Anda di halaman 1dari 7

PERTEMUAN XII TANGGAL 29 APRIL 2020

3. Bukti Persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum (Pasal
173 HIR dan Pasal 310 R.Bg). Artinya bertitik tolak dari fakta yang diketahui, ditarik
kesimpulan ke arah suatu fakta yang kongkrit kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum
diketahui atau ditemukan fakta lain.

Klasifikasi Alat Bukti Persangkaan

Alat bukti pesangkaan diatur dalam KUHPer pasal 1915 tentang jenis dan bentuk
persankaan sebagai berikut:

a. Persangkaan yang berupa kesimpulan berdasarkan undang-undang, mis panggilan


melalui media massa dianggap sah dan resmi bagi tergugat atau termohon yang gaib
(Pasal 27 PP No.9 Tahun 1975).

b. Persangkaan yang merupakaan kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang
timbul di persidangan. Seperti Di depan persidangan perceraian penggugat dan tergugat
saling mempertahankan pendiriannya masing-masing, hal ini merupakan bukti
persangkaan, bahwa antara penggugat dan tergugat terjadi perselisihan yang terus
menerus dan rumah tangganya sudah pecah.

c. Pembuktian persangkaan merupakan pembuktian sementara dan merupakan bukti yang


bersifat tidak lansung, misal membuktikan matinya seseorang dengan membuktikan
hilangnya pesawat dan tidak muncul lagi pada waktu tertentu.

Kekuatan bukti persangkaan menurut undang-undang:

a. Bersifat memaksa hakim terikat dengan undang-undang kecuali dilumpuhkan bukti


lawan.

b. Berdasarkan fakta dalam persidangan, bukti persankaan tidak bisa berdiri sendiri tetapi
harus ada bukti lain.
c. Apabila fakta yang telah dibuktikan, hakim dapat menyusun bukti persangkaan dalam
pertimbangan hukumnya sesuai dengan hukum dan berfikir yang logis.

4. Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau
keterangan yang dikemukkakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan,
yang dilakuakan di muka hakim atau dalam persidangan. Pengakuan itu berisi keterangan bahwa
apa yang dilakukan pihak lawan benar sebagian atauseluruhnya. (pasal 174 HIR, 311 R.Bg dan
1923 KUHPer).

a. Bentuk-bentuk Pengakuan

Pengakuan sebagai alat bukti terdiri atas tiga bentuk:

1) Pengakuan murni dan bulat, pernyataan kehendak berupa penegasan pembenaran dalil atau
peristiwa yang diakui sepenuhnya tanpa syarat.
2) Pengakuan berkualifikasi, pengakuan terhadap dalil gugat yang dibarengi dengan syarat.
3) Pengakuan berklausula, pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat
nembebaskan.
4) Selain tiga bentuk di atas berdasar Pasal 1972 KUHPer pengakuan dapat berupa tertulis dan
lisan di depan persidangan dengan cara tegas, diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan
dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.

b. Hal-hal yang dapat diakui

Para pihak dapat mengakui segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang
disengketakan. Pengakuan itu dapat berupa pengakuan yang berkenaan dengan hak dan
pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.

c. Yang berwenang memberi pengakuan

Yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut: dilakukan pihak

prinsipal sendiri yakni pengugat atau tergugat , dan kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Pengakuan disampaikan dalam proses pemeriksaan sidang, pengakuan diberikan oleh pihak
materiel atau kuasanya dalam bentuk lisan atau tulisan dalam replik-duplik atau kesimpulan.
Pengakuan tidak boleh bertentangan dengan hukum, susila , agama dan ketertiban umum. Dan
tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata atau terang; pengakuan berhubungan
dengan pokok perkara.

d. Nilai pembuktian pengakuan

1) Nilai pengakuan murni dan bulat, mengandung nilai pembuktian sempurna (volledeg) dan
mengikat (bindend) serta menentukan atau memaksa. Karena itu dapat berdiri sendiri
sebagai alat bukti artinya sudah tercapai batas minimal pembuktian.

2) Nilai pembuktian bersyarat, tidak mempunyai nilai yang sempurna dan mengikat karena itu
tidak dapat berdiri sendiri harus dibantu sekurang-kurangnya dengan salah satu alat bukti lain,
dan sifat kekuatan pembuktian bebas.

5. Sumpah

Secara konsepsional sumpah adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama
Tuhan. Tujuannya agar orang yang sebenarnya, dan takut atas murka Tuhan apabila berbohong.
(Sumpah sebagai allat bukti diatur dalam Pasal 155 2.d. 158, 177 HIR dan Pasal 1929 s.d. 1945
KUHPer)

a. Syarat-syarat Sumpah

Diucapkan degan lisan; diucapkan di muka hakim dalam persidangan atau dapat di rumah kalau
yang bersangkutan berhalangan (sakit), secara in person dan boleh oleh kuasa dengan surat
kuasa istimewa; dilaksanakan di hadapan pihak lawan atau dihadiri pihak lawan; isi lafal harus
mengenai “perbuatan” yang dilakukan sendiri oleh pihak-pihak yang bersumpah; harus
berkaitan langsung dengan obyek perkara;

b. Macam-macam Sumpah

1) Sumpah tambahan (Suppletoir), adalah sumpah yang dibebankan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak berperkara untuk melengkapi pembuktian sebagai
dasar putusannya. Nilai pembuktiannya: bersifat sempurna; mengikat dan menentukan;
memaksa; mencapai batas minimal pembuktian; hanya dapat dilumpuhkan dengan
putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, atas dasar sumpah palsu; jika
menolak mengucapkan sumpah mengakibatkan kekalahan bagi pihak yang harus
bersumpah.

2) Sumpah Pemutus (decissoir), sumpah yang oleh pihak satu (penggugat atau tergugat)
diperintahkan kepada pihak yang lain untuk pemutusan perkara atas pengucapan atau
pengangkatan sumpah. Sumpah ini diucapkan di muka sidang Pengadilan secara in
person, artinya memerintahkan kepada lawan untuk bersumpah, menerima untuk
bersumpah (atas suruhan lawan atau lawan mengembalikan), menolak bersumpah atau
menolak bila dikembalikan kepada lawan, atau dilakukan oleh kuasa dengan surat kuasa
istimewa. Nilai pembuktiannya terkandung sempurna, mengikat dan menentukan atau
memaksa, karena itu mutlak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain sehingga
dipandang mencukupi batas minimal pembuktian.

3) Sumpah Penaksir (Aestimatoir), sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena


jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Sumpah
untuk menentukan ganti rugi atau harga barang yang akan dikabulkan. Nilai kekuatan
pembuktiannya adalah sempurna, mengikat dan menentukan senilai dengan sumpah
Pemutus dan penambah. Hakim hanya dapat memerintahkan sumpah penaksir kepada
penggugat apabila tidak ada jalan lain lagi baginya untuk menerapkan harga kerugian
tersebut.

4) Sumpah Li`an adalah yang diperintahkan hakim kepada salah satu pihak dalam perkara
permohonan atau gugatan cerai dengan alasan salah satu pihak melakukan zina,
sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-buktinya dan
termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut. (An-Nur: 6-9)

Ayat (6) Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang
itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk
orang yang berkata benar. Ayat (7) Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah akan
menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta. Ayat (8) Dan istri itu terhindar dari
hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya)
benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta, Ayat (9) dan (sumpah) yang kelima
bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu termasuk orang
yang berkata benar.

Jika seorang suami menuduh isterinya berbuat zina dan dia tidak dapat menghadirkan
saksi, maka untukmenghidarkan dirinya dari hukuman had dilakauakan sumpah li`an,
suamimengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan menyatakan bahwa dia adalah
seorang yang benar. Sumpah yang kelima disertai “kutukan Allah atasu jika aku bukan
seorang yang benar”.

Dasar hukum li`an Pasal 87 dan 88 UU No. 7 Tahun 1989, UU. No. 3 Tahun 2006 dan
UU No. 50 Tahun 2009. dan Pasal 126 dan 127 KHI.

Pasal 88 UU No. tahun 1989 (1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87
ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li'an.

(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh isteri
maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.

Tata cara li`an diatur dalam pasal 127 dan 128 KHI sebagai berikut :

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak
tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”

b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali
dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah
kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya: tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut benar”;

c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;

d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak
terjadi li`an.

Selain di atas, setelah suami bersumpah majelis hakim menanyakan kepada isteri apakah isteri
bersedia mengangkat sumapah nukul (sumapah balik). Jika isteri bersedia majelis hakim
memerintahkan mengucapkan sumpah empat kali sebagai bantahan terhadap sumpah li`an suami
dan dilanjutkan dengan ucapak kesediaan untuk menerima murka Allah jika berdusta. Li`an
hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.

6. Keterangan Saksi Ahli

Adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu. (Pasal 154 HIR,
181 R.Bg, 121-229 Rv). Dalam proses peradilan yang disebut degan keterangan ahli ada tiga
macam:

1. Ahli, orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang dinyatakan
apa adanya, tanpa melakukan pemeriksaan (orang yang mempunyai keahlian khusus , keahlian
khusus ini tidak dimiliki oleh hakim, mis ahli balistik, ahintulis tangan)

2. Skasi Ahli, orang ini menyaksikan barang bukti atau “saksi diam”, melakukan pemeriksaan
dan mengemukakan pendapatnya. Misal dokter yang melakukan pemeriksaan mayat.

3. Orang yang menerangkan persoaaln tentang suatu persoalan yang sebenarnya, juga dapat
dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi membutuhkan waktu panjang. Misal seorang karyawan Bank
yang dimintakan keterangannya tentang prosedur untuk mendapatkan kredit Bank.

Pengankatan ahli dapat dilakukan sendiri oleh hakim secara ex officio karena jabatannya, dan
atas permintaan salah satu pihak. (Pasal 154 ayat (1) HIR dan Pasal 215-216 Rv)

Bentuk Penyampaian ahli dapat berbentuk: Laporan tertulis atau lisan; Laporan disampaikan
dalam persidangan; Laporan dikuatkan dengan sumpah.

7. Kedudukan Elektronik sebagai Alat Bukti.

Alat bukti elektronik adalah informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materiil .(UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasin dan Transaksi Elektronik (ITE). Bahwa informasi elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Yang dimaksud informasi elektronik adalah satu atau kesimpulan data elektronik . (lihat Pasal 1
butur 1 UU No. 11 Tahun 2008), dan yang dimaksud Dokumen Elektronik adalah setiap
informsi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima, atau disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal dst. (liahat Pasal 1 butir 4 UU No. 11 Tahun 2008).
Kedudukan alat bukti elektronik berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 11 Tahun 2008
dikatakan secara tegas bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti sah dan memiliki akibat hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai