Anda di halaman 1dari 25

(Referensi Bencana Tanah Longsor)

© 2019 Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP

JURNAL ILMU LINGKUNGAN


Volume 17 Issue 2(2019) :272-282 ISSN
1829-8907

Analisis Penyebab Kejadian dan Evaluasi


Bencana Tanah Longsor di Desa Banaran,
Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo,
Provinsi Jawa Timur Tanggal 1 April 2017
Heru Sri Naryanto1, Hasmana Soewandita1, Deliyanti Ganesha1,
Firman Prawiradisastra1, dan Agus Kristijono1
1Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Gedung Geostech, Kompleks Puspiptek, Serpong, Kota Tangerang
Selatan / Gedung 2 BPPT, Lantai 12, Jl.
MH Thamrin 8, Jakarta 10340
e-mail: heru.naryanto@bppt.go.id

ABSTRAK

Bencana tanah longsor di Indonesia semakin sering terjadi dari tahun ke tahun.Bencana tanah
longsor telah terjadi di Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten
Ponorogo, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 1 April 2017. Lokasi tanah longsor di Desa
Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, terletak pada zona
kerentanan tinggi. Tipologi tanah longsor berupa longsoran bahan rombakan,yang kemudian
ke arah bawah (Sungai Tangkil) berkembang menjadi tipe aliran bahan rombakan. Faktor-
Faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor lokasi penelitian adalah:
kelerengan, batuan dan tanah, rekahan/retakan batuan, konversi lahan, drainase dan keairan,
curah hujan tinggi, dan aktivitas manusia. Dari kesemuanya faktor-faktor tersebut, yang paling
dominan dan berpengaruh terhadap tanah longsor adalah: lereng yang sangat curam, soil hasil
pelapukan sangat gembur dan tebal, alih fungsi lahan dan curah hujan yang tinggi. Material
longsoran tidak terkonsolidasi dengan baik sehingga masih mudah bergerak, dan kemungkinan
pembendungan pada Sungai Tangkil oleh material longsoran tersebut bisa berpotensi
terjadinya banjir bandang. Beberapa permukiman yang berada di sekitar lokasi longsor
mempunyai risiko tinggi dan sedang terhadap longsor, sehingga perlu dibangun kesiapsiagaan
masyarakat, pembangunan sistem peringatan dini longsor serta untuk jangka panjang adalah
relokasi jika memang kondisi semakin parah.Pertanian lahan kering pada lereng-lereng
sebaiknya menggunakan pola agroforestry. Kawasan sub DAS berisiko longsor, sebaiknya
dikembalikan fungsi lahan sebagai hutan konservasi atau hutan lindung seperti sebelumnya.

Kata kunci: longsor, Ponorogo, sangat curam, soil tebal, degradasi lahan, curah hujan tinggi, risiko
ABSTRACT

Landslides in Indonesia are becoming increasingly frequent from year to year.A landslide
disaster has occurred in Tangkil, Banaran Village, Pulung Sub-District, Ponorogo District, East
Java Province on April 1, 2017. The location of landslides in Banaran Village, Pulung Sub-
District, Ponorogo District, East Java, lies in the high vulnerability zone. The landslide typology
is a debris slide, which then in the downstream direction (Tangkil River) develop into a type
ofdebris flow. Factors that influence the occurrence of landslides in the study area are:very
steep slope, rock and soil, fracture, land conversion, drainage and irrigation, high rainfall, and
human activities. Of all the influential factors, the most dominant factors for landslides are:
steep slopes, weathered soil is very loose and thick,land conversion, and high rainfall.
Landslide material is not well consolidated so that it is still easy to move, and the possibility of
damming the Tangkil River by landslide material can potentially cause flash floods. Some
settlements located near landslide locations have high and moderate risks of landslides, so
community preparedness needs to be built, the establishment of landslide early warning
systems and long-term relocation if the condition is getting worse. Dryland farming on slopes
should use agroforestry patterns. Sub-watershed areas are at risk of landslides, the land
should be restored as conservation forest or protected forest as before.

Keywords: landslide, Ponorogo, steep slopes, thick soil, land degradation, high rainfall, risk

Citation: NaryantoH.S., Suwandita, H., Ganesha, D., Prawiradisastra, F., dan Kristijono, A.(2019). Analisis
Penyebab Kejadian dan Evaluasi Bencana Tanah Longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten
Ponorogo, Provinsi Jawa Timur Tanggal 1 April 2017. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(2), 272-282,
doi:10.14710/jil.17.2.272-282
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (2): 272 - 282, ISSN 1829-8907

1. Pendahuluan dapat digunakan sebagai pendidikan dasart anggap


Bencana tanah longsor atau sering disebut bencana bagi masyarakat (Damanik, 2012; Rahmad
gerakan tanah semakin sering terjadi di Indonesia et al., 2018).
dari tahun ketahun. Tanah longsor merupakan salah Yuniarta et al. (2015) mengatakan bahwa
satu kejadian alam yang terjadi di wilayah Kabupaten Ponorogo merupakan daerah yang
peggunungan, terutama di musim hujan. Kondisi berpotensi mengalami kejadian tanah longsor karena
tektonik di Indonesia yang membentuk morofolagi bentuk morfologi banyak berupa perbukitan. Data
tinggi, patahan, batuan vulkanik yang mudah rapuh tersebut didapatkan dari analisis GIS dengan
serta ditunjang dengan iklim di Indonesia yang menggunakan banyak parameter yang
berupa tropis basah, sehingga menyebabkan potensi ditumpangsusunkan (overlay) kemudian diberi
tanah longsor menjadi tinggi.Hal ini ditunjang pembobotan (skor). Dari hasil penelitian tersebut
dengan adanya degradasi perubahan tataguna lahan menunjukkan bahwa Kabupaten Ponorogo dapat
akhir-akhir ini, menyebabkan kejadian tanah longsor dikategorikan sebagai daerah dengan kondisi tanah
menjadi semakin meningkat.Kombinasi faktor longsor agak rawan di daerah perbukitan dan
antropogenik dan alam sering merupakan penyebab pegunungan, sedangkan pada bagian dataran rendah
terjadinya longsor yang memakan korban jiwa dan sebagai daerah sedikit rawan.
kerugian harta benda.(Naryanto, 2013; Naryanto, Bencana tanah longsor telah melanda Dusun
2017).Wang et al.(2017)mengatakan bahwa kejadian Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung,
tanah longsor berhubungan dengan berbagai faktor Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur pada hari
seperti presipitasi, geologi, jarak dari patahan, Sabtu 1 April 2017, jam 08.00 WIB, pada saat
vegetasi, dan topografi. masyarakat sudah melakukan aktivitas bekerja di
Tanah longsor adalah proses perpindahan kebun masing-masing. Berdasarkan data dari Badan
massa batuan (tanah) akibat gaya berat (gravitasi). Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten
Longsor terjadi karena adanya gangguan Ponorogo (2017), dilaporkan 6 orang korban
kesetimbangan gaya yang bekerja pada lereng, yaitu meninggal, 22 orang belum ditemukan akibat
gaya penahan dan gaya peluncur. Gaya peluncur tertimbun tanah longsor, dan 17 orang luka ringan.
dipengaruhi oleh kandungan air, berat massa tanah Korban yang tertimbun longsor yang berasal dari
itu sendiri berat beban bangunan. warga yang berada di dalam rumah dan bekerja
Ketidakseimbangan gaya tersebut diakibatkan memanen jahe saat longsor berlangsung.
adanya gaya dari luar lereng yang menyebabkan Lokasi tanah longsor di Desa Banaran
besarnya gaya peluncur pada suatu lereng menjadi terletak pada zona kerentanan tinggi berdasarkan
lebih besar daripada gaya penahannya, sehingga Peta Zona Gerakan Badan Geologi dari Pusat
menyebabkan massa tanah bergerak turun Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
(Naryanto, 2011; Naryanto et al., 2016). (2009).Zona Kerentanan Tinggi merupakan daerah
Tanah longsor terjadi karena dua faktor yang berpotensi untuk terjadi gerakan tanah.Jika
utama yaitu faktor pengontrol dan faktor terjadi hujan dengan intensitas dan durasi yang lama,
pemicu.Faktor pengontrol adalah faktor-faktor yang gerakan tanah lama bisa aktif kembali.
memengaruhi kondisi material itu sendiri seperti Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi geologi, kemiringan lereng, litologi, sesar dan fenomena kejadian tanah longsor, faktor-faktor yang
kekar pada batuan.Faktor pemicu adalah faktor yang berpengaruh terhadap kejadian longsor, faktor-
menyebabkan bergeraknya material tersebut seperti faktor dominan, mekanisme kejadian, risiko
curah hujan, gempabumi, erosi kaki lereng dan masyarakat yang berada di sekitar lokasi longsor
aktivitas manusia (Naryanto, 2013; Naryanto, 2017). serta rekomendasi pengurangan risiko bencana
Tanah longsor adalah bencana alam yang tanah longsor yang diperlukan.
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dan
menyebabkan kerusakan luas pada properti dan 2. Metode Penelitian
infrastruktur.Tanah longsor, secara umum mencakup Lokasi Penelitian
semua gerakan ke bawah atau tiba-tiba material Lokasi tanah longsor di Desa Banaran, Kecamatan
permukaan seperti tanah liat, pasir, kerikil dan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.Penelitian
batu.Tanah longsor merupakan salah satu bencana dilakukan pada bulan April 2017, dimulai pada dua
utama yang merusak di daerah pegunungan, yang hari pasca kejadian bencana tanah longsor di
diaktifkan karena pengaruh gempa bumi dan curah kawasan tersebut padatanggal 1 April 2017.
hujan (Pareta& Pareta, 2012).
Tingginya tingkat kerugian yang dialami oleh Metode Pengumpulan Data
masyarkat yang diakibatkan karena terjadinya Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah
bencana alam disebabkan karena kurangnya sebagai berikut:
informasi yang diperoleh masyarakat akan  Koordinasi dengan instansi terkait , yaitu Badan
kemungkinan kemungkinan bencana yang terjadi Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BPBD
disekitarnya, sehingga kesadaran masyarakat akan Kabupaten Ponorogo, Badan Meteorologi
tanggap bencana menjadi sangat minim. Oleh karena Klimatologi dan Geofisika (BMKG), PVMBG,
itu, informasi awal mengenai potensi dan risiko Universitas, serta Kementerian/Lembaga terkait.
bencana merupakan salah satu media informasi yang

© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP


 Kajian referensi/data sekunder berkaitan dengan lainnya. Pemrosesan data otomatis sepenuhnya
bencana longsor di Dusun Tangkil, Desa Banaran, dengan perangkat lunak pix4dmapper dan agisoft
Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi photoscan. Alur metode pembuatan foto udara
Jawa Timur. Data sekunder mencakup kajian dengan drone adalah: penetapan lokasi target,
penelitian terdahulu tentang longsor yang terjadi, pembuatan rencana terbang, pengambilan data
termasuk tentang daerah/lokasi, waktunya, dengan drone, pengolahan data dengan drone,
catatan-catatan instansi terkait, cerita penduduk, pembuatan kontur dan pembuatan peta.
geologi, geomorfologi, struktur geologi, geologi tata
lingkungan, geologi teknik, foto udara curah hujan, Analisis Mekanisme Longsor
DAS dan sub DAS, keairan, sosial ekonomi, tata Berbagai parameter dalam analisis mekanisme
ruang / RTRW, penggunaan lahan, penduduk dan kejadian longsor tersebut adalah: kondisi geologi,
lain-lain geologi tata lingkungan, geologi teknik, topografi, tataguna lahan, curah hujan, keairan dan
foto udara, peta struktur geologi, peta jenistanah, drainase dan pengaruh aktivitas manusia. Analisis
peta landsystem, Kabupaten Ponorogo dalam mekanisme kejadian longsor sangat penting untuk
Angka dan lain-lain. pembelajaran dalam mengantisipasi kejadian serupa
 Survei lapangan pasca bencana tanah longsor pada lokasi sekitar atau tempat lain.
secara komprehensif. Survei pasca longsor
meliputi pengamatan dampak kejadian, luasan, 3. Hasil dan Pembahasan
kemiringan lereng, topografi, jenis litologi, Tipologi Tanah Longsor
pengukuran kekuatan tanah, tataguna lahan, Tipe tanah longsor yang terjadi berupa longsoran
kondisi hidrologi, curah hujan, mataair, sub DAS, bahan rombakan (debris slide) berbentuk rotasi, yaitu
tataguna lahan, jenis vegetasi, sosial ekonomi gerakan massa tanah yang membentuk cekungan
masyarakat, diskusi dengan masyarakat atau tapal kuda dengan arah barat (N 270 o E), yang
setempat/korban, pemetaan longsor dan analisis kemudian ke arah bawah longsoran berbelok ke arah
mekanisme longsor pendahuluan, serta pemetaan selatan melewati saluran air yang berkembang
dengan drone. menjadi tipe aliran bahan rombakan (debris flow)
akibat bercampur dengan masa air dalam jumlah
Metode Analisis Data besar dan menjadi lumpur. Aliran bahan rombakan
Analisis Spasial secara aktif bergerak mengikuti aliran Sungai
Analisis spasial dilakukan pada lokasi penelitian Tangkil, dan dalam beberapa hari material longsor
dengan tahapan proses sebagai berikut: selalu bergerak khususnya apabila jumlah air sangat
 Analisis peta sub DAS dengan melakukan banyak (Gambar 1 dan 2).
pengolahan data kontur rupabumi BIG skala
1:25.000 melalui software Global Mapper. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah
 Analisis peta kemiringan lereng dengan Longsor di Dusun Tangkil, Desa Banaran
melakukan pengolahan data kontur rupabumi Kelerengan
BIG skala 1: 25.000 melalui extension spatial Secara umum, geomorfologi terbentuk oleh
analyst pada software ArcGIS 10.6. perbukitan sedang sampai terjal. Di bagian lereng
 Analisis overlay data spasial infrastruktur jalan, dan bawah perbukitan ini dipergunakan sebagai
sungai, sub DAS dan citra World Imagery dengan tempat pemukiman penduduk dan perkebunan.
menggunakan software Global Mapper untuk Pengamatan pada puncak mahkota longsor di Dusun
mengetahui kondisi tata ruang sebelum terjadi Tangkil, Desa Banaran, ditunjukkan tebing dengan
longsor. kelerengan sekitar 70-140%, yang termasuk katagori
 Analisis peta penggunaan lahan dengan sangat curam(very steep) menurut klasifikasi Zuidam
menggunakan citra hasil drone melalui software (1985)(Tabel 1). Kemiringan lereng di bawahnya
ArcGIS 10.6 untuk delinisasi wilayah terdampak lebih landai lagi yang digunakan untuk permukiman
longsor pada lokasi penelitian, sehingga dapat dan perladangan. Ketinggian mahkota longsor adalah
diidentifikasi sebaran permukiman, kerusakan 990-1.010 meter di atas permukaan laut (dpal). Jarak
akibat longsor dan untuk dasar penataan antara mahkota longsor dengan titik akhir
kawasan selanjutnya. terpanjang ke arah barat laut sekitar 1.500
meter.Arah dari posisi tengah mahkota longsor ke
Analisis Data Fotogrametri dengan Drone arah selatan dan berbelok ke arah timur.
Salah satu metoda pengumpulan data adalah Keterbatasan data topografi yang detail
dengan pembuatan foto udara menggunakan drone, sebelum kejadian longsor menyebabkan kendala
untuk mendapatkan data lokasi survei. Dalam dalam interpretasi. Berdasarkan pengolahan kontur
kegiatan tersebut digunakan dronetipe DJI Inspire. yang diperoleh dari data rupabumi skala 1:25.000
Pengambilan data dengan menggunakan kamera tahun 2016 maka dapat diidentifikasi wilayah
digital: compact, mirrorless, SLR, built-in. ketinggian dan kemiringan lereng sebelum terjadi
Pengumpulan data juga dilakukan dengan melihat longsor. Ketinggian di lokasi longsor dan sekitarnya
data peta yang dapat diakses dan digunatakan seperti terbagi menjadi 4 kelas yaitu 0-800 m, 800-900 m,
googlemap, applemap, maverick dan data peta 900-1000 m dan 1000-1200 m. Lokasi longsor
didominasi oleh ketinggian 800-900 meter.

© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP


Sedangkan di sekitar lokasi longsor. Ketinggian di Interpretasi
permukiman di sekitar longsor berada di lokasi longsor dan kemiringan lereng
lokasi longsor berada di wilayah ketinggian sekitarnya terbagi sebelum terjadi longsor
wilayah ketinggian 900- 900-1000 meter. menjadi 4 kelas yaitu 0- pada lokasi longsor
1000 meter. Kondisi 800 m, 800-900 m, 900- dilakukan dengan cara
kemiringan lereng 1000 m dan 1000-1200 mempelajari dan
pada lokasi longsor m. Lokasi longsor mengestimasi melalui
sangat bervariasi. didominasi oleh pengolahan data kontur
Berdasarkan klasifikasi ketinggian 800-900 RBI dan
Zuidam (1985), maka meter. Sedangkan membandingkannya
kemiringan lereng permukiman dengan data drone.
pada lokasi longsor Berdasarkan analisis
dan sekitarnya terdiri data tersebut maka
dari 5 wilayah yaitu 0 dapat disimpulkan
2 % (datar), 2-7% bahwa kemiringan
(agak landai), 7-15% lereng lokasi longsor
(agak curam), 15-30% dengan permukiman di
(curam) dan 30-70% lokasi longsor tersebut
(sangat curam). didominasi lereng
Kelas Kemiringan Slope ( sangat curam. Kondisi
Lereng (%) ketinggian dan
1 0-2 0-1.15 kemiringan lereng pada
2 2-7 1.15-4
lokasi kejadian tanah
3 7-15 4-8.5 longsor bisa dilihat
Gambar1. Tanah longsor 4 15-30 8.5-16.7 pada Gambar 3 dan 4.
di Dusun Tangkil, Desa
5 30-70 16.7-35
Banaran yang Berbelok 6 70-140 35-54.5
Setelah Menabrak Bukit 7 >140 >54.5
di Bawahnya

Keterbatasan data

ongsor) membelok dan berubah menjadi aliran bahan rombakan (aliran debris)

Gerakan tanah (longsor) tipe longsoran bahan rombakan (longsoran debris) yang berbentuk rotasi di sekitar mahkota longsor

Gambar 2. Gambaran topografi yang detail


Tipologi Longsoran Bahan sebelum kejadian
Rombakan yang ke Arah longsor menyebabkan
Bawah Berbelok dan kendala dalam
Berkembang Menjadi
interpretasi.
Berdasarkan
Aliran Bahan Rombakan Gambar 3. Kondisi
pengolahan kontur
(Sumber: Analisis Data dan
yang diperoleh dari Ketinggian
Foto Diambil dari BNPB) data rupabumi skala di Lokasi
1:25.000 tahun 2016 Longsor dan
maka dapat Sekitarnya
Tabel 1. Klasifikasi
diidentifikasi wilayah (Sumber:
Kemiringan Lereng ketinggian dan Analisis
Menurut Zuidam (1985) kemiringan lereng Data)
sebelum terjadi
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Ponorogo terbentuk breksi vulkanik, struktur remah dan
oleh Satuan Morfoset terdapat bidang batas gembur, serta tanah
Batuan dan Jeding-Paukbanteng antara batuan lunak dan mempunyai kesuburan
Tanah/Pelapuk (Qj),yang terdiri dari batuan keras yang yang cukup baik juga
an Batuan lava andesit piroksen, berfungsi sebagai merupakan salah satu
Menurut peta breksi gunung bidang gelincir longsor pilihan petani untuk
geologi dari Sampurno api/breksi vulkanik apabila terjadi melakukan aktivitas
& Samodra (1997), dan sisipan tuf dan kejenuhan akibat budidaya tanaman
batuan yang terdapat di batu apung. Lereng masuknya air ke dalam khususnya jahe dan
Dusun Tangkil, Desa tersebut tersusun dari pori-pori tanah. kacang tanah.
Banaran, Kecamatan batuan gunungapi yang Tipe tanah
Pulung, Kabupaten bersifat urai pada lapisan atas Retakan Batuan
dan banyak retakan, pelapukan, sehingga mempunyai warna yang Sebelum
serta menumpang pada bisa membentuk soil lebih gelap, kejadian longsor
batuan sedimen tersier dengan ketebalannya mengindikasikan biasanya didahului
yang dapat membentuk lebih dari 7 meter.Sifat kandungan bahan dengan terbentuknya
bidang gelincir. fisik tanah pelapukan organiknyayang retakan atau rekahan
berupa lempung pasiran tergolong tinggi, solum batuan yang terjadi di
tanah juga tebal, bagian atas mahkota
sehingga tanah ini longsor.Pertengahan
tergolong mempunyai bulan Maret 2017,
kesuburan yang warga Dusun Tangkil
baik.Kondisi ini yang sudah melihat
menyebabkan tekanan rekahan/retakan
akitivitas manusia batuan yang terjadi di
(petani) untuk budidaya bagian atas mahkota
pertanian baik tanaman longsor.Dijumpai
semusim ataupun adanya rekahan di atas
tanaman bukit yang longsor
tahunan.Kondisi sifat sebagai pertanda
fisik tanah mempunyai terjadinya
tekstur lempung ketidakstabilan
berdebu hingga lereng.Rekahan ini
lempung liat berpasir, menyebabkan air hujan
yang jatuh dapat lebih
mudah untuk meresap
ke dalam tanah dan
mempermudah
terjadinya kejenuhan
tanah.Menurut PVMBG
(2017), daerah
kejadian tanah longsor
merupakan zona lemah,
yang diperkirakan
terdapat struktur
patahan atau sesar.
Gambar 4. Kondisi sampai, gembur, tidak Informasi dari
Kemiringan Lereng di kompak dan mudah warga setempat,
Lokasi Longsor dan
lepas.Lapisan soil retakan awal sekitar 30
kemudian bergradasi ke cm sebelumnya telah
Sekitarnya (SRTM 30m)
batuan breksi vulkanik dideteksi di lokasi
(Sumber: Analisis Data)
yang relatif tidak longsor, setiap hari
terlapukan di bagian bertambah sekitar 8 cm
bawahnya (ukuran hingga 10 cm. Kepala
Batuan komponen antara pasir Desa telah
penutup berupa soil di sampai dengan mengintruksikan
bagian atas, berasal bongkah, besar Jogoboyo (keamanan
dari pelapukan batuan komponen rata-rata kampung) untuk
breksi vulkanik. Breksi sekitar 5-10 cm; dengan memantau retakan
vulkanik banyak matriks pasir halus- tanah di Bukit Gede
mengandung tufa dan lanau).Di bagian bawah setiap harinya. Sejak
material lain yang material lapuk (soil) saat itu, warga pun
mudah mengalami yang berupa batuan diminta untuk waspada
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
mengingat potensi sebagian dimanfaatkan semusim denganpola
longsor Bukit Gede untuk kawasan tumpangsari(multiple t
dapat terjadi kapan permukiman cropping) tanaman a
saja.Warga juga telah penduduk. keras.Tanaman keras n
dihimbau untuk Dengan lainnya yang a
mengungsi ke topografi dan dibudidayakan dan m
pemukiman warga kelerengan tergolong tersisa adalah tanaman a
lainnya yang lebih sangat curam, namun mahoni, sengon, jati, n
tinggi dan jauh dari lereng lereng waru dan cengkeh.
jarak Bukit Gede. perbukitan yang terjal b
Himbauan untuk ini dimanfaatkan oleh b. Kawasan budidaya u
mengungsi telah masyarakat/petani dan vegetasi d
dilakukan warga dan untuk aktivitas Tata guna lahan i
dilaksanakan pada budidaya pertanian, d
eksisting dilokasi
a
malam hari, sementara mengingat tanahnya longsor sebagian besar
y
pada pagi hingga siang tergolong gembur dan merupakan kawasan
a
warga kembali ke subur. Model pertanian budidaya tanaman
pemukimannya sudah menerapkan semusim yang
(Naryanto et al., konsep mikro terhampar pada lereng m
a
2017). konservasi (terasering) bukit membentuk teras
y
dengan lebar teras teras searah kontur.
o
Penggunaan Lahan hanya berkisar 1 Lokasi ini pada awalnya r
Morfologi hingga maksimal 3 merupakan hutan i
lahan sekitar lokasi m.Karakteristik sifat lindung dan pada lokasi t
longsor di Desa tanah yang gembur puncak sekitarnya a
Banaran Kecamatan menyebabkan daya masih tersisa tanaman s
Pulung Kabupaten serap/infiltrasi yang keras seperti hutan
Ponorogo merupakan sangat efektif bagi air pinus dibawah konsesi j
perbukitan hujan.Pola sistem Perum a
bergunung.Pada budidaya Jahe Perhutani.Kawasan h
bagian lembah yang disinyalir turut hutan yang merupakan e
sempit mengalir menjadi pemicu pintu kawasan lindung ini
sungai dengan pola masuk air bisa terdesak oleh aktivitas
aliran yang berasal terserap kedalam kegiatan manusia yaitu
atau hulunya dari tanah secara budidaya tanaman
lereng lereng efektif.Pada saat semusim mengingat
perbukitan menanam tanah kondisi tanahnya yang
tersebut.Pada bagian dilubangi, sementara tergolong subur.
bukit atau gunung pada saat
pertumbuhan Gambar 5. Pola
kelerengan perakaran/buah Budidaya Pertanaman di
akanmenembus tanah L
a Bagian Upland dan
lahannya sangat dengan mudah karena
h diAtas Mahkota Longsor,
curam.Sedangkan tanah gembur. Begitu
a Berupa Kebun dengan
lebar lembahnya selanjutnya pada saat n Mayoritas Tanaman Jahe
tergolong sempit yang menjelang
dengan Sistem
panen rumpun jahe dengan morfologi t Terasering
sudah mati sehingga berbukit hingga e
tutupan lahan oleh bergunung dengan r
tajuk daun akan kemiringan lereng lebih a Meskipun
berkurang, kondisi ini dari 60. Kawasan ini s merupakan perbukitan
yang turut secara fungsi e dengan kelerengan yang
berkontribusi tanah hidroorologis r tergolong sangat curam,
akan melewatkan air sebenarnya merupakan i perbukitan di sekitar
kebawah dengan kawasan lindung. n lokasi kejadian bencana
mudah. Nampak bahwa masih g longsor telah
tersisa hutan pinus dimanfaatkan untuk
a. Kawasan hutan yang berada pada d budidaya tanaman
Berdasarkan puncak bukit, e khususnya tanaman
kondisi morfologi sementara pada bagian n jahe.Dari segi aspek
lahan, lahan sekitar lereng sudah berubah g konservasi tanah, lahan
lokasi longsor fungsi menjadi kawasan a dengan kelerengan
merupakan kawasan budidaya tanaman n
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
sangat curam tidak (upland), lahan nampak pada yang berpola vertikal
cocok untuk budidaya kerapatan tanaman memotong
tanaman dan harus dimanfaatkan untuk keras yang tumbuh kontur/lereng ada
merupakan kawasan pertanian tegalan dan memotong kontur dan kecenderungan
konservasi/lindung. pola pertanian ini sebagai bentuk membentuk parit yang
Namun apabila dilihat agroforestry(Gambar 5). drainase yang dibuang berfungsi membuang
dari areal terdampak dari lereng lereng yang kelebihan air/run off
longsor morfologi Berdasarkan berteras pada kegiatan dari lereng lereng yang
lahan pada kaki bukit peta penggunaan tanah budidaya tanaman tidak terinfiltrasi pada
relatif mempunyai diketahui bahwa semusim.Drainase lahan budidaya.
kemiringan lereng penggunaan tanah di Mata air kecil tengah bukit juga
tidak terlalu lokasi longsor dan terbentuk pada bagian nampak aliran air yang
curam.Pada lahan ini sekitarnya menurut atas dan tengah bukit mengalir liar terbuang
dimanfaatkan untuk data peta RBI Skala Gunung Gede, kelihatan kebawah melewati alur
persawahan padi 1:25.000 BIG adalah pada saat kejenuhan air alami diantara
sawah pada kaki bukit perkebunan (jahe, jati, sangat tinggi.Dari reruntuhan tanah pasca
hingga pertengahan kelapa, kebun kejauhan terlihat terjadinya longsor, dan
dan pada kawasan yang campuran), adanya torehan-torehan makin ke bawah makin
lebih atas permukiman dan pada tebing longsor besar mengalir ke sungai
agrikultur lahan membentuk alur-alur dibagian barat yang
kering. Pada mahkota baik di bagian bawah debitnya cukup besar.
longsor dan perbukitan mahkota longsor.Sistem Sementara itu lahan
di sebelahnya memang drainase ini pada kaki bukit
memiliki sedikit pohon mengumpulkan ditunjang oleh sistem
pohon besar namun kelebihan air dilahan drainase yang sekaligus
dominan masih dan membuangnya berfungsi sebagai
ditutupi oleh dalam arah horizontal saluran irigasi untuk
perkebunan dan searah kontur dan tegak budidaya pertanian padi
agrikultur lahan kering lurus kontur.Sistem ini sawah (Gambar 7 dan 8)
(Gambar 6). disebut juga parit yang (Naryanto et al., 2017).
secara tidak langsung

Gambar 6. Kondisi
Landuse di
Sekitar Lokasi
Longsor dan
Sekitarnya
(Sumber:
Analisis Data)

Drainase dan Keairan


Terdapat
drainase alami yaitu
Sungai Tangkil yang
berada dan mengalir
pada kaki perbukitan
atau pada lembah
lokasi longsor.Aliran
air ini sebagian berasal
atau hulunya berada
pada bukit yang
longsor tersebut.
Nampak juga aliran air
tertoreh pada area
potongan longsoran
sebagai bentuk jalan
aliran air yang keluar
dari badan bukit yang
terlepas/terpotong dibuat oleh petani lahan
karena longsor.Jalur dalam rangka membuat
pola drainase guludan atau petakan
permukaan juga lahan. Pada bagian
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
yang ada di lokasi memperlihatkan sub terjadinya yang sangat
longsor dan sekitarnya DAS yang berada pada bencana.Terutama membahayakan
sehingga keluaran lokasi longsor dan arah untuk bencana tanah dikemudian hari.
menjadi lebih detail aliran sungai yang longsor. Berdasarkan hasil
dan fokus pada cell searah dengan Ketidakseimbangan pengamatan lapangan,
yang berisiko tinggi pergerakan longsor tanah akibat salah data sekunder, dan
terkena longsor. Pada (Gambar 9). pengelolaan budidaya wawancara dengan
peta sub DAS dibuat manusia yang secara warga yang menjadi
dengan akumulation
. Sub DAS pada lokasi longsor (Sumber: kumulatif dapat saksi mata terjadinya
aliran 10 hektar yang Analisis Data) memicu terjadi longsor bencana
longsor di Dusun karena kejadian longsor
Tangkil, secara sosial yang diikuti aliran
Curah Hujan
kultural kepala keluarga bahan rombakan, lokasi
Kondisi curah
yang tertimbun longsor permukimannya
hujan sangat ekstrim
memilki mata sebagian besar berada
menjadi salah satu
pencaharian bertani, pada sepanjang aliran
pemicu bencana tanah
khususnya tanaman sungai di bawah longsor.
longsor di di Desa
Gambar 7. Indikasi Banaran,
Mata Air yang Kec.Pulung.Curah
Muncul dari Lereng hujan tinggi telah
Potongan Longsor terjadi pada hari-hari
dan Parit Drainase sebelum terjadi
Lereng Area longsor.Pemicu
Budidaya longsor besar di Desa
Banaran adalah
tingginya curah hujan

Gambar 8. Alur Parit yang ada di sekitar


di Bagian Lahan kawasan lokasi
Upland bencana.Hujan bahkan
diinformasikan
Analisis hasil mengguyur selama tiga jahe, selain padi sawah,
dari kajian tanah hari sebelum kejadian jagung, sengon, rumput Faktor Paling
longsor dilakukan secara terus- menerus gajah, kopi, kakao, Dominan yang
dengan menggunakan dengan intensitas bambu, sayur-sayuran Berpengaruh
nano cell, yaitu analisis tinggi.Sehari sebelum dan lain-lain. Mereka Terhadap Tanah
dengan pendekatan sub kejadian itu hujan bertani di sekitar Longsor
DAS-sub DAS kecil terjadi mulai dari sore rumahnya dan rata-rata Dari pembahasan di
hingga tengah bukan petani penggarap atas, banyak faktor-
malam.Kondisi itu melainkan mereka faktor yang
memicu terjadinya bertani di lahan milik mempengaruhi
serapan air dalam mereka sendiri. Selain terjadinya tanah
tanah cukup tinggi, bertani mata longsor, tetapi dari hasil
sehingga tanah dalam pencaharian penduduk analisis faktor-faktor
kondisi jenuh air. Dusun Tangkil ini utama yang
adalah bekerja di berpengaruh terhadap
Aktivitas Manusia kampung lain, namun bencana tanah longsor
Faktor manusia jumlahnya hanya di Dusun Tangkil, Desa
dibeberapa bencana sedikit. Sebagian warga Banaran ada empat (4),
memang seringkali Dusun Tangkil yaitu :
menjadi faktor kunci tertimbun longsor a. Topografi pada
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
sumber atau tanah hasil terjal. Pada lokasi awal sudah terbentuk
terbentuknya tanah pelapukan batuan yang di mahkota longsor sebelumnya, sehingga
longsor mempunyai sangat tebal. Dijumpai terbentuk oleh tanah/batuan menjadi
kelerengan adanya kemiringan lereng jenuh air, menyebabkan
sangatcuram. rekahan/retakan di atas yang ekstrim. bobot masanya dan
b. Batuan breksi bukit yang longsor c. Lahan yang tekanan air pori
vulkanik yang sebagai pertanda mendominasi kawasan bertambah serta kuat
mudah lapuk yang ketidakstabilan lereng. lereng dan bagian gesernya menurun.
membentuk soil Rekahan ini puncak bukit bersifat e. Tanah yang
hasil pelapukan menyebabkan air hujan mudah menyerap air mengandung air
sangat tebal (lebih yang jatuh dapat lebih tanah yang berasal dari menjadi semakin jenuh,
dari 7 meter), mudah untuk meresap air hujan sehingga oleh karenanya
mempunyai sifat ke dalam tanah dan aliran air relatif lebih mengakibatkan pula
menyerap air sangat mempercepat lancar terus masuk ke semakin berat
tinggi sehingga kejenuhan tanah. lapisan soil. Pada massanya. Tekanan
mudah jenuh dan Komposisi breksi bagian atas dan hidrostatis
membuat andesit yang sebagian samping mahkota diperkirakan timbul
ketidakstabilan mempunyai fragmen longsor kelihatan pada batas antara
lereng. batuan andesit yang rekayasa terasering lapisan soil yang jenuh
c. Pemanfaatan lahan sangat kompak, untuk pemanfaatan air dengan lapisan
terasering dengan pembentukan undakan lahan tanaman jahe, breksi vulkanik yang
tanaman longsor kemungkinan yang seharusnya bisa relatif kedap air.
hortikultura besar terganjal oleh dijadikan hutan dengan Terbentuknya batuan
terutama tanaman batuan kompak dan akar yang kuat. Air kedap air dan tanah
jahe, memerlukan sangat massif dari hujan yang masuk yang jenuh,
upaya batuan andesit tersebut. melalui rekahan menyebabkan lapisan
penggemburan b. Lokasi longsor maupun melalui proses kedap air yang berupa
tanah untuk di Dusun Tangkil, Desa infiltrasi biasa batuan breksi vulkanik
kesuburan sehingga Banaran secara umum kemudian menjadi bidang gelincir
menyebabkan terletak pada morfologi menjenuhkan tanah dari tanah penutup di
mudahnya yang penutup hingga ke atasnya, sehingga
terjadinya resapan batuan breksi vulkanik. memicu ketidak
tanah sampai terjadi Di dasar longsor seimbangan pada
kejenuhan tanah terlihat jelas jenis lereng dan terjadi
yang memudahkan batuannya yaitu breksi gerakan massa tanah
terjadinya vulkanik yang masih tersebut.
ketidakstabilan keras. Karena curah f. Hujan yang
lereng. hujan tinggi, tanah menerus
d. Curah hujan yang mudah menjadi jenuh mengakibatkan
memiliki intensitas dan breksi tersebut sebagian air tertahan di
lama yang terjadi semakin jenuh dengan bagian atas dan tengah
pada hari-hari dan air dan air tidak dapat tubuh longsor dan
beberapa jam terinfiltrasi lebih jauh membentuk kejenuhan
sebelum terjadinya karena keras dan yang luar biasa pada
tanah longsor. bidang batas tersebut tanah (soil). Air
berfungsi sebagai semakin lancar masuk
Analisis Mekanisme bidang gelincir. ke dalam pori-pori
Terjadinya d. Pemicu utama tanah sampai batas
Tanah Longsor dari kejadian bencana kontak dengan batuan
Berdasarkan tanah longsor tersebut dasarnya. Pada saat
pengamatan di adalah curah hujan beban massa tanah
lapangan serta tinggi. Hujan yang sudah lewat maka
informasi yang didapat turun terus menerus kestabilan lereng
dapat diintepretasikan selama beberapa jam terganggu dan longsor
mekanisme terjadinya sebelum terjadinya dahsyat terjadi sekitar
longsor di Dusun longsor menyebabkan pada hari Sabtu tanggal
Tangkil, Desa Banaran air permukaan 1 April 2017 jam 08.00
adalah sebagai berikut: meresap masuk ke WIB. Longsor tipe
a. Batuan breksi dalam tanah/batuan longsoran bahan
vulkanik yang melalui rombakan
membentuk perbukian retakan/rekahan dan menyebabkan getaran
yang sangat curam, ruang antar butir yang sangat keras
telah membentuk soil tanah/batuan yang dirasakan penduduk
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
karena massa yang berubah menjadi tipe Berdasarkan
longsor yang bergerak aliran bahan rombakan peta risiko longsor,
sangat banyak (debris). Semakin dapat diketahui pada
menghantam bagian banyak air yang permukiman dengan
depan arah longsor terkandung di risiko longsor tinggi
yang mengenai bukit dalamnya, maka diberi simbol berwarna
dan berbelok mengalir semakin tinggi merah dan berada
ke selatan melalui kecepatan aliran debris persis di sebelah utara
lembah Sungai Tangkil bergerak. lokasi longsor dan
ke arah hilir yang sejajar dengan lokasi
Permukiman yang longsor.Sedangkan
dominan berada di permukiman dengan
Berisiko perbukitan yang
Terhadap risiko longsor sedang
memiliki ketinggian diberi simbol warna
Bencana Longsor 940-980 m dpl.
Permukiman oranye dan lokasinya Gambar 11. Permukiman
dengan risiko tinggi sebagian besar berada yang Berada Sekitar
berada persis di bawah di barat laut lokasi Longsor yang Berisiko
lereng terjal sama longsor. Tinggi
seperti kondisi Hasil pemetaan
permukiman pada fotogrametri dan survei
lokasi longsor dulu lapang dengan
sebelum kejadian menggunakan Drone
longsor. Gambar 10 dapat diolah menjadi
berikut ini merupakan data kontur sehingga
kondisi sebelum didapatkan kondisi
topografi lapangan
secara detail dan
deliniasi permukiman
yang lokasinya mirip
dengan lokasi longsor
tersebut. Data
ketinggian yang
diperoleh dari SRTM
30m didetailkan dengan
data ketinggian dari
Drone. Berikut ini
pemetaan ketinggian
dan kemiringan lereng
yang berasal dari data
SRTM 30m dan data
Drone. Berdasarkan Gambar 12. Beberapa Foto
peta ketinggian dari dengan Menggunakan
longsor dari LAPAN drone maka dapat Drone di Sekitar Lokasi
yang berasal dari citra diketahui klasifikasi Longsor dan Bagian
SPOT-6 dengan tanggal ketinggian pada Utaranya (Sumber: Analisis
akuisisi 23 Februari permukiman di utara Data Drone)
2017. lokasi longsor berkisar
Kondisi fisik di dengan lokasi longsor antara 800-1.074 m dpl.
sekitar permukiman dan penggunaan tanah Berdasarkan
Permukiman tersebut
tersebut juga paling yang sudah banyak peta kemiringan lereng
mirip dengan kondisi terjadi bukaan lahan dari data drone maka
lokasi longsor sebelum seperti perkebunan lokasi permukiman di
terjadi longsor. Kedua jahe, perkebunan utara lokasi longsor
lokasi tersebut juga campuran, permukiman berada di wilayah
berlereng curam mirip dan agrikultur lahan kemiringan lereng 0-
dengan lokasi kering. 45 dan dominan
permukiman yang berada di lereng yang
berada persis di bawah Gambar 10. Kondisi terjal. Permukiman
lereng terjal, memiliki Daerah Sebelum Terjadi tersebut ada yang
formasi batuan yang Longsor (Sumber: Analisis berada persis di lereng
terdiri dari tufa yang Data Berdasarkan Citra yang terjal dan ada juga
bersifat mudah lapuk, yang berada persis di
SPOT-6 LAPAN)
curah hujan yang sama bawah lereng terjal.
Permukiman tersebut
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
berada di lereng terjal penggunaan lahan Pemerintah Daerah, yang tinggal di daerah
dan memiliki kondisi dapat dilihat pada Perhutani, LSM dan rentan longsor seperti
fisik yang sama pembahasan lainnya. di Dusun Tangkil, Desa
dengan lokasi longsor berikutnya. Gambar Pengamatan curah Banaran, Kecamatan
yang terjadi. Peta 11menunjukkan hujan ini diperlukan Pulung.
kondisi fisik lainnya permukiman yang karena curah hujan Lereng dengan
seperti geologi dan berada di bawah merupakan salah satu kemiringan sangat
lereng terjal pada Pengurangan Risiko pemicu terjadinya curam akan
sekitar lokasi longsor Bencana Tanah bencana tanah longsor. meningkatkan potensi
dan peta kemiringan Longsor di Menurut Sipayung et al. terjadinya tanah
lereng. Dusun Tangkil, (2014) bahwa nilai longsor, sehingga upaya
Berdasarkan Desa Banaran ambang curah hujan mitigasi pada wilayah
analisis data drone, Kondisi biofisik yang berpotensi ini sangat diperlukan,
maka dapat diketahui lahan di Dusun menyebabkan longsor salah satunya adalah
kemiringan lereng Tangkil, Desa Banaran akan berbeda pada dengan upaya
pada permukiman di yang berpotensi besar setiap daerah, dan akan mengurangi volume air
utara lokasi longsor terhadap bencana berpengaruh lebih hujan yang masuk ke
secara detail tanah longsor, besar pada daerah yang dalam profil tanah
didominasi memerlukan upaya rentan longsor (Susanti et al., 2017).
kelerengansangat mitigasi yang tepat dibandingkan dengan Berkaitan dengan hal
curam. Data ini agar korban jiwa dan daerah yang tidak ini, Hardiyatmoko
dijadikan acuan untuk kerugian material rentan longsor (2006) menyampaikan
perkiraan kelas lereng dapat dikurangi. meskipun dengan curah bahwa untuk
pada lokasi sebelum Perubahan tataguna hujan yang sama. meningkatkan stabilitas
longsor.Berdasarkan lahan telah terjadi di Menurut Paimin et al. lereng perlu dilakukan
data SRTM 30m maka kawasan tersebut (2009), curah hujan dengan perubahan
dapat diketahui pada tahun-tahun yang perlu diwaspadai geometri lereng yaitu
kemiringan lereng terakhir ini. Pada pada daerah rentan dengan pelandaian
pada sekitar kawasan rawan longsor adalah >300 kemiringan lereng,
permukiman di utara longsor perlu mm/3 hari. Adanya seperti dengan
lokasi longsor mirip dijadikan lahan informasi curah hujan pembuatan teras
dengan kemiringan perkebunan dengan yang tepat dan bangku, mengontrol
lereng pada lokasi tanaman keras yang kontinyu, diharapkan drainase dan rembesan
longsor (Naryanto et berakar kuat dan dapat menjadi dasar terutama drainase
al., 2017). dalam yang berfungsi peringatan dini bagi aliran permukaan dan
dapat menahan lereng. masyarakat bawah permukaan,
pembuatan bangunan
untuk stabilisasi,
pembongkaran dan
pemindahan material
pada daerah rentan
longsor, serta
perlindungan
permukaan tanah.
Perlu dilakukan
peningkatkan
kesadaran dan
kesiapsiagaan
Tanaman keras pada masyarakat terhadap
Gambar 13. Topografi
lereng yang sudah ada potensi longsor di
dalam Bentuk 3 Dimensi
sebaiknya tidak daerahnya. Hal ini bisa
pada Daerah Longsor dimulai dengan
dan Permukiman di dilakukan
penebangan, kalau pengamatan kondisi
Sekitarnya yang juga
terpaksa harus lingkungan dan iklim,
Terancam Berdasarkan
dilakukan secepatnya termasuk di dalamnya
Pengolahan Data Drone
diganti dengan pengamatan terhadap
(Sumber: tanaman yang baru. kondisi fisik lahan dan
Reboisasi lahan kritis curah hujan. Kesadaran
4. An masyarakat terutama
alis di daerah bencana
longsor di sekitarnya peningkatan
is
Dat perlu dilakukan oleh kewaspadaan pada saat
a) masyarakat, musim hujan dengan
intensitas yang tinggi
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
sangat diperlukan. masyarakat yang sudah
Penetapan jalur terbangun perlu untuk
evakuasi yang tepat diperkuat, dengan
juga berpengaruh memanfaatkan
terhadap proses sumberdaya yang ada
penyelamatan warga di masyarakat.
apabila terjadi bencana Sementara peringatan
longsor (Susanti et al, dini bencana tanah
2017). Masyarakat di longsor dengan
sekitar daerah bencana teknologi instrumentasi
perlu melakukan bisa berdasarkan pada
kontrol terhadap tanda- tingginya curah hujan
tanda gerakan tanah yang diukur oleh Auto
(adanya retakan, Weather Station (AWS),
keluarnya mata air ekstenseometer,
baru, mata air keruh, kejenuhan tanah (soil
pohon-pohon miring, moisture), tinggi muka
suara gemuruh dalam airtanah (groundwater
tanah) serta level recorder),
mewaspadai apabila inklinometer,
terjadi pembendungan akselerometer dan
aliran sungai (waduk lainnya.
alam) di sepanjang
aliran sungai.
Masyarakat di sekitar
bencana perlu waspada
dan disarankan untuk
mengungsi ke lokasi
yang aman, karena
daerah bencana dan
sekitarnya masih
berpotensi terjadi
longsor susulan
(PVMBG, 2017).
Material hasil
longsoran di Sungai
Tangkil merupakan
material yang tidak
terkonsolidasi dengan
baik dan tidak stabil
sehingga masih mudah
bergerak apabila
bercampur air dalam
jumlah
besar.Pembendungan
pada Sungai Tangkil
oleh material longsoran
bisa terjadi dan
berpotensi terjadinya
banjir bandang.Untuk
itu di sepanjang sungai
tersebut harus
dibebaskan terhadap
permukiman.
Sistem peringatan dini
bencana tanah longsor
perlu untuk dibangun di
daerah tersebut, baik
yang berbasis
masyarakat lokal
maupun dengan
instrumentasi.Peringata
n dini berbasis
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
4. Kesimpulan
Jenis longsoran pada daerah penelitian adalah longsoran bahan rombakan dan berkembang menjadi aliran
bahan rombakan akibat bercampur dengan massa air. Material hasil longsoran di Sungai Tangkil tidak
kompak sehingga masih mudah bergerak, dan berpotensi terjadinya aliran bahan rombakan atau banjir
bandang.
Mekanisme terjadinya longsor adalah: batuan breksi vulkanik yang membentuk pelapukan tanah sangat
tebal. telah membentuk perbukian yang sangat curam, terbentuk rekahan/retakan sebelum longsor, air
hujan akibat curah hujan tinggi masuk melalui rekahan maupun melalui proses infiltrasi biasa kemudian
menjenuhkan tanah penutup yang gembur sehingga keseimbangan tanah menjadi labil dan terbentuk
kejadian tanah longsor dari tanah penutup beserta tanaman di atasnya melalui batuan breksi yang keras
tersebut sebagai bidang gelincir.
Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap bencana tanah longsor yaitu
:kelerengan yang sangat curam, batuan breksi vulkanik yang membentuk soil hasil pelapukan sangat tebal,
alih fungsi lahan dengan tanaman hortikultura yang memerlukan upaya penggemburan tanah dan
mengganggu kestabilan lereng, serta curah hujan yang tinggi.
Pada kawasan rawan longsor perlu dijadikan lahan perkebunan dengan tanaman keras yang berakar kuat
dan dalam yang berfungsi dapat menahan lereng.Pertanian lahan kering pada lereng-lereng sebaiknya
menggunakan pola agroforestry. Kawasan sub DAS berisiko longsor, sebaiknya dikembalikan fungsi lahan
sebagai hutan konservasi atau hutan lindung seperti sebelumnya.
Beberapa permukiman yang mempunyai risiko tinggi dan sedang terhadap longsor, perlu dibangun
peningkatan kesiapsiagaan masyarakat, pemasangan sistem peringatan dini longsor serta untuk jangka
panjang adalah relokasi pada daerah yang aman jika memang kondisi semakin parah.
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, M. R. S., & Restu, R. 2012. Pemetaan Tingkat Risiko Banjir dan Longsor Sumatera Utara Berbasis Sistem Informasi
Geografis. Jurnal Geografi, 4(1): pp. 29-42.

Hardiyatmoko, H. C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi (Edisi 1). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

LAPAN, 2017, Citra SPOT-6 dengan tanggal akuisisi 23 Februari 2017.

Pareta, K. & Pareta, U. 2012. Landslide Modeling and Susceptibility Mapping of Giri River. International Journal of Science and
Technology, Vol. 1 No. 2, 2012: pp. 91-104.

Naryanto, H.S. 2017. Analisis Kejadian Bencana Tanah Longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar,
Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah tanggal 12 Desember 2014. Jurnal Alami, Vol. 1

No. 1 tahun 2017: pp. 1-10.


Naryanto, H.S. 2013. Analisis dan Evaluasi Kejadian Bencana Tanah Longsor di Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa
Barat Tanggal 25 Maret 2013, JSTMB, Vol. 8, No. 1, Tahun 2013: pp. 39-49.

Naryanto, H.S. 2011. Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Penanggulangan Bencana, BNPB, Vol 2 No. 1 Tahun 2011: pp. 21-32.

Naryanto, H.S., Kristijono, A., Suwandita, H., Ganesha, D., Prawiradisastra, F. dan Udrekh. 2017. Analisis Kejadian Bencana Tanah
Longsor (Gerakan Tanah) di Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur
Tanggal 1 April 2017. Laporan Kajian Cepat, PTRRB, BPPT.

Naryanto, H.S., Wisyanto, Sumargana, L., Ramadhan, R. dan Prawiradisastra, S. 2016. Kajian Kondisi Bawah Permukaan Kawasan
Rawan Longsor dengan Geolistrik untuk Penentuan Lokasi Penempatan Instrumentasi Sistem Peringatan Dini Longsor di
Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut. Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia (JRKI), Vol. 2 No. 2, Oktober 2016: pp. 161-172.

Paimin, Sukresno dan Pramono, I. B. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Balikpapan: Tropenbos International
Indonesia Programme.

PVMBG. 2017. Laporan Singkat Pemeriksaan Gerakan Tanah Di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur.
[terhubung berkala]. http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gerakan- tanah/kejadian-
gerakan-tanah/1519-laporan-singkat- pemeriksaan-gerakan-tanah-di-kecamatan-pulung- kabupaten-ponorogo-provinsi-
jawa-timur.

PVMBG. 2009. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Badan Geologi, Kementerian
ESDM.

Sampurno & Samodra, H. 1997. Peta Geologi Lembar Ponorogo, Jawa, Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.

Sipayung, S. B., Cholianawati, N., Susanti, I., Aulia, S., Edy, R., Pusat, P., & Atmosfer, T. 2014. Pengembangan Model
Persamaan Empiris Dalam Memprediksi Terjadinya Longsor di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum (Jawa Barat) Berbasis
Data Satelit TRMM. Jurnal Sains Dirgantara, 12(1): pp. 12–21.

Susanti, P.D., Miardini, A. dan Harjadi, B. 2017. Analisis Kerentanan Tanah Longsor Sebagai Dasar Mitigasi di Kabupaten
Banjarnegara. Jurnal Penelilian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Vol. 1 No. 1, April 2017: pp. 49-59.

Pareta, K. & U. Pareta, 2012. Landslide Modeling and Susceptibility Mapping of Giri River Watershed, Himachal Pradesh (India).
International Journal of Science and Technology Volume 1 No. 2, February, 2012:

pp. 91-104.

Rahmad, R., Suib dan Nurman, A. 2018. Aplikasi SIG untuk Pemetaan Tingkat Ancaman Longsor di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara. Majalah Geografi Indonesia, Vol. 32, No.1, Maret 2018: pp. 1-13.

Wang, F., Xu, P., Wang, C., Wang, N., & Jiang, N. 2017. Application of a GIS Based Slope Unit Method for Landslide Susceptibility
Mapping along the Longzi River, Southeastern Tibetan Plateau, China. ISPRS International Journal of Geo-Information, 6(6): pp.
172.

Yuniarta, H., Saido, A.P., & Purnama, Y.M. 2015. Kerawanan Bencana Tanah Longsor Kabupaten Ponorogo. E-Jurnal Matriks Teknik
Sipil, Maret 2015: pp. 194-201.

Zuidam, R.A.V. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. ITC, Smits Publ., Enschede,
The Hague.
(REFERENSI BENCANA BANJIR)

Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Banjir Bandang pada Daerah Aliran Sungai
(DAS) ...................................................... (Yennie et al.) http://dx.doi.org/10.24895/MIG.2018.20-2.770
87 ARAHAN KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA BANJIR BANDANG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
KURANJI, KOTA PADANG (Policy Direction on Flash Floods Disaster Mitigation in Kuranji Watershed,
Padang City) Yennie Pratiwi Putri1 , Eri Barlian1 , Indang Dewata1 , dan Try Al Tanto2 1Program Pasca
Sarjana Konsentrasi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Padang 2Loka Riset Sumber Daya dan
Kerentanan Pesisir, BRSDM KKP Jl. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang 25131, Sumatera Barat, Indonesia
Email: yennie_pratiwi@yahoo.com Diterima (received): 28 Maret 2018; Direvisi (revised): 26 September
2018; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 10 Oktober 2018 ABSTRAK Daerah aliran sungai (DAS)
Kuranji adalah DAS terluas diantara 3 DAS lain di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Wilayah DAS
tersebut pernah mengalami beberapa kali kejadian banjir bandang, sehingga perlu diwaspadai kejadian
serupa di masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik lahan,
mengidentifikasikan tingkat bahaya, mengetahui kerentanan sosial, dalam rangka untuk menyusun
arahan kebijakan mitigasi bencana banjir bandang pada DAS Kuranji. Data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder, metode analisis karakteristik lahan adalah analisis spasial dengan tumpang susun
dan tingkat bahaya menggunakan analisis data fisik. Arahan kebijakan mitigasi disusun menggunakan
alat kuesioner dan wawancara, kemudian diolah dengan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy
Process). Hasil pertama penelitian ini adalah terdapat tiga kelas karakteristik lahan di DAS Kuranji, yaitu
kategori baik (1), sedang (7), dan buruk (4). Hasil kedua adalah tingkat bahaya banjir bandang terdapat 3
kelas, yaitu kelas rendah (2), sedang (6), dan tinggi (4). Hasil ketiga adalah tingkat kerentanan sosial
bencana banjir bandang menurut rasio kelamin hanya terdapat 1 kelas yaitu tinggi, dan menurut
kelompok umur terbagi 2 kelas yaitu kerentanan kategori sedang dan kategori tinggi. Berdasarkan hasil
analisis yang dilakukan, maka hasil keempat yaitu alternatif kebijakan mengenai kebijakan mitigasi
bencana banjir bandang ditinjau dari 3 aspek yaitu (1) karakteristik lahan, (2) tingkat bahaya banjir
bandang, dan (3) kerentanan sosial. Kesimpulan dari semua hasil adalah arahan kebijakan mitigasi
bencana banjir bandang dengan rekayasa biofisik, pengelolaan DAS terpadu, penataan ruang berbasis
bencana, dan pembangunan sistem peringatan dini. Kata kunci: Arahan kebijakan, banjir bandang,
mitigasi, DAS kuranji ABSTRACT Kuranji Watershed is a river flow that divides the Padang City - West
Sumatra Province, it is the largest watershed than 3 existing watersheds. The Watershed was happened
more times flash flood, so need to watch out for similar events in future. This study aims to determine
the land characteristics, identify the hazard level, known the social vulnerability, and the direction of
flash flood disaster mitigation policy in the Kuranji Watershed. The data used are primary and secondary
data, an analysis method for land characteristics is spatial analysis, and hazard level using physical data
analysis. The direction of mitigation policy was obtained by using interview and questionnaire, then
analyzed with Analytical Hierarchy Process. The results showed that there are three classes of the land
characteristics in the Kuranji Watershed, good (1), medium (7), and bad (4). Hazard level of the flash
floods there are 3 classes, low class (2), moderate (6), and high (4). The level of social vulnerability of the
flash floods disaster according to gender ratio there is only 1 class that is high, and by age group are
divided into 2 classes, moderate and high level of vulnerability. According to multicriteria analysis using
more aspects, the resulted policy alternative of mitigation policy based on three aspects are land
characteristic, hazard level, and social vulnerability. The direction of the flash floods disaster mitigation
policy in the research location are the form of biophysical engineering, integrated watershed
management, disaster-based spatial planning, and early warning system development. Keywords: policy
direction, flash flood, disaster mitigation, kuranji watershed PENDAHULUAN Ditinjau dari karakteristik
geografis dan geologis, wilayah Indonesia merupakan salah satu kawasan rawan banjir. Umumnya
bencana banjir terjadi di wilayah Indonesia bagian barat yang menerima curah hujan lebih tinggi.
Periode tahun 2000-2001, dari sekian banyak bencana secara nasional, 77 % bencana yang terjadi
merupakan bencana hidrometeorologi (Rosyidie, 2013). Bahkan pada periode tahun 2005-2015, lebih
dari 78% bencana hidrometeorologi terjadi di Indonesia. Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan
oleh air, fenomena ini sering terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia (Awaliyah, Sarjanti, &
Sarwono, 2014). Banjir adalah jenis bencana yang Majalah Ilmiah Globe Volume 20 No 2 Oktober 2018:
87-98 88 memiliki frekuensi yang tinggi dan besar jumlah kerugian yang ditimbulkannya, baik jiwa
manusia, harta benda, dan infrastruktur, dibandingkan bencana lainnya. (Kodoatie & Sjarief, 2005).
Banjir bandang (flash flood) adalah limpasan air keluar alur sungai karena debit sungai yang membesar
tiba-tiba melampaui kapasitas aliran. Limpasan tersebut terjadi dengan cepat melanda daerah-daerah
rendah, di lembah sungai-sungai, dan daerah cekungan. Maryono & Prajarto, (2005) mengatakan bahwa
banjir bandang bisa terjadi akibat keseimbangan statik antara gaya geser yang ditimbulkan oleh aliran
lebih besar dari gaya geser massa sedimen yang menahannya (Utama, Lusi. dan Naumar, 2015). Karena
massa yang mengalir ini mempunyai percepatan maka ketinggian dan kecepatannya akan selalu
bertambah, dan pada tingkat batas tertentu keadaan menjadi tidak stabil sehingga massa sedimen
terangkat dengan cepat. Banjir bandang terjadi karena tanah dan tanaman sudah jenuh air, sehingga
begitu hujan terjadi, air langsung mengalir menuju sungai. Keadaan tersebut ditambah dengan curah
hujan yang besar, sehingga akan menimbulkan banjir bandang. Banjir bandang merupakan bencana
yang sifatnya cepat dan membawa material tanah (berupa lumpur), batu, dan kayu (Adi & Thamrin,
2013). Banjir yang bercampur lumpur, kerikil, bongkahan batuan, serta limbah kayu, mempunyai daya
rusak yang sangat dahsyat karena menerjang kawasan permukiman perkotaan sehingga prasarana
maupun infrastruktur menjadi porak poranda (Rahardjanto, 2012). Bencana banjir bandang memiliki
karakter waktu puncak hidrograf banjir yang kurang dari 6 jam (Azmeri, Fatimah, Herawati, Sundary, &
Isa, 2017; Azmeri & Sundary, 2013). Banjir bandang yang terjadi (sebagai contoh kawasan Kali Sampean
Bondowoso) dapat dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat akan dampak yang dilakukan,
kurangnya sosialisasi pemerintah dalam pelestarian lingkungan sehingga banyak terjadi pelanggaran
yang dilakukan oleh masyarakat, dan tidak adanya antisipasi dari pemerintah akan adanya bahaya
(hazard), sehingga dampak yang dihasilkan dari bencana tersebut menjadi sangat besar (Utomo &
Supriharjo, 2012). Banjir bandang tentunya dapat merusak lahan pertanian, menghancurkan jembatan
dan rumah, serta sering menelan korban (Sahara, Istijono, & Sunaryo, 2013). Dampak lain berupa
bencana sekunder yang dapat terjadi pasca kejadian banjir bandang adalah banyaknya pengangguran
karena kehilangan mata pencaharian, terserangnya penyakit akibat kurang sanitasi dan ketersediaan air
bersih (Maulana & Wulan, 2015). Kota Padang adalah Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat yang terletak
pada bagian pantai barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Kondisi
morfologis Kota Padang memiliki morfologi yang kompleks, telah menyebabkan tingginya potensi
bencana geologi dan hidrometeorologi seperti gempabumi, tsunami, banjir, abrasi pantai, longsor dan
gelombang pasang (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut [BPSPL], 2011). Daerah Aliran
Sungai Kuranji adalah aliran sungai yang membelah Kota Padang, sungai ini berhulu pada sekitar Bukit
Barisan antara Kabupaten Solok dengan Kota Padang, dan bermuara di Samudera Hindia. Sering
terjadinya curah hujan dengan intensitas yang tinggi, serta faktor manusia yang menyebabkan
perubahan karakteristik terutama pada daerah hulu menjadikan air dari aliran DAS Kuranji ini pada
musim hujan sering meluap, dan menyebabkan banjir pada kawasan sekitarnya. Jariyah & Pramono
(2013) mengatakan, beberapa hal yang penting akan kelesatrian DAS diantaranya ditentukan oleh pola
perilaku masyarakat, keadaan sosial-ekonomi, dan pengelolaan (institutional arrangement). Langkah
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan mengurangi kerentanan (Wahyuni
& Azmeri, 2015), yaitu peraturan khusus dalam mendirikan bangunan (building codes), memiliki pusat
informasi bencana, mengadakan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi, membuat kurikulum bencana di
sekolah-sekolah dan mengadakan simulasi bencana, dan mengembangkan kembali kearifan lokal yang
dapat dijadikan sebagai peringatan dini terhadap bencana banjir bandang. Daerah Aliran Sungai Kuranji
adalah DAS terluas dibandingkan dengan 3 DAS lain yang ada. Berdasarkan hasil pengolahan, diketahui
DAS Kuranji secara keseluruhan mencakup luasan 181 km2 dan panjang sungai 25,8 km. Saat kondisi
hujan lebat dan terus menerus, seperti yang terjadi pada tahun 1988, 2008, dan 2011 (Data Balai
Wilayah Sungai Sumatera V, Padang), dan yang terkini pada tanggal 24 Juli 2012 dan 12 September
2012, telah terjadi banjir luar biasa di DAS Kuranji Kota Padang yang menenggelamkan kawasan
pemukiman, persawahan, dan menghancurkan berbagai fasilitas penting seperti sekolah, jembatan dan
badan jalan. Terkait dengan permasalahan banjir bandang yang ada tersebut, sehingga perlu diwaspadai
kejadian serupa di masa yang akan datang. Perlu dilakukan kajian berupa upaya mitigasi untuk
meminimalisir resiko dan dampak kerugian jiwa dan materi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
karakteristik lahan, mengidentifikasi tingkat bahaya banjir bandang, menganalisis kerentanan sosial
terhadap bencana banjir bandang, serta menganalis arahan kebijakan mitigasi bencana banjir bandang
pada DAS Kuranji Kota Padang. Arahan kebijakan Mitigasi Bencana Banjir Bandang di DAS Kuranji Kota
Padang diperoleh dengan pemilihan prioritas arahan kebijakan yang dilakukan melalui penyeleksian
alternatif kebijakan yang ada. Hal tersebut dijadikan sebagai prioritas arahan kebijakan mitigasi bencana
banjir bandang METODE Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah
data primer Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Banjir Bandang Pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
………………………..……………(Yennie et al.) 89 dan sekunder, metode analisis karakteristik lahan adalah
analisis spasial tumpang susun menggunakan scoring, dan tingkat bahaya dengan analisis data fisik.
Pemilihan arahan kebijakan mitigasi bencana banjir bandang dengan menggunakan metode AHP
(Analytical Hierarchy Process). Penggunaan AHP dalam penentuan arahan kebijakan, dapat
menyelesaikan suatu persoalan dalam kerangka pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat
diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif (Sudamara, Sompie, & Mandagi, 2012).
Penelitian dilaksanakan pada DAS Kuranji Kota Padang (Gambar 1). Batasan yang digunakan dalam
pemetaan tingkat bahaya banjir bandang adalah batasan DAS dengan objek penelitian badan sungai.
Sampel penelitian bersifat area, diambil pada titik tertentu dan dikontrol oleh bekas landaan bencana
banjir bandang di sekitar badan sungai di wilayah penelitian. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada
bulan Desember 2016 sampai dengan Mei 2017. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
purposive sampling yaitu minimal sebanyak satu sampel setiap satuan lahan. Penentuan titik sampel
berdasarkan pengamatan terhadap wilayah bekas landaan banjir bandang. Bahan dan alat yang
digunakan dalam penelitian berupa peta dan peralatan untuk survei fisik kawasan DAS dan survei
penelitian sosial masyarakat (Tabel 1). Tabel 1. Bahan dan alat penelitian. No Bahan/Alat Kegunaan
Sumber 1. Peta administrasi Lokasi penelitian Mengetahui batas administratif lokasi penelitian Bappeda
Kota Padang 2. Peta jenis tanah lokasi penelitian Mengetahui sebaran jenis tanah Bappeda Kota Padang
3. Peta geologi lokasi penelitian Mengetahui sebaran geologi lokasi penelitian Bappeda Kota Padang No
Bahan/Alat Kegunaan Sumber 4. Peta kemiringan lereng Mengetahui kelas kemiringan lereng Bappeda
Kota Padang 5. Peta penggunaan lahan Mengetahui jenisjenis penggunaan lahan Bappeda Kota Padang
6. Peta topografi Mengetahui morfologi lokasi penelitian Bappeda Kota Padang 7. Data Curah hujan
Mengetahui curah hujan harian maksimum bulanan, tahunan, dan data temperatur Badan Meteorologi
Tabing Padang 8. GPS Mengetahui titik koordinat sampel Lapangan 9. Abney level Untuk mengukur
kemiringan tebing sungai Lapangan 10. Kamera Untuk dokumentasi Lapangan Tahapan Penelitian Kajian
ini terdiri dari 3 tahapan, yaitu pralapangan, survei lapangan, dan pasca-lapangan. Tahapan pra-
lapangan yang dilakukan diantaranya adalah kajian pustaka berupa penguasaan teori, materi, dan
metode yang dijadikan landasan berpikir dalam penelitian ini; pengumpulan data sekunder (data dan
peta yang berkaitan dengan keperluan penelitian); dan penyiapan alat-alat yang dibutuhkan di lapangan
serta prosedur untuk melakukan penelitian. Tahapan survei lapangan dilakukan ground check dengan
mencocokkan peta sampel sementara pada daerah sampel (Tabel 2) yang sudah direncanakan;
pengamatan dan pengukuran pada daerah sampel tersebut; dan wawancara dengan pihak terkait.
Tahapan pasca lapangan adalah melakukan pengolahan data hasil observasi lapangan menggunakan
metode modifikasi dari Paimin, Sukresno, & Pramono (2009). Gambar 1. Peta sampel DAS Kuranji Kota
Padang. Majalah Ilmiah Globe Volume 20 No 2 Oktober 2018: 87-98 90 Kemudian dilakukan identifikasi
karakteristik lahan dan zonasi pada kawasan banjir bandang tersebut. Selain itu dilakukan pengolahan
data penduduk, luas wilayah, dan rasio jenis kelamin untuk mendapatkan kelas kerentanan sosial.
Terakhir dilakukan pengolahan hasil wawancara mendalam untuk mendapatkan rumusan mitigasi
bencana banjir bandang melalui metode AHP. Tabel 2. Titik sampel Penelitian. No Titik Sampel Lokasi 1
Sampel 1 Kelurahan Pasar Ambacang 2 Sampel 2 Kelurahan Gurun Laweh 3 Sampel 3 Kelurahan Kuranji
4 Sampel 4 Kelurahan Kalumbuk 5 Sampel 5 Kelurahan Korong Gadang 6 Sampel 6 Kelurahan Kuranji 7
Sampel 7 Kelurahan Limau Manih 8 Sampel 8 Kelurahan Ulak Karang Utara 9 Sampel 9 Kelurahan Kurao
Pagang 10 Sampel 10 Kelurahan Limau Manih 11 Sampel 11 Kelurahan Lambuang Bukik 12 Sampel 12
Kelurahan Limau Manih Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui 2 cara, yaitu
pengukuran/data primer (hasil pengukuran, pengamatan, dan pengujian di lapangan) dan pencarian
data sekunder. Pengukuran data primer berupa verifikasi penggunaan lahan, pengukuran lereng DAS
dan lereng kiri kanan sungai, dan percabangan sungai. Data sekunder yang digunakan diataranya data
curah hujan time series tahun 2003-2012 (BMKG Padang), peta jenis tanah, peta topografi, peta geologi,
peta bentuk lahan, peta penggunaan lahan, dan peta potensi longsor di DAS Kuranji Kota Padang. Peta-
peta yang digunakan tersebut masih memiliki skala yang berbeda-beda. Sebelum pengolahan dalam
ArcGIS, perlu dilakukan koreksi geometri untuk menyamakan koordinat dari setiap peta yang digunakan.
Selain data-data yang digunakan tersebut, juga dilakukan wawancara dengan Pakar, LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat), dan masyarakat untuk penentuan arahan kebijakan mitigasi, serta pengisian
kuesioner untuk penentuan nilai/bobot isu prioritas. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan
melakukan klasifikasi karakteristik lahan, zonasi tingkat bahaya banjir bandang, kerentanan sosial
bencana banjir bandang, dan arahan kebijakan mitigasi bencana banjir bandang. Hasil analisis klasifikasi
karakteristik lahan diperoleh dari parameterparameter (tipe-tipe) penentu karakteristik lahan yang
memiliki nilai untuk setiap indikator dan kriterianya. Setiap nilai pada masing-masing parameter
dijumlahkan. Hasil penjumlahan nilai tersebut diklasifikasikan dalam penentuan tingkat karakteristik
lahan. Klasifikasi tingkat karakteristik lahan dapat dilihat pada Tabel 4. Dilakukan modifikasi dalam tabel
kriteria analisis karakteristik lahan tersebut, karena kriteria yang ada masih bersifat umum untuk kajian
banjir, sehingga lebih difokuskan pada kajian banjir bandang. Hasil perhitungan interval karakteristik
lahan (Tabel 3), berdasarkan pengurangan jumlah skor tertinggi dan terendah parameter banjir bandang
serta pembagian dengan jumlah kelas. Tabel 3. Hasil perhitungan interval karakteristik lahan. Zona
Interval Karakteristik Lahan I 32 Buruk Sumber: Dibyosaputro (2016) Tingkat bahaya banjir bandang
masih menggunakan kriteria dari Paimin et al. (2009) dengan penambahan indikator nilai (skor) pada
masing-masing parameter (Tabel 5). Zonasi tingkat bahaya banjir bandang diperoleh dari perhitungan
antara harkat/bobot masing-masing parameter dengan skor (%). Analisis perhitungan tingkat bahaya
banjir bandang (Paimin et al., 2009) bisa dilihat pada Persamaan 1. 𝑇𝐵𝐵 = 𝐵𝐿 (5%) + 𝑇𝐴 (25%) + 𝑃 (5%) +
𝐶𝐻 (30%) + 𝐿𝐾 (5%) + 𝑃𝑃 (10%) + 𝑀(2%) + 𝐿 (3%) + 𝐿𝑈 (15%)...........................................................(1)
Keterangan: TBB : Tingkat bahaya banjir bandang BL : Bentuklahan TA : Tanggul alam / pembendungan
alami P : Pola Aliran CH : Curah Hujan LK : Lereng kiri kanan sungai PP : Pembendungan dan pasang M :
Meander L : Lereng rata-rata kawasan LU : Penggunaan lahan Pada tingkat bahaya banjir bandang juga
dilakukan modifikasi, yaitu dari penggunaan kajian banjir secara umum menjadi kajian banjir bandang
secara lebih khusus. Analisis menentukan zonasi tingkat bahaya banjir bandang, menggunakan formula
yang dikembangkan oleh Dibyosaputro, (2016), dapat dilihat pada Persamaan 2. 𝑰 = 𝒄−𝒃
𝒌 .........................................................(2) Keterangan: I : besar jarak interval kelas c : jumlah skor tertinggi
b : jumlah skor terendah k : jumlah kelas yang diinginkan Berdasarkan hasil perhitungan persamaan 2
dari tabel kriteria tingkat bahaya banjir bandang, maka diperoleh interval tingkat bahaya banjir bandang
seperti pada Tabel 6. Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Banjir Bandang Pada Daerah Aliran Sungai
(DAS)………………………..……………(Yennie et al.) 91 Tabel 4. Kriteria analisis karakteristik lahan. Tipe-tipe
Indikator Kriteria Harkat Bentuk lahan Marine (M) Rendah 1 Struktural (P) Agak Rendah 2 Solusional (S)
Sedang 3 Antropogenik (A) Agak Tinggi 4 Fluvial (F), Denudasional (D), Vulkanik (V) Tinggi 5 Tanggul Alam
/ Pembendungan alami dengan potensi longsor Tanggul kiri kanan sungai kemiringan < 8% Rendah 1
Tanggul kiri kanan sungai kemiringan < 8% dengan potensi longsor rendah Agak Rendah 2 Tanggul kiri
kanan sungai kemiringan 8-15% dengan potensi longsor rendah Sedang 3 Tanggul kiri kanan sungai
kemiringan 15-25% dengan potensi longsor tinggi Agak Tinggi 4 Tanggul kiri kanan sungai kemiringan >
25% dengan potensi longsor tinggi Tinggi 5 Pola Aliran Sungai Rektangular Rendah 1 Radial, Paralel Agak
Rendah 2 Trellis Sedang 3 Dendritik Agak Tinggi 4 Annular, Multi basinal Tinggi 5 Curah Hujan
(mm/tahun) 2.500 Tinggi 5 Lereng Lahan Kiri Kanan Sungai (%) 8 (Sangat Lancar) Tinggi 5 Pembendungan
Oleh Percabangan Sungai dan Pasang Tak Ada Rendah 1 Induk Pasang Air Laut Agak Rendah 2 Anak
Cabang Sungai Sedang 3 Cabang Sungai Induk Agak Tinggi 4 Sungai Induk Tinggi 5 Meandering Sinusitas
P = Pj. Sungai sesuai Belokan/Jarak Lurus 1,0-1,1 Rendah 1 1,2-1,4 Agak Rendah 2 1,5-1,6 Sedang 3 1,7-
2,0 Agak Tinggi 4 >2,0 Tinggi 5 Lereng Rata-Rata DAS (%) 45 Tinggi 5 Penggunaan Lahan Hutan
Lindung/Konservasi Rendah 1 Hutan Produksi/Perkebunan Agak Rendah 2 Pekarangan/Semak/Belukar
Sedang 3 Sawah/Tegal-Terasering Agak Tinggi 4 Permukiman/Kota Tinggi 5 Sumber: modifikasi Paimin et
al. (2009) Tabel 5. Kriteria tingkat bahaya banjir bandang. Tipe-Tipe Skor (%) Indikator Kriteria Harkat
Bentuk lahan 5 Marine (M) Rendah 1 Struktural (P) Agak Rendah 2 Solusional (S) Sedang 3 Antropogenik
(A) Agak Tinggi 4 Fluvial (F), Denudasional (D), Vulkanik (V) Tinggi 5 Tanggul alam/ pembendungan alami
dengan potensi longsor 25 Tanggul kiri kanan sungai kemiringan < 8% Rendah 1 Tanggul kiri kanan
sungai kemiringan 25% dengan potensi longsor tinggi Tinggi 5 Pola aliran sungai 5 Rektangular Rendah 1
Radial, parallel Agak Rendah 2 Trellis Sedang 3 Dendritik Agak Tinggi 4 Annular, multi basinal Tinggi 5
Curah hujan (mm/tahun) 30 2.500 Tinggi 5 Lereng lahan kiri kanan sungai (%) 5 8 (Sangat lancar) Tinggi 5
Pembendungan oleh percabangan sungai dan pasang 10 Tak ada Rendah 1 Induk pasang air laut Agak
Rendah 2 Anak cabang sungai Sedang 3 Cabang sungai induk Agak Tinggi 4 Sungai induk Tinggi 5
Meandering Sinusitas P = Pj. Sungai sesuai Belokan/Jarak Lurus 2 1,0-1,1 Rendah 1 1,2-1,4 Agak Rendah
2 1,5-1,6 Sedang 3 1,7-2,0 Agak Tinggi 4 >2,0 Tinggi 5 Lereng rata-rata DAS (%) 3 45 Tinggi 5 Penggunaan
lahan 15 Hutan lindung/konservasi Rendah 1 Hutan produksi/perkebunan Agak Rendah 2
Pekarangan/semak/belukar Sedang 3 Sawah/tegal-terasering Agak Tinggi 4 Permukiman/kota Tinggi 5
Sumber: modifikasi Paimin et al. (2009) Tabel 6. Hasil perhitungan interval tingkat bahaya banjir
Bandang. Kelas Interval Tingkat Bahaya Banjir Bandang I 4,1 Tinggi Sumber: Dibyosaputro, (2016) Tabel
7. Indikator kerentanan sosial bencana banjir bandang. No. Parameter Kelas Rendah Sedang Tinggi 1
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2 ) 500 500- 1.000 >1.000 2 Rasio Umur (%) 20 20-40 >40 3 Jenis Kelamin
(%) 20 20-40 >40 Sumber: modifikasi dari BNPB (2012) Berdasarkan hasil perhitungan, zonasi tingkat
bahaya banjir bandang terdiri atas 3 zona, yaitu zona 1 (tingkat bahaya banjir bandang rendah, bahkan
tidak ada sama sekali), zona 2 (tingkat bahaya banjir bandang sedang, peluang terjadinya bencana banjir
bandang 1 kali dalam 5 tahun, dan zona 3 (tingkat bahaya banjir bandang tinggi, peluang terjadinya
bencana banjir bandang 1 kali dalam 1 tahun). Kerentanan sosial bencana banjir bandang pada DAS
Kuranji diperoleh dari data BPS Kota Padang. Indikator kerentanan sosial untuk kajian bencana banjir
bandang (Tabel 7) dimodifikasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang mana masih
bersifat umum untuk kajian bencana secara umum. Selain itu, modifikasi juga dilakukan pada nilai kelas-
kelas pada parameter kepadatan penduduk, disesuaikan dengan jumlah penduduk yang berada di
sekitar DAS Kuranji Kota Padang. Arahan kebijakan Mitigasi Bencana Banjir Bandang di DAS Kuranji Kota
Padang diperoleh dengan pemilihan prioritas arahan kebijakan yang dilakukan melalui penyeleksian
alternatif kebijakan yang ada. Hal tersebut dijadikan sebagai prioritas arahan kebijakan mitigasi bencana
banjir bandang, dilakukan dengan menggunakan Metode AHP. Proses analisis dengan AHP
dikembangkan oleh seorang ahli matematika bernama Dr. Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an
(Sudamara et al., 2012). AHP merupakan sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model
matematis. AHP merupakan suatu teori tentang pengukuran untuk menemukan skala rasio, baik dari
perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinyu (Darmanto, Latifah, & Susanti, 2014). Program
ini membantu dalam menentukan prioritas dari berbagai kriteria dengan melakukan analisa
perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria yang tersedia. Metode ini berdasarkan
pengambilan keputusan dengan memanfaatkan persepsi responden yang dianggap ahli sebagai input
utamanya (Savitri & Taofiqurohman, 2012). Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis AHP adalah
sebagai berikut: Penyusunan hierarki, untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur dalam wujud
kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hierarki; Penyusunan kriteria, digunakan untuk
membuat keputusan yang dilengkapi dengan bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria
tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah; Penilaian kriteria dan
alternatif, untuk melihat pengaruh strategis terhadap pencapaian sasaran yang dinilai melalui
perbandingan berpasangan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif berdasarkan skala perbandingan
(Marimin, 2004), seperti tertera pada Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Banjir Bandang Pada Daerah
Aliran Sungai (DAS)………………………..……………(Yennie et al.) 93 Tabel 3. Penentuan prioritas,
menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan
alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi matriks atau
melalui penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif
yang ada. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan
penghitungan Inconsistency Ratio. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Berbasis Bencana
Banjir Bandang Hasil analisis karakteristik lahan di lokasi penelitian diperoleh adanya variasi karakteristik
lahan pada setiap titik sampel. Tingkat karakteristik lahan pada DAS Kuranji Kota Padang dapat
diklasifikasikan atas karakteristik lahan dengan kriteria baik, hanya terdapat pada sampel 8 yang
termasuk Kelurahan Ulak Karang Utara. Karakteristik lahan pada lokasi ini terletak di atas bentuk lahan
marine, kemiringan tanggul kiri-kanan sungai 2.500, didominasi dengan penggunaan lahan permukiman,
sehingga tingkat karakteristik lahan pada kawasan ini tergolong baik. Tingkat karakteristik lahan kriteria
sedang terdapat pada sampel 1 (Kelurahan Pasar Ambacang), 2 (Kelurahan Gurun Laweh), 3 (Kelurahan
Kuranji), 4 (Kelurahan Kalumbuk), 5 (Kelurahan Korong Gadang), 6 (Kelurahan Kuranji), dan 9 (Kelurahan
Kurao Pagang). Pada umumnya karakteristik lahan terletak di atas bentuk lahan (fluvial dan vulkanik),
potensi longsor rendah dengan kemiringan tanggul kiri-kanan sungai 2.500, dengan penggunaan lahan
beragam seperti permukiman, sawah, dan kebun. Kriteria karakteristik lahan buruk terdapat pada
sampel 7/Kelurahan Limau Manih, 10/Kelurahan Limau Manih, 11/Kelurahan Batu Busuk, dan
12/Kelurahan Limau Manih. Secara umum terletak di atas bentuk lahan (fluvial, vulkanik), potensi
longsor tinggi dengan kemiringan tanggul kiri-kanan sungai >25%, pola aliran sungai dendritik, curah
hujan >2.500, dengan penggunaan lahan sawah, hutan, kebun dan permukiman (Gambar 2 dan Gambar
3). Berd, (2015) menyatakan bahwa banjir bandang terjadi di area dekat pegunungan dimana tanah
pegunungan seolah longsor karena air hujan ikut terbawa air ke daratan yang lebih rendah. Pada
wilayah yang memiliki karakteristik lahan buruk yaitu berada pada bentuk lahan vulkanik, berpotensi
longsor tinggi, dan memiliki curah hujan tinggi, sehingga mendukung terjadinya bencana banjir bandang.
(a) (b) Gambar 2. (a) Percabangan sungai di sampel 1, dan (b) kondisi sungai di sampel 5. (a) (b) Gambar
3. Keadaan sungai: (a) sampel 7, dan (b) sampel 10. Tingkat Bahaya Bencana Banjir Bandang Bahaya dari
banjir bandang ini adalah yang memiliki potensi menimbulkan kerugian fisik, ekonomi, serta
mengancam jiwa manusia dan Majalah Ilmiah Globe Volume 20 No 2 Oktober 2018: 87-98 94
kesejahteraannya (Risma, Paharuddin, & Sakka, 2014). Hasil analisis tingkat bahaya bencana banjir
bandang di lokasi penelitian diperoleh adanya variasi karakteristik lahan penentu bahaya bencana banjir
bandang pada setiap titik sampel. Hasil pemetaan tingkat bahaya banjir bandang dapat terlihat pada
Gambar 4. Hasil tingkat bahaya banjir bandang di DAS Kuranji Kota Padang diperoleh 3 kelas, yaitu kelas
rendah seluas 1.312,24 Ha (sampel 8/Kelurahan Ulak Karang Utara dan 9/Kelurahan Kurao Pagang),
kelas sedang seluas 7.618,91 Ha (sampel 1/Kelurahan Pasar Ambacang, 2/Kelurahan Gurun Laweh,
3/Kelurahan Kuranji, 4/Kelurahan Kalumbuk, 5/Kelurahan Korong Gadang, dan 6/Kelurahan Kuranji), dan
kelas tinggi seluas 13.301,14 Ha (sampel 7/Kelurahan Limau Manih, 10/Kelurahan Limau Manih,
11/Kelurahan Batu Busuk, dan sampel 12/Kelurahan Limau Manih). Tingkat bahaya banjir bandang
rendah, pada umumnya terletak di atas bentuk lahan marine, kemiringan tanggul kiri-kanan sungai
2.500, dengan penggunaan lahan kebun campuran, serta didukung oleh karakteristik lahan yang baik.
Tingkat bahaya banjir bandang sedang, dengan karakteristik lahan terletak di atas bentuk lahan (fluvial
dan vulkanik), potensi longsor rendah dengan kemiringan tanggul kiri-kanan sungai 2.500, dengan
penggunaan lahan beragam seperti permukiman, sawah, dan kebun, serta didukung oleh karakteristik
lahan sedang dan buruk. Tingkat bahaya banjir bandang tinggi terletak di atas bentuk lahan (fluvial dan
vulkanik), potensi longsor tinggi dengan kemiringan tanggul kiri-kanan sungai >25%, pola aliran sungai
dendritik, curah hujan >2.500, dengan penggunaan lahan sawah, hutan, kebun dan permukiman, serta
didukung oleh karakteristik lahan buruk. Laporan dari Kementerian PU, melalui Japan International
Cooperation Agency (JICA) Project, menjelaskan bahwa potensi longsor sangat berpengaruh terhadap
bahaya banjir bandang. Hal ini sangat sesuai, karena pada daerah penelitian yang berpotensi longsor
tinggi memiliki tingkat bahaya banjir bandang yang tinggi. Kerentanan Sosial Banjir Bandang Kerentanan
sosial merupakan salah satu aspek penting dari 3 kriteria (status sosial, ekonomi, dan institusi) yang
diperhitungkan dalam merencanakan kebijakan melalui hierarchy process (Antomi & Iskarni, 2017).
Kerentanan sosial dilakukan berdasarkan tinggi rendahnya atau besar kecilnya kemungkinan suatu
kawasan mengalami bencana banjir bandang ditinjau dari kerentanan penduduk terhadap bencana
banjir bandang tersebut. Analisis kerentanan banjir bandang diolah berdasarkan data kepadatan
penduduk dan kelompok rentan terhadap bencana banjir bandang perkecamatan di DAS Kuranji. Hasil
analisis tingkat kerentanan sosial banjir bandang dapat dijelaskan berdasarkan analisis data kepadatan
penduduk. Tingkat kerentanan banjir bandang menurut kepadatan penduduk terbagi menjadi 3 kategori
yaitu: tingkat kerentanan rendah, pada zona ini terdapat pada Kecamatan Pauh dengan kepadatan
penduduk 468 jiwa/km2 ; tingkat kerentanan sedang, pada zona ini tersebar pada Kecamatan Koto
Tangah dengan kepadatan penduduk 785 jiwa/km2 ; dan tingkat kerentanan tinggi, pada zona ini
tersebar pada Kecamatan Kuranji, Nanggalo, dan Padang Utara. Semakin besar kepadatan penduduk
pada zona tingkat kerawanan tinggi maka semakin besar kemungkinan terjadi korban banjir bandang
pada lokasi penelitian. Semakin padat penduduk suatu wilayah akan berpengaruh pada kerentanan
sosial masyarakatnya. Besarnya kepadatan penduduk menggambarkan tingginya peluang jatuhnya
korban jiwa dan harta benda. . Gambar 4. Peta tingkat bahaya banjir bandang aliran batang (DAS)
Kuranji Kota Padang. Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Banjir Bandang Pada Daerah Aliran Sungai
(DAS)………………………..……………(Yennie et al.) 95 Tingkat kerentanan banjir bandang menurut rasio jenis
kelamin di daerah penelitian hanya ada 1 kelas (Tabel 9) yaitu kelas tinggi, dimana rasio jenis kelamin
perempuan pada lokasi penelitian >40%. Semakin besar jumlah perempuan pada zona tingkat
kerawanan tinggi maka semakin besar kemungkinan terjadi korban banjir bandang pada lokasi
penelitian. Penduduk wanita menggambarkan kemampuan yang relatif rendah saat proses evakuasi
dalam hal gender. Tingkat kerentanan banjir bandang menurut kelompok umur di daerah penelitian
yang terbagi 2 kelas (Tabel 10) yaitu (1) tingkat kerentanan sedang, pada zona ini tersebar pada
Kecamatan Padang Utara dengan penduduk berumur 0-14 dan >45 tahun besar dari 20-40%. (2) tingkat
kerentanan tinggi. Pada zona ini tersebar pada Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Nanggalo, dan Pauh
dengan penduduk berumur 0- 14 dan >45 tahun besar dari 40%. Semakin tinggi persentase penduduk
tua dan balita semakin tinggi pula peluang jatuhnya korban jiwa akibat bencana. Tabel 8. Kepadatan
penduduk per kecamatan di DAS Kuranji. No Kecamatan Jumlah Penduduk Luas (Km2 ) Kepadatan
Penduduk Jiwa/Km2 Kerentanan Kepadatan Penduduk 1 Koto Tangah 25.348 32,29 785 Sedang 2 Kuranji
123.002 49,96 2.462 Tinggi 3 Nanggalo 60.157 8,07 7.454 Tinggi 4 Padang Utara 70.444 8,08 8.718 Tinggi
5 Pauh 55.691 118,98 468 Rendah Sumber: BPS Kota Padang, (2016) Keterangan: Kepadatan Penduduk =
Jumlah Penduduk / Luas Wilayah Tabel 9. Rasio jenis kelamin per kecamatan di DAS Kuranji. No
Kecamatan L P Rasio Jenis Kelamin (%) Kerentanan Rasio Kelamin 1 Koto Tangah 12.783 12.565 49,57
Tinggi 2 Kuranji 61.168 61.834 50,27 Tinggi 3 Nanggalo 29.225 30.932 51,42 Tinggi 4 Padang Utara
33.419 37.025 52,56 Tinggi 5 Pauh 28.145 27.546 49,46 Tinggi Sumber: BPS Kota Padang, (2016)
Keterangan: L = Laki-laki, P = Perempuan; Rasio jenis kelamin = (P / Jumlah Penduduk) x 100 % Tabel 10.
Kelompok umur per kecamatan di DAS Kuranji. No Kecamatan Usia Jumlah Penduduk Kelompok Umur
(%) Kerentanan Kelompok Umur 1 Koto Tangah 0-14 7.125 28,11 15-44 13.267 52,34 Tinggi >45 4.956
19,55 2 Kuranji 0-14 33.665 27,37 15-44 63.961 52,00 Tinggi >45 5.375 20,63 3 Nanggalo 0-14 14.286
23,75 15-44 32.758 54,45 Tinggi >45 13.133 21,80 4 Padang Utara 0-14 13.292 18,87 15-44 44.051 62,53
Sedang >45 13.101 18,60 5 Pauh 0-14 14.061 25,25 15-44 31.454 56,48 Tinggi >45 10.176 18,27 Sumber:
Data Badan Pusat Statistik BPS Kota Padang, (2016) Keterangan: Kelompok umur = ((Usia 0-14 + Usia
>45) / Jumlah Penduduk)) x 100 % Gambar 5. Pedoman arahan kebijakan. 3 kebijakan Kondisi fisik di
kawasan bencana banjir bandang Karakteristik DAS Pengendalian tingkat bahaya banjir 9 kebijakan
bandang Tingkat bahaya banjir bandang Masyarakat yang berada pada daerah bencana banjir bandang
Kerentanan sosial 3 kebijakan 3 kebijakan Majalah Ilmiah Globe Volume 20 No 2 Oktober 2018: 87-98 96
Gambar 6. Hierarki kebijakan mitigasi bencana banjir bandang. Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Banjir
Bandang Pada DAS Kuranji Berdasarkan hasil wawancara pakar yang dilakukan, diperoleh berbagai
alternatif kebijakan mengenai kebijakan mitigasi banjir bandang di DAS Kuranji Kota Padang, yang
ditinjau dari 3 kriteria yaitu (1) karakteristik DAS, (2) tingkat bahaya banjir bandang, (3) kerentanan
sosial. Rincian banyaknya alternatif kebijakan mitigasi bencana banjir bandang dapat dilihat pada
Gambar 5. Alternatif kebijakan mitigasi pada daerah tingkat bahaya banjir bandang di DAS Kuranji Kota
Padang adalah melakukan rekayasa biofisik DAS, melakukan penataan ruang berbasis bencana di
kawasan DAS, menerapkan program normalisasi sungai, penyuluhan dan sosialisasi tentang banjir
bandang, menentukan tempat evakuasi sementara, melakukan pengelolaan DAS secara terpadu,
melakukan relokasi penduduk, pembentukan komunitas siaga bencana di kawasan DAS Kuranji, dan
membangun sistem peringatan dini. Pemilihan prioritas kebijakan berdasarkan pada besarnya bobot
pada setiap alternatif kebijakan. Analisis pemilihan prioritas dilakukan apabila nilai consistency ratio dari
kriteria berpasangan

Anda mungkin juga menyukai