Anda di halaman 1dari 19

ULASAN TEMA KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Nama : EKA RABIATUL ADWIAH

Nim : E1Q020016

Fakultas atau prodi : FKIP pendidikan fisika

Semester : 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan karunianya dalam proses berfikir dan
penyusunan makalah ini. Ucapan terima kasih juga di tujukan kepada Dosen yang mengampu
mata kuliah Pendidikan Agama Islam yaitu bapak Dr.Taufiq Ramdani, S. Th. I., M. Sos yang
telah memberikan mandat untuk menyusun tulisan ini dalam rangka memenuhi tugas ujian
tengah semester.

Singkatnya, tentu tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu dengan senang hati
saya menerima segala kritikan juga saran yang membangun demi kebaikan di masa yang akan
datang.

Saya berharap semoga makalah yang telah rampung ini bisa bermanfaat bagi pembaca
umumnya dan penulis khususnya.

MATARAM,23 OKTOBER 2020

EKA RABIATUL ADWIAH

E1Q020016

ii.
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR..................................................................................................................................
.....ii

DAFTAR
ISI.....................................................................................................................................................
..1

BAB 1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM


ISLAM.................2

BAB 2. SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QURAN DAN AL-


HADIST......................................5

BAB 3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-


HADIST............................................................................9

BAB 4. PENGERTIAN SALAF MENURUT AL-


HADIST........................................................................12

BAB 5. ISLAM: AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN


HUKUM........13

DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................................................................
16
1.

BAB 1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Perkataan yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur`an dipakai untuk menyatakan
berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS al-Jatsiiyah
ayat 23:

Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya[1384] dan Allah Telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?

Dalam surat Al-Qashash ayat 38, perkataan illah dipakai oleh fir`aun untuk dirinya sendiri :

“Dan Fir‟aun berkata : wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian masih
mempunyai ilah selain diriku“.

Contoh ayat diatas tersebut menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengundang berbagai
arti benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (fira`un atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan illah juga dalam bentuk tunggal (mufrad
ilaahun , ganda (mutsanna ilaahaini) dan banyak (jama‟aalihatun). Ber-Tuhan nol dalam arti
kata tidak bertuhan atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti defenisi Tuhan atau
ilah yang tepat, berdasarkan logika Al- Quran sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikin rupa
sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehNya. Perkataan dipentingkan hendaklah
diartikan secara luas. Tercakup didalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-
harapkan dapat memberi kemaslahataan atau kegembiraan dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

2.

Menurut Ibnu Taimiyah Al-Ilah adalah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk
kepada-Nya merendahkan diri dihadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya umat
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya dan
menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya dan terpaut cinta .

A. Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan

Pemikiran Umat Islam

Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan beberapa konsepsi ke-esaan
Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah

Konsepsi Aqidah.

Dalam kamus Al-Munawir secara etimologis, aqidah berakar dari kata „aqada-ya‟qidu-
aqdan„ aqidatan yang berarti simpul, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi
„aqidah yang berarti keyakinan relevensi antara arti kata dan mengandung perjanjian.

Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah antara lain:

Menurut Hasan al-Bana dalam kitab majmu‟ah ar-rasa, il „Aqaid (bentuk jamak dari
aqidah) adalah beberapa perkara wajib diyakini kebenarannya oleh hati dan mendatangkan
ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.
a) Istilah Aqidah Dalam Al-Quran

Di dalam al-Quran tidak terdapat satu ayat pun yang secara literal menunjuk pada istilah
aqidah. Namun demikian kita dapat menjumpai istilah ini dalam akar kata yang sama („aqada)
yaitu; „aqadat, kata ini tercantum pada ayat:

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,
kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orangorang yang kamu telah bersumpah setia
dengan mereka, maka beri kepada mereka bahagiannya, sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu“ (Q.S An-Nisa; 33)
3.

Kata „aqadum terdapat dalam QS. al-Maidah; 89

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja…..”

Oleh karena itu Ulama sepakat untuk menetapkan aqidah berdasarkan tiga macam dalil.

Dalil Aqli, dalil ini dapat diterima apabila hasil keputusannya dipandang masuk akal atau logis
dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat menimbulkan adanya keyakinan dan dapat
memastikan iman yang dimaksudkan. Dengan menggunakan akal manusia merenungkan
dirinya sendiri dan alam semesta, yang dengannya ia dapat melihat bahwa dibalik semua itu
terdapat bukti adanya Tuhan Pencipta yang satu.

Dalil Naqli, dalil naqli yang tidak menimbulkan keyakinan dan tidak dapat menciptakan
keimanan sebagai yang dimaksud, dengan sendirinya dalil ini tidak dapat digunakan untuk
menetapkan aqidah. Oleh sebab itu Syekh Mahmud Syaltut mengajukan dua syarat yang harus
dipenuhi oleh dalil naqli tersebut dapat menanamkan keyakinan dan menetapkan
Aqidah.Pertama; dalil naqli itu pasti kebenarannya. Kedua; pasti atau tegas tujuannya. Ini
berarti bahwa dalil itu harus dapat dipastikan benarbenar datang dari Rasulullah tanpa ada
keraguan sedikitpun.

Dalil Fitrah adalah hakekat mendasari kejadian manusia. Fitrah ini merupakan perasaan
keagamaan yang ada dalam jiwa dan merupakan bisikan batin yang paling dalam. Dan kesucian
ini akan tetap terpelihara manakala manusia selalu membersihkan jiwanya dari tekanan
kekuatan pengaruh nafsu. Bila manusia membiarkan fitrah dan naluri berbicara, maka dia akan
mendapatkan dirinya berhadapan dengan kekuatan tertinggi diatas kekuatan manusia dan
alam. Ia akan berdoa baik dalam suka maupun duka. Lebih-lebih disaat-saat seperti itulah dia
menghadapkan diri secara ikhlas

4.

BAB 2. SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QURAN DAN AL-HADIST

A. BIOLOGI dalan AL QUR’AN

Perhatikan firman Allah dalam QS 39:6

Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia
menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia
menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan[1306].
Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan.
Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?

Dalam tafsir dijelaskan dijelaskan bahwa tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam perut,
kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim. Dalam
Biologi dijelaskan bahwa sebenarnya embrio dalam rahin mengalami tiga fase perkembangan
yang disebut dengan fase morula, blastula, gastrula. Perhatikan juga QS 23:12-14 yang
berbicara secara cukup detail mengenai proses penciptaan manusia.
5.

B. FISIKA dalam AL QUR’AN

Perhatikan firman Allah dalam QS 6:125

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
Secara Fisika, semakin ke atas (ruang angkasa) maka kandungan oksigen semakin berkurang.
Perhatikan juga QS67:3 tentang keseimbangan sistem kosmos.
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan
Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

6.

C. FISIKA, BIOLOGI, dan KIMIA dalam AL QUR’AN Perhatikan QS 21:30

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?

D. ARSITEKTUR dalam AL QUR’AN

Perhatikan QS 89:6-8 yang menceritakan megahnya bangunan-bangunan di kota Iram


ibukotanya kaum Aad.
dan QS 38:7 tentang adanya arsitek dari bangsa syaitan.

7.

dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan penyelam,

Perhatikan juga tentang megahnya kerajaan nabi Sulaiman pada QS 27:44, yang dapat
membangun istana yang begitu indah.

Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu,
dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman:
"Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman
kepada Allah, Tuhan semesta alam".

E. INFORMATIKA dalam AL QUR’AN

Perhatikan firman Allah dalam QS 55:33.


Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan
bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.

8.

F. MATEMATIKA dalam AL QUR’AN

Matematika dalam Al Qur‟an meliputi (diketahui penulis sampai saat ini)

1. Bilangan (Bulat dan Pecahan)

Al-Qur‟an juga berbicara tentang bilangan, misalnya satu (waahid atau ahad), tiga (tsalaatsah),
tujuh (sab‟ah), sepuluh („asyarah), seribu (alf), dan limu puluh ribu (khamsiina alf). Selain itu,
masih banyak bilangan-bilangan yang disebutkan dalam Al-Quran termasuk bilangan rasional
(pecahan).

BAB 3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIST

Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya. Tiga
kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma,
bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫َخي َْر أ ُ َّمتِـي َقرْ نِي ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬
‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka
(generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam
memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang tertinggi (as-
salafu ash-shalih).

Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan pengamalan


Islam yang benar merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih). Mereka adalah orang-orang
yang telah mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka pun ridha kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

9.

‫ت َتجْ ِري‬ ٍ ‫ان َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه ْم َو َرضُوا َع ْن ُه َوأَ َع َّد لَ ُه ْم َج َّنا‬ َ ‫ار َوالَّذ‬
ٍ ‫ِين ا َّت َبعُو ُه ْم ِبإِحْ َس‬ ِ ‫ص‬َ ‫ين َواأْل َ ْن‬ َ ُ‫ون اأْل َوَّ ل‬
َ ‫ون م َِن ْال ُم َها ِج ِر‬ َ ُ‫َّابق‬
ِ ‫َوالس‬
َ ‫َتحْ َت َها اأْل َ ْن َها ُر َخا ِلد‬
َ ‫ِين فِي َها أَ َب ًدا َذ ِل‬
‫ك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-
surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengikuti para sahabat. Berjalan di
atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang telah mereka perbuat. Menapaki
manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj mereka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

َ ‫َوا َّت ِبعْ َس ِبي َل َمنْ أَ َن‬


َّ‫اب إِلَي‬

“Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)

Menukil ucapan Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, terkait ayat di atas
disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-perkataannya, dan keyakinan-keyakinan
(i’tiqad) mereka. Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, (dikuatkan lagi) dengan firman-Nya yang menunjukkan mereka adalah
orang-orang yang telah diberi Allah Subhanahu wa Ta’ala petunjuk. Firman-Nya:

ُ‫َو َي ْهدِي إِلَ ْي ِه َمنْ ُينِيب‬

“Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-
Syura: 13) (Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, Abdussalam bin Salim bin Raja’ As-Suhaimi, hal. 14)
Maka, istilah as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga kurun yang utama. Yaitu
para sahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in (para pengikut tabi’in). Siapapun yang mengikuti
mereka dari aspek pemahaman, i’tiqad, perkataan maupun amal, maka dia berada di atas
manhaj as-salaf.

10.

Adanya ancaman yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang
memilih jalan-jalan selain jalan yang ditempuh as-salafu ash-shalih, menunjukkan wajibnya
setiap muslim berpegang dengan manhaj as-salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫يل ْالم ُْؤ ِمن‬


‫ِين ُن َولِّ ِه َما َت َولَّى َو ُنصْ لِ ِه َج َه َّن َم َو َسا َء ْـ‬
‫ت مَصِ يرً ا‬ ِ ‫َو َمنْ ُي َشاق ِِق الرَّ سُو َل مِنْ َبعْ ِد َما َت َبي ََّن لَ ُه ْالهُدَى َو َي َّت ِبعْ َغي َْر َس ِب‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)

Disebutkan oleh Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri hafizhahullah, bahwa
tidaklah orang yang berpemahaman khalaf (lawan dari salaf), termasuk orang-orang yang
tergabung dalam jamaah-jamaah dakwah sekarang ini, kecuali dia akan membenci (dakwah)
as-salafiyah. Karena, as-salafiyah tidak semata pada hal yang terkait penisbahan (pengakuan).
Tetapi as-salafiyah memurnikan keikhlasan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
memurnikan mutaba’ah (ikutan) terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Manusia itu
terbagi dalam dua kelompok (salah satunya) yaitu hizbu Ar-Rahman, mereka adalah orang-
orang Islam yang keimanan mereka terpelihara, tidak menjadikan mereka keluar secara
sempurna dari agama. Jadi, hizbu Ar-Rahman adalah orang-orang yang tidak sesat dan
menyesatkan serta tidak mengabaikan al-huda (petunjuk) dan al-haq (kebenaran) di setiap
tempat dan zaman. (Ushul wa Qawa’id fi al-Manhaj As-Salafi, hal. 12-13)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah
radhiyallahu ‘anhu, berkata:
ِ ‫الَ َي َزا ُل َطا ِئ َف ٌة مِنْ أ ُ َّمتِـي َظاه ِِري َْن َح َّتى َيأْ ِت َي ُه ْم أَ ْم ُر‬
َ ‫هللا َو ُه ْم َظا ِهر‬
‫ُون‬

“Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba pada
mereka keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang unggul/menang.” (Shahih
Al-Bukhari, no. 7311)

11.

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, bahwa yang dimaksud
hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang teguh dengan apa yang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang-orang
yang unggul/menang, tak akan termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan
orang-orang yang menyelisihinya. (Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104)

Bila menatap langit zaman, di setiap kurun, waktu, senantiasa didapati para pembela al-haq.
Mereka adalah bintang gemilang yang memberi petunjuk arah dalam kehidupan umat. Mereka
memancarkan berkas cahaya yang memandu umat di tengah gelap gulita.

BAB 4. PENGERTIAN SALAF MENURUT AL-HADIST

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur".
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H.,
dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf
berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam (Saad, 1984:11-38) .

Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para
pakar mengenai arti salaf, di antaranya adalah: Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah
yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak
mempunyai faham tasybih (antropomorphisme). Mahmud AlBisybisyi menyatakan bahwa
salaf sebagai Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang
baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya (Rozak,2006:109).
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahra:

َُ#$ ‫ْع َم السَّ َل‬#$َْ ‫فإ فَإِنِن َّھھُ ن‬


َِ$# ِ ‫ُُف أ نأ َنَاَا َل‬
‫ِك‬

Artinya: "Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya"

( diakses pada tanggal 21 April 2014. 12.

Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda.
Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran
yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide
dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah di bawa
Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an, khurafat, syirik dalam agama Islam”
(KepelJihad-7, diakses pada tanggal 21 April 2014).

Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran


rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk di bawah naql
dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk
didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan
menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah
hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak
cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat (Ghazali, 2003:101).

BAB 5. ISLAM: AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM.

a. Faktor Hukum itu sendiri

Hukum yang dimaksudkan adalah undang-undang dalam arti material. Agar supaya undang-
undang mempunyai dampak yang positif, maka setidaknya harus memenuhi asas-asas yaitu :
(a) undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam
undangundang, dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku; (b) undang-undang
yang dibuat peguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; (c)
undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum
jika pembuatnya sama; (d) undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-
undang yang berlaku terdahulu; (e) undangundang tidak dapat diganggu gugat; (f) undang-
undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi
masyarakat maupun pribadi seseorang. Tidak terpenuhi 6 asas di atas, juga karena; (a) belum
adanya peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang; (b)
ketidakjelasan arti kata-kata kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.

13.

b. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum yang dimaksudkan adalah penegak hukum yang mencakup mereka yang
secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yaitu (law enforcement and
peace maintenance) yang meliputi hakim, jaksa, polisi, pengacara dan masyarakat, demikian
pula mereka yang secara tidak langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum,
seperti pemerintah dalam arti umum, pelaku ekonomi, elit-elit politik.

Penegak hukum yang berkecimpung langsung dalam penegakan hukum, mempunyai jenjang
peran tertentu, yaitu; (a) peranan yang ideal (ideal role), (b) peranan yang seharusnya
(expected role); (c) peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role); (d) peranan yang
sebenarnya dilakukan (actual role).

Kelemahan segi penegak hukum bisa disebabkan karena para penegak hukum tidak
memahami peranannya, khususnya peranan yang seharusnya dan peranan yang sebenarnya
dilakukan.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas


Yang dimaksud sarana atau fasilitas dalam hal ini mencakup; (a) Sumber daya manusia
(manpower), (b) organisasi yang baik, (c) peralatan yang memadai, dan (d) keuangan yang
cukup. Keempat faktor tersebut harus terpenuhi dalam penegakan hukum demi terwujudnya
tujuan hukum.

14.

d. Faktor Masyarakat

Karena penegakan hukum berasal dari masyarakat dan untuk masyarakat dalam arti umum,
maka masyarakat adalah salah satu fenomena yang sangat mempengaruhi penegakan hukum.

Dari sudut sosial dan budaya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural
society) dengan sekian banyak golongan etnik dan budaya. Disamping itu, bagian terbesar
penduduk tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda gaya hidup pada wilayah perkotaan.
Karena itu, para penegak hukum harus memperhatikan stratifikasi sosial, tatanan status dan
peranan yang ada di lingkungan tersebut. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya,
seperti kekuasaan, kekayaan materi, kehormatan dan pendidikan. Dari pengetahuan dan
pemahaman terhadap stratifikasi sosial tersebut, akan dapat diketahui lambanglambang
kedudukan yang berlaku dengan segala macam gaya, disamping akan dapat diketahui pula
faktor-faktor yang mempengaruhi kekuasaan dan wewenang beserta penerapannya di dalam
kenyataan. Karena itu para pembuat dan penegak hukum harus memahami masyarakat
dimana hukum akan diterapkan.

e. Faktor kebudayaan

Kebudayaan merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya dari faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi penegakan hukum. Sebab kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan
konsepsikonsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianutnya), dan apa
yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan
nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai
yang dimaksud adalah:

15.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan, 1989), h. 16-
21, 54-56.

Al-Ghazali, Muhammad selalu Melibatkan Allah, (Jakarta PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), h.
28-39.

Jusuf, Haqlul, Dr, SH., Stusdi Islam, (Jakarta : Ikhwan, 1993), h. 26-37.

Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta : al-Hidayah, 1981), h. 9-11.

Khan, Walduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h.
39-101.

Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad,( 1994), Islam Tidak Bermazhab, Gema Insani, Jakarta.

Abbad, Sirajudin, (1987), I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Pustaka Tarbiyyah, Jakarta.

Dasuki, Hafisz, (1993), Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Depag RI, (2007), Al-Qur’an dan Terjemahnya, Diponegoro, Bandung.

Fauzi, Ahmad, (tt), Ilmu Kalam (sebuah pengantar), STAIN Press, Cerebon.

Ghazali, Adeng Muhtar, (2003), Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, CV
Pustaka Setia, Bandung.

Mustopa, (2011), Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, IAIN Publisher, Cerebon.

Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, (1994), Islam Tidak Bermazhab, Gema Insani, Jakarta.

Nasir. Sahilun A. (2010) , Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Rajawali Pers, Jakarta.

Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, (2006), Ilmu Kalam, Puskata Setia, Bandung. 2006 Saad,
Thablawy Mahmud, (1984), At-Tashawwuf fi Turasts Ibn Taimiyah, al-Hai alHadis al-Mishriyah
al-Ammah li al-Kitab, Mesir.
Yusuf, Abdullah, ( 1993), Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Sinar Baru,
Bandung.

Watt, W. Montgomerry, (1990), Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.

Terj. Hartono Hadi Kusumo, Tiara Wacana, Yogyakarta.

W. Montgomerry Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Terj. Hartono Hadi
Kusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 61

16.

Anda mungkin juga menyukai