama 10-15 menit
23. Styrax benzoin Rendam jemur selama 3 hari
(kemenyan)
24. Tamarindus indica Perendaman dalam H2SO2 selama 5 menit
(asam jawa)
25. Xanthoxyllum rhetsa - Perendaman benih dalam larutan asam sulfat pekat
(panggal buaya) selama 30 menit yang diikuti dengan perendaman
dalam air selama 24 jam
- Perendaman air dingin selama 7 hari
Sumber : Sudrajat (2010a)

30
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

e. Invigorasi (priming)
Mutu benih tanaman hutan terus mengalami proses penurunan setelah
pemanenan dan pengolahan (seed prosessing) karena kerusakan fisik dan
fisiologi akibat kadar air benih mengalami penurunan dan kerusakan sel.
Salah satu cara meningkatkan potensi benih yang telah menurun mutu
fisiologisnya adalah perlakuan invigorasi. Invigorasi merupakan perlakuan
benih sebelum penanaman/penaburan yang bertujuan untuk memperbaiki
kondisi fisiologis dan biokimia benih melalui perbaikan metabolisme dan
potensi untuk berkecambah (Khan et al., 1992). Berbagai perlakuan invigorasi
benih sebelum tanam di antaranya adalah priming yang merupakan metode
mempercepat dan menyeragamkan perkecambahan, melalui pengontrolan
penyerapan air sehingga perkecambahan dapat terjadi. Selama priming
keragaman dalam tingkat penyerapan awal dapat dikontrol. Metode priming
dapat dilakukan melalui hydro-priming, osmoconditioning, hormone-priming
dan perbaikan mutu yang dilakukan secara fisik menggunakan radiasi sinar
gamma dosis rendah.
Priming adalah mengaktifkan sumber daya internal benih ditambah
dengan sumber daya eksternal yang akan mengoptimalkan pertumbuhan.
Invigorasi atau priming dilakukan pada benih-benih dengan daya berkecambah
di atas 50%, karena jika daya berkecambah benih di bawah 50% berarti
benih tersebut sudah mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi
(Schmidt, 2002). Perlakuan priming yang tepat akan mengendalikan laju
kebutuhan air selama perkecambahan dan memacu laju metabolisme.
Semua proses ini menyebabkan fase aktivasi berlangsung lama sehingga akan
memberikan perbaikan fisiologis, antara lain benih berkecambah lebih cepat
dan serempak, serta meningkatkan persentase perkecambahannya. Priming
dapat dilakukan pada benih berukuran kecil hingga besar terutama pada
benih-benih yang sudah menurun vigor dan viabilitasnya. Priming dapat
diterapkan di awal, di tengah maupun di akhir periode simpan. Perlakuan
ini dilakukan hingga radikel memanjang namun dihentikan sebelum radikel
menembus kulit benih. Tahap perlakuan priming meliputi: pelembapan,
kontrol kelembapan, pengeringan antara, pencucian, pengeringan akhir dan
pengemasan (Zanzibar, 2010) (Tabel 5).

31
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 5. Tahap priming dan perlakuan pengkondisian benih


Tahap Metoda priming
No
kegiatan Osmoconditioning Matriconditioning hidrasi-dehidrasi
1 Pelembapan benih diletakkan dalam wadah benih diletakkan
dalam wadah tertutup, berisi dalam wadah
tertutup yang abu gosok/serbuk tertutup yang
telah berisi kertas gergaji + benih + air telah berisi
merang berlapis (v/v = 0,4 : 1 : 1) kertas merang
jenuh larutan, kemudian diaduk berlapis jenuh
dilembapkan secara merata air, dilembapkan
selama 72 jam selama 72 jam
2 Kontrol  setiap 6 jam  setiap 6 jam  setiap 6 jam
kelembapan benih diaduk benih diaduk benih diaduk
secara merata secara merata secara merata
selama 3 menit selama 3 menit selama 3 menit
 setiap 24 jam,  setiap 24 jam,  setiap 24
air/larutan air ditambahkan jam, air
ditambahkan sebesar yang ditambahkan
sebesar yang hilang sebesar yang
hilang hilang

3 Pengeringan dikeringkan pada tidak dilakukan dikeringkan


antara suhu kamar selama pada suhu kamar
72 jam selama 72 jam
4 Pencucian air mengalir air mengalir air mengalir

5 Pengeringan dikering
 dikering
 dikering

akhir dan anginkan pada anginkan pada anginkan pada
pengemasan suhu kamar suhu kamar suhu kamar
selama 120 jam selama 120 jam selama 120 jam
dikemas dalam
 dikemas dalam
 dikemas dalam

wadah yang wadah yang wadah yang
sesuai dengan sesuai dengan sesuai dengan
karakter benih karakter benih karakter benih
Keterangan: khusus pada perlakuan hidrasi – dehidrasi, tahap 1 sampai dengan 3 diulang
sebanyak 2 kali; Sumber : Zanzibar (2010), BSN (2014)

Penggunaan iradiasi sinar gamma dosis rendah umumnya menghasilkan


pengaruh hormosis dan stimulasi terhadap tahap awal perkecambahan melalui
peningkatan aktivitas enzim, meningkatkan pembelahan sel, memperbaiki

32
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

perkecambahan dan pertumbuhan bibit (Ikram et al., 2010; Piri et al., 2011;
Iglesias-Andreu et al., 2012; Araujo et al., 2016). Penelitian pada benih
tembesu yang disimpan selama 2 bulan dengan dosis iradiasi 120 Gy mampu
meningkatkan daya berkecambah dan dosis 30 Gy dapat meningkatkan
kualitas bibit tembesu (Zanzibar et al., 2015). Benih Terminalia arjuna
dengan dosis 5 Gy dan 30 Gy meningkatkan daya berkecambah, indek vigor
dan rata-rata laju pertumbuhan (Akshatha et al., 2013) serta meningkatkan
daya berkecambah dan kecepatan tumbuh pada benih Triticum durum dengan
dosis radiasi 10 Gy dan 20 Gy (Melki & Marouani 2009).

f. Pengendalian hama dan penyakit benih


Benih tanaman hutan memiliki resiko terkena serangan hama dan
penyakit. Beberapa upaya pencegahan dapat dilakukan agar benih dapat
tumbuh dan berkecambah hingga mengalami pertumbuhan menjadi bibit
yang sehat di persemaian. Pencegahan yang dapat dilakukan (Schmidt, 2000;
Sudrajat et al., 2010), antara lain :
a. Pengumpulan buah dilakukan pada saat puncak musim buah
masak;
b. Lantai hutan harus diberi alas (terpal, tikar dan bahan lainnya) dan
buah yang dikumpulkan harus diseleksi pada kegiatan pengumpulan
buah dari lantai hutan; Ektraksi dilakukan secara hati-hati agar tidak
terjadi pelukaan;
c. Pemisahan benih dari benih rusak dan kotoran agar benih dalam
kondisi bersih sebelum disimpan;
d. Fumigasi dilakukan secara berkala pada wadah dan ruang simpan
benih. Fumigasi menggunakan metil bromida cukup efektif untuk
mengendalikan beberapa jenis jamur. Fumigan lainnya yang dapat
digunakan adalah HCN, karbonsulfida, dan alumunium sulfina;
e. Penggunaan fungisida seperti triadimethol, ehtirimol, dan metalaxyl
cukup efektif untuk mengatasi jamur yang ada pada benih. Ukuran
benih dan struktur biji harus dipertimbangkan dalam penentuan
dosisnya.
f. Mempertahankan kadar air aman selama penyimpanan;

33
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

g. Memeriksa kesehatan benih secara berkala selama penyimpanan


untuk mengetahui kondisi benih;
h. Benih yang dikecambahkan harus disterilisasi lebih dahulu yang
dapat dengan menggunakan ethanol 70%, natrium hipoklorit 1%,
dan pestisida nabati dengan perendaman selama 5 – 10 menit, dan
bahan lainnya.

2. Penanganan benih vegetatif


Benih-benih vegetatif dapat berupa eksplan atau bagian-bagian tanaman
yang akan dibiakkan menjadi tanaman baru. Secara umum pembiakan
vegetatif yang dilakukan pada tanaman kehutanan untuk memproduksi bibit
dalam jumlah besar dilakukan secara stek atau kultur jaringan. Stek dapat
dilakukan dengan menggunakan pucuk, batang dan akar.

B. Pembuatan Bibit Generatif


1. Penaburan benih generatif
Penaburan benih ke media tabur akan berpengaruh terhadap daya
berkecambah benih. Benih dengan tipe pertumbuhan kecambah epigeal
(bagian kotiledon bergerak ke bagian atas ketika benih berkecambah),
maka sebaiknya benih ditabur tidak terlalu dalam, sedangkan untuk benih
yang dengan tipe kecambah hypogeal (bagian kotiledon tetap di bagian
bawah ketika benih berkecambah), tidak terlalu berpengaruh terhadap
perkecambahannya (Gambar 3). Penaburan benih diupayakan agar bagian
titik tumbuh yang terdapat radikel (calon akar) dan plumula (calon daun)
diletakkan pada bgian bawah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan benih
damar (Agathis loranthifolia) ditabur dengan posisi berdiri 2/3 bagian benih
masuk ke dalam media tabur. Benih mahoni (Swietenia macrophylla) ditabur
dengan posisi sayap di bagian atas dan 1 - 2 cm bagian benih masuk ke dalam
media tabur. Cara penaburan benih jenis tanaman hutan lainnya disesuaikan
dengan morfologi benih dan posisi titik tumbuh (Nurhasybi et al., 2007).

34
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Gambar 3. Tipe kecambah tanaman (Bonner et al., 1994).

Penaburan benih harus memperhitungkan kerapatan antar benih pada


media tabur (densitas benih) agar dihasilkan kecambah yang vigor dan mampu
dipindah ke wadah bibit dan dibesarkan di persemaian. Densitas benih yang
terlalu tinggi dalam penaburan akan menyebabkan kecambah yang tumbuh
sangat rapat dan sulit berkembang lebih besar dan rawan terhadap serangan
jamur yang menyebabkan kematian seperti yang terjadi pada perkecambahan
benih jabon putih (Neolamarckia cadamba). Umumnya kecambah yang
mampu tumbuh dengan baik setelah di persemaian adalah yang memiliki
minimal sepasang daun sebagai kriteria kecambah normal. Kecambah jabon
putih harus minimal memiliki dua pasang daun agar dapat bertahan hidup,
beradaptasi dan tumbuh setelah dipindahkan ke wadah bibit (Yuniarti &
Nurhasybi, 2017).
Daya berkecambah merupakan suatu peluang matematis. Daya
berkecambah 90% dapat diinterpretasikan 9 dari 10 benih akan berkecambah,
atau sebutir benih yang diambil memiliki peluang atau kesempatan 90% untuk
berkecambah. Jadi hanya ada dua kemungkinan dari benih, berkecambah
atau tidak berkecambah, ini yang disebut dengan peluang binomial. Aturan
yang tidak tertulis : 1) jika benih memiliki daya berkecambah lebih dari
85% maka tabur benih sebanyak 1 butir pada setiap wadah bibit, 2) jika
daya berkecambah 75 - 85% disarankan menabur 2 butir pada setiap wadah
bibit, 3) jika daya berkecambah 60 - 75% maka taburlah 3 butir per wadah
bibit, dan 4) jika daya berkecambah kurang dari 50% maka benih tersebut
disarankan tidak digunakan (Nurhasybi & Yuniarti, 2015).

35
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Kerapatan benih (densitas benih) tanaman hutan pada saat penaburan


menentukan perkembangan kecambah untuk dijadikan bibit. Beberapa hasil
penelitian dengan jumlah benih yang ditabur pada suatu wadah tabur yang
ideal diperhitungkan dengan kemungkinan benih mengalami penurunan vigor
dan kematian. Benih jelutung (Dyera polyphylla) ditabur sebanyak 50 butir per
600 cm2 bak kecambah, apabila benih mengalami kemunduran sehingga daya
berkecambah menjadi 73% maka densitas benih menjadi 58 butir benih per
600 cm2, demikian seterusnya apabila benih mengalami penurunan viabilitas
maka jumlah benih yang ditabur harus ditambah (Nurhasybi & Yuniarti,
2015). Benih halus seperti jabon putih sangat sensitif terhadap kerapatan
benih pada waktu penaburan, sehingga disarankan pada bak kecambah
berukuran 15 cm x 20 cm (luas 300 cm2) dengan jumlah benih yang ditabur
sebanyak 0,1 gram benih, sehingga densitas benih jabon putih adalah 0,1 g
benih/300 cm2 (Gambar 4). Proses penurunan viabilitas benih memerlukan
penambahan banyaknya benih yang ditabur, misal dengan kondisi awal
jumlah benih hidup (pure live seed) mencapai 1140 kecambah/0,1 gram benih,
sehingga apabila terjadi penurunan viabilitas misal menjadi 826 kecambah/0,1
gram benih maka memerlukan densitas penaburan benih sebanyak 0,1972 g
benih/300 cm2 (Yuniarti & Nurhasybi, 2017).

a b c
Gambar 4. Densitas (kerapatan) benih pada waktu penaburan jabon putih
(dari kiri ke kanan : (a) kerapatan optimal, (b) terlalu rapat
dan (c) serangan jamur terjadi pada kerapatan yang berlebihan
(Nurhasybi, 2015)

36
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Kecepatan berkecambah dan ukuran morfologi kecambah sebagai


ukuran vigor kecambah akan berperan dalam menghasilkan bibit yang vigor.
Pertumbuhan bibit yang berasal dari sumber benih yang berbeda kadang-
kadang menunjukkan variasi kecepatan tumbuh dilihat dari tinggi bibit.
Hal ini dapat dilihat pada persemaian dari tanaman hutan pada kegiatan
persemaian uji keturunan dari bibit yang berumur 1 - 2 tahun (Hartmann
et al., 1990). Peranan perlakuan benih dan cara penaburan dipengaruhi juga
oleh asal benih dalam menghasilkan bibit yang bermutu di persemaian. Hal
ini memperlihatkan penggunaan teknologi yang dikombinasikan dengan
mutu genetik benih akan menentukan produksi bibit tanaman hutan yang
vigor untuk program penanaman di lapangan.

2. Persiapan persemaian
a. Wadah bibit (container)
Pertumbuhan bibit di persemaian dipengaruhi oleh mutu benih dan
pelakuan persemaian (wadah bibit, media, pemupukan dan aklimatisasi).
Fungsi utama wadah bibit adalah mempertahankan media tumbuh tetap utuh
yang akan menyuplai akar bibit dengan air, udara, unsur hara, dan dukungan
fisik selama bibit masih di persemaian (Landis et al., 1990; Puslitbang Perum
Perhutani, 2007a). Wadah bibit harus mampu meningkatkan kemampuan
bibit untuk tumbuh di lapangan sehingga wadah tersebut harus dirancang
untuk memberikan kemampuan sistem perakaran menumbuhkan akar-akar
baru dan berkembang setelah ditanam (Ritchie, 1984; Kelkar, 2001). Untuk
maksud tersebut, banyak wadah bibit yang didesain untuk membentuk sistem
perakaran yang baik, melindungi bibit sebelum ditanam, dan meningkatkan
keseimbangan akar dan pucuk (Landis et al., 1990).
Pada persemaian tanaman hutan, beberapa tipe wadah bibit yang
banyak digunakan adalah polybag, polytube, dan pottray. Polybag lebih
banyak digunakan pada persemaian beberapa penangkar bibit skala kecil dan
menengah, sedangkan polytube dan pottray banyak digunakan di perusahaan
HPHTI (Gambar 5). Sementara, sebagian besar persemaian seperti persemaian
tradisional yang dikelola petani hutan rakyat masih banyak menggunakan
polybag (Gambar 6). Beberapa keuntungan penggunaan polybag dan politube/
pottray dapat dilihat pada Tabel 5.

37
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 5. Wadah bibit yang digunakan PT. Musi Hutan Persada dengan
metode direct sowing untuk jenis Acacia spp. (Sudrajat, 2010)

Gambar 6. Penyusunan wadah bibit pada persemaian tradisional (atas) dan


modern (bawah) (Sudrajat, 2010)

Tabel 6. Keuntungan dan kerugian penggunaan polybag dan polytube/


pottray (Sharma, 2001a)
Polybag Polytube/pottray
Keuntungan: Keuntungan:
1. Mudah didapat, ekonomis, dan 1. Mudah diisi.
memerlukan sedikit ruang untuk
penyimpanannya.
2. Memungkinkan untuk 2. Mudah untuk mengatur
menghasilkan dan memelihara kelembapan dan pertumbuhan
bibit dalam ukuran besar. akar.

38
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Tabel 6. Keuntungan dan kerugian penggunaan polybag dan polytube/pottray


(Sharma, 2001a) (lanjutan)
Polybag Polytube/pottray
Keuntungan: Keuntungan:
3. Tidak memerlukan pendukung 3. Pruning akar yang menghasilkan
tambahan dalam persemaian. ujung-ujung akar aktif.
4. Mempunyai struktur perakaran
lebih baik.
5. Bibit relatif kecil, ringan dan
mudah dalam transportasinya.
6. Wadah dapat digunakan secara
berulang.
7. Mudah diisi, ekonomis
dalam pengisian wadah dan
penyiraman, memerlukan sedikit
ruang.
Kerugian: Kerugian:
1. Memerlukan waktu dan tenaga 1. Lebih mahal dan memerlukan
kerja yang lebih banyak dalam ruang yang lebih luas untuk
pengisian wadah. penyimpanannya.
2. Memerlukan volume media yang 2. Lebih sulit didapat.
lebih besar.
3. Perkembangan akar umumnya 3. Memerlukan sistem rak atau
kurang baik. bangunan untuk menyokong
4. Bibit memerlukan waktu lebih wadah bibit.
lama di persemaian
5. Bibit dalam polybag umumnya
lebih berat, lebih besar, dan lebih
sulit dalam transportasinya.

Wadah terbaik untuk bibit tanaman hutan tergantung pada faktor biologi
dan ekonomi. Pertimbangan biologi meliputi ukuran benih atau stek, ukuran
tanaman, dan kondisi lingkungan/tapak penanaman, sedangkan faktor
ekonomi meliputi biaya, ketersediaan wadah dan jumlah ruang persemaian
yang tersedia (Sharma, 2001b; Landis et al., 1990). Untuk benih halus
seperti D. moluccana, polybag berukuran kecil (5 cm x 9 cm) memberikan

39
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

hasil yang optimal (Yuniarti, 1996). Ukuran bibit umumnya dipengaruhi


oleh volume perakaran wadah bibit. Volume wadah berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan bibit dan mampu meningkatkan pertumbuhan akar,
pucuk, dan berat kering total. Hambatan penggunaan wadah berukuran besar
adalah faktor ekonomi, sebab makin besar wadah makin banyak media dan
ruang persemaian yang diperlukan, periode persemaian yang lebih lama, dan
memerlukan penanganan dan biaya yang lebih besar dalam pengangkutan dan
penanamannya. Ukuran wadah optimum sangat tergantung banyak faktor,
meliputi kerapatan bibit, jenis, ukuran bibit yang diinginkan, tipe media
yang digunakan, kondisi lingkungan, dan panjang musim hujan. Pengelola
persemaian harus mampu memilih wadah bibit yang dapat memproduksi
bibit yang diterima pengguna dengan kerapatan bibit tertinggi, waktu
rotasi terpendek, dan sesuai dengan kondisi tapak penanaman (Landis et al.,
1990).

b. Media bibit
Media yang digunakan untuk persemaian tanaman hutan dapat
dibagi menjadi dua karakteriktik, yaitu karakteristik kultural yang
mempengaruhi pertumbuhan bibit dan karakteristik operasional yang
mempengaruhi operasional persemaian. Karakteristik kultural media
persemaian berhubungan dengan kemampuan media secara konsisten
untuk menghasilkan tanaman yang sehat. Kondisi media secara kultural
harus mempunyai pH yang sesuai dengan karakter jenisnya (umumnya
6-7), kapasitas tukar kation tinggi, sifat kesuburan rendah, porositas
cukup, biaya murah dan ketersediaannya cukup, dan bebas dari
hama dan penyakit (Landis et al., 1990; Puslitbang Perum Perhutani,
2007a,b). Media yang baik harus mampu mengikat air, menyediakan
hara yang mencukupi dan memiliki porositas yang baik sehingga akar
mampu berkembang baik (Gambar 7).
Bersadarkan SNI 5006.2.2008, media bibit tanaman hutan harus terdiri
dari bahan utama dan bahan-bahan pembenah, tidak mengandung hama,
penyakit dan racun bagi tanaman, komposisi media harus tercampur merata,
dan mudah diperoleh dalam jumlah besar. Bahan utama media bibit di
Indonesia umumnya berupa tanah mineral, gambut, dan bahan utama media
lainnya. Media bibit dengan bahan utama tanah mineral harus mempunyai
kandungan bahan organik dan mengandung nutrisi yang siap diserap oleh

40
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

bibit, bersifat porus dengan keteguhan yang cukup, pH sesuai dengan kondisi
lahan tanamnya. Media bibit dengan bahan utama gambut yang telah diproses
juga harus mempunyai kandungan bahan organik dan mengandung nutrisi
yang siap diserap oleh bibit, mempunyai keteguhan media yang cukup dan
pH yang sesuai dengan kondisi lahan tanamnya. Media bibit dengan bahan
utama lainnya yang sudah diproses harus mempunyai kandungan bahan
organik dan mengandung nutrisi yang siap diserap oleh bibit, mempunyai
keteguhan media yang cukup dan pH yang sesuai dengan kondisi lahan
tanamnya, memenuhi standar mutu media gambut jika akan ditanam di
tanah gambut, atau memenuhi standar mutu media tanah mineral jika akan
ditanam di tanah mineral. Di beberapa perusahaan, pencampuran media
mengunakan alat molen sehingga kegiatan tersebut lebih praktis dengan hasil
yang lebih banyak (Gambar 8).

Gambar 7. Media yang baik harus mampu memberikan pertumbuhan akar


yang kompak (Sudrajat, 2010)

Gambar 8. Penyiapan media pembibitan di PT. Musi Hutan Persada,


Sumatera Selatan (Sudrajat, 2010)

41
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Kualitas media bibit dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan


pembenah, yaitu bahan yang berfungsi untuk (SNI 5006.2. 2008) :
a. meningkatkan kandungan bahan organik dan nutrisi tanah dapat
berupa kompos dan/atau pupuk cair organik yang tidak mengandung
logam berat,
b. bahan untuk meningkatkan porositas media antara lain: pasir/serbuk
sabut kelapa/ arang sekam padi/serbuk gergaji,
c. bahan untuk meningkatkan keteguhan media, untuk bahan utama
gambut antara lain dapat berupa tanah mineral,
d. bahan untuk meningkatkan pH tanah pada tanah masam dapat
berupa dolomit dan/atau kapur pertanian.
Pada saat ini persemaian telah banyak menggunakan media
organik. Penggunaan media organik mempunyai beberapa keuntungan,
seperti mengurangi kerusakan lingkungan akibat penggunaan topsoil
secara besar untuk media bibit, dan mengurangi biaya pengangkutan
bibit karena berat per satuan bibit menjadi lebih rendah (Durahim
& Hendromono, 2001). Beberapa peran media organik dalam
meningkatkan pertumbuhan bibit di antaranya adalah mampu
menjaga kelembapan media, menyangga hara tanaman, membantu
meningkatkan penyediaan hara, memperbaiki aktivitas mikroorganisme,
dan memperbaiki struktur media.
Bahan organik yang akan digunakan untuk media sebelumnya harus
didekomposisikan dulu sehingga hingga rasio C/N-nya berada di bawah 30.
Pada kondisi tersebut unsur hara yang ada dalam bahan organik dalam kondisi
tersedia untuk mensuplai kebutuhan bibit. Dalam praktek persemaian,
umumnya bahan organik dicampur dengan top soil dengan perbandingan
tertentu, seperti media tanah + sabut kelapa sawit + sekam padi (1 : 1 : 1,
v/v) untuk bibit mahoni, media tanah + arang sekam padi + serbuk sabuk
kelapa (cocopeat) (1 : 1 : 1, v/v) untuk suren, media tanah + kompos untuk
kesambi dan mimba (Kurniaty et al., 2007), topsoil + media kompos + sekam
padi (1:1:1 v/v) atau kompos + topsoil (2 : 1, v/v) untuk jati (Puslitbang
Perum Perhutani, 2007a,b), dan media kompos + pasir + topsoil (1 : 1 : 1,
v/v) untuk bibit Duabanga moluccana (Yuniarti, 1996). Perbedaan bahan

42
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

atau komposisi bahan media bibit akan berpengaruh pada kualitas kesuburan
media bibit (Tabel 7). SNI 5006.2. 2018 juga menetapkan persyaratan sifat
fisik dan kimia media bibit tanaman hutan berdasarkan bahan utama media
tanah mineral dan gambut (Tabel 8).

Tabel 7. Kandungan hara beberapa jenis limbah bahan organik


PH C N P K C/N
Media
(H2O) % % mg/100gr mg/100gr %
Tanah 5,6 3,36 0,33 137 19 10,18
Sabut kelapa 5,9 35,03 1,93 41 182 18,15
Arang sekam padi 7,73 1,5 0,11 26,97 ppm 0,24 13,64
Sabut kelapa sawit 5,1 26,55 2,32 1313,4 384,4 11,44
Sekam padi 5,3 19,27 1,82 1558,56 1007,7 10,59
Serbuk gergaji 5,23 3,99 0,42 19,71 5,09 9,50
Gambut 5,04 4,72 0,5 10,54 10,88 9,44
Sumber : Kurniaty et al. (2007)

Tabel 8. Persyaratan sifat fisik dan kimia media bibit tanaman hutan sesuai
SNI 5006.2. 2018 Media bibit tanaman hutan (BSN, 2018a)
Standar mutu
Metode
No. Parameter Satuan Tanah
analisis Gambut
mineral
1. Kandungan nitrogen Kjeldahl % 0,21-0,75 0,21-0,75
2. Kandungan Fosfor Olsen ppm 11-20 -
(P2O5) tersedia
3. Kandungan Fosfor Bray I ppm - 8-15
(P2O5) tersedia
4. Kandungan Kalium Amonium me/100g 0,4-1,0 0,4-1,0
(K) yang dapat asetat pH 7
dipertukarkan
5. pH (H2O) media SNI 03- - 6,6-7,5 4,5-5,5
utama + pencampuran 6787
6. Porositas total Metode PF %/vol 52,25-57,75 52,25-57,75
7. C organik Walkey & % ≥ 2,01 > 12,00
Black

43
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Beberapa institusi juga telah mengembangkan media cetak semai atau


biopot, seperti Balai Litbang Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor,
SEAMEO BIOTROP, Balai Litbang Kehutanan Makassar, dan BPDAS
((Tikupadang et al., 2011; Ayub & Batara, 2015; Suita et al., 2017). Bibit biopot
ini dapat menggantikan bibit dengan polybag (Gambar 9). Penggunaan polybag
untuk pembibitan dalam jumlah besar dapat mencemari lingkungan karena
plastik polybag sangat sulit terdekomposisi (Vaverková et al., 2014). Biopot
merupakan media yang sekaligus berfungsi sebagai wadah untuk pembuatan
bibit. Media cetak ini mampu meningkatkan keberhasilan persemaian, lebih
mudah dalam transportasi dan juga tidak mencemari lingkungan (SEAMEO
BIOTROP, 2014; Suita et al., 2017). Hasil uji penanaman bibit sengon merah
dengan biopot menunjukkan bahwa penggunaan biopot dapat mengurangi
penggunaan pupuk dasar. Tanaman sengon merah yang berasal dari bibit
biopot dengan penambahan rhizobium 3 g dan bibit polybag dengan dosis
pupuk dasar 5 kg mempunyai pertumbuhan yang tidak berbeda nyata (Suita
et al., 2018).

a b

c d

Keterangan: (a) biopot yang disusun di rak persemaian, (b) bibit biopot di rak persemaian,
(c) bibit biopot siap tanam, dan (d) penampilan tanaman umur 2 bulan di
lapangan.
Gambar 9. Biopot yang dikembangkan Balai Litbang Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan (BPPTPTH) Bogor (Foto: Sudrajat, 2018)

44
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

3. Penyapihan
Penyapihan atau pemindahan semai yang tumbuh normal pada media
sapih dilakukan ketika semai memiliki tinggi minimal 3 kali panjang benih,
atau minimal memiliki sepasang daun yang tumbuh dan berkembang sehat.
Penyapihan sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari ketika panas
sinar matahari tidak terlalu tinggi atau kondisi lebih teduh, sehingga bibit tidak
layu. Sebelum penyapihan, media tabur dibasahi terlebih dahulu, kemudian
ambil semai dan buat lubang kecil di media untuk memasukkan semai.
Penyapihan dilakukan dengan cara semai tidak dipegang pada batangnya
tetapi dipegang pada bagian kotiledon atau daunnya. Usahakan posisi akar
tertanam lurus dan tidak rusak (Pramono et al., 2016). Lubang semai jangan
terlalu dalam karena dikhawatirkan semai terkubur atau lubang semai juga
jangan terlalu dangkal karena dapat mengakibatkan akar semai tersingkap,
semai mudah mengalami kekeringan, atau akar terlipat dan menjadi bengkok.
Penyapihan yang tidak tepat sering kali mengakibatkan perkembangan akar
tidak sempurna yang mengakibatkan pertumbuhan bibit kurang optimal dan
akan berpengaruh juga pada kinerja bibit setelah ditanam di lapangan.

C. Pembuatan Bibit Vegetatif


Teknik pembiakan vegetatif dikembangkan untuk memecahkan
masalah pembibitan, khususnya untuk jenis-jenis tanaman yang bermasalah
dengan pembiakan generatifnya misal benihnya tidak dapat disimpan lama
(rekalsitran), sumber benihnya langka, vertilitas atau produksi benihnya
rendah. Selain itu juga bermanfaat sebagai upaya mengembangkan famili
atau klon unggul secara cepat. Teknik pembiakan vegetatif secara umum
dikelompokkan menjadi pembiakan vegetatif makro dan mikro. Pembiakan
vegetatif makro meliputi stek, cangkok, grafting dan okulasi, sedangkan
pembiakan vegetatif mikro meliputi kultur jaringan, kultur sel, protoplas
dan lain-lain (Nurhasybi et al., 2003). Metode perbanyakan vegetatif yang
banyak diaplikasikan untuk pengadaan bibit skala besar bagi pembangunan
hutan tanaman di Indonesia adalah stek dan kultur jaringan. Stek pucuk telah
banyak diaplikasikan untuk produksi bibit secara massal khususnya untuk
jenis jati, Eucalyptus spp., dan meranti. Teknologi kultur jaringan yang telah
dikuasai dan digunakan untuk pengadaan bibit komersial di Indonesia masih
sangat terbatas untuk beberapa jenis tanaman, misalnya jati (Nurhasybi et al.,
2007), akasia, ekaliptus, dan meranti.

45
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

1. Pembiakan dengan cara stek


Stek diperoleh dari organ vegetatif tanaman berupa tunas pucuk, batang,
dan akar yang umumnya diperoleh dari kebun pangkas (Gambar 9). Bahan
stek diambil dari organ vegetatif tanaman yang masih juvenil dan sehat.
Potongan stek pucuk ditanam pada wadah dan ditempatkan di bedeng
perakaran yang suhu, kelembapan dan cahayanya diatur sesuai dengan jenis
tanaman. Contoh jenis pohon yang diperbanyak dengan stek pucuk: jati, kayu
putih, pinus, sengon, jabon, ekaliptus, mahoni, kesambi, akasia, meranti,
merawan, dan lain-lain.
Stek batang diperoleh dari batang/cabang yang sehat. Potongan stek
batang/cabang ditanam pada wadah dan ditempatkan di bedeng perakaran
yang suhu, kelembapan dan cahayanya diatur sesuai dengan jenis tanaman.
Contoh jenis pohon yang diperbanyak dengan stek batang : sungkai, angsana,
gamal, dan lain-lain. Stek akar diperoleh dari akar yang sehat. Potongan stek
akar ditanam pada wadah dan ditempatkan di bedeng perakaran yang suhu,
kelembapan dan cahayanya diatur sesuai dengan jenis tanaman. Pada sistem
COFCO, suhu lingkungan perakaran (di dalam rumah kaca) di kendalikan
dengan pendinginan kabut (fog-cooling system). Dengan system ini suhu udara
yang semula mencapai 34oC dapat diturunkan menjadi 27oC-29oC pada siang
hari (Mindawati & Subiakto, 2005). Contoh jenis pohon yang diperbanyak
dengan stek akar adalah bambu, sukun, sonokeling, kayu putih, dan lain-
lain.
Jenis tanaman merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap
keberhasilan perakaran stek. Perbedaan jenis memerlukan perlakuan yang
berbeda untuk mampu menumbuhkan stek. Selain pengaruh jenis, beberapa
hal berikut ini berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan vegetatif baik
dalam skala penelitian maupun produksi (Hartman et al., 1990; Hassanein,
2013).

a. Penyediaan bahan vegetatif


Untuk pengadaan bibit dari biakan vegetatif khususnya stek yang
berkelanjutan dalam jumlah besar diperlukan pohon induk (stock plant) dalam
jumlah banyak. Keperluan ini dapat dipenuhi dengan adanya kebun pangkas
dan kebun pangkas tersebut hendaknya berdekatan dengan areal persemaian
(Gambar 9). Kebun pangkas berfungsi untuk menghasilkan tunas dalam

46
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

waktu cepat, mendapatkan bahan stek dalam jumlah besar, memperpendek


jarak antara sumber stek dengan persemaian, atau melestarikan suatu klon dari
resiko kepunahan. Fungsi penting lainnya adalah sebagai sarana perbanyakan
klon unggul.

Gambar 10. Kebun pangkas jati (Tectona grandis) dan penanaman stek ke
dalam polybag di Puslitbang Perhutani, Cepu (Sudrajat, 2010)

b. Kualitas fisiologi bahan vegetatif


Permasalahan dalam pengadaan bahan stek yang berkualitas adalah status
fisiologi bahan stek. Kemampuan berakar bahan stek semakin rendah seiring
dengan semakin tua umur fisiologinya. Dalam pengelolaan kebun pangkas
hal ini menjadi suatu permasalahan yang penting, karena sebagai upaya
memperbanyak tanaman dari bagian vegetatif pohon berkualitas genetik
unggul maka bahan tanaman untuk kebun pangkas diambil dari pohon
yang secara fisiologi telah berumur tua. Besarnya pengaruh umur bahan stek
ini beragam antar jenis tanaman (Danu et al., 2010). Selain dipengaruhi
oleh umur, status fisiologi bahan stek juga dipengaruhi oleh posisinya pada
pohon yang menunjukkan bahwa semakin tinggi posisi bahan stek di pohon
semakin rendah kemampuan berakarnya (Bhardwaj & Mishra, 2005). Untuk
mengatasi kendala fisiologi ini, upaya memudakan kembali (rejuvenasi)
bahan stek maupun pohon induk perlu dilakukan melalui pemupukan dan
pemangkasan.
Lingkungan seperti air, suhu, cahaya, CO2 dan nutrisi pada kebun
pangkas yang mempengaruhi kondisi fisiologi stock plant menurut Hartman
et al. (1990) juga menentukan keberhasilan perakaran stek, sehingga upaya
untuk meningkatkan kualitas fisiologi bahan stek dapat dilakukan dengan
manipulasi lingkungan kebun pangkas seperti perlakuan etiolasi, shadding

47
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

dan bending. Berkaitan dengan pengairan, Hartman et al. (1990) menyatakan


bahwa kebun pangkas yang mengalami kekurangan air dapat menyebabkan
penurunan kemampuan berakar dari bahan stek yang dihasilkannya.
Penyiraman bertujuan untuk memacu pertumbuhan kebun pangkas dan
mendorong produktivitas tunas. Selama musim panas pohon pangkas
tumbuh lambat atau sama sekali berhenti bertunas, dengan disiram maka
tunas dapat dipanen sepanjang tahun. Metoda lain yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kapasitas perakaran dari produk kebun pangkas adalah
pemupukan, karena status nutrisi bahan stek seperti kandungan karbon,
nitrogen dan karbohidrat berpengaruh terhadap perakaran (Hartman et al.,
1990).
Kualitas fisiologi bahan stek yang dicirikan dengan kemampuan berakar
juga sangat tergantung pada teknik pengambilan stek dan penanganannya
sebelum diakarkan (Babaie et al., 2014). Faktor yang berpengaruh antara
lain adalah waktu pengambilan stek, baik pemilihan waktu (jam) dalam
sehari maupun pemilihan waktu (bulan) pada kurun satu tahun. Selain itu,
kemampuan kebun pangkas menghasilkan jumlah bahan stek secara optimal
dan kualitas dari stek yang diproduksi tergantung pada umur dari stock
plant atau kebun pangkas (Tabel 9). Ukuran bahan stek dapat berpengaruh
terhadap keberhasilan stek. Ukuran bahan stek yang ideal dalam skala produksi
berkaitan dengan penelitian tentang pengelolaan kebun pangkas, jika ranting
pada kebun pangkas terlalu padat akan menghasilkan pucuk yang berdiameter
kecil, sehingga akan menghasilkan kualitas bahan stek yang kurang baik (Rana
& Sood, 2012). Upaya perlakuan terhadap bahan stek juga dapat dilakukan
dengan cara memotong pangkal stek dengan sudut 45o untuk memperluas
areal pembentukan akar dan perendaman stek pada larutan karbon aktif
untuk menyerap eksudat yang keluar dari luka sayatan.

Tabel 9. Umur stock plants untuk produksi bahan stek


Jenis Umur stock plants
Acacia mangium 6 bulan
Acacia crassicarpa 4 bulan
Gmelina arborea 2 tahun
Hopea odorata 6 – 12 bulan
Sumber : Nurhasybi et al. (2007)

48
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

c. Lingkungan dan media perakaran


Keberhasilan pembiakan stek sangat tergantung kepada kondisi
lingkungan pengakarannya. Proses pengakaran stek memerlukan kondisi
lingkungan yang spesifik, seperti untuk jenis-jenis meranti (Shorea spp.)
memerlukan suhu 27-29oC pada siang hari (Sakai & Subiakto, 2007). Media
perakaran yang ideal menurut Hartman et al. (1990) adalah porus sehingga
aerasinya baik, memiliki kapasitas memegang air yang tinggi, dan bebas dari
pathogen. Media yang telah dicoba untuk perakaran stek antara lain adalah
tanah, pasir, serbuk bata merah, arang sekam padi, serbuk gergaji, sabut
kelapa, vermikulit, perlite dan gambut. Selain media padat penelitian tentang
penggunaan media air untuk perakaran stek juga telah dilakukan antara lain
untuk Shorea johorensis. Untuk meningkatkan keberhasilan stek, perlakuan
media sering dikombinasikan dengan perlakuan hormon (Nurhasybi et al.,
2007; Danu et al., 2017).

d. Penggunaan hormon pemacu perakaran


Kepentingan dari penggunaan hormon atau zat pengatur tumbuh (ZPT)
dari kelompok auksin (hormone) adalah untuk meningkatkan persentase stek
yang berakar, memacu pembentukan akar, meningkatkan jumlah dan kualitas
akar yang terbentuk dan meningkatkan keseragaman perakaran (Hartman et
al., 1990). ZPT ini diberikan pada pangkal stek dalam bentuk pasta maupun
larutan. ZPT yang banyak digunakan dalam penelitian pembiakan vegetatif
tanaman huitan antara lain adalah indolebutyric acid (IBA), misalnya pada
Azadirachta excelsa, Acacia mangium, dan Gonystynus bancanus, Rootone-F
pada Alstonia scholaris, E. deglupta, Gigantocea antroviolacea, I. bijuga, O.
sumatrana, serta Atonik pada Pericopsis mooniana, dan A. scholaris. Beberapa
teknik stek untuk jenis-jenis tanaman hutan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Beberapa informasi dan hasil penelitian pembiakan vegetatif


dengan cara stek.
No Species Bahan stek Media Hormon
1. Acacia Stek pucuk dari Pasir sungai Celup selama 10
crassicarpa bibit 4 bulan. detik dalam IBA
Panjang stek 7-9
cm.

49
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 10. Beberapa informasi dan hasil penelitian pembiakan vegetatif


dengan cara stek. (lanjutan)
No Species Bahan stek Media Hormon
2. Benuang bini Waktu Pasir atau arang Rootone F bentuk
(Octomeles pengambilan sekam. pasta 200 gr/stek
sumatrana) bahan stek
terbaik pukul
10.00-13.00
Diameter stek
pucuk terbaik
5,6-8,0 mm.
3. Bitti (Vitex Stek batang dari - Rootone F 150
cofassus) tanaman umur 1 mg/ lt air.
tahun.
4. Eucaliptus pellita - Campuran tanah Rendam selama
dan pasir (3:1) 5 menit dalam
Rootone F 50% .
5. Damar mata Stek batang dari Pasir sungai Rendam selama
kucing (Shorea tunas umur 9 1 jam dalam IBA
javanica) bulan dari kebun 100 ppm
pangkas umur 2
tahun.
Stek berdiameter
0,5-0,8 cm
dipotong-potong
sepanjang 5 cm
6. Gmelina arborea Bahan stek Campuran tanah Rendam selama 2
batang dari bibit dan pasir (1:1 jam dalam larutan
maupun pohon atau 1:3, tanah IBA 100 mg/lt air.
dewasa (10 dan arang sekam
th). Bahan stek (1:1), tanah dan
panjangnya 10- serbuk gergaji
20 cm (2-3 ruas), (1:1), tanah dan
berdiameter 1,6- serbuk sabut
2,0 cm. kelapa (1:1).
7. Kepuh (Sterculia Stek batang dan Sabut kelapa Rootone F 15 mg/
foetida) stek pucuk. stek
8. Kesambi Stek pucuk Pasir IBA bentuk tepung
(Schleichera konsentrasi 1000
oleosa) ppm

50
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Tabel 10. Beberapa informasi dan hasil penelitian pembiakan vegetatif


dengan cara stek. (lanjutan)
No Species Bahan stek Media Hormon
9. Khaya anthoteca - Campuran tanah Rendam selama
dan pasir (1:1) 3 jam dalam IBA
100 ppm.
10. Jati (Tectona Bahan stek Campuran Celup 1-2 menit
grandis) pucuk dari kebun pasir, tanah dan dalam larutan
pangkas atau kompos (3:3:3) Rootone F 100
bibit. Panjangnya ppm.
stek 5-7 cm.

11. Jelutung (Dyera Bahan stek Tanah, campuran -


polyphylla) batang tanah dan
panjangnya 30- gambut (1:1 atau
40 cm (minimal 1:2).
2 ruas)
12. Leda (Eucalyptus Stek pucuk dari Campuran tanah IBA pasta 200 ppm
deglupta) bibit, berdiameter dan pasir (1:1) atau rootone F 500
0,3-0,8 cm, ppm.
sepanjang 5-7
cm.

13. Pterigota alata - Tanah Tanpa hormone

14. Pulai gading Stek pucuk atau - Rendam 5 menit


(Alstonia stek batang dari dalam Rootone F
scholaris) kebun pangkas 40% atau rendam
umur 2-5 tahun. 10 menit dalam
panjangnya Atonik atau oles
10-15 cm, dengan pasta
berdiameter 0,5-3 Rootone F 50 mg
cm atu Rhizantum
50%. Tanpa
hormone masih
bisa berakar 92%.

51
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 10. Beberapa informasi dan hasil penelitian pembiakan vegetatif


dengan cara stek. (lanjutan)
No Species Bahan stek Media Hormon
15. Ramin Stek pucuk Campuran IBA 500 ppm
(Gonystylus dari bibit atau gambut dan sampai 1000 ppm.
bancanus) pohon umur sekam padi (7:3).
8 tahun. Stek
panjangnya 5-8m
cm dengan daun
2-3 dipotong
disisakan 1/3
atau ¼ nya.
16. Sengon buto - Campuran tanah Tanpa hormon.
(Enterolobium dan serbuk
cyclocarpum) gergaji (1:2).
17. Sentang (Melia Stek pucuk dari Pasir IBA 200 ppm
azedarach) kebun pangkas

18. Shorea leprosula Stek pucuk Campuran Rendam selama


dari anakan, gambut, perlit 2 jam dalam IBA
sepanjang 10 cm. dan vermikulit 7.500 ppm.
(1:1:1) atau top
soil dan gambut.
19. Shorea lamellata Stek pucuk Air IBA
20. Shorea pinanga Stek pucuk Campuran Tanpa hormon
gambut, perlit
dan vermikulit
(1:1:1)
21. Shorea polyandra - Pasir IBA

Sumber: Nurhasybi, et al. (2000); Buharman, et al. (2001); Danu, et al. (2006); Iriantono, et
al. (1998)

2. Pembiakan dengan kultur jaringan


Menurut George dan Sherrington (1984), kultur jaringan merupakan
teknologi untuk mengisolasi dan memelihara sel atau bagian jaringan tanaman
yang diambil dari lingkungan alaminya, kemudian ditumbuhkan pada media
tumbuh yang sesuai dengan prosesnya yang berlangsung secara aseptik.

52
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Bagian tanaman yang dibiakkan akan memperbanyak diri dan tumbuh


menjadi tanaman sempurna. Kultur jaringan untuk memperbanyak tanaman
mempunyai beberapa keunggulan, di antaranya:
a. homogenitas tanaman yang tinggi,
b. vigoritas tanaman tinggi,
c. sifat genetik yang sama dengan induknya.
Penggunaan teknologi kultur jaringan dalam penyediaan bibit tanaman
hutan dapat menekan biaya pemeliharaan persemaian, seperti penyulaman
atau seleksi bibit di persemaian dan umur produksinya lebih singkat. Namun,
teknologi kultur jaringan memiliki beberapa kelemahan, seperti terjadinya
variasi somaklonal yang sifat genetik tanaman yang dibiakan menyimpang
dari sifat genetik tanaman induknya. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor,
seperti proses subkultur yang berlebihan dan adanya organogenesis pada
saat perbanyakan kalus, dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang terlalu
tinggi (Gunawan, 1987; Nursyamsi, 2010). Menurut Wang et al. (1993),
untuk skala massal, teknologi kultur jaringan dapat menggunakan teknik
perbanyakan tunas karena cara ini lebih mudah dengan tingkat keberhasilan
yang tinggi.
Keberhasilan kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting,
seperti eksplan, media kultur, dan zat pengatur tumbuh, yang secara lebih
detail dijelaskan sebagai berikut:

a. Eksplan
Eksplan merupakan bagian-bagian tanaman yang digunakan sebagai
bahan untuk inisiasi pada proses kultur jaringan. Bagian-bagian tanaman
tersebut harus bebas mikroorganisme, akan tetapi tidak semua bagian tanaman
bisa ditumbuhkan sehingga pengujian setiap bahan tersebut mutlak harus
dilakukan untuk dapat dijadikan bahan pembiakan dengan kultur jaringan
(Wareing & Phillips, 1976). Pemilihan bahan eksplan untuk kultur jaringan
perlu memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan
kultur, seperti organ yang menjadi sumber bahan tanaman, umur fisiologi,
dan ukuran eksplan (Hartmann et al., 1990). Secara umum, ukuran tunas
yang lebih besar pada waktu dipindahkan ke dalam kultur akan menghasilkan

53
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

lebih banyak tunas aksial dan pertumbuhan yang lebih cepat. Namun, ukuran
tunas yang lebih besar dapat menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan
kultur yang aseptic. Bahan tanaman yang diambil sebagai eksplan lebih baik
diambil dari tanaman yang masih juvenil dari pada tanaman yang berumur
tua. Bagian-bagian tanaman yang masih muda atau yang masih juvenil
mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih tinggi dibandingkan tanaman
tua (Gunawan, 1995). Bagian tanaman/jaringan yang masih muda juga
memiliki kemampuan morfo-genetik yang lebih tinggi daripada jaringan tua.
Umumnya untuk tanaman hutan (berkayu), tunas juvenil banyak digunakan
untuk kegiatan kultur jaringan produksi bibit secara massal. Tunas-tunas
juvenil dapat diperoleh dengan perlakuan pemangkasan berat. Kondisi
juvenil pada tanaman dapat juga diinduksi dengan perlakuan penyemprotan
hormon GA3 atau dengan campuran hormon GA3 dan auksin (George &
Sherrington, 1984).
Sterilisasi eksplan atau bahan tanaman yang akan dikulturkan sebaiknya
dilakukan pada tanaman induk yang ditumbuhkan di rumah kaca sehingga
akan memudahkan penyemprotan untuk mengendalikan bakterisida dan
fungisida secara periodik sehingga dapat menghilangkan kontaminasi selama
proses kultur berlangsung. Bahan tanaman/eksplan harus disterilisasi bagian
permukaannya. Bahan sterilisasi yang umum digunakan adalah hidrogen
peroksida, sodium hipoklorit, silver nitrat dan bromine water. Pada saat
sterilisasi permukaan, hal penting yang harus diperhatikan adalah seluruh
permukaan eksplan harus terbasahi oleh larutan sterilisasi. Deterjen dan
alkohol 70% atau tween 80 dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas
proses sterilisasi (Biondi dan Thorpe, 1981; Nursyamsi, 2010). Pada saat
isolasi, senyawa fenol seringkali dikeluarkan oleh eksplan tanaman berkayu
yang dapat menyebabkan pencokelatan (Wattimena, 1992) yang bila
dibiarkan akan menyebabkan kematian. Beberapa perlakuan yang dapat
mengatasi masalah ini di antaranya dengan pembilasan dengan air secara terus-
menerus atau perlakuan arang aktif untuk menyerap senyawa fenol (Santoso
& Nursandi, 2002). Masalah pencokelatan pada kultur jaringan jati dapat
ditanggulangi dengan subkulur atau pemindahan eksplan secara periodik
dengan perlakukan waktu berbeda (Tiwari et al., 2002). Pada tanaman jati,
pemindahan (transfer) eksplan sebanyak lima kali yang dipindahkan ke media
baru setiap 12 jam mampu menumbuhkan 76,8 eksplan yang bertunas.

54
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

b. Media kultur
Media kultur harus memiliki beberapa unsur penting seperti sumber
energi, zat pengatur tumbuh, vitamin, garam-garam anorganik, dan karbon.
Menurut Orcutt dan Nilsen (2000), garam anorganik mengandung unsur-
unsur hara yang esensial yang diperlukan tanaman memiliki fungsi tidak bisa
digantikan unsur lain yang diperlukan proses metabolisme tanaman atau
sebagai kofaktor reaksi enzim. Unsur hara esensial terdiri dari 2 kelompok,
yaitu unsur hara makro dan hara mikro. Unsur hara makro merupakan unsur
hara penting yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar (1-15 mg/berat
kering tanaman) seperti nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, kalsium, dan
sulfur (George & Klerk, 2008). Unsur mikro merupakan unsur hara yang
diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit (0,1μg-0,1 mg/g
berat kering tanaman). Beberapa unsur yang termasuk unsur hara mikro di
anataranya adalah Mn, Fe, Zn, Co, B, Co, Mo, Co (Gamborg & Shylluk,
1981) dan CL (George & Klerk, 2008). Selain itu, media kultur jaringan
juga tidak hanya mengandung unsur hara makro dan mikro, namun
membutuhkan karbohidrat yang berupa gula untuk menggantikan karbon
(Gunawan, 1987), seperti glukosa atau sukrosa (Santoso & Nursandi, 2002),
dengan konsentrasi biasanya 2%- 4%. Komposisi media dasar untuk setiap
jenis berbeda-beda, seperti media Vacin dan Went yang umumnya digunakan
untuk jenis anggrek, media dasar B5 untuk jenis kedelai, alfafa, dan jenis-jenis
legum lainnya. Media dasar WPM (woody plant media) banyak dipakai untuk
jenis-jenis tanaman hutan. Pada jenis jati, media WPM yang digunakan
mengandung BAP 2,5 mg/l yang mampu memproduksi jumlah tunas rata-rata
7 tunas (Nursyamsi & Suhartati, 2007). Media MS (Murashige dan Skoog)
mempunyai komposisi unsur yang lebih lengkap sehingga dapat digunakan
untuk kultur hampir semua jenis tanaman (Gunawan, 1987). Pembiakan
jenis jati dengan menggunakan media MS mampu menumbuhkan jumlah
tunas terbanyak dibandingkan dengan menggunakan media lainnya (rata-rata
tujuh tunas) (Herawan & Husnaeni, 2001).

c. Zat pengatur tumbuh (ZPT)


Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang dibutuhkan
tanaman dalam jumlah sedikit (kurang dari 1 mM)) namun mampu
meningkatkan, menghambat, dan mengubah proses fisiologi tanaman. ZPT

55
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

yang diperlukan untuk kultur jaringan tanaman di antaranya adalah sitokinin


dan auksin. Auksin terdiri dari beberapa macam, seperti IBA, Indole Acetic
Acid (IAA), Phenyl Acetic Acid (PAA), dan 4-chloro Indole Acetic Acid. Beberapa
lainnya digolongkan sebagai auksin sintetik, seperti Napthalene Acetic Acid
(NAA), 2,4-Dichloro Phenoxy Acetic Acid, dan 2-methyl-4 chloro Phenoxy
Acetic Acid (MCPA). ZPT yang termasuk ke dalam sitokinin di antaranya
adalah kinetin, Benzil Amino Purin (BAP) dan lain-lain. Menurut Gunawan
(1987), penambahan ZPT pada media kultur dan diproduksi sel secara
endogen akan mempengaruhi arah perkembangan suatu kultur. Rasio auksin
dan sitokinin yang tinggi dapat mendorong pembentukan akar, sebaliknya
ratio sitokinin dan auksin yang tinggi akan merangsang pembentukan tunas.
Respon pemberian auksin dan sitokinin berbeda-beda untuk setiap jenis
tanaman yang dipengaruhi perbedaan hormon alami yang terkandung dalam
tanaman tersebut (Hartmann et al., 1990).
Beberapa tahap pelaksanaan kultur jaringan dalam memperbanyak
tanaman adalah sebagai berikut:
a. Inisiasi
Inisiasi merupakan tahap awal proses kultur. Kegiatan ini dimaksudkan
untuk mendapatkan eksplan bebas mikroorganisme untuk inisiasi
pertumbuhan baru. Secara umum, eksplan yang berasal dari bagian pucuk
tanaman akan menghasilkan tunas yang lebih banyak dibandingkan
yang berasal dari kotiledon. Jumlah tunas yang dihasilkan pada tahap ini
rata-rata adalah 4 tunas. Bagian pucuk tanaman memiliki kemampuan
melakukan pembelahan diri untuk membentuk tunas-tunas baru
sehingga tunas yang lebih tinggi akan menghassilkan tunas yang lebih
banyak (Nursyamsi, 2010) yang umumnya berasal dari tunas aksilar.
b. Multiplikasi
Multiplikasi merupakan tahap perbanyakan tunas yang dihasilkan pada
tahap induksi yang dilakukan dengan cara pemotongan setiap ruas dan
menanamnya kembali pada media kultur. Media yang digunakan secara
umum lebih banyak mengandung sitokinin. Hasil penelitian Sapulete
(1997), aplikasi horman 6-BA 0,75 mg/l dengan penambahan NAA 0,01
mg/l mampu memproduksi tunas A. crassicarpa sebanyak 8 - 10 tunas

56
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

dalam periode 8 minggu. Penggunaan media dengan penambahan BAP 1,5


mg/l dan kinetin 0,5 mg/l pada kultur bitti (Vitex cofassus) menghasilkan
rata-rata empat tunas per ruas (Nursyamsi, 2010). Penambahan BAP
dengan konsentrasi 0,25 mg/l pada kultur gaharu dapat menumbuhkan
rata-rata lima tunas (Nursyamsi & Suhartati, 2007). Untuk kultur jati,
penambahan BAP 0,15 mg/l dan kinetin 0,15 mg/l pada media MS
menghasilkan 6-7 tunas (Herawan & Husnaeni, 2001). Secara umum,
penambahan BAP mempengaruhi jumlah tunas yang dihasilkan dengan
respon yang berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman.
c. Perakaran
Pembentukan akar pada proses kultur jaringan adalah tahapan penting
dalam pembentukan plantlet dan bagian pucuk yang sempurna sehingga
mampu bertahan hidup untuk selanjutnya dipindahkan dari kondisi
in-vitro ke lingkungan luar. Tunas yang belum mempunyai akar harus
dipindahkan ke media yang memiliki kandungan auksin lebih tinggi.
d. Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan tahap akhir dari proses perbanyakan tanaman
melalui kultur jaringan. Proses ini merupakan proses adaptasi planlet/
bibit terhadap lingkungan baru yang lebih alamiah. Proses ini dilakukan
karena planlet hasil kultur jaringan masih sangat peka terhadap perubahan
lingkungan sehingga proses ini sangat penting untuk dilakukan. Kegiatan
ini umumnya dilakukan dengan memindahkan eksplan ke luar dari
ruangan aseptik, yaitu ke kondisi rumah kaca. Kegiatan ini dilakukan
secara bertahap, sebagai berikut:
1) Tahap awal aklimatisasi harus tetap menjaga kestabilan kondisi
pertumbuhan, yaitu dengan memberikan sungkup sebagai pelindung
dari udara luar.
2) Tahap selanjutnya, sungkup dibuka secara bertahap sehingga
perubahan kondisi lingkungan tidak terjadi secara ekstrem.
3) Tahapan selanjutnya dari proses pembuatan bibit tanaman hutan
relatif sama antara pembiakan generatif dengan pembiakan secara
vegetatif, seperti aplikasi mikoriza (jika diperlukan), pemeliharaan
bibit, pengerasan bibit (hardening off) dan seleksi bibit.

57
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

D. Aplikasi Rhizobium dan Mikoriza


Pertumbuhan dan daya adaptasi bibit setelah di tanam di lapangan dapat
ditingkatkan melalui inokulasi rhizobium dan mikoriza. Aplikasi rhizobium
banyak diterapkan untuk jenis-jenis Legum pada benih ataupun tingkat
bibit. Pada jenis A. mangium inokulasi rhizobium yang dikombinasikan
dengan pemupukan Urea mampu meningkatkan pertumbuhan bibit.
Penelitian aplikasi rhizobium pada A. mangium dan Falcataria moluccana
yang dikombinasikan dengan inokulasi beberapa mikoriza seperti Thelephora
sp. dan Glomus sp., berhasil meningkatkan pertumbuhan bibit. Pemberian
legin (strains of rhizobia) dilakukan dengan menempatkan benih dalam
sebuah wadah dan diisi dengan larutan pelengket (misalnya air gula atau
minyak kelapa). Kemudian tambahkan legin ke wadah tersebut sebanyak 50
g untuk setiap kg benih dan dikocok secara perlahan hingga seluruh benih
berwarna hitam. Kemudian benih tersebut diangin-anginkan 10 sampai 20
menit sebelum penaburan. Untuk memberikan legin (strain of rhizobia) pada
tingkat bibit, legin dicampurkan ke dalam air dingin (hendaknya tercampur
dengan baik) yang kemudian digunakan untuk menyiram bibit. Setiap 5 gram
legin dapat digunakan untuk menginokulasi 1000 anakan. Jumlah air yang
digunakan hendaknya cukup banyak agar legin dapat menembus ke bagian
akar (Nurhasybi et al., 2007).
Perlakuan yang sering digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan
dan vigor bibit baik di persemaian maupun di lapangan adalah penerapan
mikoriza (biofertilizer). Beberapa manfaat tanaman inang yang berasosiasi
dengan mikoriza di antaranya adalah meningkatkan penyerapan unsur hara,
meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, tahan terhadap serangan
patogen akar, dan mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengatur
tumbuh (Setiadi, 1992).
Jenis-jenis yang digolongan ke dalam cendawan mikoriza relatif banyak
sehingga dalam aplikasinya, pemilihan jenis mikoriza harus dilakukan sesuai
dengan inangnya (Santoso et al., 2006). Beberapa jenis ektomikoriza yang
tersebar dominan di Indonesia di antaranya adalah Scleroderma, Amanita,
Boletus dan Russula. Di Kalimantan, ditemukan 172 jenis ektomikoriza dari
32 genus yang berasosiasi dengan 23 jenis Dipterocarpaceae. Ektomikoriza
secara umumnya cocok berasosiasi dengan jenis dari famili Dipterocarpaceae

58
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

dan Pinacea. Selain itu ektomikoriza berasosiasi dengan Gnetum gnemon,


Eucalyptus spp., dan beberapa dari famili Fagaceae. Ektomikoriza berasal dari
Ascomycetes dan Basidiomycetes serta beberapa berasal dari Zygomycetes.
Ektomikoriza dapat diaplikasikan dengan beberapa teknik di antaranya adalah
inokulasi tanah, akar yang bermikoriza, anakan yang bermikoriza, suspensi
spora, biakan murni miselia, tablet dan kapsul mikoriza (Setiadi, 1992).
Spora ektomikoriza dalam bentuk tablet, kapsul, atau tepung dapat digunakan
untuk jenis-jenis dari Dipterocarpaceae. Beberapa isolat lokal telah dibuat
di Indonesia seperti Schleroderma columnare dengan bibit Shorea selanica, S.
stenoptera, S. leprosula, S. palembanica, H. odorata dan H. Mengerawan (Lee,
1998).
Teknik inokulasi tanah (top soil) dapat dilakukan bersamaan dengan
pencampuran media sapih. Untuk inokulasi spora dapat dilakukan dengan
menyiramkan spora yang dicampur air pada daerah perakaran bibit. Untuk
isolat berbentuk kapsul, tablet atau tepung, cara inokulasinya dapat dilakukan
dengan membenamkannya di sekitar daerah perakaran (Omon & Noor,
2002).
Endomikoriza (cendawan mikoriza arbuskular atau CMA) secara umum
berasosiasi dengan jenis-jenis mahoni, jati, eukalyptus, gmelina, acacia,
sonokeling, duabanga, agathis, khaya, puspa, saga, waru, saninten, rasamala,
dan jenis lainnya. Jenis-jenis tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza
disajikan pada Tabel 11. Pada proses produksi bibit skala besar, inokulasi
CMA dapat dilakukan dengan mencampur media sapih dengan CMA secara
merata. CMA dapat diinokulasikan pada bibit hasil biakan secara generatif
maupun secara vegetatif. Inokulasi pada bibit hasil vegegatif dilakukan pada
saat pemindahan bibit dari tahap perakaran ke pertumbuhan. Pada bibit
generatif, CMA dapat diinokulasikan dengan metode lapisan dan campur.
Metode lapisan umumnya dilakukan untuk benih-benih yang berukuran
kecil (Acacia spp. dan Eucalyptus spp.) Inokulum CMA ditebar secara merata
di permukaan media tabur dengan ketebalan 0,5 cm – 1 cm dan dilapisi lagi
media tabur setebal 0,5 cm, kemudian benih ditabur pada lapisan tersebut.
Untuk metode campur, inokulum dicampurkan dengan media secara merata.
Pencampuran CMA dan media dalam skala besar dapat menggunakan molen.
Selain itu, bentuk suspensi sudah diformulasikan dari beberapa galur atau
strain unggul, seperti Pisolithus sp. yang memiliki spora besar.

59
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 11. Jenis tanaman hutan yang berasosiasi dengan mikoriza


No. Ektomikoriza No. Mikoriza arbuskula
1. Shorea leprosula 1. Leucaena leucocephala
2. Shorea selanica 2. Caliandra calothyrsus
3. Shorea pinanga 3. Aquilaria malaccensis
4. Shorea seminis 4. Tectona grandis
5. Shorea johorensis 5. Gmelina arborea
6. Shorea platyclados 6. Peronema canescens
7. Shorea balangeran 7. Paraserianthes falcataria
8. Shorea uliginosa 8. Entelorobium cyclocarpum
9. Shorea mecisopteryx 9. Toona sureni
10. Shorea teysmanniana 10. Diospyros celebica
11. Hopea odorata 11. Swietenia macrophylla
12. Hopea mengarawan 12. Khaya antotheca
13. Vatica sumatrana 13. Khaya ivorensis
14. Anisoptera spp 14. Khaya senegalensis
15. Dipterocarpus spp 15. Eusideroxylon zwageri
16. Pinus merkusii 16. Dyera polyphylla
17. Pinus oocarpa 17. Alstonia scholaris
18. Pinus caribaea 18. Durio zibethinus
19. Eucalyptus urophylla 19. Gonystilus bancanus
20. Eucalyptus deglupta 20. Cratoxylon arborescens
21. Dryobalanops spp 21. Calophyllum sp
22. Gnetum gnemon 22. Hevea brasilliensis
Sumber : Santoso et al., 2007.

Aplikasi mikoriza pada jenis-jenis tanaman hutan masih terfokus pada


tingkat bibit siap tanam. Namun demikian, informasi uji lapangan bibit yang
menggunakan mikoriza masih sangat terbatas dalam hubungannya dengan
produktivitas atau riap tanaman pada berbagai karakteristik tapak dan jenis
tanaman.

60
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

E. Pemeliharaan Bibit
Pemeliharaan bibit di persemaian meliputi pembersihan gulma,
penyiraman dan pemupukan. Naungan diperlukan hingga bibit siap untuk
diaklimatisasi dan untuk jenis cepat tumbuh naungan mulai dikurangi pada
umur 40-45 hari setelah sapih (Chandra, 2001).

1. Penyiraman
Intensitas penyiraman ini harus mempertimbangkan kondisi iklim
setempat dan media semai yang digunakan. Pada daerah kering, intensitas
penyiraman dapat dilakukan 2 kali sehari atau sebaliknya di daerah yang
sering turun hujan penyiraman hanya dilakukan pada hari tidak turun hujan.
Selain itu, bibit-bibit yang baru disapih umumnya memerlukan naungan
dengan intensitas pencahayaan bervariasi (40 – 60%).
Penyiraman media di dalam polybag/wadah harus betul-betul dalam
keadaan jenuh dimana semua bagian media basah secara menyeluruh. Pada
saat penyiraman, kekuatan semprotan air jangan terlampau keras sehingga
tidak menyebabkan kerusakan bibit, erosi atau kehilangan permukaan media.
Secara umum, penyiraman diaplikasikan dua kali dalam sehari khususnya pada
musim panas di saat tidak ada hujan. Penyiraman harus mempertimbangkan
kondisi bibit, pada bibit muda yang berukuran kecil, air semprotan harus
lebih halus dan tidak terlalu kencang. Penyiraman juga harus sesuai dengan
kebutuhan tanaman, penyiraman yang terlalu banyak akan merusak bibit
karena akan menyebabkan genangan air yang memenuhi pori-pori udara di
dalam media sehingga akar tidak bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga
menyebabkan bibit tumbuh terlalu cepat namun kurang kuat dan memacu
pertumbuhan jamur dan bakteri pathogen (Sudrajat et al., 2010).
Pada persemaian permanen, penyiraman dilakukan dengan sistem irigasi
yang lebih modern dengan menggunakan nozzle yang diatur dengan sistem
control panel sebagai pengendali on/off secara otomatis. Sistem penyimpanan
tersebut dapat digantung atau ditanam dengan menggunakan pipa high density
polyethylene. Sistem irigasi di persemaian permanen juga dilengkapi dengan
saluran air pembuangan (BSN, 2016).

61
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

2. Wiwil dan penyiangan


Wiwil merupakan kegiatan untuk membuang tunas yang tidak diinginkan
pada bibit, daun kering, busuk, daun tua atau berpenyakit yang dilakukan
ketika bibit mencapai ketinggian atau umur tertentu (± 20 cm). Kegiatan
ini juga bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi udara, meningkatkan
penyinaran matahari khususnya untuk bagian batang dan bawah bibit,
mencegah penularan hama dan penyakit. Pembersihan gulma harus rutin
dilakukan, terutama ketika bibit masih berukuran kecil (awal pertumbuhan).
Secara umum gulma akan tumbuh lebih cepat dan lebih kuat dari pada
bibit sehingga menjadi pesaing bibit dalam memperoleh hara, air, dan ruang
tumbuh (Pramono et al., 2016).

3. Penjarangan dan pemangkasan


akar
Penjarangan bibit diperlukan sejalan dengan pertumbuhan bibit.
Daun dan tunas bibit akan berkembang sehingga menjadi berdesakan yang
mengakibatkan bibit tidak cukup menerima sinar matahari dan ruang yang
cukup untuk pertumbuhannya. Penjarangan bibit akan berdampak pada
kekokohan bibit karena pertumbuhan diameter bibit akan sejalan dengan
pertumbuhan tinggi bibit. Bila bibit tidak dijarangi maka bibit tersebut akan
memiliki indek kekokohan yang rendah dalam arti perbandingan diameter
dengan tinggi bibit tidak proposional yang berdampak pada rendahnya daya
adaptasi sewaktu dipindah ke lapangan. Jarak antar bibit tidak hanya untuk
menerima sinar matahari yang cukup, tetapi juga memudahkan pemantauan
dan pengendalian serangan hama dan penyakit (Pramono et al., 2016).
Pemangkasan akar sangat diperlukan untuk mengendalikan akar yang
keluar dari wadah bibit, khususnya pada bibit yang diletakkan di lantai pasir
atau tanah. Bibit-bibit yang diletakkan di rak umumnya dapat melakukan
selfpruning sistem perakarannya karena akar yang keluar akan kering. Bibit
yang akar-akarnya menembus ke dalam tanah akan tumbuh lebih cepat
dibandingkan bibit lainnya dan cenderung menekan pertumbuhan bibit
lainnya. Namun ketika digeser, bibit tersebut akan cepat layu karena sistem
perakarannya rusak atau wadah dan medianya hancur sehingga memerlukan

62
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

waktu yang lama untuk pemulihannya menjadi bibit siap tanam. Pemangkasan
akar dilakukan pagi atau sore hari dengan penyiraman bibit terlebih dulu,
kemudian akar bibit yang tumbuh ke luar media dipotong.

4. Pencegahan dan pengendalian


hama penyakit
Penyimpangan dari keadaan normal pada bibit yang disebabkan oleh
serangan hama dan penyakit akan mempengaruhi aktivitas fisiologi bibit atau
menyebabkan perubahan struktur tanaman yang menghambat pertumbuhan
dan perkembangan bibit. Bibit merupakan tahap pertumbuhan tanaman yang
sangat rentan terserang hama dan/atau penyakit sehingga perlu diantisipasi
dengan mengenal tipe/gejala serangan sehingga tindakan pengendaliannya
bisa cepat dilakukan.
Serangga (belalang, semut, ngengat) dan ulat merupakan hama yang
sering menyerang bibit, sedangkan organisme penyebab penyakit yang sering
menyerang bibit adalah jamur, bakteri, virus, dan cacing. Beberapa insektisida
yang bersifat sistemik sering diaplikasikan untuk mengendalikan serangan
hama yang menyerang bibit di persemaian. Penyakit yang sering menyerang
pada tingkat bibit di antaranya adalah embun tepung (powdery mildew),
rebah semai (dumping off), mati pucuk (die-back), bercak daun (leaf-spot),
dan layu (wilt). Media yang disterilisasi, penaburan yang tidak terlalu padat,
air penyiraman yang bersih, pemberian fungisida secara teratur, pengaturan
intensitas cahaya, dan menjaga kelembapan media dapat menghindari
serangan jamur patogen (Departemen Kehutanan, 2004).
Penyakit pada bibit dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
bibit tidak normal, menyebabkan kerusakan organ-organ penting bibit,
bahkan menyebabkan kematian bibit. Secara umum, penyakit pada tingkat
bibit dapat disebabkan oleh jasad hidup (seperti jamur, gulma, bakteri,
nematode), virus, atau faktor lingkungan (seperti cahaya, iklim, kekurangan
atau kelebihan zat hara). Beberapa hama dan penyakit yang menyerang bibit
di persemaian dan cara pengendaliannya disajikan pada Tabel 12.

63
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 12. Hama dan penyakit bibit tanaman hutan di persemaian dan cara
pengendaliannya
No Hama/penyakit Tanaman inang Teknik pengendalian
1. Hama perusak daun
- Eurema spp. (kupu Paraserianthes Insektisida biologi berbahan
kuning) falcataria, Acacia aktif Baccilus thuringiensis
spp., Cassia (Deftin WDG dan Dipel
siamea, Sesbania WP) dengan dosis cc per
grandiflora. liter atau insektisida biologi
yang mengandung jamur
entomopotogenik Beauveria
bassiana dengan dosis 25 g
kultur jamur per liter.
- Pteroma plagiphelps, P. falcataria, Acacia Insektisida sistemik berbahan
Amatissa sp., spp., Eucalyptus aktif dimetoat (Perfekthion 400
Cryptothelea spp. spp., Pinus merkusii EC) dengan dosis 2-4 cc per
(ulat kantong) liter.
- Locusta sp. dan Hampir semua Insektisida berbahan aktif
Valanga sp. jenis. BPMC (Bassa 50 EC) dengan
(belalang) dosis 2-4 cc per liter.
- Kutu lilin T. grandis, P. a. Mekanis : pemangkasan
merkusii bagian tanaman yang
terserang dan dibakar
b. Sistemik :
- Insektisida berupa larutan
“demikron” secara kontinyu
- Insektisida berbentuk
butiran (Furadan G dan
Dharmaphur G) dengan
dosis ± 10 gr/tanaman yang
ditebarkan di sekeliling
tanaman
- Insektisida nabati/hayati
yang disemprotkan pada
batang dan atau daun.
2. Hama perusak pucuk
- Hypsiphyla robusta Swietenia Insektisida sistemik berbahan
(penggerek pucuk) macrophylla aktif dimetoat (Perfekthion 400
EC) dengan dosis 2-4 cc per
liter.

64
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Tabel 12. Hama dan penyakit bibit tanaman hutan di persemaian dan cara
pengendaliannya (lanjutan)
No Hama/penyakit Tanaman inang Teknik pengendalian
- Dioryctria rubella P. merkusii Insektisida sistemik berbahan
aktif dimetoat (Perfekthion 400
EC) dengan dosis 2-4 cc per
liter.
3. Penyakit lodoh Acacia spp., Sterilisasi media semai
(dumping off) Eucalyptus spp., P. (penggorengan, air panas,
merkusii, Falcataria fumigasi) dengan larutan
moluccana, dll. fungisida (seperti captan,
ceresan).
4. Penyakit embun Leucaena Fungisida berbahan aktif
tepung lecochepala, Acacia benomil (Benlate) dengan dosis
spp., Falcataria 1-2 gr per liter.
moluccana.
5. Penyakit layu bakteri Tectona grandis Penyiraman tidak
(bakteri Pseudomonas terlalu lembap, media
tectonae) disterilkan dengan larutan
dihydrostrepotomycin 0,005%
atau formaldelhide 4%,
bakterisida dengan bahan aktif
asam oksolinik (Starner 20 WP).
6. Penyakit bercak daun
- Altelaria sp. Acacia spp. Menjaga kelembapan, fungisida
- Curvularia sp. dan Eucalyptus sp. dengan bahan aktif tembaga
Cylyndrocladium oksiklorida atau propineb
sp. dengan dosis sesuai label.
- Pestalotiopsis sp. P. merkusii
- Pestalotia sp. Shorea sp. dan
Gmelina arborea
7. Penyakit karat daun Acacia spp. Fungisida Bayleton 250 EC,
(jamur Atelocauda Cupravit OB 21, Benlate T
digitata) 20/20 WP, Daconil 75 WP,
Dithane M-45 80 WP, Antracol
74 WP, Baycor 300 EC,
Orthocide 50 WP, Tilt 250 EC,
Cobox, Calixin 750 EC dengan
dosis 1-2 cc per liter.
Sumber: Departemen Kehutanan (2004), DPSP (2016)

65
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

5. Pemupukan
Pemupukan merupakan kegiatan yang diperlukan untuk menyediakan
hara bagi pertumbuhan bibit secara optimal. Analisis kesuburan media bibit
sangat dianjurkan untuk menentukan kebutuhan dan dosis pupuk yang akan
diberikan. Beberapa penelitian melaporkan efektivitas pemupukan terhadap
pertumbuhan bibit beberapa jenis tanaman hutan, seperti pada jenis Falcataria
moluccana, A. mangium, P. canescens, P. merkusii, S. pinanga, S. leprosula,
Dryobalanops aromatica, D. oblongifolia dan jenis-jenis lainnya. Namun,
pemupukan tidak selamanya memberikan respon terhadap pertumbuhan
bibit seperti pada bibit S. macroptera dan Dipterocarpus kunstleri. Pemupukan
harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tidak berlebihan.
Dosis berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan tidak seimbang (terlalu
cepat tapi bibit mudah patah, cepat layu) dan tidak seimbangnya rasio pucuk
akar (pertumbuhan pucuk terlalu dominan sehingga rasionya terlalu tinggi).
Selain itu, dosis yang terlalu tinggi juga menyebabkan pertumbuhan bibit
terganggu karena pupuk akan meracuni tanaman. Pupuk NPK dan Urea
merupakan pupuk yang paling umum digunakan di persemaian. Pupuk
tersebut umumnya dicairkan dengan dosis 1 sendok makan untuk 10 l air.
Pemberian pupuk kimiawi tersebut disarankan untuk tidak dilakukan apabila
media bibit telah memiliki kandungan hara yang memadai untuk pertumbuhan
bibit. Umumnya media dengan campuran tanah, pupuk kandang, kompos
atau sekam yang optimal sudah cukup untuk mendukung pertumbuhan bibit
di persemaian (Sudrajat et al., 2010; Pramono et al., 2016).

6. Seleksi dan aklimatisasi (hardening


off)
Seleksi bibit dilakukan dengan tujuan untuk menyortir atau memisahkan
bibit yang memiliki pertumbuhan yang tertekan, terdapat gejala serangan
hama atau penyakit, memiliki batang utama bercabang, bengkok, mati atau
patah. Bibit-bibit terpilih diharapkan memiliki penampilan yang relatif
seragam dengan karakter morfologi yang memungkinkan lolos persyaratan
seritifikasi mutu bibit. Bibit siap tanam dipisahkan, dikelompok dan dilakukan
aklimatisasi sebelum didistribusikan ke lapangan (Sudrajat et al., 2010).

66
BAB III.
PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

Aklimatisasi, disebut juga hardening off (pengerasan bibit) merupakan


kegiatan untuk mempersiapkan bibit agar mampu beradaptasi pada
lingkungan penanamannya. Pengurangan penyiraman, meningkatkan cahaya
yang diterima oleh bibit, dan peningkatan jarak antar bibit merupakan cara
yang umum dilakukan untuk meningkatkan mutu fisiologis bibit (Gambar
11). Aklimatisasi dilakukan secara bertahap dengan mengurangi naungan
secara bertahap sehingga cahaya matahari semakin banyak dan akhirnya secara
penuh tersinari matahari. Selain penyiraman, cahaya dan jarak antar bibit,
perlakuan pembuangan daun-daun yang ada di bagian bawah batang bibit
juga dapat dilakukan sehingga bibit akan cepat berkayu. Aklimatisasi untuk
jenis-jenis tahan naungan, apabila bibit dipindahkan langsung ke areal terbuka
akan menyebabkan pertumbuhan bibit tidak optimal sehingga sebaiknya bibit
tersebut masih diberi naungan ringan. Aklimatisasi umumnya dilakukan
1 bulan bibit di bawa ke areal penanaman. Regim persemaian termasuk
aklimatisasi sangat menentukan karakteristik fungsional bibit, mempengaruhi
perakaran setelah penanaman dan kapasitas pertumbuhan awal bibit pasca
penanaman (Sudrajat et al., 2010).

Gambar 11. Bibit jati yang belum diaklimatisasi (kiri) dan bibit yang sudah
diaklimatisasi (kanan) (Sudrajat, 2010)

Sebagai contoh, untuk S. pinanga diperlukan pencahayaan sebesar 30%


sampai umur bibit mencapai 2 minggu, kemudian pencahayaan sebesar 60%
sampai bibit mencapai umur 9 bulan. Pada umur di atas 9 bulan diperlukan
pencahayaan yang lebih besar, sehingga pada umur 10-12 bulan, bibit tersebut
telah siap dipindahkan ke lapangan dengan kemampuan adaptasi yang lebih
tinggi. Pada bibit jati (Gambar 11), selain pemotongan akar, pergeseran bibit

67
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

dan memberian cahaya penuh, aklimatisasi juga dilakukan dengan memberi


jarak antar bibit yang berpengaruh pada kekokohan batang dan mempercepat
membentukan kayu pada batang (Puslitbang Perum Perhutani, 2007a,b).

68
BAB IV.
STANDAR MUTU BIBIT
UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN
DAN HUTAN

A. Perkembangan Standar Mutu


Bibit di Indonesia
Standar mutu bibit tanaman hutan yang dikembangkan di beberapa
negara sebagian besar didasarkan pada karakter morfologi bibit yang
dikorelasikan dengan kemampuan hidup (adaptasi) dan pertumbuhannya
pasca penanaman (Semerci, 2005; Jacobs et al., 2005). Secara umum,
diameter bibit mempunyai korelasi yang positif dengan persen hidup dan
pertumbuhan bibit di lapangan (South et al., 1989; Rose et al., 1997; Dey &
Parker, 1997; South & Mitchell, 1999; Sianturi & Sudrajat, 2019) dan juga
berkorelasi baik dengan perkembangan akar (Rose et al., 1997). Diameter
bibit merupakan parameter yang banyak digunakan untuk menentukan bibit
siap tanam di beberapa negara (Sudrajat et al., 2010).
Standar atau kriteria morfologi bibit siap tanam tentunya berbeda
berdasarkan jenis dan lokasi target penanaman. Pada kondisi khusus, diameter
atau tinggi bibit yang lebih kecil mempunyai daya adaptasi dan pertumbuhan
yang lebih baik khususnya pada lokasi penanaman di pegunungan (Allen,
1953; Venator, 1983; Jurasek et al., 2009), sebaliknya pada daerah dengan
pertumbuhan gulma yang cepat, bibit dengan tinggi dan diameter yang besar
memiliki adaptasi yang lebih baik untuk bersaing dengan gulma (Sianturi &
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Sudrajat, 2019). Untuk jenis-jenis daun lebar (khususnya jenis-jenis tropis),


pengembangan standar mutu bibit dalam hubungannya dengan keberhasilan
pasca penanaman masih sangat kurang dibandingkan bibit jenis-jenis
temperat, khususnya jenis-jenis daun jarum (Wilson & Jacobs, 2005).
Metoda pengujian mutu bibit di Indonesia lebih dikategorikan sebagai uji
morfologi bibit, uji ini tidak selalu berhasil dalam memprediksi penampilan
bibit setelah penanaman, karena morfologi tidak mengindikasikan vitalitas
saat itu (Hawkins, 1995). Namun uji ini lebih umum dan mudah diterapkan
dan dalam aplikasinya tentunya didukung dengan hasil-hasil uji lapang yang
mengkorelasikan morfologi bibit di persemaian dengan persen hidup dan
pertumbuhan bibit pasca penanaman di lapangan.
Pada tahun 2000-an, standar mutu bibit tanaman hutan di Indonesia
dapat dikategorikan berdasarkan sifatnya, yaitu sukarela atau volunteer yang
berupa Standar Nasional Indonesia (SNI) dan mengikat (mandatory) yang
berupa Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS)
No. P.11/V-SET/2009 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit
Tanaman Hutan. Kedua standar ini secara substansi sama, hanya jumlah jenis
saja yang berbeda. Jenis yang masuk dalam SNI sebanyak 7 jenis, yaitu Acacia
mangium, Gmelina arborea, Eucalyptus urophylla, Paraserianthes falcataria,
Shorea sp. (meranti), Shorea stenoptera (tengkawang) dan Pinus merkusii.
Standar mutu bibit pada SNI menjadi salah satu acuan standar pada Peraturan
Dirjen RLPS (BSN, 2005).
Peraturan Dirjen RLPS masih memuat jenis yang terbatas (13 jenis)
dengan pengelompokan jenis berdasarkan kecepatan tumbuhnya. Jenis
tanaman hutan yang termasuk dalam peraturan Dirjen RLPS tersebut
adalah:
1. Jenis-jenis lambat tumbuh: Tectona grandis, Shorea spp., Altingia
excelsa, Pinus spp. dan Swietenia spp.
2. Jenis-jenis cepat tumbuh: Eucalyptus spp., Acacia spp., Falcataria
moluccana (sinonim: Paraserianthes falcataria), Gmelina arborea,
Neolamarckia spp. (sinonim: Anthocephalus spp.)
Penerapan mutu standar mutu bibit dilakukan dengan sistem sertifikasi
mutu bibit yang hingga tahun 2009 masih belum optimal, khususnya untuk
jumlah jenis yang telah distandarkan. Jumlah jenis bibit tanaman hutan yang

70
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

diuji sangat beragam yang belum didukung dengan ketersediaan standar


mutu bibit yang optimal. Standar yang terdapat dalam Peraturan Dirjen
RLPS hanya memuat sekitar 13 jenis, sedangkan yang diuji melalui Balai
Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) dalam periode 4 tahun (2006-2009)
sebanyak 75 jenis tanaman hutan, terdiri dari 1289 kelompok bibit (lot bibit)
di banyak persemaian di wilayah Indonesia. Persentase jenis yang diuji BPTH
di seluruh Indonesia dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Jenis dan persentase jumlah pengujian bibit tanaman hutan di
Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b)

Keterbatasan jenis dalam standar yang berlaku, sementara jenis yang


diuji untuk disertifikasi lebih banyak mengindikasikan bahwa pelaksanaan
sertifikasi mutu bibit tanaman hutan pada periode tersebut belum didasarkan
standar yang ditetapkan. Secara operasional, penguji bibit banyak melakukan
pendekatan umum atau penggunaan standar untuk suatu yang belum ada
standarnya dengan jenis yang telah ada standarnya. Padahal standar mutu
bibit memerlukan persyaratan berbeda untuk setiap jenis yang berbeda atau
untuk tujuan dan tapak yang berbeda juga. Gambaran jumlah jenis yang
ditangani BPTH diseluruh Indonesia pada periode 2006-2009 disajikan pada
Gambar 13.

71
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 13. Jenis dan jumlah kelompok bibit tanaman hutan yang diuji di
Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b)

BPTH Jawa-Madura merupakan lembaga sertifikasi yang paling sering


melakukan pengujian mutu bibit tanaman hutan selama periode 2006-2009,
yaitu menguji 684 kelompok bibit, diikuti BPTH Kalimantan (541 kelompok
bibit), BPTH Sumatera (39 kelompok bibit) dan BPTH Maluku Papua (25
kelompok bibit). Jenis bibit tanaman hutan yang diuji meliputi 37 jenis,
diikuti BPTH Kalimantan sebanyak 36 jenis, BPTH Sumatera sebanyak 16
jenis, dan BPTH Maluku-Papua sebanyak 5 jenis. BPTH Bali-Nusa Tenggara
dan BPTH Sulawesi selama periode tersebut tidak melakukan pengujian bibit
karena tidak ada pengada atau pengedar bibit yang mengajukan permohonan
pengujian mutu bibit (sertifikasi).
Kesadaran pentingnya benih/bibit bersertifikat masih rendah dan belum
menjadi kebutuhan pengada maupun pengguna bibit terutama di Indonesia
Bagian Timur yang dibuktikan dengan tidak atau sedikit sekali penerbitan
sertifikat di BPTH kawasan timur Indonesia (BPTH Sulawesi, BPTH Bali
Nusa Tenggara, dan BPTH Maluku Papua). Selain itu, ada juga dugaan
bahwa benih atau bibit bersertifikat yang digunakan di kawasan timur berasal
dari kawasan barat Indonesia. Standar mutu bibit pada tahun 2015 telah
ditetapkan melalui Keputusan Direktur Perbenihan Tanaman Hutan No.
SK36/PTH-3/2015 dan pada tahun 2018 menjadi SNI 5006.2.2018 Mutu
bibit tanaman hutan.

72
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

B. Pengujian Mutu Bibit


Cara pengujian mutu bibit ditetapkan dalam Peraturan Dirjen RLPS
No. P. 05/V-SET/2009 dan SNI 5006.2.2018 Mutu bibit tanaman hutan.
Peraturan tersebut memuat cara pengujian yang terdiri dari persyaratan
umum, persyaratan khusus, pengambilan sampel, cara pengujian, syarat lulus
uji, laporan hasil uji dan penandaan (BSN, 2018b).

1. Persyaratan umum
Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing lot bibit dengan menelusuri
kebenaran dokumen bahwa bibit yang diproduksi berasal dari sumber benih
dan/atau dari benih bersertifikat. Pemeriksaan terhadap mutu bibit (secara
genetik) didekati dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan keabsahan Sertifikat Sumber Benih dan/atau Sertifikat
Mutu Benih yang digunakan sebagai benih untuk produksi bibit,
dan
b. Apabila benih diperoleh dari pihak ketiga, pemohon harus
menunjukkan bukti Berita Acara Surat Pembelian Benih atau
mengkonfirmasikan kebenaran Sertifikat tersebut kepada institusi
yang menerbitkan Sertifikat Sumber Benih dan/atau Sertifikat Mutu
Benih.
Untuk itu, persyaratan umum bibit tanaman hutan berdasarkan hasil
pemeriksaan bertahap tersebut meliputi:
a. Asal usul benih yang ditunjukkan dengan sertifikat sumber benih
atau surat keterangan atau sertifikat mutu benih;
b. Bibit berbatang tunggal dan lurus, tinggi maksimal 1,5 m;
c. Bibit sehat (tidak terserang hama dan penyakit), warna daun normal
dan tidak menunjukkan kekurangan unsur hara dan tidak mati
pucuk;
d. Bibit telah berkayu (50% bagian tinggi batangnya yang telah
berkayu);
e. Bibit yang memenuhi persyaratan umum di atas dinyatakan sebagai bibit
normal dan kelompok bibit yang telah memenuhi persyaratan umum
(bibit normal) dapat dilanjutkan untuk pengujian persyaratan khusus.

73
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

2. Persyaratan khusus
Pengujian persyaratan khusus dilakukan setelah persyaratan umum
terpenuhi. Persyaratan khusus bibit tanaman hutan ditentukan berdasarkan
hasil pengukuran terhadap parameter:
a. tinggi bibit,
b. diameter pangkal batang bibit,
c. kekompakan media,
d. jumlah daun.
Persyaratan khusus setiap jenis tanaman hutan sesuai Tabel 15 (Sub
Bab Standar Mutu Bibit). Untuk jenis yang belum tercantum dalam tabel,
penilaian didasarkan pada genus atau famili yang sama.

3. Pengambilan contoh
Pengambilan contoh dilakukan pada setiap bedeng dalam kelompok
bibit secara sistematis dengan awal acak (systematic sampling with random start)
dengan jumlah contoh uji sesuai Tabel 13. Intensitas pengambilan contoh
bibit untuk pengujian mutu bibit adalah maksimal 10%.

Tabel 13. Jumlah contoh (sampel) bibit yang akan diperiksa dengan intensitas
sesuai dengan jumlah bibit yang akan disertifikasi
Jumlah bibit yang diperiksa (batang) Jumlah contoh (batang)
< 1.000 10
1.000 - < 10.000 100
10.000 - < 50.000 200
50.000 - < 100.000 500
100.000 - < 1.000.000 1.000
> 1.000.000 2.000

74
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

4. Cara pengujian
Peralatan yang diperlukan untuk pengujian mutu bibit di antaranya
adalah kaliper atau jangka sorong dengan ketelitian 0,5 mm, alat ukur tinggi
atau penggaris, pisau tajam (cutter), alat penghitung manual, kalkulator, dan
tallysheet. Parameter yangn diuji adalah persentase bibit normal, kekompakan
media, tinggi bibit, diameter dan jumlah daun.

a. Prosedur perhitungan
1). Perhitungan persentase bibit normal adalah sebagai berikut:
Jumlah bibit normal
Bibit normal = × 100 %
Jumlah bibit yang diperiksa
2). Kekompakan media
Kekompakan media dan perakarannya ditetapkan dengan cara
mengeluarkan bibit dari wadah media kemudian diamati kekompakan
media dan perakarannya, sebagaimana pada Gambar 14.

Gambar 14. Kekompakan media bibit tanamam hutan (SNI 5006.2.


2018. Mutu bibit tanaman hutan)

Perhitungan persentase bibit yang medianya kompak adalah sebagai


berikut:
Jumlah bibit bermedia kompak
BMK = × 100 %
Jumlah contoh bibit yang diperiksa

75
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

3). Tinggi bibit


Tinggi bibit diukur pada pangkal batang sampai titik tumbuh teratas
dengan satuan cm.Perhitungan persentase bibit yang memenuhi standar
tinggi (BST) adalah sebagai berikut:
Jumlah bibit yang memenuhi standar tinggi
BST = × 100 %
Jumlah contoh bibit yang diperiksa
4). Diameter
Diameter batang bibit diukur pada pangkal batang dengan satuan
mm.Perhitungan persentase bibit yang memenuhi standar diameter
(BSD) adalah sebagai berikut:
Jumlah bibit yang memenuhi standar diameter
BSD = × 100 %
Jumlah contoh bibit yang diperiksa
5). Jumlah daun
Jumlah daun dihitung per lembar daun pada setiap sampel bibit.Untuk
bibit berdaun banyak seperti pinus (Pinus spp.) dan jenis-jenis dari famili
Fabaceae (Leguminoceae) seperti sengon (Falcataria moluccana), jumlah
daun dihitung dengan nilai live crown ratio (LCR) yang diperoleh berdasarkan
perbandingan antara panjang tajuk dengan tinggi bibit, dinyatakan dalam
persen.
6) Rata-rata persyaratan khusus (RPK)
Perhitungan persentase bibit yang memenuhi standar jumlah daun
(BSJD) adalah sebagai berikut:
Jumlah bibit yang memenuhi standar jumlah daun
BSJD = × 100 %
Jumlah contoh bibit yang diperiksa
Rata-rata syarat khusus adalah rata-rata dari jumlah persentase
kekompakan media, tinggi bibit, diameter bibit, dan jumlah helai daun
atau nilai LCR. Perhitungan persyaratan khusus menggunakan rumus
sebagai berikut:
BST + BSD + BSJD + BMK
RPK =
4

76
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

5. Syarat lulus uji


Ada perbedaan cara penentuan bibit lulus uji berdasarkan Peraturan
Dirjen RLPS No. P. 05/V-SET/2009 dan SNI 5006.2.2018, yaitu pada
Peraturan Dirjen RLPS No. P. 05/V-SET/2009 terdapat klasifikasi mutu
bibit lulus uji sedangkan pada SNI 5006.2.2018 hanya batas minimal bibit
lulus uji. Standar mutu bibit ditetapkan berdasarkan persyaratan umum
dan persyaratan khusus. Setiap bibit dari kelompok atau lot bibit yang telah
disertifikat dipasang label sesuai dengan tingkat mutunya sebagaimana yang
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Peraturan Dirjen RLPS No. P.05/V-SET/2009 (Alur pemeriksaan mutu
bibit tersebut dapat dilihat pada Gambar 7).
1) Mutu Pertama (P) : jika bibit memenuhi semua persyaratan umum
lebih besar 95% dan rata-rata dari persyaratan khusus lebih besar 90
%.
2) Mutu Kedua (D) : jika bibit yang memenuhi kriteria persyaratan
umum 75 - 95 % dan rata-rata persyaratan khusus 70 - 90 % .
3) Bibit yang tidak memenuhi kelas mutu P dan D tidak diterbitkan
sertifikat.
b. SNI menyatakan bahwa bibit lulus uji apabila memenuhi persyaratan
yang ditetapkan, yaitu jika bibit normal lebih besar dari 95% dan rata-
rata persyaratan khusus lebih besar dari 90%.

77
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 15. Kegiatan pengukuran bibit di lapangan: (a) persemaian,


(b) contoh bibit yang akan diukur, (c) pengukuran diameter,
(d) pengukuran tinggi, (e) pengamatan kekompakkan media,
dan (f) pencatatan data

78
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

Gambar 16. Skema pemeriksaan mutu bibit tanaman hutan (Peraturan


Dirjen RLPS No. P. 05/V-SET/2009)

6. Laporan hasil
Laporan hasil umumnya dinyatakan dalam bentuk sertifikat mutu bibit
yang menerangkan hasil pengujian mutu bibit dengan rekomendasi lulus
atau tidak lulus uji. Jika lulus uji, bibit tersebut layak untuk diedarkan atau
dikomersialisasikan. Hasil pengujian dinyatakan dalam bentuk tabel sesuai
Gambar 17.

79
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 17. Contoh hasil pengujian bibit tanaman hutan

7. Penandaan
Label bibit dicetak dan dipasang oleh produsen bibit yang dimonitor dan
dievaluasi oleh Balai yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
perbenihan tanaman hutan. Bibit lulus uji diberikan keterangan sebagai
berikut:
a) jenis;
b) sumber benih (lokasi dan kelas sumber benih);

80
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

c) jumlah bibit;
d) keterangan pengujian bibit (nama penguji, waktu, dan lembaga
penguji).
Masa kedaluwarsa hasil pengujian mutu bibit adalah 6 bulan atau tinggi
bibit telah melebihi 1,5 m.

Gambar 18. Bibit yang telah diuji dipisahkan dan diberi label atau tanda

C. Standar Mutu Bibit


Standar mutu bibit dalam pelaksanaannya yang bersifat mandatori
(diwajibkan pemerintah) khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang didanai
oleh negera, ada yang bersifat volunter (sukarela), seperti SNI. Sementara
beberapa perusahaan-perusahaan HTI atau BUMN juga mempunyai standar
yang diterapkan secara internal. Sebagai contoh, Perum Perhutani melalui
Puslitbang Cepu menentukan kriteria atau standar bibit siap tanam jenis jati
baik yang dibiakkan secara generatif maupun vegetatif (stek) dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Pertumbuhan bibit normal,
2. Tinggi bibit berkisar 20 - 30 cm,
3. Batang lurus, kokoh dan berkayu (1/3 dari tinggi bibit),

81
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

4. Daun tidak terlalu lebar, berwarna hijau dan sedikit kuning,


5. Perakaran banyak yang membentuk gumpalan kompak dengan
media,
6. Tidak terserang hama dan penyakit.
(sumber: Puslitbang Perum Perhutani, 2007ab).

Pengaturan standar mutu bibit untuk kegiatan-kegiatan penanaman


yang dibiayai oleh negara dilakukan oleh Direktorat Perbenihan Tanaman
Hutan melalui Keputusan Direktur No. SK.36/PTH-3/2015 tentang Standar
mutu fisik-fisiologis benih dan standar mutu bibit tanaman hutan. Ketentuan
tersebut bersifat mengikat untuk insitusi yang berada di bawah Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Untuk memperluas penggunaan standar
tersebut telah diterbitkan sebagai SNI pada tahun 2018 (SNI 5006.2.2018.
Mutu bibit tanaman hutan).
SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan memuat persyaratan
umum dan persyaratan khusus yang menjadi pembeda standar mutu bibit
antar jenis tanaman hutan. Persyaratan khusus tersebut terdiri dari tinggi,
diameter, dan jumlah daun (Tabel 14).

Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Acacia crassicarpa Leguminosae Karpa ≥25 ≥3,5 ≥6
Acacia mangium Leguminosae Mangium ≥25 ≥3 ≥6
Adenanthera Leguminosae Saga pohon ≥30 ≥3 ≥8
microsperma
Agathis loranthifolia Araucariaceae Damar ≥30 ≥6 ≥6
Albasia chinensis Leguminosae Sengon ≥40 ≥4 LCR ≥45%
merah
Alstonia scholaris Apocynaceae Pulai ≥40 ≥5 ≥9
Aleurites moluccana Phyllanthaceae Kemiri ≥45 ≥5 ≥6
(Euphorbiaceae)
Artocarpus Moraceae Nangka ≥40 ≥4,5 ≥6
heterophyllus
Artocarpus camansi Moraceae Kluwih ≥35 ≥4,5 ≥4

82
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
(lanjutan)
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae Gaharu ≥30 ≥3,53 LCR ≥9 %
Avicennia sp. Acanthaceae Api-api ≥35 ≥5 ≥6
Azadirachta indica Meliaceae Intaran/ ≥25 ≥3 ≥8
mimba
Bruguera sexangula Rhizophoraceae Bakau ≥30 ≥4,5 ≥4
Calophyllum Guttiveraceae Nyamplung ≥30 ≥4 ≥6
inophyllum
Caliandra callothyrsus Leguminosae Kaliandra ≥30 ≥4 LCR ≥45%
merah
Calliandra tetragona Leguminosae Kaliandra ≥30 ≥4 LCR ≥45%
putih
Canarium odorata Burseraceae Kenari ≥30 ≥4 ≥6
Casuarina Burseraceae Cemara ≥45 ≥2,5 LCR ≥50%
junghuniana gunung
Dipterocarpus sp. Dipterocarpaceae Keruing ≥40 ≥4 ≥8
Delonix regia Leguminosae Flamboyan ≥35 ≥3,5 LCR≥40%
Diospyros celebica Ebenaceae Eboni ≥30 ≥3 ≥10
Duabanga moluccana Sonneratiaceae Benuang ≥40 ≥4,5 ≥10
laki/takir
Dyera lowii Apocynaceae Jelutung ≥35 ≥6 ≥6
rawa
Dysoxylum parasiticum Meliaceae Majegau ≥30 ≥5 ≥8
Dryobalanops Dipterocarpaceae Kapur ≥35 ≥3,5 ≥10
aromatica
Enterobium Leguminosae Sengon buto ≥50 ≥4 LCR ≥80%
ciclocarpum
Eucalyptus urophylla Myrtaceae Ampupu >30 > 2,5 ≥8
Eucalyptus pellita Myrtaceae Pelita >20 >2 ≥6
Eusideroxylon zwagery Lauraceae Ulin ≥40 ≥6 ≥6
Ficus benyamin Moraceae Beringin ≥40 ≥5 ≥18
Ficus variegata Moraceae Nyawai ≥35 ≥4 ≥6
Gyrinopsis versteegii Thymelaeaceae Ketimunan ≥25 ≥3,5 ≥12
Gmelina moluccana Verbenaceae Kayu titi ≥30 ≥4 ≥5
Gmelina arborea Verbenaceae Jati putih ≥30 ≥4 ≥5
Hibiscus macrophyllus Malvaceae Tisuk ≥30 ≥5 ≥10

83
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
(lanjutan)
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Hura crepitans Euphorbiaceae Hura ≥30 ≥6 ≥10
Hymenea courbaril Leguminosae Hymnea ≥50 ≥5 ≥8
Instia bijuga Leguminosae Merbau ≥30 ≥4,5 ≥4
Lagerstoemia speciosa Lythraceae Bungur ≥30 ≥4 ≥6
Maesopsis emenii Rhamnaceae Kayu afrika ≥35 ≥4 ≥8
Magnolia blumei Magnoliaceae Manglid ≥35 ≥4,5 ≥8
(sinonim: Manglieta
glauca)
Magnolia champaca Magnoliaceae Bambang ≥35 ≥4,5 ≥8
(sinonim: Michelia lanang
champaca)
Manilkara kauki Sapotaceae Sawo kecik ≥25 ≥3 ≥12
Mangifera kasturi Anacardiaceae Kasturi ≥35 ≥4,5 ≥6
Melia azedarach Meliaceae Mindi ≥35 ≥3,5 ≥8
Melia excelsa Meliaceae Sentang/ ≥40 ≥6 ≥6
kayu
bawang
Mimosops elengi Sapotaceae Tanjung ≥35 ≥5 ≥6
Neolamarckia Rubiaceae Jabon putih ≥35 ≥4,5 ≥6
cadamba (sinonim:
Anthocephalus
cadamba)
Neolamarckia Rubiaceae Jabon merah ≥25 ≥4 ≥5
macrophilla (sinonim:
Antocephalus
macrophyllus).
Octomeles sumatrana Tetramelaceae Benuang ≥25 ≥7 ≥6
bini
Palaquium alovium Sapotaceae Nyatoh ≥28 ≥3 ≥8
Palaquium Sapotaceae Nyatoh ≥35 ≥4 ≥8
dasyphyllum
Falcataria Leguminosae Sengon ≥35 ≥4 LCR ≥30%
moluccana (sinonim:
Paraserianthes
falcataria)

84
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis
tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan)
untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman
(lanjutan)
Tinggi Diameter Jumlah
Nama botani Famili Nama lokal
(cm) (mm) daun/LCR
Pericopsis mooniana Papilionaceae Kayu kuku ≥30 ≥4 ≥8
Peronema canescens Sungkai ≥30 ≥4 9
Planchonia valida Lecythraceae Putat ≥35 ≥6 ≥10
Polyalthia longifolia Anonaceae Glodogan ≥45 ≥6 ≥10
tiang
Pometia pinnata Sapindanceae Matoa ≥40 ≥5 ≥6
Pterocarpus indicus Leguminosae Angsana ≥35 ≥4 ≥8
Pterospermum Sterculiaceae Bayur ≥35 ≥4,0 ≥8
javanicum
Rhizophora apiculata Rhizopharaceae Bakau ≥35 ≥5 ≥4
Rhizophora mucronata Rhizopharaceae Bakau ≥50 ≥16 ≥4
Rhizophora stylosa Rhizopharaceae Bakau ≥40 ≥15 ≥4
Pinus merkusii Pinaceae Tusam ≥25 ≥3 ≥8
Santalum album Santalaceae Cendana ≥35 ≥4 ≥11
Scheleichera oleosa Sapindaceae Kesambi ≥35 ≥4 ≥8
Shorea balangeran Dipterocarpaceae Balangeran ≥40 ≥4 ≥8
Shorea leprosula Dipterocarpaceae Meranti ≥40 ≥3,5 ≥7
Shorea levis Dipterocarpaceae Bangkirai ≥50 ≥4 ≥8
Shorea parvifolia Dipterocarpaceae Meranti ≥34 ≥3,6 ≥10
Shorea stenoptera Dipterocarpaceae Tengkawang ≥38 ≥4 LCR ≥10
Shorea sp. Dipterocarpaceae Meranti ≥45 ≥4 ≥8

Samanea saman Leguminosae Trembesi/ ≥50 ≥5 LCR ≥40%


Kihujan
Sterculia foetida Sterculiaceae Kepuh/nitas ≥40 ≥5 ≥6
Swietenia macrophylla Meliaceae Mahoni ≥35 ≥3,5 ≥8

Tamarindus indica Leguminosae Asam jawa ≥40 ≥4 LCR ≥70%


Tectona grandis Verbenaceae Jati ≥30 ≥4 ≥6
Terminalia catapa Combretaceae Ketapang ≥40 ≥5 ≥6
Toona sinensis Meliaceae Surian ≥35 ≥4 ≥6
Vitex coffasus Verbenaceae Biti ≥25 ≥3 ≥6
Keterangan: Genus adalah kata pertama nama ilmiah misalnya Eucalyptus pellita, maka
genusnya Eucalyptus

85
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Standar mutu bibit dalam Keputusan Direktur No. SK.36/PTH-3/2015


tentang Standar mutu fisik-fisiologis benih dan standar mutu bibit tanaman
hutan dan SNI 5006.2.2018 Mutu bibit tanaman hutan tidak berbeda.
Perbedaan hanya terdapat pada parameter umur bibit yang digunakan pada
standar mutu bibit berdasarkan Keputusan Direktur No. SK.36/PTH-3/2015
tetap tidak dimasukan dalam SNI 5006.2.2018. Selain itu, perbedaan
juga ditemukan pada persyaratan lulus uji yang mengakomodir mutu P
(pertama) dan D (kedua) untuk bibit lulus uji, sedangkan pada SNI hanya
mengakomodir satu kelas kelulusan (lulus/tidak lulus uji).
Secara umum, standar yang disusun sebagian besar jenis tanaman
hutan yang telah distandarkan mutu bibitnya hanya berdasarkan morfologi
bibit yang dianggap siap tanam di persemaian dan belum berdasarkan uji
penanaman atau mengkombinasikannya dengan karakteristik fisiologi bibit.
Namun, demikian standar ini dapat diaplikasikan untuk menjamin kualitas
bibit siap tanam dan upaya perbaikannya harus terus dilakukan karena standar
bersifat progresif yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan praktek terbaik di lapangan.

D. Kriteria Mutu Bibit untuk


Tujuan Khusus: Tinjauan
untuk Lanskap Perkotaan
Kriteria mutu bibit untuk tujuan penanaman di kawasan urban atau
perkotaan tentunya sangat berbeda dengan kriteria untuk tujuan rehabilitasi
lahan dan hutan. Penanaman untuk lanskap perkotaan saat ini banyak
menggunakan bahan tanaman berukuran besar (semai, tiang, pancang dan
pohon) agar taman kota, hutan kota dan tempat lainnya di dalam lingkungan
pusat kota cepat mengalami proses penghijauan dan masyarakat dengan
cepat dapat menikmati lingkungan baru yang sehat dan segar untuk rekreasi
dan beristirahat dari kesibukan bekerja sehari-hari. Proses pemindahan,
pengangkutan dan penanaman bahan tanaman dalam ukuran besar bukan
proses yang mudah, memerlukan tahapan yang rumit, gambarannya seperti
operasi bedah pada pasien di rumah sakit yang membutuhkan persiapan yang
baik untuk mengurangi trauma setelah operasi dan pasien cukup sehat untuk
memulihkan kesehatannya setelah periode waktu tertentu paska operasi.

86
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

Kriteria bibit untuk kawasan perkotaan di Indonesia belum ditetapkan


secara khusus. Beberapa literatur seperti standar umum dari American Standar
for Nusery Stock (ANSI Z60.1) tahun 2014 yang disusun oleh American
Horticulture Industry Association memberikan prinsip dasar berdasarkan : (1)
tipe tanaman (misal : pohon pelindung atau berbunga, konifer atau daun
lebar yang selalu hijau (evergreen), tanaman tahunan atau penutup lahan, dan
lainnya), (2) karakter pertumbuhan dari jenis tertentu atau kultivar/varietas/sub
species (misal : memiliki batang lurus tajuk sempit, tajuk berbentuk lingkaran
tidak simetris, tajuk menyebar, jumlah batang banyak, dan lainnya), dan
(3) metoda untuk produksi tanaman dan cara pengemasan (misal : puteran,
kantong pabrik di atas tanah, cabutan, wadah polibag, dan lainnya), dan
tujuan penanaman (bibit tanaman untuk konservasi atau restorasi, tanaman
muda untuk produksi di persemaian, bahan tanaman untuk tempelan atau
sambungan, penjualan untuk pedagang lain atau perdagangan untuk lanskap
perkotaan).
Praktek pengadaan bibit untuk kawasan perkotaan umumnya
menggunakan wadah bibit yang karung plastik untuk diletakkan di dalam
tanah yang bertujuan untuk meningkatkan kekompakan perakaran dan
memungkinkan bibit tanaman untuk digali kembali dan dipindahkan
dengan diameter gumpalan akar yang lebih kecil dibandingkan dengan
penggalian tanaman yang tumbuh bebas di lapangan. Penyediaan bahan
tanaman berukuran besar dapat dilakukan dengan cara cabutan dan puteran.
Pembuatan bibit cabutan dilakukan terhadap anakan dengan tinggi < 30 cm
dengan cara mengambil anakan secara hati-hati agar tidak merusak sistem
perakarannya dan tidak mengikutsertakan tanah di sekitar perakarannya,
kemudian anakan di tanam dalam polybag ukuran besar untuk proses
pemeliharaan lanjutan sebelum ditanam. Puteran merupakan anakan yang
dipindahkan dari tempat tumbuhnya dengan membawa sebagian tanah yang
ada di sekitar gumpalan akarnya (root ball) agar sistem perakaran anakan tidak
terganggu. Perlakuan ini umumnya dilakukan terhadap anakan yang tumbuh
secara alami dengan tinggi >50 cm dan kemudian ditempatkan dalam polibag
atau bagian perakarannya dibungkus dengan karung, kemudian ditempatkan
di persemaian di bawah naungan/shadding net 70%. Apabila anakan terlalu
tinggi maka dapat ditempatkan di bawah tegakan yang ada di sekitar lokasi
persemaian (Mansur, 2013).

87
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Praktek yang dilakukan di persemaian untuk mempersiapkan bibit


berukuran besar menggunakan dua macam wadah untuk memindahkan bahan
tanaman berupa cabutan atau puteran bibit/semai dan ukuran yang lebih
besar berupa polybag dan karung. Bahan tanaman yang telah dipindahkan
umumnya dibiarkan selama 4 minggu di dalam wadahnya dan terus disiram
air jika diperlukan, kemudian dapat diangkut ke lokasi penanaman. Bahan
tanaman yang masih menunggu untuk ditanam dalam program penanaman
berikutnya maka ditanam sementara di lokasi persemaian dengan wadahnya
(Gambar 19). Beberapa penangkar bibit/bahan tanaman ukuran besar
menyiapkan berbagai jenis tanaman yang banyak diperlukan dalam program
penanaman oleh instansi pemerintah, swasta dan perorangan.
Penggunaan wadah bibit baik dalam bentuk kantong plastik, pot dan
karung plastik yang digunakan di dalam tanah dimaksudkan untuk membatasi
pertumbuhan dan perkembangan akar secara optimal tetapi tanaman
tetap dapat tumbuh normal dan mampu beradaptasi dengan lingkungan
pertumbuhannya jika ditanam di lapangan. Gangguan perkembangan
akar seperti akar melingkar diupayakan untuk tidak terjadi karena akan
menghambat pertumbuhan bibit setelah ditanam dan dapat menyebabkan
tanaman mengalami kematian.

a b

Gambar 19. Bahan tanaman yang berasal puteran bagian akar dan medianya
dibungkus dengan kantong plastik dan karung (a), dan jika belum
digunakan untuk penanaman pada musim hujan berikutnya,
maka ditanam kembali dengan wadahnya di persemaian (b)

88
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

Berdasarkan ketentuan ANSI Z60.1 (2014) dan CNLA (2017), diameter


bibit harus disesuaikan dengan kedalaman minimum dan volume minimum
yang digunakan dalam membenamkan bagian perakaran bibit di dalam tanah
seperti pada Tabel 15.

Tabel 15. Ukuran karung plastik bibit untuk diletakkan di dalam tanah
Diameter Kedalaman minimum Minimum volume
(cm) (cm) (cm3)**
13 10 1.278
20 18 5.768
25 23 11.586
30 25 18.534
36 30 30.431
40 30 39.542
46 36 58.387
50 36 72.086
56 40 99.666
60 40 118.609
Sumber : ANSI Z60.1 (2014); CNLA (2017);
Catatan : ** cm3 x 0,001 = liter; 1.000 cm3 = 1 liter

Untuk bibit cabutan, penyebaran akar minimal adalah sepertiga (33%)


lebih besar dari penyebaran akar dari tanaman sejenis yang ditumbuhkan di
persemaian. Tanaman yang dikumpulkan dengan gumpalan akar (root ball),
minimum ukuran gumpalan akarnya sama besar atau lebih besar dengan
interval/selang ukuran yang yang ditunjukkan pada Tabel 17. Kedalaman
root ball mengikuti rasio jika root ball dengan diameter kurang dari 50 cm,
maka kedalamannya minimumnya adalah 65% dari diameter root ball, dan
root ball dengan diameter lebih dari 50 cm maka kedalaman root ball nya
minimum 60% dari diameter root ball. Cara pengukuran lebar gumpalan akar
dan kedalaman gumpalan ditunjukkan Gambar 20.

89
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 20. Pengukuran kedalaman gumpalan akar (root ball) dari American
Standard for Nursery Stock (ANSI Z60.1 tahun 2014) dan contoh
bagian akar tanaman puteran yang dibungkus dengan karung

Penggunaan wadah bibit puteran untuk jenis-jenis konifer dilihat dari


bentuk tajuknya yang terdiri dari bentuk tajuk kerucut dan bentuk melebar.
Konifer secara keseluruhan terdiri dari 8 famili, yaitu Pinaceae, Araucariaceae,
Cephalotaxaceae, Cassuarinaceae, Cupressaceae, Podocarpaceae, Taxaceae, dan
Taxodiaceae yang meliputi 60 marga. Di Indonesia tercatat tujuh marga, yaitu
Agathis, Araucaria, Dacrydium, Pinus, Podocarpus, Phyllocladus dan Taxus.
Podocarpaceae merupakan famili konifer yang terluas sebarannya di Indonesia.
Beberapa jenis konifer asing yang sudah dicoba di Indonesia adalah Pinus
caribea, Pinus oocarpa, Cupresus dan Cryptomeria. Jenis konifer asing yang
mampu beradaptasi adalah Pinus caribea dan Pinis oocarpa. Konifer yang
tumbuh secara alami di Indonesia meliputi famili Pinaceae, Araucariaceae,
Casuarinaceae dan Podocarpaceae. Konifer yang memiliki tajuk kerucut
termasuk famili Pinaceae yaitu Pinus merkusii, famili Araucariaceae seperti
Agathis dammara dan Agathis borneensis, famili Casuarinaceae seperti cemara
gunung (Casuarina equisetifolia dan Casuarina junghuniana), sedangkan
konifer yang tajuknya melebar termasuk famili Casuarinaceae yaitu cemara
gunung (Casuarina sumatrana) dan famili Podocarpaceae yaitu Podocarpus
imbricatus dan Darydium elatum (Syamsuwida et al., 2003). Penggunaan
karung plastik sebagai wadah bibit puteran (Tabel 16) digunakan untuk jenis-
jenis konifer dengan tajuk berbentuk kerucut, sedangkan wadah bibit puteran
(Tabel 17) digunakan untuk jenis-jenis konifer yang memiliki tajuk melebar.

90
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

Tabel 16. Ukuran gumpalan akar dalam hubungannya dengan tinggi atau
lebar bibit/tanaman konifer untuk tipe tajuk kerucut
Lebar atau tinggi Minimum diameter
Minimum diameter
(bagian mana yang karung plastik untuk
gumpalan akar (cm)
lebih besar) (cm) penggunaan di tanah (cm)
30 20 13
40 25 13
50 30 13
60 35 20
80 40 20
100 45 25
125 50 25
150 50 30
175 60 30
200 70 36
225 75 40
250 80 50
Catatan: modifikasi dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60, 1-2014) dengan
pendekatan ukuran konversi meter (CNLA, 2017)

Tabel 17. Ukuran gumpalan akar tanaman konifer dalam hubungannya


dengan tinggi dan lebar untuk tipe tajuk melebar
Lebar atau tinggi Diameter minimum Minimum diameter
(bagian mana yang gumpalan akar karung plastik untuk
lebih besar) (cm) (cm) penggunaan di tanah (cm)
30 20 13
40 25 13
50 30 20
60 35 20
80 40 25
100 45 25
125 50 30
150 60 30
175 70 40
200 80 45
225 80 50
250 80 50

91
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 17. Ukuran gumpalan akar tanaman konifer dalam hubungannya


dengan tinggi dan lebar untuk tipe tajuk melebar (lanjutan)
Lebar atau tinggi Diameter minimum Minimum diameter
(bagian mana yang gumpalan akar karung plastik untuk
lebih besar) (cm) (cm) penggunaan di tanah (cm)
275 90 55
300 90 55
350 100 60
400 120 75
Catatan: modifikasi dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60, 1-2014) dengan
pendekatan ukuran konversi meter (CNLA, 2017)

CNLA (2017) melakukan penyederhanaan standar sebagai modifikasi


dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60, 1-2014). Gumpalan akar
untuk tipe pohon standar yang tumbuh di lapangan memiliki ukuran yang
bervariasi. Dari berbagai ketinggian kaliper dan besarnya ukuran gumpalan
akar tipe pohon standar ini ditentukan minimum ukuran karung sebagai
wadah bibit puteran yang dapat digunakan dalam membesarkan tanaman di
dalam tanah sebelum digunakan untuk penanaman (Tabel 18).

Tabel 18. Ukuran gumpalan akar hubungannya dengan diameter bibit/


tanaman untuk tipe pohon standar daun lebar yang tumbuh di
lapangan
Diameter Perkiraan Minimum diameter
Diameter bibit/
minimum kedalaman karung plastik untuk
tanaman
gumpalan akar gumpalan akar penggunaan di tanah
(cm)
(cm) (cm) (cm)
20 40 20 20
25 45 23 25
30 50 25 30
35 55 27 36
40 60 30 40
45 65 33 40
50 70 40 46
60 75 38 46
70 80 40 50
80 85 43 50

92
BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN
DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN

Tabel 18. Ukuran gumpalan akar hubungannya dengan diameter bibit/


tanaman untuk tipe pohon standar daun lebar yang tumbuh di
lapangan (lanjutan)
Diameter Perkiraan Minimum diameter
Diameter bibit/
minimum kedalaman karung plastik untuk
tanaman
gumpalan akar gumpalan akar penggunaan di tanah
(cm)
(cm) (cm) (cm)
90 95 48 56
100 105 53 60
110 115 58 80
120 125 63
130 135 68
140 145 73
150 155 78
175 175 88
200 200 100
Catatan : modifikasi dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60, 1-2014) dengan
pendekatan ukuran konversi meter (CNLA, 2017)

Pemindahan bibit cabutan/puteran di persemaian dilakukan dengan


dengan memperhatikan selang rata-rata tinggi bibit dan kemungkinan
sebaran akarnya. Bibit ukuran besar (Tabel 19) umumnya diperuntukkan
untuk penanaman pada lanskap perkotaan.

Tabel 19. Keterkaitan diameter bibit/tanaman, tinggi dan sebaran akar untuk
cabutan/puteran di persemaian
Diameter bibit/tanaman Selang rata-rata tinggi Minimum sebaran akar
(cm) (cm) (cm)
1,3 152 - 183 30
1,9 183 - 244 41
2,5 244 - 305 46
3,2 244 - 305 51
3,8 305 - 366 56
4,5 305 - 366 61
5,1 366 - 427 71
6,4 366 - 427 81
7,6 427 - 488 97
Sumber : dimodifikasi dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60.1-2014)

93
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Secara umum, kriteria bibit berukuran besar unuk tujuan penanaman


lanskap perkotaan harus mempertimbangkan morfologi bibit/tanaman
(tinggi, diameter dan lebar tajur) yang dihubungkan dengan besarnya
diameter gumpalan akar (root ball) dan kedalaman gumpalan akar.
Di Indonesia, keriteria bibit untuk tujuan khusus seperti lanskap perkotaan
belun distandarkan sehingga upaya untuk menginisiasi program tersebut
perlu dilakukan.

94
BAB V.
KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA

A. Keberhasilan Penanaman
Penanaman, secara umum, ditujukan untuk pembangunan hutan
tanaman dengan jenis-jenis cepat tumbuh (umumnya eksotik) hingga
untuk menciptakan tipe dan struktur hutan yang mendekati alami dengan
menggunakan jenis-jenis asli (native species) (Lee et al., 2011). Keberhasilan
penanaman dapat dikaji dari keberhasilan pembangunan tanaman awal
hingga mencapai dewasa dan realisasi manfaat terhadap lingkungan, sosial
dan ekonomi dari keberadaan hutan yang dibangun tersebut (Reay &
Norton, 1999). Hal ini memberi indikasi bahwa pengukuran keberhasilan
penanaman memerlukan beberapa tahapan yang berbeda hingga manfaat
sosial ekonominya. Lee et al. (2011) membuat model konseptual untuk
mengkaji keberhasilan penanaman seperti pada Gambar 21.
Perencanaan untuk penanaman dan pengkajian keberhasilannya
merupakan suatu hal yang komplek. Ada beberapa tahapan dalam penanaman
yang perlu dipertimbangkan, beberapa tujuan dan multi indikator dan
pengendali. Model konseptual yang dikembangkan Lee et al. (2011) terdiri dari
4 kelompok indikator, meliputi indikator keberhasilan penanaman, indikator
keberhasilan pertumbuhan tanaman, indikator keberhasilan lingkungan, dan
indikator keberhasilan sosial ekonomi. Indikator-indikator tersebut tidak
berdiri sendiri, namun saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 21. Model konseptual untuk mengkaji keberhasilan penanaman


(reforestation) (Lee et al., 2011)

96
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Setiap kelompok indikator dipengaruhi oleh banyak pengendali


keberhasilan. Pengendali keberhasilan dikelompokkan ke dalam pengendali
teknis/biofisik, pengendali sosial ekonomi, pengendali kelembagaan,
kebijakan dan pengelolaan, serta karakteristik kegiatan/proyek penanaman.
Ada keterkaitan antar pengendali yang satu dengan pengendali lainnya
sehingga membentuk suatu model konseptual untuk mengkaji keberhasilan
penanaman.
Pada tahap awal, evaluasi keberhasilan penanaman umumnya diukur
dengan persen hidup dan pertumbuhan tanaman. Keberhasilan awal tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kondisi lingkungan/tapak penanaman,
interaksi biotik dan karakteristik morfofisiologi bibit (Trubat et al., 2011).
Menurut Hirons dan Percival (2010), keberhasilan penanaman dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti ekofisologi tanaman, kualitas bibit, penanaman/
pemeliharaan, dan lingkungan perakaran.

B. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan
Penanaman
Berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan penanaman
diformulasikan dalam bentuk model oleh Hirons dan Percival (2010). Model
tersebut meliputi 4 faktor penting, yaitu ekofisiologi tanaman, kualitas
bibit, penanaman/pemeliharaan, dan lingkungan perakaran (Gambar 22).
Ekofisiologi pohon mempertimbangkan potensi genetik pohon untuk ditanam
di lingkungan dengan karakteristik jenis tertentu yang dapat mengurangi
dampak akibat stress (cekaman) tertentu. Mutu bahan tanaman atau bibit
memegang peranan yang penting pada setiap proyek penanaman. Penanaman
dan praktek paska penanaman adalah dasar dari keberhasilan adaptasi dan
pertumbuhan bahan tanaman atau bibit, dengan memperhatikan lingkungan
perakaran untuk memastikan ketersediaan hara dan simpanan. Kegagalan
dalam mengantisipasi salah satu dari semua faktor ini akan meningkatkan
kematian bahan tanaman dalam skema penanaman pohon. Beberapa tekanan
abiotik yang mempengaruhi keberhasilan penanaman digambarkan dalam
uraian pada Tabel 20.

97
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Gambar 22. Model faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penanaman


(Hirons & Percival, 2010)

Tabel 20. Beberapa tekanan abiotik yang mempengaruhi keberhasilan


penanaman
Iradiasi tinggi (fotoinhibition, Tergenang (waterlogging - root
photooxidation) deoxygenation)
- Herbisida, pestisida, fungisida - Hujan asam, kabut asam dan embun
asam pagi
- Panas (suhu meningkat) - Persaingan untuk cahaya, air, nutrisi

- Polutan udara (SO2, NO, NO2, - pH asam tanah dan air


NOx)
- Temperatur rendah (dingin, - Kekurangan garam (Na2Cl)
embun beku)
- Ozon (O3) dan asap fotokimia - Kelebihan pasokan nitrogen (kering
dan basah deposit NO3)

98
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Tabel 20. Beberapa tekanan abiotik yang mempengaruhi keberhasilan


penanaman (lanjutan)
Iradiasi tinggi (fotoinhibition, Tergenang (waterlogging - root
photooxidation) deoxygenation)
- Kekeringan (masalah - Logam berat
pengeringan)
- Pembentukan spesies oksigen - Meningkatnya radiasi UV
yang sangat reaktif (O2, radikal,
O2 dan OH, H2O2)
- Kekurangan mineral alami - Kenaikan kadar CO2 (perubahan iklim
global)
- Photooxidants
(peroxyacylnitrates)
Sumber : Hirons dan Percival (2010)

1. Ekofisiologi tanaman
Setiap jenis tanaman memiliki kapasitas yang menjadi sifat pertumbuhan
dan perkembangannya. Kondisi ini berhubungan dengan susunan komplek
morfologi, anatomi dan fisiologi masing-masing tanaman. Ketahanan bibit/
tanaman sangat dipengaruhi oleh (termasuk iklim mikro), namun sejumlah
karakter bibit dapat mendukung ketahanan bibit terhadap lingkungan
penanaman.
a. Iklim mikro
Iklim berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan pohon secara umum.
Apabila keputusan tentang pemilihan jenis tanaman untuk tapak
tertentu tidak mempertimbangkan data tentang kesesuaian iklim, maka
pertumbuhan tanaman di lapangan mungkin tidak optimum. Iklim yang
kurang sesuai pada saat musim tanam, seperti suhu dan radiasi matahari
dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Jenis yang tumbuh sangat
baik di wilayah tertentu, harus beradaptasi terhadap cekaman yang berat
pada kondisi iklim yang berbeda di bagian wilayah lain (Percival &
Hitchmough, 1995).
Permasalahan iklim bisa lebih buruk di lanskap perkotaan dimana
beberapa mikrolimat (zona lingkungan iklim lokal yang berbeda dari
daerah sekitarnya) mungkin ada dalam jarak sangat pendek. Iklim mikro
bisa terbentuk di dekat danau atau tampungan air yang besar yang

99
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

bisa mendinginkan lingkungan sekitar, atau di daerah perkotaan yang


sangat berat dimana bata, beton dan aspal menyerap energi matahari
dan memancarkan panas ke sekitarnya. Pertimbangan dari kondisi
lingkungan yang tepat di mana jenis-jenis tanaman itu akan ditanam
merupakan kriteria penting untuk seleksi jenis tanaman atau pohon.
b. Toleransi pohon terhadap tapak penanaman
Toleransi terhadap tapak penanaman sangat bervariasi antara genus yang
berbeda. Alasan perbedaan toleransi ini sangat kompleks dan ada yang
tidak pernah sepenuhnya dapat dijelaskan, meskipun beberapa faktor
yang menonjol telah diidentifikasi. Kelembapan dan suhu tanah paling
berpengaruh dalam menentukan periodisitas pertumbuhan akar, namun
pada kenyataannya banyak faktor lain yang terlibat (Eissenstat & Yanai,
2002).
Jenis pohon dengan sistem akar berserat (fibrous) yang memiliki lebih
banyak sistem akar bercabang lebih mudah untuk penanaman daripada
jenis tanaman dengan sistem akar kasar (Struve, 1990). Meskipun variasi
antar jenis selalu ada, setidaknya enam atau lebih akar lateral harus ada
saat ditanam, dan jumlah akar lateral yang kurang akan mempengaruhi
tingkat ketahanan hidup bibit (Struve, 1990). Demikian juga pohon
yang memiliki adaptasi fisiologi pada daerah tergenang (waterlogging),
seperti pembentukan aerenchyma (ruang berisi gas interselular) di korteks
akar, pengembangan akar adventif dan pembesaran lentisel, katabolisme
karbohidrat anaerobik dan oksidasi dari rhizosfer, cenderung memiliki
ketahanan hidup yang lebih tinggi daripada jenis yang tidak memiliki
karakter tersebut. Pohon dengan anatomi tertentu yang terkait dengan
kekeringan (kutikula yang mengandung lilin atau waxy tebal, kehadiran
rambut di permukaan daun, stomata cekung yang terletak di bagian
bawah daun) cenderung lebih tinggi keberhasilannya dalam penanaman,
khususnya pada daerah kering, dimana defisit air dianggap sebagai salah
satu faktor yang menyebabkan kegagalan bahan tanaman atau bibit yang
baru ditanam (Watson & Himelick, 1997; Pallardy, 2008).
c. Fenologi
Fenologi berhubungan dengan pola perkembangan tanaman yang
berulang sebagai respon terhadap iklim dan lingkungan (Larcher, 2003).
Pertimbangan pemilihan pohon pada tahap perkembangannya akan

100
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

menentukan keberhasilan pertumbuhannya. Bibit tanaman yang ditanam


di awal musim hujan cenderung bertahan dan lebih tinggi tingkat
kelangsungan hidupnya dari pada yang ditanam kemudian di musim
kemarau. Ketahanan bibit ini berhubungan juga dengan kandungan
karbohidrat dalam jaringan akar yang mendukung kelangsungan hidup
dan pertumbuhan berikutnya. Pertumbuhan akar memerlukan energi
yang tinggi yang diperoleh dari cadangan karbohidrat (Martinez-
Trinidad et al., 2009c). Total tingkat energi pohon bisa turun 40%
sampai 70% pada kondisi awal penanaman yang tidak menguntungkan
bagi tanaman untuk tumbuh dan beradaptasi, yang juga mengurangi
aktivitas fotosintesis selama perkembangan tunas dan tumbuhnya daun
awal pada musim hujan (Martinez-Trinidad et al., 2009a, 2009b).

2. Kualitas tanaman
Bahan tanaman atau bibit bermutu baik harus tersedia untuk penanaman
jika ingin mencapai keberhasilan penanaman. Mekanisme persemaian, seperti
perlakuan persemaian dan spesifikasi bahan tanaman, berperan penting dalam
mengamankan stok berkualitas baik. Prosedur penanganan bibit sangat
penting selama transportasi dan pemindahan untuk melindungi bahan
tanaman dari kerusakan.
a. Spesifikasi pohon
Ada variasi yang cukup besar dalam pelaksanaan pembibitan tanaman.
Pembeli bibit harus belajar untuk mengevaluasi pembibitan dan jika
perlu mendiskriminasikan penangkar/penjual bibit yang bibitnya
mengalami kegagalan tumbuh di lapangan, mencatat penangkar/penjual
bibit dan orang-orang yang secara konsisten memberikan stok berkualitas
tinggi. Beberapa pakar menyarankan pembuatan panduan penggunaan
bibit tanaman dengan spesifikasi yang tepat merinci karakter bibit
yang dibutuhkan pada saat pembelian. Di Indonesia, jaminan kualitas
bibit yang akan ditanam dilakukan dengan skema sertifikasi mutu bibit
(Sudrajat, 2010a)
b. Praktek pembibitan
Praktek pembuatan bibit di persemaian sangat mempengaruhi kualitas
bibit yang dihasilkan. Pemilihan wadah dan media juga sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit. Praktek dan metode yang

101
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

benar, penyiraman, penyiangan, pemupukan dan aklimatisasi bibit, sangat


penting untuk menghasilkan tanaman atau pohon dengan kualitas baik.
Pemangkasan akar jika dilakukan secara rutin, dapat mempertahankan
sistem perakaran yang kompak (Watson & Sydnor, 1987). Hal ini harus
diperhatikan untuk memperbaiki kelangsungan hidup bibit atau tanaman
setelah ditanam (Gilman et al., 2002) walaupun ada yang memperkirakan
pengaruh yang kecil terhadap pertumbuhan akibat pemangkasan akar
(Harris & Fanelli, 1998).
Bibit yang tumbuh dalam wadah terlalu lama (kadaluarsa) dapat
menimbulkan kerusakan pada akar, dan akar dapat tumbuh melingkar
dan bertahan dalam bentuk seperti itu dan menyebabkan tanaman/pohon
tumbuh tidak stabil dan terjadi hambatan dalam transportasi bahan
makanan (Watson & Himelick, 1997). Pembentukan akar berputar juga
terkait dengan stimulasi akar lateral sebagai respons terhadap pemutusan
akar utama (Watson et al., 1990). Wadah bibit yang didesain untuk
mendukung ketersediaan udara pada proses pemangkasan akar lateral
dapat mengurangi kerusakan akar dan masalah pertumbuhan akar
berputar (Single & Single, 2010). Wadah bibit dari plastik putih yang
memungkinkan masuknya cahaya juga dapat mengurangi akar tumbuh
berputar (Grimshaw & Bayton, 2010).
Penguatan bibit dapat dilakukan dengan pergeseran jarak antar bibit,
pengurangan naungan secara bertahap hingga tanpa naungan, dan
pemangkasan akar yang tembus wadah bibit dan daun bagian bawah. Jarak
yang dekat antar bibit atau tanaman di persemaian dapat mempengaruhi
kondisi kekokohan bibit. Bibit yang terlalu rapat cenderung lebih lemah
karena kurang mendapatkan sinar matahari terutama pada bagian
batangnya sehingga proses lignifikasi lebih lambat. Naungan yang
berlebih akan mengurangi tingkat fotosintesis. Kerugian yang timbul
dari praktek penanaman ini adalah kurangnya ketersediaan karbon untuk
pertumbuhan dan penyimpanan, yang akan mempengaruhi keberhasilan
penanaman (Sellmer & Kuhns, 2007). Pemangkasan daun bagian bawah
bibit akan meningkatkan kekokohan bibit karena cahaya masuk hingga
ke bagian batang bibit.

102
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

c. Penanganan bibit
Pada saat transportasi bibit/bahan tanaman ke lokasi penanaman harus
selalu menggunakan kendaraan tertutup untuk melindungi akar dari
angin dan suhu yang ekstrem. Bibit/bahan tanaman harus disiram
sebelum pengiriman dan idealnya pada bagian gumpalan akar diperiksa
kelembabannya pada saat kedatangan dengan menggunakan alat
pengukur kelembaban tanah. Lokasi bibit atau bahan tanaman harus
dijaga di bawah naungan dan disiram minimal dua kali sehari jika suhu
≥ 24°C. Tanaman harus dilindungi dari suhu ekstrem.

3. Lingkungan perakaran
Solotaroff (1911) menyatakan keberhasilan penanaman bibit dan
pertumbuhannya tergantung pada sifat dan persiapan tanah. Pernyataan ini,
dari waktu ke waktu, terbukti benar. Tanah menyediakan media penting
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui penyediaan air
dan mineral/hara dan bertindak sebagai substrat untuk berdirinya tanaman
(Kozlowski et al., 1991). Tanah sangat bervariasi, tanah alami yang sehat
berhubungan dengan keseimbangan bahan padat, udara dan air yang memiliki
komposisi yang khas. Partikel batuan (mineral matter) dapat mencapai 45%,
bahan organik 5%, sedangkan udara dan air masing-masing menempati 20-
30% volume tanah (Brady & Weil, 2008). Bahan padat menempati labirin
ruang pori-pori yang pada gilirannya menyediakan aerasi dan menahan air di
dalam profil tanah. Tekstur tanah, struktur tanah dan biota tanah merupakan
karakteristik lebih lanjut yang mengendalikan fungsi tanah yang penting
untuk pertumbuhan tanaman.
Tanah pada lahan-lahan terdegradasi memiliki karakteristik yang sangat
bervariasi dan rendah kesuburannya (Craul, 1999). Keragaman kondisi tanah
ini membutuhkan profesional dan praktisi yang terlibat dalam penanaman
pohon. Tingkat pengetahuan yang mendalam diperlukan berkaitan dengan
pengembangan jenis-jenis pohon pada kondisi tanah yang berbeda. Pada
tanah yang padat, ketahanan fisik akar meningkat, agregat tanah rusak dan
ruang pori berkurang. Ini mengurangi aerasi tanah, yang merugikan dan
mempengaruhi secara biologis respirasi akar dan biota tanah, yang dapat
berdampak terhadap siklus dan ketersediaan hara. Modifikasi struktur tanah

103
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

juga mengubah sifat hidrolik dan secara nyata memperlambat pergerakan air
melalui tanah yang merepresentasikan defisit air dan genangan air sebagai
masalah potensial (Kozlowski, 1999). Secara umum, sebagian besar akar tidak
dapat menembus tanah lembap dengan kerapatan bulk lebih besar dari 1,4-
1,6 g cm-3 inci tanah, bertekstur halus dan 1,75 g cm-3 bertekstur lebih kasar
(Kozlowski, 1999; Brady & Weil, 2008).
Pohon yang tumbuh pada tanah yang tidak padat memiliki penampilan
lebih baik dibandingkan pohon-pohon pada tanah yang padat hampir pada
semua parameter yang diukur. Hal ini memerlukan aplikasi teknologi
pengolahan lahan yang mampu memperbaiki struktur tanah, sehingga
penanaman ke depan, khususnya untuk daerah-daerah marjinal, dapat lebih
berhasil.

4. Praktek penanaman
Seringkali jenis pohon yang tepat telah dipilih untuk lokasi yang sesuai,
bibit tanaman yang bermutu baik sudah dipersiapkan dari persemaian dan
lingkungan perakaran sudah dinilai mampu menyediakan sumber daya untuk
perkembangan pohon, namun praktik penanaman dan pemeliharaan paska
tanam yang tidak memadai menyebabkan kegagalan penanaman. Praktek yang
baik seharusnya dilakukan melalui manajemen yang kuat dan penggunaan
yang ekstensif dari kriteria bibit tanaman yang memberikan ekspektasi yang
tepat dari semua operasi penanaman dan paska tanam.
Penanaman umumnya menggunakan bibit dalam wadah, seperti polybag,
sehingga sangat penting plastik polybag tersebut tidak tertanam ke dalam
tanah. Lubang tanam disesuaikan dengan ukuran bibit dan besarnya media
bibit. Penambahan pupuk dasar yang berupa kompos atau pupuk kandang
sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas tapak penanaman. Pada saat
penanaman, setelah pupuk dasar dimasukkan ke lubang tanam (minimal dua
minggu sebelum penanaman), tanah lapisan atas dimasukan ke lubang tanam,
kemudian bibit dengan hati-hati dikeluarkan dari wadahnya dan ditanam.
Tanah bekas galian lubang tanam selanjutnya dimasukan ke lubang tanam
dan dipadatkan secara perlahan dan bibit harus tetap berdiri tegak. Timbunan
tanah di sekitar bibit harus lebih tinggi dari pada tanah di sekitarnya.

104
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Pada kasus penanaman di wilayah perkotaan, praktik dasar penanaman


bibit tanaman antara lain (Watson & Himelick, 1997; Harris et al., 2004):
a. Menilai perakaran atau gumpalan akar untuk melihat potensi cacat,
bagian atas akar yang posisinya dekat dengan permukaan tanah
tidak boleh cacat beberapa sentimeter, batang utama dari akar harus
terlihat, dan akar yang melingkari sepertiga dari gumpalan akar
harus dihilangkan.
b. Siapkan lokasi penanaman, area dua sampai tiga kali diameter
gumpalan akar harus digemburkan, dan lobang tanam seharusnya
tidak lebih dalam dari gumpalan akar yang ada. Di daerah perkotaan
persiapan lokasi penanaman bisa termasuk tambahan infrastruktur
seperti lobang tanam, sistem irigasi dan aerasi serta pengaturan
perakaran.
c. Tanam bahan tanaman/pohon sehingga gumpalan akar atau transisi
akar-batang sejajar dengan tanah yang ada. Tambahkan tanah
secara bertahap sambil memastikan pohon dipegang tegak dan
hati-hati jangan sampai menyebabkan pemadatan berlebihan saat
mengencangkan. Penyiraman dilakukan setelah penanaman pada
area sekitar gumpalan akar dan sekitar tanaman sampai kondisi
tanah terlihat jenuh.
Salah satu kesalahan umum dalam penanaman pohon adalah bahwa
gumpalan akar ditanam terlalu dalam atau terlalu dangkal, keduanya
dapat menyebabkan permasalahan serius. Pada beberapa jenis, penanaman
7-8 cm di atas grade dapat memberikan beberapa keuntungan untuk
pendirian tanaman. Ini juga sangat penting untuk memastikan bahwa akar
tidak dibiarkan mengering pada tahap apapun selama penanganan atau
penanaman. Menanam bibit pohon sedalam 7-8 cm di bawah gumpalan
akar, dapat mengakibatkan kematian 30-50% pada beberapa jenis tanaman.
(Arnold et al., 2007), karena kerusakan permanen pada sistem perakaran yang
meningkatkan kemungkinan kegagalan penanaman.
a. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman terdiri dari beberapa kegiatan yang meliputi
pengendalian gulma, pendangiran, pemupukan, wiwilan, pemangkasan
cabang (pruning), dan pengendalian hama penyakit.

105
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

b. Pemeliharaan rhizosfer
Rhizosfer adalah wilayah tanah yang berhubungan erat dengan akar
tanaman dan kesehatan tanaman. Ini wilayah yang rumit terkait
hubungan tanaman dengan komunitas organisme yang penting untuk
kesehatan tanah (Buée et al., 2009). Meski sulit untuk secara langsung
mempengaruhi kondisi sebenarnya dari rhizosfer, intervensi diperlukan
untuk mendukung ekologi tanah dan struktur tanah yang baik, yang akan
meningkatkan kesehatan rhizosfer dan secara bersamaan memperbaiki
kinerja pohon. Pemberian mulsa dapat meningkatkan keberhasilan
penanaman karena mulsa bermanfaat untuk meminimalkan fluktuasi
suhu dan melembapkan tanah, menekan gulma, meningkatkan nutrisi
tanah, mencegah erosi tanah akibat hujan lebat, mengatur pH tanah dan
kapasitas tukar kation (KTK) serta mencegah berkembangnya penyakit
tanaman (patogen), meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan aerasi
tanah. Penggunaan mulsa organik seperti serasah, jerami atau bahan
lainnya lebih disarankan untuk pertumbuhan akar dan pohon yang lebih
baik (Chalker-Scott, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mulsa
murni dapat memiliki pengaruh substansial pada tingkat kelangsungan
hidup dan pertumbuhan pohon (Percival et al., 2009). Mulsa harus
berukuran tebal antara 5 - 10 cm dan diletakkan dari permukaan tanah
ke bagian dalam tanah. Jika ini tidak praktis, minimum lingkaran mulsa
harus 0,3 m untuk pohon kecil, 1 m untuk pohon sedang dan 3 m untuk
pohon besar. Mulsa tidak diposisi dekat dengan batang karena ini akan
menimbulkan kelembapan yang berlebih di sekitar batang dan dapat
menimbulkan penyakit.
Defisit air mempengaruhi hampir semua aspek pertumbuhan dan
perkembangan bibit (Pallardy, 2008). Defisit air pada bibit yang baru
ditanam hampir selalu dikaitkan dengan kekeringan periodik yang dapat
merusak sistem perakaran pada volume tanah yang terbatas, dan seringkali
terjadi pada lokasi penanaman. Defisit air yang parah mengakibatkan tidak
dipenuhinya fungsi transpirasi sebagai akibat dari hilangnya peranan akar
selama penanaman dan terbatasnya akses terhadap air tanah. Defisit air
dianggap sebagai penyebab utama kegagalan bibit yang baru ditanam dengan
tidak adanya turgor daun, penutupan stomata, menurunnya fotosintesis dan

106
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

berkurangnya fungsi metabolisme. Di daerah yang baru ditanam, bibit pohon


yang tidak diberi pengairan awal sangat mengandalkan pengendapan. Jika
pada saat penanaman tidak cukup tersedia air hujan maka penanaman bisa
gagal karena terganggunya regenerasi akar baru. Defisit air internal meningkat
karena transpirasi air yang berlebihan dan penyerapan air dari tanah.
Karakteristik tanah yang paling penting untuk dievaluasi adalah potensi
matrik (potensi air tanah) yang biasanya dinilai menggunakan tensiometer.
Setiap tanah memiliki kelembapan individu masing-masing yang karakteristik
pelepasan airnya ditentukan oleh faktor - faktor seperti tekstur, bahan induk
dan kandungan bahan organik. Bila kandungan volumetrik tanah konsisten
pada jenis tanah berbeda misalnya, tanah berpasir dengan isi air volumetrik
5% yang tersedia bagi pohon, sedangkan tanah lempung (loam) tidak akan
berisi air setara itu, kecuali potensi matrik tanah yang sesuai diketahui
(Kramer & Boyer, 1995). Faktor selanjutnya adalah variasi kemampuan jenis
pohon tertentu untuk menahan periode kekurangan air dan banjir. Niinemet
dan Valladares (2006) memberikan indeks toleransi yang dapat digunakan
untuk membantu penilaian jenis yang relatif toleran terhadap kekeringan dan
tergenang/terendam air. Pengamatan terhadap variasi toleransi kekeringan
juga diamati pada kultivar berbeda dari jenis yang sama (Fini et al., 2009).
Sebelum penanaman langkah antisipasi yang dilakukan adalah analisis tanah
untuk memperhatikan pH, defisiensi makro dan mikronutrien, kandungan
logam berat dan salinitas. Menanam pohon pada tanah dengan pH yang
tidak sesuai, atau kadar logam berat yang tinggi, hanya akan menimbulkan
kegagalan (Percival, 2007).
Tanah mengandung keasaman yang bervariasi tergantung bahan-bahan
batuan dimana tanah tersebut terbentuk, jumlah curah hujan yang mengenai
tanah, kedalaman tanah dan jenis vegetasi yang tumbuh di tanah. Tingkat
keasaman atau kebasaan dari tanah disebut reaksi tanah atau pH (potensi
ion hidrogen, H+). Secara umum pH adalah refleksi dari kesuburan tanah
secara alami. pH tanah diekspresikan skala 0 – 14. Tanah <7,0 diperkirakan
sebagai tanah asam, kalau lebih dari 7,0 disebut sebagai tanah basa, dan pH
7,0 sebagai netral. pH netral merupakan tanah murni dan bersih. pH 7,0
mengandung 10 kali ion hidrogen (ion H+) dari pH 6,0 dan 100 kali dari pH
5,0 (Tabel 21).

107
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 21. Tingkat keasaman tanah


Besaran pH Keterangan
<4,5 Keasaman yang ekstrim
4,5 – 5,0 Keasaman yang kuat
5,6 – 6,0 Keasaman sedang
6,1 – 6,5 Keasaman sedikit
6,6 – 7,3 Netral
7,4 – 7,8 Sedikit basa
7,9 – 8,4 Basa sedang
8,5 – 9,0 Basa kuat
Sumber : Nancy Young. Matching trees to planting site. USAID/USDA Natural Resources
Conservation Centre.

pH tanah mempengaruhi larutnya mineral atau nutrisi untuk kesehatan


dan pertumbuhan bibit pohon. Sebelum bibit dapat menggunakan nutrisi
dari tanah, nutrisi harus larut dalam larutan tanah dan tersedia untuk
penyerapan oleh akar. Sebagian besar mineral dan nutrisi lebih cair dan
tersedia dalam tanah asam dibandingkan dengan tanah netral atau tanah yang
basa. Kandungan tanah pH <6,0 adalah Ca, Mg, P, Mb. Tanah asam ph
<4,0 umumnya mengandung Al dan Mn. Tanah basa pH >7,0 umumnya
mengandung Fe, Mn, Zn, Co, Br. pH mempengaruhi pertumbuhan pohon
khususnya pada aktivitas mikrooraganisme yang menguntungkan. Bakteri,
jamur dan mikroba membantu proses dekomposisi bahan organik yang
mengalami kesulitan terurai dalam tanah yang asam. Ini mencegah bahan
organik terurai, hasilnya akumulasi bahan organik dan terikatnya nutrisi,
khususnya nitrogen yang terdapat dalam bahan organik.
Tekstur tanah yang meliputi pasir, lempung ke tanah liat akan
menentukan jumlah air dan nutrisi yang tersedia untuk pohon. Jenis tanah
meliputi membentang rentang, dan setiap kombinasi di antaranya. Tanah
berpasir mudah kehilangan air, cenderung mudah mengering dan rendah
kandungan nutrisinya. Tanah liat cenderung lebih tinggi nutrisi, tetapi lebih
basah karena menahan air lebih banyak. Tanah lempung adalah kombinasi dari
pasir, liat, dan tanah lempung, mengandung nutrisi yang cukup dan kapasitas
penampungan airnya bervariasi, tergantung pada besarnya kandungan
masing komponen lempung, pasir, dan bahan organik. Sebagian besar jenis
pohon menyesuaikan untuk tumbuh dalam kondisi tanah tertentu, sehingga

108
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

sebagian akan tumbuh dengan baik di tanah berpasir sementara yang lain
lebih menyukai tanah liat. Survei dan peta tanah di daerah dapat memberi
gambaran jenis tanah yang ada di lokasi tertentu, tetapi informasinya mungkin
sangat umum, sehingga analisis tanah untuk mengetahui kondisi fisik dan
kimia tanah yang terkait dengan kesuburannya harus dilakukan (Wisconsin
DNR Forestry Nursery, 2008).
Sebelum penanaman skala besar, contoh tanah harus dianalisis kandungan
nutrisi tanahnya dan setiap kekurangan nutrisi diperbaiki dengan pemupukan
yang tepat. Pohon yang ditanam di tanah kering yang mengandung air
dan ketersediaan nutrisi yang memadai tidak perlu disuburkan. Menurut
beberapa penelitian, pertumbuhan tanaman sampai besar bisa diatur dengan
tingkat nutrisi dalam pupuk seperti nitrogen (N) yang diidentifikasi sebagai
makronutrien yang memiliki pengaruh terbesar (Zandstra & Liptay, 1999).
Pertumbuhan akar pohon meningkat secara eksponensial dengan ketersediaan
N tanah (Gilbertson et al., 1985). Peneliti di Arboretum Morton di Amerika
Serikat menyimpulkan bahwa aplikasi granular N meningkatkan kerapatan
akar Gleditsia triacanthos var. Inermis dan Quercus palustris dibandingkan
dengan granular potassium dan pupuk fosfor (Watson,1994), walaupun
dari hasil penelitian lain yang mempelajari pengaruh pupuk N terhadap
perubahan rasio akar terhadap tunas menunjukkan sedikit atau tidak ada
dampak pada stimulasi akar (Hari & Harris, 2007). Hasil ini konsisten
dengan hasil penelitian lain (Zainudin et al., 2003; Day & Harris, 2007)
yang menggunakan Azadirachta excelsa, Mimusops elengi, Hopea odorata,
Pseudoacacia menziesii, Rubro acer, Liriodendron tulipifera, dan Tilia cordata
sebagai spesies uji.

Tabel 22. Aspek pengendali biofisik dan teknis yang mempengaruhi


keberhasilan rehabilitasi lahan dan hutan
Aspek pengendali Keterangan
Kesesuaian jenis dan Kesesuaian jenis dan lahan yang rendah dapat
lahan menyebabkan tingginya tingkat kematian dan
pertumbuhan bibit jelek.
Pemilihan jenis Pemilihan jenis tanaman yang sesuai untuk kehidupan,
tanaman memberikan manfaat lingkungan merupakan kunci
dari keberlanjutan pembangunan hutan dalam jangka
panjang.

109
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 22. Aspek pengendali biofisik dan teknis yang mempengaruhi


keberhasilan rehabilitasi lahan dan hutan (lanjutan)
Aspek pengendali Keterangan
Persiapan lahan Kegagalan tanaman pada masa lalu telah memperlihatkan
bahwa persiapan lahan merupakan faktor penting yang
menentukan persen hidup dan kinerja pertumbuhan
tanaman.
Kualitas benih dan Kualitas fisiologis benih dan bibit mempengaruhi
bibit keberhasilan penanaman dan laju pertumbuhan
selanjutnya.
Waktu penanaman Penanaman bibit pada waktu yang tepat merupakan hal
yang krusial yang akan berpengaruh langsung terhadap
persen tumbuh bibit di lapangan.
Kapasitas teknik Meskipun menghadapi banyak masalah teknis,
pelaksana pemerintah merasa kompeten secara teknis, sedangkan
pelaku lainnya merasa kapasitasnya kurang secara teknis
dan memerlukan dukungan.
Silvikultur setelah Pemeliharaan bibit yang baru ditanam di lapangan
penanaman merupakan kegiatan krusial yang berpengaruh
terhadap persen hidup bibit dan keberlanjutan inisitif
pembangunan hutan.
Kualitas tapak Kualitas tapak merupakan kombinasi faktor iklim,
geologi, dan edafik yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman pada lokasi tertentu.
Sumber : Lee et al., 2011

C. Sistem Dokumentasi dan


Informasi untuk Meningkatkan
Keberhasilan Penanaman
Sistem informasi atau dokumentasi benih dan bibit sangat penting untuk
mendukung keberhasilan penanaman. Sekarang ini, secara umum, bibit yang
beredar untuk penanaman tidak memiliki dokumentasi yang baik, dari mulai
benih hingga menjadi bibit siap tanam. Meskipun sudah ada peraturan tata
usaha benih dan/atau bibit tanaman hutan (Peraturan Dirjen Rehabilitasi

110
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.14/V-PTH/2007) dan SNI 7516:2008


Dokumentasi benih dan bibit tanaman hutan, namun aplikasi dari sistem
tersebut belum berjalan dan tentunya perlu perbaikan sistem yang menyeluruh.
Secara umum, ada dua informasi yang sangat penting dalam hubungannya
dengan keberhasilan penanaman, yaitu informasi produksi bibit di persemaian
dan informasi tapak penanaman. Kedua informasi tersebut didukung dengan
sistem zona benih yang menerangkan kesesuaian antara kondisi agroklimat
sumber benih dengan lokasi penanaman. Bila informasi dan perangkat tersebut
digunakan secara optimal, maka keberhasilan penanaman akan meningkat.

1. Informasi produksi bibit


di persemaian
Teknik produksi pembibitan sangat mempengaruhi kualitas bibit (Landis
1989; Dumroese et al., 2008). Memberikan informasi lengkap tentang semua
langkah yang terlibat dalam produksi pembibitan bibit sangat penting untuk
menguji apakah prosedur ini mungkin berpengaruh pada kualitas bibit. Hal-
hal yang harus dideskripsikan secara detail dalam sistem produksi bibit adalah
bahan tanaman, penanganan benih, kondisi pertumbuhan bibit, perlakuan
persemaian dan faktor-faktor lainnya (Tabel 23).

Tabel 23. Informasi pembuatan bibit di persemaian yang harus diketahui


sebelum penanaman
Tahapan pembuatan
Keterangan
bibit di persemaian
Bahan tanaman  Nama jenis (spesies)
 Asal benih (meliputi provenansi, tempat
pengumpulan benih dan informasi lainnya yanng
relevan dengan kegiatan pengumpulan benih)
Penanganan benih  Penyimpanan benih
 Protokol seleksi benih
 Kondisi perkecambahan

111
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Tabel 23. Informasi pembuatan bibit di persemaian yang harus diketahui


sebelum penanaman (lanjutan)
Tahapan pembuatan
Keterangan
bibit di persemaian
Kondisi pertumbuhan  Lokasi persemaian (koordinat)
bibit  Kerapatan semai
 Karakteristik fisikokimia tanah persemaian dan
media pertumbuhan
 Konfigurasi spasial (blok persemaian)
 Tanggal penaburan
 Notasi/penandaan persediaan bibit
 Tipe dan ukuran wadah
Perlakuan persemaian  Intensitas cahaya (naungan)
 Perlakuan pemupukan (tipe pemupukan,
formulasi pupuk, frekwensi dan dosis
pemupukan)
 Tingkat penyiraman
Faktor-faktor lainnya  Pemangkasan (pruning) akar dan tunas/daun
 Penggunaan zat pengatur tumbuh
 Inokulasi mikoriza
Sumber: Andivia et al. (2018)

Nama jenis harus diambil dari daftar taksonomi yang diterima secara luas
dan tersedia, seperti daftar tanaman (http: //www.theplantlist.org/), jika tidak,
akan sulit untuk menyesuaikan apabila ada kegiatan yang menggunakan jenis
yang sama, namun nama ilmiahnya berbeda-beda. Asal benih harus dijelaskan
secara rinci, termasuk asalnya dan, jika tersedia, informasi pengumpulan
seperti lokasi, tanggal, dan jumlah pohon induk.
Penyimpanan benih, protokol seleksi benih, dan/ atau kondisi dan teknik
yang digunakan untuk perkecambahan juga merupakan prosedur penting
untuk dicatat. Setelah bahan tanaman dijelaskan dengan benar, maka harus
dipastikan deskripsi lengkap kondisi persemaian atau kondisi pertumbuhan
bibit. Koordinat geografis dari persemaian dan periode perbanyakan tanaman
akan berguna untuk menentukan kondisi iklim (jika tidak dilaporkan)
pada saat bibit ditanam di lapangan akan mempengaruhi kualitas bibit dan
penampilan pasca penanaman (Mollá et al. 2006). Informasi tersebut akan
dimasukkan dalam deskripsi kondisi pertumbuhan bibit di persemaian yang
menggambarkan karakter bibit yang dipelihara di persemaian. Informasi

112
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

tentang kerapatan wadah, volume, dan dimensi (lebar, panjang, dan


kedalaman) harus jelas. Selain itu, gambaran jarak antar bibit menggunakan
wadah di pembibitan (blok), dan karakteristik fisika-kimia dari media tanam
yang digunakan untuk mengisi wadah juga harus dijelaskan secara detail (jenis
substrat, pH, kandungan nutrisi).
Secara khusus, keterangan mengenai tingkat pencahayaan (terutama
jika bibit terlindungi), penyiraman, dan rezim pemupukan. Faktor-faktor
perbanyakan tanaman ini, bersama dengan volume wadah bibit dan
kerapatan antar bibit sangat mempengaruhi morfologi dan fisiologi bibit
morfo-fisiologis dan penampilan bibit yang dihasilkan (Van den Driessche
1982; Villar-Salvador et al., 2004; Dumroese et al. 2005; Dominguez-Lerena
et al., 2006; Puértolas et al. 2009; Andivia et al., 2014). Oleh karena itu,
teknik pemeliharaan dan prosedur perbanyakan tanaman dalam proses
pembibitan harus dijelaskan secara menyeluruh. Misalnya, pemeliharaan
dengan menguji berbagai pemupukan harus melaporkan informasi tentang
formulasi pemupukan lengkap, konsentrasi, frekuensi aplikasi, dan jadwal
(misalnya pemupukan terus menerus, eksponensial, akhir musim), dan
jumlah total nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) yang diterapkan
pada setiap bibit selama pembibitan. Irigasi dan pemupukan, bila bukan
merupakan parameter bebas, harus diterapkan untuk menghindari hal
yang membingungkan (Dumroese et al. 2011, 2015). Sebagai tambahan,
prosedur perbanyakan tanaman umum lainnya yang diterapkan selama fase
pembibitan, seperti tanggal penaburan, pemangkasan dan pemangkasan akar,
penggunaan pengatur tumbuh, inokulasi mikoriza, atau penyimpanan bibit
sebelum ditanam juga harus dilaporkan.

2. Informasi tapak penanaman


dan pengelolaannya
Kegiatan penanaman harus mempertimbangkan informasi tentang
lingkungan kondisi di mana bibit ditanam. Percobaan lapangan sangat
penting untuk memvalidasi kesesuaian perlakuan pembibitan di persemaian
dan identifikasi perlengkapan persemaian untuk memprediksi penampilan
bibit setelah penanaman. Mutu bibit berinteraksi dengan praktik hutan
tanaman dan kondisi lahan yang akan menentukan keberhasilan suatu
program restorasi hutan. Dalam konteks ini, penggunaan bagian dari faktor

113
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

(kovariat) yang terkait dengan iklim di lokasi penanaman, teknik persiapan


lahan, penggunaan lahan sebelumnya, atau manajemen pasca pembangunan
hutan sebagai moderator dalam meta-analisis adalah sangat penting untuk
memahami jika masalah-masalah kontroversial pada mutu bibit tergantung
pada konteks (Tabel 26). Informasi ini, bagaimanapun, tidak selalu tersedia
dalam kegiatan penanaman, sebagian karena beberapa teknik dan strategi
pengelolaan hutan tanaman begitu mengakar di kalangan praktisi hutan
sehingga semua kondisi lahan dianggap sama.
Deskripsi lokasi lapangan yang detail sangat penting dalam setiap
kegiatan pananaman. Iklim adalah penentu utama penampilan hutan
tanaman (Squeo et al., 2007). Dimasukkannya koordinat geografis yang
tepat sangat membantu mengakses informasi iklim yang dipetakan, seperti
di database World Clim. Data iklim juga dapat diperoleh dari stasiun cuaca
lokal yang mungkin mencakup kondisi khusus di lokasi hutan tanaman.
Selain data iklim, informasi lainnya yang terkait dengan ketinggian,
tanah, kemiringan (termasuk aspek), atau vegetasi dan keberadaan
herbivora yang mungkin mempengaruhi kondisi dan hasil dari hutan
tanaman akan memberikan gambaran detail tentang konteks lingkungan di
mana hutan tanaman akan dibangun. Penggunaan lahan sebelumnya (lahan
pertanian atau hutan) atau sejarah degradasi di daerah tersebut juga dapat
membantu perencanaan pengelolaan. Persiapan lokasi dan teknik penanaman
menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman (South et al.,
2001; Palacios et al., 2009). Teknik-teknik lapangan ini bertujuan untuk
memperbaiki kondisi tanah untuk meningkatkan infiltrasi air dan perakaran,
mengendalikan vegetasi pesaing dan mengurangi hewan perusak (Archibold
et al., 2000; South et al., 2001; Querejeta et al., 2001).

Tabel 24. Informasi kondisi tapak penanaman


Kondisi tapak penanaman Keterangan
Deskripsi tapak  Lokasi penanaman (koordinat)
 Kondisi iklim
 Kondisi tanah
 Ketinggian lokasi penanaman
 Slope dan orientasi
 Vegetasi dan herbivora di lokasi penanaman
 Penggunaan lahan sebelumnya

114
BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Tabel 24. Informasi kondisi tapak penanaman (lanjutan)


Kondisi tapak penanaman Keterangan
Persiapan lahan dan  Teknik persiapan lahan
penanaman  Teknik penanaman
 Tanggal penanaman
 Jarak tanam
 Kedalaman penanaman
 Desain spasial
Pengelolaan tanaman  Pengelolaan gulma (frekuensi, waktu dan
metode)
 Pemupukan dan penyiraman (frekuensi,
waktu dan jumlah/dosis)
 Aktivitas lainnya seperti penyulaman,
pemangkasan dan penjarangan
Sumber: Andivia et al. (2018)

Teknik persiapan tanah utama termasuk persiapan mekanis, mulsa, dan


penggunaan herbisida (Lof et al., 2012). Di antara yang disebutkan di atas
teknik persiapan tanah, persiapan lahan secara mekanis adalah yang paling
banyak digunakan di hutan tanaman. Lof et al. (2012) melakukan review
pengetahuan tentang penggunaan persiapan lahan secara mekanis dalam
proyek restorasi hutan dan teknik dikelompokkan menjadi tiga kategori
utama: pengupasan lapisan tanah (scarification), penumpukan bagian tanah
(mounding), dan penggemburan (ripping). Teknik lain, tidak termasuk
dalam klasifikasi ini, seperti memotong vegetasi yang tumbuh di atas lahan,
mengangkat, memotong, dan menumpuk dapat dianggap sebagai kegiatan
persiapan lahan dengan intensitas rendah, sedangkan membajak dan terasering
dapat dianggap sebagai kegiatan dengan intensitas yang sangat tinggi.
Tanggal penanaman juga harus dimasukkan dalam deskripsi hutan
tanaman karena mempengaruhi penampilan bibit pada waktu penanaman,
terutama di lingkungan yang dingin dan kering (Radoglou & Raftoyannis
2002; Palacios et al., 2009; Yang et al., 2013). Memberikan tanggal yang
pasti mengenai penanaman dan evaluasi kondisi lapangan yang pertama dari
kinerja pembibitan memungkinkan untuk menilai efeknya kondisi iklim.
Jarak tanam dan kedalaman penanaman tanam harus dimasukkan karena
memiliki implikasi terhadap penampilan bibit (Hainds 2004; Zhao et al.,
2011; Oliet et al., 2012). Informasi tentang bagaimana bibit ditangkarkan
(misalnya secara manual atau dengan mesin-mesin). Selain itu, desain spasial

115
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

dari lahan hutan tanaman, dan setiap heterogenitas plot yang jelas (misalnya
orientasi kemiringan yang berbeda) harus dijelaskan. Tanggal saat pengukuran
kinerja adalah penting untuk mengetahui secara pasti periode pertumbuhan
tanaman. Akhirnya, penggunaan ekoteknologi, seperti tempat naungan dari
pohon, amandemen organik, mulsa, dan hidrogel (Pineiro et al., 2013) harus
dijelaskan secara detail. Setelah bibit ditanan, beberapa kegiatan manajemen
dan pemeliharaan dapat dilakukan yang sangat mempengaruhi penampilan
bibit di lapangan. Penyiangan adalah kegiatan pemeliharaan yang tersebar
luas di hutan tanaman tetapi bervariasi dengan kondisi lingkungan, kerapatan
penanaman, jenis gulma dan bibit yang dibuang (Gomez-Aparicio, 2009;
Kabrick et al., 2015). Dengan demikian, informasi penyiangan mengenai
intensitas, frekuensi, waktu, dan metode harus dimasukkan dalam metode
pemeliharaan. Pemupukan dan irigasi dapat dilakukan pada saat penanaman
dan/atau sesudah penanaman (Rey-Benaya, 1998; Casselman et al., 2006).
Dalam kedua kegiatan tersebut, termasuk ketika praktek pemupukan dan
irigasi dimulai, frekuensi berikutnya, dan total jumlah yang diterapkan per
tanaman. Untuk praktik pemupukan, jenis dan formulasi pupuk harus tersedia.
Kegiatan pemeliharaan dan manajemen lainnya, seperti penanaman kembali,
pemangkasan, atau penjarangan juga harus diinformasikan. Informasi-
informasi tersebut sangat penting sebagai rujukan untuk menentukan kegiatan
pengelolaan yang tepat sehingga kegiatan rehabilitasi lahan, penanaman atau
pembangunan hutan dapat berhasil sesuai dengan target dan tujuan.

116
BAB VI.
PENUTUP

Dalam dekade mendatang, jutaan bibit ditanam di daerah tropis bukan


hanya oleh instansi pemerintah atau perusahaan swasta, tetapi juga oleh petani
yang menanamnya di ladang-ladang di sela-sela tanaman pangan. Beberapa
puluh tahun yang lalu tanaman yang tumbuh di ladang-ladang tersebut adalah
anakan alam, yang tumbuh ditempat mana saja ketika berkecambah, tetapi
perubahan yang kemudian terjadi adalah semakin banyak tanaman (pohon
berkayu, semak, hortikultura) yang ditanam pada kondisi habitat tertentu
(niche) di ladang-ladang tersebut dilakukan dengan menabur benih secara
langsung di atas tanah (direct seeding) atau secara umum dengan menanam
bibit hasil perbanyakan secara generatif atau vegetatif yang dipelihara di
persemaian. Program penanaman jenis-jenis pohon hutan untuk rehabilitasi
hutan dan lahandi Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1970 an oleh
Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian dengan melakukan
kegiatan penghijauan dan reboisasi. Beberapa program diantaranya Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (GERHAN) pada kurun waktu
2004-2009 dan program lanjutan Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang dimulai
sejak tahun 2010 dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan.
Pertumbuhan kota di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia telah
mendorong dibangunnya hutan kota dan taman-taman kota yang ditanam
dengan tanaman hutan dan jenis tanaman lainnya dengan ukuran (morfologi)
bibit yang beragam, tetapi didominasi oleh bibit dalam ukuran yang lebih
besar dibandingkan dengan bibit yang digunakan untuk penanaman hutan
dan rehabilitasi lahan, agar tanaman cepat tumbuh besar dan mencapai
ukuran pohon. Bibit tanaman atau bahan tanaman yang dipergunakan
diperoleh dengan cara cabutan atau dengan cara puteran.Taman kota atau
hutan kota sangat bermanfaat bagi penduduk di wilayah perkotaan dan juga
berfungsi untuk penyerapan polutan, reduksi kebisingan lalu lintas, penahan
angin dan tempat berlindung, serta pengurangan radiasi dan kenaikan suhu
akibat pemanasan global.
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Kebutuhan bibit atau bahan tanaman siap tanam untuk berbagai program
penanaman mendorong diberlakukannya suatu standar mutu bibit sebagai
refleksi dari kriteria bibit siap tanam. Mutu bibit diartikan sebagai suatu
karakter yang sesuai dengan tujuan yang memberi indikasi bahwa karakter bibit
yang dijadikan parameter penentu dapat menjamin kemampuan bibit untuk
beradaptasi dan tumbuh optimal setelah penanaman. Mutu bibit berhubungan
dengan lingkungan penanaman dan jenis sehingga sifatnya dinamis dan tidak
dapat diadopsi langsung untuk jenis dan lokasi penanaman yang berbeda
secara ekologis. Artinya mutu bibit tidak dapat hanya dideskripsikan di
persemaian, tetapi juga dapat dibuktikan di lokasi penanaman. Mutu bibit
yang banyak diaplikasikan didasarkan pada morfologi bibit (tinggi bibit,
diameter batang, jumlah daun) yang didukung oleh fisiologi bibit. Standar
bibit tanaman hutan layak tanam di Indonesia telah disusun oleh Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Dirjen PDASHL, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
merupakan produk Badan Standardisasi Nasional (BSN). Kriteria bibit layak
edar ukuran besar untuk jenis-jenis tanaman hutan, semak dan hortikultura
yang dicantumkan disini berpedoman pada buku American Standard for
Nursery Stock, ANSI Z60.1-2014. Amerika Serikat telah mencanangkan
free to grow yang menyatakan kriteria bibit tanaman di persemaian bukan
hanya hidup jika ditanam tapi juga harus tumbuh lebih baik dari vegetasi
pesaing dalam kurun waktu 5 tahun. Bagaimanapun optimalnya penampilan
bibit di persemaian harus dapat mecapai hakekat tujuan sebenarnya yang
hendak dicapai dari suatu standar mutu bibit yaitu menghasilkan tanaman
berkualitas terbaik (plant quality) yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi,
pertumbuhan awal yang cepat dan memiliki penampilan yang sesuai dengan
harapan.
Keberhasilan tanaman mencapai tanaman berkualitas di lapangan tidak
hanya ditentukan oleh kualitas bibit (spesifikasi bibit, praktek persemaian,
penanganan bibit), tetapi juga oleh ekofisiologi tanaman (iklim lokal, toleransi
tanaman, fenologi), lingkungan perakaran (volume tanah, ekologi tanah,
struktur tanah), dan penanaman dan pasca penanaman (praktek penanaman,
pengelolaan kanopi, pemeliharaan rhizosfer). Banyaknya faktor yang berperan
terhadap keberhasilan bibit tumbuh menjadi tanaman yang berkualitas
baik, memberikan pengertian kepada siapapun yang terlibat dalam program
penanaman untuk memahami faktor-faktor yang berperan tersebut dan
memaksimalkan semua upaya agar mampu mewujudkan tanaman berkualitas
baik di lokasi penanaman.

118
DAFTAR PUSTAKA

Allen, R. M. (1953). Large longleaf seedlings survive well. Tree Planters’ Notes.
14, 17 - 18.
American Horticulture Industry Association. (2014). American Standard for
Nursery Stock (ANSI Z60.1-2014). American Hort.
Andivia, E., Villar‑Salvador, P., Oliet, J. A., Puértolas, J., & Dumroese, R. K.
(2018). How can my research paper be useful for future meta‑analyses
on forest restoration plantations?. New Forest. https://doi.org/10.1007/
s11056-018-9631-y.
ANLA (American Nursery & Landscape Association). (2004). American
Standard for Nursery Stock. Washington, USA: American Nursery &
Landscape Association.
Appleton, B. L., Cannella, C. M., Wiseman, P. E. & Alvey, A. A. (2008).
Tree stabilization: current products and practices. Arboriculture and
Urban Forestry 34, 54 – 58.
Arnold, M. A. (1987). Cupric carbonate modification of Quercus rubra and
Fraxinus pennsylvanica root systems and implications for production and
transplant. MSc, The Ohio State University.
Arnold, M. A., Mcdonald, G. V., Bryan, D. L., Denny, G. C., Watson, W. T.
& Lombardini, L. (2007). Below-grade planting adversely affects survival
and growth of tree species from five different families. Arboriculture and
Urban Forestry 33, 64 – 69.
Arnott, J. T. & Pendl, F. T. (1994). Field performance of several tree species
and stock types planted in montane forest of coastal British Columbia,
Natural Resouces Canada, Canadian Forest Service-Pacific and Yukon
Region. International Report BC-X-347. 45p.
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Ayub, M., & Batara, I. (2015). Peran BPDAS dalam Peningkatan Produktivitas
Hutan Rakyat. Prosiding seminar teknologi perbenihan, silvikultur, dan
kelembagaan dalam peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Bandar
Lampung: Pusat Penellitian dan Pengembangan Hutan, p 199 - 206.
Babaie, H., Zarei, H., & Hemmati, K. (2014). Propagation of Ficus benjamina
var. starlight by stenting technique under different concentrations of IBA
in various times of taking cutting. Journal of Ornamental Plants, 4(2),
75 - 79.
Bacon, G. J., Hawkins, P. J. & Jermyn, D. (1977). Morphological grading
studies with 1-0 slash pine seedlings. Australian Forestry. 40, 293 - 303.
Barner, H. & Ditlevsen. (1988). Strategies and procedures for an integrated
national tree-seed programe for seed procurement, tree improvement and
genetic resources. Lecture Note A-1. Humlebaek: Danida Forest Seed
Centre.
Barner, H., Olesen, K. & Wellendorf, H. (1988). Classification and selection
of seed sources. Lecture Note B-1. Humlebaek: Danida Forest Seed
Centre.
Barnes, S. & Percival, G. C. (2006). The influence of biostimulants and water-
retaining polymer root dips on survival and growth of newly transplanted
bare-rooted silver birch and rowan. Journal of Environmental Horticulture
24, 173 –179.
Baskin, C. C. & Baskin, J. M. (2005). Seed Dormancy in trees of climax
tropical vegetation types. Tropical Ecology 46(1), 17 - 28.
Bhardwaj & Mishra, V. K. (2005). Vegetative propagation of Ulmus villosa:
effects of plant growth regulators, collection time, type of donor and
position of shoot on adventitious root formation in stem cuttings. New
Forest, 29,105 - 106.
Bickelhaupt, D. H. (1980). Nursery soil and seedling analysis methodology.
pp 237 -260. In Proc. North American Forest Tree Nursery Soils
Workshop (L.P. Abrahamson and D.H. Bickelhaupt eds.) State Univ.
New York College Environ. Sci. and Forestry, Syracuse.
Biondi, S. & Thorpe, T. A. (1981). Requirements for a tissue culture facility:
Methode and application in agriculture. Thorpe, T. A. (ed.). New York
London-Sidney-San Francisco: Academic Press.

120
DAFTAR PUSTAKA

Blair, R. & Cech, F. (1974). Morphological seedling grades compared after


thirteen growing seasons. Three Planters’ Notes. 25(1), 5 - 7.
Brady, N. C. & Weil, R. R. (2008). The nature and properties of soils. Prentice
Hall, Harlow.
BRG (Badan Restorasi Gambut). 2016. Renstra Badan Restorasi Gambut
Tahun 2015-2019. Jakarta: Badan Restorasi Gambut.
Britt, C. & Johnston, M. (2008). Trees in Towns II. A new survey of urban
trees in England and their condition and management. Department for
Communities and Local Government.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). (2005). Mutu bibit (mangium,
ampupu, gmelina, sengon, tusam, meranti, dan tengkawang). Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). (2014). SNI 5006.12:2014 Tanaman
kehutanan – bagian 12 : Penanganan benih generatif tanaman hutan.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). (2016). SNI 5006.3:2016 Persemaian
permanen tanaman hutan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). (2018a). SNI 5006.2.2018 Media bibit
tanaman hutan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). (2018b). SNI 5006.2.2018 Mutu
bibit tanaman hutan.Jakarta: Badan Standardisasi Nasional
Budiman, B., Sudrajat, D. J., Lee, D. K., & Kim, Y. S. (2015). Effect of
initial morphology on field performance in white jabon seedlings at
Bogor, Indonesia. Forest Science and Technology 11(4), 206 - 205.
DOI:10.1080/21580103.2015. 1007897.
Buee, M., Boer, W. D. & Martin, F. (2009). Therhizosphere zoo: An overview
of plant-associated communities of microorganisms, including phages,
bacteria, archaea, and fungi, and of some of theirstructuring factors.
Plant and Soil 321, 189–212.
Buharman, Djam’an, D. F., Widyani, N., & Sudrajat, S. (2001). Atlas Benih
Tanaman Hutan Indonesia. Jilid II. Bogor: Balai Teknologi Perbenihan.
Bogor.

121
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Chalker-Scott, L. (2007). Viewpoint impact of mulcheson landscape plants


and the environment — A review. Journal of Environmental Horticulture
25, 239 – 249.
Chandra, J. P. (2001). Evaluation of suitable root trainer nursery design
and shade requirements for forest nurseries. In Sharma, J.K. & M.
Balasundaran: Root Trainer Technology for mass production of clonal
planting stock. KFRI Handbook No. 8. Kerala. India: Kerala Forest
Research Institute.
Chiatante, D., DiIrio, A., Scippa, G. S., & Sarnataro, M. (2002). Improving
vigour assessment of pine (Pinusnigra Arnold).Plant Biosyst. 136, 209 -
216.
Chokkalingam, U., Carandang, A. P., Pulhin, J. M., Lasco, R. D., Peras, R.
J. J., & Toma, T., (2006). One Century of Forest Rehabilitation in the
Philippines: Approaches, Outcomes and Lessons. Country Case Studies
on Review of Forest Rehabilitation. Initiatives: Lessons from the Past.
Center for International Forestry Research (CIFOR), Situ Gede, Sindang
Barang Bogor Barat 16680, Indonesia.
CNLA (Canadian Nursery Landscape Association). (2017). Canadian
Nursery Stock Standard. Milton, ON: Canadian Nursery Landscape
Association.
Costello, L.R., Matheny, N.P. & Clark, J.R. (2000). Aguide to estimating
irrigation water needs of landscape plantings in California. California:
University of California Cooperative Extension.
Craul, P. J. (1999). Urban Soils: Applications and Practices, New York:
Wiley.
Dagar, J. C., Singh, G., & Singh, N. T. (2001). Evaluation of forest and fruit
trees used for rehabilitation of semiarid alkali-sodic soils in India. Arid
Land Research and Management 15 (2), 115 - 133.
Dahlan, E. N. (2004). Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa
Hutan Kota. Bogor: IPB Press.
Danu, Pramono, A. A., & Siregar, N. (2006). Atlas Benih Jilid VI. Publikasi
Khusus Vol 5 No 5 Desember 2006. Bogor: Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan.

122
DAFTAR PUSTAKA

Danu, Putri, K. P., & Sudrajat, D. J. (2017). Pengaruh media dan zat pengatur
tumbuh terhadap perbanyakan stek pucuk nyawai (Ficus variegata
Blume). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 11(1), 155 – 168.
Danu, Siregar, I. Z., & Wibowo, C. (2010). Pengaruh umur sumber bahan
stek terhadap keberhasilan stek pucuk meranti tembaga (Shorea leprosula
Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(3),131 - 139.
Davies, M. J., Hipps, N. A. & Kingswell, G. (2002). The effects of indole-3-
butric acid root dips on the development and shoot growth of transplanted
Fagussylvatica L. and Quercus robur L. seedlings. Journal of Horticultural
Science and Biotechnology 77, 209–216. Parallel session 1a: Tree planting
and establishment 61.
Day, S. D. & Harris, J. R. (2007). Fertilization of redmaple (Acer rubrum)
and littleleaf linden (Tilia cordata) trees at recommended rates does not
aid tree establishment. Society 33, 113 – 121.
De Jong,W., Sam, D. D., & Hung, T. V. (2006). Forest Rehabilitation in
Vietnam: Histories, Realities and Future. Bogor, Indonesia: Center for
International Forestry Research (CIFOR).
Deans, J.D., Lundberg, C., Cannel, M.G.R., Murray, M.B., & Sheppard, J.
(1990). Root system fibrosity of Sitka spruce transplants: relationship
with root growth potensial. Forestry 63, 1 - 7.
Departemen Kehutanan. (2004). Teknik pembibitan dan konservasi tanah.
Buku I. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jakarta:
Departemen Kehutanan.
Dey, D. C. & Parker, W. C. (1997). Morphological indicators of stock quality
and yield performance of red oak (Quercusrubra L.) seedlings under
planted in a central Ontario Shelterwood. New Forests 14, 145 - 156.
Dickson, A., Leaf, A. L., & Hosner, J. F. (1960). Quality appraisal of white
spruce and white pine seedling stock in nurseries. Forest Chronical 36,
10-13.
DPSP (Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian). (2016).
Pestisida terdaftar dan diizinkan untuk pertanian dan kehutanan.
Jakarta: Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Prasarana
dan Sarana Pertanian

123
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Dumroese, R. K., Jacobs, D. F., & Landis, T. D. (2005). Successful stock


production for forest regeneration: What foresters should ask nursery
managers about their crops. In Colombo, S. J. (Ed.). The Thin Green
Line: A symposium on the state-of-the-art in reforestation Proceedings.
Thunder Bay, ON. 26-28 July 2005.Pp. 14-20.
Dumroese, R. K., Landis, T. D., Pinto, J. R., Haase, D. L., Wilkinson, K. W.
& Davis, A. S. (2016). Meeting forest restoration challenges: using the
target plant concept. Reforesta. 1(1), 37 – 52.
Durahim & Hendromono. (2001). Kemungkinan penggunaan limbah
organic sabuk kelapa sawit dan sekam padi sebagai campuran top soil
untuk media pertumbuhan bibit mahoni. Buletin Penelitian Hasil Hutan
No. 628. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan.
Duryea, M. L. (1984). Evaluation seedling quality: Importance to
reforestation. Duryea, M. L. (ed.). Proceedings: Evaluating seedling
quality: principles, procedures, and predictive abilities of major tests.
Workshop held October 16-18, 1984. Forest Research Laboratory,
Oregon State University, Corvallis.
Eissenstat, D. M. & Yanai, R. D. (2002). Root life span,efficiency, and
turnover. In: Waisel, Y., Eshel, A. andKarkafi, U. (eds.) Plant Roots: The
Hidden Half. Third edition. Revised and Expanded. CRC Press, pp. 221
– 238.
Felix, P. (2004). Radical excavations and sheet excavations. September edition.
Tree Care Industry, 8 – 12.
Fite, K., Wells, C. E. & Smiley, E. T. (2009). Impacts of root invigorationTM
and its individual components on red maple (Acer rubrum) at four urban
sites. In: Watson, G. W., Costello, L. R., Scharenbroch, B. C. & Gilman,
E. F. (eds.) The Landscape Below Ground III. International Society of
Arboriculture, Lisle, Illinois, pp. 55 – 61.
Fox, T. R. (2002). Factors affecting the success of a forestry business
enterprise From. http://www.mcrcc.osmre.gov/PDF/Forums/
MarketBasedReforest/2-1.pdf (accessed 7.12.09).
Gazal, R. M. & Kubiske, M. E. (2004).Influence of initial root length on
physiological responses of cherrybark oak and Shumard oak seedlings
to field drought conditions.Forest Ecology and Management. 189, 295 -
305.

124
DAFTAR PUSTAKA

George, E. F. & de Klerk, G. J. (2008). The component of plant tissue culture


media I: Macro and micro nutrients. Plant Propagation Tissue Culture
3rd Edition. Vol. 1. The Background. George, E. F, Michael A. Hill and
Geert-Jan De Klerk (ed.). Netherlands: Springer.
George E. F. & Sherrington, F. D. (1984). Biotechnology by Tissue Culture.
Eversley: Exegetics Ltd.
Gilbertson, P., Kendle, A.D. & Bradshaw, A. (1985). Root growth and
the problem of trees in urban and industrial areas. In: Patch, D., (ed.)
Advances in Practical Arboriculture. Forestry Commision Bulletin
(FCBU065).HMSO, London, pp. 59 – 66.
Gilman, E. F., Stodola, A. & Marshall, M. D. (2002). Root pruning but not
irrigation in the nursery affects liveoak root balls and digging survival.
Journal of Environmental Horticulture 28, 122 – 126.
Grabosky, J. & Bassuk, N. L. (1995). A new urban tree soil to safely increase
rooting volumes under sidewalks. Journal of Arboriculture 21, 187 –
201.
Gregorio, N., Herbohn, J., Harrison, S., & Smith, C. (2015). A systems
approach to improving the quality of treee seedlings for agroforestry, tree
farming and reforestation in the Philippines. Land use policy 47, 29 –
41.
Grimshaw, J. & Bayton, R. (2010). New Trees: Recent Introductions to
Cultivation. Royal Botanic Gardens, Kew.
Grossnickle, S. C., Arnott, J. T., Major, J. E., & Le May, P. M. (1991).Stock
quality assessment through an integrated approach. New Foreast 5, 77 -
91.
Grossnickle, S. C., & South, D. B. (2017). Seedling quality of southern pines:
Influence of plant attributes. Tree Planters’ Notes. 60(2), 29 - 40.
Gunawan, H. (2016). Sistem Informasi Restorasi Gambut. Jakarta: Deputi
Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut.
Gunawan. L. W. (1995). Teknik Kultur In-vitro dalam Hortikultura. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.

125
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Günter, S., Gonzalez, P., Álvarez, G., Aguirre, N., Palomeque, X., Haubrich,
F., & Weber, M. (2009). Determinants for successful reforestation of
abandoned pastures in the Andes: soil conditions and vegetation cover.
Forest Ecology and Management 258 (2), 81 - 91.
Haase, D. L. (2008). Understanding Forest Seedling Quality: Measurements
and Interpretation. Tree Planters’ Notes. 52(2), 24 - 30.
Hanover, J. W. (1963). Geographic variation in ponderosa pine leader growth.
For. Sci. 9, 86 - 95.
Hanum I. F. & van der Maesen, L. J. G. (1997). Plant Resources of South-
East Asia 11. Auxiliary plants. PROSEA
Harris, R. W. (1978). Root development of nursery-grown landscape trees. p.
287 -291. In Proceedings of the Root Form of Planted Trees Symposium
B.C. Ministry of Forest/Canadian Forestry Service Joint Report 8.
Harris, J. R. & Fanelli, J. (1998). Root pruning redmaple and Washington
hawthorn liners does not affect harvested root length aftern two years of
field production. Journal of Environmental Horticulture 16,127 – 129.
Hartmann, H. T., Kester, D. E., & Davies Jr., F. T. (1990). Plant Propagation,
Principles and Practices. Fifth Edition. Englewood Cliffs. New Jersey:
Prentice Hall.
Hassanein, A. M. A. (2013). Factors influencing plant propagation efficiency
via stem cuttings. Journal of Horticultural Science & Ornamental Plants,
5(3), 171 - 176
Hawkins, B. J. (1996). Planting stock quality assessment. In Yapa, A.C. (ed.).
Proc Intl. Symp. Recent Advances in Tropical Tree Seed Technol. and
Planting Stock Production. ASEAN Forest Tree Seed Centre, Muaklek,
Saraburi, Thailand.
Hendromono, N. Mindawati, S. Bustomi, A. S. Kosasih, Maffudz, A.
Nirsatmanto, T. Rostiwati, Y. Heryati, I. Anggraini, R. Bogidarmanti
dan B. Rusataman. 2006. Informasi Kesesuaian Jenis Pohon untuk
Hutan Tanaman di Sumatera dan Kalimantan. Departemen Kehutan.
Badan Litbang Kehutanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman
Herawan, T. & Husnaeni, Y. (2001). Perbanyakan jati (Tectona grandis).
Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon 5(2), 62 - 74.

126
DAFTAR PUSTAKA

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang


Departemen Kehutanan.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Litbang
Departemen Kehutanan.
Hong, M. S. M. S. L. T., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources
of South-East Asia No 5(3). Timber trees : Lesser-known timbers.
PROSEA
Indonesia Forest Seed Project (IFSP). (2000). Pengaruh dari kegiatan
penanganan benih dan persemaian terhadap mutu benih. Bahan kursus
biologi benih 7 - 18 Februari di Bogor.
Iriantono, D., Prameswari, D., & Mulyanto, Y. (1998). Telaahan Hasil-
hasil Penelitian Bidang Teknologi Perbenihan dan Pembibitan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Jacobs, D. F. & Seifert, J. R. (2004). Re-evaluating the significant on the fisrt
order lateral root grading criterion for hardwood seedlings.In Proceeding
of the Fourteenth Central Hardwood Forest Conference. Wooster, O.H.,
16 - 19 March 2004. USDA Forest Service. pp. 382 - 388.
Jacobs, D. F., Garnider, E. S., Salifu, K. F., Overton, R. P., Hernandes,
G., Corbin, M. E., Wightman, K. E., & Selig, M. F. (2005). Seedling
Quality Standards for Bottomland Hardwood Afforestation in the Lower
Mississippi River Alluvial Valley: Preliminary Results. USDA Forest
Service Proceedings RMRS-P-35. pp. 9 - 16.
Joker, D. (2001). Acacia mangium Willd. Informasi Singkat Benih. Jakarta:
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.
Joker, D. (2001). Azadirachta indica A. Juss. Informasi Singkat Benih. Jakarta:
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.
Jurasek, A., Leugner, J., & Martincova, J. (2009). Effect of initial height of
seedlings on the growth of planting material of norway spruce (Piceaabies
(L.) Karst.)in mountain conditions. Journal of Forest Science 55(3), 112
- 118.
Karyaatmaja, B., Ali, C., & Tampubolon, A.P. (2001). Standardisasi mutu
bibit tusam (Pinus merkusii). Prosiding Pertemuan dan Presentasi
Ilmiah Standardisasi dan Jaminan Mutu. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.

127
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Kelkar, S. P. (2001). Principles and concepts of root trainer technology. In


Sharma, J.K. and M. Balasundaran Root Trainer Technology for mass
production of clonal planting stock. KFRI Handbook No. 8. Kerala.
India: Kerala Forest Research Institute. pp. 5-7.
KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). (2015). Rencana
Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015 -
2019. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). (2017a). Statistik
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). (2017b).
Perhutanan Sosial, Kini Masyarakat Legal Mengelola Hutan. Jakarta:
Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kormanik, P. (1990). Can lateral root character stics be a major factor in
assessing seedling quality. Athens: Institute for Micorrhizal Research and
Development-Southeastern Forest Experiment Station. USDA Forest
Service.
Kompas.com. (2015). Pemerintah Dorong BUMDes Kelola Hutan Desa”. 
https://nasional.kompas.com/read/2015/02/26/21383001/Pemerintah.
Dorong. BUMDes.Kelola.Hutan.Desa. 
Kosasih, E. & Kelana, T. (2013). Ketapang (Terminalia cattapa LINN.).
Informasi Singkat Benih. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan
Madura.
Kostopoulou, P., Radoglou, K., Dini-Papanastasi, O., & Spyroglou, G.
(2010). Enhaching planting stock quality of Italian cypress (Cupressus
sempervirens L.) by pre-cultivation in mini-plugs. Ecological Engineering
36, 912 - 919.
Kozlowski, T. T., Kramer, P. J. & Pallardy, S. G. (1991). The Physiological
Ecology of Woody Plants. Sandiago: Academic Press.
Kristoffersen, P. (1998). Designing urban pavement subbases to support trees.
Journal of Arboriculture 24, 121 – 126.

128
DAFTAR PUSTAKA

Kurniaty, R., Budiman, B., Damayanti, R. U., & Djam’an, F. D. (2007).


Penggunaan limbah organic sebagai media pertumbuhan bibit. Seminar
Hasil Penelitian Teknologi Perbenihan, Solok, 7 Nopember 2007.
Lamb, D., Erskine, P. D., & Parrotta, J. A. (2005). Restoration of degraded
tropical forest landscapes. Science 310 (5754), 1628 - 1632.
Landis, T. D. & Dumroese, R. K. (2006). Applying the target plant concept
to nursery stock quality. Plant quality – A key to success in forest
establishment. Dublin, Ireland : COFORD.
Landis, T. D., Tinus, R. W., McDonald, S. E. & Barnett, J. P. (1990).
Containers and Growing Media, Vol. 2.Agriculture Handbook, 674.
Washinton D.C. US: Departement of Agricultural, Forest Service. 88
p.
Larcher, W. (2003). Physiological Plant Ecology: Ecophysiology and Stress
Physiology of Functional Groups. 4th Edition. New York USA: Springer.
513 p.
Lauridsen, E. (1999). Pengaruh dari kegiatan penanganan benih dan persemaian
terhadap mutu benih. Bahan Kursus Dasar-dasar Genetika Hutan.
Kerjasama Indonesia Forest Seed Project dengan Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada-Yogyakarta.
Leach, G. N., Gresham, H. H., & Webb, A. L. (1986). Seedling grade and
nursery seedling density effects on field growth in loblolly pine. Champion
International Corp. Gulf States Operation Res. Note GS-86-03. 12 p.
Lee, H. D., Smith, C., Herbohn, J., & Harrison, S. (2011). More than just trees:
Assessing reforestation success in tropical developing countries, Journal of
Rural Studies XXX, 1 -15, doi:10.1016/j.jrurstud.2011.07.006
Lee, S. S. (1998). Root symbiosis and nutrition. In Appanah, S and Turbull,
J.W. (eds). A Review of Dipterocarps : Taxonomy, Ecology and
Silviculture. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Linder, S. (1980). Chlorophyll as an indicator of nitrogen status of coniferous
seedlings. New Zealand Journal of Forest Science 10, 166 - 175.
Lindqvist, H. & Asp, H. (2002). Effects of lifting date and storage time on
changes in carbohdrate content and photosynthetic efficiency in three
deciduous species. Journal of Horticultural Science and Biotechnology, 77,
346 – 354.

129
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lindsey, P. & Bassuk, N. L. (1991). Specifying soil volumes to meet the


water needs of mature urban street trees and trees in containers. Journal
of Arboriculture, 17, 141 – 149.
Long, A. J. and Carrier, B.D. (1993). Effect of douglas-fir 2+0 seedling
morphology on field performance. New Forest, 7, 19 - 32.
Louwaars, N. (2005). Biases and bottlenecks, time to reform the south’s and
inherited seed laws? Seedling July 2005.University of Wegeningen. pp
4-9.
MAPEBHI (Masyarakat Pegiat Energi Biomassa Hutan Indonesia). (2017).
Hutan dan Energi. Disampaikan dalam Forum Pojok Iklim Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta 29 November 2017.
Martawijaya A., Kartasujana I., Kadir K., dan Prawira S. A. (1981). Atlas
Kayu Indonesia Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Martawijaya A., Kartasujana I., Mandang Y .I., Prawira S. A., & Kadir
K. (1989). Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan.
Martinez-Trinidad, T., Watson, T., Arnold, M. A. & Lombardini, L. (2009a).
Carbohydrate injections as a potential option to improve growth and
vitality of live oaks. Arboriculture and Urban Forestry 35, 142 – 147.
Martinez-Trinidad, T., Watson, T., Arnold, M. A. & Lombardini, L. (2009b).
Investigations of exogenous applications of carbohydrates on the growth
and vitality of live oaks. Urban Forestry & Urban Greening 8, 41 – 48.
Martinez-Trinidad, T., Watson, T., Arnold, M. A. & Lombardini, L.
(2009c). Temporal and spacial glucose and starch partitioning in live
oak. Arboriculture and Urban Forestry 35, 63 – 67.
Mattson, A. (1996). Predicting field performance using seedling quality
assessment. New Forests. 13, 223 - 248.
McGilvray, J. M. & Barnett, J.P. (1982). Relating Seedling Morphology to
field performance of containerized Southern pines. pg. 39 - 46. In Proc.
Southern Containerized Forest Tree Seedling Conference. Guldin, R.W.
and J.P. Barnett (ed.) Gen. Tech. Rep. SO-37 U.S.D.A. Forest Service,
Southern For. Exp. Sta.

130
DAFTAR PUSTAKA

McLemore, B. F. 1982. Comparison of 1-0 & 2-0 loblolly pine seedlings.


Tree Planters’ Notes 33(2), 22 - 23.
Mexal, J. G. & Landis, T. D. (1990). Target seedling concepts: Height and
diameter. In Target Seedling Symposium (Rose, R., Campbell, S.J. and
Landis, T.D. Eds.). 13-17 August 1990. Fort Collins, CO: USDA Rocky
Mountain Forest and Range Experiment Station. 17 - 35.
Mindawati, N. & Subiakto, A. (2005). Perbanyakan bibit jenis-jenis tanaman
hutan untuk mendukung Gerhan. Prosiding Ekspose Penerapan Hasil
Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Mindawati, N., Bogidarmanti, R., Nuroniah, H. S., Kosasih, A. S., Suhartati,
Rahmayanti, S., Junaedi, A., Rachmat, E. & Rochmayantho, T. (2010).
Sintesa hasil penelitian Silvikultur jenis alternatif penghasil kayu
pulp. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
MoEF (Ministry of Environment and Forestry). (2018). The State of
Indonesia’s Forests. Jakarta: Ministry of Environment and Forestry,
Republic of Indonesia.
Moore, T. C. (1979). Biochemestry and Physiology of Plant Hormon. Berlin:
Springer-Verlag.
Mullin, R. E. & Christi, C. (1982). Morphological grading of white pine
nursery stock. Forestry Chronicle 58(l), 40 - 43.
NCDENS (North Carolina Departemen of Environment and Nature
Resources). (2007). Pocket guide to seedling care and planting standards.
6th Edition – January 2007. Raleigh, N. C: North Carolina Departemen
of Environment and Nature Resources, Division of Forest Resources.
Niinemets, U & Valladares, F. (2006). Tolerance to shade, drought, and
waterlogging of temperate northern hemisphere trees and shrubs.
Ecological Monographs 76, 521 – 547.
Nugraha, M. (2008). Aplikasi teknik puteran bibit berukuran besar pada
jenis pohon kihujan, mahoni, matoa dan salam. Skripsi. Departemen
silvikultur Fahutan IPB. Bogor. (tidak diterbitkan).

131
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Nurhasybi, Kartiko, H. D. P., Zanzibar, M. & Sudrajat, D. J. (2000). Atlas


Benih Tanaman Hutan Indonesia. Jilid I. Bogor: Balai Teknologi
Perbenihan.
Nurhasybi, Danu, Zanzibar, M., & Yulianti. (2003). Status IPTEK
Perbenihan Tanaman Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Perbenihan. Bogor.
Nurhasybi, Sudrajat, D. J., Pramono, A. A. & Budiman, B. (2007). Review
status iptek perbenihan tanaman hutan. Publikasi Khusus Balai Teknologi
Perbenihan No. 6, Vol. 6. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan.
p 146.
Nurhasybi. (2010). Analisis potensi produksi benih, penanganan dan
karakteristik pertumbuhan bibit kepuh (Sterculia foetida Linn.) sebagai
salah satu sumber biofuel. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan,
Universitas Gajah Mada.
Nurhasybi & Yuniarti, N. (2015). Prediction on density for seed sowing of
jelutung (Dyera polyphylla) to reach successfull germination. 3rd Inafor –
International Conference of Indonesia Forestry Reasearchers. Bogor.
Nursyamsi & dan Suhartati. (2007). Pengaruh Hormon BAP terhadap
Perbanyakan Tanaman Gaharu (Gyrinops verstegii Domke) Secara Kultur
Jaringan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 4, Sup. 1. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Nursyamsi. (2010). Teknik kultur jaringan sebagai alternatif perbanyakan
tanaman untuk mendukung rehabilitasi lahan. Makalah pada Ekspose
Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar,
22 Juni 2010. Pp 85 - 100.
Omi, S. K., Howe, G. T. & Duryea, M. L. (1986). Fisrt Year Field Performance
of Douglas-fir Seedlings in Relation to Nursery Characteristics. In General
Technical Report RM-137. Fort Collins, CO: USDA Rocky Mountain
Forest and Range Experiment Station. 29 - 34.
Omon, M. & Noor, M. (2002). Inokulasi Mikoriza. Dalam Yasman, I dan
Hernawan (eds). 2002. Manual persemaian Dipterocarpaceae. APHI.
Jakarta.

132
DAFTAR PUSTAKA

Omon, M. (2008). Teknik Kriteria dan Indikator Mutu Bibit Dipterocapaceae.


Proseding Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman, Bogor 19
Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Bogor.
Orcutt, D. M. & Nilsen, E. T. (2000). Physiology of Plants Under Stress.
Soil and Biotic Factors. John Willey and Sons,Inc. Canada.
Pallardy, S. G. (2008). Physiology of Woody Plants. Academic Press.
Pammenter, N. W. & Berjak, P. (2013). Development of the understanding
of seed recalcitrant and implications for ex situ conservation. Biotecnología
Vegetal, 13(3), 131 - 144.
Pattonen, P. (1985). Assessment of seedling vigor attributes: outline for
integration. University of Helsinki. Farm Forestry, Viikki SF-00710
Helsinki, Finland.
Percival, G. C. & Hitchmough, J. (1995). Tree establishment and performance
in a cool growing season arboretum. Arboriculture Journal 19, 357 –
371.
Percival, G. C. (2007). Pre-planting – getting to the root of the problem. June
edition. Essential ARB 22, 18 – 24.
Percival, G. C., Gklavakis, E. & Noviss, K. (2009). The influence of pure
mulches on survival, growth and vitality of containerised and field planted
trees. Journal of Environmental Horticulture 27, 200 – 206.
Pinto, J. P., Marshall, J. D., Dumroese, R. K., Davis, A. S., & Cobos, D. R.
(2011). Establishment and growth of container seedlings for reforestation:
A function of stocktype and edaphic conditions. Forest Ecology and
Management 261, 1876 – 1884.
Pouyat, R. V., Szlavecz, K., Yesilonis, I. D., Groffman, P. M. & Schwarz,
K. (2010). Characteristics of urban soils. In: Aitkenhead-Peterson,
J. and Volder, A. (eds.) Urban Ecosystem Ecology. American Society of
Agronomy, pp. 119 – 152.
Pramono, A. A. dan Buharman (2004). Cendana (Santalum album Linn.).
Atlas benih Tanaman Hutan Indonesia. Jilid II. Balai Teknologi
Perbenihan.

133
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Pramono, A. A., Sudrajat, D. J., Nurhasybi, & Danu. (2016). Prinsip-prinsip


Cerdas Usaha Pembibitan Tanaman Hutan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Pusbanghut Perum Perhutani. (2007a). Standar operasional prosedur
pembuatan persemaian jati plus Perhutani. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perum Perhutani. Cepu. 33p.
Pusbanghut Perum Perhutani. (2007b). Standar operasional prosedur
pengelolaan kebun pangkas dan pembuatan bibit stek pucuk jati plus
Perhutani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perum Perhutani. Cepu.
51p.
Rachmawati, H., Iriantono, J. & Hansen, C. P. (2002). Gmelina arborea
Roxb. Informasi Singkat Benih. Jakarta: Direktorat Perbenihan Tanaman
Hutan.
Rana R. S., & Sood K. K., (2012). Effect of cutting diameter and hormonal
application on the propagation of Ficus roxburghii Wall. through branch
cuttings. Annals of Forest Research, 55(1), 69-84.
Rietveld, W. J. & Tinus, R. W. (1987). Alternative methods to evaluate
root growth potential and measure root growth. Paper presented at the
Intermountain Forest Nursery Association Meeting, Oklahoma, August
10 - 14, 1987.
Ritchie, G. A. (1984a). Root growth potential; principles, procedurs and
predictive ability. In Duryea, M. L. Proceedings evaluation seedling
quality; principles, procedurs and predictive abilities of mayor test.
Oregon State University.Forest Research Laboratory.93-105.
Ritchie, G. A. (1984b). Assessing seedling quality. pp. 243 - 259. In Duryea,
M. L. & Landis T. D. (eds.). Forest Nursery Manual: Production of
Bareroot Seedlings. Martinus Nijhoff/Dr. W. Junk. Publishers. Hague/
Boston/Lancaster. 386p.
Robert, E. H. (1973). Predicting of the storage life of seeds. Seed Science of
Technology, 1, 499 - 514.
Roller, K. J. (1977). Suggested minimum standards for containerized seedlings
in Nova Scotia. Can. For. Serv. Dept. Environ. Inf. Rep. M-X-69.

134
DAFTAR PUSTAKA

Rose, R., Carson, W.C. & Morgan, P. (1990). The target seedling concept. In
Rose, R., Campbell, S.J. & Landis, T.D. Eds. Target Seedling Symposium,
13-17 August 1990. Fort Collins, CO: USDA Rocky Mountain Forest
and Range Experiment Station. pp. 1 - 8.
Rose, R., Haase, D. L., Kroiher, F. & Sabin, T. (1997). Root volume and
growth of ponderosa pine and Douglas-fir seedlings. A Summary of eigth
growing seasons.Western Journal of Applied Forestry. 12, 69 -7 3.
Rose, R. & Ketchum, J. S. (2003). Interaction of initial seedling diameter,
fertilization, and weed control on Douglas-fir growth over first four years
after planting. Annals of Forest Science. 60, 625 - 635.
Rowan, S. J. (1986). Seedbed density affects performance of slash and loblolly
pine in Georgia. p. 126-135. In Proc International Symposium on
Nursery Management Practices for the Southern Pines (D.B. South, ed.).
Ala. Agric. Exp. Sta., Auburn University, AL.
Sakai, C. & Subiakto A. (2007). Manajemen persemaian KOFFCO system.
Bogor: Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan-
Komatsu-JICA. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam.
Santoso, U. & Nursandi, F. (2002). Kultur Jaringan Tanaman. Malang:
UMM Pres.
Santoso, E, Turjaman, M. & Irianto, R.S.B. (2006). Aplikasi mikoriza
untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi
Sumberdaya Hutan. Padang 20 September 2006. Badan Litbang
Kehutanan.
Santoso, E, Pasaribu, H., Sitepu, R., Kumalawati, S. & Turjaman, M.
(2007). Pembuatan biopot dan inokulasi mikoriza sebagai pupuk biologi.
Laboratorium Mikrobiologi Hutan. Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Sapulete, E. (1997). Perbanyakan Acacia crassicarpa melalui teknik kultur
jaringan. Buletin Penelitian Kehutanan 13(3), 237 - 248.
Schmidt, L. (2002). Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis
dan Sub Tropis. Terjemahan. Jakarta: Kerjasama Direktorat Jenderal
Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan Sosial dengan Indonesia Forest Seed
Project.

135
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

SEAMEO-BIOTROP. (2014). Blok media semai, media penanaman bibit


lebih praktis. SEAMEO BIOTROP, p. 4.
Sellmer, J. & Kuhns, L. (2007). Guide to selecting and specifying nursery
stock. In: Kuser, J. E. (ed.) Urbanand Community Forestry in the Northeast.
Second edition. Springer.
Semerci, A. (2005). Fifth Year Performance of morphologically graded
Cedruslibani seedlings in the Central Anatolia Region of Turkey. Turkey
Jurnal Agricultural and Forestry 29, 483-491.
Setiadi, Y. (1992). Mengenal Mikoriza, Rhizobium dan Aktinorizas untuk
Tanaman Kehutanan. Bogor: Lab. Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.
Sharma, J. K. (2001a). Advantages of root trainer nursery over conventional
polypot nursery.In Sharma, J.K. and M. Balasundaran, Root Trainer
Technology for mass production of clonal planting stock. Kerala Forest
Research Institute. KFRI Handbook No. 8. Kerala. India. pp. 5-7.
Sharma, J. K. (2001b). Different types of root trainer containers used in forest
nurseries and their function and advantages. In Sharma, J.K. and M.
Balasundaran Root Trainer Technology for mass production of clonal
planting stock. Kerala Forest Research Institute. KFRI Handbook No. 8.
Kerala. India. pp.8-22.
Sharma, R. K., Mason, E. G., & Sorensson, C. (2007). Impact of planting
stock quality on initial growth and survival of radiata pine clones and
modelling initial growth and survival. NZ Journal of Forestry, May 2007,
14-23.
Sianturi, R, D. & Sudrajat, D. J. (2019). Korelasi karakteristik bibit nyamplung
(Calophyllum inophyllum L.) dengan pertumbuhan tanaman pada tingkat
lapang. Jurnal WASIAN 6(1), 45-55.
Sidle, R. C., Ziegler, A. D., Negishi, J. N., Nik, A. R., Siew, R., &
Turkelboom, F., (2006). Erosion processes in steep terrain -Truths,
myths, and uncertainties related to forest management in Southeast Asia.
Forest Ecology and Management 224 (1-2), 199-225.
Single, J. & Single, S. (2010). Good roots matter from day one. Sibbaldia: The
Journal of Botanic Garden Horticulture8, 179–187.

136
DAFTAR PUSTAKA

Smiley, E. T. (1999). Air excavation: the next arboricultural frontier.


December edition. Arbor Age 19(12), 8–10.
SNI 5006.12: 2014. Tanaman Kehutanan bag 12 : Penanganan benih
generatif tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
Solotaroff, W. (1911). Shade Trees in Towns and Cities. New York: John
Wiley & Sons.
South, D. B., Mexal, J.G. & Van Buijtenen, J.P. (1989). The relationship
between seedling diameter and planting and long term growth of Loblolly
Pine seedlings in East Texas. In Proc. 10th North Am. Forest Biology
Workshop, August, 1989. Univ. British Columbia, Vancouver, B.C.,
Canada. p 192 – 199.
South, D.B. & Mitchell, R. J. (1999). Determining the optimum slash pine
seedling size for use with four levels of vegetation management on a
flatwoods site in Georgia, USA.Canadian Journal of Forest Research 29(7),
1039-1046.
Struve, D. K. (1990). Root regeneration in transplanted deciduous nursery
stock. Hort Science 25, 266–270.
Sudrajat, D. J. (2010a). Dormansi benih tanaman hutan (tinjauan
mekanisme, pengendali dan teknik pematahannya) untuk mendukung
pengembangan hutan rakyat. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian,
Bandung 20 Oktober 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peningkatan Produktivitas Hutan, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Bogor. Bogor.
Sudrajat, D. J. (2010b). Tinjauan standar mutu bibit tanaman hutan serta
penerapannya di Indonesia. Tekno Hutan Tanaman, 3(3), 85-97.
Sudrajat, D. J., Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Nurhasybi, & Budiman, B.
(2010). Kajian standardisasi mutu bibit tanaman hutan di Indonesia.
Seri Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan 2010, ISBN 978-979-
3539-20-1.
Sudrajat, D. J. (2017). Klasifikasi dan karakterisasi benih rekalsitran dan
intermediet. Dalam bunga rampai karakterisasi dan prinsip penanganan
benih tanaman berwatak rekalsitran dan intermediet. Bogor: IPB Press.
pp 5-28.

137
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Suharti, S., Ginoga, K. L., Murniati, Octavia, D., & Windyoningrum, A.


(2017). Langkah Strategis Menuju Percepatan Realisasi Capaian Program
Perhutanan Sosial. Policy Brief Volume 11 No. 08 Tahun 2017. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan
Perubahan Iklim.
Suita, E. & Nurhasybi. (2008). Pengaruh Ukuran Benih Terhadap
Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Tanjung (Mimusopselengi L.).
Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 14(1), 41 - 46.
Suita, E., Nurhasybi & Darwo. (2013). Respon perkecambahan dan
pertumbuhan bibit weru (Albizia procera Benth) berdasarkan hasil seleksi
benih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10 (4).
Suita, E., Sudrajat, D. J., & Kurniaty, R. (2017). Pertumbuhan bibit kaliandra
pada beberapa komposisi media di persemaian dan lapangan. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 14(1), 73 – 84.
Suita, E., Sudrajat, D. J. & Nurhasybi. (2018). Pertumbuhan bibit sengon
merah (Albizia chinensis (Osbeck) Merr.) pada media semai cetak dan
perbandingannya dengan bibit polibag. Jurnal Penelitian Kehutanan
Wallacea, 7(2), 141 – 149.
Thompson, B. E. (1985). Seedling morphological evaluation: what you can
tell by looking. In Duryea, M.L. Proceedings evaluation seedling quality;
principles, procedurs and predictive abilities of mayor test. Oregon State
University. Forest Research Laboratory. pp. 59 - 71.
Thompson, J. R. & Schultz, R.C.. (1995). Root system morphology of
Quercus rubra L. planting stock and 3-year field performance in Iowa.
New Forest 9, 225 -236.
Tikupadang, H., Nursyamsi, Toaha, A. Q., Hajar, & Palalunan. (2011).
Pemanfaatan mikoriza dalam biopoting untuk mendukung bioreklamasi
lahan bekas tambang kapur. Laporan Hasil Penelitian Balai Kehutanan
Makassar. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Tiwari, S. K., Tiwari, K. P. & Siril, E. A. (2002). An Improved Micropropagation
Protocol for Teak. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture 71, 1 - 6.
Tripp, R. (1997). New seeds and old laws. London: Intermediate Technology
Publications. London.

138
DAFTAR PUSTAKA

Trubat, R., Cortina, J, & Vilagrosa, A. (2010). Nursery fertilization affect


seedling traits but not field performance in Quercus suber L. Journal of
Arid Environments 74, 491 - 497.
Trubat, R., Cortina, J. & Vilagrosa, A. (2011). Nutrient deprivation improves
field performance of woody seedlings in a degraded semi-arid shrub land.
Ecol. Eng. doi:10.1016/j.ecoleng.2011.02.015
Van den Driessche, R. (1984). Relationship between spacing and nitrogen
fertilization of seedlings in the nursery, seedling mineral nutrition and
outplanting performance. Can.adian Journal of Foreast Research. 14, 431
-436.
Van der Meer, C. (2002). Challenges and limitations of the market. Jurnal of
New Seeds. 4(1/2), 65 - 75.
Van Gastel, T. J. G., Gregg, B. R. & Asiedu, E. A. (2002). Seed quality
control in developing countries. Jurnal of New Seeds. 4(1/2), 65 - 75.
Vaverková, M., Adamcová, D., Kotovicová, J., & Toman, F. (2014).
Evaluation of biodegradability of plastics bags in composting conditions.
Ecological Chemistry and Engineering S, 21(1), 45 – 57. https://doi.
org/10.2478/eces-2014-0004.
Venator, C. R. (1983). First-year survival of morphologically graded loblolly
pine seedlings in Central Louisiana. Tree Planters’ Notes 34(4), 34 - 36.
Wakeley, P. C. (1954). Planting the Southern Pines. Agriculture Monograf
No. 18. USDA Forest Service.Washinton D. C. p 233.
Wang, B. S. P., Charest, P. J. & Downie, B. (1993). Ex-situ Storage of Seeds,
Pollen and In-vitro Cultures of Perennial Woody Plant Species. Rome:
FAO. P. 41 - 57.
Wareing, P. F. & Phillips, I. D. J. (1976). The Control of Growth and
Differentiation in Plants. NewYork-Sidney-Paris-Frankfurt: Pergamon
Press.
Watson, G. W. (1994). Root growth response to fertilizers. Journal of
Arboriculture 20, 4 – 8.
Wattimena, G. A. (1992). Bioteknologi Tanaman. Bogor: PAU Bioteknologi
IPB.

139
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

White, J. B. (1979). Longleaf pine survival influenced by seedling size and


length of storage. In Balmer W. E. (Ed.).Longleaf pine workshop. USDA
Forest Service Technical Publication SA-TP3. Mobile, AL. pp. 26-29.
Wilson, B. C. & Jacobs, D. F. (2004). Electrolyte Leakage from stem tissue
as an indicator of hardwood seedling physiological status and hardiness.
In Proceeding of the Fourteenth Central Hardwood Foreast Conference.
Wooster, O.H., 16-19 March 2004. USDA Forest Service. pp. 373 -
381.
Wilson, B. C. & Jacobs, D. F. (2005). Quality assessment of hardwood
seedings. Indiana: Hardwood Tree Improvement and Regeneration
Center, Purdue University.
Wisconsin DNR Forestry Nursery. (2008). A step by step guide to planting
and maintaining trees. In Young, N. Matching trees to planting site.
USAID/USDA Natural Resources Conservation Centre.
Yuniarti, N. 1996. Pemilihan metode dan media uji perkecambahan benih
takir (Duabanga moluccana). Laporan Uji Coba 206. Bogor: Balai
Teknologi Perbenihan. Bogor. 40p.
Yuniarti, N. dan Syamsuwida, D. (2004). Kayu kuku (Pericopsis mooniana
Thw.). Atlas benih Tanaman Hutan Indonesia. Jilid II. Balai Teknologi
Perbenihan.
Yuniarti, N., & Nurhasybi, N. (2015). Viability and biochemical content
changes in seed storage of jabon putih (Anthocephalus cadamba (Roxb)
Miq.). Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 21(2), 92 – 98. DOI: 10.7226/
jtfm.21.2.92.
Zainudin, S. R., Awang, K., & Hanif, A. H. B. M. (2003). Effects of combined
nutrient and water stress on the growth of Hopea odorata Roxb. and
Mimusops elengi Linn. seedlings. Journal of Arboriculture, 29, 79–84.
Zandstra, J. W., & Liptay, A. (1999). Nutritional effects on transplant root
and shoot growth – a review. Acta Horticulturae, 504, 23–32
Zanzibar, M. (2004). Kepuh (Sterculia foetida Linn.). Atlas benih Tanaman
Hutan Indonesia. Jilid II. Balai Teknologi Perbenihan.

140
DAFTAR PUSTAKA

Zanzibar, M. (2010). Teknologi penanganan benih untuk peningkatan


produktivitas hutan rakyat. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian,
Bandung 20 Oktober 2010. Bogor: Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor.
Zida, D., Tigabu, M., Sawadogo, L., & Oden, P. C. (2007). Initial seedling
morphology characteristics and field performance of two Sudanian
savanna species in relation to nursery production periods and watering
regimes. Forest Ecology and Management, 255, 2151-21

141
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Acacia Tinggi pohon Tumbuh di daerah Hanum et al.
crassicarpa dapat mencapai tropis lembap dan (1997)
25-30 m, batang sub-lembap dengan
bebas cabang ketinggian 0-200 (-450)
13-18 m, m dpl. Curah hujan
diameter sampai tahunan di habitat
50 cm. alaminya mulai dari
500-3.500 mm. Suhu
minimum rata-rata 15-
22°C dan maksimum
31-34°C. Toleran
terhadap garam dan
salinitas tanah. Tumbuh
pada berbagai jenis
tanah, dari pasir pantai
berkapur, yang berasal
dari granit, tanah merah
pada batuan vulkanik
dasar hingga tanah
alluvial dan colluvial
yang berasal dari
berbagai materi induk.
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Acacia Tinggi pohon Tumbuh pada dataran Joker (2001)
auriculiformis 8-20 m, pada rendah yang lembap
tapak yang baik dan panas, curah hujan
dapat mencapai tahunan rata-rata 800-
35 m. 2.500 mm dan suhu
rata-rata 20-30°C.
Dapat tumbuh di
tempat asam dan bekas
tambang dengan pH 3
hingga pantai berpasir
basa dengan pH 8-9.
Acacia mangium Tinggi pohon Jenis ini tumbuh pada Wadsworth
hingga 30 m, tanah lempung berpasir, (1997), Joker
bebas cabang toleril terhadap tanah (2001).
dapat lebih dari asam dan drainase jelek,
setengah tinggi pada ketinggian 0 - 700
pohon dengan m dpl, curah hujan
diameter hingga lebih dari 1.600 mm per
50 cm. tahun,
Adenanthera Tinggi pohon Tersebar di hutan hujan Hong &
microsperma dapat mencapai primer dan sekunder, Prawirohatmodjo
30-40 m, batang hijau sepanjang tahun, (1998)
bebas cabang juga ada di vegetasi
16 m, diameter seperti savana terbuka,
100-200 cm. tumbuh dari permukaan
laut hingga ketinggian
900 m dpl, tumbuh
pada berbagai jenis
tanah termasuk pasir,
tanah liat, batu kapur
dan batuan lainnya.

144
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Agathis Tinggi pohon Tumbuh di hutan Martawijaya et al.
loranthifolia dapat mencapai primer pada tanah (1981)
55m, batang berpasir, berbatu batu
bebas cabang atau liat yang selamanya
12-25 m, tidak digenangi
diameter 150 air,dengan ketinggian
cm atau lebih tempat 100-1600
mdpl, curah hujan :
2000- >3000mm, suhu
19-28ºC, memerlukan
solum tanah dalam, pH
asam-netral, drainase
baik dan toleran
terhadap tanah padat
dan asam.
Albasia chinensis Tinggi pohon Tumbuh di hutan Hanum et al.
30-43 m dan hujan dan hutan (1997)
diameter batang tropis campuran di
70-140 cm. iklim tropis basah
dan subtropis dengan
curah hujan tahunan
bervariasi dari 1000 -
5000 mm. Tumbuh juga
di hutan sekunder, di
sepanjang tepi sungai,
dan di savana hingga
ketinggian 1800 m dpl.
Dapat tumbuh dengan
tanah yang miskin, pH
tinggi, cukup toleran
terhadap garam dan
tumbuh subur di tanah
aluvial laterit dan area
penambangan berpasir.

145
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Alstonia scholaris Tinggi pohon Tumbuh pada tanah liat Ministry of
40- 45m, dan tanah berpasir yang Primary Industries,
panjang batang kering atau digenangi Malaysia (1983),
bebas cabang air dan terdapat juga Martawijaya et al.
6-30 m, pada lereng bukit (1981)
diameter 40-60 berbatu.Tumbuh pada
cm ketinggian 0-1000 m
dpl, di hutan hujan
tropis dengan tipe
curah hujan A sampai
C, curah hujan 1000-
4000 mm per tahun,
suhu : 19-33°C, pH
asam-netral.
Aleurites Tinggi pohon Tumbuh di daerah yang Martawijaya et al.
moluccana sampai 35 m, beriklim kering pada (1989)
batang bebas tanah yang agak subur,
cabang 9-14 m, sarang dan dalam atau
diameter sampai pada tanah berbatu,
100 cm pada ketinggian 0-1000
m dpl dengan tipe curah
hujan B-C. Pada tanah
liat pertumbuhannya
kurang baik.

146
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Artocarpus Tinggi pohon Tanaman ini telah Ministry of
heterophyllus hingga 15 m, tersebar hampir Primary Industries,
diameter sampai keseluruh dunia, Malaysia, (1978)
50 cm, terutama ke daerah-
bercabang daerah yang beriklim
rendah. tropik pada ketinggian
0-1600 m dpl.
Umumnya berada
di daerah beriklim E
(kering) dengan bulan
kering 6-7 bulan/
tahun. Dengan curah
hujan lebih dari 1500
mm/tahun, pada
tanah aluvial, tanah
liat berpasir atau liat
berlempung, pH 6,0-
7,5, cukup air dan
mempunyai drainase
yang baik.
Aquilaria Tinggi pohon Dapat tumbuh pada Heyne (1987)
malaccensis sampai 15-18 tanah-tanah tinggi,
m, diameter dengan curah hujan tipe
sampai 50 cm A, suhu berkisar antara
20-30 0C, kelembaban
udara 77-85% dan
topografi datar sampai
bergelombang.

147
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Avicennia sp. Tinggi pohon Tumbuh di pinggiran Hong dan
sampai 30 m, mangrove, sepanjang Prawirohatmodjo
batang bebas aliran sungai atau (1998)
cabang 5-10 m, sungai pasang surut.
diameter 60-160 Termasuk tumbuhan
cm pionir yang mampu
melakukan kolonisasi
dengan cepat. Avicennia
sangat toleran terhadap
kondisi hipersalin, dan
toleransi sangat luas
terhadap salinitas, suhu,
posisi intertidal, dan
substrat (lumpur sampai
berbatu)
Azadirachta Tinggi pohon Hidup pada rentang Joker (2001)
indica lebih dari 15 suhu dan curah hujan
m, jarang sangat lebar. Tahan
mencapai 25 hidup pada daerah
m. iklim monson dengan
musim kering yang
lama dan curah hujan
tahunan 450-2.250
mm. Banyak dijumpai
pada ketinggian 0-700
m dpl, tetapi dapat
juga tumbuh pada
ketinggian di atas 1.500
m dpl apabila suhunya
tidak terlalu tinggi.
Dapat tumbuh pada
lokasi dengan berbagai
tipe tanah tetapi tidak
pada daerah bergaram,
tergenang atau tanah
liat.

148
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Azadirachta Tinggi pohon Tumbuh pada Kijkar dan
excelsa mencapai 50 ketinggian 0 - 250 m Boontawee (1995),
m, diameter dpl, curah hujan 1500 - Joker (2002)
sampai 125 2000 mm/tahun, tanah
cm. yang subur dan pasir
lempung atau lempung
berpasir dengan pH 5,0
- 6,5 dan dengan profil
yang dalam.
Bruguera Tinggi pohon Tumbuh di pedalaman Hanum et al.
sexangula mencapai 33 hutan bakau yang (1997)
m dan diameter tidak sering terendam,
batang 65-80 dan dapat ditemukan
cm. di sepanjang tepi
sungai. Kadang-kadang
ditemukan di pantai
berpasir. Tumbuh di
tanah sedikit bergaram
dan pada tanah mudah
dikeringkan.
Calophyllum Tinggi pohon Tumbuh dalam hutan Martawijaya et al.
inophyllum sampai 30 m, hujan tropis dengan tipe (1981)
batang bebas curah hujan A dan B,
cabang 21 m, pada tanah berawa dekat
diameter 80 cm pantai sampai pada
atau lebih tanah kering, dengan
ketinggian sampai 800
m dpl

149
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Caliandra Tinggi Rata-rata tumbuh pada Hanum et al.
callothyrsus pohon1,5 –12 ketinggian 0-1300, (1997)
m dan diameter tetapi dapat tumbuh
batang dapat sampai 1850 m dpl
mencapai 30 di daerah-daerah
cm. dengan dan rata-rata
curah hujan tahunan
700-3000 mm. Di
Jawa tumbuh hingga
ketinggian 1500 m
dpl, tumbuh terbaik
antara 250-800 m dpl
di daerah dengan curah
hujan tahunan 2000-
4000 mm dan periode
kering 3-6 bulan.
Tanaman membutuhkan
suhu tahunan rata-rata
20-28°C. Tumbuh di
berbagai jenis tanah,
terutama cambisols,
acrisols dan nitosols
dengan kondisi tanah
mulai dari subur ke
relatif tidak subur
dan dari asam ke basa
ringan, juga dapat
ditemukan pada
andosol, tanah liat
berpasir yang dangkal
atau tererosi atau
endapan aluvial.

150
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Casuarina Tinggi Tumbuh secara alami Hanum et al.
junghuniana pohon15–25(- di lereng gunung berapi (1997)
35) m dan di ketinggian 1500-
diameter batang 3100 m dpl tetapi
30-50(-65) cm. juga di dataran rendah
di tempat kering.
di Indonesia bagian
timur, terutama di
Timor, tumbuh dekat
permukaan laut hingga
ketinggian 550 m dpl.
Curah hujan di habitat
alami adalah berkisar
antara 700-1500
mm. Rata-rata suhu
maksimum bulanan
berkisar dari 25-28°
C, suhu minimum
bulan terdingin dari
19-22° C. Tanaman ini
tahan kekeringan dan
dapat bertahan lama di
genangan air. Tumbuh
di berbagai jenis tanah,
mulai dari tanah
gunung berapi dan
tanah berpasir ke tanah
liat. Toleran terhadap
rentang pH yang luas,
dari 2,8 dalam tanah liat
asam hingga 8,0.

151
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Diospyros celebica Tinggi pohon Tumbuh pada berbagai Martawijaya et al.
sampai 40 m, tipe tanah, pada tanah (1981)
panjang batang berbatu, berpasir,
bebas cabang berkapur, tanah latosol
10-20 m, atau podsolik merah
diameter sampai kuning, asalkan cukup
100 cm sarang dan tidak terlalu
asam dengan iklim
basah.
Dipterocarpus sp. Tinggi pohon Tumbuh di hutan hujan Martawijaya et al.
dapat mencapai tropis dengan tipe curah (1981)
50 m, panjang hujan A dan B. Tumbuh
batang bebas di tempat yang sewaktu-
cabang sampai waktu digenangi air
35 m, diameter tawar dan ditanah
dapat mencapai rawa, tetapi lebih
120 cm banyak tumbuh pada
tanah daratan kering di
punggung bukit pada
tanah berpasir, tanah
liat, tanah berbatu,
latosol atau podsolik
merah kuning pada
ketinggian sampai 1000
m dpl.
Duabanga Tinggi pohon Tumbuh pada Heyne (1987),
moluccana 25-45 m. ketinggian 0 - 1000 m Wadsworth (1997)
dpl, curah hujan per
tahun lebih dari 1.600
mm, tolerir keasaman
dan drainase yang
terhambat tetapi tidak
merusak tanah.

152
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Dyera lowii Tinggi pohon Tumbuh di hutan hujan Martawijaya et al.
25-45 m, tropis dengan tipe curah (1981)
panjang batang hujan A dan B, pada
bebas cabang tanah berpasir, tanah
15-30 m, liat atau tanah rawang.
diameter sampai Daratan bergelombang
100 cm pada ketinggian 20-800
m dpl
Dryobalanops Tinggi pohon Tumbuh pada hutan Martawijaya et al.
aromatica umumnya hujan tropis tanah (1981)
berkisar 35-45 rendah dengan tipe
m dan dapat curah hujan A dan B,
mencapai 60 m, pada tanah daratan
panjang batang kering, datar dan sarang,
bebas cabang 30 pada ketinggian 60-400
m atau lebih, m dpl
diameter 80-100
cm
Enterobium Tinggi pohon Jenis ini tumbuh pada Martawijaya et al.
cyclocarpum mencapai 40 ketinggian 0-1000 (1989)
m, umumnya m dpl dengan curah
memiliki tinggi hujan 600-4800 mm/
bebas cabang th. Tumbuh pada tanah
rendah (4-5 m), berlapisan dalam,
diameter dapat drainase baik. Toleran
mencapai 150 terhadap tanah berpasir
cm. dan asin tapi bukan
pada tanah berlapisan
dangkal. Tahan terhadap
suhu dingin dan terpaan
angin.

153
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Eucalyptus Tinggi pohon Tumbuh asli di Sulawesi Martawijaya et al.
deglupta 40 m, panjang pada ketinggian 0-600 (1989)
batang bebas m dpl, sedangkan
cabang 25 m, di Irian Jaya sampai
diameter 100 ketinggian 1.000 m. Di
cm atau lebih Jawa tumbuh baik pada
ketinggian 0-1.000 m
dpl. Leda menghendaki
tanah yang subur,
dalam dan sarang,
mengandung pasir atau
abu vulkanis, pada tipe
curah hujan A-B sampai
C.
Eucalyptus pellita Tinggi pohon Tumbuh pada Wadsworth (1997),
40 m, tinggi ketinggian 0 - 1000 m Hendromono et al.
batang bebas dpl, curah hujan per (2006)
cabang sampai tahun 2300 - 2.400
25 m dan mm, tumbuh pada
diameter batang tanah yang berat dan
100 cm atau masam.
lebih.
Eucalyptus Tinggi pohon Tumbuh pada Wadsworth
urophylla 45-55 m, tinggi ketinggian 0 - 1600 m (1997)
batang bebas dpl, curah hujan per
Hanum et al.
cabang sampai tahun 1200 - 4800 mm,
(1997)
30 m dan tanah dalam drainase
diameter batang baik, tanah berpasir
1-2 m. dan tolerir tanah asam.
Di Nusa Tenggara,
kondisi yang lebih
kering dengan curah
hujan 600-1500 mm,
dan musim kering 5-8
bulan.

154
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Eusideroxylon Tinggi pohon Tumbuh pada tanah Martawijaya et al.
zwagery mencapai 35 kering yang sarang, (1989)
m, tinggi pada tanah liat dan
batang bebas tanah endapan batuan
cabang 5-20 m. pasir, pada lapangan
diameter 100 datar, miring atau
cm atau lebih. bergelombang ringan.
Jenis ini memerlukan
iklim basah dengan tipe
curah hujan A pada
dataran rendah sampai
ketinggian 400 m dpl.
Ficus benyamin Tinggi pohon Tumbuh di hutan Hong dan
mencapai 40-50 hujan dataran rendah, Prawirohatmodjo
m, diameter baik sebagai kanopi (1998)
100-190 cm. dan pohon ternaungi
(understorey). Tanaman
ini sering ada di rawa
payau di belakang
mangrove. Jenis ini
umumnya ditemukan di
bawah ketinggian 1500
m dpl, beberapa antara
1500 - 2750 m dpl atau
langka hingga 3200 m
dpl.

155
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Ficus variegata Tinggi phon Jenis Ficus umumnya Hong dan
mencapai 40-50 tumbuh di hutan hujan Prawirohatmodjo
m, diameter dataran rendah, baik (1998)
100-190 cm. sebagai kanopi dan
pohon understorey. ficus
tidak terjadi di vegetasi
mangrove tetapi sering
ada di rawa payau di
belakang mangrove.
Spesies ficus umumnya
ditemukan di bawah
ketinggian 1500 m,
beberapa antara 1500
dan 2750 m atau langka
hingga 3200 m. banyak
spesies yang epifit.
Fragraera Tinggi pohon Tumbuh pada tanah Martawijaya et al.
fragrans mencapai 40 datar dan sarang atau (1989)
m, tinggi di tempat yang tidak
batang bebas terlalu lama digenangi
cabang 25 m. air, pada tanah pasir
diameter 80 atau tanah liat berpasir.
cm atau lebih. Jenis ini menghendaki
iklim basah sampai
agak kering dengan tipe
curah hujan A sampai B,
pada ketinggian 0-500
m dpl.

156
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Gmelina arborea Tinggi pohon Tumbuh pada Wadsworth (1997),
dapat mencapai ketinggian 0 - 800 m Rachmawati et al.
30-40 m, dpl, dengan curah hujan (2002)
diameter rata- tahunan 1.000 - 2.500
rata 50 cm, mm.
kadang bisa
Tumbuh pada tanah
mencapai 140
dengan solum dalam,
cm
subur, telolir pada
tanah yang dangkal,
berpasir, atau berat dan
keasaman tetapi tidak
menghambat drainase
Hibiscus Tinggi pohon Tumbuh pada daerah Mindawati et al.
macrophyllus mencapai 30 yang memiliki (2010)
m, diameter 80 ketinggian tempat
cm, tinggi bebas kurang dari 800 m dpl
cabang 12 m. pada tipe iklim A-C,
kelembapan 70-90%,
suhu 20-28°C, curah
hujan 1500-3000 mm/
tahun. Tumbuh pada
berbagai jenis tanah :
podsolik merah kuning,
alluvial.
pH tanah asam hingga
netral.

157
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Instia bijuga Tinggi pohon Tumbuh baik pada Martawijaya et al.
mencapai 40 tanah lembab yang (1989)
m, diameter kadang-kadang
sampai 100 digenangi air dan dapat
cm, tinggi bebas juga tumbuh pada tanah
cabang 4-30 m. kering, tanah berpasir
dan tanah berbatu, baik
tanah datar maupun
tanah miring. Jenis
ini memerlukan iklim
basah sampai iklim
kering dengan tipe
curah hujan A-D, pada
dataran rendah dengan
ketinggian 0-50m dpl
Lagerstoemia Tinggi pohon Tumbuh pada tanah Martawijaya et al.
speciosa mencapai 30 basah atau tanah (1989)
m, diameter 90 yang kadang-kadang
cm, tinggi bebas digenangi air, tetapi
cabang 17 m. tidak tumbuh pada
tanah gambut. Jenis
ini dapat pula tumbuh
pada tanah kering
yang kurang subur
dan pada tanah alang-
alang baik pada tanah
liat maupun tanah liat
berpasir. Menghendaki
iklim basah hingga
agak kering dengan tipe
curah hujan C pada
ketinggian 0-800 m dpl

158
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Maesopsis eminii Tinggi pohon Tumbuh pada Wadsworth (1997),
mencapai 45 m ketinggian 100 - 1500 Joker (2002),
dengan batang m dpl, curah hujan per Departemen
bebas cabang tahun berkisar 1.200 Kehutanan (2004)
2/3 tinggi total. - 3.000 mm. Tanah
dengan solum dalam,
subur, tolerir terhadap
tanah asam.

Magnolia blumei Tinggi Banyak dijumpai Mindawati et al.


(sinonim: maksimum 40 di daerah dengan (2010)
Manglieta m, diameter 150 ketinggian tempat
glauca) cm, tinggi bebas antara 450-2400 m dpl
cabang 23 m. pada tanah berpasir
atau tanah liat dengan
kondisi lingkungan
yang lembab. Di Jawa
Barat dijumpai pada
ketinggian 1100-1400
m dpl pada suhu 15-
28°C. Curah hujan yang
diperlukan 1100-3000
mm/tahun.

Magnolia Tinggi pohon Tersebar di dataran Hong dan


champaca sampai 60 m, rendah atau Prawirohatmodjo
diameter sampai pegunungan, hutan (1998)
80-115 cm hujan primer, hingga
ketinggian 2.800 m
dpl. Habitat biasanya
tumbuh baik di daerah
kering tetapi kadang-
kadang tergenang air
dan berawa

159
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Manilkara kauki Tinggi pohon Jenis ini tumbuh di Heyne (1987),
hingga 20 m. kawasan pantai yang Martawijaya et al.
berpasir dan pulau- (1989)
pulau karang juga
tersebar di kawasan
hutan bakau yang
berbatasan dengan
daratan (pesisir).
Melia azedarach Tinggi pohon Seringkali tumbuh Martawijaya et al.
sampai 40 m, pada tanah tertier, pada (1989)
panjang batang tanah liat, berbatu
bebas cabang atau berpasir vulkanis,
20m, diameter di bukit-bukit rendah
sampai 185 cm sampai ketinggian 1000
m dpl, pada daerah
dengan tipe curah hujan
A-C
Mimosops elengi Tinggi pohon Tanaman ini tumbuh Martawijaya et al.
sampai 25 pada bermacam-macam (1989)
m, panjang jenis tanah, mulai dari
batang bebas dataran rendah sampai
cabang 8-17 m, pada ketinggian 600 m
diameter sampai dpl, dengan tipe curah
100 cm hujan A dan B. Jenis
ini dapat hidup tanpa
zat asam dalam tanah
selama kira-kira 67 hari.

160
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Neolamarckia Tinggi pohon Tumbuh pada Martawijaya et al.
cadamba (sin. sampai 45 m, ketinggian 0-1000 m 1989,
Anthocephalus batang bebas dpl dengan curah hujan
Sudrajat (2016)
cadamba, A. cabang 30 m, kurang dari 1920 mm/
chinensis) diameter sampai tahun. Tumbuh pada
100 cm tanah aluvial lembap di
pinggir sungai dan di
daerah peralihan antara
tanah rawa dan tanah
kering yang kadang-
kadang digenangi air.
Toleran terhadap tanah
asam dan berdrainase
jelek tetapi bukan pada
tanah tererosi.
Neolamarckia Tinggi pohon Selain itu dapat juga
macrophilla (sin. sampai 45 m, tumbuh dengan baik
Antocephalus batang bebas pada tanah liat, tanah
macrophyllus). cabang 30 m, lempung pada ketinggian
diameter sampai 0-1000 m dpl.
100 cm
Octomeles Tinggi pohon Tumbuh pada Wadsworth (1997),
sumatrana dapat mencapai ketinggian 0 - 600 m Martawijaya et al.
45 m atau lebih, dpl, curah hujan per (1989)
panjang batang tahun lebih dari 1600
bebas cabang mm, tanah ringan,
sampai 30 m, tolerir pada tanah liat
diameter sampai dan tanah liat berpasir.
90 cm atau lebih Tumbuh pada tanah
kering, atau kadang-
kadang pada tanah
lembab dipinggir sungai
dengan tekstur tanah liat
atau tanah liat berpasir.
Jenis ini menghendaki
iklim basah hingga
agak kering dengan tipe
curah hujan A-C.

161
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Palaquium spp. Tinggi pohon Jenis ini tumbuh pada Martawijaya et al.
30 – 45 m, ketinggian 20-500 m (1981)
panjang batang dpl pada tanah berawa
bebas cabang dan sebagian pada tanah
15-30 m, kering, dengan jenis
diameter 50- tanah berpasir atau
100 cm tanah liat, di daerah
banyak hujan.
Falcataria Tinggi phon Tumbuh pada Departemen
moluccana (sin. mencapai 40 m, ketinggiaan <1600 Kehutanan (2004),
Paraserianthes panjang batang m dpl, curah hujan Martawijaya et al.
falcataria) bebas cabang tahunan 2000 – 4000 (1989)
10-30 m, mm, suhu 19-28° C,
diameter sampai tanah bersolum sedang
80 cm. hingga dalam, pH asam
hingga netral. Tumbuh
pada tanah yang tidak
subur dan agak sarang,
tanah kering maupun
becek atau agak asin.
Tanaman muda tahan
kekurangan zat asam
sampai 31,5 hari. Jenis
ini menghendaki iklim
basah sampai agak
kering, pada dataran
rendah hingga ke
pegunungan.
Pericopsis - Tumbuh di hutan hujan Yuniarti dan
mooniana dataran rendah, yang Syamsuwida
tumbuh tidak jauh dari (2004)
pantai atau rawa sampai
ketinggian 100 m dpl.

162
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Peronema Tinggi pohon Tumbuh pada Departemen
canescens 20-25 m, ketinggian 0-700 m Kehutanan (2004),
panjang batang dpl, curah hujan >3000 Martawijaya et al.
bebas cabang mm/tahun, suhu 22- (1981)
sampai 15 m, 30° C, pH asam hingga
diameter dapat netral. Tumbuh di
mencapai 60 cm dalam hutan hujan
atau lebih. tropis dengan tipe curah
hujan A sampai C pada
tanah kering atau sedikit
basah.
Planchonia Tinggi pohon Tumbuhan ini Hong dan
valida dapat mencapai ditemukan tersebar Prawirohatmodjo
50 m, panjang tetapi lokal umum di (1998)
batang bebas hutan hujan primer,
cabang sampai evergreen hingga
20 m, diameter semi-gugur. Sering di
dapat mencapai temukan di lokasi yang
150-200 cm lembab, dekat air atau
di dataran alluvial,
tetapi juga di lereng
dan sepanjang jurang,
hingga ketinggian 650-
1.000 m. umum pada
tanah aluvial berawa.

163
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Polyalthia Tinggi pohon Tumbuh tersebar sebagai Hong dan
longifolia dapat mencapai pohon kanopi bawah Prawirohatmodjo
40-50 m, atau pohon kanopi (1998)
diameter dapat utama di dataran tinggi
mencapai 60-90 pegunungan sekunder
cm atau dataran rendah,
hingga ketinggian 1200-
1800 m. Ditemukan
di daerah yang hijau
dan musim hujan, baik
di bukit-bukit yang
dikeringkan dengan
baik maupun di lokasi
dengan tingkat drainase
yang buruk.
Pometia pinnata Pohon dapat Jenis ini tersebar pada Martawijaya et al.
mencapai tinggi ketinggian 0-250 m (1981)
40 m dengan dpl dengan curah
bebas cabang hujan 1000-1500
sampai 18 m, mm/tahun (tipe curah
diameter dapat hujan A sampai B).
mencapai 100 Jenis ini tumbuh pada
cm tanah latosol, tanah
podsolik merah-kuning
atau podsolik kuning.
Di Irian Jaya matoa
tumbuh baik pada tanah
kapur coklat kemerah-
merahan.

164
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Pterocarpus Tinggi pohon Dapat tumbuh baik Martawijaya et al.
indicus 10-45 m, pada berbagai jenis (1981)
panjang batang tanah, kecuali pada
bebas cabang tanah liat yang berat.
2-16 m, Kadang-kadang tumbuh
diameter dapat pada tanah agak berpasir
mencapai 150 dan tergenang air seperti
cm pada tanah gambut.
Akar-akarnya tahan
terhadap kekurangan
asam sampai 40-50
hari. Tumbuh pada
hutan tropis, dengan
curah hujan A-D, pada
ketinggian 0-800 mdpl.
Pterospermum Tinggi pohon Tumbuh pada tanah Martawijaya et al.
javanicum sampai 40 m, basah (becek) yang tidak (1981)
batang bebas tergenang air dan dapat
cabang 10-30 juga tumbuh pada tanah
m, diameter kering, di dalam hutan
sampai 120 cm gugur daun pada tanah
liat, tanah pasir atau
tanah liat berpasir. Jenis
ini memerlukan iklim
basah hingga kemarau
agak kering dengan tipe
curah hujan A-C, pada
dataran rendah sampai
ketinggian 600 m dpl.
Rhizophora Tinggi pohon Rizopora apiculata Hanum et al.
apiculata sampai 30 m, adalah spesies mangrove (1997)
diameter dapat yang paling umum.
mencapai 50 cm tumbuh di rawa-rawa
yang dibanjiri oleh air
pasang yang tinggi,
pada lumpur lembut
yang dalam dari muara
sungai.Tumbuh tidak di
rawa-rawa air tawar.

165
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Pinus merkusii Tinggi pohon Jenis ini tumbuh baik Departemen
20 - 40 m, pada ketinggian 200- Kehutanan (2004),
tinggi batang 2000 m dpl (curah Martawijaya et al.
bebas cabang hujan 1500-4000 mm/ (1989)
2-23 m. tahun, suhu 19-30°C),
diameter tanah bersolum dalam,
sampai100 cm dengan pH asam-netral.
Dapat tumbuh pada
tanah jelek dan kurang
subur, pada tanah
berpasir, tetapi tidak
dapat tumbuh dengan
baik pada tanah becek.
Jenis ini menghendaki
iklim basah sampai
agak kering dengan tipe
curah hujan A sampai
C, pada ketinggian 200
– 1.700 m dpl.
Santalum album Tinggi pohon Tersebar di daerah semi Pramono dan
12-15, diameter arid dengan musim Buharman (2004),
20-35 cm kemarau yang nyata, Heyne (1987)
dengan tipe iklim D dan
E, ketinggian tempat
50-1200 m dpl, dan
curah hujan 625-1625
mm/tahun Tanaman
ini tumbuh tersebar
di daerah tropis dan
subtropis

166
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Scheleichera Tinggi pohon Tumbuh pada curah Hanum et al.
oleosa sampai 30 m, hujan tahunan 750- (1997)
diameter dapat 2500 mm. Toleransi
mencapai 50 cm suhu maksimum
mutlak 35-47,5 dan
suhu minimum absolut
-2,5. Di Jawa, biasanya
terjadi pada ketinggian
rendah, tetapi dapat
ditemukan hingga 900
(-1200) m. Tumbuh di
lokasi yang agak kering
sampai kadang-kadang
berawa di tanah yang
beragam, sering berbatu,
berkerikil atau liat,
berdrainase baik, lebih
disukai sedikit asam.
Shorea Tinggi pohon Jenis ini tersebar di Martawijaya et al.
balangeran 20-25 m, hutan primer tropis (1989)
panjang batang basah yang secara
bebas cabang temporer tergenang
sampai 15 m, air, di pinggir sungai
diameter sampai atau rawa, pada tanah
50 cm berpasir, tanah liat atau
gambut pada ketinggian
0-100 m dpl, dengan
tipe curah hujan A-B.

167
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Shorea leprosula Tinggi pohon Tumbuh dalam hutan Hendromono et al.
dapat mencapai hujan tropis dengan tipe (2006)
50 m, panjang curah hujan A, B dan C.
batang bebas Jenis in tumbuh pada
cabang 30 tanah latosol, podsolik
m, diameter merah kuning pada
umumnya ketinggian sampai 1300
sekitar 100 cm. m dpl.
Tumbuh dalam
hutan primer dengan
ketinggian antara 5-800
m dpl.
Shorea levis Tinggi pohon Tumbuh di hutan tropis Martawijaya et al.
sampai 50 m, pada tanah pasir, basalt (1981)
panjang batang laterit tua dan podsolik,
bebas cabang terutama pada tanah
35-40 m, yang datar dan sering
diameter sampai digenangi air tawar
100 cm atau secara bermusim, dapat
lebih juga tumbuh di bukit-
bukit pada ketinggian
sampai 400 m dpl
Shorea parvifolia Tinggi pohon Tumbuh dalam hutan Hendromono et al.
dapat mencapai hujan tropis dengan tipe (2006)
50 m, panjang curah hujan A, B dan C.
batang bebas Jenis ini tumbuh pada
cabang 30 tanah latosol, podsolik
m, diameter merah kuning pada
umumnya ketinggian sampai 1300
sekitar 100 cm. m dpl.

168
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Shorea stenoptera Tinggi pohon Tumbuh dalam hutan Hendromono et al.
dapat mencapai hujan tropis dengan tipe (2006)
50 m, panjang curah hujan A, B dan C.
batang bebas Jenis ini tumbuh pada
cabang 30 tanah latosol, podsolik
m, diameter merah kuning pada
umumnya ketinggian sampai 1300
sekitar 100 cm. m dpl.
Shorea sp. Tinggi pohon Tumbuh pada tanah Martawijaya et al.
20-50 m, liat, tanah berpasir (1981)
panjang batang atau berbatu, baik
bebas cabang tanah kering maupun
10-35 m, berawang
diameter sampai
160 cm
Samanea saman Tinggi pohon Jenis ini tumbuh pada Departemen
25-40 m, ketinggian 1-1800 m Kehutanan (2004),
diameter sampai dpl dengan curah hujan Hanum et al.
2m tipe C. Tumbuh subur (1997)
dalam berbagai kondisi
iklim dan tanah, mulai
dari permukaan laut
hingga ketinggian 1000
m, dengan curah hujan
tahunan 1000-2500
mm. Tumbuh terbaik
di iklim dengan suhu
minimum rata-rata
bulan terdingin 18-22°C
dan suhu maksimum
rata-rata bulan terpanas
24-30°C. persyaratan
tanah berkisar dari
cukup asam hingga basa,
pH 5,5-8,5. Tumbuh
baik di tanah liat atau
berpasir dan tahan
genangan air musiman.

169
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Sterculia foetida Tinggi pohon 30Di Pulau Jawa, jenis Heyne (1987),
sampai 35m, ini dapat ditemui di Zanzibar (2004)
diameter 100- daerah yang mempunyai
120 cm ketinggian di bawah 500
m dpl. Sementara di
Malaysia, sebaran jenis
ini terbatas di hutan
hujan di tanah kering
dan rawa-rawa pada
ketinggian 0-1400 m
dpl.
Swietenia Tinggi pohon Tumbuh pada Wadsworth (1997),
macrophylla dapat mencapai ketinggian 0 - 900 m Martawijaya
35 m, diameter dpl, curah hujan per et al. (1981),
sampai 125 cm. tahun 1.600 - 4.000 Departemen
mm. Dapat tumbuh Kehutanan (2004)
baik di daerah dengan
musim kemarau yang
basah maupun kering,
yaitu pada tipe curah
hujan A sampai D. Jenis
ini tumbuh pada tanah
yang agak liat dan kurus
dengan ketinggian
sampai 1000 m dpl.

170
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Tamarindus Tinggi pohon Tumbuh baik di daerah Joker (2002)
indica sampai 30 m, semi kering dan iklim
diameter bisa muson basah, dapat
mencapai 150 tumbuh di kisaran
cm tipe tanah yang luas.
Dapat hidup di tempat
bersuhu sampai 47°C,
tapi sangat sensitif
terhadap es. Umumnya
tumbuh di daerah curah
hujan 500-1.500 mm/
th, bahkan tetap hidup
pada curah hujan 350
mm jika diberi irigasi
saat penanaman.
Tectona grandis Tinggi pohon Tumbuh baik pada Martawijaya
mencapai 45 m, tanah sarang, terutama et al. (1981),
panjang batang pada tanah yang Departemen
bebas cabang mengandung kapur Kehutanan (2004),
15-20 m, pada ketinggian <900 m Wadsworth (1997)
diameter dapat dpl. Curah hujan 1250
mencapai 220 – 3000mm/th, suhu
cm, umumnya 18-32° C. Tanah dengan
50 cm solum dalam, subur,
netral - mentoleransi
tanah yang sedang –
berat.
Terminalia Tinggi pohon Tumbuh liar di hutan- Kosasih dan
catapa mencapai 40 m, hutan rawa dan pantai, Kelana (2013)
diameter dapat di tempat-tempat
mencapai 150 terbuka, umumnya di
cm tepi-tepi pantai, tepi-
tepi sungai juga dataran
rendah pada tanah
liat berpasir. Tumbuh
hingga pada ketinggian
1000 m dpl.

171
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)


Morfologi Kesesuaian tempat
Nama botani Pustaka
pohon tumbuh
Toona sureni Tinggi pohon Tumbuh pada tanah Martawijaya
mencapai 34 kering dan lembap et al. (1989),
m, panjang yang subur, umumnya Wadsworth (1997)
batang bebas di daerah pegunungan
cabang 10-25 pada ketinggian di
m, diameter bawah 1.200 m dpl.
dapat mencapai Jenis ini menghendaki
85 cm iklim agak kering
dengan tipe curah
hujan A sampai C
dengan suhu 18-32° C.
Curah hujan per tahun
berkisar 1250 - 2500
mm dengan tanah
subur, asam sampai
netral. Tersebar di Jawa,
Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, NTT, NTB,
dan Irian Jaya.

172
LAMPIRAN

Lampiran 2. Standar mutu fisik-fisiologis benih tanaman hutan


Daya berkecambah (% atau Masa
Berat 1000 Kemurnian Kadar kecambah per gram)
Jenis berlaku
butir (gram) (%) air (%)
Mutu P Mutu D Mutu T uji
Acacia 16 – 19 ≥ 96 ≤8 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12
aulacocarpa
Acacia 17 – 25 ≥ 96 ≤9 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 12
crassicarpa
Acacia 13 – 18 ≥ 93 ≤7 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12
auriculiformis
Acacia 8 – 15 ≥ 97 ≤8 ≥ 90 75 – 89 65 – 74 12
mangium
Acacia vilosa 14 – 18 ≥ 96 ≤8 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12
Adenanthera 267 – 274 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 12
microsperma
Agathis 170 – 220 ≥ 95 30 - 34 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 *
loranthifolia
Albizzia procera 26 – 31 ≥ 97 ≤ 10 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 12
Aleurites 9837 – 100 ≤ 14 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 12
moluccana 10275
Alstonia 1,2 – 3,2 ≥ 98 ≤ 12 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 6
scholaris
Altingia excelsa 5–6 ≥ 70 ≤ 12 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6
Anacardium 3300 – 7700 100 ≤ 15 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 3
occidentale
Azadirachta 257 – 350 ≥ 98 12 – 35 ≥ 80 60 – 79 40 – 59 *
indica
Baccaurea 500 – 600 ≥ 99 30 – 55 ≥ 80 60 – 79 40 – 59 *
macrocarpa
Calliandra 44 – 56 ≥ 95 ≤ 10 ≥ 90 70- 89 60 – 69 12
tetragona
Calliandra 44 – 56 ≥ 95 ≤ 10 ≥ 90 70- 89 60 – 69 12
calothyrsus
Calophyllum 2800 – 3500 100 20 – 40 ≥ 70 60 – 69 45 – 59 6
inophyllum
Canarium 6800 – 9200 100 ≤ 12 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 12
indicum
Castanopsis 1340 – 1455 ≥ 99 29 – 35 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 3
argentea
Cassuarina 1,29 – 1,52 ≥ 90 ≤ 13 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 3
equisetifolia
Cassuarina 1,00 – 1,30 ≥ 80 ≤ 12 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 3
junghuhniana
Ceiba petandra 22 – 100 ≥ 94 ≤ 12 ≥ 90 80 – 89 60 – 79 12

173
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 2. Standar mutu fisik-fisiologis benih tanaman hutan (lanjutan)


Daya berkecambah (% atau Masa
Berat 1000 Kemurnian Kadar kecambah per gram)
Jenis berlaku
butir (gram) (%) air (%)
Mutu P Mutu D Mutu T uji
Cryptocarya 2600 – 2900 ≥ 99 30-50 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 *
massoy
Cryptocarya 380 – 540 ≥ 95 30-45 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3
cunneata
Diospyros 1200 – 1500 ≥ 99 35 – 47 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 *
celebica
Dalbergia 40 – 54 ≥ 95 ≤ 10 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 12
latifolia
Dyera lowii 50 – 75 ≥ 98 10 – 35 ≥ 75 55 – 74 45 – 54 3
Delonix regia 500 – 660 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 12
Duabanga – – ≤ 12 ≥ 2000 1500 1000 kc/g 6
moluccana kc/g kc/g - - 1499
1999 kc/g
kc/g
Eucalyptus – – ≤ 10 ≥ 1000 ≥ 700 500 kc/g – 12
pellita kc/g kc/g - 699 kc/g
999 kc/g
Eucalyptus – – ≤ 12 ≥190 140 kc/g 90 kc/g 12
urophylla kc/g - 189 -139 kc/g
kc/g
Enterolobium 660 – 1060 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 80 60 – 79 40 – 59 12
cyclocarpum
Eucalyptus – – ≤ 9 ≥ 1000 ≥ 700 500 kc/g – 12
camadulensis kc/g kc/g– 699 kc/g
999 kc/g
Eucalyptus – – ≤ 9 ≥ 1200 1000 700 kc/g – 12
deglupta kc/g kc/g- 999 kc/g
1199
kc/g
Fagraea – – ≤ 10 ≥ 2000 1600 1400 kc/g 12
fragrans kc/g kc/g - - 1599
1999 kc/g
kc/g
Falcataria 18 – 24 ≥ 96 ≤ 10 ≥ 90 75 – 89 65 – 74 12
moluccana
Fagara rhetsa 54 – 57 ≥ 98 ≤ 15 ≥ 40 30 – 39 20 – 29 3
Ficus variegata – – ≤ 15 ≥ 1500 1000 500 kc/g - 6
kc/g kc/g - 999 kc/g
1499kc/g
Gliricidia 120 – 200 ≥ 95 8-9 ≥ 90 80 – 89 60 – 79 12
sepium

174
LAMPIRAN

Lampiran 2. Standar mutu fisik-fisiologis benih tanaman hutan (lanjutan)


Daya berkecambah (% atau Masa
Berat 1000 Kemurnian Kadar kecambah per gram)
Jenis berlaku
butir (gram) (%) air (%)
Mutu P Mutu D Mutu T uji
Gmelina 500 – 720 ≥ 97 ≤ 13 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6
arborea
Gmelina 1600 – 1800 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 6
moluccana
Gyrinops 80 – 108 ≥ 97 40 – 55 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 *
versteegii
Hibiscus 6–8 ≥ 90 ≤9 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12
macrophyllus
Instia bijuga 2600 – 3100 ≥ 97 ≤ 10 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 12
Khaya 230 – 290 ≥ 98 ≤ 14 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 3
anthoteca
Langerstroemia 5,00 – 7,32 ≥ 85 ≤ 12 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 12
speciosa
Leucaena 45 – 50 ≥ 95 ≤ 9 ≥ 75 65 – 74 50 – 64 12
glauca
Leucaena 50 – 60 ≥ 95 ≤ 9 ≥ 70 50 – 69 40 – 50 12
leucocephala
Maesopsis 1150 – 1460 ≥ 99 14 – 30 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6
eminii
Manilkara 675 – 895 ≥ 99 14 – 30 ≥ 75 65 -74 50 – 64 3
kauki
Magnolia 47 – 60 ≥ 99 ≤ 18 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 3
blumei
Magnolia 55 – 90 ≥ 99 12 – 40 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 3
champaca
Magnolia ovalis 26 – 34 ≥ 97 30 – 42 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 3
Melia 820 – 879 ≥ 99 ≤ 10 ≥ 70 60 – 69 45 – 59 6
azedarach
Melaleuca – – ≤ 10 ≥ 3750 3050 1600 kc/g 12
cajuputi kc/g kc/g - - 3049
3749 kc/g
kc/g
Melaleuca – – ≤ 10 ≥ 6000 4000 3000 kc/g 12
leucadendron kc/g kc/g - - 3999
5999 kc/g
kc/g
Mimusops 452 – 562 ≥ 99 12 – 30 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 6
elengi
Neolamarckia – – ≤ 15 ≥ 1500 1000 500 kc/g - 12
cadamba kc/g kc/g - 999 kc/g
1499kc/g

175
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Lampiran 2. Standar mutu fisik-fisiologis benih tanaman hutan (lanjutan)


Daya berkecambah (% atau Masa
Berat 1000 Kemurnian Kadar kecambah per gram)
Jenis berlaku
butir (gram) (%) air (%)
Mutu P Mutu D Mutu T uji
Neolamarckia – – ≤ 15 ≥ 1200 800 kc/g 400 kc/g - 12
macrophylla kc/g - 1199 799 kc/g
kc/g
Octomeles – – ≤ 12 ≥ 1500 1000 500 kc/g - 6
sumatrana kc/g kc/g - 999 kc/g
1499kc/g
Palaquium 1390 – 1550 ≥ 99 35 – 50 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 3
rostratum
Pinus merkusii 16 – 20 ≥ 94 ≤ 10 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6
Pericopsis 250 – 300 ≥ 99 ≤9 ≥ 75 65 – 74 45 – 64 12
mooniana
Polyalthia 1035 – 1250 ≥ 70 30 – 50 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 *
longifolia
Planchonia 285 – 500 ≥ 99 30 – 50 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 *
valida
Podocarpus 2,80 – 3,40 ≥ 95 ≤ 12 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6
nerifolius
Pongamia 1060 – 1600 ≥ 99 ≤ 15 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 3
pinnata
Pterospermum 70 –73 ≥ 88 ≤8 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 12
javanicum
Pterocarpus 500 – 900 ≥ 90 ≤ 14 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 6
indicus
Santalum 100 – 150 ≥ 95 ≤9 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 6
album
Samanea saman 160 – 210 ≥ 99 ≤10 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 12
Styrax benzoin 1600 – 2400 ≥ 99 25 – 50 ≥ 80 70 – 79 50 – 69 3
Sandoricum 3400 – 3650 ≥ 99 40 – 55 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 *
koetjape
Schleichera 495 – 630 ≥ 99 12 – 30 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3
oleosa
Sterculia foetida 1600 – 2300 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 6
Senna siamea 22 – 28 ≥ 97 ≤9 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 12
Sesbania 33 – 58 ≥ 96 ≤8 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 12
grandiflora
Shorea pinanga 25900 – 100 35 – 50 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 *
26400
Swietenia 400 – 700 ≥ 96 ≤ 10 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6
macrophylla

176
LAMPIRAN

Lampiran 2. Standar mutu fisik-fisiologis benih tanaman hutan (lanjutan)


Daya berkecambah (% atau Masa
Berat 1000 Kemurnian Kadar kecambah per gram)
Jenis berlaku
butir (gram) (%) air (%)
Mutu P Mutu D Mutu T uji
Schima 3,00 – 4,20 ≥ 96 ≤ 12 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 6
wallichii
Tectona grandis 550 – 740 ≥ 99 ≤ 12 ≥ 65 50 – 64 40 – 49 12
Tamarindus 717 – 782 ≥ 99 ≤ 18 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 12
indica
Terminalia 5882 – 7188 ≥ 99 7 – 20 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3
catappa
Toona sinensis 8 – 11 ≥ 85 ≤ 12 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 3
Vitex coffasus 65 – 105 ≥ 98 ≤ 15 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 3
Wrightia 15 – 27 ≥ 99 25 – 50 ≥ 85 70 – 84 60 – 69 *
pubescens
Keterangan:
kc/g = jumlah kecambah per gram
*= hanya berlaku untuk satu kali pengujian pada benih rekalsitran
Sumber: SNI 7627: 2014, Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan

177
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Acacia spp. Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap PS, PM, PG, PA, PHP, AK
pemetikan kering
buah
Adenanthera Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC, BM Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Rr Mpt, Rap PS, PM, PG, PA, PHP, AK
microsperma pemetikan kering
buah
Agathis Rekalsitran Pemanjatan/ Okt BHC Ekstraksi Mt Kering angin Wp Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
loranthifolia pemetikan kering, suhu kamar
buah pemeraman
Aleurites Ortodok Pengumpulan Jul-Agt BC EB Spa Penjemuran Wk, Rac, Rk Mpt, Prj PS, PM, PG, PA, PHP, AK
moluccana di lantai hutan
Albizzia Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap PS, PM, PG, PA, PHP, AK
procera pemetikan kering

178
buah
Alstonia Ortodok Pemanjatan/ Okt-Nop BHK Ekstraksi Pfp Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
scholaris pemetikan kering
buah
Altingia Ortodok Pemanjatan/ Agt-Okt BHC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
excelsa pemetikan kering
buah
Anacardium Intermediet Pemanjatan/ Agt-Sep BKM Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Dcs, Rr Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
ocidentale pemetikan kering suhu kamar
buah
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:

Azadirachta Rekalsitran Pemanjatan/ Okt-Nop BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

excelsa pemetikan basah suhu kamar


buah
Baccaurea Rekalsitran Pemanjatan/ Feb-Apr BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
macrocarpa pemetikan basah suhu kamar
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Calliandra Ortodok Pemanjatan/ Jun-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
calothyrsus pemetikan kering
buah
Calliandra Ortodok Pemanjatan/ Mei-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
tetragona pemetikan kering
buah
Calophyllum Rekalsitran Pengumpulan Mei-Sep BHC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt, Kb PS, PM, PG, PA, PHP, AK
inophyllum di lantai hutan basah suhu kamar
Canarium Ortodok Pemanjatan/ BHT Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Pkb+Rad PS, PM, PG, PA, PHP, AK
indicum pemetikan basah
buah
Castanopsis Rekalsitran Pengumpulan Nop-Feb BKC Ekstraksi Mn Kering angin WP, RAC Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK

179
argentea di lantai hutan basah suhu kamar
Cassuarina Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
LAMPIRAN

equisetifolia pemetikan kering


buah
Cassuarina Ortodok Pemanjatan/ Sepanjang BKC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
junghuhniana pemetikan tahun kering
buah
Ceiba Ortodok Pemanjatan/ Apr-Mei BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
pentandra pemetikan kering
buah
Cryptocarya Rekalsitran Pemanjatan/ Jul-Sep BHT Ekstraksi Mt Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
cuneata pemetikan basah suhu kamar
buah
Cryptocarya Rekalsitran Pemanjatan/ Jul-Sep BC Ekstraksi Mt Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
massoy pemetikan basah suhu kamar
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Dalbergia Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rad PS, PM, PG, PA, PHP, AK
latifolia pemetikan kering
buah
Delonix regia Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap PS, PM, PG, PA, PHP, AK
pemetikan kering
buah
Diospyros Rekalsitran Pemanjatan/ Sep-Nop BC Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
celebica pemetikan kering suhu kamar
buah
Duabanga Intermediet Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mn Kering angin WK, RAC, RR Mtpk PS, PM, PG, PA, PHP, AK
moluccana pemetikan kering suhu kamar
buah

180
Dyera lowii Intermediet Pemanjatan/ Mar-Mei BC Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt PS, PM, PG, PA, PHP, AK
pemetikan kering suhu kamar
buah
Enterolobium Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rpd/As PS, PM, PG, PA, PHP, AK
cyclocarpum pemetikan kering
buah
Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Jun-Sep BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk PS, PM, PG, PA, PHP, AK
camadulensis pemetikan kering
buah
Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Jun-Jul BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
deglupta pemetikan kering
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:

buah
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pellita pemetikan kering
buah
Eucalyptus Ortodok Pemanjatan/ Apr-Mei BC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
urophylla pemetikan kering
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Fagara rhetsa Ortodok Pemanjatan/ Jan-Feb BMH Ekstraksi Mn Kering angin WK, Dcs RR Mpt, Prj Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pemetikan basah atau suhu kamar
buah kering
Fagraea Ortodok Pemanjatan/ Apr-Mei BM Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
fragrans pemetikan basah suhu kamar
buah
Falcataria Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
moluccana pemetikan kering
buah
Ficus Intermediet Pemanjatan/ Mei-Jul BMH Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
variegata pemetikan basah suhu kamar
buah
Gliricidia Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak

181
sepium pemetikan kering
buah
LAMPIRAN

Gmelina Intermediet Pengumpulan Agt-Sep BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
arborea di lantai hutan basah suhu kamar
Gmelina Intermediet Pengumpulan Jul-Sep BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
moluccana di lantai hutan basah suhu kamar
Gyrinops Rekalsitran Pemanjatan/ Jan-Mar BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
versteegii pemetikan basah suhu kamar
buah
Hibiscus Ortodok Pemanjatan/ Jul-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, As Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
macrophyllus pemetikan kering
buah
Intsia bijuga Ortodok Pemanjatan/ Jun-Sep BC Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Pkb/As Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pemetikan kering
buah;
pengumpulan
di lantai hutan
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Khaya Ortodok Pemanjatan/ Agt-Okt BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
anthotecha pemetikan kering suhu kamar
buah

Lagerstroemia Ortodok Pemanjatan/ Jul-Okt BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
speciosa pemetikan kering
buah
Leucaena Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
glauca pemetikan kering
buah
Leucaena Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
leucocephala pemetikan kering
buah

182
Maesopsis Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BMH Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt, Kno Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
eminii pemetikan basah suhu kamar
buah;
pengumpulan
di lantai hutan
Manilkara Intermediet Pemanjatan/ Mei-Agt BKM Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
kauki pemetikan basah suhu kamar
buah
Magnolia Intermediet Pemanjatan/ Apr, Okt BHC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
ovalis pemetikan kering suhu kamar
buah
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Magnolia Rekalsitran Pemanjatan/ Okt-Mar BHM Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
Blumei pemetikan kering suhu kamar
buah
Magnolia Intermediet Pemanjatan/ Okt-Mar BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
champaca pemetikan basah suhu kamar
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Melaleuca Ortodok Pemanjatan/ Sep-Nop BHC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
cajuputi pemetikan kering
buah
Melaleuca Ortodok Pemanjatan/ Sep-Nop BHC Ekstraksi Py Penjemuran Wk, Dcs, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
leucadendron pemetikan kering
buah
Melia Intermediet Pemanjatan/ Feb-Apr BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
azedarach pemetikan basah suhu kamar
buah
Mimusops Ortodok Pemanjatan/ Jul-Sep BMH Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
elengi pemetikan basah
buah
Neolamarckia Ortodok Pengumpulan Apr-Jun BHK Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak

183
cadamba di lantai hutan basah suhu kamar
LAMPIRAN

Neolamarckia Ortodok Pengumpulan Apr-Jun BHK Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
macrophylla di lantai hutan basah suhu kamar
Octomeles Ortodok Pemanjatan/ Des, Jun BHT Ekstraksi Py Kering angin Wk, Rr Mtpk Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
sumatrana pemetikan kering suhu kamar
buah;
pengumpulan
di lantai hutan
Palaquium Rekalsitran Pemanjatan/ Okt-Nop BHT Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
rostratum pemetikan basah suhu kamar
buah
Pericopsis Ortodok Pemanjatan/ Agt-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rad Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
mooniana pemetikan kering
buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Pinus Intermediet Pemanjatan/ Sept, Jan BHC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpth Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
merkusii pemetikan kering
buah
Planchonia Rekalsitran Pemanjatan/ Apr-Mei HC Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
valida pemetikan basah suhu kamar
buah
Podocarpus Rekalsitran Pengumpulan Jan-Apr BM Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
imbricatus di lantai hutan kering suhu kamar
Pongamia Intermediet Pemanjatan/ Agt-Des HC Ekstraksi Mt Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pinnata pemetikan kering suhu kamar
buah
Pterocarpus Ortodok Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak

184
indicus pemetikan kering suhu kamar
buah
Pterospermum Intermediet Pemanjatan/ Okt-Des BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
javanicum pemetikan kering suhu kamar
buah
Santalum Intermediet Pemanjatan/ Agt-Nop BHT Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt, Ti Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
album pemetikan basah suhu kamar
buah
Samanea Ortodok PL Jul-Sep BC Ekstraksi Mn Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpth, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
saman kering
Schleichera Intermediet Pemanjatan/ Feb-Apr BHK Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt, Rad Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:

oleosa pemetikan basah suhu kamar


Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

buah
Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)
Seleksi
Karakter Pengumpulan Musim Indikator Ekstraksi Pengeringan Perkecambahan/
Jenis dan Penyimpanan Pemeliharaan bibit
benih buah buah kemasakan benih benih penaburan
sortasi
Schima Ortodok Pemanjatan/ Agt-sep BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
wallichii pemetikan kering
buah
Senna siamea Ortodok Pemanjatan/ Agt-Okt BC Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pemetikan kering
buah
Sesbania Ortodok Pemanjatan/ Jul-Sep BC Ekstraksi Mt, Sgt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
grandiflora pemetikan kering
buah
Shorea Rekalsitran Pemanjatan/ Feb-Apr BC Ekstraksi Mn Kering angin Wp, Rac Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
pinanga pemetikan kering, suhu kamar
buah sayap
dihilangkan

185
Sterculia Intermediet PP, PL Jul-Sep BC Ekstraksi Mn Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
LAMPIRAN

foetida kering suhu kamar


Styrax benzoin Intermediet Pengumpulan Mar-Apr WBC Ekstraksi Mt Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt, Prj Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
di lantai hutan kering suhu kamar
Swietenia Intermediet Pemanjatan/ Jul-Agt BC Ekstraksi Mt Kering angin Wk, Rac, Dcs Mpt Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
macrophylla pemetikan kering suhu kamar
buah
Tamarindus Ortodok Pemanjatan/ Jun-Sep PMR Ekstraksi Mt Penjemuran Wk, Rac, Dcs Mpt, Rap Ps, Pm, Pg, Pa, Php, Ak
indica pemetikan basah atau
buah; kering
pengumpulan
di lantai hutan
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

1) Indikator kemasakan: BC = warna buah cokelat, BHC = warna buah


hijau tua kecokelatan, BHK = warna buah hijau tua hingga kekuningan,
BKM = warna buah kuning kemerahan, WBHT = warna buah hijau
atau kehitaman, BKC = warna kulit buah kuning kecokelatan, BHM =
warna buah hijau kemerahan, BM = warna buah merah, BMH = warna
buah merah kehitaman, BM = buah merekah, PMR = polong mudah
diretakkan
2) Seleksi dan sortasi: Mn = manual, Mt = manual dengan penampian,
Sgt = seed gravity table, Spa = seleksi dengan perendaman di dalam air,
Pfp = pemisahan benih dengan sayapnya dengan food processor, Py =
penyaringan dengan ukuran mesh.
3) Penyimpanan benih: Wk = wadah kedap, Wp = wadah poros, Rk = ruang
suhu kamar, Rac = ruang AC (air conditioner), Rr = refrigerator, Cs = cool
storage, Dcs = dry cool storage.
4) Perkecambahan: Mp = media pasir, Mpt = media pasir dan tanah (1:1),
Mtpk = media tanah, pasir, kompos, Rap = perendaman air panas (80°C)
dan dibiarkan dingin selama 24 jam, Rad = rendam air dingin, As =
perendaman asal sulfat (H2SO4) 5 - 10 menit, Prj = Perlakuan rendam
jemur selama 3 - 6 hari, Pkb = Pengikiran tidak boleh merusak embrio
benih lalu benih direndam air selama 30 menit, Kno = Rendam dalam
larutan KNO3 30 menit , Kb = kulit benih dibuang, Ti = memerlukan
tanaman inang berdaun tipis dan kecil, bertajuk runcing, sistem perakaran
sukulen, mudah bertunas setelah dipangkas.
5) Pembibitan: Py = penyiraman, Pm = pemupukan, Pg = penyiangan
gulma, Pa = pemangkasan akar, Php = pengendalian hama penyakit, Ak
= Aklimatisasi/hardening of.

186
PROFIL PENULIS

Ir. Nurhasybi, MSc. dilahirkan di Samboja, Kalimantan


Timur pada tanggal 24 September 1959. Penulis
merupakan anak kesembilan dari pasangan Bapak
Alm. H. Nurmin dan Ibu Alm. Hj. Nurkiyah. Sekolah
dasar ditempuh di SD Pertamina Unit IV, Tanjung,
Kalimantan Selatan (1967 -1973) dan dilanjutkan
ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) II Pertamina,
Balikpapan (1973-1976). Penulis melanjutkan ke
sekolah menengah tingkat atas di SMA Patra Dharma,
Balikpapan dan lulus pada tahun 1980. Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) pada tahun 1981 melalui ujian tertulis (PP 1) dengan memilih
Jurusan Manajemen Hutan-Fakultas Kehutanan IPB dan lulus tahun 1986.
Program S-2 ditempuh penulis di Program Studi Ilmu Kehutanan, Sekolah
Pascasarjana Universitas Gajah Mada melalui beasiswa dari Departemen
Kehutanan (2009-2012). Penulis diterima sebagai staf teknis di Balai
Teknologi Perbenihan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan pada tahun 1989. Sejak tahun 1993, penulis menjadi peneliti pada
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
dengan jabatan sekarang sebagai peneliti utama bidang silvikultur. Penulis
aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah seperti penulisan jurnal, pembimbingan
mahasiswa (S1), perumusan SNI perbenihan tanaman hutan, workshop,
seminar, gelar teknologi, tenaga ahli perbenihan tanaman hutan, tenaga
pengajar pada program D3-Teknologi Benih Jurusan Budidaya Pertanian-
IPB (1997-2001), anggota Panitia Teknis Penyusunan SNI (2001-2010),
dan Tim Penyusunan Standarisasi Mutu Benih dan Bibit Tanaman Hutan,
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2009-2015).
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:
Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

Dr. Dede J. Sudrajat, S.Hut.MT. dilahirkan di


Sumedang, tanggal 13 Desember 1974. Penulis
merupakan anak ketiga (tiga bersaudara) dari
pasangan Bapak Tahya dan Ibu Alm. Watmi Suhaemi.
Penulis memulai pendidikannya di Sekolah Dasar
Negeri Pangluyu di Kecamatan Situraja, Kabupaten
Sumedang (1981-1987). Tingkat sekolah menengah
pertama ditempuh di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 2 Situraja (SMP Negeri 1 Cisitu) (1987-1990)
dan dilanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Situraja
(1990-1993). Penulis diterima di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan-Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB pada tahun 1993 dan lulus tahun 1998. Penulis melanjutkan
jenjang S-2 pada Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota,
Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui beasiswa Bappenas pada tahun
2004 dan lulus sebagai lulusan terbaik MPWK ITB pada wisuda September
2005. Program Doktor ditempuh di Sekolah Pascasarjana IPB dengan
mengambil Program Studi Silvikultur Tropika. Penulis bekerja sebagai
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman
Hutan di Bogor sejak tahun 1999. Jabatan penulis sekarang adalah peneliti
utama bidang silvikultur. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah
seperti penulisan buku, jurnal, reviewer Agrivita Journal of Agriculture
Science, dewan redaksi Jurnal Wallacea, Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
dan Jurnal Agroforestri Indonesia, mengikuti berbagai seminar dan workshop,
gelar teknologi, pembimbingan mahasiswa (S-1, S-2 dan S-3), konseptor
RSNI perbenihan tanaman hutan, tenaga ahli perbenihan tanaman hutan,
anggota Komite Teknis P065: Pengelolaan Hutan dan ketua kelompok kerja
penyusunan metode standar pengujian dan standar mutu benih dan bibit
tanaman hutan Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan (2009-2015)
dan peneliti mitra CDSR IPB (SHERA-USAID) 2018-sekarang. Selain
itu penulis juga terlibat sebagai pengajar berbagai pelatihan perbenihan di
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai
Perbenihan Tanaman Hutan dan UPTD Perbenihan Provinsi.

188
PROFIL PENULIS

Ir. Eliya Suita dilahirkan di Solok, Sumatera Barat,


tanggal 28 September 1966 yang merupakan anak
keempat (lima bersaudara) dari pasangan Bapal Alm.
Soekiman Oedin dan Ibu Asma. Pendidikan dasar
ditempuh di SD Negeri 1 Muaralabuh, Kabupaten
Solok, lulus pada tahun 1979, selanjutnya menempuh
pendidikan pada jenjang SLTP di Sekolah Menengah
Pertama Negeri 1 Kabupaten Solok, lulus pada tahun
1982. Setelah itu penulis melanjutkan ke jenjang SLTA
di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Padang, lulus tahun 1985. Pada tahun
yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK) sebagai mahasiswa Tingkat
Pertama Bersama(TPB), pada tahun kedua masuk ke Fakultas Kehutanan,
Program Studi Konservasi Sumber Daya Hutan dan lulus pada tahun 1991.
Pengalaman pekerjaan, diterima sebagai calon peneliti pada Puslitbang Hutan
dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan pada tahun 1998 sampai
dengan tahun 1999, dan dari tahun 1999 sampai sekarang sebagai peneliti di
Kelti Teknologi Perbenihan, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Pada tahun 2015 sampai sekarang,
diamanahi sebagai koordinator Laboratorium Pengujian Mutu Benih di Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.

189

Anda mungkin juga menyukai