Anda di halaman 1dari 9

JAWABAN ULANGAN AKHIR SEMESTER

SISTEM POLITIK INDONESIA

Kartinia Indah Pratiwi (1910413047)

Sistem Politik Indonesia Kelas F

Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

M. Prakoso Aji, S.Sos, MIP

1. Trias Politica merupakan pemisahan kekuasaan negara yang dibagi ke dalam tiga
cabang kekuasaan yaitu membuat perundang-undangan, melaksanakan undang-
undang, dan menghakimi pelaksanaan undang-undang. Tujuannya agar tidak
terjadi pemusatan kekuasaan pada satu cabang kekuasaan negara, sehingga
terdapat check and balances di antara ketiganya. Hal tersebut juga berlaku dalam
sistem politik Indonesia.
a. Jelaskan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif, eksekutif,
dan yudikatif di Indonesia setelah Amandemen UUD 1945.
Untuk menghindari pemusatan kekuasaan yang dapat mengarah pada kesewenang-
wenangan, maka perlu diadakan pembagian kekuasaan negara. Salah satu teori pembagian
kekuasaan adalah teori Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Agar tiga bidang kekuasaan tersebut dapat saling
mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan perlu diterapkan prinsip checks and
balances. Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 menganut prinsip
tersebut di mana DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden sebagai lembaga eksekutif, dan
Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif dapat saling
mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan antar lembagalembaga tersebut.
Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu
sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik -
baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun
pribadi pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat
dicegah dan ditanggulangi. Mekanisme checks and balances dalam suatu demokrasi
merupakan hal yang wajar, bahkan sangat diperlukan. Hal itu untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang atau pun sebuah institusi, atau juga untuk
menghindari terpusatnya kekuasaan pada seseorang ataupun sebuah institusi, karena dengan
mekanisme seperti ini, antara institusi yang satu dengan yang lain akan saling mengontrol
atau mengawasi, bahkan bisa saling mengisi.
Pengalaman ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa banyaknya penyimpangan
kekuasaan pada masa lalu secara yuridis disebabkan oleh besarnya kekuasaan Presiden yang
diberikan oleh UUD 1945 (sebelum amandemen). Sesuai ketentuan UUD 1945, Presiden
memiliki kekuasaan yang sangat luas. Di samping kekuasaan di bidang eksekutif, Presiden
juga memilki kekuasaan di bidang legislatif dan yudikatif. Analisis ketatanegaraan
menunjukkan bahwa UUD 1945 membawa sifat executive heavy, artinya memberikan bobot
kekuasaan yang lebih besar kepada lembaga eksekutif, yaitu Presiden.
UUD 1945 juga tidak mengatur mekanisme judicial review, padahal seringkali lahir
produk legialatif yang dipersoalkan konsistensinya dengan UUD karena lebih banyak
didominasi oleh keinginan-keinginan politik dari pemerintah. Sistem ketatanegaraan
Indonesia, setelah perubahan UUD 1945 menganut prinsip checks and balances. Prinsip ini
dinyatakan secara tegas oleh MPR sebagai salah satu tujuan perubahan UUD 1945, yaitu
menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern,
melalui pembagian kekuasaan, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and
balances) yang lebih ketat dan transparan. Salah satu tujuan perubahan UUD NRI Tahun
1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis
dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling
mengawasi dan saling mengimbangi (check and balances) yang lebih ketat dan transparan,
dan pembentukan lembaga lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan
kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
Hubungan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di Indonesia dapat
digambarkan, sebagai berikut:
a. Hubungan antara legislatif dan eksekutif
Keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif telah diletakkan landasannya secara
konstitusional dalam UUD 1945 setelah amandemen. UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi
menempatkan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih Presiden dan
Wakil Presiden. Artinya, tidak ada lembaga dalam negara yang memiliki posisi di atas
lembaga yang lain. MPR bukan lagi berada di atas Presiden, dan Presiden bukan lagi
mandataris MPR yang kedudukannya sangat tergantung pada MPR. Melalui amandemen
UUD 1945 telah terbangun sistem ketatanegaraan yang membawakan sifat egalitarian di
antara lembaga-lembaga negara yang ada. Sebab, ketika ada lembaga yang memiliki
kedudukan tertinggi, berarti secara yuridis konstitusional lembaga tersebut berhak melakukan
tindakan apa saja tanpa dapat dikontrol oleh lembaga yang lain. Hal ini kurang sesuai dengan
jiwa demokrasi yang mengandung nilai kesetaraan, dalam hal ini adalah kesetaraan di antara
lembaga-lembaga negara di dalamnya. Antara DPR dan Presiden terdapat hubungan yang
secara garis besar dapat dinyatakan dalam dua hal, yaitu hubungan yang bersifat kerjasama,
dan hubungan yang bersifat pengawasan. Kedua lembaga itu harus bekerjasama dalam
pembuatan undangundang, termasuk Undang-Undang APBN. Melalui amandemen UUD
1945, kewenangan membuat undang-undang telah diletakkan pada porsi yang sesuai, yaitu
DPR. Hal yang masih perlu menjadi perhatian adalah bagaimana agar dalam praktek, DPR
lebih berperan dalam pengajuan rancangan undang-undang. Sebab selama ini inisiatif untuk
membuat rancangan undang-undang hampir semuanya datang dari pemerintah atau Presiden.
Hubungan antara Presiden dan DPR yang bersifat pengawasan, tampak bahwa pengawasan
yang dilakukan oleh DPR terhadap kebijakan pemerintah telah berjalan lebih baik
dibandingkan dengan era sebelumnya. Bahkan pengawasan tersebut kadang-kadang terkesan
berlebihan di mana DPR mempersoalkan kebijakan pemerintah yang semestinya tidak perlu
dipersoalkan. Di sisi lain, dalam hal-hal tertentu pengawasan itu tidak ada tindak lanjut yang
jelas.
b. Hubungan antara eksekutif dan yudikatif.
Titik simpul dalam hubungan antara eksekutif dan yudikatif terletak pada kewenangan
Presiden untuk melakukan tindakan dalam lapangan yudikatif, seperti memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Amandemen UUD 1945 juga telah memberikan landasan
bagi terwujudnya keseimbangan itu, dimana untuk memberikan grasi dan rehabilitasi
Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan untuk memberikan
amnesti dan abolisi harus mempertimbangkan pertimbangan DPR. Hal ini merupakan
pengurangan atas kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen), yang
sering dikatakan sebagai kekuasaan yang terlalu berat pada eksekutif (executive heavy).
c. Hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Hubungan antara legislatif dan yudikatif terkait bagaimana keberadaan dua lembaga itu
berperan mewujudkan sistem perundangundangan yang isinya tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Undangundang sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan adalah produk lembaga legislatif. Di pihak lain, ada kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, yang memungkinkan
ketentuan dalam undangundang dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan UUD. Ini
berarti Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan di bidang legislatif dalam
pengertian negatif (negative legislation). Dengan adanya kewenangan tersebut dalam proses
pembentukan dan perumusan materi atau substansi undang-undang, DPR dan Presiden harus
mewaspadai kemungkinan adanya judicial review dari Mahkamah Konstitusi, pelembagaan
judicial review diperlukan karena undang-undang itu adalah produk politik yang pasti tidak
steril dari kepentingan politik anggota-anggota lembaga yang membuatnya. Produk politik
bisa saja memuat isi yang lebih sarat dengan kepentingan politik kelompok dan jangka
pendek yang secara substansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
hierarkhinya.
Upaya mewujudkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah
dil akukan melalui amandemen UUD 1945. Tidak ada lagi lembaga yang diposisikan sebagai
lembaga tertinggi negara. Melalui amandemen tersebut, Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat sehingga memiliki kedudukan yang kuat. Kewenangan utama pembuatan undang-
undang ada pada DPR, walaupun persetujuan Presiden diperlukan. Ketika rancangan undang-
undang telah disetujui oleh DPR bersama Pemerintah tetapi sampai batas waktu tiga puluh
hari tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan undang undang itu sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan. Undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden
dapat dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme judicial review. Akhirnya,
ketika terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi yang
berwenang memutuskan.

b. Dalam sistem presidensial di Indonesia, terjadi kecenderungan dominasi


kekuasaan eksekutif (presiden) atas dua lembaga negara lainnya. Jelaskan
mengapa kecenderungan dominasi itu bisa terjadi?
Posisi presiden yang terlalu dominan di dalam sistem politik Indonesia dianggap
sebagai salah satu faktor yang mendorong munculnya pemerintahan yang otoriter. Oleh
karena itu dalam proses amandemen UUD 1945 kekuasaan presiden dikurangi, disisi lain
kekuasaan parlemen ditambah dan dipertegas. Amandemen ini sebenarnya dilakukan untuk
menjamin terjadinya proses checks and balances antara lembaga eksekutif dan lembaga
legislatif. Namun dalam kenyataanya, akibat dari amandemen adalah hubungan antara kedua
lembaga ini menjadi disharmoni. Akibat dari ketidakharmonisan hubungan antara kedua
lembaga ini menyebabkan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah tidak berjalan
dengan efektif.
Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi partai kurang
berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan
sistem parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai.Saya berpendapat bahwa
masalah dari ketidakefektifan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah karena terdapat
hubungan yang tidak harmonis antara lembaga eksekutif dengan parlemen. Akar
permasalahan ini paling tidak ada beberapa faktor. Pertama adalah sistem politik yang
diimplementasikan oleh Indonesia, sistem presidensial dan sistem multi partai, tidak
mendukung terciptanya pemerintahan yang stabil dan efektif. Kedua adalah personal dan
kapasitas yang menjadi presiden.
Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah
maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan
mayoritas di parlemen. Padahal di dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada
presiden sangat berpengaruh di dalam proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan
kebijakan dan program – program pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen kepada
presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif.
Sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen maka efektifitas pemerintah di dalam
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang.
Kedua, personal presiden – termasuk kepribadian dan kapasitas– merupakan salah satu
faktor yang penting. Di dalam sebuah situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi saat
ini presiden dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit. Oleh karena itu
presiden juga dituntut memiliki kapasitas yang baik untuk menangani berbagai permasalahan
yang sedang dihadapi. Selain dituntut untuk memiliki kapasitas dalam menangani
permasalahan bangsa, karena presiden membutuhkan support/dukungan dari parlemen maka
presiden juga dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dan lobby yang baik
dengan parlemen. salah satu faktor kurang efektifnya pemerintahan SBY saat ini oleh
beberapa kalangan dinilai disebabkan kelemahan SBY di dalam mengelola dukungan dari
koalisi partai politik yang mendukung pemerintah dan lemahnya/ketidakmampuan presiden
melakukan komunikasi dan lobby politik dengan parlemen.
Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multi partai membangun koalisi partai
politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi
partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen
merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di
dalam sistem presidensial – khususnya di Indonesia – tidak bersifat mengikat dan permanen.
Partai politik yang tergabung di dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja
menarik dukungannya. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung
pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Partai-partai politik yang
tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan
atau program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung melakukan
oposisi.
Di dalam sistem parlementer koalisi partai politik lebih bersifat permanen dan disiplin.
Koalisi partai politik dibangun atas dasar parlemen. Anggota parlemen dari koalisi partai
politik pendukung pemerintah yang tidak mendukung kebijakan pemerintah akan dikeluarkan
dari parlemen. Selain ancaman dikeluarkan dari keanggotan parlemen oleh partai politiknya,
jika anggota tidak mendukung program-program pemerintah agar berhasil perolehan kursi
partai mereka akan terancam pada pemilu berikutnya. Sehingga suksesnya pemerintah
terbentuk juga mempengaruhi citra partai politik pendukungnya. Jika koalisi parpol dalam
sistem parlementer dibangun setelah pemilu, koalisi parpol dalam sistem presidensial
dibangun sebelum pemilu presiden dilaksanakan. Akibatnya beberapa partai politik
mendukung di dalam pencalonan akan tetapi tidak mendukung ketika calon tersebut terpilih.
Hal ini disebabkan, misalnya, tidak terwakilinya partai tersebut di kabinet. Kalaupun terdapat
perwakilan partai di kabinet, partai politik tersebut tidak bertanggungjawab atas kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Keempat adalah lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di eksekutif
maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa politisi di parlemen yang
tidak mengindahkan etika dalam berpolitik. Beberapa anggota DPR terkesan ingin mencari
popularitas di hadapan publik dengan melakukan berbagai kritikan-kritikan terhadap semua
kebijakan pemerintah, tidak peduli apakah program dan kebijakan tersebut baik atau tidak
bagi masyarakat. Perilaku inilah yang menyebabkan pengambilan keputusan di parlemen sulit
untuk dicapai secara efektif. Sebaliknya beberapa menteri di kabinet lebih menunjukkan
loyalitas kepada ketua partainya dibandingkan dengan kepada presiden. Atau bahkan para
pembantu presiden tersebut lebih disibukkan dengan kegiatan konsulidasi internal partai
politik dibandingkan dengan membantu presiden mengimplementasikan program-program
pemerintah. Tidak bisa dipungkiri kabinet hasil koalisi ini sering terjadi conflict of
interest karena pejabat partai politik yang ditunjuk sebagai menteri tidak mengundurkan diri
dari jabatan di partai politik.
2. Desentralisasi dan otonomi daerah membawa perubahan signifikan dalam politik
lokal di Indonesia. Jelaskan beberapa perubahan positif pemberlakuan
desentralisasi dan otonomi daerah pada era reformasi jika dibandingkan masa
Orde Baru. Penjelasan dengan contoh yang relevan lebih dihargai.
Se1ama pemerintahan orde baru manajemen pemerintahan berkembang menjadi
makin sentralistis. berbagai kebijakan pub1ik diputuskan o1eh pemerintaah pusat di
Jakarta. Pe1aksanaannya pun di1akukan o1eh instansi pusat, mu1ai dari departemen, kantor
wi1ayah departemen, kantor departemen, sampai aparat departemen di kecamatan dan
desa. tidak hanya itu, bahkan banyak posisi strategis sipi1 di daerah dijabat o1eh orang yang
didrop dari pusat, termasuk tentara.
Kemuncu1an gerakan reformasi te1ah mengetuk kesadaran “orang daerah“ bahwa
nasib mereka tidak harus tergantung kepada “orang pusat“. Mereka perlu penguatan diri
sendiri da1am mengurus daerahnya. Mereka harus memi1ih pemimpin mereka sendiri.
Kepemimpinan di daerah diarahkan untuk 1ebih memperhatikan kebutuhan rakyat di
daerahnya dari pada kepentingan pusat. UU No. 22, l999 tentang pemerintahan daerah
memberika kesempatan bagi daerah untuk merea1isasikan kehendak tersebut.
Desenstra1isasi dimaknai sebagai penyerahan kewenangan (pe1ayanan) pemerintahan
o1eh pemerincah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, desentra1isasi da1am makna
seperti itu dini1ai o1eh berbagai pihak tidak cukup. Untuk itu, desentralisasi perlu diberi
makna sebagai pemberian otonomi kepada rakyat. artinya, semua keputusan dan
1angkah pemerintah harus bersumber, dan bertanggung jawab kepada, rakyat.
Di era kebijakan baru desentra1isasi sekarang mu1ai terlihat geliat partisipasi
rakyat da1am penye1enggaraan pemerintah daerah, meskipun da1am kadar yang berbeda
antara satu daerah dengan 1ainnya. partisipasi itu muncu1 baik karena dorongan pemerintah,
maupun atas kesadaran rakyat sendiri. partisipasi itu terlihat baik me1a1ui instrumen formal
(DPRD), maupun instrumen informal (demontrasi, seminar, dan 1ain 1ain). partisipasi itu
ada yang berdampak positif dan ada yang negatif.
Bagaimanapun, otonomi rakyat ada1ah tujuan idea1 yang ingin dicapai.
perkembangan otonomi rakyat atau keber1angsungan suatu masyarakat demokratis perlu
ditopang o1eh berbagai ke1ompok rakyat yang terorganisir da1am bentuk partai po1itik,
1embaga adat, institusi keagamaan, organisasi profesional, ke1ompok sukarelawan, dan
1ain⁄1ain. Reformasi kepemerintahan seperti me1a1ui kebijakan desentra1isasi, baru akan
bermakna dan berke1anjutan ka1au terdapat keseimbangan peran antara negara (diwaki1i
pemerintahan) dan rakyat (diwaki1i berbagai ke1ompok kepentingan masyarakat). Ka1au
tidak, maka kebijakan desentra1isasi hanya akan menciptakan sentral-sentral kekuasaan
baru di daerah.

3. Globalisasi dan pesatnya kemajuan media sosial dewasa ini memengaruhi situasi
dalam negeri/domestik suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Misalnya situasi
pandemi covid-19 memaksa negara-negara di dunia bersiap menerapkan tatanan
hidup “normal baru” dalam semua aspek kehidupan. Menurut Anda, bagaimana
kondisi domestik kita dalam merespons tatanan normal baru ke depan? Kondisi
domestik yang dimaksud adalah ekonomi, sosial -budaya, dan politik. Jelaskan
dengan contoh yang relevan.
Menurut saya, wabah COVID19 ini disebut membawa dampak positif tersendiri bagi
ekonomi Indonesia. salah satu dampak positif yang bisa didapatkan Indonesia dari pandemik
tersebut adalah terbukanya peluang pasar ekspor baru selain China. Hal positif lain yang juga
bisa dipetik dari fenomena tersebut adalah peluang memperkuat ekonomi dalam negeri. Di
saat-saat seperti ini, pemerintah dipaksa memprioritaskan untuk senantiasa fokus memperkuat
daya beli di dalam negeri ketimbang menarik keuntungan dari luar negeri.
Momentum ini juga bisa dimanfaatkan sebagai koreksi agar ke depan investasi bisa
stabil meski perekonomian global tengah terguncang. Selain itu, penyebaran wabah ini
dianggap menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperkuat sektor manufaktur, maksudnya
dengan adanya COVID19, ekspor komoditas kita jadi terdampak signifikan dan memaksa
kita untuk manufaktur harus diperkuat yang memberi nilai tambah. Hal semacam itu tersebut
akan memaksa kita berinovasi dan mencari peluang.
  Namun kita dapat kita lihat juga hingga saat ini sangat banyak para pekerja yang
terkena PHK akibat perekonomian yang semakin merosot, kesenjangan sosial semakin
terlihat jelas sehingga dapat membuka peluang terjadinya krisis keamanan , dan apabila
terjadinya krisis keamanan ini akan menimbulkan kriminalitas seperti maraknya pencurian,
perampokan dan kerusuhan massal yang dapat membuka peluang terjadinya krisis politik.
Krisis politik dapat terjadi karena hilangnya kepercayaan masyarakat atau anggota partai
terhadap pemimpinnya. Selain itu hal mendasar yang dapat menyebabkan krisis politik dalam
suatu Negara adalah keamanan serta kestabilan ekonomi Negara tersebut.

Dari krisis ekonomi hingga krisis keamanan tadi akan berimbas kepada krisis politik.
Isu-isu mengenai ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menangani
kasus Covid-19 ini dapat berpotensi menjadi boomerang bagi pemerintah, yang mana isu-isu
tersebut dapat dipolitisasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk
menjatuhkan pemerintah. Maka dari itu untuk mencegah hal-hal yang demikian, maka peran
saling membantu antara masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi krisis saat ini sangat
diperlukan. Jangan sampai krisis politik ini menjadi kenyataan. Apabila krisis politik ini
benar-benar terjadi, maka dapat dikatakan Negara akan berada dalam kekacauan dan akan
terjadi konflik internal dalam Negara.

Didalam bidang kebudayaan, new normal telah menghadirkan sebuah momentum


historis karena banyak pihak diajarkan pada sesuatu yang baru maupun hal yang harus diubah
demi menjaga kesehatan di masa seperti ini. Sekaligus menghadirkan kesempatan baru yaitu
kesempatan baru untuk melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, jika disikapi secara
positif, pandemi Covid-19 menjadi momentum besar bagi bangsa untuk melakukan
transformasi besar dengan membangun budaya-budaya baru termasuk disiplin. Krisis besar
berupa pandemi Covid-19 adalah krisis global dan bisa menjadi sebuah momentum untuk
transformasi besar. Masyarakat bisa terbiasa hidup lebih sehat dan produktif dengan
teknologi, suatu gambaran situasi yang dulu mungkin malas-malasan untuk dilakukan

REFERENSI
https://pshk.uii.ac.id/2011/08/mekanisme-check-and-balances-di-antara-lembaga-
lembaga-negara/
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/13685
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/438-sistem-multi-partai-presidensial-dan-
persoalan-efektivitas-pemerintah.html
https://media.neliti.com/media/publications/51147-EN-politik-lokal-di-era-desentralisasi-
menuju-otonomi-rakyat.pdf
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4920132/ada-dampak-positif-buat-
ekonomi-ri-di-balik-wabah-corona-apa-itu
https://ugm.ac.id/id/newsPdf/19479-new-normal-momentum-transformasi-sosial-budaya

Anda mungkin juga menyukai