Anda di halaman 1dari 62

Tugas Khusus

Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)


Di Apotek Madya
Jl. Proklamasi No. 50 Padang

“Hipertensi dan Dislipidemia”

Disusun Oleh :
Aulia Rahmi, S.Farm
2041013004

Angkatan I Tahun 2020


Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Andalas
21 September 2020 – 17 Oktober 2020
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Akhir
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di Apotek Madya

Aulia Rahmi, S. Farm


2041013004

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Rer. Nat. apt. Dian Handayani apt. Dwi Erliyana, S.Farm
NIP:19680517 199103 2 002 Apoteker Penanggung Jawab Apotek Madya

Diketahui oleh,
Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker
Ketua

apt. Rahmi Yosmar, M.Farm


NIP. 198510172010122005

ii
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta‘ala Rabb semesta ‘alam,

shalawat dan salam semoga Allah limpahkan bagi Nabi Muhammad shallallaahu

‘alaihi wa sallam. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tugas khusus ini

dalam rangka Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Madya Jl.

Proklamasi No. 50 Padang pada tanggal 21 September 2020 - 17 Oktober 2020.

Tugas khusus ini ditujukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan

Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) pada Program Studi Profesi Apoteker,

Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang. Selesainya penulisan tugas khusus

ini tidak terlepas dari dukungan, doa, dan semangat dari berbagai pihak. Pada

kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Orangtua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan, do’a, dan

motivasi.

2. Ibu Prof. Dr. Apt. Fatma Sri Wahyuni, elaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Andalas.

3. Ibu apt. Rahmi Yosmar, M.Farm, selaku Ketua Program Studi Profesi

Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Andalas.

4. Ibuk Prof. Dr. Dian Handayani Pembimbing I Praktek Kerja Profesi

Apoteker di Apotek yang telah membimbing dan memberikan arahan

kepada penulis selama kegiatan PKPA Apotek.

iii
5. Ibu apt. Dwi Erliyana S.Farm, selaku pembimbing II yang telah

membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama kegiatan

PKPA Apotek.

6. Seluruh Tenaga Teknis Kefarmasian dan Karyawan/ti di Apotek Madya

atas segala bantuan, ilmu, dan bimbingannya selama kegiatan PKPA

Apotek.

7. Rekan-rekan mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker Angkatan I

Tahun 2020, Fakultas Farmasi Universitas Andalas dan semua pihak yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis,

semoga Allah SWT selalu membalas segala kebaikan dan melimpahkan rahmat

serta karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, Aamiin.

Dalam penulisan tugas khusus ini, penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan dan kelemahan. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar tugas khusus ini menjadi lebih

baik lagi. Semoga tugas khusus ini dapat bermanfaat.

Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Padang, Oktober 2020

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii

KATA PENGANTAR.................................................................................. iii

DAFTAR ISI................................................................................................. v

BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1

1.2 Tujuan................................................................................................ 4

BAB II. TINJAUAN KASUS....................................................................... 5

2.1..Resep ............................................................................................... 5

2.2..Deskripsi Pasien............................................................................... 5

2.3..Pengkajian Resep............................................................................. 6

2.4..Penyakit............................................................................................ 12

BAB III. TINJAUAN KOMPETENSI....................................................... 42

3.1..Aspek Praktek Profesional, Legal dan Etis...................................... 42

3.2..Aspek Optimalisasi Penggunaan Sediaan Farmasi.......................... 45

3.3..Aspek Dispensing Sediaan Farmasi ................................................ 45

3.4..Aspek Formulasi dan Pembuatan Sediaan Farmasi......................... 46

3.5..Aspek Komunikasi dan Kolabarasi.................................................. 46

3.6..Aspek Upaya Prefentif dan Promotif Kesehatan.............................. 47

3.7..Aspek Pengelolaan Sediaan Farmasi............................................... 48

3.8..Aspek Kepemimpinan dan Mnajemen diri ...................................... 52

3.9..Aspek Peningkatan Kompetensi Profesi.......................................... 52

v
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 54

4.1 Kesimpulan....................................................................................... 54

4.2 Saran................................................................................................. 54

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 35

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa waktu yang lalu profesi apoteker masih belum dikenal luas oleh

masyarakat. Padahal sebenarnya, farmasi juga memiliki peran yang sangat penting dalam

kesehatan masyarakat. Apoteker berperan dalam pelayanan kesehatan untuk masyarakat

melalui penyediaan obat yang berkualitas. Selain obat yang berkualitas, apoteker

mempunyai tanggung jawab dalam pelayanan kefarmasian untuk mengoptimalkan terapi

guna memperbaiki kualitas hidup pasien.

Namun, pelayanan kefarmasian saat ini telah semakin berkembang. Selain

berorientasi kepada produk (product oriented) juga berorientasi kepada pasien (patient

oriented) seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan

dan pergeseran budaya sehingga menyebabkan peningkatan dalam konsumsi obat.

Berbagai tuntutan yang ada di masyarakat menjadi tantangan untuk pengembangan dunia

kefarmasian seperti pharmaceutical care yaitu obat sampai ketangan pasien dalam

keadaan baik, efektif dan aman disertai informasi yang jelas sehingga penggunaannya

tepat dan mencapai kesembuhan.

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan

pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah,

serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi,

dan farmasi sosial (socio-pharmacoeconomy). Dalam melakukan praktik tersebut,

Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan

evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan

semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.

1
Resep merupakan hal terpenting sebelum pasien menerima obat. Dalam alur

pelayanan resep, apoteker wajib melakukan skrining resep yang meliputi skrining

admninstrasi, kesesuaian farmasetis, dan kesesuian klinis untuk menjamin legalitas suatu

resep dan meminimalkan kesalahan pengobatan. Resep harus ditulis dengan jelas untuk

menghindari salah presepsi antara penulis dengan pembaca resep, kegagalan komunikasi

dan salah interpretasi antara dokter dengan apoteker merupakan alah satu faktor kesalahan

medikasi (medication error) yang berakibat fatal bagi pasien

Kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara dokter dengan apoteker

merupakan salah satu faktor kesalahan medikasi (medication error) yang berakibat fatal

bagi pasien. Adapun salah satu cara untuk menghindari hal tersebut resep harus ditulis

dengan jelas. Dalam usaha meminimalkan masalah yang terkait obat, apoteker dapat

melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan

persyaratan klinis. Jika ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada

dokter penulis resep. Banyak penyakit-penyakit di masyarakat yang memerlukan

penanganan yang benar agar mendapatkan terapi yang sesuai oleh pihak medis.

Hipertensi adalah suatu penyakit meningkatnya tekanan darah arteri yang dapat

membahayakan sistem organ dan mempunyai faktor resiko terhadap penyakit

kardiovaskular. Hipertensi merupakan masalah kesehatan dunia, prevalensi hipertensi

yang meningkat, disertai dengan penyakit lain yang menyertainya akan meningkatkan

risiko kejadian kardiovaskuler dan penyakit ginjal. Hipertensi biasanya tidak

menimbulkan gejala yang spesifik, sehingga menyebabkan banyak penderita hipertensi

yang tidak diobati, dari pasien hipertensi yang mendapat pengobatan, hanya sekitar 10-

20% yang mencapai target kontrol tekanan darah. Diperkirakan prevalensi hipertensi akan

semakin meningkat sehingga memberikan dampak pada kesehatan masyarakat.

Pencegahan diperlukan untuk mengatasi komplikasi ini, termasuk pengendalian tekanan,

kadar kolesterol dan lipid darah. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dari dokter,

2
apoteker, tenaga kesehatan lain serta pasien sangat diperlukan agar hipertensi dapat

dikendalikan.

Dislipidemia merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat gangguan metabolisme

lipid dan dikenal sebagai salah satu faktor risiko penting untuk terjadinya penyakit

kardiovaskuler, disamping faktor risiko lain seperti diabetes melitus, obesitas dan

hipertensi. Dislipidemia sendiri pada umumnya tidak bergejala sehingga sering diabaikan

dan tidak membawa pasiennya untuk mengunjungi dokter, oleh karena itu deteksi

dislipidemia secara dini sangat diperlukan khususnya pada kelompok populasi yang

berisiko tinggi. Berdasarkan data Global Health Observatory (GHO) dari badan kesehatan

dunia (WHO) yang menunjukkan bahwa prevalensi dislipidemia pada tahun 2008 adalah

sebesar 37% pada populasi laki-lakidan 40% pada populasi wanita dan dianggap

bertanggung jawab terhadap 2,6 juta kematiansertamenyebabkan 29,7 juta jiwa lainnya

akan mengalami ketidakberdayaansetiap tahun(1). Di Indonesia, data yang diambil dari

hasil riset kesehatan dasar nasional (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan ada 35.9 %

dari penduduk Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun dengan kadar kolesterol abnormal

(berdasarkan NCEP ATP III, dengan kadar kolesterol ≥ 200 mg/dl) dimana perempuan

lebih banyak dari laki-laki dan penduduk perkotaan lebih banyak dari pendudukpedesaan.

Data RISKEDAS juga menunjukkan 15.9 % populasi yang berusia ≥ 15 tahun

mempunyai proporsi LDL yang sangat tinggi (≥ 190 mg/dl), 22.9 % kadarHDL yang

kurang dari 40 mg/dl, dan 11.9% dengan kadar trigliserid yang sangat tinggi (≥ 500

mg/dl).

Penyakit Hipertensi dan Dislipidemia dijuluki disebut penyakit silent killer yang dapat

menyebabkan kerusakan organ hingga kematian. Disebut pembunuh senyap karena

penyakit ini bisa datang tiba-tiba tanpa menunjukkan gejala. Kerusakan organ akibat

komplikasi hipertensi akan tergantung pada besarnya peningkatan tekanan darah, lamanya

kondisi tekanan darah tidak terdiagnosis, dan apakah diobati atau tidak. Sebagai antisipasi

3
dan waspada dari hipertensi ini, para ahli medis selalu mengingatkan semua orang untuk

mengetahui faktor risiko yang mungkin dapat menjadi pemicu terjadinya hipertensi.

1.2.Tujuan

Adapun tujuan dan manfaat yang diperoleh dari penyusunan tugas khusus apotek ini,

yaitu :

1. Mampu memahami serta memenuhi standar kompetensi apoteker Indonesia

2. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan keterampilan, dan

pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek.

3. Mempersiapkan diri dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga farmasi yang

professional

4. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan tanggung

jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek.

4
BAB II

TINJAUAN KASUS

2.1. Resep

DR. Dr. YULIARNI SYAFRITA, Sp.S (K)


Spesialis Syaraf
SIP NOMOR: 490/SDMK-JAMKES/DKK/11/2017
Praktek:
APOTIK MADYA RSI
IBNU SINA
Jl. Proklamasi No. 50 Padang Jl. Gajah Mada Gunung
Pangilun
Telp : (0751) 33445 Telp. (0751) 444712

Padang, 11 / 9 - 2020
R/ Lipitor 20 No. XXX
S1dd malam

R/ Candersartan 8 No. XV
S1dd pagi

R/ Amlodipin 5 No. XV
S1dd malam

Pro : Ny. A F…………………………………Umur : (d)……………………………


Alamat : ……………………………………………...

Obat tersebut tidak boleh diganti tanpa sepengetahuan Dokter

2.2 Deskripsi Pasien.

Ny. AF (dewasa) adalah pasien yang datang ke Apotek Madya pada

tanggal 11 September 2020 untuk berobat ke dokter spesialis syaraf yang

meaksanakan praktek di apotek tersebut. Dari hasil konseling, diketahui pasien

menderita hipertensi dan peningkatan kolesterol total (dislipidemia)

5
2.3 Pengkajian Resep

1. Pengkajian Administratif

No. Uraian Pada Resep


Inscription
1. Nama Dokter Ada
2. SIP Dokter Ada
3. Alamat Dokter Ada
4. No. Telepon Ada
5. Tempat/ Tanggal Penulisan Resep Ada
Invocatio
6. Tanda resep diawal penulisan resep (R/) Ada
7. Nama Obat Ada
8. Kekuatan obat Ada
9. Jumlah obat Ada
Signatura
10. Nama pasien Ada
11. Jenis kelamin Tidak Ada
12. Umur pasien Ada
13. Barat badan Tidak Ada
14. Alamat pasien Tidak Ada
15. Aturan pakai obat Ada
16. Iter/tanda lain Tidak Ada
Subscriptio
17. Paraf dokter Tidak Ada

2. Pengkajian Farmasetis

a. Lipitor

Pengkajian Farmasetik Keterangan


Nama Lipitor
Zat aktif Atorvastatin Calcium

6
Bentuk Sediaan Tablet
Kekuatan 20 mg
Jumlah Obat 30 tablet
Signa atau aturan pakai Ada (S1dd I : sehari satu kali satu kaplet)
malam hari
Ketersediaan Ada
Aturan atau cara dispensing Obat diberikan dalam bentuk tablet
atorvsstatin calicium sebanyak 30 tablet
(tidak diracik)
Kesesuian Dosis
Dosis Literatur Dosis di resep
PO : 20 mg 1x sehari 1 x 20mg = 20 mg/hari
(AHFS, Drug Information
Essentials)
Dosis : 20 atau 40 mg per hari
(AHFS, Drug Information
Essentials)
Kesimpulan Dosis obat yang diberikan ke pasien
sesuai dengan dosis literatur.

b. Candersartan

Pengkajian Farmasetik Keterangan


Nama Candersartan
Zat aktif Candersarta Cilexetil
Bentuk Sediaan Tablet
Kekuatan 8 mg
Jumlah Obat 15 tablet
Signa atau aturan pakai Ada (S1dd I : sehari satu kali satu tablet)
pagi
Ketersediaan Ada
Aturan atau cara dispensing Obat diberikan dalam bentuk tablet

7
sebanyak 15 tablet (tidak diracik)
Kesesuian Dosis
Dosis Literatur Dosis di resep
PO : 8-32 mg/hari diberikan dalam 8 mg x 1 = 8 mg/hari
dosis tunggal atau terbagi (AHFS).
Kesimpulan Dosis obat yang diberikan ke pasien
sesuai dengan dosis literatur.
c. Amlodipin

Pengkajian Farmasetik Keterangan


Nama Amlodipin
Zat aktif Amlodipin Besylate

Bentuk Sediaan Tablet


Kekuatan 5 mg
Jumlah Obat 15 tablet
Signa atau aturan pakai Ada (S1dd I : sehari satu kali satu kaplet)
malam hari
Ketersediaan Ada
Aturan atau cara dispensing Obat diberikan dalam bentuk tablet
sebanyak 15 tablet (tidak diracik)
Kesesuian Dosis
Dosis Literatur Dosis di resep
Oral : 2,5-10 mg sekali sehari. 5 mg X 1 = 5 mg/hari
Dosis pemeliharaan : 5-10mg sekali
sehari
Kesimpulan Dosis obat yang diberikan ke pasien
sesuai dengan dosis literatur.

8
3. Pengkajian Farmasi Klinis

a. Lipitor

Ada/Tidak
Pengkajian Farmasi
No Ada Keterangan
Klinik
Masalah
Indikasi: Mengurangi
kenaikan kolesterol total,
kolesterol-LDL
Ketepatan indikasi dengan
1. Tidak ada
kondisi pasien Pemberian obat sudah
sesuai dengan indikasi
dan penggunaannya.
Pemberian obat sudah
Kesesuaian dosis dengan
2. Tidak Ada sesuai dengan dosis
kondisi pasien
penggunaannya.
Aturan dan cara Pemberian obat sudah
3. Tidak Ada
penggunaan obat tepat
Tidak ada riwayat alergi
4. Riwayat alergi Tidak Ada
obat pada pasien.
Mual, muntah, diare, dan
5. ESO Tidak ada
sakit perut (MIMS)
Hal-hal khusus terhadap
6. Tidak Ada -
pasien

b. Candersartan

Ada/Tidak
Pengkajian Farmasi
No Ada Keterangan
Klinik
Masalah
Indikasi : Hipertensi
Ketepatan indikasi dengan
1. Tidak Ada Pemberian obat sudah
kondisi pasien
sesuai dengan indikasi

9
dan penggunaannya.
Pemberian obat sudah
Kesesuaian dosis dengan
2. Tidak Ada sesuai dengan dosis
kondisi pasien
literatur.
Aturan dan cara Pemberian obat sudah
3. Tidak Ada
penggunaan obat tepat.
Tidak ada riwayat alergi
4. Riwayat alergi Tidak Ada
obat pada pasien.
Pusing, diare,
5. ESO Tidak Ada
hiperurisemia.
Hal-hal khusus terhadap
6. Tidak Ada -
pasien

c. Amlodipin
Ada/Tidak
Pengkajian Farmasi
No Ada Keterangan
Klinik
Masalah
Indikasai : Hipertensi
Ketepatan indikasi dengan Pemberian obat sudah
1. Tidak Ada
kondisi pasien sesuai dengan indikasi
dan penggunaannya.
Pemberian obat sudah
Kesesuaian dosis dengan
2. Tidak Ada sesuai dengan dosis
kondisi pasien
penggunaannya.
Aturan dan cara Pemberian obat sudah
3. Tidak Ada
penggunaan obat tepat.
Tidak ada riwayat alergi
4. Riwayat alergi Tidak Ada
obat pada pasien.
Lelah, pusing, jantung
5. ESO Tidak Ada berdegup kencang, sakit
perut (Medscape).

10
Hal-hal khusus terhadap -
6. Tidak Ada
pasien
4. Pemberian Informasi Obat

a. Lipitor

Tujuan Penggunaan : Mengurangi kenaikan kolesterol total dan


LDL.
Aturan Pakai : 1 kali sehari 1 tablet diminum malam hari.
Penyimpanan : Simpan obat dikotak obat, atau tempat yang
sejuk dan tidak terkena cahaya matahari
langsung, jauh dari jangkauan anak-anak
Interaksi : -
Kontra Indikasi : Hipersensitivitas
Efek Samping : Mual, muntah, diare dan sakit perut

b. Candersartan

Tujuan Penggunaan : Mengontrol tekanan darah pada pasien


hiperensi
Aturan Pakai : 1 kali sehari setelah makan (Pagi)
Penyimpanan : Simpan obat dikotak obat, atau tempat yang
sejuk dan tidak terkena cahaya matahari
langsung, jauh dari jangkauan anak-anak
Interaksi : -
Kontra Indikasi : Hipersensitivitas
Efek Samping : Pusing, diare, hiperurisemia.

c. Amlodipin

Tujuan Penggunaan : Mengontrol tekanan darah pada pasien


hiperensi
Aturan Pakai : Diminum satu kali sehari pada malam hari

11
Penyimpanan : Simpan obat dikotak obat, atau tempat yang
sejuk dan tidak terkena cahaya matahari
langsung, jauh dari jangkauan anak-anak
Interaksi : -
Kontra Indikasi : Hipersensitivitas
Efek Samping : Kulit memerah, sensasi kulit terbakar, dan
gatal.
2.4 Penyakit

2.4.1 Hipertensi

a. Defenisi Hipertensi
Hipertensi adalah suatu penyakit meningkatnya tekanan darah arteri

yang dapat membahayakan system organ dan mempunyai factor resiko terhadap

penyakit kardiovaskolar. Menurut JNC 7 tekanan darah normal dengan batas ≤

120/80 mmHg dan terjadinya krisis hipertensi saat tekanan darah ≥ 180/120

mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan

cukup istirahat/tenang. Hipertensi tidak dapat disembuhkan namun dapat

dikendalikan (Sassen and Carter, 2005)

b. Etiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang

beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui

(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan

tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah

mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak

penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab

hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat

12
disembuhkan secara potensial (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,

2006).

c. Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri

dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur,

tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh

selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik

jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara

potensialdalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah (Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006) :

 Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi

diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap

stress psikososial dll

 Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan

vasokonstriktorAsupan natrium (garam) berlebihan dan Tidak cukupnya

asupan kalium dan kalsium

 Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya

produksi angiotensin II dan aldosteron

 Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh

darah kecil di ginjal

 Diabetes mellitus, resistensi insulin dan obesitas

d. Manifestasi Klinis

Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan

hipertensiesensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik

13
yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali

atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis

hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan

mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya.

Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing, gangguan penglihatan, dan

sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan

darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna.

e. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18

tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua

atau lebih kunjungan klinis. Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori,

dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan

darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg.

Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi

mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke

klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage)

hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006. Terdapat beberapa

klasifikasi hipertensi yang dipakai antara lain:

14
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (ESH/ESC, 20013)

Kategori TD Sistolik TD Diastolik


(mmHg) (mmHg)

Optimal < 120 Dan < 80


Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal Tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi Tingkat 1 140-159 dan/atau 90-99

Hipertensi Tingkat 2 160-179 dan/atau 100-109


Hipertensi Tingkat 3 ≥ 180 dan/atau ≥110
Hipertensi Isolated Systolic ≥ 140 Dan < 90

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah (TD) pada Dewasa (JNC-7)

Klasifikasi TD SBP (mm Hg) DBP (mm Hg)

Normal <120 Dan <80


Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Stadium 2 ≥160 Atau ≥100

f. Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri dan
mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya

organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.

Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke,

transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal

15
ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik, 2006).

g. Penatalaksanaan Hipertensi
- Inisiasi Terapi Hipertensi
Begitu banyak definisi mengenai hipertensi, dari perspektif klinis

definisi yang dianggap paling pas: hipertensi adalah “level tekanan darah

(TD) dimana pengobatan untuk menurunkan TD menjadi lebih rendah

dibandingkan level tersebut akan memberikan manfaat klinis yang sangat

signifikan”. Level TD yang dimaksud disini akan sangat bervariasi antar

satu individu dengan individu yang lainnya tergantung faktor risiko

kardiovaskular absolut yang dimiliki. Merujuk pada kondisi ini maka

ditetapkan ambang batas TD secara absolut kapan memulai terapi

farmakologi dan target kendali TD yang optimal. Sebagaian besar

guideline hipertensi merekomendasikan tatalaksana farmakologi pada

pasien dengan TD 140/90 mmHg yang belum mencapai target TD yang

diinginkan dengan modifikasi gaya hidup.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengobatan tekanan darah

>160/100 mmHg dapat menurunkan kejadian stroke, infrak jantung, gagal

jantung dan kematian.Terbukti bahwa terapi tekanan darah >140/90

mmHg khususnya pada pasien yang berisiko tinggi sangat bermanfaat.

Hal yang berbeda didapat pada JNC-8 yang menyatakan bahwa batas

inisiasi terapi adalah 140/90 mmHg untuk dewasa umur <60 tahun tetapi

merekomendasikan batasan yang lebih rendah yaitu pada usia >60 tahun.

16
- Target Terapi Hipertensi
Target ideal dari terapi tekanan darah tergantung dari populasi

pasien, tetapi guideline harus merekomendasikan terhadap populasi secara

umum. Sampai saat ini target tekanan darah adalah < 140/90 mmHg untuk

hipertensi uncomplicated dan target yang lebih rendah <130/80 mmHg

untuk mereka yang berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes, penyakit

kardiovaskuler atau serebrovaskuler dan penyakit ginjal kronik. Khusus

untuk guideline JNC VIII, usia <60 tahun target kendali TD adalah sama

yaitu <140/90 mmHg dan usia 60 tahun adalah <150/90 mmHg.

- Pilihan Terapi Inisial


Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat

tunggal. Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD

sistole sekitar 7-13 mmHg dan diastole sekitar 4-8 mmHg Terdapat

beberapa variasi dalam pemilihan terapi awal pada hipertensi primer.

Sebelumnya guideline JNC VII merekomendasikan thiazide dosis rendah.

JNC VIII saat ini merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide

dosis rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit hitam. Terapi

awal untuk ras kulit hitam yang direkomendasikan adalah diuretic thiazide

dosis rendah atau CCB. Di lain pihak guideline Eropa terbaru

merekomendasikan 5 golongan obat sebagai terapi awal yaitu ACE-inhibitor,

ARB, diuretic thiazide dosis rendah, CCB atau beta-blocker berdasarkan

indikasi khusus.

17
Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan

etnik dan ras merupakan faktor determinan penting dalam menentukan

pilihan obat awal pada hipertensi. Hal ini selanjutnya diadaptasi oleh

guideline JNC VIII. Rasionalisasi dari konsep ini adalah RAAS bersifat

lebih aktif pada usia muda jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit

hitam. Jadi guidelina UK. NICE merekomendasikan ACE-inhibitor atau

ARB pada usia <55 tahun, bukan ras kulit hitam sedangkan CCB untuk

untuk usia >55 tahun (bukan ras kulit hitam) dan ras kulit hitam dengan

semua rentang usia. Batasan untuk rekomendasi ini adalah: (1) diuretics

thiazide lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau

pasien dengan risiko tinggi untuk mengalami gagal jantung; (2) ACE

inhibitor atau ARB tidak digunakan pada wanita hamil, dalam kondisi ini

beta-blocker lebih dipilih.

Guideline UK. NICE dan JNC VIII membatasi pemakaian -blocker

sebagai terapi awal dengan pengecualian adanya indikasi spesifik seperti

pasien gagal jantung kronik, angina simtomatik, atau pasca infark miokard.

Alasan dibatasinya pemakaian beta-blocker sebagai terapi awal adalah: (1)

Kurang efektif dalam menurunkan risiko stroke dan penyakit jantung

iskemik jika dibandingkan dengan golongan obat lain; (2) meningkatkan

risiko diabetes terutama jika dibandingkan dengan terapi diuretik; (3)

lebih mahal dari segi pembiayaan jika dipakai sebagai terapi awal.

 Terapi Non Farmakologi

 Menerapkan gaya hidup sehat

18
 Mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium

 Diet rendah natrium, aktifitas fisik dan tidak mengkonsumsi alcohol

 Terapi Farmakologi
 Diuretik
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama

untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi

diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat

yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk

mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan

antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat

antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan

efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop.

Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium

yang hilang akibat pemakaian diuretik lain.

Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih

poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk

spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang

independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Pada pasien

dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid paling

efektif untuk menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang,

diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan

retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal

minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore

19
untuk yang 2x/hari untuk meminimalkan diuresis pada malam hari.

Dengan penggunaan secara kronis, diuretik tiazide, diuretik penahan

kalium, dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang

nyata.

Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia,

hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia,

hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Diuretik loop dapat

menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada lemak

serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat

terjadi hipokalsemia (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,

2006).

 Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACE I)


ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada

kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan

kejadian gagal jantung dan stroke lebih sedikit dengan klortalidon

dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten

dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP).

Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan

penyekat beta, dan pada studi yang lain ACEI malah lebih efektif.

Lagi pula, ACEI mempunyai peranan lain pada pasien dengan

hipertensi plus kondisi lainnya.

Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi

lini pertama pada kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat

20
mendekati diuretik. ACEI menghambat perubahan angiotensin I

menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor

poten yang juga merangsang sekresi aldosterone. ACEI juga

memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang

menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan

prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan

tekanan darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung jawab terhadap

efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan

ACEI. ACEI secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi

ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh

angiotensin II pada sel miokardial (Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik, 2006).

 Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)


Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur

enzim: RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang

melibatkan ACE, dan jalan alternatif yangmenggunakan enzim lain

seperti chymase.ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen

yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat

angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaam ini,

ACEI hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II.

ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen

II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah

diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron,

aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi

21
arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor

angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari

stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan

penghambatan pertumbuhan sel)tetap utuh dengan penggunaan ARB.

Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan

organ target jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan

indikasi khusus lainnya. Tujuh ARB telah di pasarkan untuk

mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan tekanan

darah.

ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti

menaikkan dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan

menurunkan tekanan darah yang drastis. Penambahan diuretik dosis

rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB. Seperti

ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang

untuk pemberian 1 x/hari. Tetapi candesartan, eprosartan, dan

losartan mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis

pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah (Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

 Penyekat Beta

Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk

hipertensi. Sebelumnya penyekat beta disarankan sebagi obat lini

pertama bersama diuretik. Tetapi, pada kebanyakan trial ini, diuretik

22
adalah obat utamanya, dan penyekat beta ditambahkan untuk

menurunkan tekanan darah.

Beberapa studi telah menunjukkan berkurangnya resiko

kardiovaskular apabila penyekat beta digunakan pasca infark miokard,

pada sindroma koroner akut, atau pada angina stabil kronis.

Walaupun pernah dikontraindikasikan pada penyakit gagal jantung,

banyak studi telah menunjukkan kalau karvedilol dan metoprolol

suksinat menurunkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung

sistolik yang sedang diobati dengan diuretik dan ACEI. Atenolol

digunakan pada DM tipe 2 pada studi UKPDS dan menunjukkan efek

yang sebanding, walaupun tidak lebih baik dalam menurunkan resiko

kardiovaskular dibandingkan dengan captopril. Ada perbedaan

farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada,

tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik

farmakodinamik dari penyekat beta yang membedakan golongan ini

yaitu efek:

 Kardioselektif (cardioselektivity)
 ISA (intrinsic sympathomimetic activity)
 Mestabilkan membran (membran-stabilizing)
Penyekat beta yang mempunyai afinitas yang lebih besar

terhadap reseptor beta- 1 dari pada reseptor beta-2 adalah kardioselektif

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

23
 Calcium Channel Blocker (CCB)

CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat

antihipertensi yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB

mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi penyakit

koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang

membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage

channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya

menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner

dan perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan

nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu sama lain.

Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada

efek farmakodinami yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan

diltiazem) menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi

nodal atriventrikular. Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik

dan kronotropik yang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya

untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada pasien

resiko tinggi.

Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar

verapamil. Nifedipin yang bekerja cepat (immediate-release) telah

dikaitkan dengan meningkatnya insiden efek samping kardiovaskular

dan tidak disetujui untuk pengobatan hipertensi. Efek samping yang

24
lain dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, gingival

hyperplasia, edema perifer, mood changes, dan gangguan

gastrointestinal. Efek samping pusing, flushing, sakit kepala, dan

edema perifer lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin verapamil dan

diltiazem karena vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin (Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

 Penyekat Alfa1

Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor α1

selektif. Bekerjapada pembuluh darah perifer dan menghambat

pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilasi

dan menurunkan tekanan darah.. Efek samping dari penyekat alfa

adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara

atau pingsan, palpitasi, danbahkan sinkop 1 -3 jam setelah dosis

pertama. Efek samping dapat juga terjadi pada kenaikan dosis. Episode

ini diikuti dengan hipotensi ortostatik dan dapat di atasi/dikurangi

dengan meminum dosis pertama dan kenaikan dosis berikutnya saat

mau tidur. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut terus dengan

pemberian terus menerus. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien

lansia. Penyekat alfa melewati hambatan otak-darah dan dapat

menyebabkan efek samping CNS seperti kehilangan tenaga, letih, dan

depresi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

 Agonis α2 sentral

25
Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama

dengan merangsang reseptor α2 adrenergic di otak. Perangsangan ini

menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan

meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan

dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan

denyut jantung, cardiac output, total peripheral resistance, aktifitas

plasma rennin, dan reflex baroreseptor. Klonidin sering digunakan

untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa adalah obat lini pertama

untuk hipertensi pada kehamilan. Penggunaan agonis α2 sentral secara

kronis menyebabkan retensi natrium dan air, paling menonjol dengan

penggunaan metildopa. Penggunaan klonidin dosis kecil dapat

digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik.

Tetapi, metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah

tumpulnya efek antihipertensi yang terjadi dengan penggunaan jangka

panjang, kecuali pada kehamilan. Seperti dengan penggunaan obat

antihipertensi yang bekerja sentral lainnya, depresi dapat terjadi.

Kejadian hipotensi ortostatik dan pusing lebih tinggi dari pada dengan

obat antihipertensi lainnya, jadi harus digunakan dengan hati-hati pada

lansia. Klonidin mempunyai kejadian efek samping antikolinergik yang

cukup banyak seperti sedasi, mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan

kabur penglihatan (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,

2006).

 Reserpin

26
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan

norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan

norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin juga mengosongkan

katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi,

dan berkurangnya curah jantung. Reserpin mulai kerja dan waktu

paruhnya lambat sehingga dosis pemberian satu kali per hari. Tetapi,

diperlukan 2 sampai 6 minggu sebalum efek antihipertensi maksimal

terlihat. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang

cukup bermakna. Harus di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih

disukai). Penghambatan aktifitas simpatetik yang kuat oleh reserpin

mengakibatkan meningkatnya aktifitas parasimpatetik. Terlihat dari

efek samping hidung tersumbat, meningkat sekresi asam lambung,

diare, dan bradikardia dapat terjadi (Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik, 2006).

 Vasodilator Arteri Lansung

Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan

oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan

vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan

penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks

baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan

meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan denyut jantung,

curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya terbentuk takifilaksis,

efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini

27
dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan (Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006

Gambar 2. Algoritma pemilihan terapi antihipertensi pada pasien komplikasi

2.4.2 Dislipidemia

a. Defenisi Dislipidemia

Dislipidemia adalah keadaan kadar lipid yang abnormal pada plasma

dan mencakup spectrum yang luas. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah

kenaikan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida serta penurunan kadar

HDL (Dipiro et al, 2015).

28
Tabel 1. Nilai normal kadar kolesterol total, HDL, dan LDL.( Dipiro et al, 2015)

Normal Boreder line Tinggi Batas Rendah

rendah

Kolesterol < 200 mg/dl 200 – 239 ≥ 240 mg/dl - -

Total (<5,17 mg/dl (5,17- (≥ 6,21

mmol/L) 6,20 mmol/L)

mmol/L)

HDL < 40 mg/dl - ≥60 mg/dl 35–45 ≤ 35

kolesterol (<1,03mmol/L) (≥1,55mmol/L) mg/dl mg/dl

LDL < 100 mg/dl 130 – 159 ≥ 160 mg/dl - -

kolesterol (≤2,59mmol/L) mg/dl (3,36- (4,14-

4,13mmol/L 4,90mmol/L)

b. Klasifikasi Dislipidemia

Klasifikasi dislipidemia berdasarkan proses terjadinya penyakit yaitu :

1. Dislipidemia Primer

Dislipidemia primer yaitu dislipidemia yang disebabkan karena

kelainan penyakit genetik dan bawaan yang dapat menyebabkan

kelainan kadar lipid dalam darah. Dislipidemia primer yang

berhubungan dengan obesitas ditandai dengan peningkatan trigliserida,

penurunan kadar HDL, LDL, dan komposisi abnormal (Grundy, 2004).

29
2. Dislipidemia Sekunder

Dislipidemia Sekunder Dislipidemia Sekunder yaitu

dislipidemia yang disebabkan oleh suatu keadaan seperti

hiperkolesterolemia yang diakibatkan oleh hipotiroidisme, syndrome

nefrotik, kehamilan, anoreksia nervosa, dan penyakit hati obstruktif.

Hipertrigliserida disebabkan oleh diabtes mellitus, konsumsi alkohol,

gagal ginjal kronik, miokard infark, dan kehamilan. Selain itu

dislipidemia dapat disebabkan oleh gagal ginjal akut, dan penyakit hati

(Grundy, 2004).

c. Etiologi Dislipidemia

Etiologi dislipidemia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

seperti:

 Faktor Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor yang berhubungan dengan

rendahnya kolesterol HDL. Resiko terjadinya dislipidemia pada

wanita lebih besar daripada pria. Sebagaimana penelitian Cooper pada

589 perempuan didapatkan respon peningkatan kolesterol sedikit

berbeda yaitu kadar LDL kolesterol meningkat lebih cepat sedangkan

kadar HDL kolesterol juga meningkat sehingga rasio kadar kolesterol

total/HDL menjadi rendah (Djauzi, 2005).

30
 Faktor Usia

Semakin tua usia seseorang maka fungsi organ tubuhnya

semakin menurun, begitu juga dengan penurunan aktivitas reseptor

LDL, sehingga bercak perlemakan dalam tubuh semakin meningkat

dan menyebabkan kadar kolesterol total lebih tinggi, sedangkan

kolesterol HDL relative tidak berubah. Pada usia 10 tahun bercak

perlemakan sudah dapat ditemukan di pembuluh darah. Prevalensi

hiperkolesterolemia pada kelompok usia 25-34 tahun adalah 9,3% dan

meningkat sesuai dengan pertambahan usia hingga 15,5% pada

kelompok usia 55-64 tahun (Djauzi, 2005).

 Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan salah satu faktor terjadinya

dislipidemia. Dalam ilmu genetika menyebutkan bahwa gen

diturunkan secara berpasangan memerlukan satu gen dari ibu dan satu

gen dari ayah, ehingga kadar hiperlipidemia tinggi dan diakibatkan

oleh faktor dislipidemia primer karena faktor genetik (Djauzi, 2005).

 Faktor Kegemukan

Salah satu penyebab kolesterol naik adalah karena kelebihan

berat badan atau juga bisa disebut dengan penyakit obesitas.

Kelebihan berat badan ini juga bisa disebabkan oleh makanan yang

terlalu banyak yang mengandung lemak jahat tinggi di dalamnya.

31
Kelebihan berat badan dapat meningkatkan trigliserida dan dapat

menurunkan HDL (Anwar, 2004).

 Faktor Olahraga

Manfaat berolahragasecara teratur dapat membantu untuk

meningkatkan kadar kolesterol baik atau HDL dalam tubuh. Selain itu

berolahraga mampu meproduksi enzim yang berperan untuk

membantu proses memindahkan kolesterol LDL dalam darah

terutama pada pembuluh arteri kemudian dikembalikan menuju ke

hati untuk diubah menjadi asam empedu. Asam empedu ini

diperlukan melancarkan proses pencernaan kadar lemak dalam darah.

Semakin rutin berolahraga dengan teratur maka kadar kolesterol LDL

dalam tubuh akan semakin berkurang sampai menuju ke titik normal

(Arisman, 2008).

 Faktor Merokok

Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol total, kolesterol

LDL, trigliserida, dan menurunkan kolesterol HDL. Ketika pengguna

rokok menghisap rokok maka secara otomatis akan memasukkan

karbon monoksida ke dalam paru-paru dan akan merusak dinding

pembuluh darah. Nikotin yang terkandung dalam asap rokok akan

merangsang hormone adrenalin, sehingga akan mengubah

32
metabolisme lemak yang dapat menurunkan kadar kolesterol HDL

dalam darah (Anwar, 2004).

 Faktor Makanan

Konsumsi tinggi kolesterol menyebabkan hiperkolesterolemia dan

arterosklerosis. Asupan tinggi kolesterol dapat

menyebabkanpeningkatan kadar kolestertol total dan LDL sehingga

mempunyai resiko terjadinya dislipidemia (Anwar, 2004).

d. Patofisiologi Dislipidemia

Kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid diangkut dalam darah

sebagai kompleks lipid dan protein (lipoprotein). Lipid dalam darah diangkut

dengan 2 cara yaitu jalur eksogen dan jalur endogen. Jalur eksogen yaitu

trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus dikemas

sebagai kilomikron. Selain kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus

juga terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi bersama empedu ke usus

halus. Baik lemak di usus halus yang berasal dari makanan maupun yang

berasal dari hati disebut lemak eksogen. Jalur endogen yaitu trigliserida dan

kolesterol yang disintesis oleh hati mengalami hidrolisis dalam sirkulasi oleh

lipoprotein lipase yang juga menghidrolisis kilomikron menjadi partikel

lipoprotein yang lebih kecil. LDL merupakan lipoprotein yang mengandung

kolesterol paling banyak (60-70%). Lipoprotein dikelompokkan menjadi 6

kategori yaitu : I (Kilomikron), IIa (LDL), IIb (LDL+very-low-density

lipoprotein [VLDL]), III (intermediate densitylipoprotein), IV (VLDL), V

(VLDL+kilomikron) (Dipiro et al, 2015).

33
Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar

kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa keadaan mempengaruhi tingkat

oksidasi seperti meningkatnya jumlah LDL seperti pada sindrom metabolik

dan kadar kolesterol HDL, makin tinggi kadar HDL maka HDL bersifat

protektif terhadap oksidasi LDL (Suyatna, 2006).

e. Penatalaksanaan Terapi

1. Terapi Non Farmakologi

a) Terapi Nutrisi Medis

Pasien dengan penyakit dislipidemia dianjurkan untuk

mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak trans tidak jenuh sampai <

7-10% total energi. Penggantian makanan sumber kolesterol dan

lemak jenuh dengan makanan alternative lainnya misal produk susu

rendah lemak. Pasien disarankan mengonsumsi makanan padat gizi

(sayuran, kacang-kacangan, dan buah) serta dianjurkan untuk

menghindari makanan tinggi kalori (makanan berminyak dan soft

drink) konsumsi makanan suplemen contohnya asam lemak omega 3,

makanan tinggi serat dan sterol. Meskipun begitu, upaya perubahan

pola diet harus dilakukan secara bertahap (Sugiarto, 2015).

b) Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik yang dianjurkan merupakan program latihan

yang mencakup setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan intensitas

sedang (menurunkan 4-7 kkal/menit) 4 sampai 6 kali seminggu,

34
dengan pengeluaran minimal 200 kkal/hari. Kegiatan yang disarankan

meliputi jalan cepat, bersepeda, dan berenang. Tujuan aktivitas fisik

harian dapat dipenuhi dalam satu sesi atau beberapa sesi sepanjang

rangkaian dalam sehari (minimal 10 menit). Bagi beberapa pasien,

beristirahat selama beberapa saat disela aktivitaspenguatan otot

dianjurkan dilakukan minimal 2 hari seminggu (Sugiarto, 2015).

2. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu terapi

dalam jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan dari terapi farmakologi

dislipidemia dalam jangka pendek adalah untuk mengontrol kadar LDL

dan HDL dalam darah. Tujuan jangka panjang untuk mencegah terjadinya

jantung koroner. Cara penanganannya dengan menormalkan kadar

kolesterol LDL dan kolesterol HDL dalam darah (Anwar, 2004).

Golongan Obat Dislipidemia

1. Golongan Statin

Golongan Statin dapat menghambat reduktase 3-hydroxy-3

methylglutaryl coenzyme(HMG-CoA), menghambat HMG-CoA

menjadi mevalnoat, mengurangi katabolisme LDL. Bila digunakan

sebagai terapi golongan Statin paling banyak digunakan (Dipiro et al,

2015). Terapi kombinasi antara Statin dengan BARs ( Bile Acis Resins)

rasional karena jumlah LDL dapat meningkat, menyebabkan kolesterol

LDL menurun lebih tinggi. Terapi kombinasi Statin dengan Ezetimibe

35
juga rasional karena Ezetimibe dapat menghambat penyerapan

kolesterol di usus. Efek samping pada penggunaan golongan Statin

terjadi konstipasi 10%, peningkatan kreatinin kinase, dan miopati

(Dipiro et al, 2015). Golongan statin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nama Obat Golongan Statin ( ISO, 2014)

Bahan Aktif Bentuk Sediaan Kekuatan

Simvastatin Tablet 5 mg,10 mg, 20 mg

10 mg, 20 mg, 40 mg

Atorvastatin Tablet

10 mg, 20 mg, 40 mg

Lovastatin Tablet

10 mg, 20 mg, 40 mg, 80 mg

Pravastatin Tablet

20 mg, 40 mg, 80 mg

Fluvastatin Kapsul

Tablet Extended Release

36
Pada tahun 2011, FDA Amerika Serikat mengeluarkan rekomendasi baru

tentang keamanan simvastatin 80 mg.94 Simvastatin yang digunakan dengan

dosis maksimum (80 mg) berhubungan dengan miopati atau jejas otot terutama

jika digunakan selama 12 bulan berturutan. Simvastatin dosis 80 mg tidak

dianjurkan diresepkan bagi pasien baru, melainkan bagi mereka yang telah

menggunakan dosis tersebut selama 12 bulan berturutan tanpa keluhan atau gejala

miopati.

2. Golongan Fibrat

Terapi Fibrat yaitu Gemfibrozil, Fenofibrat, dan Clofibrat. Golongan fibrat

efektif dalam mengurangi VLDL, LDL, dan nilai kolesterol total. Konsentrasi HDL

dalam plasma dapat meningkat menjadi 10%-15%. Gemfibrozil dapat mengurangi

sintesis VLDL dan lebih beresiko menyebabkan miopati dibandingkan fenofibrat jika

dikombinasi dengan Statin. Jika Fibrat diberikan bersamaan dengan statin maka

sebaiknya waktu pemberiannya dipisah, misalnya Fibrat pada pagi hari dan Statin

diberikan pada malam hari. Penggunaan Clofibrate kurang efektif dibandingkan

Gemfibrozil atau Niacin dalam mengurangi produksi VLDL (Charles, 2009).

Fenofibrat merupakan golongan fibrat yang baik jika dikombinasi dengan Statin untuk

menurunkan kadar trigliserida dan meningkatkan kadar kolesterol HDL dengan

Dislipidemia campuran dan penyakit jantung koroner (Goldfine et al, 2011).Efek

samping Fibrat yaitu gangguan gastrointestinal (GI) terjadi pada 3%-5%, ruam, pusing,

pandangan kabur, vertigo, sembelit, diare (Charles, 2009)2.3.3Bile Acid ResinsBARs

(cholestyramine, colestipol, colesevelam) dapat bekerja dengan cara mengikat asam

empedu di dalam usus dan meningkatkan LDL. BARs digunakan untuk mengobati

hiperkolesterolemia primer. Dosis harian Cholestyramine yaitu 4 mg – 24 mg,

37
Colestipol 5 mg – 30 mg, dan Colesevalam 3,8 mg - 4,5 mg. penggunaan dosis tinggi

Cholestyramine atau Colestipoldapat menurunkan konsentrasi LDL sebesar 18%-25%.

Pada dosis maksimum obat ini sering menimbulkan rasa tidak nyaman pada abdomen

(Dipiro et al, 2015) Efek samping BARs yaitu konstipasi, kembung, obstruksi GI, dan

mengurangi bioavailabilitas obat seperti warfarin, asam nikotinat, asetaminofen,

loperamid, hydrochortison. Interaksi obat dapat dihindari dengan selang waktu 6 jam

atau lebih antara BARs dengan penggunaan obat lain (Dipiro et al, 2015).

3. Ezetimibe

Ezetimibe merupakan obat penurun lipid yang dapat menghambat kolesterol

tanpa mempengaruhi absorbsi nutrisi yang larut dalam lemak dan merupakan pilihan

yang tepat untuk meningkatkan efektivitas terapi yang dikombinasi dengan Statin.

Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg/hari diberikan dengan atau tanpa

makanan. Ezetimibe bila digunakan tanpa kombinasi akan menyebabkan penurunan

kolesterol LDL 18%. Bila dikombinasi dengan Statin maka dapat menurunkan LDL

lebih besar (12%- 20%). Ezetimibe 10 mg dapat dikombinasi dengan Simvastatin

dengan kekuatan 10 mg, 20 mg, 40 mg, atau 80 mg (Dipiro et al, 2015).Efek samping

Ezetimibe yaitu dapat mengalami gangguan gastrointestinal (GI) 4%, sakit kepala,

kelelahan, miopati, hepatitis (Dipiro et al, 2015).

4. Golongan Niacin

Niacin merupakan obat penurun lipid yang dapat mengurangi sintesis dalam

hati dari VLDL. Niacin juga dapat meningkatkan HDL dengan mengurangi

katabolisme. Penggunaan Niacin digunakan untuk terapi dislipidemia campuran atau

sebagai kombinasi untuk hiperkolesterolemia. Pada dosis maksimum Niacin diberikan

dengan makanan secara perlahan-lahan untuk meminimalkan dosis Niacin. Obat

38
golongan Niacin sangat baik bila dikombinasi dengan Statin karena dapat

menghasilkan kadar lipid dalam plasma yang signifikan (Dipiro et al, 2015).

5. Pilihan Terapi

Berdasarkan mekanisme kerja dan efeknya terhadap faksi lipid dari masing-

masing golongan obat hipolipidemik tersebut maka pilihan terapi untuk pasien

dislipidemia adalah sebagai berikut:

a) Pilihan terapi untuk pasien hiperkolesterolemia

 Statin direkomendasikan sebagai pilihan utama untuk mencapai target K-

LDL berdasarkan hasil berbagai penelitian tentang efektivitas obat ini dalam

menurunkan angka kematian dan mortalitas kardiovaskular (A).

 Bile acid seguestrans dapat menurunkan K-LDL dan apo B serta sedikit

meningkatkan K-HDL, namun juga dapat meningkatkan kadar trigliserid (A)

 Ezitimibe dapat dipertimbangkan sebagai monoterapi untuk menurunkan K-

LDL dan apo B, khususnya pasien pasien yang tidak dapat mentoleransi

pemberian statin (B).C.1.4. Inhibitor PCSK9 dapat dipertimbangkan sebagai

terapi pada pasien hiperkolestolemia familial atau terapi tambahan pada

pasien PJKyang tidak mencapai target K-LDL dengan statin dosis maksimal

atau pasien tidak dapat mentoleransi pemberian statindosis tinggi.

 Terapi kombinasi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kadar K-LDL

yang sangat tinggi atau target terapi K-LDL ataupun K-Non HDL tidak

mencapai target dengan terapi statin (A). Terapi kombinasi tersebut

diantaranya:

39
 Statin dengan bile acid sequestrans. Penambahan colestipol atau kolestiramin

ataupun colesevelam pada pasien yang telah mendapatkan terapi statin akan

dapat menambah penurunan kadar K-LDL hingga 15- 30% dan terbukti dapat

mereduksi aterosklerosis yang dievaluasi dengan pemeriksaan angiografi.

 Statin dengan ezetimibe. Juga mampu menambah penurunan kadar K-LDL

hingga 13-20%. Kombinasi simvastatin denganezetimibe terbukti dapat

menurunkan kejadian penyakit kardiovaskuler iskemik hingga 46% (SEAS

study), dan dapat memperbaiki outcomes pada pasien diabetes (IMPROVE-

IT study) serta pasien PGK (SHARP trial).•Statin dengan inhibitor PCSK9.

Kombinasi statin dengan inhibitor PCSK9 direkomendasikan pada pasien

dengan kadar K-LDL yang sangat tinggi atau pada pasien yang tidak dapat

mentoleransi pemberian statin dosis tinggi.Penambahan PCSK9 pada terapi

statin mampu menambah penurunan K-LDL sekitar 43%-64%.Berbagai

penelitian telah menunjukkan efektivitas dari kombinasi kedua golongan ini

terhadapoutcomeskardiovaskular seperti kelompok penelitian yang tergabung

dengan ODYSSEY (alirocumab) maupun kelompok penelitian PROFICIO

(evolocumab).

b) Pilihan terapi untuk pasien hipertrigliseridamia

Walaupun peran dari hipertrigliseridemia terhadap risiko kardiovaskular

hingga saat ini masih menjadi perdebatan, namun dari hasil berbagai penulusuran

pustaka didapatkan bahwa kadar trigliserid yang diinginkan adalah <150

mg/dl.Panduan ESC/EAS 2016, hanya merekomendasikan obat penurun trigliserid

pada subyek yang tergolong risiko tinggi dengan kadar trigliserid >200 mg/dl dan

tidak mengalami penurunan dengan terapi gaya hidup sehat.

40
c) Pada pasien hipertirigliseridemia dengan risiko kardiovaskular yang tinggi, maka

statin merupakan tetap merupakan pilihan pertama untuk menurunkan tingkat

risiko kardiovaskular.

 Fibrat, hanya direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada pasien

dengan kadar TG >500 mg/dl dengan tujuan utama untuk mencegah

pankreatitis(A). Terapi fibrat juga bermanfaat untuk pencegahan penyakit

kardiovaskuler pada pasien dengan rasio trigliserid dengan K-HDL tinggi(TG

≥200 mg/dl dan K-HDL <40 mg/dl (A).

 Asam lemak Omega-3.Peresepan asam lemak omega-3 dianjurkan pada

pasien dengan kadar TG yang sangat tinggi (>500 mg/dl). Dosis yang

direkomendasikankan cukup besar yaitu 2-4 gram/hari. Jika kadar TG tidak

terkontrol dengan statin ataupun fibrat, maka dapat ditambahkan asam lemak

omega-3 untuk meningkatkan penurunan kadar TG.

41
BAB III

TINJAUAN KOMPETENSI

3.1. Aspek Praktek Profesional, Legal dan Etis

Apoteker dalam berpraktek harus secara legal dan memenuhi kode etik, salah satunya

dengan mempunyai SIPA dalam berpraktek.Berkomunikasi dengan pasien dengan

mempertimbangkan sikap menghargai terhadap apa yang di alami pasien.

Apoteker menjalankan tugasnya dalam berpraktek harus secara legal dan

memenuhi kode etik apoteker dan tidak menyalahi aturan hukum, beberapa diantaranya:

 Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai dengan standard

kompetensi Apoteker, selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip

kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.

 Dalam menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha

mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur

jabatan kefarmasian.

 Dalam melakukan praktek kefarmasian seorang Apoteker harus mengutamakan

kepentingan masyarakat dan menghormati HAM.

 Apoteker sebagai sumber informasi bagi pasien sesuai dengan profesinya

Saat memulai komunikasi dengan pasien awali dengan salam dan perkenalkan diri

serta memohon izin untuk menjelaskan informasi terkait obat yang akan diberikan. Jika

pasien berkenan, tanyakan kepada pasien apa keluhan yang dirasakan, apa penyakit yang

dialami pasien, apa yang dikatakan dokter tentang obat yang diberikan, apa yang dikatakan

dokter tentang aturan pakai obat yang diresepkan, dan apa yang dikatakan doker tentang efek

yang diharapkan setelah menggunakan obat. Tujuan diajukannya pertanyaan ini adalah agar

42
tidak terjadi pemberian informasi yang tumpang tindih dan melengkapi informasi yang telah

diberikan oleh dokter.

Jika pasien merespon dengan benar bisa dilanjutkan ketahap pelayanan informasi

obat. Memastikan kepada pasien maupun keluarga pasien bahwa pasien tidak ada riwayat

alergi terhadap obat-obat tertentu, ada tidaknya riwayat penyakit yang sama pada keluarga,

pernahkah pasien mengalami hal yang sama sebelumnya, adakah meminum obat saat

mengalami sakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sebelumnya, kegiatan, makanan

dan minuman yang dikonsumsi pasien sebelumnya yang memungkinkan pasien menderita

penyakit yang dialaminya sekarang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan untuk

menggali informasi dari pasien agar dapat dipastikan obat yang diberikan sesuai dengan

kondisi pasien.

Informasi yang diberikan oleh Apoteker kepada pasien mulai dari nama obat yang

diberikan, indikasi dari setiap obat yang diberikan, aturan dan cara menggunakan obat,

efek yang tidak diharapkan yang mungkin muncul setelah menggunakan obat serta

bagaimana cara mengatasinya, dan hal – hal yang harus dihindari yang dapat

memperburuk kondisi pasien, serta saran yang diberikan untuk mengoptimalkan

pengobatan, seperti gaya hidup yang sehat. Apoteker juga harus menyampaikan cara

penyimpanan obat yang benar kepada pasien, sehingga obat terjamin mutunya selama

penggunaan. Pada saat memberikan informasi, Apoteker harus dapat membangun

komunikasi yang efektif antara pasien.

Komunikasi yang baik harus terjadi secara 2 arah, agar terjalin kedekatan antara

Apoteker dengan pasien, sehingga informasi yang diberikan dapat diterima dengan baik.

Diakhir komunikasi Apoteker sebaiknya melakukan verifikasi tentang kejelasan informasi

yang diterima pasien. Apoteker dapat memberikan kontak yang dapat dihubungi oleh

pasien, apabila pasien mempunyai pertanyaan tentang obat yang diterima. Hal ini juga

43
sebagai wadah apoteker untuk menjalankan perannya dalam memonitoring efek terapi dan

efek samping pengobatan yang mungkin terjadi.

Penggunaan Three Prime Questions sangat penting diajukan sebagai pembuka

dalam memberikan konseling kepada pasien ataupun keluarga pasien. Tujuannya agar

tidak terjadi pemberian informasi yang tumpang tindih dan melengkapi informasi yang

telah diberikan oleh dokter. Bentuk Three Prime Questions yang ditanyakan, antara lain :

a. Bagaimana penjelasan dokter tentang obat anda?

- Dokter tidak menjelaskan terkait obat

b. Bagaimana penjelasan dokter tentang harapan setelah minum obat ini?

- Dokter menjelaskan diharapkan setelah minum obat ini kadar kolesterol total dan tekanan

darah pasien terkontrol.

c. Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?

- Dokter hanya menuliskan resep tanpa menjelaskan cara penggunaan obat.

Pada saat pemberian konseling, perlu dijelaskan kepada pasien bahwa obat yang

diberikan harus diminum secara rutin sesuai dengan aturan pakai dan dihabiskan dalam 1

bulan pemakaian untuk lipitor 15 hari pemakaian untuk candersartan dan amlodipin.

Penulisan aturan pakai pada etiket harus jelas dan dapat dimengerti oleh pasien, bila perlu

tulis juga fungsi obat tersebut pada etiketnya. Selanjutnya, pasien juga perlu diingatkan

untuk selalu periksa kadar kolesterol dan tekanan darah. Pada saat control atau mengambil

obat setiap bulan diingatkan pasien untuk membawa obat sebelumnya agar dapat diketahui

tingkat kepatuhan pasien. Kepatuhan pasien dalam meminum obat dapat dinilai dari

jumlah sisa obat dengan waktu yang ada. Apoteker sebaiknya memiliki catatan atau

dokumen patient medical record dari pasien-pasien yang diberikan konseling sehingga

44
dapat mengetahui kapan terakhir pasien mengambil obat dan bagaimana perkembangan

pasien.

3.2. Aspek Optimalisasi Penggunaan Sediaan Farmasi

Optimalisasi penggunaan sediaan farmasi dilakukan dengan menganalisis DRP

terhadap obat yang diresepkan agar dapat mengambil keputusan pengobatan yang tepat

sehingga tercapai penggunanaan obat yang aman dan efektif. Dari obat yang diresepkan,

penggunaan obat Hipertensi perlu perhatian khusus terhadap pasien.

Pasien menderita Hipertensi, dan mendapatkan obat candesartan dan Amlodipine,

pemilihan kombinasi obat Hipertensi pasien sudah sesuai karena kondisi pasien juga

mengalami peningkatan kadar kolesterol total sehingga berpotensi menyebabkan

arterosklerosis sehingga obat hipertensi yang sesuai adalah golongan Calcium Chanel Bloker

(Amlodipine) dan golongan ACEI/ARB. Selain itu juga ditambah obat untuk dislipidemia

yaitu lipitor (atorvastatin calcium) yang berfungsi untuk menurunkan kadar kolesterol total

pada pasien, pemilihan obat sudah sesuai karena kadar kolesterol total yang meningkat pada

pasien sehingga pilihan obat yang tepat adalah golongan statin. Efek samping yang mungkin

terjadi yaitu pusing, mual, muntah, badan terasa lemas, dll. Ketika efek samping muncul

disarankan untuk beristirahat dan tidak menghentikan penggunaan obat. Apabila efek

samping dirasakan sangat mengganggu dan tidak tertahankan, segera konsultasi ke dokter.

3.3 Aspek Dispensing Sediaan Farmasi

Proses dispensing terdiri dari proses penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi

obat. Tahap awal adalah melakukan skrining resep yang bertujuan melihat legalitas resep

tersebut, mulai dari skrining administratif, farmasetik dan pertimbangan klinis, Apablia telah

sesuai dilanjutkan proses penyiapan obat dari resep. Pasien mendapatkan tiga macam obat

yang merupakan obat untuk pemberian oral sehingga etiket yang digunakan yaitu etiket

berwarna putih.

45
Berikut alur dispensing yang dilakukan:

 Resep diterima dan dilakukan skrinning secara administratif, farmasetik dan klinis.

 Resep diberi harga dan dikonfirmasi kepasien. Pasien setuju mengambil semua obatnya

 Obat diambilkan di ruang penyimpanan obat

 Lipitor diambil 30 tablet, dimasukkan kedalam plastik obat yang sudah disertakan etiket

putih. Kemudian ditulis aturan pakai 1 x sehari 1 tablet diminum pada malam hari

 Candesartan diambil sebanyak 15 tablet, dimasukkan ke dalam plastik obat yang sudah

disertakan etiket putih. Kemudian ditulis aturan pakai 1 x sehari 1 tablet segera setelah

makan, diminum pada pagi hari.

 Amlodipin diambil sebanyak 15 tablet dimasukkan ke dalam plastik obat yang sudah

disertakan etiket putih. Kemudian ditulis aturan penggunaanya 1 x sehari 1 tablet, diminum

pada malam hari.

 Selanjutnya, obat diserahkan kepada pasien dan diberikan konseling mengenai obat seperti

nama obat, kegunaan, dosis, aturan pakai, efek samping yang mungkin timbul dan cara

mengatasinya. Informasi lain yang dapat disampaikan adalah mengenai terapi non

farmakologi penyakit pasien dan penerapan pola hidup sehat.

3.4 Aspek Formulasi dan Pembuatan Sediaan Farmasi

Pasien tidak mendapatkan resep racikan sehingga sediaan yang digunakan adalah

produk jadi yang diproduksi oleh pabrik tertentu.

3.5 Aspek Komunikasi dan Kolaborasi

Kolaborasi merupakan hubungan timbal balik di mana (pemberi pelayanan)

memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien. Ketika melakukan

skrining resep, apoteker juga sebaiknya mengetahui kondisi pasien (diagnose dokter). Jika

terdapat hal-hal yang meragukan terkait dosis dan indikasi obat terutama bila terdapat

polifarmasi, maka apoteker sebaiknya mengkomunikasikan hal tersebut pada dokter.

46
Selain itu, ketika penyerahan obat, apoteker menginformasikan kepada pasien poin-poin

penting seperti cara penggunaan obat dan kepatuhan dalam mengkonsumsi obat.

Penatalaksanaan terapi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pasien dan kadar

kolesterol total. Untuk mencapai terapi yang berhasil, dibutuhkan kerjasama yang erat dan

terpadu antara pasien dan keluarga dengan para tenaga kesehatan yang menanganinya.

Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan pengelolaan penyakit ini karena tingkat

keberhasilan atau outcome terapi dari pengobatan tergantung pada kepatuhan pasien dalam

minum obat sehingga diperlukan peran apoteker untuk meyakinkan pasien untuk patuh

minum obat, Peluang ini harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh apoteker

dalam rangka memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa dalam

penatalaksanaan penyakit, apoteker tidak hanya dapat terlibat dalam aspek farmakoterapi

atau yang berhubungan dengan obat semata, tetapi lebih luas lagi, mulai dari skrining

resep sampai dengan pencapaian terapi pasien. Masalah ini memberikan kesempatan

kepada apoteker untuk memberikan kontribusinya dalam perawatan pasien. Kontribusi

apoteker berfokus kepada pengendalian kolesterol dan tekanan darah pasien, termasuk

mengidentifikasi dan menilai kesehatan pasien, memonitor, mengevaluasi, memberikan

pendidikan dan konseling, melakukan intervensi dan menyelesaikan terapi yang

berhubungan dengan obat untuk meningkatkan pelayanan terhadap pasien.

3.6 Aspek Upaya Prefentif dan Promotif Kesehatan

Upaya pencegahan serta promosi kesehatan dapat dilakukan baik secara langsung

berkomunikasi dengan pasien ataupun dengan berupa poster atau media. Diantaranya

yaitu :

 Melakukan diet sehat untuk menurunkan berat badan bagi yang obesitas

47
 Menghindari memakan makanan yang mengandung banyak gula, tinggi kadar lemak

dan garam

 Mengkonsumsi obat hipertensi dan dislipidemia secara teratur

 Melakukan pemeriksaan kolesterol dan tekanan darah rutin minimal satu kali dalam

sebulan.

 Hindari stress karena pasien hipertensi umumnya sulit mengontrol emosi.

3.7 Aspek Pengelolaan Sediaan Farmasi

Seorang apoteker dalam melakukan pengadaan dan pengelolaan sediaan farmasi dan alat

kesehatan agar tersedia secara efektif dan efisien, maka seorang apoteker harus mempunyai

kemampuan dalam menyusun suatu rencana mengenai pemasaran obat dan alat kesehatan

sehingga obat yang diterima ataupun yang dikeluarkan ke pasaran berada dalam jumlah yang

tepat. Menurut Permenkes RI no. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di

apotek, Tugas apoteker di apotek yaitu melaksanakan managerial dan farmasi klinis,

managerial meliputi perencanaan sampai pencatatan dan pelaporan, sedangkan farmasi klinis

yaitu dimulai pengkajian resep sampai kegiatan konseling. Peran apoteker dalam managerial

harus mempertimbangkan aspek ketersediaannya obat yang bermutu di apotek.

 Perencanaan

Perencanaan adalah kegiatan untuk memperkirakan kebutuhan sediaan farmasi dan alat

kesehatan yang akan dipesan. Rencana pembelian disusun untuk selalu menjamin

tersedianya perbekalan farmasi di apotek. Dalam menyusun rencana tersebut harus

memegang prinsip efektif dan efisien yaitu selain agar barang tersedia juga

memperhatikan efisiensi dari segi biaya. Oleh karena itu diperlukan suatu dasar atau

sistem yang menjadi acuan dalam pengadaan barang. Perencanaan pengadaan barang di

Apotek Madya dilakukan berdasarkan analisis pareto dan buku defekta.

48
 Pengadaan

Pengadaan barang dengan metode analisis pareto berdasarkan penjualan yaitu dengan

melihat jumlah penjualan barang sebelumnya selama periode waktu tertentu. Hasil

analisis pareto berupa daftar seluruh obat yang disusun berdasarkan besarnya omzet,

mulai dari barang atau obat yang menghasilkan omzet terbesar bagi apotek hingga obat

yang menghasilkan omzet terkecil bagi apotek. Dengan begitu, akan ditentukan obat

yang penjualannya tinggi, sedang ataupun rendah sehingga perencanaan barang dapat

lebih efektif dan efisien. Pengadaan dilakukan untuk obat-obatan yang persediannya

mulai berkurang

 Pemesanan

Pemesanan barang dilakukan dengan melakukan pemesanan ke PBF. Pemesanan barang

ke PBF dibuat dalam satu surat pesanan yang ditandatangani oleh Apoteker

Penanggungjawab Apotek yang di dalamnya harus terdapat nomor Surat Izin Praktik

Apoteker. Surat pesanan dibuat rangkap 2 yang terdiri dari warna putih (asli) dan warna

kuning untuk arsip. Untuk pengadaan barang yang sifatnya insidental (mendadak)

pembelian barang dapat dilakukan kepada apotek lain.

 Penerimaan

Penerimaan obat merupakan tanggung jawab apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

yang bertujuan untuk menghindari terjadinya kesalahan pemesanan seperti

ketidaksesuaian pesanan dengan barang yang datang. Ketika obat dan alkes datang ke

apotek, maka akan dicek faktur pembelian dengan obat yang datang dan disesuaikan

dengan surat pemesanan. Selain itu kondisi barang, nomor batch dan expire date juga di

cek. Penerimaan obat narkotika dan psikotropika di apotek Madya dilakukan oleh

apoteker langsung, dan jika apoteker berhalangan diwakilkan oleh tenaga teknis

49
kefarmasian yang memiliki SIPTTK yang telah diberi kuasa oleh apoteker, dan untuk

obat-obatan selain narkotika dan psikotropika umumnya diterima oleh tenaga teknis

kefarmasian yang memiliki SIPTTK.

 Penyimpanan

Penyimpanan perbekalan farmasi harus dilakukan sedemikian rupa agar menjamin

kualitasnya sampai ke tangan konsumen. Barang disimpan secara profesional sehingga

memudahkan dalam pencarian, pengambilan, pengawasan dan terlindung dari kerusakan.

Barang disimpan pada tempat yang bersih, aman, tidak kena cahaya matahari langsung,

atau tidak lembab. Barang disusun dengan cara mengelompokkan barang berdasarkan

bentuk sediaan, kemudian disusun menurut abjad secara FIFO dan FEFO.

Penyusunan barang adalah sebagai berikut:

1. Kapsul, tablet dan kaplet dalam bentuk obat paten disimpan dalam kemasan

kemudian disusun berdasarkan abjad pada rak yang tersedia.

2. Obat-obat berbentuk sirup disimpan dalam kemasannya dan disusun berdasarkan

abjad pada rak yang tersedia.

3. Obat tetes mata, tetes telinga, salep, krim dan injeksi, disimpan dalam kemasannya

masing-masing dan disusun pada rak berdasarkan abjad.

4. Obat generik disusun berdasarkan abjad pada rak.

5. Obat-obat yang penyimpanannya memerlukan kondisi khusus seperti vaksin, injeksi

dan suppositoria disimpan dalam lemari pendingin.

6. Obat-obat narkotik dan obat psikotropika disimpan dalam lemari khusus yang

terkunci.

7. Bahan baku untuk keperluan peracikan, alat-alat peracikan dan wadahnya disimpan

tersendiri dekat dengan meja peracikan.

50
8. Obat-obat bebas dan peralatan kesehatan disusun dalam etalase pada bagian

penerimaan resep.

Perlengkapan lainnya seperti plastik, sendok sirup dan pipet tetes diletakkan dalam kotak

dekat dengan tempat peracikan.

 Pendistribusian

Pendistribusian obat di apotek Madya meliputi pembelian obat resep, pembelian obat

bukan resep dan kerjasama dengan rumah sakit atau instansi pemerintahan. Pembelian

obat resep meliputi tahap penerimaan resep, skrining resep, selanjutnya pemeriksaan

ketersediaan obat, perhitungan harga, kemudian memberitahu pasien total harga obat,

jika pasien setuju maka obat akan disiapkan dan dilakukan pemeriksaan ulang sebelum

diberikan ke pasien. Selanjutnya obat diserahkan ke pasien disertai dengan pemberian

informasi obat atau konseling.

 Pengendalian

Pengendalian dilakukan melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,

penyimpanan dan pengeluaran obat. Pengendalian persediaan obat dilakukan

menggunakan kartu stock.

 Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan setiap proses pengelolaan sediaan farmasi meliputi pengadaan

(Surat pesanan, faktur) dan penyimpanan (kartu stok), sedangkan pelaporan yang

dilakukan apotek Madya adalah pelaporan narkotika dan psikotropika melalui aplikasi

SIPNAP, obat-obat tertentu dan obat yang mngandung prekursor kepada dinas kesehatan

dengan tebusan BPOM.

51
3.8 Aspek Kepemimpinan dan Manajemen Diri

Apoteker dalam memimpin, mengarahkan serta mengambil keputusan harus sesuai

dengan peraturan yang berlaku serta mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam bertindak.

Apoteker harus memberikan contoh teladan yang baik dan benar dalam manajemen apotek.

Selain itu, apoteker juga wajib memberikan pelayanan, mengambil keputusan yang

baik, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi

multidisipliner, kemampuan mengelolan SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karir

dan membantu memberikan pendidikan serta peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

Fungsi, dan tugas apoteker di apotek yaitu :

 Membuat visi dan misi

 Membuat tujuan, strategi dan program kerja

 Membuat dan menetapkan peraturan atau SOP pada setiap fungsi kegiatan apotek

 Mengarahkan setiap karyawan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan tanggung

jawab masing-masing.

 Menentukan sistem atau peraturan yang akan digunakan

 Mengawasi pelaksanaan SOP dan program kerja

 Bertanggungjawab terhadap kinerja yang diperoleh

 Memberikan pelayanan dan informasi obat dan perbekalan farmasi kepada pasien, dokter,

dan tenaga kesehatan lainnya.

 Mampu mangambil keputusan dengan tepat dan cepat terutama dalam menetukan

ketepatan terapi pasien.

3.9 Aspek Peningkatan Kompetensi Profesi

Menurut Permenkes RI no. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di

apotek, salah satu peran apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian yaitu menjadi

pembelajar seumur hidup, apoteker harus meningkatkan pengetahuan, sikap serta ketrampilan

52
profesi melalui pendidikan berkelanjutan serta harus memanfaatkan kemajuan teknologi

untuk mengembangkan diri dengan mengumpulkan data-data terbaru mengenai pekerjaan

kefarmasian. Dengan cara itu apoteker akan mampu mengembangkan diri serta mengevaluasi

terhadap kemampuan diri seorang profesi apoteker.

Upaya yang harus dilakukan apoteker untuk meningkatkan kompetensi diri antara lain:

1. Mengikuti seminar ilmiah.

2. Menerapkan farmasi klinis (konseling, home pharmacy care, Pemberian Informasi Obat

(PIO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Pemantauan Terapi Obat (PTO).

3. Memanfaatkan kemajuan teknologi dalam memperoleh informasi-informasi terbaru

mengenai kefarmasian (membaca jurnal-jurnal ilmiah yang dapat diakses melalui

internet).

4. Terlibat dalam pengabdian masyarakat (Penyuluhan dan Bakti Sosial).

53
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Peran apoteker sangat penting dalam manajerial pengobatan pasien demi tercapainya

efek terapi yang diinginkan. Sebagai apoteker, sudah merupakan kewajiban dalam

menyukseskan terapi terhadap penyakit pasien.

2. Dari resep yang diserahkan pasien dapat diketahui bahwa pasien menderita Hipertensi

dan Dislipidemia

3. Obat Hipertensi dan Dislipidemia yang diberikan sudah sesuai dengan penyakit yang

diderita oleh pasien.

4. Apoteker harus mampu memberikan informasi mengenai obat yang diterima pasien,

untuk itu apoteker harus selalu memprbaharui ilmu dan lebih meningkatkan kepercayaan

diri dalam berinteraksi dengan pasien.

5. Komunikasi yang baik antara Apoteker dan pasien akan menyebabkan tingkat kepatuhan

minum obat meningkat, ketepatan cara penggunaan obat sehingga efek terapi yang

diharapkan tercapai.

4.2 Saran

1. Perlunya pemantauan serta pendampingan pada pasien dalam mengkonsumsi obat tidak

hanya dari apoteker melainkan juga dari keluarga terdekat dan pasien perlu melakukan

penjagaan pola hidup sehat terutama pada asupan makanan yang dikonsumsi pasien.

2. Disarankan kepada apoteker untuk meningkatkan pelaksanaan komunikasi dan konseling

kepada pasien terutama tentang cara menggunakan obat.

54
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA), 2015.Diagnosis and Classification of


Diabetes Melitus. Diabetes Care: Volume 38, Supplement I, p. 48-50.
Dipiro J.T, Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells, L.
Michael Posey. 2011. Pharmacoterapy a Phatophysiologic Approach 8th
edition. New York: MC Graw Hill Education.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi. Departemen Kesehatan RI; Jakarta.
Gyuton, A. C and Hall, J. E., 1996, Textbook of Medical Physiology,
diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, LMA. Ken Ariata Tengadi, Alek
Santoso, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Medscape, 2020, Medscape Reference, Aplikasi Medscape. (diakses tanggal 16
Oktober 2020)
MIMS, 2020, MIMS Reference, aplikasi MIMS. (diakses tanggal 16 Oktober 2020)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor 35 Tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian.
Saseen. J. J., dan Carter.L. B., 2005, Hypertention, dala Pharmacotherapy: A
Phatophysiologic Approach, Sixth Edition, edited by J.T. Dipiro,
McGraw-Hill Companie, Inc., 185-217
Sweetman SC. 2009.Martindale 36 the complete drug reference.
ThePharmaceutical Press; London.

55
1

Anda mungkin juga menyukai