Anda di halaman 1dari 69

ISBN 979-8401-38-0

5^
ORASI PENGUKUHAN PROFESOR R I S E T
BIDANG STUDI P R A S E J A R A H

PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME


DALAM PRASEJARAH INDONESIA
PENELUSURAN T E R H A D A P A K A R
K E M A J E M U K A N MASA K I N I

T R U M A N SIMANJUNTAK

PUSAT P E N E L I T I A N DAN P E N G E M B A N G A N
A R K E O L O G I NASIONAL
2006
ISBN 979-8041-38-0

ORASI PENGUKUHAN PROFESOR R I S E T


BIDANG STUDI P R A S E J A R A H

PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME


D A L A M P R A S E J A R A H INDONESIA

PENELUSURAN TERHADAP A K A R
K E M A J E M U K A N MASA KINI

TRUMAN SIMANJUNTAK

PUSAT P E N E L I T I A N DAN PENGEMBANGAN


A R K E O L O G I NASIONAL
2006
DAFTAR ISI

BIOGRAFI i

PENDAHULUAN

KEANEKARAGAMAN INDONESIA 4

LATAR B E L A K A N G TERJADINYA PLURALISME 7


DAN MULTIKULTURALISME

PRASEJARAH INDONESIA 13

PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME DALAM 16


PRASEJARAH INDONESIA

PERENUNGAN 31

UCAPAN TERIMA KASIH 36 a.

BIBLIOGRAFI 38

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 46

i
matériels lithiques di site des Verrières I, Essonne, France".
Pada tahun 1991 mendapat gelar doktor di bidang prasejarah
pada institut yang sama dengan disertasi yang berjudul:
"Contribution à l'Etude des Civilisations Préhistoriques et
Protohistoriques de la Lozère et des régions limithropes ".
Setelah kembali dari Paris, Truman Simanjuntak
dimutasikan ke Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan
dipercayakan menduduki jabatan Kepala Bidang Prasejarah
hingga tahun 2000. Setelah itu dia lebih berkonsentrasi di
bidang penelitian hingga sekarang. Jabatan fungsional peneliti
dimulai dari Asisten Peneliti Madya 1985, Ajun Peneliti
Madya 1992, Peneliti Muda 1995, Peneliti Madya 1997, Ahli
Peneliti Muda 1999, Ahli Peneliti Madya 2002, dan Ahli
Peneliti Utama 2004. Hingga kini dia telah menghasilkan lebih
dari 100 karya tulis yang dipublikasikan dalam berbagai media
di dalam dan luar negeri.
Dalam upaya pengembangan penelitian prasejarah dan
ketenagaan, Truman Simanjuntak aktif menjalin keijasama
dengan berbagai peneliti dan instansi luar negeri. Beberapa
institusi yang pernah menjadi counterpartnya dalam penelitian
adalah University of New England (1997- 2000), James Cook
University dan Australian National University (1995-1998),
Australian National University (1997-1999), ORSTOM (1992-
1997). Kerja sama lain yang masih berlangsung adalah dengan
Museum National d'Histoire Naturelle (MNHN), Prancis
(1992- sekarang) dan Institut de Recherche pour le
Dévelopment (IRD) Prancis (2001-sekarang). Sebagai peneliti,
dia telah melakukan berbagai penelitian arkeologi di berbagai
wilayah Indonesia, aktif memberikan ceramah atau penataran
di bidang prasejarah, serta pembicara di berbagai seminar di
dalam dan di luar negeri.

iii
Di bidang pendidikan. Truman memberikan mata kuliah
Prasejarah Eropa di Departemen Arkeologi. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia sejak tahun 1994
sampai sekarang. Menjadi anggota tim penguji doktor di
Institut de Paléontologie Humaine, Paris (1998 dan 2004).
Dia juga aktif dalam organisasi profesi di dalam dan luar
negeri. Kegiatan organisasi di dalam negeri antara lain. Ketua
Pelaksana harian Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI)
periode 1996-1999 dan 1999-2002, untuk kemudian menjadi
Ketua Umum I A A I pada periode 2002- 2005. Kegiatan
organisasi profesi lainnya adalah sebagai anggota Lembaga
Karst Indonesia (2004- sekarang), anggota Association of the
Southeast Asian Prehistory (2003 - sekarang), anggota Indo-
Pacific Prehistory Association (IPPA) (1994- sekarang), dan
anggota Permanent Council of the International Union of
Prehistoric and Protohistoric Sciences (IUPPS) untuk periode
2006-2011.

i\
ORASI PENGUKUHAN PROFESSOR R I S E T
BIDANG STUDI P R A S E J A R A H

PENDAHULUAN

Yth. Ketua Majelis Professor Riset


Yth. Sekretaris dan para anggota Majelis Professor Riset
Yth. Pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Yth. Pimpinan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan
dan Pariwisata
Rekan-rekan peneliti dan para undangan sekalian yang saya
muliakan.

Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji dan syukur


kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat kasih dan
penyertaannya kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan
sehat. Atas berkatnya pula pada hari ini saya memperoleh
kesempatan untuk menyampaikan orasi pengukuhan Professor
Riset dihadapan Majelis yang mulia. Pada kesempatan yang
berbahagia ini, sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional yang menekuni Bidang
Prasejarah, perkenankanlah saya membawakan orasi yang
berjudul:

PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME DALAM


PRASEJARAH INDONESIA
PENELUSURAN TERHADAP AKAR KEMAJEMUKAN MASA
KINI
Krisis multidimensi yang menimpa Bangsa Indonesia
sejak tahun 1998 telah menghantarkan bangsa ini pada era baru
- Era Reformasi, namun sejak digulirkan hingga sekarang,
perjalanannya tidak semulus yang diharapkan. Dampak yang
menonjol justru sisi negatif berupa merebaknya konflik-konflik
sosial di berbagai pelosok tanah air. Bangsa kita menjadi
tercabik-cabik oleh pertentangan antar-kelompok, antar-
kampung, antar-golongan, antar-etnis, bahkan antar-agama dan
entah antar-apa lagi. Banyak yang bertanya-tanya: apa
gerangan yang terjadi pada bangsa ini, dari yang sebelumnya
tampak rukun menjadi bangsa yang beringas? Sebuah
kenyataan bahwa reformasi sebagai sebuah gerakan yang
bermaksud memberi koreksi terhadap kekurangan-kekurangan
pemerintahan Orde Baru telah memunculkan euforia yang
berlebihan, hingga cenderung membelokkan tujuan yang paling
hakiki dari reformasi itu sendiri. Berakhirnya keterkungkungan
selama puluhan tahun di bawah pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kebebasan yang meluap hingga menimbulkan
ekses-ekses perpecahan. Rasa persaudaraan kebangsaan seperti
menghilang. Pancasila sebagai dasar ideologi dan falsafah
negara yang dulu diagung-agungkan seperti terabaikan,
sementara sifat eksklusivitas kelompok menjadi semakin
menonjol. Kata "kita"' yang menjiwai rasa persaudaraan dan
kebersamaan semakin jarang terdengar dan berganti menjadi
kata "kami" dan "kamu".
Dalam mencari solusi terhadap permasalahan itulah
muncul wacana pluralisme dan multikulturalisme yang
dimaksudkan menjadi perekat integrasi bangsa yang carut-
marut. Berbagai ulasan muncul di berbagai media untuk
menjelaskan betapa pentingnya pemahaman atas kedua paham

2
tersebut dalam memelihara kesatuan dan kebersamaan. Ada
ulasan dari perspektif sosial masyarakat sekarang, ada pula
yang melihat dari sudut pandang ekonomi, dan yang paling
menonjol, ulasan dari perspektif budaya, termasuk agama.
Pada umumnya wacana yang berkembang lebih melihat
keragaman dari sejak terbentuknya negara kesatuan Republik
Indonesia hingga pada kondisi aktual sekarang. Kita diingatkan
bahwa Bangsa Indonesia tidak akan pernah ada jika para
pendiri republik ini hanya mementingkan kelompok masing-
masing. Mereka yang berasal dari berbagai latar belakang
sepakat untuk bersama-sama membangun sebuah negara yang
dimaksudkan untuk membawa kesejahteraan dan keadilan bagi
masyarakatnya. Keragaman dalam berbagai latar belakang
tidak mendorong eksklusivitas, tetapi sebaliknya lebih
mengembangkan sinergi kebersamaan.
Orasi ini berniat mengangkat isu pluralisme dan
multikulturalisme dari perspektif yang selama ini jarang
dimunculkan - perspektif prasejarah. Sebuah bahasan yang
mencoba melihat akar terciptanya keragaman-keragaman
manusia dan budaya di kepulauan Nusantara (dan dalam
lingkup global pada umumnya) dan perkembangannya dalam
rentang waktu prasejarah. Melalui bahasan ini kita diingatkan
bahwa pluralisme sudah muncul semenjak penghunian manusia
pertama di Nusantara dan yang akan terus berkembang di masa
depan. Pluralisme dan multikulturalisme merupakan salah satu
kearifan prasejarah yang senantiasa perlu digali,
diaktualisasikan, dan dikembangkan dalam kehidupan
berbangsa. Melalui pemahaman yang lebih jauh tentang nilai-
nilai keragaman dalam bingkai kebersamaan dan persaudaraan
di masa silam, dan yang menjadi landasan kehidupan
berbangsa di masa sekarang, diharapkan dapat memberikan
pencerahan bagi pemecahan masalah konflik-konflik sosial dan
mencegah konflik-konflik baru di masa datang. Dalam konteks
ini pula. orasi ini ingin mengingatkan kita akan betapa
pentingnya belajar dari masa lampau dalam meniti kehidupan
sekarang dan merajut masa depan.

K E A N E K A R A G A M A N INDONESIA

Sesungguhnya Indonesia sebagai sebuah kesatuan


geografis, biologis, politis, sosial, dan kebudayaan adalah
identik dengan keanekaragaman. Dari sudut geografis,
Nusantara yang melingkupi kawasan yang sangat luas dari
Sabang di ujung barat hingga Merauke di ujung timur terdiri
dari rangkaian 17.508 pulau1 yang sangat beragam, mulai dari
pulau yang sangat luas, seperti Kalimantan dan Papua, hingga
pulau-pulau kecil yang tidak bernama. Masing-masing pulau
memperlihatkan topografi yang beragam pula. mulai dari
dataran, lembah, perbukitan, hingga pegunungan. Kondisi ini
telah pula menyebabkan perbedaan-perbedaan lokal dalam
kondisi tanah, curah hujan, vegetasi, dll. Sebagian pulau, mulai
dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, kepulauan Banda,
Halmahera, dan Sulawesi merupakan gugusan gunung api dan
wilayah rawan gempa, sedangkan pulau-pulau lain seperti
Kalimantan tidak bergunung api dan relatif tanpa gempa.
Kondisi ini tentu mengakibatkan keragaman dalam hal
kesuburan tanah dan lingkungan adaptasi.
Dari segi iklim, kepulauan Nusantara bercirikan iklim
laut tropikal yang secara umum dipengaruhi angin muson barat
dan timur. Pada bulan April-September angin muson timur
bertiup dari Australia ke arah Asia Tenggara. Dalam
perjalanannya semakin jauh ke barat, angin tersebut semakin

1
Berdasarkan data Pusat Survei Pemetaan A B R I tahun 1987.
4
basah dan mengandung uap air, sehingga menyebabkan hujan
di wilayah barat Indonesia. Setelah itu pada bulan Oktober-
Maret angin muson barat bertiup dari benua Asia ke arah
Australia. Daerah-daerah yang selama muson timur kering
menjadi basah, dan sebaliknya daerah yang sebelumnya basah
menjadi kering. Kondisi ini menciptakan variasi musim, tidak
sebatas wilayah timur dan barat, tetapi di berbagai wilayah
kepulauan. Wilayah yang lebih dekat pada kedua pengaruh itu
akan cenderung memiliki iklim yang mendekati masing-
masing sumber, sementara wilayah yang semakin jauh secara
gradual akan menerima pengaruh yang semakin berkurang
(Ensiklopedia Umum 1973). Patut dicatat bahwa berbagai
faktor lain seperti pola angin lokal, kondisi bentang alam,
ketinggian wilayah, dll turut menciptakan variasi-variasi iklim.
Sejalan dengan variasi iklim itu pula, kawasan Nusantara
menampilkan ekologi yang sangat beragam dari pulau ke pulau
bahkan di dalam masing-masing pulau. Dalam hal flora, negara
kita termasuk salah satu yang memiliki biodiversitas tertinggi
di dunia. Keberagaman flora telah mendorong keberagaman
fauna, karena ketersediaan berbagai jenis vegetasi akan
mengundang berbagai jenis makhluk untuk menghuninya.
Dalam kaitannya dengan fauna, kondisi paleogeografi sangat ""
mempengaruhi jenis-jenis fauna yang mendiaminya. Di bagian
barat. Paparan Sunda yang meliputi Sumatra, Kalimantan, dan
Jawa, yang pada Jaman Es menyatu dengan benua Asia,
memiliki fauna yang sama dengan Asia, sementara Papua dan
bagian timur Indonesia yang menyatu dengan Paparan Sahul
didiami oleh fauna yang sama dengan benua Australia. Di
bagian tengah - Zona Wallacea - yang tidak pernah menyatu
dengan kedua paparan, memiliki fauna endemik bercampur
dengan fauna kedua paparan.

5
Keanekaragaman di berbagai bidang di atas telah pula
menciptakan keanekaragaman manusia yang menghuni
kepulauan Nusantara. Dari segi kepadatan hunian pada masa
sekarang, kita bisa melihat adanya keragaman dalam populasi,
mulai dari Jawa yang over populated hingga Kalimantan dan
Papua dengan hunian yang masih jarang, bahkan ribuan pulau-
pulau lain yang tak berpenghuni. Berbagai keanekaragaman di
atas mempengaruhi pula keanekaragaman budaya. Kehidupan
pada lingkungan yang beragam dan ditambah dengan rintangan
geografis (lautan, sungai, gunung, dll) yang membatasi
hubungan luar, lambat laun mendorong munculnya kebiasaan-
kebiasaan khas dari populasi yang menghuninya. Kondisi ini
berperan menciptakan keragaman, mulai dari komunitas yang
terbuka menerima pengaruh luar (seperti komunitas pantai
pada umumnya), hingga komunitas tertutup yang masih tetap
mempertahankan budaya asli (Suku Badui di Jawa Barat. dll).
Keanekaragaman yang paling mudah diamati adalah di
bidang kebudayaan. Di bidang subsistensi misalnya terdapat
anekaragam kegiatan, mulai dari pertanian, perburuan, dan
perambahan hutan yang sudah dikenal pada jaman prasejarah,
hingga berbagai profesi yang muncul pada masyarakat modem.
Dalam suatu jenis subsistensi saja masih terdapat keragaman,
seperti pertanian basah dan kering atau pertanian menetap dan
perladangan berpindah. Hal yang sama di bidang peralatan
dengan bentuk-bentuk yang sangat bervariasi untuk setiap alat
di berbagai daerah. Keanekaragaman yang juga sangat
memonjol adalah di bidang bahasa. Bangsa kita memiliki 726
bahasa yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, termasuk di
antaranya 244 bahasa-bahasa non-Austronesia di bagian timur
Indonesia (Lauder dan Ayatrohaedi 2006).
Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa keanekaragaman
merupakan sifat yang sangat melekat dengan kepulauan

6
Nusantara. Berbagai keanekaragaman tersebut saling mengkait
satu sama lain: keanekaragaman geografis, geologis, dan iklim
mempengaruhi keragaman biologis. Berbagai keanekaragaman
yang bersifat alami ini kemudian mendorong terciptanya
keanekaragaman budaya dari manusia penghuninya.

L A T A R B E L A K A N G TERJADINYA PLURALISME DAN


MULTIKULTURALISME

Pluralisme dan multikulturalisme pada hakekatnya


mengandung makna yang sama, yakni kemajemukan atau
keanekaragaman. Suatu kondisi kemajemukan terjadi manakala
satuan-satuan yang tergabung dalam suatu himpunan memiliki
kekhasan-kekhasan yang membedakannya satu sama lain.
Dengan demikian pluralisme dan multikulturalisme selalu
mengkait dengan kata kemajemukan, keanekaragaman,
kekhasan, atau perbedaan. Untuk melengkapi penjelasan di
atas, baik kita kutip pengertian yang diberikan dalam situs
Heraclitea.com:

"le pluralisme est la théori methaphisyque selon laquelle le monde


est composé non pas d'une seule substance (monisme), ni de deux
substances (dualisme), mais d'une infinité, d'une pluralité de
substance ".
Awalnya istilah pluralisme muncul dari teori metafisika yang
menganggap alam semesta pada hakekatnya terdiri atas
berbagai macam substansi, dan bukan dari substansi tunggal
atau ganda. Dari konsep metafisik inilah konsep pluralisme
muncul untuk merujuk pada kenyataan bahwa di dunia ini tidak
ada yang bersifat tunggal, semuanya terdiri dari berbagai unsur
yang kemudian berproses dalam satu kesatuan. Sementara itu,
konsep multikulturalisme merupakan wujud atau penerapan
dari konsep pluralisme dalam kehidupan berbudaya atau lebih
khusus di bidang pendidikan, sebagai reaksi terhadap
rasialisme. Pandangan multikulturalisme mengakui bahwa
semua budaya pada dasarnya mempunyai derajat yang sama.
sehingga mempunyai hak hidup yang sama pula. Karena itu
multikulturalisme menerima keberagaman budaya sebagai
sebuah kewajaran dan mendorong pendukung suatu budaya
untuk memahami budaya lain.
Pluralisme dan multikulturalisme merupakan sebuah
kondisi yang nyata dan kita rasakan dalam berbagai aspek
kehidupan2. Menyangkut pluralisme biologis, mari kita lihat
kenyataan yang ada di hadapan kita. Dalam lingkup individu
saja, dari sekitar 6 miliar penduduk planet sekarang yang
menurut hasil studi DNA berasal dari seorang perempuan yang
hidup di Afrika Timur sekitar 150.000 tahun yang lampau (Can
et al. 1987; Wilson & R.Cann 1992; Olson. 2004), tidak
satupun yang sama benar dengan yang lain, bahkan di antara
yang kembar sekalipun (Jones 1995a). Pembentukan tampilan
fisik dan mentalitas setiap manusia sudah dimulai sejak
pembuahan di dalam janin. Kondisi-kondisi kesehatan, nutrisi,
suasana kejiwaan, dan inteligensi seorang perempuan akan
sangat mempengaruhi pembentukan fisik dan kejiwaan janin
yang dikandungnya hingga dilahirkan. Kondisi tersebut pasti
berbeda-beda untuk setiap individu, sehingga janin-janin yang
bertumbuh akan memperlihatkan perbedaan pula.
Perbedaan rangsangan dan perlakuan yang diterima setiap
manusia selama hidupnya mengakibatkan perbedaan pula
dalam watak dan perilaku. Sebagai contoh, jika sejumlah orang
secara bersamaan diminta melukis sebuah obyek, niscaya hasil

2
Charles Darwin melihat variasi individu yang terdapat pada semua
organisme disebabkan oleh lingkungan yang selalu berubah (Pope 1984).

8
lukisan masing-masing akan berbeda satu sama lain. sebagai
cerminan dari pemikiran yang berbeda-beda. Di sini hendak
dikatakan bahwa perbedaan-perbedaan merupakan conditio
sine quanon, sesuatu yang memang harus terjadi - tidak bisa
dielakkan. Perbedaan dalam skala individual ini tentu tidak
jauh berbeda jika dilihat dalam skala himpunan individu
(komunitas) atau dalam himpunan yang sangat besar (lingkup
negara misalnya). Kita akan selalu menjumpai masyarakat
yang tidak homogen, tetapi cenderung terdiri dari kelompok-
kelompok yang memiliki kekhasan satu sama lain. dalam aspek
kultural dan non-kultural.
Keragaman hanya dapat dihapus jika produk dihasilkan
melalui kerja mesin {machinal product), seperti kesamaan
benda-benda yang dihasilkan suatu fabrik atau kesamaan bayi
yang dihasilkan lewat teknik cloning. Namun harus diingat,
bahwa kesamaan itu hanya terbatas pada lingkup fabrik yang
menghasilkan benda tersebut, tidak dengan fabrik dari
perusahaan lain. Sabun sebagai sebuah produk dapat memiliki
tampilan yang sama ketika diproduksi lewat mesin dalam suatu
fabrik. tetapi jika dibandingkan dengan sabun dari fabrik-fabrik
lain pasti akan berbeda satu sama lain. karena masing-masing
fabrik ingin menunjukkan identitas atau ciri khasnya sendiri.
Perbedaan atau kekhasan itu dapat ditonjolkan dalam bentuk,
komposisi atau campuran bahan, atau kemasannya. Dalam hal
ini keragaman dapat timbul karena setiap individu atau entitas
berupaya menampilkan karakter atau jatidiri yang
membedakannya dari individu atau entitas lain.
Multikulturalisme memiliki aspek-aspek yang lebih
bervariasi dari pluralisme biologis, mengingat luasnya dimensi
budaya itu sendiri. Keragaman itu dapat dijumpai pada ketujuh
unsur budaya universal (Koentjaraningrat 2002) yang
mencakup sistim peralatan hidup atau teknologi, sistim mata
pencaharian hidup, sistim kemasyarakatan, bahasa, kesenian,
sistem pengetahuan, dan religi. Seperti dalam aspek biologis,
sebuah bangsa cenderung memiliki kelompok-kelompok
masyarakat yang didasarkan atas perbedaan latar belakang
budaya. Adakalanya suatu komunitas memiliki kekhasan yang
sangat menonjol pada unsur budaya tertentu, sementara
komunitas lain memiliki kekhasan pada unsur budaya lainnya.
Semakin beragam komunitas dalam suatu satuan geografis,
semakin bervariasi pula unsur-unsur budaya yang dimilikinya
hingga keseluruhannya membentuk mozaik etnisitas dan
budaya3.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab keragaman.
Faktor yang satu dapat mempengaruhi faktor-faktor lain hingga
menciptakan tampilan-tampilan atau produk yang berbeda.
Steve Jones (1995a) mengatakan keragaman fisik secara umum
dapat disebabkan oleh faktor genetika dan evolusi setempat.
Dalam konteks genetika, sejarah biologis yang berbeda-beda
dari manusia telah menyebabkan perbedaan dalam jumlah gena
masing-masing individu hingga menyebabkan tampilan fisik
yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan dalam urutan DNA
dalam gena kita menyebabkan perbedaan warna kulit, mata.
dan rambut; juga mempengaruhi bentuk tengkorak, kelebatan
rambut dan semua kontur tubuh kita, bahkan mempengaruhi
kerentanan kita terhadap penyakit tertentu.
Evolusi setempat sebagai proses adaptasi terhadap
lingkungan turut menciptakan keanekaragaman biologis (Baker
1995). Sebagai contoh, perbedaan iklim antara daerah tropis

J
Istilah suku (ethnic) merujuk pada kelompok besar masyarakat yang
dipandang memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan dari kelompok
lain dalam budaya (bahasa, agama, tradisi, dll) dan dalam karakter fisik
(warna kulit, bentuk tubuh, dll)
<http://anthro.palomar.edu/ethnicity/glossary.htm> ^^
dan daerah dingin akan membawa perbedaan dalam warna
kulit. Jika di daerah tropis manusia cenderung berwarna gelap,
semakin ke utara akan cenderung berkulit terang. Seperti
diketahui warna kulit ditentukan oleh sel-sel di bagian luar
kulit (epidermis) yang disebut melanosit. Sel-sel itu
mengeluarkan pigmen yang disebut melanin hingga memberi
warna gelap pada kulit. Manusia yang hidup di khatulistiwa
cenderung memiliki kulit gelap, karena kulit jenis ini tidak
terlalu rentan tehadap kerusakan yang ditimbulkan oleh sinar
ultraviolet. Kulit gelap membantu mencegah kanker kulit dari
sengatan matahari. Sebaliknya di daerah-daerah yang sinar
mataharinya kurang terik, manusia cenderung berkulit terang,
sebab kulit gelap dapat menjadi bencana, karena tubuhnya
memerlukan sinar ultraviolet untuk menghasilkan vitamin D
bagi pertumbuhan tulang.
Perbedaan temperatur juga dapat mempengaruhi ukuran
badan. Secara umum berat badan cenderung naik seiring
dengan penurunan temperatur tahunan. Di kawasan beriklim
panas manusia cenderung berukuran kecil (pendek dan ringan)
atau memiliki berat badan yang rendah jika dibandingkan
dengan ukuran tingginya. Kondisi ini tercipta untuk menambah
permukaan dalam kaitannya dengan volume badan, sehingga
akan menyalurkan panas badan keluar. Faktor keragaman
lainnya dapat dipengaruhi oleh nutrisi dan oleh perbedaan
energi yang dibutuhkan (Aiello 1995). Perbedaan bentuk
hidung juga sering dihubungkan dengan temperatur. Hidung
lebar dan pendek cenderung menjadi karakter manusia yang
hidup di lingkungan tropis, sementara hidung panjang dan tipis
dijumpai pada yang mendiami iklim dingin. Hidung panjang
dan tipis dimaksudkan untuk membantu melembabkan udara
kering sebelum mencapai paru-paru (Baker 1995).

11
Lingkungan geografis yang berbeda-beda akan
mempengaruhi corak budaya dari manusia yang mendiaminya.
Lingkungan pesisir akan cenderung mendorong subsistensi
pemanfaatan biota air laut dan rawa untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, sementara lingkungan pedalaman yang
menyediakan berbagai binatang darat akan mendorong
penghuninya untuk melakukan perburuan sebagai subsistensi
utama. Indonesia sebagai daerah tropis memiliki keragaman
lingkungan mulai dari lingkungan yang lembab dengan
vegetasi hutan hujan yang rimbun, atau lingkungan kering
dengan vegetasi terbuka yang ditumbuhi rerumputan, hingga
lingkungan pesisir yang ditumbuhi vegetasi rawa atau hutan
bakau. Ketersediaan berbagai lingkungan vegetasi itu
mendorong pula berbagai jenis hewan untuk mendiaminya dan
biodiversitas ini akan mempengaruhi subsistensi atau budaya
manusia yang menghuninya. Tidak mengherankan jika dalam
suatu wilayah tertentu bisa dijumpai komunitas-komunitas
dengan budaya yang berbeda, walaupun pada awalnya berasal
dari rumpun yang sama.
Contoh semacam ini dapat dilihat pada keragaman
subsistensi masyarakat yang hidup di sepanjang daerah aliran
Sungai Karama di Sulawesi Barat. Dari sudut etnisitas.
masyarakat di daerah ini cukup bervariasi, tetapi memiliki
hubungan dan bahkan keterkaitan keluarga satu sama lain.
Suku Kalumpang yang mirip dengan Suku Toraja menghuni
wilayah hulu sungai, sementara Suku Bugis, Mandar, dll
mendiami wilayah hilir. Pada lingkungan tertentu berbagai
suku tersebut hidup berdampingan dan bercampur satu sama
lain. Hal yang menarik, bahwa komunitas pesisir - apapun
sukunya - lebih mengandalkan pencarian ikan di laut. Pada
bagian lain. ketersediaan lahan yang dapat dialiri sungai
(walaupun sedikit) mendorong komunitas yang hidup di

12
sekitarnya untuk bercocok tanam, sementara ketersediaan lahan
kering dan hutan di sepanjang aliran sungai mendorong
berkembangnya subsistensi perladangan dan perburuan. Di sini
kita dapat melihat secara jelas, bahwa dalam lingkup-lingkup
komunitas yang hidup dalam wilayah yang berdekatan, baik
dari etnisitas yang sama atau pun berlainan, memiliki
subsistensi yang berbeda-beda sebagai adaptasi terhadap
keanekaragaan lingkungan.
Pengaruh luar tentu juga turut andil dalam menciptakan
keagaman biologis dan kultural. Migrasi suatu populasi
tertentu pada wilayah yang telah dihuni oleh populasi lain akan
menciptakan berbagai kemungkinan: populasi asli akan
menerima atau menolak pendatang. Dalam hal yang pertama,
akan timbul proses adaptasi dan interaksi antar-keduanya,
sementara jika menolak ada kemungkinan terjadinya konflik
antar-keduanya. Proses adaptasi dan interaksi yang terjadi akan
membuka peluang bagi perkawinan campur, sehingga
berpotensi menciptakan keragaman biologis. Penerimaan
pendatang baru dapat menjadikan terjadinya perubahan
budaya. Dalam hal ini proses adaptasi dan interaksi yang
terjadi, lambat laun berpeluang menimbulkan keragaman
budaya sejalan dengan intensitas percampuran budaya.

P R A S E J A R A H INDONESIA

Prasejarah secara umum diartikan sebagai sebuah jaman


ketika manusia belum mengenal tulisan4. Berdasarkan
ketentuan ini, maka prasejarah Indonesia meliputi jaman sejak
kemunculan manusia purba. Homo erectus, hingga munculnya
tulisan pada jaman Hindu. Dari data pertanggalan yang

4
Pengertian prasejarah yang lebih lengkap lihat Simanjuntak. Truman dan
Harry Widianto (eds.) dalam Prasejarah Indonesia (in press).
tersedia, jaman ini dimulai sejak awal Plestosen, di sekitar 1,8
juta tahun lalu 5 , hingga di sekitar abad ke- 4/5 M. Ini adalah
sebuah rentang waktu yang sangat panjang yang melingkupi
hampir seluruh masa kehidupan manusia di Indonesia,
sementara jaman sejarah hanyalah mencakup sekitar 1%.
Panjangnya rentang waktu tersebut telah menjadikan
prasejarah Indonesia sarat dengan lembaran kehidupan
manusia, budaya dan lingkungannya.
Keletakan geografisnya yang strategis sebagai jembatan
yang menghubungkan Benua Asia dan Australia serta Pasifik
menjadikan Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari kawasan sekitarnya. Bukti-bukti memperlihatkan bahwa
sejak kehidupan tertua, Indonesia senantiasa terlibat dalam arus
globalisasi dalam pengembaraan manusia (dan hewan) untuk
menemukan lahan hunian baru6. Kondisi ini telah menjadikan
prasejarah Indonesia tidak hanya penting dari sudut
kepentingan nasional, tetapi juga sebagai mata rantai yang
memberikan kontibusi bagi pemahaman prasejarah regional
dan bahkan global.

5
Sejak kapan Homo erectus hadir di Jawa hingga kini belum diketahui
secara pasti. Penanggalan absolut tertua dengan menggunakan metode
40
A r / ' 9 A r dari Penting, Jawa Timur memperlihatkan umur dari 1.81 ±
0.04 juta tahun lalu dan dari Sangiran dengan umur di sekitar 1.66 ± 0.04
juta tahun lalu (Swisher et al. 1994). namun masih dalam perdebatan.
Para ahli umumnya lebih yakin mengatakan, bahwa Homo erectus telah
hadir di Indonesia lebih dari 1.5 juta tahun lalu.
6
Keterkaitan Indonesia dengan kawasan global tampak pada kolonisasi
awal Homo erectus di Nusantara (Jawa) yang mengkait dengan jalur
kedatangannya dari Asia Tenggara Daratan, dan lebih jauh lagi, dari
tanah asalnya di Afrika. Kedatangan Manusia Modern Awal, Manusia
Modern yang lebih kemudian, dan penutur Austronesia di Nusantara pada
masa-masa berikutnya mengkait tidak hanya dengan kedatangannya dari
kawasan Asia Daratan, tetapi juga dengan proses penghunian Australia
dan Pasifik.
14
Tercatat lima peristiwa besar terjadi di Indonesia dalam
rentang prasejarah; kelimanya mengkait dengan kawasan
regional - global. Peristiwa pertama adalah kehadiran manusia
purba pada kala Plestosen Bawah yang mengawali hunian
manusia di Nusantara. Peristiwa ini terjadi dalam konteks
globalisasi "Out of Africa", yakni persebaran manusia purba
dari Afrika menuju Eropa dan Asia, dan yang salah cabangnya
menuju Indonesia (Simanjuntak in press). Peristiwa kedua
adalah kemunculan Manusia Modem Awal (MMA) di sekitar
paruh kedua Plestosen Atas yang juga bagian dari globalisasi
persebaran dari Afrika menuju Eropa dan Asia. Kehadirannya
di Indonesia berperan dalam pengglobalan kawasan Melanesia
Barat dan Australia. Selanjutnya. peristiwa ketiga,
berlatarbelakang pada berakhirnya Jaman es di sekitar awal
Holosen, hingga menimbulkan perubahan di berbagai bidang
kehidupan, tidak terbatas di Indonesia dan kawasan sekitarnya,
tetapi juga dalam lingkup global. Munculnya penutur
Austronesia di sekitar 4.000 tahun lalu sebagai bagian dari
proses pengglobalan kawasan antara Madagaskar di ujung
barat dan Pulau Paskah di ujung timur Mikronesia merupakan
peristiwa keempat. Peristiwa terakhir terjadi pada jaman
protosejarah. beberapa abad menjelang Masehi, yang ditandai
dengan keterlibatan Indonesia dalam interaksi luar seiring
dengan semakin maraknya pelayaran dan perdagangan insular.
regional, dan bahkan global.
Kelima peristiwa besar tersebut di atas telah membawa
perubahan yang signifikan bagi kehidupan manusia dan budaya
di Indonesia. Rangkaian peristiwa tersebut sangat berperan
dalam menumbuhkan dan mengembangkan pluralisme dan
multikulturalisme - topik yang menjadi pokok bahasan orasi
ini.

15
PLURALISME DAN M U L T I K U L T U R A L I S M E DALAM
P R A S E J A R A H INDONESIA

Pemahaman tentang pluralisme dan multikulturalisme


dalam jaman prasejarah pada hakekatnya didasarkan pada data
artefak, ekofak, fitur7, dan lingkungan pengendapannya yang
diperoleh dalam penelitian, baik melalui metode survei
maupun ekskavasi. Kenyataan tidaklah mudah untuk
mengenali sifat pluralisme dan multikulturalisme pada masa
prasejarah mengingat keterbatasan data yang sampai kepada
kita dan panjangnya rentang prasejarah itu sendiri. Hanya
melalui analisis yang cermat terhadap berbagai tinggalan dan
konteksnya, serta melalui perbandingan dengan data
ethnografi, sifat-sifat tersebut dapat diidentifikasi, walaupun
hasil yang diperoleh tentu sangat terbatas, mengingat
keterbatasan data itu sendiri.
Dalam keterbatasan tersebut kita dapat melihat, bahwa
pluralisme dan multikulturalisme sudah ada sejak kehidupan
tertua di Indonesia (Jawa). Pluralisme pada masa itu
ditampakkan oleh temuan fosil-fosil dari lapisan Plestosen
Bawah di Sangiran, yaitu Pithecanthropus dubius (tengkorak
Sangiran lb dan 5), Pithecanthropus robustus (Sangiran 4),
dan Meganthropus paleojavanicus (Sangiran 6). Pada dasarnya
temuan-temuan ini mencirikan Homo erectus kelompok arkaik

7
Artefak adalah benda yang dirubah. dikerjakan untuk alat. atau digunakan
oleh manusia. Ekofak adalah benda-benda bukan buatan manusia, tetapi
memiliki relevansi kultural, misalnya tulang hewan buruan manusia,
cangkang kerang sisa makanan manusia, serbuk sari, dll. Fitur adalah
jejak-jejak kegiatan manusia yang tidak bisa dipindahkan dari tempat
benda itu berada, seperti bekas lubang tiang rumah, jejak kaki manusia di
lumpur, abu dan arang sisa perapian.
atau kekar, namun di antaranya memperlihatkan ciri yang
variatif, seperti Meganthropus paleojavanicus yang,
memperlihatkan rahang yang sangat kekar, jauh melebihi yang
lain. Indikasi variabilitas fisik pada kala Pestosen Bawah
terjadi pula pada kala Plestosen Tengah hingga Plestosen Atas
seiring perkembangan populasi, seperti terlihat pada
konvergensi bagian depan tengkorak, keberadaan torus sus-
orbitaire dan torus angularis (Widianto 1993).
Bagaimana dengan peralatannya? Sepanjang pengamatan
pada penemuan artefak dari beberapa situs memperlihatkan
adanya keragaman di balik kesamaan. Pada umumnya manusia
purba Jawa memiliki peralatan yang terdiri dari alat-alat batu
inti dan alat-alat serpih. Alat-alat tersebut dapat
dikelompokkan dalam kapak perimbas, kapak penetak. kapak
pembelah, bola. alat berfaset, dan alat-alat serpih. Aspek
keragaman menjadi lebih jelas manakala kita berhadapan
dengan himpunan alat dari situs yang belainan. Ada situs yang
menampilkan dominasi bahan dari batuan tertentu, sementara
situs lain menggunakan batuan lain. Di sisi lain ada situs yang
lebih menonjolkan alat-alat serpih, sementara situs lain lebih
memperlihatkan alat-alat batu inti.
Contoh keragaman jenis alat ditemukan di Sangiran, situs
manusia purba di utara Solo. Penemuan tim kerjasama Puslit
Arkenas dan Muséum National d'Histoire Naturelle (MNHN)
Paris pada Formasi Kabuh di Ngebung (barat laut kubah
Sangiran) di sekitar awal tahun 1990, memperlihatkan alat-alat
batu inti dari andesitik yang cukup menonjol di antara alat-alat
serpih berukuran besar (Simanjuntak dan F. Sémah 1996).
Sementara di Dayu (bagian selatan Sangiran), himpunan
artefak dari formasi yang sama umumnya berupa alat-alat
serpih berukuran kecil dari bahan kalsedon, rijang dan jasper
(Widianto et al. 2001). Di sini kita melihat bahwa dalam

17
lingkup suatu situs pun jenis dan bahan alat yang menonjol
dapat berbeda sesuai dengan kondisi lokal. Keragaman
semakin tampak manakala kita berhadapan dengan himpunan
alat-alat di berbagai situs paleolitik yang masing-masing
memiliki kekhasan lokal dalam bahan pembuatan dan jenis alat
(Simanjuntak 2002).
Pluralisme dan multikulturalisme berlanjut pada peristiwa
besar kedua ketika MMA atau Homo sapiens tertua tiba di
Nusantara. Kapan kehadirannya di kepulauan hingga saat ini
masih dipertanyakan. Perlu dicatat bahwa pertanggalan tertua
sejauh ini berasal dari Song Terus, Pacitan di sekitar 45.000
tahun lalu (Sémah et al. 2003). Data ini mestinya jauh lebih tua
jika melihat data kehadiran manusia serupa di Australia dari
c.60.000-50.000 tahun lalu (Roberts et al. 1990) yang
diperkirakan berasal dari Indonesia (Birdsell (1977; Détroit.
2002). Dalam hal ini menarik melihat data fluktuasi muka laut
di Huon Peninsula, PNG yang menunjukkan periode
penurunan muka laut di sekitar 70.000-60.000 tahun lalu
(Chappel & Shackelton 1986) Jika kondisi di Huon juga
meliputi kawasan Asia Tenggara, maka data ini dapat menjadi
pertimbangan dalam menentukan kehadiran MMA di
Indonesia. Dalam hal ini kemungkinan migrasi manusia
modern dari Asia Tenggara Daratan berlangsung di sekitar
60.000 tahun lalu (Simanjuntak 2006). sejalan dengan
penurunan muka laut di kala itu. Kekosongan data
pertanggalan yang lebih tua dari 45.000 tahun lalu diduga
mengkait dengan tenggelamnya situs-situs tertua oleh kenaikan
muka laut.
Menarik pula dipertanyakan apakah Homo erectus sudah
punah ketika manusia anatomi modern (anatomically modern
human) ini muncul di kepulauan. Tidak mudah menjawab
pertanyaan ini mengingat masih terdapatnya kontroversi dalam
pertanggalan. Seperti diketahui, pertanggalan Homo erectus

18
termuda dari Ngandong sangat bervariasi, di antara 101.000
dan 27.000 BP (Bartstra et al. 1988; Swisher et al. 1996).
Berdasarkan data lingkungan. Storm (1998), mempertanggal
situs Ngandong di antara 100.000 dan 80.000 tahun lalu. Jika
pertanggalan ini dapat dibenarkan, maka ada kemungkinan
kevakuman penghunian di antara kepunahan Homo erectus dan
kemunculan Homo sapiens8. Konsekwensi dari kevakuman
tersebut, tidak ada percampuran antara budaya erectus dan
sapiens. Budaya yang dikembangkan MMA mumi sebagai
pewarisan dari tanah asal dan hasil adaptasi lingkungan.
Dalam kaitan ini menarik mengemukakan hasil penelitian
terbaru dari Situs Song Terus, Gunung Sewu. Ekskavasi yang
berlangsung sejak tahun 1994 hingga sekarang di gua ini. oleh
tim kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan
Museum National d'Histoire Naturelle, telah berhasil
menyusun kronologi hunian mulai c. 300.000 hingga c. 4.000
BP. Dalam kurun tersebut terdapat tiga tahapan pokok
perkembangan budaya, yakni:
1. Lapisan paling bawah yang dikenal dengan Lapisan Terus,
bertarikh antara 300.000 dan 70.000 tahun lalu (Sebastien
2004; Xavier 2004). Pada periode ini manusia hidup
mengembara di sekitar sungai yang dulu mengalir di bawah
Song Terus dan meninggalkan alat-alat serpih yang
sebagian telah aus tergerus arus sungai dan yang lainnya
tergolong segar. Beberapa kapak penetak ditemukan di
antara alat-alat serpih (Sémah et al. 2003). Siapa manusia

Prof. T. Jacob (komunikasi pribadi) memperkirakan kemungkinan masih


ada migrasi manusia purba dari Asia Daratan ke Indonesia setelah
manusia Ngandong. Manusia ini dapat saja melakukan kawin campur
dengan M M A yang datang kemudian hingga menyebabkan percampuran
genetika.

19
penghuni tepi sungai ini belum diketahui, mengingat
fosilnya belum ditemukan, tetapi dari pertanggalannya,
besar kemungkinan Homo erectus.
1. Di atas lapisan Terus terdapat lapisan okupasi (disebut
Lapisan Tabuhan) yang berasal dari sekitar 60.000 dan
12.000 tahun lalu, dengan penemuan artefak tertua dari
lapisan berumur c.45.000 BP. Manusia pendukung budaya
ini diperkirakan MMA. Menarik bahwa himpunan artefak
pada lapisan ini cenderung alat-alat serpih yang berbeda
dari di bawahnya, yakni berupa alat-alat yang tergolong
lebih kasar dengan pangkasan terbatas dan tidak terpolakan
(atypical), bercampur dengan alat-alat serpih yang mulai
diretus secara teratur.
2. Lapisan di atasnya merupakan puncak hunian gua.
berlangsung di sekitar awal Holosen hingga sekitar 4.000
BP. Budaya pada periode yang disebut Lapisan Keplek ini
merupakan perkembangan lanjut dari budaya Tabuhan
dengan pengembangan teknik-teknik peretusan hingga
menciptakan variasi tipologi yang kaya.
Signifikasi dari data ini. bahwa himpunan artefak litik dari
Lapisan Terus sangat berbeda dengan himpunan artefak
Lapisan Tabuhan, sementara himpunan artefak litik Lapisan
Keplek merupakan lanjutan dari Lapisan Tabuhan
(keberlanjutan dan pengembangan alat-alat serpih yang
diretus). Kekosongan data di antara Lapisan Terus dan Lapisan
Tabuhan di antara 70.000 dan 45.000 tahun lalu mengarah pada
pembenaran asumsi di atas.
Aspek multikuturalisme yang paling menonjol pada
kehidupan MMA adalah pada peralatan litik dengan variasi
bahan dan jenis alat. Seperti diuraikan di atas, himpunan
artefak litik dari gua-gua di wilayah Gunung Sewu. khususnya
Gua Braholo. Song Keplek. dan Song Terus, terdiri dari

20
kelompok alat yang kasar (alat batu inti dan serpih) dengan
pemangkasan yang sederhana dan tidak terpolakan. Alat-alat
serpih dengan ukuran yang lebih kecil dan telah dibentuk
dengan teknik peretusan sudah muncul tetapi masih jarang.
Selain menggunakan bahan kersikan (chert, kalsedon. di)
sebagian alat dibuat dari batu gamping. Hal yang berbeda
dijumpai pada himpunan artefak litik dari Leang Burung 2,
Sulawesi Selatan yang pada umumnya merupakan alat-alat
serpih. Dari sudut morfo-teknologi alat-alat ini tidak
mengalami perubahan yang signifikan hingga kala Holosen
(Glover 1981). Himpunan artefak litik di Leang Lemdubu.
Kepulauan Aru dengan petanggalan tertua 28.000 B P juga
dicirikan alat-alat serpih dari chert yang sebagian besar tidak
diretus (Hiscock 2005). Secara umum. morfologi dan teknologi
alat-alat ini memiliki kesamaan dengan himpunan alat-alat dari
situs Plestosen Akhir di Australia Utara (Veth et al. 1998). Di
Gua Golo (34.000 BP) himpunan artefak litik dicirikan oleh
alat-alat serpih dan serpih-serpih buangan yang terbuat dari
batuan volkanik. metamorf. dan rijang (Bellwood et al. 1998).
Manusia Modern Awal hidup dari berburu dan meramu,
subsistensi yang sama dengan manusia pendahulunya (Homo -.,
erectus), namun kesamaan ini tidak harus dipandang sebagai
sebuah pewarisan langsung, tetapi lebih tepat sebagai sebuah
proses adaptasi terhadap lingkungan, sesuai dengan tingkat
kemampuan teknologi yang dimiliki. Perlu dicatat bahwa
faktor kesamaan budaya dari spesies yang berbeda dapat terjadi
dalam hunian prasejarah. Sebagai misal, di wilayah Timur
Dekat, tepatnya di wilayah sekitar Israel sekarang, para ahli
menemukan dua situs yang berdekatan satu sama lain. Gua
Skhul dihuni oleh Homo sapiens arkaik bertarikh sekitar
100.000 tahu lalu, sementara Situs Gua Tabun, beberapa puluh
meter di dekat Skhul. dihuni oleh Neandertal bertarikh antara

21

4
200.000 - 45.000 BP (Olson 2004). Penemuan membuktikan
masing-masing komunitas yang berbeda secara biologis ini
memiliki subsistensi yang sama (berburu) sebagai proses
adaptasi lokal. Masing-masing juga berperilaku hampir sama:
mereka membuat alat-alat serupa dari batu, berburu binatang
yang sama, mengubur mayat, dll. Di sini hendak dikatakan,
bahwa faktor lingkungan cenderung lebih berperan dalam
pembentukan karakter budaya dibandingkan faktor biologis.
Kembali ke subsistensi, patut dicatat bahwa di dalam
kesamaan cenderung terdapat perbedaan-perbedaan yang
menimbulkan keragaman. Sejauh data yang diperoleh, manusia
penghuni wilayah Gunung Sewu banyak memburu binatang-
binatang besar yang terdiri dari kelompok bovidae, cervidae,
bahkan rhinoceros dan elephantidae. Kecenderungan ini
dipengaruhi oleh ketersediaannya di dalam lingkungan. Di
Leang Lemdubu perburuan lebih ditujukan pada hewan
berkantung yang hidup di sekitarnya seperti kangguru raksasa
Protemnodon, Geloina coaxans, dan wallaby (Spriggs 1998).
sementara di Gua Golo selain perburuan binatang berkantong,
seperi kuskus (phalanger) dan wallaby), ada bukti-bukti
pemanfaatan biota laut. terutama ikan (Bellwood 1998). Hal
yang agak berbeda terdapat di Gua Toe. Kepala Burung. Papua
dengan binatang buruan yang bervariasi, mulai dari yang
berukuran kecil hingga menengah, seperti wallabi hutan kecil
(Dorcopsulus spp), kuskus (Phalanger spp), Spiloeuscus spp,
Possum yang lebih kecil (Pseudocheirops spp. Dactylopsila
spp.). Kanguru pohon (Dendrolagus spp) dan Echidnas
(Zaglossus bruijnii) merupakan hewan buruan secara okasional
(Pasveer 2003).
Awal Holosen merupakan momentum penting dalam
perkembangan budaya prasejarah sebagai dampak dari
berakhirnya jaman es. Pada masa yang oleh para ahli
disepakati

22
secara umum di sekitar 11.800 BP ini 4 , terjadi perubahan iklim
global dengan kenaikan temperatur. Akibatnya gumpalan-
gumpalan es di kutub dan di puncak-puncak gunung menjadi
cair hingga menaikkan muka laut. Kondisi ini berdampak pada
perubahan paleogeografi yang signifikan: Sebagian Paparan
Sunda yang terbentuk di kala penurunan muka laut (glasial)
tenggelam dan berubah menjadi pulau Sumatra, Jawa, dan
Kalimantan, sementara di kawasan timur. Paparan Sahul
berubah menjadi Australia. Papua Niguini. dan Tasmania. Di
antara kedua paparan ini terdapat zona Wallacea berupa
gugusan kepulauan yang selalu terpisah oleh air laut.
Fenomena alam ini telah membawa implikasi yang luas dan
tali-temali satu sama lain. Kenaikan muka laut telah menambah
panjang garis pantai yang sangat signifikan dan tentu semakin
memperkaya sumberdaya pesisir (Simanjuntak 1997). Di sisi
lain terjadi perubahan dari lingkungan pedalaman menjadi
pesisir.
Lebih jauh. kenaikan muka laut telah menimbulkan
perpindahan manusia (dan hewan) untuk mencari lahan hunian
baru. lahan yang sebelumnya merupakan tempat-tempat
ketinggian. Diaspora yang terjadi telah memperluas wilayah
sebaran manusia hingga menjangkau kawasan-kawasan yang
sebelumnya belum terjamah. Tidak mengherankan jika situs-
situs dari periode ini banyak dijumpai mulai dari wilayah
pesisir hingga pedalaman. Penghuni kepulauan pada periode
ini merupakan Manusia Modem yang lebih Kemudian (MMK)
yang merupakan evolusi lanjut dari MM A. Namun tidak

Para ahli sepakat menetapkan batas Plestosen-Holosen di sekitar 11.800


BP (De Lumley 1976). namun data oseanografi di Indonesia
menunjukkan kenaikan muka laut yang signifikan terjadi berturut-turut
di sekitar 14.000 BP, 11.500 BP. dan 8.000 BP (Oppenheimer 1999).

23
tertutup kemungkinan kehadiran populasi baru, seperti
ditampakkan oleh keberadaan situs-situs Hoabinhian di
sepanjang pesisir timur Sumatra - Aceh. Dalam hal ini besar
kemungkinan terjadinya asimilasi dan kawin campur. Sejauh
mana proses interaksi dan adaptasi belum dapat dijelaskan
secara rinci, namun suatu hal yang lebih pasti bahwa penemuan
dari situs Hoabinhian dan situs-situs gua di di Flores, Jawa.
bahkan Malaysia memperlihatkan MMK ini tergolong ras
Australomelanesid (Jacob 1976; 2006). Studi yang dilakukan
terhadap sisa manusia dari periode ini (Detroit 2002; 2006)
memperlihatkan keanekaragaman biologis yang tinggi, seperti
tampak pada morfologi dan morfo-metrik cranio-dental sisa
manusianya.
Berakhirnya jaman es telah menciptakan efek yang saling
mengkait satu sama lain. Iklim tropis dengan curah hujan yang
cukup tinggi setiap tahun telah menjadikan kelembaban yang
tinggi pula, hingga mendorong terbentuknya hutan hujan yang
ditumbuhi berbagai vegetasi. Keanekaragaman vegetasi ini
berpeluang mengundang berbagai jenis fauna untuk
mendiaminya. Manusia berupaya memanfaatkan keberagaman
sumberdaya itu dengan memilih daerah transisi atau hutan
musiman (decidous forest) sebagai wilayah hunian.
Ketersediaan berbagai bahan makanan dengan kestabilan iklim
barangkali berperan dalam pertumbuhan populasi. Penemuan
jumlah situs yang jauh melebihi masa sebelumnya dengan
tinggalan yang sangat padat dan bervariasi menguatkan
perkiraan ini. Di sini kita melihat bahwa perisiwa kenaikan
muka laut di akhir jaman es bukanlah bencana bagi kehidupan
manusia di Nusantara, tetapi sebaliknya justru memberikan
dampak bagi perkembangan populasi dan budaya yang
signifikan. Keterisolasian dan keterbatasan hubungan antar-
pulau tidak menjadikan stagnasi budaya, tetapi sebaliknya.

24
justru mendorong pertumbuhan dan perkembangan budaya
dengan kekhasan-kekhasan setempat sebagai hasil adaptasi
terhadap lingkungan yang berbeda-beda.
Kemajemukan yang paling menonjol terlihat di bidang
peralatan dengan kekhasan setempat pada alat-alat serpih yang
dihasilkan. Kelompok hunian gua karst di bagian timur Jawa"
menampilkan mata panah yang khas dengan dasar yang
cembung, berbeda dengan kelompok hunian gua karst di
Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan yang menghasilkan mata
panah dengan dasar cekung dan dengan kedua sisi diretus
bergerigi (lancipan Maros). Di Manikin, Timor Barat, alat-alat
serpih dicirikan oleh teknik retus bersap (retus sisik ikan)
(Simanjuntak 2001 a), sedangkan di Timor Timur menonjolkan
lancipan bertangkai (Glover 1973). Selain alat serpih yang
secara umum mencirikan periode ini, pada kelompok hunian
gua karst di bagian timur Jawa menampilkan alat-alat tulang
yang eksklusif, baik dilihat dari jumlahnya maupun jenis-
jenisnya. Menarik juga dikemukakan. bahwa di Gua Braholo
yang terletak di bagian barat Gunung Sewu. dihasilkan alat
yang khas berupa alat-alat tulang berukuran kecil dalam bentuk
lancipan ganda (Simanjuntak 2001c). Di luar wilayah Gunung
Sewu alat sejenis ini dijumpai pada gua-gua di Sulawesi
Selatan yang dikenal sebagai lancipan Muduk (Hekeren 1972).
namun ukurannya lebih besar dan teknik pembuatannya lebih
kasar. Alat lancipan ganda dengan ukuran yang lebih besar
juga dilaporkan di Song Gentong. Tulungagung (Marliac dan
Simanjuntak 1998) dan Gua Babi di Kalimantan Selatan
(Widianto et al. 1997), tetapi tidak semenonjol di Sulawesi
Selatan.

" Di bagian timur Jawa ditemukan tujuh kelompok hunian gua-gua karst.
yakni (dari barat ke timur) Gunung Sewu. Sampung, Tulungagung.
Bojonegoro, Tuban. Puger (Jember) dan Situbondo (Simanjuntak 2004).

25
Subsistensi atau sistem mata pencaharian juga
menampakkan keanekaragaman. Seperti pada masa
sebelumnya, perburuan hewan sebagai subsistensi yang paling
umum memperlihatkan kekhasan dalam jenis-jenis hewan
buruan. Di wilayah Gunung Sewu, Macaca sp. menjadi hewan
buruan yang paling dominan di antara berbagai hewan lainnya
(Simanjuntak 2002), sementara di gua-gua hunian di wilayah
Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan, selain pemanfaatan
kerang-kerangan, tampak pula perburuan hewan darat, seperti
Sus celebensis, dll (Heekeren 1972). Lain lagi di Gua Kria dan
Toé di Kepala Burung (Papua), hewan buruan yang paling
menonjol adalah wallaby (Dorcopsis mueleri) yang oleh
penduduk disebut "Djief (Pasveer 2003).
Subsistensi yang khas ditampakkan oleh situs-situs
Hoabinhian di sepanjang pesisir timur Sumatra Utara - Aceh,
berupa pemanfaatan biota laut, khususnya kerang-kerangan
dari jenis Meretrix meretrix (Heekeren 1972). Diduga manusia
penghuninya yang tergolong ras Australomelanesid sudah
menempati rumah-rumah bertiang di tepi pantai dengan
makanan pokok berupa kerang-kerangan. Cangkang kerang
yang menjadi konsumsi utama selama hunian akhirnya
menumpuk hingga membentuk bukit-bukit kerang bercampur
dengan sisa peralatan dan sisa manusia (Soejono 1984).
Kerang-kerangan juga tampaknya merupakan subsistensi
pokok di pulau-pulau Indonesia Timur, seperti tampak pada
tinggalan cangkang-cangkang kerang yang menonjol dalam
lapisan okupasi gua-gua (Tanudirjo 2001).
Kemunculan penutur Austronesia di sekitar milenium ke-
4 tahun yang lalu dengan budayanya yang inovatif semakin
menyuburkan multikulturalisme di Indonesia. Dalam
perspekstif biologis, para penutur Austronesia ini berkaitan erat
dengan ras Mongolid. yang dalam sebarannya di Asia

26
Tenggara kepulauan - termasuk Indonesia - disebut sebagai
Mongolid Selatan. Darimana kedatangannya hingga sekarang
masih dalam perdebatan hangat (Bellwood 2000; Oppenheimer
1999; Solheim 1996; Meacham 1984-1985). Kemunculannya
pada wilayah-wilayah yang sebelumnya telah dihuni oleh ras
yang berbeda (Astralomelanesid) memungkinkan terjadinya
interaksi dan saling adaptasi antar-keduanya. Penemuan
budaya neolitik (pecahan-pecahan tembikar dan beliung
persegi) bercampur dengan preneolitik (alat-alat serpih, alat-
alat tulang, dan sisa hewan buruan) di Gua Braholo dan Song
Keplek (Simanjuntak 2001 b), serta tembikar yang bercampur
dengan mata panah berberigi dan alat-alat serpih budaya Maros
di Sulawesi Selatan (Bulbeck et al. 2001) menguatkan dugaan
tersebut. Dalam hal ini penutur Austronesia pada awalnya
berupaya menyesuaikan diri pada budaya asli dengan
menghuni gua-gua dan mengadaptasikan diri pada peralatan
teknologi penghuni asli. Di sisi lain populasi asli berupaya
menyerap budaya pendatang hingga menyebabkan terjadinya
percampuran budaya.
Proses adaptasi dan interaksi yang terjadi antar-kedua
populasi yang berbeda tentunya membuka peluang pada
perkawinan campur hingga menciptakan keragaman genetika.
Sejauh mana intensitas percampuran biologis antar keduanya
belum dapat dijelaskan secara rinci. Keterbatasan penemuan
sisa manusia dari situs-situs neolitik di Indonesia menyulitkan
kita untuk mendapatkan gambaran tentang pluralisme biologis
di kala itu. Dalam kaitan ini menarik melihat keberadaan ras
Australomelanesid di situs paleometalik dari masa protosejarah
di Anyer, Jawa Barat (Jacob 1964). Penemuan ini
membuktikan ras Australomelanesid masih terus bertahan
hingga menjelang abad Masehi, walaupun penutur Austronesia
sudah mendiami sebagian besar wilayah kepulauan sejak

27
beberapa ribu tahun sebelumnya. Di sisi lain penemuan dari
situs Melolo, Sumba dengan sisa manusia yang mencirikan
campuran Paleomelanesid/ Negroid dan Mongolid (Snell 1948)
memperlihatkan adanya kawin campur di antar kedua ras. Di
sini kita melihat adanya kehidupan yang berdampingan antara
populasi asli dengan penutur Austronesia secara berkelanjutan.
Proses adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi dengan
populasi asli di atas lambat laun menciptakan komunitas-
komunitas lokal dengan kekhasan budaya masing-masing.
Komunitas inilah yang dalam perkembangan lanjut membentuk
etnisitas dengan keragaman budaya seperti yang kita lihat
sekarang. Salah satu keragaman budaya yang paling menonjol
tampak pada bahasa yang merupakan perkembangan lanjut dari
bahasa awal: bahasa Austronesia 12 . Disini hendak dikatakan
bahwa kemunculan penutur Austronesia dan budayanya di
kepulauan Nusantara merupakan ethnogenesis bangsa
Indonesia dan sekaligus sebagai peletak dasar budaya bangsa
Indonesia. Keragaman itu telah menciptakan sebuah mozaik
dalam tampilan fisik manusia dan budayanya. Keragaman
dalam kesamaan inilah yang kita kenal dengan semboyan
bangsa kita: Bhinneka Tanggal Ika.
Multikultural dan pluralisme biologis terus berlanjut pada
fajar sejarah (protosejarah), beberapa abad menjelang Masehi,
seiring dengan semakin maraknya perdagangan regional dan
global. Bukti-bukti arkeologis dan tulisan-tulisan asing
memperlihatkan sejak abad ke-2 SM, kepulauan Nusantara
telah terlibat dengan perdagangan dengan dunia luar.
khususnya Asia Tenggara daratan, Cina, India, dan Eropa

12
Dalam perkembangan internalnya, oleh keterbatasan-keterbatasan
komunikasi, dll., komunitas-komunitas lokal lambat laun
mengembangkan bahasa dan kebiasaan setempat hingga kemudian
menciptakan dialek dan sub-sub etnik.
28
(Tanudirjo 2005b; Ardika 2005; lihat juga Haraprasad Ray
1995). Maraknya perdagangan global di kala itu berlatar
belakang pada semakin meningkatnya kebutuhan barang-
barang eksotik dari timur yang memiliki nilai-nilai prestise di
kalangan para elit di daerah Mediterránea. India dan Cina
(Glover 1990). Di Nusantara bukti-bukti yang paling menonjol
di bidang perdagangan dengan Asia Tenggara adalah
masuknya pengaruh budaya Dongson dengan benda-benda
perunggunya. Diperkirakan benda-benda perunggu yang
berasal dari Dongson. Vietnam Utara ini telah diperdagangkan
di wilayah luas di Nusantara, mulai dari Sumatra. Jawa hingga
Maluku, bahkan Papua. Luasnya kawasan perdagangan ini
diduga mengkait dengan keberadaan penutur Austronesia di
Vietnam yang semula berasal dari Kalimantan atau
Semenanjung Malaka (Bellwood 2000). Menurut Tanudirjo
(2005a). mereka inilah yang menjadi ujung tombak dalam
menjalin hubungan dengan budaya di kawasan tersebut dan
melalui jalinan hubungan tersebut benda-benda logam dan
teknologi pembuatannya dapat diperkenalkan secara luas di
Indonesia.
Terjalinnya hubungan regional-global juga mengkait
dengan kondisi kehidupan masyarakat Austronesia Nusantara
yang semakin kompleks di kala itu. hingga mampu merespons
pengaruh luar. Kompleksitas masyarakat tampak pada
kehidupan ekonomi yang semakin mapan hingga mampu
mempertukarkan benda-benda eksotis dari luar dengan
komoditi nusantara, yang antara lain berupa logam mulia,
perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan, kemenyan,
kapur barus. rempah-rempah dan kayu cendana. Penguasaan
teknologi pelayaran oleh masyarakat penutur Austronesia
memudahkan hubungan antar-pulau dan hubungan regional
(Tanudirjo 2005a). Dalam hal ini penduduk Austronesia

29
Nusantara tidak hanya sebagai pihak yang menerima pengaruh
luar, tetapi juga terlibat aktif dalam aktivitas perdagangan
regional-global, bahkan turut menyerap teknologi baru -
teknologi metallurgi. Kondisi ini telah mendorong tumbuhnya
kelompok-kelompok undagi yang memproduk benda-benda
perunggu dengan ciri-ciri lokal 1 .
Kompleksitas masyarakat juga tampak di bidang sosial.
Komunitas-komunitas yang menghuni berbagai pelosok
Nusantara diperkirakan telah dipimpin oleh orang yang paling
berpengaruh di lingkungan setempat di kala itu. Di dalam
masyarakat telah tercipta berbagai kelompok profesi, seperti
pedagang, pelaut yang langsung berhubungan dengan dunia
luar. undagi, dan masyarakat umum yang hidup dari berbagai
mata pencaharian. Penemuan kubur tanpa wadah yang sering
bercampur dengan kubur tempayan (Anyar. Plawangan.
Melolo. dll), kubur sarkofagus (Besuki. Gilimanuk, dll), atau
kubur berlukis (Pasemah) dan jenis-jenis bekal kubur yang
disertakan (benda-benda perunggu dan benda eksotis lainnya)
membuktikan adanya perbedaan perlakuan terhadap si mati
sesuai dengan status sosialnya di masyarakat.
Interaksi yang terjadi antara pendatang dengan populasi
asli di kala itu memungkinkan terjadinya perkawinan campur,
sementara maraknya perdagangan insuler, regional, dan global
telah menimbulkan terciptanya pertukaran barang dan jasa
dalam konteks yang luas. Kompleksitas kehidupan masyarakat
dan kompleksitas interaksi dengan dunia luar di kala itu
semakin menciptakan kompleksitas budaya. Respons yang

Keberadaan aktivitas undagi lokal dapat dilihat pada penemuan


beberapa cetakan (mould) untuk membuat benda perunggu, baik dari
bahan tanah liat ataupun batu padas di Bandung (West Java), Pejaten
(Jakarta) dan Manuaba (Bali) (Ardika 2005).

30
berbeda-beda terhadap masuknya pengaruh luar. di samping
proses adaptasi dari komunitas-komunitas yang bervariasi
terhadap lingkungan setempat semakin berpeluang untuk
menciptakan pluralisme dan multikulturalisme.
Kondisi semacam ini cenderung meningkat pada masa-
masa kemudian (jaman sejarah) seiring dengan kemajuan-
kemajuan di bidang teknologi transportasi, komunikasi, dan
informasi. Kuatnya arus globalisasi di satu sisi telah
mempengaruhi budaya-budaya lokal hingga cenderung
menciptakan budaya global dengan sifat-sifat budaya yang
mempengaruhi terlihat lebih menonjol. Namun di balik sifat
global itu. tersembul karakter-karakter lokal yang tidak bisa
dihindari sebagai upaya untuk menonjolkan kekhasan atau jati
diri lokal pada budaya yang diserap (Tanudirjo 2001; 2006).
Salah satu contoh pemberian karakter budaya asli pada budaya
luar adalah penerapan konsep megalitik (punden berundak)
pada bangunan percandian dengan fungsinya sebagai tempat
pemujaan arwah leluhur yang diperdewa (Soekmono 2005).
Disini hendak dikatakan bahwa globalisasi di satu sisi
menciptakan universalisme budaya, tetapi di sisi lain
menciptakan keragaman-keragaman melalui pemberian ciri-ciri
lokal kepada budaya yang diserap.

PERENUNGAN

Pluralisme dan multikulturalisme merupakan sebuah


keniscayaan, sesuatu yang memang harus ada. sesuatu yang
tidak terbantahkan. Berbagai faktor yang menciptakannya
sangatlah kompleks dan tali temali, sehingga menjadi sesuatu
yang tidak dapat dihindari. Secara jujur sulit kita bayangkan
bagaimana dan apa yang terjadi jika pluralisme tidak ada.

31
sementara yang timbul hanyalah homogenitas dalam segala
hal. Barangkali hidup akan mengalami beribu-ribu kesulitan
dan kerumitan yang sangat membingungkan. Bayangkan
kesamaan dalam fisik, karakter, keinginan, dan lain sebagainya
pada setiap manusia akan menghilangkan jati diri individu atau
kelompok dan menimbulkan akibat yang sulit dibayangkan.
Tetapi hal ini tidak mungkin, selagi semua yang ada di dunia
senantiasa bergerak dalam arus perubahan. Siklus siang dan
malam, panas dan dingin, hujan dan kemarau, tumbuh dan mati
yang terus berputar akan senantiasa membawa perubahan bagi
geografi, lingkungan, dan seluruh sisi kehidupan. Siklus ini
pula yang mempengaruhi kehidupan setiap makhluk sehingga
respons yang berbeda-beda akan mengkibatkan keragaman-
keragaman yang tidak terelakkan di berbagai segi kehidupan.
Pertanyaan yang timbul: apa yang menjadi makna
keniscayaan itu? Pertama, pluralisme dan multikulturalisme
merupakan sifat yang melekat dalam keindonesiaan10, sejak
keberadaannya hingga sekarang. Kita disadarkan bahwa
kemajemukan bukanlah sifat yang timbul seketika, tetapi telah
memiliki akar yang jauh menancap ke masa silam. Kedua,
pluralisme dan multikulturalisme prasejarah memiliki nilai-
nilai yang sangat penting dan strategis sebagai peletak dasar
bagi pluralisme dan multikulturalisme masa sekarang dan masa
datang.
Evolusi setempat dan pengaruh luar mendasari
tumbuhnya pluralisme dan multikulturalisme pada jaman
prasejarah. Menyangkut evolusi setempat, kondisi lingkungan
yang beranekaragam telah menciptakan keanekaragaman

10
Pengertian keindonesiaan dalam konteks ini tidak terbatas pada konotasi
kebangsaan yang muiai muncul sejak gerakan-gerakan memperjuangkan
kemerdekaan hingga sekarang, tetapi mengacu pada lingkup geografi
Nusantara semenjak penghunian manusia purba hingga sekarang.

32
budaya sebagai hasil proses adaptasi. Dalam hal pluralisme kita
sudah melihatnya pada setiap peristiwa besar yang terjadi di
Nusantara, sejak kedatangan manusia purba, MM A. MMK.
hingga penutur Austronesia. Jika pada periode tertua
pluralisme lebih bersifat pewarisan, pada masa kemudian
terjadi pengayaan melalui perkawinan antar-populasi yang
berbeda, seperti misalnya antara ras Australomelanesid dan
Mongolid di sekitar pertengahan Holosen. Kita juga sudah
melihat multikulturalisme prasejarah, khususnya di bidang
peralatan dan subsistensi. Peristiwa-peristiwa kultural berupa
kedatangan populasi baru ke kepulauan dan peristiwa natural
berupa kenaikan muka laut yang mengakibatkan diaspora
manusia ke wilayah yang luas, semakin memperkaya
kemajemukan budaya melalui sikap penerimaan yang berbeda-
beda terhadap pengaruh luar.
Suatu hal yang perlu ditekankan bahwa semakin
kompleks kehidupan manusia akan semakin membuka peluang
bagi peningkatan kemajemukan. Populasi dengan aktivitas
yang semakin beragam akan mendorong meningkatnya
jaringan interaksi dan selanjutnya akan berpeluang
menciptakan variabilitas-variabilitas budaya. Kemajemukan
cenderung berkembang dari kondisi yang sederhana pada
kehidupan tertua menjadi semakin kompleks pada masa-masa
sesudahnya. Pada masa sekarang pluralisme dan
multikulturalisme telah mengalami banyak perkembangan
dibandingkan dengan masa prasejarah. Kondisi ini. selain
karena dipicu oleh perkembangan teknologi transportasi,
komunikasi, dan informasi yang memungkinkan terjadinya
interaksi-interaksi individu, kelompok, atau masyarakat di
berbagai bagian dunia, juga karena semakin terbukanya
peluang untuk perkawinan campur antar-ras atau etnisitas yang

33
berbeda, hingga menyebabkan semakin tumbuhnya variasi-
variasi genetika dalam lingkup global.
Salah satu di antara multikulturalisme yang paling
menonjol pada masa sekarang adalah di bidang bahasa - unsur
budaya yang masih samar pada kehidupan Homo erectus dan
MM A dan yang sudah jelas berkembang sejak kehadiran
penutur Austronesia hingga sekarang. Dalam hal ini menarik
melihat perkembangan bahasa Austronesia yang sejak
kemunculannya di sekitar 4.000 tahun lalu di Nusantara, pada
masa sekarang telah menjadi ratusan bahasa. Kemajemukan
bahasa ini tentu mengkait erat dengan berbagai unsur budaya
lainnya hingga menciptakan keragaman etnisitas seperti yang
kita jumpai pada masyarakat Indonesia sekarang.
Sungguh memilukan melihat nilai-nilai pluralisme dan
multikulturalisme yang telah bertumbuh sejak awal kehidupan
di Nusantara, pada masa sekarang seolah-olah tidak pernah
ada, sementara eksklusivitas kelompok semakin menonjol.
Rasa persaudaraan dan sifat kebersamaan semakin hilang,
hingga memandang kelompok lain sebagai musuh yang harus
dienyahkan. Konflik-konflik yang menafikan kemajemukan
dengan berbagai latar belakang bermunculan dimana-mana dan
telah memakan korban jiwa dan harta yang tidak ternilai.
Bangsa ini mengalami degradasi berat dengan
mempertontonkan episode yang ingin tercabut dari akar
sejarahnya. Ketidaktahuan atau kesengajaan? Entah apa pun
penyebabnya, konflik-konflik sosial itu tidak seharusnya
terjadi, jika kita memahami fondasi keindonesiaan kita. Sifat
ingin menang sendiri tidak seharusnya terjadi jika kita
memahami betul azas persaudaraan yang hakiki yang
melandasi kehidupan masa kini. Azas persaudaraan dan
kemajemukan tersebut seharusnya selalu mendasari kehidupan
berbangsa sekarang dan masa datang, sebagaimana terpatri

34
dalam falsafah negara. Dengan demikian tidak ada alasan
untuk menonjolkan kepentingan kelompok atau golongan,
tetapi seharusnya menonjolkan kebersamaan dan sinergi. Tidak
seharusnya bangsa sekarang memutus mata rantai budaya yang
menjadi akar budaya sekarang, karena akan membuat bangsa
ini tercampak dari landasannya dan terombang-ambing dalam
ketidakpastian.
Pluralisme dan multikulturalisme yang kita miliki telah
menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia
dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarah.
Kemajemukan itu telah memperkaya kehidupan dan budaya
kita. sehingga merupakan sebuah kearifan yang seharusnya
semakin dikembangkan. Upaya untuk menghilangkannya akan
sia-sia. karena kemajemukan adalah sifat yang senantiasa
berkembang seiring dengan perkembangan jaman.
Inilah hakekat pentingnya belajar prasejarah, yakni untuk
memahami latar belakang keberadaan kita pada masa sekarang
dan memberi arah dan nilai pada kehidupan di masa depan.
Prasejarah mengajarkan kepada kita akan kebesaran masa
lampau manusia Indonesia. Rentang prasejarah yang demikian
panjang tentu telah menjalin untaian kehidupan yang
kompleks, sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan.
Sebagian besar nilai-nilai itu masih terpendam di bawah air. di
bawah tanah, dan pada gugusan pulau Nusantara.
Dalam kaitan ini pertanyaan yang muncul: bagaimana
perspektif pengembangan prasejarah ke depan? Kompleksitas
kehidupan prasejarah di satu sisi dan keterbatasan data di sisi
lain merupakan faktor-faktor kesulitan dan tantangan besar
dalam penelitian. Oleh sebab itu penelitian prasejarah
menuntut konsepsi yang matang, tematik, lintas-disiplin. dan
berkesinambungan. Kompleksitas permasalahan menuntut
perlunya mengelaborasi metode dan teknik pengumpulan data

35
dan analisis secara berkala dengan memanfaatkan produk-
produk teknologi yang tersedia. Prasejarah yang tidak
mengenal batas-batas geo-politik (borderless) memerlukan
penelitian kerjasama internasional untuk dapat merunut asal-
usul, pertalian biologis dan budaya masa lampau secara
kontekstual dalam kawasan yang luas. Hanya bangsa yang mau
belajar dari masa lampaunya lebih berpeluang menjadi bangsa
yang besar dan beradab, karena senantiasa ditopang dan berdiri
di atas nilai-nilai luhur yang telah berakar jauh ke masa silam -
masa prasejarah.

UCAPAN T E R I M A K A S I H

Mengakhiri orasi ini perkenankanlah saya


menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak
yang telah menghantarkan perjalanan panjang saya menjadi
peneliti, hingga pada hari ini mendapat pengukuhan sebagai
Professor Riset. Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak
Ketua LIPI. Majelis Professor Riset, serta Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional yang telah
memungkinkan saya menyampaikan orasi pengukuhan ini.
Terima kasih saya haturkan kepada para mantan guru
saya ketika menimba ilmu di perguruan tinggi. Ajaran yang
saya terima telah membekali saya untuk dapat menerjunkan
diri di ranah penelitian, profesi yang tidak mudah karena
menuntut kesungguhan dan kecintaan yang besar: profesi yang
seyogyanya dilandasi oleh keingintahuan yang besar; profesi
yang jauh dari kemewahan atau kenikmatan dan yang selalu
bergayut dengan panas, hujan, dan debu; profesi yang
membutuhkan kecintaan pada pedesaan dengan penduduk yang

36
naif dan ramah; profesi yang bergayut dengan gunung-gunung,
padang. huma. dan lautan.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan-
rekan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional dan rekan-rekan peneliti di berbagai institusi di dalam
dan luar negeri. Sering tidak saya sadari, bahwa kerjasama
yang kita rajut selama ini telah turut memperluas cakrawala
berpikir dan mewarnai karakter penelitian saya.
Terakhir ucapan terima kasih saya sampaikan kepada
keluarga besar saya, baik yang di Sumatra maupun yang di
Jawa, atas dukungan yang diberikan di sepanjang karir saya.
Mendiang ayah saya yang senantiasa mengajarkan pantang
menyerah, karena pintu akan pasti dibuka bagi yang selalu
mengetuknya dan mendiang Ibu saya yang selama hidupnya
selalu mendambakan hidup saya bermanfaat bagi masyarakat
luas.
Secara khusus saya ingin berterima kasih kepada harta
saya yang paling berharga: istri saya. Yohana Yuliati dan anak-
anak saya, Ruth dan Levi. Hidup memang penuh tantangan,
tetapi justru tantangan itu yang membuat hidup kita lebih
berarti. Itulah kehidupan "C'est la v/e". Kalian sudah
memahami itu hingga senantiasa memaklumi derap langkah
saya dalam proses pencarian dan penyibakan rahasia masa
lampau. Kesetiaan kalian mengiringi perjalanan saya yang
sering berkelana di pedesaan, di hutan, dan di tempat nun jauh
di sana, merupakan modal utama bagi saya dalam menekuni
profesi ini. Berkat doa yang kalian senantiasa panjatkan dengan
penuh keyakinan dan berkat kemurahan Tuhan Yesus Kristus
saya selalu dalam lindunganNya dan saya menemukan dunia
yang saya geluti hingga mendapatkan pengukuhan pada hari
ini.

37
BIBLIOGRAFI

Aiello, I . C . 1995. Human body size and energy, dalam Steve Jones,
Robert Martin, dan David Pilbeam, The Cambridge
Encyclopedia of Human Evolution. Cambridge University
Press, hal. 44-45.
Ardika. 1 Wayan. 1996. Late Prehistoric B a l i . Dalam Miksic. J.(ed.)
Indonesian Heritage, Ancient History, Jakarta: Archipelago
Press, hal. 42-43.
Ardika, I Wayan. 2005. Naskah "Budaya Logam di Indonesia" untuk
penulisan Prasejarah Indonesia (in press).
Baker, P . T . 1995. Human adaptations to the physical environment.
The Cambridge Encyclopedia of Human Evolution.
Cambridge University Press, hal. 46-51.
Bartstra, Gert-Jan, Santoso Sugondho & Albert van der Wijk. 1988.
Ngandong man, age and artifacts. Journal of Human
Evolution, 17, hal. 325-337.
Bellwood, Peter. Goenadi Nitihaminoto, Geoffrey Irwin, Gunadi.
Agus Waluyo & Daud Tanudirjo. 1998. 35,000 years of
prehistory in the northern Moluccas, dalam Gert-Jan Bartstra
(ed.), Bird's Head approaches. Irian Java studies - a
programme for interdisiplinary research. Rotterdam:
A.A.Balkema, hal. 2 3 3 - 2 7 5 .
Bellwood. Peter. 1998. From B i r d ' s Head to bird's eye view: long
term structures and trends in Indo-Pacific prehistory. Dalam
Miedema, Jell, Cecilia Ode. dan Rien A . C . D a m (eds.).
Perspectives on the Bird's Head of Irian Jaya, Indonesia.
Proceedings of the conference, Leiden. Edition Rodopi B . V ,
hal. 951-975.
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi
Revisi, Jakarta: P T Gramedia Pustaka Utama.

38
Birdsell, J . B . 1977. The recalibration of a paradigm for the first
peopling of greater Australia, dalam J . Allen, J.Golson, and R.Jc | g
(eds.), Sunda and Sahul, hal. 113-167.
Bulbeck, David, Iwan Sumantri dan Peter Hiscock. 2004. Leang
Sakapao I . a second dated Pleistocene site from South
Sulawesi, Indonesia. Modern Quaternary Research in
Souheast Asia 18, hal. 111 -128.
Bulbeck. David. Monique Pasqua, and Adrian de Lello. 2 0 0 1 .
Culture History of the Toalean of South Sulawesi,
Indonesia. Asian Perspctives, vol.9, no. 1-2. hal.71-108.
Cann. Rebecca. L . , Mark Stoneking. and allan G . Wilson. 1987.
Mitochondrial D N A and Human Evolution. Nature.
vol.325, hal. 31-36.

Chappel, J . dan N . Sackhleton. 1986. Oxygen isotopes and sea


level. Nature, 324. hal. 137-140.

Coedes, G . 1968. The Indianized States of Southeast Asia,


Honolulu: The University Press of Hawaii.
De Lumley, Henry. 1976. La Préhistoire Française. Tome 1. Les
civilisations paléolithiques et mésolithiques de la France,
Paris : C N R S .
Détroit. Florent. 2002. Origine et Evolution des Homo sapiens en
Asie du Sud Est: Descriptions et analyses morpho-
metriques de nouveaux fossils. Muséum National
D'Histoire Naturelle. Paris (Diss).
Détroit, Florent. 2006. Homo sapiens in Southeast Asian
archipelagos: the Holocene fossil evidence with special
reference to funerary practices in East Java. Dalam Truman
Simanjuntak, Ingrid Pojoh, dan Muh. Hisyam (eds.). The
Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of people in
Indonesian Archipelago. I C P A S . p. 186-204.
Gallet, Xavier. 2004.Dynamique de la sedimentation dans les grottes
du karst de Punung (Pacitan, Java).Relations avec les

39
occupations paléolithiques. M u s é u m National D'Histoire Naturelle,
Paris (Diss.)
Glover, l . C . 1973. Late stone age traditions in Southeast A s i a , In
Hammond (ed.). Southeast Asian Archaeology. London:
N.D.Duckworth, hal. 51-65.
Glover, E C . 1981. Leang Burung 2: an upper Palaeolithic rock
shelter in South Sulawesi, Indonesia. Modern Quaternary
Research in Southeast Asia, 6, hal. 1- 38.
Glover, l . C . 1990. Early Trade between India and Southeast Asia. A
Link in the development of a World Trading System. Hull:
Centre for Southeast Asian Studies The University o f Hull.
Glover, E C . and J . Henderson. 1995. Early glass in South and
Southeast A s i a and China. Dalam R. Scott and J . G u y (eds.),
Southeast Asia and China: Art, Interaction, and Commerce,
hal. 141-170
Hameau, Sebastien. 2004. Datation des sites paléolithiques du
Pléistocene Moyen et supérieur d Punung (Pacitan, Java).
Applications des methods ESR et U-Th aux grottes de Song
Terus et Goa Tabuhan. M u s é u m National d'Histoire
Naturelle, Paris (Diss.).
Haraprasad, Ray. 1995. The South East Asian Connection in Sino-
Indian Trade, dalam Rosemary Scott dan John G u y (eds.).
South East Asia & China: Art. Interaction & Commerce.
London, University o f London, hal. 30-44
Heekeren, H . R , van. 1972. The Stone Age of Indonesia,
Verhandelingen van het koninklijk, instituut voor Tall-,
Land-en Volkenkunde 61, The Hague: Martinus Nijhoof.
Hiscock, Peter. 2005. Artefacts on A r u : Evaluating the Technological
Sequences. Dalam O'Connor, Sue. Matthew Spriggs, and
Peter Veth (eds.). The Archaeology of the Aru Islands,
Eastern Indonesia. Terra Australis 22. Pandanus Book, hal
205-234.
http://anthro.palomar.edu/ethnicity/glossary.htm.

40
http://heraclites.com

Jacob, T . 1964. A human mandible from Anjar urn field. Indonesia,


Journal of the National Medical Association, V o l 56, No. 5,
hal. 421-426.

Jacob, T . 1967. Some problems pertaining to the racial history of


Indonesian region : A study of human skeletal and dental
remains from several prehistoric sites in Indonesia and
Malaysia. Utrecht : Drukkerij Neerlandia, 1967. hal. 1-162.
Jacob, T . 2006. The problem of Austronesian origin. Dalam Truman
Simanjuntak, Ingrid Pojoh, dan Muh. Hisyam (eds.), The
Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of people in
Indonesian Archipelago. I C P A S . p. 7-13.
Jones, Steve. 1995a. Genetic diversity in Humans, The Cambridge
Encyclopedia of Human Evolution. Cambridge University
Press, hal. 264-268.
Jones, Steve. 1995b. The evolutionary future of humankind. The
Cambridge Encyclopedia of Human Evolution. Cambridge
University Press, hal. 439-445.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta (edisi baru).
Lauder, Multamia R . M . T . dan Ayatrohaedi. 2006. The distribution o f
Austronesian and non-Austronesian languages in Indonesia:
Evidence and issues. Dalam Truman Simanjuntak. Ingrid
Pojoh. dan M . Hisyam (eds.), The Austronesian Diaspora
and the Ethnogeneses of people in Indonesian Archipelago.
I C P A S . p. 361-391.
Marliac. Alain and Truman Simanjuntak. 1998. Preliminary report
on the site of Song Gentong. Kabupaten Tulungagung. East
Java. Indonesia, dalam Marijke Klokke and Thomas de
Bruijn, Southeast Asian Archaeology, Centre for Southeast
Asian Studies. University of Hull, hal. 47-60.
Meacham, W. 1984-1985. On the improbability of Austronesian
origins in South China, Asian Perspectives 26. hal. 89-106

41

•.A
Olson, Steve. 2004. (terjemahan). Mapping Human History. Gen,
Ras, dan asal-usul manusia. Jakarta: serambi.
Oppenheimer. Stephen. 1999. Eden in the East : Drowned Continent
of Southeast Asia. London: Weidenfeld and Nicolson.
Pasveer. Juliette. 2003. The Djief hunters. 26.000 years of lowland
rainforest exploitation on the Bird's head of Papua,
Indonesia, Rijksuniversiteit Groningen (diss).
Pope. Geoffrey. 1984. Antropologi Biologi. Jakarta: C . V . R a j a w a l i .
Pringgodigdo, A . G . (editor in chief). 1973. Ensiklopedia Umum.
Jakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius.
Roberts, R . G . , R.Jones. M . A . Smith. 1990. Thermoluminiscence
dating of a 50,000 year old human occupation site in
Northern Australia, Nature, 345, hal. 153-156.
S é m a h . F . 2 0 0 1 . L a position stratigraphique du site de Ngebung 2
( D ô m e de Sangiran. Java Central, Indonésie), Colloque
International: Origine des peuplements et chronologie des
cultures paléolithiques dans le Sud-est Asiatique, Paris :
Semenanjung, hal. 299-330.
S é m a h , F . , Anne-Marie Sémah, Truman Simanjuntak. 2003. More
than a million years o f human occupation in insular
Southeast A s i a : the early archaeology o f Eastern and Central
Java, dalam Mercader (ed). Man under the Canopy. New
Brunswick: Rutgersd University Press, hal. 161-190.
Simanjuntak, Truman. 1997. A k h i r Plestosen dan awal Holosen di
Nusantara (Bahasan tentang karakter dan kronologi budaya).
Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, j i l i d 2,
Jakarta: Puslit Arkenas. hal. 151-170.
Simanjuntak, Truman. 2001a. Prasejarah Indonesia dalam konteks
A s i a Tenggara di sekitar awal Holosen. Data baru dalam penelitian
dasa warsa terakhir, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi (eds.),
Arung Samudra. Persembahan memperingati 9 windu A.B. Lapian.
Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya U I , hal. 6 6 1 -
682.

42
Simanjuntak. Truman. 2001b. The Chronology o f prehistoric
settlements in Braholo and Keplek Caves, Gunung Sewu.
Communication at the UISPP Congress, Liège, 1-8 Sept.
2001.
Simanjuntak, Truman. 2001c. New Light on the Prehistory of the
Southern Mountains of Java, dalam Indo-Pacific Prehistoric
Association Bulletin 2 1 , vol.5 (Melaka Papers). 2 0 0 1 .
Simanjuntak. Truman, (ed.). 2002. Gunung Sewu in Prehistoric
Times. Yogy akarta: Gadjah Mada University Press.
Simanjuntak, Truman. 2004. New insight on the prehistoric
chronology o f Gunung Sewu, Java, Indonesia. Dalam
Modern Quaternary Research in Southeast Asia no. 18, hal.9-
30.
Simanjuntak, Truman. 2006. Globalisasi dan kearifan Prasejarah
Indonesia: signifikasinya untuk masa kini dan masa datang
(in press).
Simanjuntak, Truman. 2006. Indonesia-Southeast A s i a : Climates.
Settlements, and Cultures in Late Pleistocene. Dalam
PALEVOL, Paris: A c a d é m i e des Sciences, hal. 371-379.
Simanjuntak. Truman dan François Sémah. 1996. A New insight into
the Sangiran flake industry. Bulletin of the Indo-Pacific
Prehistory Association. No. 14. hal. 22- 26.
Simanjuntak Truman. Dubel Driwantoro, Djatmiko. Nasrudin. 2002.
Beberapa pandangan awal tentang situs-situs paleolitik di
Jawa. kertas kerja pada P IA IX. Kediri.
Simanjuntak, Truman dan Harry Widianto (eds.). 2006. Prasejarah
Indonesia (in press).
Soejono, R . P . (éd.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia I . Jakarta:
Balai Pustaka.
Soekmono, R . 2005. Candi. Fungsi dan Pengertiannya. Jakarta:
Jendela Pustaka.

43
Solheim. W G . I I . 1996. The Nusantao and north-south dispersal.
Bulletin of Indo-Paciftc Prehistory Association 15, hal. 101-
110.
Spriggs, Matthew. 1998. The archaeology of the B i r d ' s Head in its
Pacific and Southeast Asian context, dalam Miedema,
Cecilia Ode, Rien A . C Dam (eds.), Perspectives on the
Bird's Head of Irian Jaya, Indonesia, Amsterdam: Rodop.
hal. 931-940.
Storm. Paul. 2 0 0 1 . The evolution of human in Australasia from an
environmental perspective. Dalam Palaeogeography,
palaeoclimatology, palaeoecology, 171, hal. 363- 383.
Swisher I I I , C C , W . J . Rink. S . C Anton. H.P. Schwarcz. G . H . Curtis.
A . Suprijo. Widiasmoro. 1996. Latest Homo erectus o f Java:
Potential contemporaneity with Homo sapiens in Southeast
Asia, Science, vol.274, hal. 1870- 1873.
Swisher I I I , C . C . , G . H . Curtis, T . Jacob. A . G . Getty. A . Suprijo,
Widiasmoro. 1994. Age of the earliest known hominids in
Java, Indonesia, Science, vol. 263, hal. 1118-1121.
Tanudirjo. D . A . 2 0 0 1 . Islands in Between, Prehistory of the
Northeastern Indonesian Archipelago. PhD thesis, Canberra :
The Australian National University. 2001.
Tanudirjo. D . A . 2002. Arkeologi Indonesia dalam konteks proses
global, makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi I X .
Kediri.
Tanudirjo, D . A . 2005a. Budaya Bahari Austronesia, makalah pada
Seminar sehari Prasimposium Austronesia. Jakarta. I A A I -
LIPI.
Tanudirjo, D . A . 2005b. Kompleksitas masyarakat sebelum menerima
pengaruh Hindu. Naskah penulisan Prasejarah Indonesia (in
press).
Tanudirjo, D . A . 2006. The dispersal of Austronesian-speaking-
people and the ethnogenesis of Indonesian people. Dalam
Truman Simanjuntak, Ingrid Pojoh, dan Muh. Hisyam (eds.),

44
The Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of people in
Indonesian Archipelago. I C P A S . p. 83-98.
Veth, Peter, Matthew Spriggs, A k o Jatmiko, & Susan O'Connor.
1998. Bridging Sunda and Sahul: the archaeological
significance o f the A r u islands, Southern Moluccas, dalam
Gert-Jan Bartstra (ed), Bird's Head approaches. Irian Jaya
studies - a programme for interdisiplinary research.
Rotterdam: A . A . Balkema, hal. 157-177.
Widianto, Harry, T . Simanjuntak, Budianto Toha. 1997. Ekskavasi
Situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan
Selatan. Berita Penelitian Arkeologi, Banjarmasin: Balai
Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry, Budianto Toha, Truman Simanjuntak. 2001. The
discovery of stone implements in the Grenzbank : new
insights into the chronology of the Sangiran flake industry,
Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association, vol. 2 1 ,
hal. 159-161.
Widianto, Harry. 1993. Unité et Diversité des Homnides Fossiles de
Java: Presentation de Restes Humains Fossiles Inédits.
M u s é u m National d'Histoire Naturelle (diss).
Wilson, A . C . dan R . Cann. 1992. The Recent African Genesis of
Humans. Scientific American, hal. 68-73

45
DAFTAR R I W A Y A T HIDUP

I. UMUM

Nama Dr. Harry Truman Simanjuntak D E A , A P U


TempatZ Pematang SiantarZ 27 Agustus 1951
tgl. lahir
Pekerjaan Peneliti dan Pengajar
PangkatZ G o l . Pembina Utama Z I V e
Jabatan A h l i Peneliti Utama
Agama Kristen Protestan
Alamat kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional
Jalan Raya Condet Pejaten no.4, Jakarta
Selatan 12510. Telp. 7988171, 7988131. Fax.
7988187
Status Istri : Yohana Y u l i a t i (1957)
Keluarga Anak: 1. Ruth Simanjuntak (1983)
2. L e v i Simanjuntak (1986)
Alamat rumah Jalan A . Dahlan IVZ20
Kukusan, Depok 16425
Telp. 78881968; fax: 78881968;
HP.0813-14014011
E-mail trumansimanjuntaktg) gmail.com

I I . PENDIDIKAN

1962 S R Negeri Pematang Siantar


1966 S M P Negeri 3 Pematang Siantar
1969 S M A Kristen Pematang Siantar
1971 Propadeus Fakultas Hukum U S U , Medan
1974 S M Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta
1979 Drs. di bidang arkeologi, Fakultas Sastra U G M ,
Yogyakarta

46
1986 : D E A di bidang prasejarah, Institut de Paléontologie
Humaine, Paris dengan memoire : "Contibution a
l Etude des matériels lithiques di site des Verrières I ,
Essonne, France"
1991 : Doktor di bidang prasejarah, Institut de Paléontologie
Humaine, Paris dengan disertasi : "Contribution à
l'Etude des Civilisations Préhistoriques et Proto-
historiques de la Lozère et des Régions Limithropes ".

I I I . PENGALAMAN K E R J A
a. Penelitian dan Kerjasama

2003 - : Melaksanakan penelitian tentang "Austronesian in


2006 Sulawesi: its origin, diaspora, and living tradition"
(Grant dari the S E A S R E P )
1991 - : Counterpart kerjasama di bidang penelitian dan
sekarang pengembangan prasejarah dengan "Muséum
National d'Histoire Naturelle ( M N H N ) " , Perancis
di Sangiran, J a w a Tengah dan Gunung Sewu Jawa
Timur
2001 - : Counterpart kerjasama di bidang penelitian dan
sekarang pengembangan prasejarah dengan "Institut de
Recherches pour le Dévelopment (IRD) ", Perancis
di Sumatra Selatan, Nias, dan Mentawai
1991- : Memimpin dan melaksanakan penelitian di berbagai
sekarang situs arkeologi di Indonesia
Okt. 2002 Mengikuti penelitian kerjasama dengan Universiti
Sains Malaysia di Bukit Tengkorak, Sabah.
Malaysia.
1998 - Melaksanakan penelitian tentang: "Gunung Sewu in
2000 the Late Pleistocene" (Grant dari The Toyota
Foundation)
1997- Counterpart kerjasama di bidang penelitian
2000 : prasejarah dengan "University of New England,
Australia"- Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi di Flores.
47
1999 protosejarah dengan "The Australian National
University" di Sulawesi Selatan.
1996- Melaksanakan penelitian tentang: "Gunung Sewu:
1998 Exploitation in Holocene" (Grant dari The Toyota
Foundation).
1995 - : Counterpart kerjasama di bidang penelitian
1998 prasejarah dengan "James Cook University- the
Australian National University" di kepulauan A m .
1992- : Counterpart kerjasama di bidang penelitian
1997 prasejarah dengan O R S T O M . Perancis di Papua,
Flores, dan Jawa Timur.
Juli - : Melakukan penelitian terhadap benda-benda
Sept. prasejarah Indonesia yang tersimpan di beberapa
1996 laboratorium dan museum di Paris, dalam rangka
kerja sama dengan O R S T O M Prancis.
Juli 1995 : Mengadakan studi banding ke situs-situs neolitik di
Kaledonia Baru dalam rangka kerjasama dengan
M N H N Perancis.
1987 - : Mengikuti training penelitian prasejarah dan
1989 analisis artefak di beberapa situs di Perancis, antara
lain di gua Lazaret, Nice (1987), Dépôt de
l'Archéologie de la Canourgue (1988, 1989), C R A
Valbonne (1990), dan di A b r i Pataud (1989)

b. Pendidikan, Bimbingan dan Ceramah

1994 - : Pengajar tidak tetap pada Departemen Arkeologi,


sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia
27 Des. 2005 : Memberikan ceramah pada pelatihan Cultural
Resources Management ( C R M ) tingkat lanjut di
Trowulan

48
20 Sept. : Anggota tim penguji pada promosi doktor
2004 X a v i e r Gallet dan Sébastien Hameau di Institut
de Paléontologie Humaine, Paris
27 Sept. : Memberikan kuliah umum tentang manajemen
2004 penelitian Arkeologi pada mahasiswa Jurusan
Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, U G M .
29 Agust. : Memberikan ceramah pada pelatihan Cultural
2004 Resources Management ( C R M ) tingkat awal di
Trowulan
Juli 2003 : Memberikan ceramah pada Diklat Identifikasi
B C B Tingkat Lanjut I I di Puncak
Nopember : Memberikan ceramah pada Diklat Identifikasi
2002 B C B Tingkat Dasar di Puncak
Okt. 2001 : Memberikan ceramah pada pelatihan teknis
penelitian arkeologi di Yogyakarta
20 April Pembimbing dan anggota tim penguji pada
1998 promosi doktor Hubert Forestier di Institut
Paléontologie Humaine. Paris
4 - 27 Nov. : Memberikan ceramah pada Penataran
1996 Permuseuman Tipe Khusus. Ditjen
Permuseuman. Jakarta
25 Sept. : Memberikan ceramah tentang 'La Préhistoire
1996 du Gunung Sewu. Indonésie di Institut de
Paléontologie Humaine, Paris.
Januari 1994 Memberikan ceramah tentang Pengembangan
Prasejarah Gunung Sewu di Pacitan

c. Seminar Internasional

22 Sept. : Pembicara pada UNESCO International Expert


2006 mission and Consultation Workshop on
Conservation and Management World Heritage
Site, Solo.

1997- : Counterpart kerjasama di bidang penelitian

49
2 0 - 26 : Pembicara dan koordinator "Indonesian and
Maret 2006 East Malaysian session" pada Kongress Indo -
Pacific Prehistory Association di Manila
25 Feb. 2005 : Pembahas pada peluncuran buku "Rock art in
Papua" di Museum Nasional
28 Juni 2005 Ketua panitia symposium internasional tentang
"The dispersal of the Austronesian and the
ethnogeneses of the people in Indonesian
Archipelago", kerjasama dengan L I P I di Solo
6 Des. 2004 : Pembicara pada seminar "Archéologie
Française en Indonésie" di Jakarta
1 3 - 1 6 Sept. : Pembicara pada Kolokium inter-académique
2004 "Climats, cultures, et sociétés aux temps
préhistoriques de l'apparition des hominidés
jusqu 'au néolithique" di Paris
1 8 - 2 0 Nov. : Peserta UNESCO Asia-Pasifik Regional
2003 Workshop on the 2001 Convention on the
Protection of the Underwater Cultural Heritage
8 - 1 5 Sept. : Pembicara pada Kongress Indo-Pacific
2002 Prehistory Association (IPPA) di Taipei.
Taiwan
1 - 8 Sept. : Pembicara pada kongres Union Internationale
2001 des Sciences Préhistoriques et Proto-historiques
( U I S P P ) di Liège. Belgia
1 6 - 1 8 Juli Pembicara pada seminar 25 tahun kerjasama
2001 Puslit Arkeologi- E F E O di Palembang
Sept. 1999 : Peserta kollokium internasional tentang
"Archaeology in SEAsia in the 3rd Millenium",
di Penang, Malaysia
2 1 - 24 Sept. : Pembicara dan ketua panitia kolokium
1998 internasional tentang "Sangiran: man. culture,
and environment in the Pleistocene" di Solo.
3 - 5 Juni : Pembicara pada kolokium internasional tentang
1998 "The origin of the settlements and chronology of
the palaeolithic cultures in Southeast Asia" di
Paris

50
31 Agust - 4 Pembicara pada kongres ke 7 "The European
Sept 1998 Association of Southeast Asian Arcaheologists "
di Berlin.
1 - 7 Juli : Pembicara pada kongres Indo-Pacißc
1998 Prehistory Association ( I P P A ) di Melaka,
Malaysia.
1 3 - 1 7 Okt. Pembicara pada konferensi tentang "Bird's
1997 Head "of Irian Jaya di Leiden
2 - 6 Sept. : Pembicara pada kongres "The European
1996 Association of Southeast Asian Archaeologists"
keenam di Leiden. Belanda.
25 - 27 Sept. : Pembicara pada seminar arkeologi Indonesia-
1995 Perancis di Yogyakarta, Indonesia
: Pembicara pada kongress Indo-Pacißc
Prehistory Association ( I P P A ) di Chiang Mai,
Thailand
24 - 28 Okt. : Pembicara pada kongres "The European
1994 Association of Southeast Asian Archaeologists
( E u r A S E A A ) " kelima di Paris, Prancis
27 - 30 Sept. : Pembicara pada "The First van Heekeren
1984 Symposium" di Yogyakarta

d. Seminar Nasional

2003 - 2005 : Pembicara pada rangkaian seminar penyusunan


Sejarah Indonesia
Juli 2004 : Pembicara pada Rapat Evaluasi Hasil Penelitian
arkeologi ( E H P A ) di Puncak
Sept. 2003 : Pembicara pada Kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional ( K I P N a s V I I I ) di Jakarta
Juli 2002 : Pembicara pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi I X
di Kadiri
1 4 - 1 7 Juli : Pembicara pada Rapat Evaluasi Hasil Penelitian
2000 Arkeologi ( E H P A ) di Bedugul, Bali

51

A
1 9 - 2 6 Feb. : Pembicara pada diskusi tentang budaya manusia
2000 purba dalam pameran manusia purba di
Lombok,
18 - 20 : Pembicara pada Sarasehan tentang pemanfaatan
Agust. 1999 Sangiran, kerjasama Dirjenbud-Unesco
1 6 - 2 0 Feb. : Pembicara pada Rapat Evaluasi Hasil Penelitian
1998 Arkeologi ( E H P A ) di Puncak
8 - 1 1 Juni, : Pembicara pada L o k a karya teknik analisis hasil
1997 penelitian arkeologi, Caringin
1 6 - 2 0 Feb. : Pembicara pada Evaluasi Hasil Penelitian
1997 Arkeologi di Cipayung
12-16 : Pembicara pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi
Maret 1996 V I I , Ikatan A h l i Arkeologi Indonesia di Puncak
20 Agust. : Pembicara pada seminar 100 tahun penemuan
1992 Pithecanthropus di Indonesia. Medan
30 Okt. 1992 : Pembicara pada seminar 100 tahun penemuan
Pithecanthropus di Indonesia, Jambi
3 - 9 Maret : Pembiacara pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi
1986 Indonesia I V , Cipanas
5 - 1 0 Maret : Pembicara pada Rapat Evaluasi Hasil Penelitian
1984 Arkeologi ( R E H P A ) I I di Cisarua
23 - 28 Mei : Pembiacara pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi
1983 I I I , Ciloto
8 - 13 Maret : Pembicara pada Rapat Evaluasi Hasil Penelitian
1982 Arkeologi ( R E H P A ) I , Cisarua
Nov. 1981 : Pembicara pada Seminar Sejarah Nasional I I I di
Jakarta
9 - 13 Maret : Pembiacara pada Rapat Evaluasi Metode
1981 Penelitian Arkeologi ( R E M P A ) di Yogyakarta

e. Wawancara Media Massa

1 Nov. 2005 : Nara sumber pada wawancara "on air" dengan


kantor berita 68 H tentang perkembangan
arkeologi di Indonesia

52
Agust. 2003 : Wawancara dengan Trans T V tentang situs
neolitik di situs Cikadu, Sukabumi. Jawa Barat
Sept. 2003 : Wawancara dengan Metro T V di Gua pawon
(siaran program expedition),
22 Agust. : Wawancara "live"pada acara nuansa pagi di
2002 R C T I tentang kasus Situs Batu Tulis. Bogor.
21 Agust. : Wawancara dengan T V 7 tentang kasus
2002 penggalian situs Batu Tulis, Bogor.
17 Juli 2002 : Wawancara "on air" dengan kantor berita 6 8 H
tentang penemuan manusia prasejarah di
Gunung Sewu
7 Juli 2002 : Wawancara " l i v e " dengan T V 5 Prancis dalam
program "24 heures a Jakarta" di Museum
Nasional
30 Juni 2001 : Wawancara tentang manusia purba Jawa di
Sangiran dengan channel 5 T V Inggris

f. Kegiatan Redaksional

2001 - : Korresponden majalah ilmiah Anthropologie


sekarang terbitan Paris. Prancis
(in press) : Editor pertama buku "Prasejarah Indonesia", j i l i d I
dari 8 j i l i d Sejarah Indonesia
2006 : Editor pertama proceedings Internasional
Symposium on "The dispersa! of the Austronesian
and the ethnogeneses of the people in Indonesian
Archipelago"
2006 : Ketua Dewan Redaksi penerbitan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Arkeologi Nasional
2005 : Editor pertama buku "Prasejarah Gunung S e w u " ,
Ikatan A h l i Arkeologi Indonesia,
2002 : Editor buku "Gunung Sewu in Prehistoric Times",
Gadjah Mada University Press, 2002

53

A
2001 : Editor pertama proceedings "Sangiran in Prehistoric
Times". Yayasan Obor 2001
2000 : Ketua Dewan Redaksi Penerbitan-penerbitan
berbahasa Indonesia, Puslit Arkenas
1994 - : Anggota Dewan Redaksi Penerbitan Puslit Arkenas
1999

g. Organisasi Profesi

2006 Anggota Permanent Council of the International


Union of Prehistoric and Protohistoric Sciences
(IUPPS).
2002 - 2005 Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
1996- 2003 Ketua Pelaksana Harian Ikatan A h l i Arkeologi
Indonesia (2 periode)
2004- Anggota Lembaga Karst Indonesia ( L K I )
sekarang
1994- Anggota "Indo-Paciftc Prehistoric Association "
sekarang
1999- Anggota "The Association of the Southeast Asian
sekarang Prehistorians "

h. Penghargaan

7 Juli : Satyalancana Karya Satya 20 tahun dari Pemerintah


2003 Indonesia
9 Juli : Satyalancana K a r y a Satya 10 tahun dari Pemerintah
1997 Indonesia

54
IV. K A R Y A I L M I A H

1. Sangiran: a Never Ending Research. Kertas kerja pada


"UNESCO International Expert mission and Consultation
Workshop on Conservation and Management World Heritage
Site", Solo, 22 September 2006.
2. Research Progress on the Neolithic in Sulawesi, kertas kerja
pada Kongres IPPA Manila, 20-26 Mart 2006
3. Once upon a time in South Sumatra : The Acheulean stone tools
of the Ogan River, kertas kerja pada Kongres IPPA Manila, 20-
26 Mart 2006 (penulis pertama).
4. Indonesia-Southeast A s i a : Climats, Settlements, and Cultures
in Late Pleistocene, dalam PALEVOL, vol.5, issue 1-2, Paris:
Elsevier. 2005
5. Sangiran dalam perspektif penelitian. Jurnal Arkeologi no.3.
Jakarta: Ikatan A h l i Arkeologi Indonesia. 2005
6. Gens des karst au néolithique à Sumatra. Dossiers
d'Archéologie, no.302, April 2005 (penulis pertama)
7. L e s premiers indices d'un faciès achéuléen à Sumatra Sus.
Dossiers d'Archéologie, no.302, April 2005 (penulis kedua)
8. Sumatra : anthropologie. espace et temps. Dossiers
d'Archéologie, no. 302, A p r i l 2005 (penulis ketiga)
9. Research progress on the Néolithique in Indonesia. Special
reference to the Pondok Silabe cave. South Sumatra. Southeast
Asian Archaeology. Quezon city: University of the Philippines
2004 (penulis pertama)
10. New insight on the prehistoric chronology of Gunung Sewu.
Java, Indonesia, dalam Modern Quaternary Research in
Southeast Asia no. 18. 2004.
11. Early Holocene human settlement in eastern Java. Bulletin of
the Indo-Pacific Prehistory Association. The Taipei papers, vol.
24. 2004 (penulis pertama)
12. Manajemen Penelitian Arkeologi, makalah pada Kuliah umum
mahasiswa Jurusan arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya U G M , 27
September 2004.
13. More than a m i l l i o n years o f human occupation in Insular
Southeast A s i a : T h e archaeology o f Eastern and Central
Java, in Man under the Canopy. Rutgers N e w B r u n s w i c k :
University Press . 2003 (penulis ketiga).
14. Indonesia di tengah debat asal usul Austronesia, dalam
proceedings Polemik tentang masyarakat Austronesia.
Fakta atau fiksi? Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
15. Kerjasama Internasional: Sebuah Retrospeksi, dalam 25
tahun kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi dan EFEO.
Jakarta: E F E O . 2002.
16. Gunung Sewu: a Long History of occupation
(Introduction), dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in
Prehistoric Times, Y o g y a k a r t a : Gadjah Mada U n i v e r s i t y
Press. 2002.
17. The Pacitanian. dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in
Prehistoric Times, Y o g y a k a r t a : Gadjah Mada U n i v e r s i t y
Press. 2002.
18. C a v e Settlement, N e w T r e n d in the Late Pleistocene,
dalam Simanjuntak (ed.) Gunung Sewu in Prehistoric
Times, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002.
19. C a v e s Settlement in Southeast A s i a , dalam Simanjuntak
(ed.). Gunung Sewu in Prehistoric Times, Y o g y a k a r t a :
Gadjah Mada University Press. 2002.
20. K e p l e k C a v e : Settlement in the Late Pleistocene-Holocene.
dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in Prehistoric
Times. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002.
21. Braholo C a v e , an ideal Settlement Site in Western G u n u n g
Sewu, dalam Simanjuntak (edj.Gunung Sewu in
Prehistoric Times, Y o g y a k a r t a : Gadjah M a d a U n i v e r s i t y
Press. 2002.
22. T h e Hearth in C a v e Settlemens. dalam Simanjuntak (ed.).
Gunung Sewu in Prehistoric Times. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 2002.
23. T h e y Developed the L i t h i c Industry, dalam Simanjuntak
(ed.). Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. 2002.
56
24. Flake-Blade Tools in islands Southeast Asia, dalam
Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in Prehistoric Times,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002.
25. Neolithic Workshop Sites, the Peak of Lithic Technology,
dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in Prehistoric Times,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002.
26. Neolithic Features in Indonesia, dalam Simanjuntak (ed.).
Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 2002.
27. Settlement Chronology o f Gunung Sewu, dalam Simanjuntak
(ed.). Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. 2002.
28. Gunung Sewu: Exploitation Since the Remote Past
(Conclusion), dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in
Prehistoric Times, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 2002.

29. B r i e f Notes on Paleoclimate and Paleogeography o f the


Archipelago, dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in
Prehistoric Times, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press (penulis pertama). 2002.
30. History of the Formation o f Gunung Sewu and the Karst
Caves, dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in Prehistoric
Times, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press (penulis
kedua). 2002.
31. Caves Settlement in the Gunung Sewu Area, dalam
Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in Prehistoric Times,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press (penulis kedua).
2002.
32. Subsistence o f the Cave Dwellers, dalam Simanjuntak (ed.).
Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press (penulis pertama). 2002.
33. The Neolithic o f Gunung Sewu: from Caves to Open Sites,
dalam Simanjuntak (ed.). Gunung Sewu in Prehistoric Times,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002.

57
34. Beberapa pandangan awal tentang situs-situs Paleolitik baru
di Jawa, kertas kerja pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi A Y d i
Kadiri (penulis pertama)
35. N e w Outlook for the Prehistorical and Palaeoanthropological
Research in Indonesia. In Sémah et al. Origine des
Peuplements et chronologie des cultures paléolithiques dans
le Sud-est Asiatique. Paris: Semenanjung. 2 0 0 1 .
36. The Chronology o f prehistoric settlements in Braholo and
Keplek Caves, Gunung Sewu. Communication at the UISPP
Congress. Liège, 1-8 Sept. 2001
37. Sangiran Site: Problems and the Balance of Research
Simanjuntak et al. (eds.). Sangiran: Man. Culture and
environment in Pleistocene times. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2 0 0 1 .
38. N e w Insight on the tools of the Pithecanthropus, dalam
Simanjuntak et al. (eds.), Sangiran: Man. Culture and
environment in Pleistocene times. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2 0 0 1 .
39. Prasejarah Indonesia dalam Konteks A s i a Tenggara di Sekitar
Holosen awal. Data baru Dalam Penelitian Dasa warsa
terakhir, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi (eds.).
Arung Samudra. Persembahan memperingati 9 windu
A.B.Lapian. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya. L P U I . 2 0 0 1 .
40. N e w Light on the Prehistory of the Southern Mountains of
Java, dalam Indo-Pacific Prehistoric Association Bulletin 21,
vol.5 (Melaka Papers). 2 0 0 1 .
41. Pegunungan Seribu: Sejarah Penghunian yang panjang,
Buletin Prasejarah, vol.I, Asosiasi Prehistorisi Indonesia.
2000.
42. Wacana Budaya Manusia Purba. Amerta no. 20, Jakarta:
Pusat Arkeologi. 2000.
43. Diskursus sekitar Budaya manusia purba, makalah
diceramahkan pada Pameran Manusia Purba di Mataram,
Lombok, 19-26 Februari, 2000.

58
44 Perspektif Global Prasejarah Indonesia, Proceedings Evaluasi
Hasil Penelitian Arkeologi, Bedugul, 14-17 Juli 2000,
Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta.
2000
45. Pedoman Penilaian, Penyuntingan, dan Penerbitan Pusat
Arkeologi serta Balar-Balar (penulis I), Jakarta: Puslit
Arkenas. 2000.
46. Kenangan dan kesan belajar di Prancis, dalam Rantau dan
Renungan, II, Jakarta: Forum Jakarta-Paris. 1999.
47. Budaya awal Holosen di Gunung Sewu, Berkala Arkeologi,
tahun X I X , no.l, Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
1999.
48. Sangiran dalam perspektif penelitian. Makalah diceramahkan
dalam Sarasehan Sangiran, 18-20 Agustus 1999.
49. Penelitian Prasejarah dalam perspektif kewilayahan. Makalah
pada EHP'A Cipayung, 16-20 Februari 1998.
50. Lithic typo-technology of Holocene Song Keplek Cave, East
Java, paper pada Kongres IPPA ke 16 di Melaka, Malaysia,
1-7 Juli 1998 (penulis pertama).
51. New discoveries at Braholo Cave, Western Gunung Sewu,
dalam Wiebke Lobo & Stephanie Reimann (eds.), Southeast
Asian Archaeology, Hull: Centre for Southeast Asian studies
1998.
52. La préhistoire de l'Insulinde à l'époque Holocène:
problématique et perspective de recherche, Dialogue France-
Insulinde, Jakarta: CNRS-Lasema. 1998.
53. Penelitian di Sangiran: Eksistensi artefak pada awal Plestosen
Tengah dan stratigrafi endapan teras seri kabuh dan seri
notopuro, BPA, no.03, Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta, (penulis ketiga). 1998.
54. Indonesian prehistoric objects stored in different laboratories
in Paris, Bulletin of the National Research Centre of
Archaeology of Indonesia, no. 18, Jakarta: Puslit Arkenas.
1997.
55. Ekskavasi situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Kalimantan
Selatan, Berita Penelitian Arkeologi, no.l, BanjarmasimBalai
Arkeologi Banjarmasin (penulis kedua). 1997.
56. Penelitian Situs Sangiran: proses sedimentasi, posisi stratigrafi
dan kronologi artefak pada endapan purba seri kabuh dan seri
notopuro, BPA n o . l , Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
(penulis ketiga). 1997.
57. Prasejarah Nusantara pada kala Holosen: permasalahan dan
perspektif penelitian, Cinandi, Yogyakarta: Jurusan Arkeologi,
fak. Sastra U G M . 1997.
58. Hasil Pokok penelitian Prasejarah: kerjasama antara Puslit
Arkenas dan M N H N " Naditira Widya, no.02, 1997,
Banjarmasin: Balai A r k . Banjarmasin. 1997.
59. R e v i e w on the prehistory o f Irian Jaya, Perspectives on the
Bird's Head of Irian Jaya, Indonesia, Proceedings of the
Conference, Leiden, 13-17 Okt. 1997.
60. A k h i r Plestosen dan awal Holosen di Nusantara (Bahasan
tentang karakter dan kronologi budaya), Proceedings
Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, j i l i d 2, Jakarta: Puslit
Arkenas, 1997.
6 1 . Temuan artefak di Grenz-bank: kronologi baru pertanggalan
artefak Sangiran Naditira Widya no.02, 1997 (penulis ke tiga).
62. A New Insight to the Sangiran Flakes Industry, Indo-Pacific
Prehistory Association Bulletin, no. 14, 1996.
63. Indonesia's Oldest Tools, Indonesian Heritage (Ancient
History), Singapore: Editions Didier Millet, (penulis kedua).
1996.
64. Preliminary report on the site o f Song Gentong, Tulungagung,
East Java (Indonesia), Proceedings Southeast Asian
Archaeology, Centre for S E A , University of H u l l (penulis
kedua). 1996.
65. Museum dan benda prasejarah, kertas kerja diceramahkan pada
Penataran PermuseumanTipe Khusus, Ditjen Permuseuman,
Jakarta, 4-27 Nopember, 1996.
66. Perspektif Prasejarah Irian Jaya, Majalah Kebudayaan no : 9,
V, 1995/1996.

60
67. Laporan Penelitian Sangiran: penelitian tentang manusia
purba, budaya dan lingkungan, BPA no.46, Jakarta: Puslit
Arkenas (Penulis kedua) 1996.
68. Preneolitik Song Keplek, Punung, J a w a Timur, Prospek
Arkeologi, no.3, Bandung: Balai Arkeologi Bandung. 1996.
69. Laporan Penelitian Sangiran, Penelitian tentang manusia
purba, budaya dan lingkungan, BPA, no.46, 1996. Jakarta:
Puslit Arkenas (penulis kedua).
70. Studi Pendahuluan Tentang Industri L i t i k Song Keplek,
Punung (Jatim), Jejak-jejak Budaya I I , 1996.
71. M é s o l i t h i q u e en Indonésie: une Hétérogénéité Culturelle,
L Anthropologie (Paris), tome 100 no.4, 1995.
72. Kalumpang: Hunian Tepi Sungai Bercorak Neolitik-
Paleometalik di Pedalaman Sulawesi Selatan'', Aspek-aspek
Arkeologi Indonesia, no.17, Jakarta: Puslit Arkenas. 1995.
73. L e s résultats majeurs obtenus en recherches préhistoriques
dans le cadre d'une coopération franco-indonésienne.
Séminaire Archéologie, 25-27 Septembre, 1995.
74. Cave habitation during the Holocene Period in Gunung Sewu,
Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia, no. 19. 1995.
75. Studi Pendahuluan Tentang Industri L i t i k Song Keplek,
Punung (Jatim). Jejak-jejak Budaya I I . 1995.
76. Pengembangan paleoanthropologi di Indonesia dalam
perspektif prasejarah. Kertas kerja untuk Asisten Menristek.
1995.
77. Kehidupan Prasejarah di Daerah Pegunungan Seribu,
makalah pada Ceramah Ilmiah dalam rangka Pameran
Arkeologi Pegunungan Seribu, Pacitan: Pemda tkt.II. 1994.
78. Chronologie de la Préhistoire Indonésienne: Recherches
Récentes sur les Montagnes du Sud de Java, Southeast Asian
Archaeology, Centre for S E A studies, University o f Hull.
1994 (penulis pertama).
79 Perwajahan Mesolitik di Indonesia, Amerta, no. 13, 1993.
Puslit Arkenas.

61
80. Les Outils du Pithécanthrope, Les Dossiers d'Archéologie,
no. 184 (penulis ketiga). 1993.
81. Prasejarah Nusantara pada K a l a Holosen: Permasalahan
dan Perspektif Penelitian. Seminar Ilmu-ilmu Budaya dan
Sosial dan Penelitian Prancis di Nusantara, Jakarta. 1993.
82. The Idendity of the Mesolithic in the Pegunungan Seribu,
kertas kerja pada International Conférence on Human
paleoecology, Jakarta: Indonesian Institute of Science.
1993.
83. Prasejarah P J P T I I , kertas kerja pada EHPA Kaliurang, 25-
30 Juli 1993.
84. Mesolitik di Indonesia: Suatu Tinjauan, kertas kerja pada
Seminar 100 tahun Penemuan Pithecanthropus, Jambi:
Museum Negeri Jambi. 1992.
85. Neolitik di Indonesia: Neraca dan Perspektif Penelitian,
Jurnal Arkeologi Indonesia, no. 1. I A A L 1992.
86. Artefak Paleolithik dan Pithecanthropus. kertas kerja pada
Seminar 100 Tahun Penemuan Pithecanthropus, Medan:
Museum Negeri Sumatra Utara. 1992.
87. D i d They A l s o Make Stone Tool? Journal of Human
Evolution, 23. 1992 (penulis keempat).
88. Etude de la collection du Dr. Prunieres. Contribution à
T Etude de la Préhistoire et de la Protohistoire de la
Lozère et des Grands Causses. L a Canourgue : Centre de
Recherche et de Documentation Préhistorique de Lozère.
1991.
89. Laporan Penelitian Arkeologi Situs Tipar Ponjen, Berita
Penelitian Arkeologi, no. 42. 1991.
90. Tradisi Perundagian pada Masyarakat Batak Toba, Analisis
Kebudayaan, tahun I I I , no.2. 1991.
91. Contibution a TEtude des matériels Ethiques di site des
Verrières I , Essonne, France. Mémoire DEA, Institut de
Palontologie Humaine, Paris. 1987.
92. Teknologi Gelang Situs Tipar Ponjen, Pertemuan Ilmiah
Arkeologi IV, Cipanas, Puslit Arkenas. 1986.
93. Laporan Penelitian Arkeologi Limbasari. Berita Penelitian
Arkeologi, no.34, Puslit Arkenas. 1986.
62
94. Studi Pendahuluan Tentang Batu Pukul Limbasari, REHPA
II, Puslit Arkenas. 1985.
95. Beberapa Catatan Tentang Kapak Batu Limbasari, Bahasa-
Sastra-Budaya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
1985.
96. Tinjauan Tentang Beliung Persegi dari Lumajang, Berkala
Arkeologi, V I ( 2 ) , Balai Arkeologi Yogyakarta. 1985.
97. Tradisi perundagian pada masyarakat Batak Toba, Majalah
Kebudayaan. 1985.
98. Catatan Pendahuluan Tentang Alat-alat Tanduk dan Tulang
dari Medalem. Blora. Amerta, no.9. 1984.
99. Adze Manufacturing at Limbasari Site, kertas kerja pada First
Van Heekeren Symposium, Yogyakarta (tidak terbit). 1984.
100. Tatal Batu Limbasari, makalah pada Pertemuan Ilmiah
Arkeologi III, Ciloto, Dep. P & K . 1983.
101. Situs Perbengkelan Limbasari, Purbalingga, REHPA I,
Cisarua, Puslit Arkenas. 1982.
102. Laporan Ekskavasi Gunung Piring, Lombok, Berita
Penelitian Arkeologi, no. 17 (penulis kedua). 1982.
103. Perkembangan Bentuk Kubur di Tanah Batak. Amerta, no.6.
1982.
104. Catatan Singkat Tentang Alat-alat Tulang Ngandong,
Berkala Arkeologi, D. 1981.
105. Pelaksanaan survai di Balai Arkeologi Yogyakarta, makalah
pada Rapat Evaluasi Metode Penelitian Arkeologi (REMPA), 9
- 13 Maret 1981 di Yogyakarta.
106. Catatan Tentang Alat-alat Batu dari Wonogiri, Jawa Tengah,
Amerta, no.5.1981.
107. Tradisi masa perundagian pada masyarakat Batak, makalah
pada Seminar Sejarah Nasional I I I , November 1981 di Jakarta.

0906-ts

63

•i*

Anda mungkin juga menyukai