Anda di halaman 1dari 17

Era New Normal dipandang dari Perspektif Hukum

Ridwan
Faculty of Law, Universitas Borobudur, Jakarta, Indonesia
E-mail:

Abstrak
Setiap bencana besar punya potensi untuk sedikit-banyak mengubah peradaban. Tak terkecuali,
pandemi global corona virus diesease 2019 (Covid-19) yang sedang dihadapi oleh umat manusia
di berbagai negara saat ini. Perlahan tapi pasti, kita lihat potensi perubahan di bermacam aspek
peradaban dalam pandemi ini.

Suatu kondisi normal yang baru (new normal) semakin terasa mendekat dan membayangi kita
semua. Meningkatnya ketergantungan pada teknologi, tanda-tanda mulai menyempitnya ruang
kebebasan sipil, menguatnya peran negara dalam mendisiplinkan warga, melemahnya
perekonomian berbagai negara, dan lain sebagainya. Ketika peradaban berubah, perilaku
manusiapun berubah. Ketika perilaku manusia berubah, hukum pun bisa berubah

Kata kunci: New normal, hukum, perubahan, negara, pemerintahan.

1. Pendahuluan
Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam semua aspek
kehidupan, baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik, budaya, pendidikan dan yang
cukup penting adalah fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan
ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas
disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak
sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut
akan sering terjadi. Namun demikian berdasarkan pengalaman umat manusia sendiri, peranan
hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia
yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak
mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir dan berkreasi. Karenanya diperlukan
berbagai bentuk aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa melaksanakan kegiatannya
dengan aman, tidak saling mengganggu atau bahkan saling menghancurkan sehingga kesempatan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Dengan demikian diperlukan
peranan hukum yang bertujuan untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan
ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat diarahkan kepada kemajuan dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat membatasi dan menekan saja,
akan tetapi juga memberi kesempatan bahkan mendorong masyarakat untuk menemukan
berbagai penemuan yang dapat menggerakkan kegiatan perekonomian suatu negara.

Covid-19 telah menjungkirbalikan logika dan modus hidup bersama. Yang tadinya masih
merawat interaksi fisik, kini menelantarkannya. Pandemi mempercepat penelantaran interaksi
fisik yang sebelumnya telah dilakukan oleh perkembangan teknologi informasi. Pemerintah
mengalami dilema sangat dahsyat dengan ancamannya sama: kematian. Sebab, pandemi
mengakibatkan kontraksi dan krisis hebat di dalam ekonomi.

Prediksi Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahwa


pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau minus 2,8 persen hingga 3,9 persen
akibat pandemi covid-19. Jika pandemi tidak lekas usai, maka Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) memprediksi angka pengangguran bisa mencapai 10 juta orang. Maka, kemiskinan dan
pengangguran menyebabkan kematian ekonomi. Di sisi lain, bahaya pandemi Covid-19
khususnya penularannya juga mengancam jiwa. Apalagi bagi lanjut usia (lansia) maupun
penderita penyakit tertentu seperti hipertensi dan jantung misalnya. Semua membawa ancaman
kematian.

COVID-19 juga menjadi realitas penyakit yang mengubah struktur sosial masyarakat. Perilaku
sosial berubah, begitu pun kohesi sosial. Cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan
(mores), dan adat istiadat (custom) turut beradaptasi. Secara sosiologis setidaknya pandemi
Covid-19 terkonstruksi empat persepsi di masyarakat.

Pertama, Covid-19 merupakan jenis penyakit yang berbahaya. Sejak ditemukan Covid-19 di
Wuhan China, Covid-19 diyakini oleh para ahli kesehatan tidak begitu tinggi tingkat persentase
kematiannya daripada virus lain seperti SARS dan MERS. Namun Covid-19 menjadi virus
berbahaya karena tingkat penyebarannya sangat cepat dibandingkan dengan virus lain. Itu
terbukti dengan cepatnya penduduk di dunia yang terinfeksi Covid-19.

Kedua, Covid-19 merupakan ancaman bagi berbagai sektor kehidupan. Selain kesehatan, Covid-
19 turut mengancam kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik di berbagai negara. Pada
aspek kehidupan sosial, hubungan sosial terbatasi, disorganisasi dan disfungsi sosial terjadi di
masyarakat. Sementara pada aspek ekonomi, tingkat kemiskinan meningkat dan mekanisme
transaksi perdagangan berbasis online. Sedangkan pada sektor pendidikan, model pembelajaran
harus dilakukan jarak jauh secara daring. Pada kehidupan politik juga tidak lepas terkena
dampaknya. Ego sektoral antar lembaga pemerintah dan politik dramaturgi untuk meraih simpati
masyarakat menjadi fenomena dalam konteks politik di tengah pandemi Covid-19.

Ketiga, Covid-19 diyakini oleh beberapa pihak sebagai bentuk konspirasi global yang sengaja
dibuat untuk kepentingan kapitalisme dan penjajahan model baru berbasis senjata biologis.
Walaupun belum ada studi ilmiah terkait dengan persepsi ini, hal ini menjadi menarik karena
banyaknya perdebatan yang terjadi di masyarakat. Saat masyarakat mulai mengalami berbagai
tekanan mekanisme hidup di tengah pandemi Covid-19, rasa ketidakpercayaan masyarakat
muncul dan dapat meyakini persepsi ini. Teori konspirasi global berkembang dan menjadi
hipotesa masyarakat dalam situasi yang tidak menentu.

Keempat, pandemi Covid-19 sebagai sumber pendapatan ekonomi baru. Pada persepsi ini
beberapa pihak meyakini bahwa pandemi Covid-19 menguntungkan bagi dirinya, bagi
kelompoknya, dan bagi perusahaannya untuk meningkatkan sumber pendapatan ekonomi.
Persepsi keempat inilah yang melahirkan para aktor ekonomi yang menaikkan harga barang jauh
lebih tinggi daripada  harga sebenarnya karena permintaan masyarakat yang tinggi. Aktor
ekonomi ini tidak peduli dengan rasa simpati dan empati di masa pandemi, bagi mereka bisnis
adalah bisnis.

Empat persepsi di atas, dapat menggambarkan dinamika respon masyarakat pada berbagai
kebijakan pemerintah terkait pandemi Covid-19. Persepsi ini juga dapat kita pahami pada level
kesadaran, kedisiplinan, dan perilaku sosial di masa pandemi. Selain itu hal ini juga mnyebabkan
perubahan pada ruang kebebasan sipil, menguatnya peran negara dalam mendisiplinkan warga,
melemahnya perekonomian berbagai negara, dan lain sebagainya. Ketika peradaban berubah,
perilaku manusiapun berubah. Ketika perilaku manusia berubah, hukum pun bisa berubah
menyesuaikan situasi yang terjadi pada masa ini.

1.1. Pernyataan masalah


Sejak akhir tahun 2019 hingga menjadi pandemi, dampak Covid-19 sangat luar biasa pada
berbagai sektor kehidupan di masyarakat. Berdasarkan data dari WHO tertanggal 9 Juni 2020,
terdata kasus pandemi Covid-19 ada di 216 negara, 7.039.918 kasus terkonfirmasi, dan 404.396
kasus yang meninggal. Sedangkan data perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia
berdasarkan data dari gugus tugas, terdata ada 33.076 kasus yang terinfeksi, 11.414 kasus
sembuh, dan 1.923 kasus meninggal. Bahkan saat ini di Indonesia masih terus ada penambahan
kluster baru penyebaran Covid-19, baik berbasis wilayah maupun aktivitas. Pelbagai upaya
untuk menghadapi pandemi Covid-19 pun dilakukan, seperti karantina rumah, isolasi mandiri,
karantina fasilitas khusus, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah.

Upaya – upaya menghadapi pandemi Covid-19 sudah dilakukan. Menjadi pertanyaan, sampai
kapan masyarakat dengan pelbagai sektor kehidupannya harus hidup dalam masa ketidakpastian,
ketidaknyamanan dan ketidakamanan dari situasi pandemi. Mengingat saat ini pun belum
ditemukan vaksin atau obat untuk penyembuhan para korban yang terinfeksi Covid-19. Bahkan
para ahli kesehatan memprediksi pandemi Covid-19 masih akan berlangsung hingga tahun
kedepan.

Menjawab situasi dan kondisi yang terjadi, maka tatanan kehidupan normal baru atau new
normal menjadi alternatif exit strategy. Tatanan new normal merupakan transformasi perilaku
hidup di masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan
protokol kesehatan sampai ditemukannya vaksin yang dapat menyembuhkan para korban yang
terinfeksi Covid-19.

Terlepas dari perdebatan istilah, tatanan new normal secara sosiologis sama dengan istilah
adaptasi hidup darurat pandemi. New normal dimaksudkan agar pelbagai sektor kehidupan yang
tadinya tersendat bahkan berhenti, dapat (sedikit) bergerak kembali. Dengan kata lain, adaptasi
hidup darurat pandemi sebagai upaya meredam laju tingkat kerentanan sosial di masyarakat yang
tidak menentu.
Kerentanan sosial menjadikan posisi ketahanan masyarakat (community resilience) mengalami
guncangan (shock) akibat pandemi Covid-19. Ketahanan masyarakat berkaitan dengan
kemampuan dari masyarakat untuk dapat menggunakan sumber daya yang tersedia (seperti,
teknologi, makanan, pekerjaan, dan rasa aman-nyaman) dalam memenuhi kebutuhan dasar dan
menjalankan fungsi sosialnya. Namun kondisi saat ini justru menjadikan ketahanan masyarakat
mengalami kerentanan sosial. Kerentanan sosial membuat produktivitas menurun, mata
pencarian terganggu, dan munculnya gangguan kecemasan sosial di masyarakat.

1.2. Pengertian New Normal


Menurut Pemerintah, new normal adalah hidup bersih dan sehat, bukan pelonggaran PSBB.
Lebih detailnya new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal
namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan
Covid-19.

Protokol untuk mengatur konsep new normal, dalam proses pengkajian dan penyiapan. Salah
satunya mengatur protokol kesehatan seperti menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker
ketika keluar rumah, menjaga jarak, serta menjaga kesehatan dengan asupan makanan dan
berolahraga. Protokol ini juga mengatur tata cara berkumpul di luar rumah, makan di restoran
hingga beribadah. Sejumlah perusahaan pelat merah pun turut menyusun protokol kesehatan new
normal. PT KAI memperbolehkan karyawannya yang berusia di bawah 45 tahun untuk masuk
kantor seperti biasa, dengan tetap mengedepankan aturan PSBB di masing-masing wilayah kerja.

New normal sendiri juga ialah tatanan, kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi
untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat tatanan baru ini perlu ada sebab hingga
kini belum ditemukan vaksin definitif dengan standar internasional untuk pengobatan virus
corona. Para ahli masih bekerja keras untuk mengembangkan dan menemukan vaksin agar bisa
segera digunakan untuk pengendalian pandemi COVID-19.

Untuk merealisasikan skenario new normal, saat ini pemerintah telah menggandeng seluruh
pihak terkait termasuk tokoh masyarakat, para ahli dan para pakar untuk merumuskan protokol
atau SOP untuk memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali, tetapi tetap aman dari
COVID-19. Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pemerintahan, pendidikan
dan keagamaan, tentu bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah, sehingga
penambahan kasus positif bisa ditekan.

Organisasi kesehatan dunia WHO telah menyiapkan pedoman transisi menuju new normal
selama pandemi COVID-19. Dalam protokol tersebut, negara harus terbukti mampu
mengendalikan penularan COVID-19 sebelum menerapkan new normal. Pengendalian ini juga
harus bisa dilakukan di tempat yang memiliki kerentanan tinggi misal panti jompo, fasilitas
kesehatan mental, dan wilayah dengan banyak penduduk. Langkah pengendalian dengan
pencegahan juga harus diterapkan di tempat kerja

2. Metodologi
Penelitian ini mengadopsi pendekatan metode kualitatif menggunakan metode induktif dalam
mengumpulkan data. Kerangka kerja konseptual dirancang dengan tetap memperhatikan keadaan
hukum dan negara saat ini dan perubahan peraturan ]yang telah membatasi perspektif di
Indonesia

2.1. Sampel and populasi


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan bukti tentang dampak era New Normal
dipandang dari perspektif hukum . Oleh karena itu, populasi sasaran terdiri dari masyarakat dan
pejabat pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan undang-undang dan
peraturan. Setelah putaran awal, 21 sumber diidentifikasi yang terlibat dalam bidang hukum.

2.2. Alat and instrumentasi


Kuesioner disusun dengan item yang terkait dengan kebijakan dan peraturan hukum
kontemporer. Para responden diminta untuk mengidentifikasi peraturan yang mempengaruhi
hukum secara umum, dan prespektif hukum pada masa new era khususnya. Data yang
dikumpulkan dianalisis dengan pendekatan induktif dan metode analisis konten. Konstruksi
membantu peneliti sampai pada beberapa temuan

3. Pembahasan
Setiap bencana besar punya potensi untuk sedikit-banyak mengubah peradaban. Tak terkecuali,
pandemi global corona virus desease 2019 (Covid-19) yang sedang dihadapi oleh umat manusia
di berbagai negara saat ini. Perlahan tapi pasti, kita lihat potensi perubahan di bermacam aspek
peradaban dalam  pandemi ini.

Suatu kondisi normal yang baru (new normal) semakin terasa mendekat dan membayangi kita
semua. Meningkatnya ketergantungan pada teknologi, tanda-tanda mulai menyempitnya ruang
kebebasan sipil, menguatnya peran negara dalam mendisiplinkan warga, melemahnya
perekonomian berbagai negara, dan lain sebagainya. Ketika peradaban berubah, perilaku
manusiapun berubah. Ketika perilaku manusia berubah, hukum pun bisa berubah.

Bacaan di atas, tentu bisa jadi berlebihan dan meleset. Kita semua pasti berharap pandemi ini
segera berlalu, tidak memakan lebih banyak korban, dan tidak meninggalkan dampak buruk yang
teramat besar. Namun satu hal yang pasti, umat manusia harus ambil banyak pelajaran dari
rentetan krisis yang terjadi dalam pandemi ini.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Dalam penjelasannya (pra-amandemen konstitusi), dijabarkan bahwa negara Indonesia berdasar
atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat). Tulisan pendek ini dengan
sadar membatasi diri untuk tidak mengulas kompleksitas konsep Negara
Hukum, Rechstaat, maupun Rule of Law. Pada dasarnya, kekuasaan negara harus dibatasi
hukum, dan hak asasi manusia harus dilindungi. Lantas, bagaimana “nasib” negara hukum saat
pandemi?

Sebelum pandemi, kita bisa dengan bangga mengucapkan Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakkan
keadilan walaupun langit runtuh). Kenyataannya, menegakkan keadilan tidak semudah dalam
pepatah. Langit masih belum runtuh, kita sudah mulai tergoda untuk sementara
mengesampingkan hukum dan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.

Saat pandemi melanda, lalu kita mulai mengutip ungkapan latin lainnya: Salus Populi Suprema
Lex Esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi). Tak ada yang salah dengan kutipan
dari Cicero itu. Makna ungkapan ini juga tidak bertentangan dengan makna Fiat Justitia Ruat
Caelum. Namun ungkapan ini juga bisa dimaknai secara salah, dan bisa saja disalahgunakan
untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan atas nama keselamatan rakyat. Oleh karenanya,
publik maupun pengambil kebijakan perlu cermat dan berhati-hati tiap kali melihat ataupun
hendak menggunakan ungkapan ini sebagai dalil.
Pandemi Covid-19 ini mungkin satu-satunya masa di mana warga, termasuk para aktivis pro-
demokrasi dan hak asasi manusia, meminta agar Pemerintah cepat ambil langkah untuk
menerapkan pembatasan-pembatasan. Berbagai  jenis dan tingkat pembatasan tentunya bukan
hanya wajar, tapi juga memang harus diterapkan dalam menghadapi pandemi ini. Strategi
penelusuran (tracing), pembatasan/karantina/isolasi (isolating), pemeriksaan/pengujian (testing),
dan perawatan (treatment) sudah menjadi resep wajib yang dijalankan oleh berbagai negara
dengan kadarnya masing-masing.

Presiden Jokowi akhirnya menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19 (Keppres


No.11/2020), dan mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka
percepatan penanganan Covid-19 (PP No.21/2020). Presiden kemudian mentapkan bencana non-
alam penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional (Keppres No.12/2020). Sederetan produk
hukum dan kebijakan telah dibuat di Indonesia dalam masa pandemi ini. Paling tidak tercatat ada
1 Perppu, 1 PP, 1 Perpres, 1 Inpres, 4 Keppres, 15 Permen, 19 Kepmen, dan puluhan surat
keputusan dan edaran, yang khusus dibentuk dalam rangka merespon situasi pandemi Covid-19
ini. Penting untuk kita ingat bersama, bahwa pembatasan dalam pandemi bukanlah tak berbatas.
Hukum dan hak asasi manusia harus selalu menjadi panduan agar pembatasan tidak bablas
menjadi pengekangan yang berlebihan, apalagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam menghadapi
pandemi, komitmen kita pada prinsip-prinsip negara hukum sebenarnya sedang ikut pula diuji.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengeluarkan suatu policy brief mengenai


Covid-19 dan Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa: “… This is not a time to neglect
human rights; it is a time when, more than ever, human rights are needed to navigate this crisis
in a way that will allow us, as soon as possible, to focus again on achieving equitable
sustainable development and sustaining peace”.

Pandemi jelas tidak bisa jadi alasan untuk meminggirkan prinsip-prinsip negara hukum dan hak
asasi manusia. Menyikapi pokok-pokok pikiran dari kertas kebijakan PBB itu, publik perlu terus
megawasi dan mengingatkan pengambil kebijakan di negaranya, agar tidak mengambil langkah
yang justru merugikan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.

Status kedaruratan yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini adalah status kedaruratan kesehatan
masyarakat, dan pilihan ini sudah tepat. Kita semua tentunya berharap status ini tidak berubah
memburuk, melainkan segera membaik dan bisa segera dicabut. Tapi seberapapun kecil
kemungkinannya, status ini tentu bisa berubah, sehingga bisa saja makin berdampak pada ruang
kebebasan warga.

Dalam pidato tanggal 30 Maret 2020, Presiden Jokowi sempat sepintas menyebut soal kebijakan
darurat sipil. Hal ini kemudian diklarifikasi oleh juru bicara Fadjroel Rachman bahwa
pemerintah mempertimbangkan darurat sipil sebagai suatu pilihan langkah terakhir, yang bisa
jadi tidak akan digunakan.

Status keadaan darurat sipil tentu bukanlah sesuatu yang bisa dibahas sepintas lalu, dan bukan
merupakan jalur pendekatan yang tepat untuk diambil dalam menghadapi pandemi ini. Status
yang diatur dalam Perppu No.23/1959 ini merupakan status keadaan bahaya dengan tingkatan di
bawah keadaan darurat militer dan keadaan perang.

Dalam keadaan darurat sipil, Penguasa Darurat Sipil punya kewenangan untuk membatasi ruang
kebebasan sipil, antara lain seperti membatasi penerbitan, memerintahkan penggeledahan,
memerintahkan penyitaan barang, mengetahui ataupun memutus percakapan telepon, dan lain-
lain. Sekali lagi, semua tentu tak menginginkan kita untuk memasuki keadaan ini.

Namun tampaknya publik sudah perlu mencermati potensi penyempitan ruang kebebasan sejak
awal, tanpa perlu menunggu terjadi atau tidaknya perubahan status kedaruratan. Sejak memasuki
masa pandemi ini, kita sudah mendengar beberapa berita penetapan tersangka dan penahanan
yang berkaitan dengan isu virus corona. Pada 18 April 2020, Menkominfo memberikan
keterangan pers bahwa ada 554 isu hoax terkait virus corona yang tersebar di berbagai platform
media sosial. Menkominfo kemudian menjelaskan bahwa pihak Kepolisian telah menetapkan 89
orang tersangka, dengan rincian 14 orang ditahan dan 75 orang diproses. Kita perlu cermat ketika
melihat adanya kasus-kasus penyebaran berita bohong (hoax) seperti yang diumumkan
Menkominfo. Melihat praktik penerapan kasusnya yang seringkali bermasalah, perlu benar-benar
ditelisik apakah benar para tersangka tersebut menyiarkan suatu berita bohong? Benarkah
mereka melakukannya  dengan sengaja untuk menimbulkan keonaran? Harus ada kehati-hatian
dalam penegakan hukum pidana penyebaran berita bohong ini, agar tidak malah semakin
menyempitkan ruang kebebasan berekspresi warga.
Lalu kita juga mendengar berita penangkapan Ravio Patra, seorang peneliti kebijakan publik dan
pegiat demokrasi. Ravio yang sebelumnya mengaku diretas teleponnya, kemudian malah
ditangkap Polisi karena dikaitkan dengan penyebaran informasi bernada provokasi lewat aplikasi
WhatsApp. Penangkapan ini mendapatkan reaksi keras dari publik yang membela Ravio, karena
melihat ada banyak kejanggalan dalam penangkapan ini. Menkopolhukam Mahfud MD
berkomentar bahwa kasus Ravio haruslah menjadi pelajaran bagi aparat kepolisian agar tidak
asal menangkap seseorang tanpa ada bukti yang kuat.

Tak ada yang  menyangkal bahwa penegakan hukum tetaplah harus berjalan dalam situasi
pandemi. Tak bisa dipungkiri juga, bahwa ada berbagai pembatasan yang dibenarkan dan
diharuskan ada secara proporsional, dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat. Namun
bukan berarti penegakan hukum tersebut bisa dilakukan dengan menciderai hak asasi manusia
atau melanggar hukum itu sendiri. Kita harus bisa membedakan antara Rule of Law, dengan
sekedar Rule by Law. Merawat kebebasan adalah bagian dari upaya merawat negara hukum
dalam pandemi. Berada dalam darurat kesehatan, bukan berarti kita harus mengalami darurat
kebebasan juga.

3.1. Perspektif Hukum


Sebagaimana diketahui bahwa ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum, karenanya
kebenaran hukum yang hendak diungkapkan harus didasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada
hakekat hukum itu sendiri. Untuk menjelaskan keilmuan hukum secara utuh dan menyeluruh
maka dapat dilihat pada metode kajiannya, yaitu : Pendekatan dari sudut filsafat ilmu dan
pendekatan dari sudut pandang teori hukum, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Pendekatan dari sudut Filsafat Ilmu :

Filsafat ilmu membedakan ilmu dari 2 (dua) sudut pandangan, yaitu pandangan positivistik yang
melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif. Dengan
demikian, Ilmu Hukum memiliki 2 (dua) sisi dan memfokuskan pada kajian yang berbeda. Pada
satu sisi Ilmu Hukum dengan karakter aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lainnya Ilmu
Hukum mempunyai segi-segi empiris. Adapun sisi empiris tersebut yang menjadi kajian Ilmu
Hukum Empiris seperti Sociological Jurisprudence dan Socio-Legal Jurisprudence.
b. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum :

Setidaknya tiga alasan mengapa hukum penting bagi manusia, yaitu bahwa dalam
melangsungkan kehidupannya manusia memerlukan ketertiban, kepastian, dan keadilan. Dengan
adanya ketiga hal itu, maka berbagai kebutuhan hidup manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat dapat terpenuhi. Manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara
nyaman bersama manusia lain, hak hidup individu dan masyarakat dapat ditata dan dilindungi
berdasarkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang diciptakan dan diterima bersama. Dalam
kebersamaan itu pula setiap individu dimungkinkan untuk mengembangkan segala potensi dan
kemampuannya berdasarkan pilihan bebasnya sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah
perilaku yang ada. Atau secara negatif dapat dikatakan bahwa dengan adanya hukum, manusia
tidak mejadi menjadi serigala bagi sesamanya.

Dengan demikian, hukum bersifat mengatur, menata, dan mengarahkan dan mengendalikan
perkembangan hidup, baik untuk kepentingan kini maupun kehidupan yang dicita-citakan oleh
individu dan masyarakat. Dalam konteks itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum
adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
sejahtera dan membuat manusia bahagia. Ini artinya bahwa hukum dengan segala perjuangannya,
tidak bertujuan dan berakhir pada penyempurnaan dirinya sendiri melainkan pada penyepurnaan
hidup manusia untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik.

Bila dikaitkan dengan kecenderungan pasar bebas dalam masyarakat modern dewasa ini, maka
peranan hukum melalui peraturan tatanan hukum yang andal makin terasa penting. Terutama
dalam mengkanalisasi bekerjanya mekanisme pasar bebas untuk mencegah terciptanya apa yang
disebut oleh Thomas Hobbes sebagai “bellum ominum contra omnes” (the war of all against all)
dalam lingkungan dunia usaha serta dapat mencegah dan mengendalikan kecenderungan sifat
hedonistik dan materialistik sebagaimana yang tampak dalam masyarakat indusri yang kapitalis
di negara-negara Barat[3]. Tanpa hukum, peradaban manusia barangkali tak bertahan lama dan
segera punah menghadapi sifat manusia yang antagonis, yaitu di satu pihak menginginkan
kehidupan yang lebih baik, sehat jasmani, dan rohani, dan dipihak lain ia memiliki kemampuan
merusak diri dan lingkungan hidup di sekitarnya untuk kepentingan atau kepuasan hidup sesaat.
Ilmu hukum sendiri dibagi atas 3 (tiga) lapisan utama yaitu : dogmatik hukum, teori hukum
(dalam arti sempit) dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan
pada praktik hukum, yang masing-masing mempunyai karakter dan metode yang khas. Persoalan
tentang metode dalam Ilmu Hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam arti sempit).
Menurut Gustav Radbruch, keberadaan hukum dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan,
kepastian dan kegunaan, dimana dari ketiga nilai tersebut selalu terjadi pertentangan. Oleh
karena itu untuk mewujudkan hukum yang benar harus saling melengkapi dan tidak saling
mengecualikan. Pengutamaan satu diantara yang lain dan nilai dasar hukum tersebut akan
berakibat pada timbulnya ketidak cocokan diantara nilai-nilai hukum tersebut.

Prinsip-prinsip hukum berupa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan sebagai nilai-nilai
dasar mengenai apa yang dikehendaki manusia dari keberadaan dan keberlakuan hukum.Hukum
dengan nilainilainya hendak mewujudkan bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk melindungi
dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam konteks tersebut, nilai-
nilai dasar dari hukum dimaksudkan sebagai nilai instrumental, yaitu hukum tersebut bernilai
sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat.

Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, namun demikian
dalam hukum biasanya nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berpasangan, akan tetapi tidak
jarang pula bertentangan. Nilai-nilai tersebut, misalnya : ketertiban dan ketentraman, kepastian
hukum dan kesebandingan, kepentingan umum dan kepentingan individu. Dengan demikian,
tidak adanya keserasian dan harmonisasi diantara nilai-nilai tersebut yang terdeskripsikan dalam
masyarakat akan mengganggu tujuan dan jalannya proses penegakkan hukum.

3.2. Perspektif Hukum pada masa New Era


Salah satu kewenangan hukum adalah membuat peraturan perundang-undangan. New
Normal membutuhkan perangkat peraturan hukum yang bisa menjamin masyarakat bisa hidup
dengan baik ditengah-tengah Pandemi Covid-19. 
Membuat peraturan perundang-undangan dalam hukum ditentukan menjadi kewenangan dari
Pemerintah. Proses penyusunan peraturan perundang-undangan itu harus disesuaikan dengan
kondisi dan keadaan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dalam hal ini adalah
keadaan New Normal. Yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan adalah
Pemerintah, jika berupa undang-undang dibentuk oleh DPR dan Presiden, jika berupa peraturan
pemerintah yang lainnya dibentuk oleh Presiden beserta jajarannya atau eksekutif. 

Hukum memberi wewenang kepada para pembentuk peraturan perundang-undangan untuk


membentuk peraturan perundang-undangan sesuai keinginannya.  Dalam politik hukum
peraturan perundang-undangan dibuat sesuai dengan visi misi pembentuk peraturan perundang-
undangan, namun demikian isi peraturan perundang-undangan itu harus disesuaikan dengan
keadaan yang ada pada saat peraturan perundang-undangan itu dibentuk.

Kondisi di Indonesia sedang menghadapi Pandemi Covid-19, maka mau tidak mau pembentuk
peraturan perundang-undangan harus membuat peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kondisi Pendemi Covid-19 ini. Pandemi Covid-19 salah satu cara mencegah penyebarannya
adalah dengan pola hidup bersih, memakai masker, social distancing dan psical distancing,
peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat harus berisi cakupannya tentang hal tersebut
di atas. 

Pemegang kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan


kewenangannya harus bisa memasukkan unsur-unsur di atas tadi agar terjadi pencegahan
penyebaran Covid-19 tersebut. Dalam Hukum Tata Negara juga diajarkan bahwa peraturan
perundang-undangan yang baik harus memenuhi 3 unsur, yaitu unsur filosofis, unsur yuridis dan
unsur sosiologis, agar peraturan perundang-undangan bisa diterima oleh masyarakat pembentuk
peraturan perundang-undangan harus memperhatikan ketiga unsur tersebut. 

3.3. Dampak
Sebenarnya kebijakan yang diambil pemerintah yang memilih opsi penerapan PSBB sudah keliru
sejak awal, sehingga istilah konsep new normal ini terkesan membuat diksi baru dan basa-basi
dalam penanggulangan Covid-19. Salah satu kekeliruannya ialah kebijakan PSBB yang
berbanding terbalik dengan kebijakan pelarangan mudik yang diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama
Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Pelarangan mudik tersebut mulai diberlakukan mulai 24 April 2020 sampai dengan 31 Mei 2020
untuk transportasi darat, 15 Juni untuk kereta api, 8 Juni untuk transportasi laut, dan tanggal 1
Juni untuk transportasi udara. Hal ini dapat diperpanjang dengan menyesuaikan dinamika
pandemi Covid-19 di Indonesia.

Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan PSBB serta
daerah zona merah Covid-19 lainnya. Larangan ini akan mengecualikan sejumlah kendaraan agar
tetap melintas. Kendaraan yang diperbolehkan melintas hanya angkutan logistik atau sembako,
kendaraan pengangkut obat-obatan dan kendaraan pengangkut petugas seperti pemadam
kebakaran, ambulans dan mobil jenazah.

Mengapa pelarangan mudik tersebut berbanding terbalik dengan kebijakan PSBB? Sebagai
contoh PSBB di DKI Jakarta dan sekitarnya, dimana akibat adanya larangan mudik ini maka
terjadi penutupan akses keluar masuk ke wilayah Jabodetabek. Artinya, penutupan akses ini bisa
dikatakan sebagai penerapan Karantina Wilayah setengah hati. Penutupan akses tersebut
seharusnya lebih cocok jika pemerintah menetapkan Karantina Wilayah atau lockdown.

Kepastian kepada masyarakat atas kebijakan yang diambil dalam penanggulangan Covid-19,
harus dilakukan. Utamanya konsisten menerapkan PSBB. Ketidakonsistenan tersebut juga
terlihat dengan diterbitkannya Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-
19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka
Percepatan Penanganan Covid-19 yang memuat aturan soal siapa-siapa saja yang boleh
melakukan mobilisasi menggunakan transportasi darat, laut dan udara secara terbatas di tengah
larangan mudik akibat pandemi virus Covid-19. Operasional terbatas itu hanya berlaku bagi
penumpang dalam rangka tugas kedinasan, pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan
darurat, dan perjalanan orang yang anggota keluarganya meninggal.

SE ini juga menimbulkan permasalahan baru, yakni maraknya jual beli surat bodong untuk
mudik via online. Surat yang berisi bebas Covid-19 sebagai syarat perjalanan di masa larangan
mudik seperti yang diatur dalam SE tersebut dibandrol dengan harga Rp 70 ribu. Pihak
Kepolisian melalui Polres Jembrana pun sudah menangkap tiga pelaku yang memperjualbelikan
surat kesehatan palsu di sekitar Pelabuhan Gilimanuk, Bali, Rabu (13/4/2020) malam. Pelaku
dijerat Pasal 263 dan atau Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Membuat
Surat Palsu atau Memalsukan Surat dengan ancaman pidana 6 tahun penjara.

4. Kesimpulan
Hukum mengajarkan bahwa dalam negara ada kewenangan pembentuk peraturan perudang-
undangan. Namun demikian pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut harus selalu
memperhatikan kondisi dan keadaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. 

Dewasa ini di tengah-tengah masyarakat sedang terjadi Pandemi Covid-19, maka peraturan
perundang-undangan juga harus memperhatikan hal tersebut. Semuanya tergantung dari
pembentuk peraturan perundang-undangan, namun demikian Hukum Tata Negara mengajarkan
pembentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kondisi dan keadaan yang ada.

Tidak ada orang yang tahu pasti kapan dan bagaimana pandemi ini akan berakhir. Semua orang
menunggu tercapainya kurva yang rata (flatten the curve) dengan mengupayakan karantina,
sambil berharap-harap cemas bisa tidaknya para ilmuwan menemukan vaksin mujarab untuk
segera diproduksi masal. Sederetan kepala negara, kepala pemerintahan, maupun politisi dari
berbagai negara, terlihat kewalahan menghadapi pandemi ini. Beberapa bahkan salah langkah,
terkesan meremehkan bahaya virus ini, dan baru ambil langkah serius setelah terlanjur banyak
warga yang terinfeksi dan jatuh korban.

Pandemi telah menjadi disrupsi yang mendorong berbagai perubahan besar di banyak sektor
dalam waktu sangat cepat. Teknologi yang sebelum pandemi sudah mewarnai kehidupan sehari-
hari, kini seolah merangsek mengambil alih banyak aspek kehidupan manusia.
Kemungkinannya, kita saat ini sedang meninggalkan gerbang “normal yang lama” (old normal),
dan memasuki era “normal yang baru” (new normal).

Yuval Noah Harari, ahli sejarah yang belakangan ini banyak dikutip dalam berbagai tulisan
tentang pandemi Covid-19, menuliskan pandangannya bahwa banyak hal yang saat ini dipandang
sebagai solusi jangka pendek, akan bisa jadi sesuatu yang permanen dalam menjalani kehidupan
ke depan. Harari juga memberikan peringatan soal potensi pengintaian (surveillance) dengan
bantuan teknologi yang makin hari makin canggih. Hal yang mana, sudah terjadi dalam konteks
pandemi saat ini: China yang memantau telepon genggam warganya dengan ketat untuk
melakukan tracing maupun tracking dalam rangka mengidentifikasi warganya yang terinfeksi
virus, atau Israel yang menggunakan teknologi surveillance yang biasanya digunakan untuk
memerangi teroris dalam melacak penyebaran virus ini. Kita tentu tidak perlu meyakini penuh
bacaan-bacaan yang disampaikan Harari, namun tak ada salahnya untuk dijadikan pertimbangan.

Mempertimbangkan berbagai hal tersebut, jelas bahwa kita perlu panduan dan strategi baru
untuk menghadapi situasi baru ini. Pelapor Khusus PBB tentang Hak Berserikat Berkumpul Mr.
Clement Nyaletsossi Voule mengeluarkan pernyataan, yang menegaskan bahwa pelibatan
Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organization) sebagai mitra strategis pemerintah
adalah suatu keharusan dalam menghadapi pandemi ini.

Pernyataan Pelapor Khusus PBB itu juga memuat prinsip-prinsip kunci yang perlu dijadikan
panduan dalam menghadapi situasi pandemi ini, antara lain: prinsip perlu dipastikannya semua
produk peraturan yang dibuat agar menghormati HAM, prinsip agar kedaruratan kesehatan tidak
dijadikan alasan pelanggaran hak, prinsip pentingnya memastikan partisipasi publik, prinsip
jaminan kebebasan berekspresi, prinsip jaminan kebebasan berserikat berkumpul secara online,
dan lain-lain. Prinsip-prinsip kunci tersebut perlu dipegang sebagai panduan bagi masyarakat
maupun bagi pembentuk kebijakan dalam menghadapi situasi saat ini.

Berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia juga perlu diwarnai dengan prinsip-prinsip
tersebut. Misalnya, sidang pengadilan yang kini dimungkinkan untuk dilaksanakan secara online
harus dipastikan tetap memenuhi prinsip fair trial, atau rapat  parlemen secara online yang
membahas rancangan undang-undang harus tetap memenuhi asas keterbukaan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Besar kemungkinan kita di Indonesia juga akan menghadapi beberapa persimpangan diskusi
yang sama dengan negara-negara lain dalam pandemi ini. Beberapa persimpangan diskusi yang
bisa mudah dilihat sudah atau akan segera hadir di depan mata antara lain: perdebatan politik
kewenangan antara pusat dan daerah, pertanyaan soal kapan waktu yang tepat untuk mulai
membuka kembali kegiatan bisnis, sejauh mana pembatasan masih akan perlu diterapkan, dan
lain sebagainya. Satu hal yang perlu dipastikan hadir dalam persimpangan-persimpangan
tersebut adalah: komitmen bersama bahwa Indonesia adalah negara hukum, di mana kekuasaan
negara harus dibatasi hukum, dan hak asasi manusia harus dilindungi.

Daftar Pustaka
Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Cet. Kedua,
2006

Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Cet.
I, Juli 2009 

http://new.widyamataram.ac.id/content/news/peranan-hukum-tata-negara-dalam-pandemi-covid-19-
dan-menuju-ke-arah-new-normal

https://uai.ac.id/ada-apa-dengan-new-normal/

https://lokataru.id/merawat-negara-hukum-dalam-pandemi-oleh-eryanto-nugroho/

https://media.neliti.com/media/publications/12289-ID-perspektif-hukum-sebagai-landasan-
pembangunan-ekonomi-di-indonesia-sebuah-pendek.pdf

Anda mungkin juga menyukai