Anda di halaman 1dari 12

makala

h
HIERARKI MORAL/NILAI
SEBAGAI SUMBER DAN
LANDASAN PENDIDIKAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Landasan Nilai dan Moral Pendidikan
Dosen:
Prof. Dr. H. A Juntika Nurikhsan, M.Pd.
Dr. H. Babang Robandi, M.Pd

Disusun oleh:
Neneng Tsani
NIM 2002118

PROGRAM PASCASARJANA STUDI PEDAGOGIK


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................ii
I. PENDAHULUAN.............................................................................................................................1
II. Pendapat Filsuf tentang Moral...........................................................................................................3
III. HIERARKI MORAL/NILAI SEBAGAI SUMBER DAN LANDASAN PENDIDIKAN...............8
A. Pengertian Hierarki moral/nilai..........................................................................................................8
B. HIERARKI MORAL/NILAI SEBAGAI SUMBER DAN LANDASAN PENDIDIKAN................8
IV. PENUTUP.......................................................................................................................................11
DAFTAR RUJUKAN...............................................................................................................................i

Makalah Hierarki Moral/Nilai Sebagai Sumber Dan Landasan Pendidikan 2


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial. Tanpa kepekaan sosial tidak mungkin seseorang dapat melanjutkan
hidupnya dan kemudian tidak mungkin baginya untuk membentuk masyarakat bersama-sama dengan
anggota masyarakat lainnya untuk membangun cara hidup yang disebut budaya. Manusia bertekad
untuk ada karena dia adalah makhluk yang berbudaya.
Jelas kita melihat seorang manusia yang lahir dari rahim ibunya dan dengan cinta serta naluri sosial
dari ibu manusia tersebut dapat bertahan hidup. Naluri sosial ibu dalam keluarga merupakan titik
tolak kehidupan manusia yang berbudaya. Terlihat bahwa hubungan pendidikan dan budaya dilandasi
oleh naluri keibuan dalam keluarga dalam mempertahankan eksistensi kehidupan manusia.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa menjiwai, menambah dan menggembirakan perasaan
bermasyarakat tidak akan mungkin terjadi jika tidak didahului dengan pendidikan diri (individual
education), karena pada dasarnya inilah pendidikan moral yang akan mampu menciptakan rasa
kebersamaan atau rasa. Pendidikan adalah yang pertama dan terpenting, dari lingkungan inilah lahir
peradaban manusia karena dari situ akan lahir karakter manusia yang akan membangun koeksistensi
yaitu budaya, tanpa koeksistensi tidak mungkin lahir suatu budaya.
Pendidikan budi pekerti atau pendidikan kesusilaan sekarang menjadi suatu masalah yang pelik.
Sebab pendidikan kesusilaan itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemauan dan perkembangan
masyarakat dan negara.
Dahulu, ketika masyarakat belum begitu maju seperti sekarang ini, pendidikan kesusilaan itu tidak
seberapa mengalami kesulitan. Pada waktu itu orang-orang berpegang kepada norma-norma
kesusilaan yang tradisional (tetap, tidak berubah-rubah, menurut adat), dan kebanyakan orang
mengenal dan menerimanya begitu saja.
Tetapi sekarang, sejalan dengan makin majunya masyarakat dan dunia, tidak mungkin kita selalu
mempertahankan norma-norma yang tradisional itu, yang ternyata menghambat kemajuan masyarakat
dan membatasi kemerdekaan atau kebebasan tiap-tiap individu. Kita harus mencari norma norma
baru yang berlaku bagi perseorangan maupun bagi masyarakat.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi hierarki, sumber dan landasan pendidikan
2. Bagaimana pendapat filsuf tentang moral
3. Bagaimana Hierarki moral sebagai sumberdan landasan pendidikan
Tujuan Penulisan
Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui:
1. definisi hierarki, sumber dan landasan pendidikan
2. pendapat filsuf tentang moral
3. Hierarki moral sebagai sumberdan landasan pendidikan

Manfaat
Manfaat tulisan ini adalah sebagai ilmu pengetahuan bagi khususny mahasiswapedagogik dan
masyarakat umum secara luas.
Pertanyaan: Kiki: tai’in
Pertanyaan: Ade
Landasan Filosofi, Landasan Yuridis, Landasan Psikologi
Pertanyaan Asri: implementasi Adat istiadat di sekolah
II. Pendapat Filsuf tentang Moral

Dalam makalah sebelumnya telah dibahasa bahwa sumber moral tertinggi adalah agama, selanjutnya
undang-undang (konstitusi), adat-istiadat dan norma sosial (Makalah Neneng tsani, Jenis dan Sumber
Moral Dalam Pendidikan, halaman 9).

Oleh karena itu kami akan menyampaikan pendapat 2 orang filsuf. Mereka adalah:

1. Rosulullah Muhammad Sallallahu alayhi wa sallam

Beliau alayhisholaatu wassalaam lahir dikota Makkah, Saudi Arabia di tahun Gajah, yaitu
tahun 571 Miladiyah. Hari kelahiran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah hari Senin.

https://rumaysho.com/19011-khutbah-jumat-berita-gembira-dengan-maulid-nabi-kelahiran-
nabi.html.

diakses tanggal 09/10/2020

Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.”
(HR. Muslim no. 1162)

Sedangkan tahun kelahiran beliau adalah pada tahun Gajah. Ibnul Qayyim dalam Zaadul
Ma’ad berkata,

“Tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota
Mekkah. Dan kelahirannya adalah di tahun gajah.” (https://muslim.or.id/19559-kapan-
tanggal-lahir-nabi-muhammad.html)

Beliau adalah seorang nabi dan rosul, shallallahu ‘alaihi wa sallam, penyampai risalah Islam
untuk seluruh alam. Dan sesungguhnya engkau ( Muhammad ) mempunyai akhlak yang
mulia.“ ( Al Qalam , 68 : 4 )

Salah satu tugas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah “Bahwasanya aku (Muhammad)
diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran Akhlak ( Budi Pekerti ) “ (H.R. Ahmad) (HR.
Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-
Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

(https://muslim.or.id/40677-keutamaan-berhias-dengan-akhlak-mulia.html)
Tujuan pendidikan pendidikan Islam adalah untuk membentuk pribadi yang bermoral dan
berbudi luhur, berhati lemubt, santun dalam bicara dan beramal, berakhlak mulia dalam
bertutur dan bertingkah laku.

Beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak. Para ahli
pendidikan Islam sepakat bahwa mengejar pendidikan adalah mengejar akhlak dalam arti kata
yang sebenarnya. Ini tidak berarti mengurangi perhatian pada pendidikan jasmani atau
pendidikan intelektual, tetapi itu berarti memperhatikan masalah-masalah pendidikan moral
seperti setara bahkan lebih dari pendidikan jasmani, teknologi dan sains. Seorang anak
membutuhkan fisik yang kuat, pikiran yang kuat, karakter moral yang tinggi agar dapat
menjaga dirinya sendiri, berpikir untuk dirinya sendiri, mengajarkan esensi, berbicara
kebenaran, membela kebenaran, jujur dalam perbuatannya, rela mengorbankan kepentingan
diri untuk kebaikan bersama, tetap berpegang pada keutamaan dan menghindari sifat tercela.

Hierarki moral dalam islam

1. Al-Quran Al-Karim

2. Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang shahih.

3. Atsar (perkataan atau perbuatan) para sahabat Nabi.

4. Jejak para tabi’in dan tabiut tabi’in.

https://abufawaz.wordpress.com/2012/12/30/cara-memahami-dan-mengamalkan-ajaran-islam-
dengan-benar/

2. Max Scheler
Ia dilahirkan pada tahun 1874 di Muenchen, menempuh studi di Muenchen, Berlin,
Heidelberg,dan Jena. seorang filsuf Jerman yang berpengaruh dalam bidang fenomenologi,
filsafat sosial, dan sosiologi pengetahuan

Etika, moral, akhlak, budi pekerti, atau susila menurut Max scheler adalah bersatunya
manusia dengan nilai yang tinggi. Jika manusia memiliki nilai tertinggi, maka manusia
berserah pada nilai tertinggi, itulah moral. (Drijarkara, 146)
Dalam perspektif Max Scheler, ada 3 gugus nilai yang mandiri dan jelas berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya.

Gugus nilai yang pertama dan paling rendah adalah segala nilai dalam dimensi “yang
menyenangkan dan “tidak menyenangkan”, yang disini dalam arti perasaan badani (inderawi).
Nilai-nilai ini dirasakan secara fisik dab menghasilkan perasaan nikmat dan sakit.

Gugus kedua, nilai-nilai di sekitar “perasaan vital”, yang berkaitan bukan dengan fungsi-
fungsi indrawi tertentu, melainkan dengan kehidupan dalam keutuhannya. Nilai-nilai ini
tersebar di sekitar “yang luhur” dan “yang kasar”, yang “kuat” dalam arti kesehatan fisik, dan
yang “lemah” dalam arti ringkih, sakitan dan sebagainya.

Lain halnya dengan gugus ketiga, nilai-nilai rohani. Nilai-nilai itu tidak tergantung dari
dimensi ketubuhan. Scheler mencatat bahwa orang bersedia mengorbankan nilai-nilai dimensi
kehidupan (nilai-nilai vital) demi nilai-nilai rohani.

Nilai rohani terdiri dari 3 macam:

1) nilai estetis, jadi nilai di sekitar “yang indah” dan “yang jelek”

2) nilai-nilai “benar” dan “tidak benar”, dalam arti “dapat dibenarkan” dan “tidak dapat
dibenarkan”, jadi nilai-nilai seperti “adil” dan “tidak adil” dan terakhir

3) nilai-nilai pengetahuan murni, pengetahuan demi pengetahua.

Dalam wilayah rohani termasuk kegembiraan dan kesedihan rohani, serta kita dirangsang
untuk menjawab dengan sikap-sikap seperti “merasa senang” atau “tidak senang” dengannya
setuju dan tidak setuju, mengakui dan tidak mengakui. Di sini scheler juga memasukkan
“simpati rohani” dengan contoh “persahabatan”.

Untuk mengetahui hierarki nilai-nilai di atas, Scheler menyuguhkan 5 kriteria:


(1) Makin lama sebuah nilai bertahan, maka maikin tinggi kedudukannya. Misalnya,
kebahagiaan bertahan lebih lama daripada rasa nikmat, kesehatan daripada rasa
kenyang.
(2) Nilai itu makin tinggi makin tidak dapat, dan tidak perlu “dibagi” jika disampaikan
kepada orang lain. Misalnya, nilai pengetahuan lebih tinggi daripada nilai makanan
karena pengetahuan dapat disampaikan tanpa harus dibagi, sedangkan makanan
tidak. Tetapi pengetahuan dapat disampaikan utuh kepada sekian banyak orang.
(3) Nilai makin tinggi makin ia mendasari nilai-nilai lain dan sendiri tidak berdasarkan
nilai lain. Begitu misalnya nilai “yang berguna” berdasarkan nilai “yang
menyenangkan”.
(4) Makin dalam kepuasan yang dihasilkan oleh sebuah nilai. Makin tinggi
kedudukannya. Begitu misalnya cinta sejati lebih mendalam daripada nikmat
seksual: nikamat seksual tidak membantu orang dalam menghadapi masalah-
masalah hidup, sedangkan orang yang mencintai, juga lebih kuat dalam segala
tantangan.
(5) Makin relatif sebuah nilai, makin rendah kedudukannya, makin mutlak, makin
tinggi. Sebuah nilai itu relatif semakin ia masuk akal dalam kaitan kaitan dengan
jenis kaitan tetentu. Misalnya saja, nilai-nilai kesenangan dan vital hanya dapat
terwujud bagi makhluk yang jasmani-indrawi, dan bukan bagi roh murni.
Sedangkan nilai kebenaran tidak tergantung dari adanya makhluk jasmani-indrawi.
Maka nilai kebenaran lebih tinggi daripada nilai kesehatan.

Dalam konteks inilah, manusia bertindak dengan etis dan merealisasikan nilai kebaikan moral,
apabila ia selalu memilih nilai yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Lebih jauh dalam
pandangan Scheler, manusia bertindak secara moral, apabila berhadapan dengan berbagai
kemungkinan untuk bertindak, lalu ia memilih nilai yang lebih tinggi dan bukan yang lebih
rendah. Jadi yang menjadi tujuan kemauan orang bermoral bukan asal bertindak secara moral,
melainkan pencapaian nilai-nilai dan nilai-nilai moral terealisasi apabila manusia memilih
yang lebih tinggi.
III. HIERARKI MORAL/NILAI
SEBAGAI SUMBER DAN LANDASAN PENDIDIKAN

A. Pengertian Hierarki moral/nilai

Menurut kamus daring, hierarki/hi·e·rar·ki/ /hiérarki/ n 1 urutan tingkatan atau jenjang jabatan
(pangkat kedudukan); 2 organisasi dengan tingkat wewenang dari yang paling bawah sampai
yang paling atas. (https://kbbi.web.id/hierarki). Sedangkan secara etimologi

Hierarki (bahasa Yunani: hierarchia (ἱεραρχία), dari hierarches, "pemimpin ritus suci, imam
agung") adalah suatu susunan hal (objek, nama, nilai, kategori, dan sebagainya) di mana hal-hal
tersebut dikemukakan sebagai berada di "atas," "bawah," atau "pada tingkat yang sama" dengan
yang lainnya. Secara abstrak, sebuah hierarki adalah sebuah kumpulan yang disusun. Sebuah
hierarki dapat menautkan entitas-entitas baik secara langsung maupun tidak langsung, dan baik
secara vertikal maupun horizontal.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hierarki)
Secara leksikal (kamus), landasan berarti tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan
merupakan tempat bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak atau dasar pijakan ini
dapat bersifat material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual
(contoh: landasan pendidikan).
Maka hierarki moral sebagai sumber

B. HIERARKI MORAL/NILAI SEBAGAI SUMBER DAN LANDASAN PENDIDIKAN

Indonesia merupaka negara dengan landasan falsafah Pancasila. Oleh karena itu hierarki
moral sebagai sumber dan landasan pendidikan akan mengacu pada falsafah ini yakni.
1. Moral Agama
Moralitas religius adalah sikap manusia kerkenaan dengan kepatuhannya terhadap perintah
Tuhan secara langsung, dalam arti manusia mengandaikan Tuhan secara langsung sebagai
pengawas tindakan moral tersebut, sedangkan pengertian moralitas keagamaan adalah sikap
manusia berkenaan dengan ajaran agama yang dianutnya.

Sebagai negara yang memiliki landasan negara yakni Pancasila, maka sumber moral pertama
dan utama adalah agama. Merupakan sebuah keniscayaan bahwa semua agama mengajarkan
para penganutnya moral yang baik agar dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari seperti
tercantum pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi,
H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim
al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Pedoman dalam bermoral dan berinteraksi sosial adalah mutlak kebenarannya jika kita
menjadikan agama sebagai panduan kehidupan sehari-hari baik sebagai makluk individual
maupun soaial niscaya tidak akan tersesat.
2. Moral Hukum Positif
Hukum positif atau bisa dikenal dengan istilah Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku
sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Singkatnya ia adalah
hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu.
bahwa untuk menciptakan keadilan, hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban,
moral dan aturan.
Bagi muslim hukum dalam bermoral dapat dikategorikan secara hirarkis menjadi moral yang
sifatnya wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

3. Moral Adat istiadat


Moral adat istiadat adalah kebaikan yang tumbuh di sebuah lingkungan masyarakat tertentu.
Misalnya di Indonesia tumbuh nilai moral bermusyawarah untuk mufakat.
Kebiasaan baik ini hampir luntur karen arus disrupsi yakni demokrasi yang meyatakan suara
rakyat suara Tuhan sehingga sistem voting seringkali dijadikan legalitas untuk mengambil
keputusan.

Dengan kondisi global ini dimana batas-batas negara sudah tidak terlihat, seyogyanya
Indonesia mempertahankan nilai luhur bangsa untuk senantiasa mengedepankan
musyawarah untuk mengambil kesepakatan bersama. Secara tidak sadar ini merupakan
penjajahan bentuk baru yakni dominasi politik untuk mengubah cara pandang bangsa dari
saling menyayangi (musyawarah) menjadi saling bersaing. (demokrasi)
IV. PENUTUP

Manusia adalah makhluk sosial. Artinya manusia baru menjadi manusia kalau ia hidup dengan
manusia lain, atau hidup di kalangan manusia. Tentang betapa nestapanya anak- manusia yang sejak
kecil dibesarkan oleh serigala atau binatang lain.
Alangkah sulit dan lambatnya mendidik anak semacam itu agar kembali menjadi manusia biasa. Jadi
manusia akan kehilangan kemanusiaannya kalau ia berada di lingkungan bukan manusia. Manusia
harus berada di dalam pergaulan antara manusia. Di dalam pergaulan ini manusia harus menjaga agar
pergaulan itu tetap berada di dalam suasana kemanusiaan, yang rukun dan damai, memperbaiki dan
memajukan.
Untuk ini manusia yang satu, harus kenal manusia yang lain. Jadi di dalam pergaulan itu manusia
harus mengenal diri sendiri dan mengenal yang lain, saling mengenal. Untuk dapat saling mengenal
kita perlu mengetahui sifat- sifatnya, temperamennya, dan wataknya, sehingga dengan demikian kita
saling dapat menyesuaikan segalanya dengan watak tiap-tiap orang itu, dan terhindarlah
kesalahfahaman, dan itulah sebenarnya unsur damai dan rukun.
Sebab dia itulah manusia harus mendidik watak. Persoalan buruk-baik timbul dari penilaian
mengenai kehendak manusia. Kehendak manusialah yang membawa mereka cenderung kepada yang
baik atau yang tidak baik. Maka kehendak (nafsu) itu memang memerlukan kekangan.
Kekangan itu harus lah berada di luar manusia, atau di atas kekuasaannya, yaitu kekuasaan Tuhan.
Bila manusia telah melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan maka akhirnya ia membuka jalan kepada
suatu moralitas baru yang sesuai dengan selera syahwat manusia!
DAFTAR RUJUKAN

1. Drijarkara, Prof. Dr. N., SJ. (1978) Percikan Filsafat, PT. Pembangunan Jakarta.
2. Purwanto, M. Ngalim, Drs., MP, (2007) Ilmu Pendidikan Teoteris dan Praktis, PT Rosda Karya
Bandung.
3. Marimba, Ahmad D, Drs, (1964) Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, N.V. Al Maarif, Bandung
4. Al Abrasy, Mohd Athiyah, Prof. Dr., (1970) Dasar-dasar Poko Pendidikan Islam, Bulan Bintang,
Jakarta
5. Tilaar, H.A.R., (2015) Pedagogik teoretis untuk Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta
6. Ahmadi, Abu, Drs.,(1983), Psikologi Umum, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
7. Ali, M.Nashir, Drs., (1982), Dasar-DasarIlmu Mendidik, Penerbit Mutiara, Jakarta
8. https://muslim.or.id/19559-kapan-tanggal-lahir-nabi-muhammad.html
9. https://abufawaz.wordpress.com/2012/12/30/cara-memahami-dan-mengamalkan-ajaran-islam-
dengan-benar/

Anda mungkin juga menyukai