Anda di halaman 1dari 3

Mengacu pada UU No.

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


(“KUHAP”), pejabat polisi negara RI adalah bertindak sebagai penyelidik dan
penyidik perkara pidana (lihat pasal 4 jo pasal 6 KUHAP). Jadi, polisi
berwenang untuk menjadi penyelidik dan penyidik untuk setiap tindak pidana.
 
Adapun kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan disebutkan
dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU
Kejaksaan”). Berdasarkan pasal 30 UU Kejaksaan, kejaksaaan berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang. Kewenangan kejaksaan ini contohnya kewenangan yang
diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001,
dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (“UU KPK”). Penjelasan Umum UU Kejaksaan selanjutnya
menjelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan
tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan
undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk
melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan
penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik
diatur dalam UU.
 
 
Sedangkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”), kewenangannnya
diberikan oleh UU KPK. Berdasarkan pasal 6 UU KPK, bertugas untuk 
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi. Pasal 11 UU KPK selanjutnya membatasi bahwa kewenangan KPK
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dibatasi pada tindak
pidana korupsi yang:
 
1.      melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2.      mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3.      menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)
 
Kategori perkara sebagaimana disebutkan di atas juga dipertegas
dalam Penjelasan Umum UU KPK. Jadi, tidak semua perkara korupsi
menjadi kewenangan KPK, tapi terbatas pada perkara-perkara korupsi yang
memenuhi syarat-syarat di atas.

Peran Auditor dan Penyidik Forensic Accounting


*Suhartono
Untuk memahami peran penyidik akuntansi forensic (forensic accounting) di dalam menghalangi,
mendeteksi, dan menyelidiki kecurangan berbeda dari auditor independer sebagai pemeriksa laporan
keuangan. Pertama-tama, perlu untuk dipahami dan diingat adanya perbedaandi antara keduanya.
Sebagai tambahan, dunia professional keduanya telah berubah selama beberapa tahun terakhir,
dengan maksud pemeriksaan yang lebih baik.
Auditor berfokus untuk memastikan bahwa laporan keuangan dalam suatu perusahaan adalah wajar
yang penilaiannya berdasarkan materi (uang). Berdaasrkanhal tersebut, tanggung jawab auditor
adalah untuk mendesain dan menerapkan prosedur audit yang cukup di lapangan dan dan untuk
mendeteksi adanya kecurangan materi dalam laporan keuangan yang disajikan, tanpa harus
mendeteksi asal kekurangan atau ketidaksesuaian tersebut. Auditor memiliki tugas terutama untuk.

 Membuat oenyesuaian, usaha yang layak untuk mendeteksi pernyataan salah materi di
laporan keuangan.
 Menyebabkan manajemen untuk membenarkan pernyataan materi yang salah atau penyajian
keliru sebelum laporan keuangan diberikan kepada komunitas pengguna.

Bahkan ini tampaknya pernyataan sederhana dari seorang auditor yang pekerjaannya cukup
kompleks, di dalamnya termasuk:

 Jaminan layak.
 Pernyataan salah yang material.
 Pelacakan yang berbeda dari pencegahan dan investigasi.
 Harapan untuk keberhasilan dari proses auditing.

Penyidik akuntansi forensic memiliki seperangkat fokus yang berbeda berdasarkan perannya yang
tentunya membutuhkan alat yang berbeda, proses berpikir yang berbeda, dan sikap yang berbeda.
Fokus penyidik akuntansi forensik adalah tidak dengan memperoleh pendapat umum atas laporan
keuangan secara keseluruhanm yang berasal dari upaya dan dalam batas materialitas yang wajar.
Sebaliknya, perhatian penyidik akuntansi forensic adalah pada tingkat yang lebih mendalam dengan
perkembangan rinci informasi factual yang dihasilkandari bukti dokumen dan kesaksian tentang
siapa, apa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa suatu hal dicurigai atau dikenal
ketidakwajaran.
Sampling dan konsep materialitas pada umumnya tidak digunakan dalam menentukan lingkup
prosedur akuntansi forensic. Sebaliknya, semua bukti yang relevan dicari dan diperiksa. Berdasarkan
temuan investigasi, penyidik akuntansi forensic melakukan kajian dan langkah-langkah untuk
mengatasi kerugian atau kerusankan organisasi. Kemudian, merekomendasikan serta
mengimplementasikan tindakan korektifm sering termasuk perubahan proses dan kebijakan dan/atau
tindakan terhadap personil akuntansi. Selainitu, penyidik akuntansi forensic mengambil tindakan
pencegahan untuk mengatasi kemungkinan terulangnya masalah. Temuan penyidik akuntansi
forensic dan rekomendasi dapat dijadikan dasar untuk kesaksian dalam proses litigasi atau tindakan
pidana terhadap para pelaku kecurangan. Hasil kerja mereka juga dapat digunakan dalam kesaksisan
kepada lembaga pemerintah, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Oleh karena
itu, lingkup penyelidikan dan bukti-bukti yang dikumpulkan serta didokumntasikan harus mampu
menjawab tantangan atau sangkalan yang mungkin dibawa oleh pihak-pihak berpengaruh atau
regulator yang skeptic. Meski berbeda, namun sangat jelas bahwa antara audit dan akuntansi
forensic memiliki kesamaan.
Dengan maraknya berbagai kasus kecurangan, Howard Silverstone dan Howard Davia
mengemukakan dalam buku Fraud 101 Techniques and Startegies for Detection, Edisi Kedua, bahwa
dalam melaksanakan fungsi audit, internal auditor sudah dituntut tidak hanya sekedar sebagai “anjing
penjaga (watchdog)” saja tetapi juga berfungsi sebagai “anjing polisi/mata-mata (bloodhound)”.
Sebagai penjaga diilustrasikan fungsinya hanya sedikit menggigit tetapi lebih banyak menggonggong.
Melalui nalurinya, anjing penjaga akan menggonggong apa yang dilihat dan diciumnya tanpa ingin
mengetahui apakah seseorang tersebut sah atau tidak memasuki wilayah penjagaannya.
Dengan berfungsi sebagai “bloodhound”, maka internal auditor harus dapat merasa apabila seorang
penyusup memang diizinkan untuk mendekati dan apakah seseorang tersebut memiliki kunci masuk
ataukah memiliki password untuk masuk pintu. Sebagai mata-mata, harus tahu ada alat kamera
pengaman yang memonitor selama 24 jam, adanya saluran penanganan apabila diketahui ada
seseorang memasuki area tanpa ijin, dan mewaspadai gelagat disekelilingnya apabila terjadi
perbuatan yang tidak wajar. Oleh karena itu akuntan harus merubah pola pikirnya dengan melakukan
kombinasi antara prosedur audit dengan prosedur investigatif atau teknik-teknik investigatif untuk
dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor risiko audit dan kemungkinan salah saji material yang
disebabkan adanya kecurangan. Dengan menggunakan prosedur audit untuk mengidentifikasi
keadaan sekitar yang mendorong terjadinya kecurangan adalah untuk memahami jalan pikiran pelaku
kecurangan.

Anda mungkin juga menyukai