Anda di halaman 1dari 16

Makalah Pengelolaan Sutera Alam

PERKEMBANGAN SUTERA DI SULAWESI SELATAN, KHUSUSNYA


DI BAGIAN HULU

Disusun Oleh :
RIA JULITA KRISTIANI
M111 14 050

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

1
BAB. I
PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sasaran
pengembangan persuteraan alam nasional. Sampai saat ini, Provinsi Sulawesi Selatan
masih merupakan daerah penghasil sutera terbesar di Indonesia dan memberikan
kontribusi sekitar 70% terhadap produksi benang nasional.
Kegiatan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan sangat
didukung oleh kondisi agroklimat dan juga sosial budaya masyarakat yang dekat
dengan budaya sutera alam. Kegiatan budidaya sutera di Sulawesi Selatan dilakukan
oleh masyarakat yang tersebar di beberapa kabupaten.
Perkembangan usaha persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun
ketahun sangat fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan. Penurunan produksi
kokon dan benang dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa strategi pembinaan
dan pengembangan persuteraan alam pada saat ini belum dapat memberikan pengaruh
yang signifikan bagi peningkatan produksi kokon dan benang.
Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius untuk mengantisipasi
kondisi yang tidak menguntungkan semua pihak yang terlibat sebagai pelaku kegiatan
persuteraan alam, terutama untuk jangka panjang ke depan.
Budidaya tanaman murbei merupakan dasar dari persuteraan alam, karena
budidaya murbei menghasilkan pakan ulat sutera. Budidaya tanaman murbei
merupakan kegiatan usaha dari mulai pembibitan, persiapan tanam, penanaman,
pemeliharaan, panen dan pasca panen tanaman murbei yang dilakukan secara intensif
dengan memperhatikan konservasi tanah dan air. Tujuannya adalah memproduksi
daun murbei untuk pakan ulat sutera dengan produksi daun banyak dan kualitas
nutrisi / gizi tinggi. Sistem penanaman yang dilakukan monokultur atau polikultur/
tumpang sari.

2
Tanaman murbei sering dibudidayakan dengan tujuan pemanfaatan daunnya
untuk memenuhi kebutuhan pakan ulat sutera, namun lebih dari itu ternyata tanaman
murbei merupakan tanaman obat herbal yang dapat dijadikan obat berbagai jenis
penyakit. Maka tidak heran apabila banyak yang memberikan julukan seribu manfaat
pada tanaman murbei ini. Tanaman murbei ini berkhasiat mengobati berbagai jenis
penyakit seperti, jantung berdebar, sembelit, hepatitis, dan cacingan. Namun kali ini,
penulis akan memfokuskan pada budidaya tanaman murbei untuk pakan ulat sutera.
Tanaman Murbei merupakan jenis tanaman yang digunakan dalam budiaya
ulat sutera, dimana daun murbei merupakan pakan bagi ulat sutera. Banyak sekali
para petani kesulitan dalam membudidayakan & bercocok tanam tanaman ini. Kali ini
Penulis ingin berbagai ilmu dalam menerapkan teknik-teknik membudidayakan
tanaman murbei.

I. 2. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini yaitu :
a. Mengetahui Potensi Pesutraan Alam di Kabupaten Enrekang
b. Mengetahui Karakteristik Pelaku Usaha Persuteraan Alam di Kabupaten
Enrekang
c. Mengetahui Preferensi Pelaku Usaha Dalam Pengembangan Persuteraan Alam
Di Kabupaten Enrekang
d. Mengetahui Kesesuaian Peran Stakeholder dan Preperensi Perlakuan Usaha
e. Mengetahui Luas Tanaman Murbei dan Produksi Kokon di Sulawesi Selatan

I. 3. Manfaat
Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Makalah ini diharapkan menjadi salah satu bahan informasi bagi
masyarakat      secara umum.

3
BAB. II
PEMBAHASAN

A. Potensi Pesutraan Alam


Budidaya tanaman Murbei di Kabupaten Enrekang tersebar di 23 Desa pada 5
Kecamatan, yaitu Kecamatan Alla, Anggeraja, Curio, Malua dan Baraka. Jumlah
petani yang terlibat dalam budidaya ulat sutera sebanyak 1.554 kk. Potensi tanaman
murbei sebagai pakan ulat sutera di Kabupaten Enrekang mencapai 716,5 ha dan
lahan potensial yang dapat dikembangkan mencapai 89 ha. Jenis tanaman murbei
yang ditanam bervariasi antara lain Morus multicaulis, M. Nigra, M. Cathayana, dan
M. indica.
Potensi industri usaha pemintalan terletak di Kecamatan Alla dan Kecamatan
Curio, terutama di Desa Matta Allo dan Desa Buntu Barana. Usaha pemintalan
benang sutera sebanyak 566 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1.800
orang, dengan kapasitas produksi 30 ton pertahun.

B. Karakteristik Pelaku Usaha Persuteraan Alam di Kabupaten Enrekang


Dari aspek sosial, dilihat tiga indikator seperti umur, pendidikan dan
pengalaman berusaha dibidang persuteraan alam. Tingkat umur pelaku usaha sudah
cukup relatif matang yaitu rata-rata 50,7 tahun dengan tingkat pendidikan pelaku
usaha yaitu 9,5 tahun. Pelaku usaha potensial mempunyai respon yang relatif baik
terhadap penerimaan informasi dan pemanfaatan teknologi, baik teknologi produksi
maupun teknologi pengolahan hasil.
Pengalaman petani dalam berusaha tani pada daerah pengembangan telah
mencapai 17,4 tahun. Pengalaman ini dapat dianggap cukup matang dan mampu
meningkatkan keterampilan petani untuk mengelola usaha tani sutera alam.
Dari aspek teknis luas rata-rata kebun murbei yang dikuasai oleh petani di
Kabupaten Enrekang adalah 0,3 hektar dengan jarak tanam murbei di petani ulat rata-
rata sekitar 30 x 20 cm. Hasil wawancara dikemukakan bahwa jarak tanam ini dibuat
dengan tujuan untuk menekan pertumbuhan rumput karena tanah menjadi lembab dan

4
tidak terkena sinar matahari. Jumlah telur yang dipelihara per periode antara 1 – 1,5
boks. Jika dibandingkan dengan luas rata-rata tanaman murbei, jumlah tersebut telah
sesuai, karena kebutuhan pakan ulat untuk 1 boks telur ulat sutera rata-rata 0,25 ha.
Pemeliharaan ulat sutera di petani rata-rata 6 periode per tahun, walaupun hasil
wawancara memperlihatkan bahwa pemeliharaan dapat dilakukan sampai dengan 10
kali dalam satu tahun. Jumlah periode pemeliharaan ulat sutera di Kabupaten
Enrekang sangat didukung oleh kondisi iklim.
Salah satu kunci keberhasilan pemeliharaan ulat sutera adalah tersedianya
telur ulat sutera yang dapat menghasilkan ulat sutera yang berkualitas tinggi. Kualitas
telur ulat sutera yang digunakan sangat tergantung pada kombinasi ras induk yang
disilangkan, teknik pemeliharaan ulat, kualitas dan kuantitas daun murbei,
pencegahan dan pengendalian penyakit dan proses produksi telur. Permasalahan
penurunan kualitas telur ulat sutera dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
kualitas genetik ulat sutera rendah, teknik pemeliharaan bibit induk yang tidak sesuai
standar, serta sarana produksi yang kurang memadai. Tingkat mortalitas ulat sutera
yang tinggi dan jumlah telur ulat sutera perboks yang tidak sesuai standar dapat
mengakibatkan produksi kokon rendah.

C. Preferensi Pelaku Usaha Dalam Pengembangan Persuteraan Alam Di


Kabupaten Enrekang
1. Penurunan Kualitas Telur Ulat Sutera
Salah satu karakteristik telur ulat sutera yang berkualitas adalah tahan
terhadap hama penyakit. Hama penyakit dapat terjadi pada proses produksi telur F1
maupun pemeliharaan ulat F1 di petani. Telur berwarna kuning mengindikasikan
bahwa telur ulat sutera tersebut tidak dibuahi pada saat persilangan. Kondisi ini dapat
diakibatkan oleh jangka waktu persilangan yang singkat atau temperatur pada saat
persilangan terlalu tinggi. Persilangan induk ulat sutera memerlukan waktu sekitar 4
sampai dengan 5 jam. Temperatur ruangan yang dibutuhkan dalam persilangan induk
ulat sutera antara 24 – 25 C dengan kelembaban 80%.

5
Kualitas genetik telur ulat sutera yang dipakai dalam produksi telur ulat sutera
sudah rendah. Kualitas genetik yang rendah dapat disebabkan oleh adanya
persilangan sejenis (in- breeding) dan juga proses seleksi kokon induk yang kurang
baik. Persilangan sejenis dimungkinkan terjadi karena proses produksi telur yang
dilakukan secara terus menerus pada jenis tersebut tanpa adanya proses pemurnian
telur ulat sutera. Teknik pemeliharaan induk ulat sutera sangat mempengaruhi
kualitas telur ulat sutera F1 yang dihasilkan. Proses penetasan telur, pemeliharaan
ulat, pemanenan, seleksi kokon dan persilangan induk harus dilakukan sesuai dengan
persyaratan teknis yang tepat.
Sarana prasarana produksi telur ulat sutera juga mempengaruhi kualitas telur
ulat sutera yang dihasilkan. Tempat penyimpanan telur ulat sutera merupakan salah
satu peralatan yang sangat penting dalam produksi telur ulat sutera. Penyimpanan
telur bertujuan agar telur yang dibutuhkan dapat tersedia pada waktunya.
Penyimpanan telur disesuaikan dengan perlakuan yang diberikan kepada telur yang
disimpan. Penyimpanan telur ulat sutera juga sangat berkaitan dengan daya tetas
telur. Penyimpanan yang tidak sesuai standar teknis akan mengakibatkan daya tetas
telur ulat sutera menjadi rendah dan tidak serentak. Dampak penurunan kualitas telur
ulat sutera dirasakan juga oleh pemintal, baik pemintal murni maupun pemintal yang
juga melakukan pemeliharaan ulat sutera. Penurunan kualitas telur yang berdampak
pada menurunnya produksi kokon, akan memberikan dampak pada menurunnya
produksi benang sutera yang dihasilkan.
Menurunnya produksi benang sutera yang dihasilkan oleh pemintal, tidak
hanya disebabkan oleh berkurangnya jumlah kokon yang diproduksi, tetapi juga oleh
menurunnya kualitas kokon. Indikator rendahnya kualitas kokon yang dihasilkan
antara lain adalah sering putusnya kokon dalam proses pemintalan dan rendahnya
rendemen benang. Kokon yang berkualitas baik dapat menghasilkan benang sutera
dengan rendemen antara 6 – 7 kg kokon. Sedangkan kokon dengan kualitas jelek
dapat menghasilkan benang dengan rendemen antara 10 – 15 kg kokon. Penurunan
kualitas telur ulat sutera dikeluhkan juga oleh Pedagang/Pembeli kokon. Dampak

6
dari penurunan kualitas telur ulat sutera, seperti menurunya jumlah petani ulat yang
memelihara ulat sutera dan menurunnya produksi kokon, mengakibatkan ketersediaan
kokon di pasaran menjadi terbatas.
2. Keterbatasan Modal Sarana Produksi
Modal usaha merupakan salah satu faktor pendukung dalam pengembangan
usaha persuteraan alam. Modal usaha dapat dikategorikan menjadi modal kerja dan
modal sarana. Hasil FGD Pelaku Usaha di Kalosi, memperlihatkan bahwa modal
kerja bagi petani ulat tidak menjadi permasalahan. Petani ulat mampu menyediakan
biaya produksi untuk pengadaan bibit dan pupuk. Biaya tenaga kerja tidak diperlukan
karena menggunakan tenaga kerja sendiri/keluarga.
Permasalahan yang muncul terkait modal ditingkat petani ulat adalah
keterbatasan modal untuk merevitalisasi sarana/infrastruktur yang dimiliki.
Teknologi yang sangat sederhana, sudah berumur tua dan rusak, menjadi salah satu
faktor menurunnya tingkat produktifitas usaha. Sebagian besar sarana pemeliharaan
ulat besar (UPUB) petani ulat kondisinya tidak layak/rusak. Pelaku usaha
mengharapkan adanya fasilitasi pemerintah dalam perbaikan sarana pemeliharaan ulat
besar. Fasilitasi ini dibutuhkan karena petani ulat tidak mampu menyiapkan modal
yang cukup untuk merevitalisasi rumah ulat yang rusak. Ketersediaan tempat
pemeliharaan ulat sutera yang layak dan memadai merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan budidaya ulat sutera. Kondisi rumah ulat yang tidak sesuai
dengan kondisi optimal yang dibutuhkan ulat sutera, akan berpengaruh terhadap
produksi kokon. Sarana lain yang dibutuhkan petani ulat adalah alat pengering kokon.
Alat pengering kokon dibutuhkan pelaku usaha untuk memperpanjang jangka waktu
penyimpanan kokon. Keterbatasan waktu penyimpanan kokon berpengaruh terhadap
daya tawar petani ulat terhadap harga kokon. Sehingga petani ulat kadang merasa
dipermainkan oleh pedagang atau pengumpul kokon.

7
D. Kesesuaian Peran Stakeholder dan Preperensi Perlakuan Usaha
1. Peningkatan Kualitas Telur Ulat Sutera
Dari aspek regulasi, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor:P.56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan
Peredaran Telur Ulat Sutera. Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk
meningkatan kualitas dan kuantitas telur ulat sutera, serta menjamin mutu dan
ketersediaan kokon. Regulasi lain dalam rangka peningkatan kualitas telur ulat sutera
adalah Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
(RLPS) Nomor: No.P.15/V-Set/2008 tanggal 24 Desember 2008 tentang Petunjuk
Teknis Sertifikasi Telur Ulat Sutera Bebas Pebrine. Peraturan ini merupakan turunan
dari Permenhut P.56 Tahun 2007.
Regulasi lain dari Kementerian Kehutanan adalah dengan mendatangkan
Silver Expert dari Jepang melalui kerjasama dengan JICA. Kerjasama ini bertujuan
sebagai wadah alih teknologi dan pengetahuan tentang pemuliaan ulat sutera untuk
mendapatkan jenis-jenis ulat sutera yang unggul. Peran pemerintah daerah, sesuai
dengan Permenhut P.56 Tahun 2007, adalah pemberian ijin bagi pengada dan
pengedar telur ulat sutera. Pemberian ijin dilakukan atas rekomendasi teknis dari
Balai Persuteraan Alam (BPA).
Dalam aspek peningkatan sarana/infrastruktur, kontribusi Balai Persuteraan
Alam baru pada tahap pelaksanaan kegiatan pemuliaan ulat sutera dan studi adaptasi.
Kegiatan pemuliaan dan studi adaptasi menggunakan induk ulat sutera yang dimiliki
oleh Balai Persuteraan Alam dan diharapkan dapat memberikan alternatif jenis ulat
sutera baru yang unggul. Pemuliaan dimaksudkan untuk memanipulasikan gen pada
populasi yang mempunyai sifat-sifat yang baik dalam rangka memperbaiki
kandungan dan kualitas sutera. Sedangkan studi adaptasi dilakukan untuk mengetahui
tingkat adaptibilitas ulat sutera terhadap kondisi iklim setempat.
Peningkatan sarana dan infrastruktur dalam rangka peningkatan kualitas telur
ulat sutera seharusnya tidak hanya pada pengadaan jenis ulat sutera baru. Pengadaan
atau revitalisasi sarana produksi telur ulat sutera merupakan peran lain yang perlu

8
dilakukan. Penyimpanan telur ulat sutera memerlukan suhu dan kelembaban tertentu
yang stabil. Kondisi tempat penyimpanan yang sudah tidak sesuai dengan standar
teknis dapat berdampak langsung pada rendahnya daya tetas telur ulat sutera.
Dari aspek peningkatan sumberdaya manusia, kontribusi Balai Persuteraan
Alam dalam peningkatan kualitas telur ulat sutera dilakukan melalui kegiatan
pengawasan produksi dan peredaran telur ulat sutera, serta kegiatan pembinaan teknis
pengada dan pengedar telur ulat sutera. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk
memberikan bimbingan teknis dan pengawasan terhadap proses produksi telur.
Sehingga telur ulat sutera F1 yang dihasilkan dapat dihasilkan melalui penerapan
teknik pemeliharaan yang sesuai standar teknis.
2. Peningkatan Modal Sarana Produksi
Dari aspek regulasi, hanya Kementerian Koperasi dan UMKM menerbitkan
peraturan, baik pada tingkat menteri maupun deputi. Peraturan-peraturan ini
merupakan pedoman dan atau petunjuk teknis mengenai pemberian bantuan
peningkatan modal sarana dan infrastruktur pada koperasi persuteraan alam. Dari
aspek peningkatan sarana dan infrastruktur, seluruh stakeholder memberikan fasilitasi
dalam bentuk bantuan sarana dan infrastruktur usaha. Stakeholders di bidang
kehutanan memberikan kontribusi dalam peningkatan produktifitas budidaya ulat
sutera melalui pembuatan dan rehabilitasi UPUK/UPUB serta pembuatan model
usaha persuteraan alam.
Stakeholder di bidang perindustrian dan koperasi lebih fokus pada
pengembangan industri. Fasilitasi yang diberikan dalam rangka peningkatan
sarana/infrastruktur adalah bantuan pengadaan mesin pintal, baik sederhana maupun
semi otomatis, serta peralatan finishing benang. Kegiatan-kegiatan tersebut
bersesuaian dengan preferensi pelaku usaha di bidang persuteraan alam.
Pembangunan dan perbaikan UPUK/UPUB, serta pembangunan model usaha
bersesuaian dengan permasalahan yang dihadapi pelaku usaha, yaitu kerusakan
sebagian besar rumah ulat dan biaya pembangunan rumah ulat yang tinggi. Fasilitasi
bantuan peralatan pemintalan sederhana bersesuaian dengan jumlah kapasitas

9
peralatan yang belum mencukupi. Sedangkan fasilitasi mesin semi otomatis dan
finishing benang, selain bersesuaian dengan jumlah kapasitas produksi, juga
bersesuaian dengan kendala standar teknis.
Hasil identifikasi dilapangan memperlihatkan bahwa tidak optimalnya
implementasi peran stakeholder dalam rangka peningkatan sarana produksi antara
lain diakibatkan oleh banyaknya rumah ulat petani yang memerlukan perbaikan.
Selain itu permasalahan yang terkait dengan peningkatan sarana produksi adalah
penentuan lokasi yang kurang tepat dan adanya penguasaan secara pribadi terhadap
aset kelompok. Aspek teknis pembuatan rumah ulat juga menjadi permasalahan lain.
Pembuatan rumah ulat membutuhkan persyaratan-persyaratan teknis tertentu sesuai
dengan kebutuhan ulat sutera. Peran stakholder dibidang perindustrian dan koperasi
juga bersesuaian dengan preferensi yang diinginkan oleh pelaku usaha dibidang
pemintalan. Fasilitasi dalam bentuk bantuan peralatan mesin pintal, baik sederhana
maupun semi otomatis, bertujuan meningkatkan produktifitas usaha. Pemberian
bantuan alat pemintalan semi otomatis dilakukan untuk meningkatkan kualitas
benang sutera yang dihasilkan.
Permasalahan dalam fasilitasi bantuan peralatan mesin semi otomatis adalah
kurang ditunjang dengan sarana pendukung lain. Tidak tersedianya sumberdaya
energi yang memadai menjadi salah satu penyebab peralatan tidak dapat
dioperasionalkan secara maksimal. Fasilitasi bantuan peralatan pintal sederhana
berlawanan dengan tujuan peningkatan kualitas produk. Pengembangan industri
pemintalan tradisional di Kabupaten Enrekang harus diarahkan pada pembuatan
produk-produk kerajinan tangan (hand made). Dari aspek peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia (SDM), stakholder yang memberikan kontribusinya adalah
Balai Persuteraan Alam, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Kontribusi
yang diberikan antara lain pelatihan, pembinaan teknis dan temu usaha/bisnis.
Kegiatan pelatihan, pembinaan teknis dan temu usaha/bisnis diarahkan sebagai media
untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan pengembangan jejaring kelompok
tani dalam mengakses pasar dan permodalan. Kegiatan ini dapat dijadikan alternatif

10
kegiatan untuk menyelesaikan kendala permodalan pelaku usaha. Peran yang
diimplementasikan oleh stakeholder tidak seluruhnya bersesuaian dengan preferensi
pelaku usaha. Hasil analisis memperlihatkan bahwa peran stakeholder tersebut
sifatnya dapat mendukung peran-peran yang bersesuaian. Fasilitasi pembuatan dan
pemeliharaan tanaman murbei bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tanaman
murbei, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan ini dilakukan untuk
memperbaiki karakteristik tanaman murbei pelaku usaha yang memiliki produktifitas
rendah. Kegiatan lain yang tidak bersesuaian adalah pengadaan bantuan telur ulat
sutera. Sebagian besar pelaku usaha mengaku bahwa modal kerja tidak menjadi
masalah karena sistem di pasar telah terbentuk dalam pengadaan bahan baku.
Dari aspek pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan, terdapat
beberapa peran stakeholder yang tidak terkait langsung dengan preferensi pelaku
usaha. Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa peran-peran tersebut dapat
menunjang peran-peran utama. Pelatihan teknis, baik bagi pelaku usaha maupun
fasilitator, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pelaku usaha
dan fasilitator dalam usaha persuteraan alam. Kegiatan ini dapat menunjang peran
dalam rangka optimalisasi sarana produksi. Kegiatan studi banding dilakukan untuk
memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai budidaya sutera alam di wilayah
lain. Pengetahuan dan wawasan ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan
mengenai kelembahan dan kelebihan pengelolaan sutera alam di Kabupaten
Enrekang.

E. Luas Tanaman Murbei dan Produksi Kokon di Sulawesi Selatan


Produksi kokon di Sulawesi Selatan menunjukkan terjadinya penurunan. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Luas Tanaman Murbei, Produksi dan Produktivitas Kokon di Sulawesi
Selatan 2010

11
No Kabupaten Luas tanaman Produksi Produktivitas
murbei (ha) Kokon (kg) (kg/ha)
1 Tana Toraja 106.65 3,743.50 35.1
2 Enrekang 221 86,867.30 393.06
3 Sidrap 7 159,60 22.8
4 Soppeng 79.92 13,669.08 171.03
5 Wajo 11.35 11,531.00 1015.95
6 Barru 12.75 173.00 13.57
7 Sinjai 105.00 174.00 1.66
Sumber : BPA, 2010
Dari Tabel 1 atas terlihat bahwa produksi kokon terbesar dicapai di Kabupaten
Enrekang, yaitu 86,867 kg, disusul oleh Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo,
Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Barru, Kabupaten Sidrap.
Produktivitas kokon terbesar dicapai oleh Kabupaten Wajo dengan produktivitas
1015.95 kg/ha disusul oleh Kabupaten Enrekang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten
Tana Toraja, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Sinjai.
Hasil pengumpulan data lapangan ditunjukkan pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2 . Luas Murbei Rata-rata, Produksi kokon rata-rata dan produktivitas kokon
rata-rata
No Lokasi Luas murbei rata- Produktivitas kokon (kg/ha)
rata (ha)
1 Enrekang 1.01 407
2 Soppeng 0.92 240
3 Luoding City 0.56 1618
Sumber : Data Diolah oleh Andi Sadapotto
Dari Tabel tersebut terlihat bahwa lokasi pengembangan di Luoding City
memperlihatkan produktivititas kokon tertinggi diikuti oleh Kabupaten Enrekang dan
Kabupaten Soppeng. Hal ini memperlihatkan bahwa luasan murbei yang sedikit
membuat petani mengelola lahan murbeinya dengan intensif , karena sesuai dengan
cirri khas budidaya sutera alam yang sifatnya padat karya.

12
BAB. III

PENUTUP

A. Kesimpulan

13
1. Dari aspek teknis, luas kebun rata-rata yang dipelihara oleh petani ulat adalah
0,3 ha dengan jarak tanam rata-rata 30 x 20 cm. Luas rata-rata tanaman yang
dipelihara oleh petani merupakan potensi yang besar tetapi produktifitasnya
yang rendah. Jumlah telur yang dipelihara rata-rata 1 – 1,5 boks per periode
dengan produksi kokon yang masih rendah dengan rata-rata sebesar 15 - 25 kg
per boks. Kegiatan pemintalan sebagian besar dilakukan dengan alat pintal
sederhana dengan menggunakan kokon segar. Pemintalan dengan alat pintal
sederhana menghasilkan benang sutera mentah (raw silk).
2. Peran yang dilakukan oleh stakeholder dalam pengembangan persuteraan
alam di Kabupaten Enrekang sebagian besar telah sesuai dengan preferensi
pelaku usaha. Peran yang belum dilakukan terkait preferensi penuruan
kualitas telur ulat sutera adalah peningkatan kualitas sarana produksi pada
usaha produksi telur F1 (Perum Perhutani).

3. Semakin luas lahan murbei yang dikelola maka semakin rendah produktivitas
kokon yang

dihasilkan oleh petani


B. Saran
1. Implementasi peran stakeholder dalam pengembangan persuteraan alam harus
dilakukan dengan skala prioritas atas kebutuhan di masyarakat. Perencanaan
harus disusun secara komprehensif dan partisipatif.
2. Sebaiknya peran stakeholder lebih pada menciptakan kondisi iklim usaha
yang kondusif bagi usaha persuteraan alam melalui regulasi dan fasilitasi,
serta peningkatan pemahaman dan kemampuan masyarakat dalam
menciptakan dan menghargai barang yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

14
[Balai Persuteraan Alam]. 2008b. Statistik Pembangunan Balai Persuteraan Alam.
Gowa : BPA Direktorat Jendral RLPS Departemen Kehutanan.
Balai Persuteraan Alam. 2009. “Pedoman Teknik Budidaya Sutera Alam”. ________.
2010c. :”Laporan Hasil Inventarisasi Potensi Persuteraan Alam di Kabupaten
Enrekang”. Dephut. 2006. “Rencana Induk Pengembangan Persuteraan Alam
Nasional”. Departemen Kehutanan.
[BPS Kabupaten Wajo]. 2006. Statistik Kabupaten Wajo. Sengkang : BPS Kabupaten
Wajo
Bupati Enrekang. 2007. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Enrekang dalam
Pengembangan Usaha Sutera. Makalah pada Workshop “ Mencari Format
Baru Pengembangan Persuteraan Alam dalam Upaya Menjadikan Sulawesi
Selatan Sebagai Pusat Industri Sutera Nasional” pada 28 Februari 2007 di
Makassar.
Bupati Wajo. 2007. Kebijakan Pengembangan Industri Persuteraan Alam di
Kabupaten Wajo. Makalah pada Workshop “Mencari Format Baru
Pengembangan Persuteraan Alam dalam Upaya Menjadikan Sulawesi
Selatan Sebagai Pusat Industri Sutera Nasional” pada 28 Februari 2007 di
Makassar.
Ditjen IKM. 2008. “Peranan Depperin dalam Pengembangan IKM Sutera Alam”.
Makalah pada Workshop Persuteraan Alam Nasional. Makasar, 19 – 22
Agustus 2008.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi
Pengembangan HHBK Nasional
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.56/Menhut-II/2007 tentang Pengadaan dan
Peredaran Telur Ulat Sutera
PSKMP. 2004. “Promosi Pembangunan Daerah melalui Pengembangan Komoditi
Unggulan Sutera di Sulawesi Selatan.
Salman, D. 2005. “Pembangunan Partisipatoris”. Modul Konsentrasi Manajemen
Perencanaan Program Studi Manajemen Pembangunan. Unhas. Makassar.

15
Tarigan, Djoni. 2008. “Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam melalui
Pendekatan Kluster”. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana-IPB. Tidak
dipublikasikan.

16

Anda mungkin juga menyukai