Anda di halaman 1dari 16

makala

HUBUNGAN MORAL
h
DENGAN PENDIDIK DAN ANAK DIDIK
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Landasan Nilai dan Moral Pendidikan
Dosen:
Prof. Dr. H. A Juntika Nurikhsan, M.Pd.
Dr. H. Babang Robandi, M.Pd

Disusun oleh:
Neneng Tsani
NIM 2002118
HUANG MINGJING (KIKI)
NIM NIM 2010373

PROGRAM PASCASARJANA STUDI PEDAGOGIK


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................................i
I. PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.....................................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................................................................2
1.4. Manfaat Makalah.................................................................................................................................2
II. TINJAUAN TEORI.....................................................................................................................................3
2.1. Hubungan...........................................................................................................................................3
2.2. Moral..................................................................................................................................................3
2.3. Pendidik..............................................................................................................................................3
2.3.1. Definisi Pendidik.........................................................................................................................4
2.3.2. Tanggung jawab Guru.................................................................................................................4
2.3.3. Tugas Pendidik............................................................................................................................4
2.3.4. Peran Pendidik dalam Proses Belajar Mengajar...........................................................................5
2.3.5. Hak dan kewajiban guru..............................................................................................................5
2.4. Peserta didik......................................................................................................................................6
2.4.1. Definisi Peserta Didik..................................................................................................................7
2.4.2. Hakikat Peserta didik...................................................................................................................7
2.4.3. Kebutuhan dan Karakteristik Peserta Didik.................................................................................7
2.4.4. Hak dan Kewajiban Peserta Didik...............................................................................................8
2.4.5. Karakteristik Peserta Didik Yang Sukses.....................................................................................9
III. HUBUNGAN MORAL DENGAN PENDIDIK DAN ANAK DIDIK..................................................10
3.1. Tujuan pendidikan nasional...............................................................................................................10
3.2. Metode pendidikan moral..................................................................................................................10
3.3. pendidikan karakter...........................................................................................................................11
IV. PENUTUP.............................................................................................................................................13
DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................................................................14

i
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam buku Percikan Filsafat, Prof. Dr.N.Drijarkara S.J., (1978,40) menyatkan bahwa pada diri
manusia terdapat dorongan yang serupa dengan dorongan pada hewan dan tumbuhan, namun yang
membedakannya adalah manusia yang berbudi memiliki nilai-nilai susila yang tentu saja tidak
dimiliki hewan dan tumbuhan. Berawal dari pernyataan ini sudah seyogyanya manusia bersyukur
kepada Yang Maha Kuasa telah diberikan_Nya kita alat untuk membedakan mana yang baik dan
buruk, mana yang halal dan haram, mana yang perbuatan keji dan fasik mana yang mulia. Namun
manusia tetaplah makhluk yang memiliki hawa nafsu. Dengannya ia terkadang terperosok kedalam
kesalahan dan dosa namun semua bani Adam sering melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang
yang sering melakukan kesalahan adalah yang sering bertaubat. [HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan
lain-lain. Hadits ini hasan, menurut syaikh al-Albani rahimahullah] Referensi:
https://almanhaj.or.id/7169-mari-bertaubat.html. Agar fitrah manusia tetap terjaga kemurniannya,
sebagai makhluk yang Allah ta’ala ciptakan pertama kali tinggal di surga yakni Nabi Adam
alayhissalaam, maka manusia membutuhkan pendidikan untuk menghilangkan kebodohan dalam
dirinya. Pendidikan dalam tulisan ini adalah pendidikan formal bernama sekolah.
Sekolah merupakan lingkungan mikrosistem. Bronfenbrenner (1979: 22) mengatakan bahwa
mikrosistem adalah sebuah pola dari aktivitas, peran dan relasi interpersonal yang dialami oleh
seseorang yang sedang tumbuh berkembang di dalam setting tertentu dengan karakteristik fisik
khusus, yaitu suatu lingkungan kehidupan yang di dalamnya seorang individu menghabiskan
sebagian besar waktunya, seperti keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tetangga.
Di dalam mikrosistem ini, seorang individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru-guru, teman
sebaya dan yang lain. Seorang anak bukan penerima pasif dari pengalaman, tetapi bersifat interaksi
timbal balik dengan yang lain dan membentuk mikrosistem masingmasing.
Sekolah merupakan bentuk pendidikan formal. Noeng Muhadjir (2003: 16-18) mengatakan bahwa
ditinjau dari segi antropologi kultural dan sosiologi, ada tiga fungsi utama pendidikan, yaitu:
1. menumbuhkan kreativitas subjek-didik;
2. menumbuhkembangkan nilai-nilai insani dan Ilahi pada subjek didik dan satuan sosial
masyarakat;
3. meningkatkan kemampuan kerja produktif pada subjek didik.
Fungsi sekolah kekinian yakni mengembangkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual. Dalam melakukan hubungan inter personal juga dibutuhkan kecerdasan
adversity, yakni kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup untuk
bertahan hidup, dalam hal ini tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap kesulitan hidup.
Sekolah sebagai sistem masyarakat juga tidak terlepas dari adanya perundungan yang terkadang
dirasakan oleh unsur didalamnya: pendidik maupun peserta didik. Dalam skala rendah hingga tinggi.
Selanjutnya dalam penulisna makalah ini makna pendidiksinonimdengan guru, sedangkan peserta
didik dapat disamakan dengan siswa.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang peduli dan fokus pada pendidikan moral atau pendidikan nilai
di samping kegiatan pengajaran ilmu. Amstrong (2006: 17) mengemukakan teorinya tentang sekolah
sebagai wahana pengembangan manusia (human development). Istilah “pengembangan” atau
”development” lebih berkonotasi pada upaya menumbuhkan, memerdekakan manusia dari beban,
rintangan dan kesulitan. Istilah ini juga bermakna proses yang berlangsung terus sepanjang waktu.
Maka, pengembangan manusia dalam pendidikan dapat didefinisikan menjadi “keseluruhan tindakan
dan komunikasi lisan dan tertulis yang melihat tujuan pendidikan lebih mengutamakan pada upaya
membantu, mendorong, memfasilitasi pertumbuhan siswa sebagai manusia utuh.
1.2. Rumusan Masalah

1.1.1. Apakah hubungan moral dengan pendidik?


1.1.2. Apakah hubungan moral dengan peserta didik?
1.1.3. Apakah hubungan moral dengan pendidik dan peserta didik?
1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Mengetahui dan memahami hubungan moral dengan pendidik.


1.3.2. Mengetahui dan memahami hubungan moral dengan peserta didik.
1.3.3. Mengetahui dan memahami hubungan moral dengan pendidik dan peserta didik.
1.4. Manfaat Makalah

1.4.1. Sebagai sumber dan bahan belajar bagi penulis serta mahasiswa sekola pascasarjana
prodi pedagogik
1.4.2. Sebagai kajian untuk menelaah landasan moral pendidikan dalam proses pembelajaran
di Indonesia.
1.4.3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengembangkan dan
meningkatkan sistem pendidikan berkarakter.
II. TINJAUAN TEORI

2.1. Hubungan

Menurut KBBI daring: hu·bung, ber·hu·bung 1 v bersambung atau berangkai (yang satu dengan yang
lain) atau pertalian. Sedangkan hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih
yang memudahkan proses pengenalan satu dan yang lainnya.
Anton Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 236

2.2. Moral

Moral merupakan salah satu hukum perilaku yang diterapkan kepada setiap individu dalam
bersosialisasi dengan sesamanya sehingga terjalin rasa hormat dan menghormati antar sesama. Moral
ini merujuk pada tindakan, perilaku seseorang yang memiliki nilai positif sesuai dengan norma yang
ada di suatu masyarakat.

Pendapat John Henry Newman, seorang filsuf asal Inggris mengatakan bahwa kesusilaan itu
praktiknya konkret sebagai suara batin kita.
“Bila manusia betul-betul tunduk kepada suara batin itu, maka makin lama dia
akan makin mengerti kesempurnaan dan kebaikan.
Lihatlah, suara itu juga memimpin kita ke-rasa hormat, rasa aman, suara itu
juga menyebabkan kita menyerah.
Kesemua itu menunjuk, bahwa dalam mengalami sense of duty manusia
berhadapan dengan Pribadi yang sempurna, ialah Maha Pribadi Tuhan sendiri.
Dengan kata lain, dalam pandangan Newman kesusilaan itu adalah pelaksanaan
perintah Tuhan”.

2.3. Pendidik

Kata pendidik (isitlah lain: guru, ustadz, instruktur, pengajar, pelatih, pamong, tutor) berasal
dari kata “didik”, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki
ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan
sebagainya) selanjutnya dengan menambahkan awalan pe- hingga menjadi pendidik, artinya
orang yang mendidik. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pendidik artinya orang yang
mendidik.
Secara etimologi dalam bahasa Inggris ada beberapa kata yang berdekatan arti pendidik seperti
kata teacher artinya pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi, di pusat-pusat pelatihan
disebut sebagai trainer atau instruktur.
2.3.1. Definisi Pendidik
UU nomor 14 tahun 2005 Bab 1 pasal 1 menyebutkan bahwa seorang guru adalah
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai , dan mengevaluasi peserta didik.

Pendidik yang ideal adalah sosok yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa,
panggilan hati nurani, bukan karena tuntunan materi serta tidak membatasi tugas dan
tanggung jawabnya hanya di sekolah.

2.3.2. Tanggung jawab Guru


Tanggung jawab guru tidak hanya menyampaikan ide-ide, tetapi ia menjadi ikon
bagaimana cara hidup kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam dunia
yang dicemaskan.
Beberapa hal berikut adalah tanggung jawab guru secara umum yaitu:
o Mencerdaskan kehidupan anak didik.
o Memberikan pemahaman sejumlah norma tentang perbuatan susila dan asusila.
Misalnya: guru mencontohkan melalui sikap, tingkah laku yang baik.
Jadi, guru harus bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan
perbuatannya dalam rangka membina jiwa dan watak anak didik.

2.3.3. Tugas Pendidik

Pendidik memiliki tugas yang beragam yang berimplementasi dalam bentuk


pengabdian. Tugas tersebut meliputi bidang profesi, bidang kemanusiaan dan bidang
kemasyarakatan.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih.
Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan.
Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
Menurut Roestiyah N.K Bahwa guru dalam mendidik anak didik bertugas :
a. Menerangkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan
dan pengalaman-pengalaman.
b. Membentuk kepribadian anak yang harmonis sesuai cita-cita dan dasar
Negara kita pancasila
c. Menyiapkan anak menjadi warga Negara yang baik serta penghubung antara
sekolah dan masyarakat
d. Sebagai perantara dalam belajar dan pembimbing
e. Sebagai administrator dan manajer serta suatu profesi
f. Sebagai pemimpin dan penegak disiplin serta dalam bidang sponsor untuk
kegiatan anak-anak
Adapun menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah al-Abrasyi, seorang pendidik harus
memiliki sifat-sifat tertentu agar ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik,
seperti yang diungkapkan oleh beliau adalah :
1) Memiliki sifat Zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi dan mengajar
karena mencari ridha Allah.
2) Seorang Guru harus jauh dari dosa besar.
3) Bersifat pemaaf.
4) Harus mencintai peserta didiknya.

2.3.4. Peran Pendidik dalam Proses Belajar Mengajar


Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan. Interaksi atau
hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi
berlangsungnya proses belajar-mengajar. Dengan demikian dalam sistem pengajaran
mana pun, guru selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan, hanya peran yang
dimainkannya akan berbeda sesuai dengan tuntutan.

Dalam pengajaran atau proses belajar mengajar guru memegang peran sebagai
sutradara sekaligus aktor. Artinya, pada gurulah tugas dan tanggung jawab
merencanakan dan melaksanakan pengajaran di sekolah.
Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai
demonstrator, korektor, inspirator, informator, organisator, fasilitator, pengajar,
manajer kelas, supervisor, motivator, eksplorator, mediator, inisiator.
2.3.5. Hak dan kewajiban guru
Pasal 40 Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pendidik berhak:
 penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
 penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
 pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
 perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan
intelektual; dan
 kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Pendidik berkewajiban:
 menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis,
dan dialogis;
 mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;
dan
 memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai
dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

2.4. Peserta didik

Peserta didik (istilah lain: Siswa, Mahasiswa, Taruna, Warga belajar, Pelajar, Murid, Santri)
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu
dikembangkan. Peserta didik merupakan “Raw Material” (Bahan Mentah) dalam proses
transformasi dan internalisasi. Peserta didik adalah individu yang mempunyai kepribadian yang
dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Pendidikan moral difokuskan pada:
1. Pendidikan moral terhadap diri sendiri yang penting diberikan kepada peserta didik
berkaitan dengan nilai-nilai kebersihan diri, kerajinan dalam belajar/bekerja, keuletan,
disiplin waktu. Pendidikan moral untuk sesama manusia mencakup nilai-nilai moral sosial
seperti kerjasama, toleransi, respek, berlaku adil, jujur, rendah hati, tanggung jawab, dan
peduli.

2. Pendidikan moral untuk hubungan manusia dengan alam semesta dapat diberikan dengan
menguatkan nilai-nilai keseimbangan alam, menjaga kelestarian alam, tidak merusak alam,
hemat, dan mendidik untuk menggunakan kembali barang-barang bekas (daur ulang) dalam
bentuk yang baru.

3. Pendidikan moral untuk hubungan manusia dengan Sang Khalik penting dilaksanakan
terlebih Indonesia adalah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 UUD 1945).
Indonesia berbeda dengan negara sekuler dan negara komunis. Pendidikan agama yang di
dalamnya sarat dengan nilai-nilai moral diberi tempat yang khusus dan penting. Nilai-nilai
moral yang diajarkan di dalam ajaran agama menjadi sumber nilai bagi kehidupan
masyarakat
Indonesia sehingga di sekolah pun nilainilai moral agama tetap diberi tempat yang utama.

2.4.1. Definisi Peserta Didik


Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
peserta didik didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal
maupun pendidikan nonformal.
2.4.2. Hakikat Peserta didik
1. Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensi potensi dasar
kognitif atau intelektual, afektif, dan psikomotorik.
2. Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensi periodisasi
perkembangan dan pertumbumbuhan, meski memiliki pola yang relatif sama
3. Peserta didik memiliki imajinasi, presepsi, dan dunianya sendiiri, bukan
sekedar miniatur orang dewasa.
4. Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi kebutuhan yang
harus dipenuhi, baik jasmani maupun rohani.
5. peserta didik merupakan manusia bertanggung jawab bagi proses belajar
pribadi dan menjadi pembelajar sejati, sesuai dengan wawasan pendidikan
sepanjang hayat.
6. peserta didik memiliki daya adaptabilitas di dalam kelompok sekaligus
mengembangkan dimensi individualisme sebagai insan yang unik.
7. Peserta didik memerlukan pembinaan dan pengembangan secara individual dan
kelompok, serta mengharapkan perlakuan yang manusiawi dari orang dewasa,
termasuk gurunya.
8. Peserta didik merupakan insan yang visioner dan proaktif dalam menghadapi
lingkungannya.
9. Peserta didik sejatinya berperilaku baik dan lingkunganlah yang paling
dominan untuk membuatnya lebih baik lagi atau menjadi buruk.
10. Peserta didik merupakan makhluk Tuhan yang meski memiliki aneka
keunggulan, namun tidak akan mungkin bisa berbuat atau dipaksa melakukan
sesutau melebihi kapasitasnya.

2.4.3. Kebutuhan dan Karakteristik Peserta Didik


Menurut Asosiasi Nasional Sekolah Menengah ( National Association of High School)
Amerika serikat (1995) kebutuhan-kebutuhan peserta didik adalah:
o Kebutuhan intelektual, dimana peserta didik memiliki rasa ingin tahu, termotivasi
untuk mencapai prestasi saat ditantang dan mampu berpikir untuk memecahkan
maalah-masalah yang kompleks.
o kebutuhan sosial, dimana peserta didik mempunyai harapan yang kuat untuk
memiliki dan dapat diterima rekan-rekan mereka ambil mencari tempatnya sendiri
di dunianya. Mereka terlibat dalam membentuk dan mempertanyakan identitas
mereka sendiri pada berbagai tingkatan.
o Kebutuhan fisik, dimana pesera didik "jatuh tempo" perkembangan pada tingkat
yang berbeda dan mengalami pertumbuhan yang cepat dan tidak beraturan.
pertumbuhan dan perubahan fiisik atau tubuh menyebabkan garakan mereka
adakalanya menjadi canggung dan tidak terkoordinasi.
o Kebutuhan emosional dan psikologi,di mana peserta didik rentang dan sadar diri
dan sering mengalami "mood swings" yang tidak terduga.
o Kebutuhan moral, dimana peserta didik idealis dan memiliki kemauan yang kuat
untuk membuat dunia dirinya dan dunia luar dirinya menjadi tampat yang lebih
baik.
o kebutuhan homodivionis, di mana peserta didik mengakui dirinya sebagai
makhluk yang berketuhanan atau makhluk homoreligius alias insan yang
beragama.

2.4.4. Hak dan Kewajiban Peserta Didik

Hak peserta didik dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 12 adalah:
1. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama.
2. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat. minat, dan
kemampuannya.
3. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikan.
4. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikan.
5. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.
6. menyelesaikan program-progam pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan.

Kewajibannya sebagai peserta didik adalah :


1. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan
keberhasilan pendidikan.
2. Ikut menanggung biaya penyelenggarakan pendidikan, kecuali bagi peserta didik
yang di bebaskan dari kewajiban tersebut sesuai undand-undang yang berlaku.

Secara etis peserta didik memiliki beberapa kewajiban :


1. Mematuhi dan menjujung tinggi semua aturan dan peraturan berkenaan dengan
oprasi yang aman dan tata tertib di sekolah.
2. Menghormati dan mematuhi semua anjuran yang bersifat edukatif dari kepala
sekolah, guru, staf sekolah, dan para pihak yang terhubung dengan sekolah.
3. Menghormati orang tua atau wali peeserta didik dan manusia pada umumnya.
4. menghormati sesama peserta didik.
5. Menggunakan bahasa yang baik dan benar.
6. ikut bekerjasama dalam menjaga gedung, fasilitas, dan barang-barang milik
sekolah
7. Menjaga kebersihan ruang kelas, sekolah, dan lingkungannya
8. Menunjukan kejujuran, kesopanan, dan kebaikan dalam hubungan sesama siswa,
anggota staf, dan orang dewasa
9. Hadir dan pulang sekolah tepat waktu kecuali ada keadaan khusu atau darurat.

2.4.5. Karakteristik Peserta Didik Yang Sukses


1. tepat waktu
2. memusatkan perhatan.
3. tanggung jawab
4. peduli dan bersedia bekerja untuk memperbaiki dirinya.
5. Berpartisipasi dalam KBM untuk menggali pengalaman guru dan siswa lainnya.
6. Memperhatikan guru-guru sebelum atau setelah sesi kelas atau selama jam
pelajaran,
7. bekerja keras atas dasar nilai-nilai positif, memberi komentar di atas catatan-
catatan mereka, dan mempersiapakan diri untuk mengikuti tes berikutnya.
8. Kerap berdiskusi dengan guru-guru lainnya untuk mendapatkan pengalaman
bermakna.
9. Mengerjakan semua tugas dengan rapi dan menelaah hasilnya secara kritis.
III. HUBUNGAN MORAL DENGAN PENDIDIK DAN ANAK DIDIK

1.1. Tujuan pendidikan nasional

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3,


mengamanhkan tujuan pendidikan nasional yakni mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Pendidik dan peserta didik adalah unsur dari sistem pendidikan. Keduanya dituntut untuk saling
bekerja sama, bahu membahu bersama unsur pendidikan yang lain seperti tenaga kependidikan,
pemangku kebijakan dan masyarakat umum untuk meraih tujuan pendidikan nasioal yang
luhur.
Oleh karena itu, pendidik dan peserta didik sebagai subjek didik harus melakukan berbagai
metode dalam menghasilkan anak didik yang berakhlak mulia.
1.2. Metode pendidikan moral

Kirschenbaum (1995: 31) mengusulkan 100 cara atau metode pendidikan moral, yang
dipayungi dalam lima kategori besar metode pendidikan moral yaitu penanaman (inkulkasi)
nilai-nilai dan moralitas, modeling dan fasilitasi nilai-nilai dan moralitas, kecakapan untuk
mengembangkan nilai dan melek moral, pelaksanaan program pendidikan nilai di sekolah.
3.2.1. Inkulkasi nilai
Metode ini dapat dilaksanakan dalam pembelajaran moral di sekolah maupun di dalam keluarga
dengan berbagai cara. Kirschenbaum mengetengahkan 34 cara inkulkasi nilai, di antaranya
adalah identifikasi nilainilai target, membaca buku-buku sastra dan non-fiksi, bercerita.
Program pendidikan moral dengan cara inkulkasi nilai dimulai dengan mengidentifikasi secara
jelas nilai-nilai apa yang diharapkan akan tertanam dalam diri subjek didik. Hasilnya adalah
“nilai-nilai target” yang akan dicapai dalam program pendidikan moral.
3.2.2. Metode keteladanan
Keteladanan merupakan bentuk mengestafetkan moral yang digunakan oleh masyarakat religius
tradisional, dan digunakan pula oleh masyarakat modern sekarang ini. Dalam masyarakat
tradisional, keteladanan diterima secara terberi tanpa harus mengejar argumentasi rasionalnya;
sedangkan pada masyarakat modern sekarang keteladanan diterima dengan pemahaman dan
argumentasi rasional (Muhadjir, 2004: 163). Orang tua dan guru merupakan sosok yang harus
memberikan teladan baik kepada subjek didik.
3.2.3. Metode klarifikasi nilai
Dalam masyarakat liberal, moral diperkenalkan lewat proses klarifikasi, penjelasan agar terjadi
pencerahan pada subjek didik. Seberapa jauh sesuatu moral diterima oleh anak, sangat
ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak diberikan kebebasan untuk memutuskan sendiri.
Pendekatan klarifikasi nilai adalah salah satu contoh yang memberikan kebebasan untuk anak
menentukan nilai-nilainya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sidney B. Simon, dkk (1974: 6)
bahwa pendekatan klarifikasi nilai mencoba untuk membantu anakanak muda menjawab
beberapa pertanyaan dan membangun sistem nilai sendiri.
3.2.4. Metode fasilitasi nilai
Guru dan pihak sekolah memberikan berbagai fasilitas yang dapat digunakan siswa agar dapat
merealisasikan nilai-nilai moral dalam dirinya baik secara individu maupun berkelompok,
misalnya fasilitas beribadah berupa mesjid dan mushola, fasilitas membuat kompos dari
sampah sekolah, fasilitas berupa ruang diskusi, perpustakaan dengan buku-buku cerita yang
memuat nilai-nilai moral, dan sebagainya.
3.2.5. Metode keterampilan nilai moral
Keterampilan moral dalam diri peserta didik dapat diwujudkan dimulai dengan pembiasaan.
Lama kelamaan pembiasaan itu ditingkatkan dengan cara peserta didik merancang sendiri
berbagai tindakan moral yang akan diwujudkan sebagai suatu komitmen diri, action plan
mereka sendiri sebagai wujud realisasi diri menjadi orang yang baik dan memperoleh hidup
yang bermakna.
1.3. pendidikan karakter

Tujuan pendidikan karakter meliputi tiga kawasan, yakni penalaran nilai/ moral(moral
knowing), perasaan moral (moral feeling), dan dan tindakan moral (moral action). Pendidikan
karakter harus bersifat holistik, terlebih lagi di Indonesia yang berpandangan hidup filsafat
Pancasila. Pendidikan karakter holistik dapat diartikan sebagai upaya memperkenalkan dan
menginternalisasikan nilai -nilai kehidupan yang dapat menjadikan peserta didik menjadi
manusia yang utuh (a whole human being).
Nilai moral diperkenalkan pada peserta didik dengan mengajak partisipasi dalam perbuatan,
diberi pemahaman rasionalitasnya, sampai berpartisipasi aktif untuk mempertahankan
perbuatan moral tersebut. Pada sisi lain, peserta didik perlu pula ditumbuhkembangkan
penghayatan emosionalnya, konasinya, sampai keimanannya lewat internalisasi atau
menghayati nilai moral pada ketiga tataran:
1. akhlak terhadap Tu han Yang Maha Esa (mengenal Tuhan sebagai Pencipta dan sifat-
sifatNya, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, meminta tolong kepada - Nya);
2. akhlak terha dap sesama (diri sendiri, orang tua, orang yang lebih tua, teman sebaya,
orang yang lebih muda) ; dan
3. akhlak terhadap lingkungan (alam, baik flora maupun fauna dan sosial –masyarakat)
Pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam kehidupan masyarakat dan didukung oleh
segenap komponen masyarakat. Jika salah satunya tidak melaksanakan, maka keberhasilan
pendidikan karakter tidak optimal. Misalnya orang dewasa memberi contoh untuk tidak
merokok, munafik, korupsi dll. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan
karakter memengaruhi kualitas moral generasi muda.
IV. PENUTUP

kesadaran moral
Indonesia terlahir sebagai bangsa yang berbhineka tunggal Ika. Semboyan ini menjadi ruh sebagai
sikap saling menghargai dan toleransi dalam kehidupan yang rukun berinteraksi satu sama lain.
Kekayaan moral bangsa ini telah terukir dalam sejarah. Taman siswa, Ki Hajar Dewantara telah
berkontribusi dengan Panca dharma sebagai pendidikan karakter negeri ini.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya sebagai generasi muda, kita kembali ke akar perjuangan bangsa
dengan melestarikan moral pendidikan yang lestari.
Kelima dharma tersebut adalah: (1) Kemerdekaan, (2) Kodrat Alam, (3) Kebudayaan, (4)
Kebangsaan, dan (5) Kemanusiaan.
1) KEMERDEKAAN adalah syarat mutlak dalam tiap-tiap usaha pendidikan, yang berdasarkan
ke- yakinan, bahwa manusia, karena kodratnya sendiri dapat memelihara dan memajukan,
mempertinggi dan menyempurnakan hidupnya sendiri; tiap-tiap pemaksaan akan
menyukarkan dan menghambat kemajuan hidupnya kanak-kanak.
2) KODRAT hidup manusia menunjukkan adanya segala kekuatan pada makhluk manusia
sebagai bekal hidupnya, yang perlu untuk pemeliharaan dan kemajuan hidupnya, mencapai
keselamatan hidupnya lahir dan batin, baik untuk diri pribadinya maupun untuk
masyarakatnya.
3) KEBUDAYAAN sebagai buah budi dan hasil perjuangan manusia untuk mengatasi segala
rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan
dan kebahagiaan di dalam hidupnya bersama, yang bersifat tertib dan damai pada umumnya,
4) Pendidikan adalah usaha kebudayaan, yang bermaksud memberi tuntunan di dalam hidup
tum-buhnya jiwa raga anak-anak, dengan jiwa KEBANGSAAN karena kesamaan dasar:
Pancasila.
5) ADAB KEMANUSIAAN mengandung arti keharusan serta kesanggupan manusia untuk
menuntut kecerdasan dan keluhuran budi pekerti bagi dirinya, serta bersama-sama dengan
masyarakatnya.
DAFTAR RUJUKAN

1. Drijarkara, Prof. Dr. N., SJ. (1978) Percikan Filsafat, PT. Pembangunan Jakarta.
2. Mudyahardjo, Redja (2001), Pengantar Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
3. Penelitian ”Pendidikan Moral Di Sekolah”, Rukiyati (rukiyati@uny.ac.id), Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
4. Skripsi VISCA DAVITA, Etika Hubungan Pendidik Dengan Peserta Didik Dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Di Smp Negeri 26 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2016/2017,
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017
5. Jurnal HAKIKAT PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK, M. Ramli, Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Antasari, Banjarmasin

Anda mungkin juga menyukai