Anda di halaman 1dari 51

Revisi Tugas Kelompok 3

Kamis, 12 September 2019

LANDASAN ILMU PENDIDIKAN


“Hakikat Manusia dan Pendidikan (Pandangan Barat, Indonesia dan Islam) sebagai
Mekanisme Peningkatan Mutu Kehidupan”

Oleh :
Kelompok 3

1. Robi Alkadri (18175032)


2. Imelda Afriana (18175049)
3. Nurhafifah (18175053)
4. Yuni Azmanita (18175058)

MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA KELAS B 2018

DOSEN PEMBIMBING :

Prof. Dr. Hj. Festiyed, MS

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Landasan Ilmu Pendidikan mengenai “Hakikat Manusia dan Pendidikan
(Pandangan Barat, Indonesia dan Islam) sebagai Mekanisme Peningkatan Mutu
Kehidupan”.
Dalam penyelesaian tugas ini penulis banyak menemui kendala. Namun
dengan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu khususnya dosen pengampu mata kuliah Landasan Ilmu
Pendidikan, Ibu Prof. Dr. Festiyed, M.S.

Dalam penyusunan tugas ini, penulis menyadari masih banyak terdapat


kekurangan. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya. Semoga makalah ini bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Padang, 12 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
D. Manfaat Penulisan........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
KAJIAN TEORI......................................................................................................3
A. Landasan Agama..........................................................................................3
B. Landasan Filosofis.......................................................................................4
C. Landasan Psikologis.....................................................................................5
D. Hakikat Manusia dan Pendidikan Dalam Pandangan Islam.........................6
E. Hakikat Manusia dan Pendidikan Dalam Pandangan Barat.......................23
F. Hakikat Manusia dan Pendidikan Dalam Pandangan Indonesia................28
G. Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan.......................................32
BAB III..................................................................................................................34
PEMBAHASAN....................................................................................................34
A. Matriks Pemikiran Filosofis Yang Telah Diungkapkan Oleh Para Filosof
Mengenai Hakikat Manusia Dalam Pandangan Islam, Barat, dan Indonesia
....................................................................................................................34
B. Matrik Perbandingan Hakikat Manusia Menurut Islam, Barat, dan
Indonesia....................................................................................................35
C. Matriks Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli Dalam Pandangan Islam,
Barat, Dan Indonesia..................................................................................37
D. Matrik Perbandingan Hakikat Pendidikan Menurut Islam, Barat, dan
Indonesia....................................................................................................38
BAB IV..................................................................................................................41
PENUTUP..............................................................................................................41
A. Kesimpulan................................................................................................41
B. Saran...........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................43
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan akal dan
pikiran. Hal itu membuatnya memiliki derajat paling tinggi di antara ciptaannya
yang lain. Hal yang paling penting dalam membedakan manusia dengan makhluk
lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan akal, pikiran, perasaan, dan
keyakinan untuk mempertinggi kualitas hidupnya di dunia.
Manusia telah dianugerahi potensi-potensi dasar sejak lahir. Potensi ini
masih harus dikembangkan dalam lingkungan melalui bantuan pihak lain, berupa
pendidikan. Untuk dapat memilih dan melaksanakan cara-cara hidup yang baik
dalam berbagai masalah kehidupan, manusia harus mendapatkan pendidikan.
Pendidikan menjadikan manusia semakin manusiawi dan mampu menjadi diri
sendiri. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia.
Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan
pelatihan. Jadi dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik.
Karena manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dengan berbekal akal
dan pikiran, maka manusia membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan
kehidupannya demi memuaskan rasa keingintahuannya.
Tidak dapat dipungkiri hubungan manusia dengan pendidikan sangatlah
erat, dalam arti luas dari pendidikan yaitu segala situasi hidup yang
mempengaruhi  pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar  yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Manusia bukan hanya
mempunyai kemampuan-kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan-
keterbatasan, dan juga tidak hanya mempunyai sifat-sifat yang baik, namun juga
mempunyai sifat-sifat yang kurang baik. Tampaklah bahwa manusia itu sangat
membutuhkan pendidikan. Karena melalui pendidikan manusia dapat mempunyai
kemampuan-kemampuan mengatur dan mengontrol serta menentukan dirinya
sendiri.
Jelaslah bahwa pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia, baik pendidikan yang berlangsung secara alami oleh orang tua atau
masyarakat terlebih pendidikan tersistem yang diselenggarakan oleh sekolah. Jadi
kesimpulannya adalah manusia memiliki beberapa potensi yang ada pada dirinya,
yaitu potensi intelektual, rasa. karsa, karya dan religi yang bisa dan akan ditumbuh
dan kembangkan melalui proses pendidikan yang baik dan terarah.
Peningkatan kualitas dunia pendidikan diperlukan pemahaman yang baik
mengenai hakikat dari manusia sebagai subjek pendidikan dan hakikat dari
pendidikan itu sendiri. Makalah ini berisi tentang hakikat manusia dan pendidikan
dalam berbagai pandangan, yaitu pandangan Islam, pandangan umum di Indonesia
dan pandangan Barat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hakikat manusia dan pendidikan menurut pandangan Islam?
2. Bagaimanakah hakikat manusia dan pendidikan menurut pandangan umum di
Indonesia?
3. Bagaimanakah hakikat manusia dan pendidikan menurut pandangan Barat?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami hakikat manusia dan pendidikan menurut pandangan Islam
2. Memahami hakikat manusia dan pendidikan menurut pandangan umum di
Indonesia
3. Memahami hakikat manusia dan pendidikan menurut pandangan Barat
D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai modal dasar untuk mengembangkan diri dalam bidang
penulisan, menambah pengetahuan dan pengalaman.
2. Pembaca, sebagai tambahan wawasan mengenai hakikat manusia dan
pendidikan.
3. Penulis lain, sebagai sumber ide dan referensi.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Landasan Agama
Manusia memiliki bebagai kesempurnaan dan juga memiliki kelemahan.
Manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan yang paling sempurna dibandingkan
dengan makhluk lain ciptaan-Nya, yang berfungsi menampung serta mendorong
manusia untuk berbuat kebaikan dan keburukan. Manusia dalam kehidupannya
senantiasa menghadapai berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar.
Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (QS.
Yusuf: 5 dan QS. Al-Isra: 53).

Artinya: “Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu
kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk
membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi manusia" (QS. Yusuf: 5)

Artinya: Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka


mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan
itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra: 53)

Nilai esensi dalam Al-Qur’an selamanya abadi dan selalu relevan pada
setiap zaman, tanpa ada perubahan sama sekali. Kehujjahan Al-Qur’an dapat
dibenarkan karena ia merupakan sumber segala macam aturan tentang hukum,
sosial, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya, yang harus
dijadikan pandangan hidup bagi seluruh umat islam dalam memecahkan seluruh
persoalan. Pendidikan yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada pada nilai
dasar Al-Qur’an karena Al-Qur’an diantaranya memuat tentang sejarah
pendidikan. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa
perintah tentang membaca dan hal tersebut sangat jelas kaitannya dengan
pendidikan yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5.

B. Landasan Filosofis
Menurut Rapar (2010:5) manusia adalah makhluk yang bernyawa, makhluk
antromorphen dan merupakan binatang yang menyusui, akan tetapi juga
merupakan makhluk yang dapat mengetahui dan menguasai kekuatan-kekuatan
alam di luar dan di dalam dirinya, baik lahir maupun batin. Konsep manusia juga
tidak bisa dilepaskan dari hakikat penciptaannya. Dalam hubungannya dengan
hakikat penciptaannya, manusia baru akan bermakna apabila pola hidupnya
dibangun dengan blue print yang sudah ditetapkan Sang Khaliq (Jalaluddin,
2003).
Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk mengemban tugas-tugas
pengabdian kepada Penciptanya. Agar tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan
dengan baik, maka Sang Pencipta telah menganugerahkan manusia seperangkat
potensi yang dapat ditumbuhkembangkan. Mengacu pada prinsip penciptaan
tersebut menurut filsafat pendidikan Islam manusia adalah makhluk yang
berpotensi untuk dididik.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi
peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi
itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar
pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan
menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis.
guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
C. Landasan Psikologis
Landasan psikologi  manusia dan pendidikan merupakan salah satu landasan
yang penting dalam pelaksanaan pendidikan karena keberhasilan pendidik dalam
menjalankan tugasnya sangat dipengaruhi oleh pemahamannya tentang peserta
didik. Oleh karena itu pendidik harus mengetahui apa yang harus dilakukan
kepada peserta didik dalam setiap tahap perkembangan yang berbeda dari bayi
hingga dewasa.
Keadaan anak yang tadinya belum dewasa hingga menjadi dewasa berarti
mengalami perubahan,karena dibimbing, dan kegiatan bimbingan merupakan
usaha atau kegiatan berinteraksi antara pendidik, anak didik dan lingkungan.
Perubahan tersebut adalah merupakan gejala yang timbul secara psikologis. Di
dalam hubungan inilah kiranya pendidik harus mampu memahami perubahan
yang terjadi pada diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya.
Atas dasar itu pula pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut
psikologis.
Dengan demikian, psikologi adalah salah satu landasan pokok dari
pendidikan. Antara psikologi dengan pendidikan merupakan satu kesatuan yang
sangat sulit dipisahkan. Subyek dan obyek pendidikan adalah manusia, sedangkan
psikologi menelaah gejala-gejala psikologis dari manusia. Dengan demikian
keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dalam proses dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pendidikan peranan
psikologi menjadi sangat mutlak. Analisis psikologi akan membantu para
pendidik memahami struktur psikologis anak didik dan kegiatan-kegiatannya,
sehingga kita dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan secara efektif.
Lumsdaine (dalam Miarso, 2009: 111) berpendapat bahwa ilmu perilaku,
khususnya teori belajar, merupakan ilmu yang utama untuk mengembangkan
teknologi pembelajaran. Bahkan Deterline (dalam Miarso, 2009: 111) menyatakan
bahwa teknologi pembelajaran merupakan aplikasi teknologi perilaku yaitu untuk
menghasilkan perilaku tertentu secara sistematik guna keperluan pembelajaran.
Tujuan perilaku perlu ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengembangkan
pembelajaran agar dapat dijadikan bukti bahwa seseorang telah belajar. Tujuan
perilaku ini merupakan ciri yang harus ada dalam setiap model pengembangan
pembelajaran yang merupakan salah satu bentuk konsepsi teknologi pendidikan.
Pada akhir abad ke-19 ada dua aliran psikologi belajaryang sangat
menonjol, yakni aliran behavioristik dan aliran kognitif atau teori komprehensif.
Kedua aliran tersebut besar sekali pengaruhnya terhadap teori pengajaran. Bahkan
bias dikatakan hampir semua pengajaran yang dilaksanakan saat ini dihasilkan
dari kedua aliran psikologi belajar tersebut (Sudjana, 2008: 36).
D. Hakikat Manusia dan Pendidikan Dalam Pandangan Islam
Kata hakikat merupakan kata benda yang berasal dari bahasa arab yaitu dari
kata “Al-Haqq”, dalam bahasa indonseia menjadi kata pokok yaitu “hak” yang
berarti milik (kepunyaan), kebenaran, atau yang hakikat benar-benar ada,
sedangkan secara etomologi Hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari
segala sesuatu. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Hakikat memiliki
dua definisi, yaitu:
1. Intisari atau dasar. Contohnya: dia yang menanamkan “hakikat” ajaran islam di
hatiku;
2. Kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya). Contohnya pada “hakikat”nya
mereka orang baik-baik.
Dapat disimpulkan bahwa hakikat adalah kalimat atau ungkapan yang
digunakan untuk menunjukkan makna yang sebenarnya atau makna paling dasar
dari sesuatu seperti benda, kondisi, atau pemikiran.
1. Hakikat Manusia Dalam Pandangan Islam
Salah satu spesies makhluk hidup di bumi adalah manusia. Keberadaannya
di bumi tidak diketahui secara pasti. Sejarah panjangnya merupakan rangkaian
yang terputus-putus. Namun sebagaimana yang kita pikirkan bahwa keberadaan
bumi seharusnya mendahului keberadaan manusia penghuninya. Walaupun
mungkin saja terjadi, sebelum menghuni bumi ini manusia telah berada di tempat
lain kemudian mengadakan eksodus ke atas bumi. Teori evolusi mengatakan
bahwa alam ini termasuk manusia yang berada di dalamnya berkembang secara
evolusionis dari makhluk yang sederhana berkembang sedemikian rupa menjadi
makhluk yang lebih kompleks.
Pandangan ahli agama mengatakan bahwa manusia pertama tidak diciptakan
di muka bumi. Manusia pertama yang disebut Adam diciptakan di surga. Dalam
Al-quran disebutkan bahwa ketika Tuhan hendak menciptakan manusia, Dia
berdialog dengan malaikat. Malaikat memiliki presepsi buruk tentang keberadaan
makhluk baru tersebut. Akan tetapi Tuhan akan memberikan penagajaran dan
pendidikan kepadanya. Dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 31.

Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-
orang yang benar!"

Tuhan telah mencipatakan Adam A.S di dalam surga dengan aturan tidak
boleh mendekati atau memakan buah pohon khuldi. Peristiwa tentang keluarnya
Nabi Adam dan Hawa dari surga karena mendekati sebuah pohon dan memakan
buah yang telah Allah larang telah diceritakan beberapa kali oleh Alquran.
Larangan untuk menjauhi sebuah pohon di surga ada yang hanya menyebut
dengan syajarah saja, namun ada pula yang menyebut dengan syajaratul khuldi.
Dalam surat Thaha ayat 120,
Artinya: kemudian setan membisikkan kepadanya dengan berkata, “wahai Adam!
Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang
tidak akan binasa?” (Q.S Thaha: 120).
Selain dalam surat Thaha: 120, Allah mengisahkan larangan kepada Nabi
Adam dan Hawa untuk menjauhi sebuah pohon di surga juga termaktub dalam
surat Al-Baqarah ayat 35,

Artinya: Dan telah kami katakan, “wahai Adam! diamilah oleh engkau surga
bersama istrimu. Dan makanlah (apa yang ada di dalamnya)  dengan nikmat
sesukamu dan janganlah kalian berdua dekati pohon ini maka nanti kalian
termasuk orang-orang yang zalim.”
Atas pelanggaran tersebut Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke bumi.
Jadilah mereka penghuni bumi pertama yang datang dari tempat lain, kemudian
dilanjutkan dengan anak keturunannya. Anak keturunannya dicipatakan dari sel-
sel sperma dan ovum sebagaimana dijelaskan Alquran secara gamblang mengenai
proses pembentukan embrio manusia. Alquran telah berbicara tentang
pertumbuhan janin di dalam perut ibu fase demi fase, padahal janin dan
pertumbuhannya tidaklah terlihat dengan mata kepala dan tidak mungkin juga
dijelaskan hanya dengan duga dan kira. Sains modern baru mengetahui proses
penciptaan di alam rahim setelah ditemukannya  alat–alat pemeriksaan modern
Proses penciptaan manusia di dalam rahim dijelaskan dalam Alquran surat
al-Mu'minun ayat 12-14.

١٢)
١٣)

١٤)
Artinya : (12) Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. (13) Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).(14) Kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian
Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik.
QS. al-Mu’minun ini menerangkan tentang proses penciptaan manusia yang
sangat unik. Proses penciptaan manusia diuraikan mulai unsur pertamanya, proses
perkembangan dan pertumbuhannya di dalam rahim, sehingga menjadi makhluk
yang sempurna dan siap lahir menjadi seorang anak manusia. Pada ayat 12, Allah
Swt. menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari sari pati yang berasal dari tanah
( ‫ ٰلَلَ ٍة ِّمن ِطي ٍن‬Z ‫) ُس‬. Selanjutnya, pada ayat 13, dengan kekuasaan-Nya saripati yang
berasal dari tanah itu dijadikan-Nya menjadi nuthfah (air mani).
Ketika keduanya bertemu dalam proses konsepsi atau pembuahan, maka
kemudian tersimpan dalam tempat yang kokoh yaitu rahim seorang wanita.
Selanjutnya, pada ayat 14 dijelaskan ketika berada di dalam rahim seorang wanita
tersebut, selama kurun waktu tertentu (40 hari) nuthfah tersebut berkembang
menjadi ’alaqah (segumpal darah), kemudian dalam kurun waktu tertentu pula (40
hari) ’alaqah berubah menjadi mudghah (segumpal daging), lalu selama kurun
waktu tertentu (40 hari) berubah menjadi tulang-belulang yang terbungkus daging,
dan akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi anak manusia, sebagaimana
disebutkan dalam ayat tersebut (”kemudian Kami menjadikan dia makhluk yang
berbentuk lain”).
Kehidupan Adam dan keturunannaya mempunyai peran besar dalam
kehidupan di bumi ini dengan mengelola, memanfaatkan, dan melestarikan
kehidupan bumi. Peran itu diwujudkan pula untuk mengembangkan diri dan
lingkungannya. Peran itu kemudian ditransformasi kepada generasi berikutnya
melalui pendidikan. Oleh karna itu, pendidikan tidak terlepas dari manusia dan
selalu berpusat pada manusia dan kehidupannya, baik sebagai subjek maupun
objek. Tiada pendidikan tanpa manusia dan tiada manusia tanpa pendidikan.
Persoalan mengenai hakikat manusia dapat diketahui dan dipahami melalui
pemikiran filosofis yang telah diungkapkan oleh para filosof di dunia timur
(diwakili oleh para filsuf Muslim). Adapun pemikiran dari beberapa para filosof
itu, yaitu:
a. Ibnu Miskawaih
Miskawaih berpendapat bahwa manusia merupakan kombinasi dua
substansi yang secara diametrik bertentangan baik esensi, kualitas, maupun di segi
fungsinya, yakni jiwa dan raga.
b. Raghib al Isfahani
Al Isfahani berpendapat bahwa manusia tersusun oleh unsur bahimah di
satu sisi dan malakiyan di sisi lainnya; yang pertama merupakan unsur syahwat
badani yang terlihat aktivitas-aktivitas seperti makan,minum, nikah, dan bentuk-
bentuk kelezatan badan lainnya. Sedangkan yang kedua adalah potensi ruhaniah
seperti hikmah `adala, juud, hilm, `ilm, naatiq dan fahm (Muhmidayeli, 2011).
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah perkaitan antara badan dan ruh.
Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang
tidak tergantung adanya oleh yang lain. Dalam al-Qur‘an (Q.S. al- Mukminun:12-14).
Islam secara tegas menyatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam,
sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan
bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam
material (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 1997: 108). Jadi, manusia itu terdiri dari dua
substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan.
Maka hakikat manusia itu adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang
digunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam material yang
bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang
material tidak dapat dinamakan manusia (Zuhairini, dkk., 1995: 75-77).
Dimensi manusia dalam pandangan Islam menurut Khasinah (2013) dalam
jurnalnya adalah sebagai berikut.
a. Manusia sebagai Hamba Allah (Abd Allah)
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah
selaku Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan.
Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada
ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti
yang diperintahkan dalam surah Bayyinah ayat 5:

Artinya:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang
lurus”.
Dalam surah adz- Dzariyat ayat 56 Allah menjelaskan.

Artinya:“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka


menyembah Aku.”
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang taat,
patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya mengharapkan
ridha Allah.
b. Manusia sebagai al- Nas
Manusia, di dalam Al- Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep al- nas
ini cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan lingkungan
masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang makhluk
sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang diciptakan
berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah an- Nisa’ ayat 1
Artinya:“Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”
Selanjutnya dalam surah al- Hujurat ayat 13 dijelaskan.

Artinya:”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial,
yang dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian dari
lingkungan soisal dan masyarakatnya.
c. Manusia sebagai Khalifah Allah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam surah al-
Baqarah ayat 30.
Artinya:“Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.”
Selain itu pad Surah Shad ayat 26 Allah juga berfirman.

Artinya:“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di


muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu
merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia
diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang
harus dipertanggungjawabkan. Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai
wewenang untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini. Seperti
dijelaskan dalam surah al- Jumu’ah ayat 10.

Artinya: “Maka apabila telah selesai shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka
bumi ini dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak
agar kamu beruntung.”
Selanjutnya dalam surah Al- Baqarah disebutkan:

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami
berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah
daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah
mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah
rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka
bumi dengan berbuat kerusakan.”
d. Manusia sebagai Bani Adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai keterangan
alam al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan
bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh
Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada penghormatan kepada nilai-
nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan pembinaan hubungan
persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua manusia
berasal dari keturunan yang sama.
Maka manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa dan
bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama.
Dalam surah al- A’raf (26-27) dijelaskan.
Artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.
Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu
ingat.(26) Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh
syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari
surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak
bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-
syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak berima
(27)”
e. Manusia sebagai al- Insan
Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu pada potensi yang
diberikan Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah kemampuan berbicara
(QS.Ar-Rahman:4).

Artinya: “Mengajarnya pandai berbicara”


kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu (QS. Almaidah
ayat 4)

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi


mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan
yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu
melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat cepat hisab-Nya”
Namun selain memiliki potensi positif ini, manusia sebagai al- insan juga
mempunyai kecenderungan berprilaku negatif (lupa). Misalnya dijelaskan dalam
surah Hud ayat 9.

Artinya: “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian
rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi
tidak berterima kasih.”
f. Manusia sebagai Makhluk Biologis (al-Basyar)
Menurut Langgulung (2008) sebagai makhluk biologis manusia terdiri atas
unsur materi, sehingga memiliki bentuk fisik berupa tubuh kasar (ragawi). Dengan
kata lain manusia adalah makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada
kaedah umum makhluk biologis seperti berkembang biak, mengalami fase
pertumbuhan dan perkembangan, serta memerlukan makanan untuk hidup, dan
pada akhirnya mengalami kematian. Dalam al- Qur’an surah al-Mu’minūn ayat
12-14 seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah yang paling
potensial. Artinya potensi yang dibekali oleh Allah untuk manusia sangatlah
lengkap dan sempurna. Hal ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan
dirinya melalui potensi-potensi (innate potentials atau innate tendencies) tersebut.
Secara fisik manusia terus tumbuh, secara mental manusia terus berkembang,
mengalami kematangan dan perubahan. Kesemua itu adalah bagian dari potensi
yang diberikan Allah kepada manusia sebagai ciptaan pilihan. Potensi yang
diberikan kepada manusia itu sejalan dengan sifat-sifat Tuhan, dan dalam batas
kadar dan kemampuannya sebagai manusia. Karena jika tidak demikian, menurut
maka manusia akan mengaku dirinya Tuhan.
Jalaluddin (2003) mengatakan bahwa ada empat potensi yang utama yang
merupakan fitrah dari Allah kepada manusia.
a. Potensi Naluriah (Emosional) atau Hidayat al- Ghariziyyat
Potensi naluriah ini memiliki beberapa dorongan yang berasal dari dalam
diri manusia. Dorongan-dorongan ini merupakan potensi atau fitrah yang
diperoleh manusia tanpa melalui proses belajar. Makanya potensi ini disebut juga
potensi instingtif, dan potensi ini siap pakai sesuai dengan kebutuhan manusia dan
kematangan perkembangannya. Dorongan yang pertama adalah insting untuk
kelangsungan hidup seperti kebutuhan akan makan, minum penyesuaian diri
dengan lingkungan.
Dorongan yang kedua adalah dorongan untuk mempertahankan diri.
Dorongan ini bisa berwujud emosi atau nafsu marah, dan mempertahankan diri
dari berbagai macam ancaman dari luar dirinya, yang melahirkan kebutuhan akan
perlindungan seprti senjata, rumah dan sebagainya. Yang ketiga adalah dorongan
untuk berkembang biak atau meneruskan keturunan, yaitu naluri seksual. Dengan
dorongan ini manusia bisa tetap mengembangkan jenisnya dari generasi ke
generasi.
b. Potensi Inderawi (Fisikal) atau Hidayat al- Hasiyyat
Potensi fisik ini bisa dijabarkan atas anggota tubuh atau indra-indra yang
dimiliki manusia seperti indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan
perasa. Potensi ini difungsikan melalui indra-indra yang sudah siap pakai hidung,
telinga, mata, lidah, kulit, otak dan sisten saraf manusia. Pada dasarnya potensi
fisik ini digunakan manusia untuh mengetahui hal-hal yang ada di luar diri
mereka, seperti warna, rasa, suara, bau, bentuk ataupun ukuran sesuatu. Jadi bisa
dikatkan poetensi merupakan alat bantu atau media bagi manusia untuk mengenal
hal-hal di luar dirinya. Potensi fisikal dan emosional ini terdapat juga pada
binatang.
c. Potensi Akal (Intelektual) atau Hidayat al- Aqliyat
Potensi akal atau intelektual hanya diberikan Allah kepada manusia
sehingga potensi inilah yang benar-benar membuat manusia menjadi makhluk
sempurna dan membedakannya dengan binatang. Potensi akal memberi
kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-simbol, hal-hal yang
abstrak, menganalisa, membandingkan, maupun membuat kesimpulan yang
akhirnya memilih dan memisahkan antara yang benar dengan yang salah.
Kebenaran akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan
kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman
d. Potensi Agama (Spiritual) atau Hidayat al- Diniyyat
Selain potensi akal, sejak awal manusia telah dibekali dengan fitrah
beragama atau kecenderungan pada agama. Fitrah ini akan mendorong manusia
untuk mengakui dan mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki
kelebihan dan kekuatan yang lebih besar dari manusia itu sendiri. Nantinya,
pengakuan dan pengabdian ini akan melahirkan berbagai macam bentuk ritual
atau upacara-upacara sakral yang merupakan wujud penyembahan manusia
kepada Tuhannya. Dalam pandangan Islam kecenderungan kepada agama ini
merupakan dorongan yang bersal dari dalam diri manusia sendiri yang merupakan
anugerah dari Allah.
2. Hakikat Pendidikan Dalam Pandangan Islam
Menurut Frimayanti (2017) dalam jurnalnya konsep pendidikan adalah nilai
didalam Islam yang mempunyai dua istilah yang dapat digunakan yaitu nilai
menurut bahasa Arab, yaitu “fadilah” atau“qimah”, yang dapat dipakai dan
berkaitan dengan nilai-nilai moral yaitu: “fadilah” sedangkan “qimah” yaitu lebih
dipakai untuk menyatakan nilai dalam konteks ekonomi dan hal-hal yang
berhubungan dengan benda materi.
Banyak pendapat yang dikemukakan dari para ahli mengenai definisi
pendidikan. Di antaranya adalah:
a. Abdullah Idi dan Toto Suharto
Mereka mengatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses bimbingan dan
pembinaan semaksimal mungkin yang diberikan kepada seseorang melalui ajaran
Islam agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan.
b. Yusuf al-Qardawi
Menurut Yusuf al-Qardawi sebagaimana dikutip Bashori Muchsin, Moh.
Sulthon, dan Abdul Wahid mengemukakan, pendidikan Islam merupakan pendidikan
manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
ketrampilannya
Keragaman dalam memberikan definisi terhadap pendidikan Islam karena para
ahli menggunakan beberapa istilah untuk menggambarkan konsep pendidikan yang
tepat. Sebut saja seperti istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang menjadi
perbincangan hangat di kalangan para ahli. Dari ketiga istilah tersebut istilah yang
populer digunakan dalam praktik pendidikan dalam Islam adalah al-tarbiyah.
Sedangkan dua istilah lainnya jarang sekali digunakan. Kendatipun demikian
dalam hal-hal tertentu, ketiga istilah tersebut memiliki kesamaan makna. Namun
secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun
kontekstual. Berikut adalah uraian dan analisis terhadap ketiga istilah tersebut:
a. Istilah al-tarbiyah
Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini
memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna
tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian
atau eksistensinya. Dalam penjelasan lain, kata al-tarbiyah berasal dari tiga kata,
yaitu: Pertama rabba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang.
Kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu yang
berarti memperbaiki, mengurusi urusan, menuntun, dan memelihara.
Dalam jurnal Shaifudin (2016), berdasarkan tiga kata (raba, rabiya, dan
rabba), Abdurrahman an- Nahlawi merumuskan definisi pendidikan Islam dari kata
tarbiyah.Al-Baidlawi sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir juga sependapat dengan an-
Nahlawi, menurutnya arti asal ar-rabb adalah at-tarbiyah, yaitu menyampaikan
sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna. Dengan demikian, definisi
pendidikan Islam dengan bertolak dari tiga kata tersebut adalah sebuah proses
pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.
Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Fatihah ayat 2
(alhamdulillaallahi rabb al-'alamin) mempunyai kandungan makna yang
berkonotasi dengan istilah al-tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi
(pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah
adalah Pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.
Penjelasan mengenai pendidikan dalam pandangan Islam dijelaskan dalam
jurnalnya oleh Yunus (2010) secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses
pendidikan menurut Islam bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah
sebagai "pendidik" seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang
luas, pengertian pendidikan menurut Islam terdiri atas empat unsur pendekatan,
yaitu: (1) memelihara dan menjaga finah anak menjelang dewasa (baligh). (2)
mengembangkan seluruh porensi menuju kesempurnaan. (3) mengeml-:angkan
seluruh fitrah menuju kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara
bertahap.
b. lstilah al-ta’lim
Istilah al-ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan
dalam Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan
al-tarbiyah maupun al-ta'dib. Al-Ta'1im sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada Quran Surah Al-Baqarah ayat
151.

Artinya: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul


(Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami,
menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dan
Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui”.
Kalimat wa yu’allimu hum al-kitab wa al-hikmah dalam ayat tersebut
menjelaskan tentang aktivitas Rasuluilah SAW mengajarkan tilawat al-Quran
kepada kaum Muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rasul
bukan hanya sekedar membuat umat lslam bisa membaca, melainkan membawa
kaum Muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) dari
segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta
mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu, makna al-
ta'lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriah, akan tetapi mencakup
pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksakan pengetahuan dan
pedoman untuk berperilaku.
Kecenderungan Abdul Fattah Jalal sebagaimana telah dikemukakan
didasarkan pada argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran
langsung dari Allah adalah Nabi Adam as. Hal ini secara eksplisit disinyalir dalam
Q.S A1 Baqarah ayat 31 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada ayat
tersebut diielaskan, bahwa penggunaan kata 'allama untuk memberikan
pengajaran kepada Adam as memiliki nilai lebih yang sam'a sekali tidak diiiiki
para malaikat. Dalam argumentasi yang agak berbeda, istilah al-ilmu (sepadan
dengan al-ta'lim) dalam Al Quran tidak terbatas hanya berarti ilmu saja. Lebilh
jauh kata tersebut dapat diartikan sebagai ilmu dan amal.
c. Istilah al-ta'dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk rnenunjukkan pendidikan
Islam adalah al-ta'dib. Konsepsi ini didasarkan kepada hadist Nabi yangartinya:
"Tuhan telah mendidikku, maka la sempurnakan pendidikanku". (HR. al-‘Askary
dari Ali r.a).
Hadits di atas menggunakan kata addaba yang dimaknai oleh al-Attas
sebagai "mendidik". Selanjutnya ia rnengemukakan, bahwa hadits tersebut bisa
dimaknai kepada Tuhanku telah membuatku mengenali dan membuatku dengan
adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku,
tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal
itu membimbingku ke arah pengakuan dan pengenalan tempat-Nya yang tepat di
dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya la telah membuat
pendidikanku yang paling baik.
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadiarn
muslim, maka pendidikan dalam pandangan lslam memerlukan azaz atau dasar
yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi
pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang
menjadi acuan pendidikan dalam pandangan Islam hendaknya rnerupakan sumber
nilai kebenaran dan kekuatarr yang menghantarkan peserta didik ke arah
pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan
dalam lslam adalah Al-Quran dan hadist (Sunnah Rasulullah).
Dalam perumusan tujuan pendidikan lslam, paling tidak ada beberapa hal
yang periu diperhatikan yaitu:
a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun
horizontal.
b. Sifat-sifat dasar manusia.
c. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
d. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam.
Dalam aspek ini, ada tiga macam dimensi ideal Islam, yaitu:
a. Mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia
di bumi.
b. Mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik.
c. Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia
dan akhirat.
Dengan demikian, pada hakikatnya pendidikan dalam Islam adalah suatu
proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Dalam konteks
ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada
manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan asSunnah (Hadits) sehingga
menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil). Berdasarkan hal ini, maka
tugas dan fungsi yang harus diemban oleh pendidikan lslam adalah pendidikan
manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa
tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran agar manusia senantiasa tumbuh
dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.
E. Hakikat Manusia dan Pendidikan Dalam Pandangan Barat
1. Hakikat Manusia Dalam Pandangan Barat
Persoalan mengenai hakikat manusia dapat diketahui dan dipahami melalui
pemikiran filosofis yang telah diungkapkan oleh para filosof di dunia barat
(diwakili oleh orang-orang Eropa) Adapun pemikiran dari beberapa para filosof
itu, yaitu:
a. Plato
Plato berpendapat bahwa manusia itu sebagai suatu pribadi yang tidak
terbatas pada saat bersatunya jiwa dengan raga. Jiwa dan raga bukan
diciptakan secara bersamaan. Jiwa telah ada jauh sebelum ia muncul di dunia,
sedangkan raga manusia diciptakan setelahnya merupakan instrumen bagi
penyempurnaan jiwa di dunia
b. Aristoteles
Aristoteles berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk organis yang
fungsionalisasinya tergantung pada jiwa
c. Rene Descartes
Descartes mengungkapkan bahwa jiwa adalah terpadu, rasional, dan
konsisten yang dalam aktivitasnya selalu terjadi interaksi dengan tubuh
d. Schopenhauer
Schopenhauer berpendapat bahwa eksistensi manusia adalah tarik-menarik
daya kehendak dan daya inteleknya[ CITATION Muh11 \l 1033 ].
Dilihat dari beberapa pernyataan yang telah diungkapkan para filosofis di
atas, Nampak memeliki kesamaan, yaitu bahwa jiwa merupakan hakikat manusia
yang sesungguhnya dan raga merupakan instrumen bagi pengembangan jiwa
manusia.
Beberapa hakikat manusia menurut pandangan ilmuwan barat dikemukakan
dalam jurnal Khasinah (2013) yaitu:
a. Pandangan Psiko Analitik dari S. Freud
Menurut Freud, secara hakiki keperibadian manusia terdiri dari tiga
komponen yaitu Id, ego, dan superego. Istilah lain juga dipakai yaitu Id = das es,
dan ego = das ich, serta superego = dan uber ich. Selanjutnya dijelaskan bahwa Id
meliputi berbagai jenis keinginan, dorongan, kehendak, dan insting manusia yang
mendasari perkembangan individu, yang sering juga disebut libido seksual atau
dorongan untuk mencapai kenikmatan hidup. Di dalam Id itu terdapat dua unsur
yang paling utama yaitu seksual dan sifat agresif sebagai daya penggerak
kejiwaan/tingkah laku manusia. Ego berfungsi untuk menjembatani antara Id
dengan dunia luar dari individu itu.
b. Pandangan Humanistik
Pandangan humanistik ini ditokohi oleh: Roger, Hansen, Adlet, dan Martin
Buber. Human artinya manusia, yaitu memahami secara hakiki keberadaan
manusia, oleh manusia, dan dari manusia berdasarkan rasio (pemikiran manusia).
Pandangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Dalam batas tertentu manusia punya otonomi untuk menentukan nasibnya
2) Manusia bukan makhluk jahat atau baik, tetapi ia punya potensi untuk
keduanya
3) Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas perbuatannya
4) Manusia makhluk yang senantiasa akan menjadi terus berusaha, dan tak
pernah  sempurna
c. Pandangan Behavioristik
Pandangan ini menjelaskan bahwa behavior (tingkah laku) manusia
ditentukan oleh pengaruh lingkungan yang dialami individu yang bersangkutan.
Lingkungan adalah penentu tunggal dari behavior manusia. Jika ingin mengubah
tingkah laku manusia, perlu di persiapkan kondisi lingkungan yang mendukung
kearah itu. Mereka juga meyakini bahwa baik dan buruk itu adalah karena
pengaruh lingkungan.
Dari uraian di atas bisa diambil beberapa kesimpulan yaitu;
1) Manusia pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan
hidupnya.
2) Dalam diri manusia ada fungsi yang bersifat rasional yang bertanggung jawab
atas tingkah laku intelektual dan sosial individu.
3) Manusia pada hakikatnya dalam proses ‘menjadi’, dan terus berkembang.
4) Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu
mengatur dan mengendalikan dirinya dan mampu menentukan nasibnya
sendiri.
5) Dalam dinamika kehidupan individu selalu melibatkan dirinya dalam usaha
untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia
menjadi lebih baik.
6) Manusia merupakan suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudannya
merupakan ketakterdugaan. Namun potensi itu bersifat terbatas.
7) Manusia adalah makhluk Tuhan, yang yang kemungkinan menjadi ‘baik’
atau’buruk’.
8) Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku itu
merupakan kemampuan yang dipelajari.
2. Hakikat Pendidikan Dalam Pandangan Barat
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogie” yang akar
katanya “pais” yang berarti anak dan “again” yang artinya bimbingan. Jadi
“paedagogie” berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam bahasa
inggris pendidikan diterjemahkan menjadi “Education”. Education berasal dari
bahasa Yunani “educare” yang berarti membawa keluar yang tersimpan dalam
jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang.
Definisi pendidikan menurut para ahli:
a. Langeveld 
Seorang ahli pendidikan bangsa Belanda yang pendidikannya berorientasi
ke Eropa dan lebih menekankan kepada teori-teori (ilmu). Dapat dikenal dengan
bukunya Paedagogik Teoritis Sistematis. Menurut ahli ini pendidikan adalah :
“bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada
perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak
cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan
orang lain.
b. John Dewey 
Seorang ahli filsafat pendidikan Amerika pragmatisme dan dinamis,
pendidikan (education) diartikan sebagai “Proses pembentukan kecakapan-
kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama
manusia”. Menurutnya hidup itu adalah suatu proses yang selalu berubah, tidak
satupun yang abadi. Karena kehidupan itu adalah pertumbuhan, maka pendidikan
berarti membantu pertumbuhan bathin tanpa dibatasi oleh usia. Dengan kata lain
pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membantu pertumbuhan dalam
proses hidup tersebut dengan membentukan kecakapan fundamental atau
kecakapan dasar yang mencakup aspek intelektual dan emosional yang berguna
atau bermanfaat bagi manusia terutama bagi dirinya sendiri dan bagi alam sekitar.
Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari hakikat manusia, sebab urusan
utama pendidikan adalah manusia. Wawasan yang dianut oleh pendidik dalam  hal
ini guru, tentang manusia akan mempengaruhi strategi atau metode yang
digunakan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sehingga tujuan pendidikan tidak
bisa lepas dari tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang
digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik
sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Dengan begitu tujuan pendidikan
harus berpangkal pada tujuan hidup.
Di Barat, pendidikan menjadi ajang pertarungan ideologis dimana apa yang
menjadi tujuan pendidikan – secara tidak langsung merupakan tujuan hidup –
berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain. Di sinilah perbedaan pendapat
para filosof Barat dalam menetapkan tujuan hidup. Orang-orang Sparta salah satu
kerajaan Yunani lama dahulu berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk
berbakti kepada negara, untuk memperkuat negara. Sehingga pengertian kuat
menurut orang-orang Sparta adalah kekuatan fisik. Oleh sebab itu tujuan
pendidikan Sparta adalah sejajar dengan tujuan hidup mereka, yaitu memperkuat,
memperindah dan mempertegus jasmani. Oleh sebab itu orang-orang yang kuat
jasmaninya, bisa berkelahi dengan harimau dan singa disanjung-sanjung,
dianggap pahlawan di masyarakat Sparta.
Sebaliknya orang Athena, juga salah satu kerajaan Yunani lama,
berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencari kebenaran (truth), dan kalau bisa
menyirnakan diri pada kebenaran itu. Tetapi apakah kebenaran itu? Plato lebih
dulu mengandaikan bahwa benda, konsep-konsep dan lainnya bukanlah benda
sebenarnya. Dia sekedar bayangan dari benda hakiki yang wujud di alam utopia.
Manusia terdiri dari roh dan jasad. Roh itulah hakikat manusia, maka segala usaha
untuk membersihkan, memelihara, menjaga dan lain-lain roh itu disebut
pendidikan.
Madzhab-madzhab pendidikan eropa Barat dan Amerika sesudah Decartes
(1596-1650) mengambil dari kedua madzhab Yunani lama tersebut, dan semua
madzhab beranggapan bahwa dunia inilah tujuan hidup sehingga ada yang
mengingkari sama sekali wujud Tuhan dan hari akhir. Ada madzhab rasionalisme
yang berpangkal pada Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, dan lainnya. Ada
madzhab impirisme yang dipelopori oleh John Locke yang terkenal dengan kerta
putih (tabu rasa), ada madzhab progressivisme yang dipelopori oleh John Dewey
yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah lebih banyak pendidikan, ada
madzhab yang berasal dari sosiolog, yaitu sosiologi pengetahuan yang menitik
beratkan budaya, selanjutnya ada madzhab fenomenologi atau eksistensialisme
yang beranggapan bahwa pendidikan seharusnya bersifat personal, oleh sebab itu
sekolah tidak ada gunannya dan harus dibubarkan.
Tokoh pendidikan Barat, John Dewey berpendapat tentang tujuan
pendidikan berdasarkan pada pandangan hidup, “Since there is nothing to which
growth is relative save more growth, there is nothing to which education is
subordinate save more education. The education process has no end beyond itself
– it is its own end”. Madzhab yang dibawa oleh Dewey ini terkenal dengan nama
Pragmatisme dalam falsafah, sedangkan dalam pendidikan disebut Progressivisme
yang terlalu menitik beratkan kepada kegunaan (utilitarian).
Hegemoni peradaban Barat boleh dikata hampir lengkap terutama sekali
dalam bidang pendidikan.Volume penyelidikan dalam berbagai aspek pendidikan
sangat mengagumkan. Di samping itu kemajuan yang telah dicapainya memberi
pengaruh pada masyarakat dunia umumnya. Pada abad ke-21 ini, orientasi tujuan
pendidikan Barat mulai beralih pada usaha mencari keuntungan dengan jalan apa
pun, yang bermakna eksploitasi, kekuasaan, pertarungan, teror dan pembunuhan.
Melalui pendidikan, kaum pemodal (kapitalis) dan pedagang menyebarkan
paham rasionalisme dan liberalisme untuk melawan tatanan feodal (kerajaan)
yang ada dan menghalangi perkembangan kapital untuk mencari keuntungan.
Dalam masyarakat kapitalistik dewasa ini, begitu mudahnya suatu kelas sosial
mendapatkan apa saja yang menjadi kebutuhannya dan kehendak bebasnya (free
will), dan hampir dengan cara apa pun.
Pemaparan mengenai epistemologi Barat menujukkan konsep ilmu dalam
peradaban Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong dari Agama (ilmu sekular)
merupakan fondasi utama dari peradaban Barat saat ini. Dengan berdasarkan
uraian di atas bahwa epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau
prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu.
Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual
dan akhirnya seperti yang disimpulkan oleh al Attas epistemologi Barat tidak
dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri.
Kazuo Shimogaki menyebutkan kecenderungan epistemologi Barat modern
menjadi lima macam, yaitu pemisahan antara bidang sakral dan bidang duniawi,
kecendrungan ke arah reduksionisme, pemisahan antara subjektivitas dan
objektivitas, antroposentrisme, dan progresivisme. Sedangkan Ziauddin Sardar
menyatakan, adanya perbedaan antara yang subjektif dan objektif, antara
pengamat dan dunia luar (yang diamati), antara keadaan-keadaan subjektif serta
emosi dan “realitas” yang terdapat di luar pengamat, yakni realitas yang hanya
dapat diketahui melalui observasi dan penalaran, maka dapat disebutkan bahwa
pendekatan epistemologi Barat itu adalah skeptis, rasional-empiris, dikotomik,
posotivis-objektivis, dan menentang dimensi spiritual (antimetafisika).
F. Hakikat Manusia dan Pendidikan Dalam Pandangan Indonesia
1. Hakikat Manusia Dalam Pandangan Indonesia
Kodrat manusia merupakan keseluruhan sifat-sifat asli, kemampuan-
kemampuan atau bakat-bakat alami, kekuasaan, bekal disposisi yang melekat pada
kebaradaan/eksistensi manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial
ciptaan Tuhan YME. Harkat manusia adalah nilai manusia sebagai makhluk
Tuhan yang memiliki kemampuan-kemampuan yang disebut cipta, rasa, dan
karsa. Derajat manusia adalah tingkat kedudukan atau martabat manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki bakat, kodrat, kebebasan hak, dan
kewajiban asasi.
Pancasila memandang sudut pandang hakikat manusia sebagai berikut:
 Monodualistik dan Monopluralistik
 Keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
 Integralistik, kebersamaan, dan kekeluargaan
Jadi, konsep manusia Indonesia  seutuhnya dikembangkan atas pandangan
hidup bangsa Indonesia yakni pancasila, yang menganut paham integralistik
disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat yang memiliki Bhinneka Tunggal
Ika (sudut pandang dari integralistik, kebersamaan, dan kekeluargaan). Kemudian
dengan pandangan hidup pancasila, pengembangan manusia Indonesia seutuhnya
diusahakan agar hidup selaras, serasi, dan seimbang dalam konteks hubungan
manusia dengan ruang lingkupnya (sudut pandang keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan). Dan selanjutnya, sesuai dengan dasar pengendalian diri dalam
mengejar kepentingan pribadi, maka manusia Indonesia yang mendasarkan diri
pada pandangan hidup pancasila dalam mewujudkan tujuan hidupnya
(monodualistik), sedangkan monopluralistik,  yaitu tujuan hidup tersebut
senantiasa dijiwai oleh pancasila).
Kedudukan manusia dihadapan Tuhan adalah sama yaitu memiliki harkat
dan martabat sebagai manusia mulia. Paulus Wahana (dalam H.A.R. Tilaar. 2002 :
191) mengemukakan gambaran manusia pancasila sebagai berikut :
a. Manusia adalah makhluk monopluralitas yang memungkinkan manusia itu
dapat melaksanakan sila-sila yang tercantum di dalam pancasila.
b. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi yang dikaruniakan
memiliki kesadaran dan kebebasan dalam menentukan pilihannya.
c. Dengan kebebasannya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dapat
menentukan sikapnya dalam hubungannya dengan pencipta-Nya.
d. Sila pertama menunjukkan bahwa manusia perlu menyadari akan
kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dan oleh sebab itu
harus mampu menentukan sikapnya terhadap hubungannya dengan pencipta-
Nya.
e. Manusia adalah otonom dan memiliki harkat dan martabat yang luhur.
f. Sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab menuntut akan
kesadaran keluhuran harkat dan martabatnya yaitu dengan menghargai akan
martabat sesama manusia.
g. Sila persatuan Indonesia berarti manusia adalah makhluk sosial yang berada
di dalam dunia Indonesia bersama-sama dengan manusia Indonesia lainnya.
h. Manusia haruslah dapat hidup bersama, menghargai satu dengan yang lain
dan tetap membina rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh.
i. Manusia adalah makhluk yang dinamis yang melakukan kegiatannya
bersama-sama dengan manusia Indonesia yang lain.
j. Sila keempat atau sila demokrasi dituntut manusia Indonesia yang saling
menghargai, memiliki kebutuhan bersama di dalam menjalankan dan
mengembangkan kehidupannya.
k. Dalam sila kelima manusia Indonesia dituntut saling memiliki kewajiban
menghargai orang lain dalam memanfaatkan sarana yang diperlukan bagi
peningkatan taraf kehidupan yang lebih baik.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa manusia Pancasila adalah
manusia yang bebas dan bertanggung jawab terhadap perkembangan dirinya
sebagai individu dan perkembangan masyarakat (makhluk sosial) Indonesia.
Manusia ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dianugerahi kemampuan atau potensi
untuk bertumbuh dan berkembang sepanjang hayat.
2. Hakikat Pendidikan Dalam Pandangan Indonesia
Ki Hajar Dewantara Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar
yang kuat pendidikan Nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut
mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran
serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Lebih lanjut
beliau (Ki Hajar Dewantara 1962:14) menjelaskan bahwa “Pendidikan umumnya
berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak
boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita
didik selaras dengan dunianya”.
Definisi Pendidikan Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 Bab I, pasal 1 menggariskan pengertian:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana  belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Ki Hajar Dewantara lebih lanjut mejelaskan bahwa pendidikan harus
mengutamakan aspek-aspek berikut:
1) Segala alat, usaha dan cara pedidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan
2) Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat, yang oleh
karenanya bergolong-golong merupakan kesatuan dengan sifat prikehidupan
sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari bercampurnya semua usaha dan
daya upaya untuk mencapai hidup tertib damai.
3) Adat istiadat, sebagai sifat peri kehidupan atau sifat percampuran usaha dan
daya upaya akan hidup tertib damai itu tiada terluput dari pengaruh zaman
dan tempat.; oleh karena itu tidak tetap senantiasa berubah.
4) Akan mengetahui garis-hidup yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita
mempelajari zaman yang telah lalu
5) Pengaruh baru diperoleh karena bercampur gaulnya bangsa yang satu dengan
yang lain,percampuran mana sekarang ini mudah sekali terjadi disebabkan
adanya hubungan modern. Haruslah waspada dalam memilih mana yang baik
untuk menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang akan merugikan.
Itulah diantara pikiran- pikiran beliau yang sangat sarat dengan nilai.
Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki potensi spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Achmad
Munib, 2004: 142). Pendidikan mempunyai tugas untuk menghasilkan generasi
yang baik, manusia–manusia yang lebih berbudaya, manusia sebagai individu
yang memiliki kepribadian yang lebih baik. Tujuan pendidikan di suatu negara
akan berbeda dengan tujuan pendidikan di negara lainnya, sesuai dengan dasar
negara, falsafah hidup bangsa, dan ideologi negara tersebut.
Di Indonesia dikenal istilah Pendidikan Nasional, adapun yang dimaksud
dengan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai–nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. Sedangkan tujuan dari pendidikan nasional
sebagaimana yang tercantum di dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3
adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
G. Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam
wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau “aktualisasi”.
Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang
mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Seseorang
yang dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan untuk
diproses menjadi seniman terkenal (Tirtahardja dan La Sulo, 2010: 24).
Sejak kelahirnannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara
otomatis menjadi manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat
kemanusiaan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa manusia hidup di dunia
dalam keadaan belum tertentukan menjadi apa atau menjadi siapa nantinya,
karena itu hakikat manusia pada dasarnya merupakan potensi sekaligus adalah
sebagai tugas yang harus diwujudkan oleh setiap manusia. Adapun untuk menjadi
manusia yang sesungguhnya diperlukan pendidikan atau harus dididik. “Man can
become man through education only”, demikian pernyataan Immanuel Kant
dalam teori pendidikannya (Wahyudin, 2008: 1.21).
Pendidikan mengarahkan perwujudan identitas sejati manusia. Pendidikan
dalam konteks ini dikatakan sebagai lembaga pembinaan dan penanaman nilai-
nilai humanitas yang memiliki korelasi yang positif dengan proses meodernisasi
dan transformasi dalam kehidupan social masyarakat. Pendidikan merupakan
sarana penting yang sangat diperlukan dalam proses perubahan system social,
ekonomi, dan politik dalam tatanan budaya hidup dalam masyarakat
(Muhmidayeldi:74).
Manusia perlu dididik, implikasinya manusia harus melaksanakan pendidikan
dan mendidik diri. M.J. Langeveld (1980) menyatakan bahwa manusia adalah
animal educantum, dan ia memang adalah animal educabile. Ada lima asas
antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia dapat dididik, yaitu
sebagai berikut.
1) Asas potensialitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia
memiliki potensi untuk dapat menjadi manusia.
2) Asas dinamika, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia memiliki
dinamika untuk menjadi manusia yang ideal.
3) Asas individualitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia
memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang lainnya dan
memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri.
4) Asas sosialitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena ia hidup
bersama dengan sesamanya, ia bergaul dengan orang lain, dan ada pengaruh
timbal balik dari pergaulan tersebut.
5) Asas moralitas, menyatakan bahwa manusia dapat dididik karena manusia
memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, dan
pada dasarnya ia berpotensi untuk berperilaku baik atas dasar kebebasan dan
tanggung jawabnya (aspek moralitas) (Wahyudin, 2008: 1.23).
H. Peran Manusia sebagai Mekanisme Peningkatan Mutu Kehidupan
Dalam era pembangunan diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas
secara utuh. Konsepsi manusia seutuhnya menunut Noor Syam dalam buku
Pangantar Dasar-dasar Kependidikin (1980), mencakup pengertian (1) Keutuhan
potensi manusia sebagai subjek yang berkembang, (2) Keutuhan wawasan
(orientasi) manusia sebagai subjet yang sadar nilai (yang menghayati dan yakin
akan cita-cita dan tujuan hidupnya). Potensi-potensi manusia sebagai subjek yang
berkembang meliputi (1) potensi jasmaniah: fisik, badan dan pancaindera yang
sehat (normal). (2) potensi pikir (akal, rasio, inteligensi), (3) potensi rasa
(perasaan, emosi) baik perasaan etis moral maupun perasaan estetis, (4) potensi
karsa (kehendak, kemauan, keinginan, hasrat atau kocenderungan-kecenderungan
nafsu termasuk Prakarsa). (5) potensi cipta (daya cipta kreativitas, fantasi dan
imajinasi) (6) potensi karya (kemampuan menghasilkan, kerja, amal sebagai
tindak lanjut dari point a sampai dengan e, atau tindakan dan lakon manusia), dan
(7) potensi budi nurani (kesadaran budi, hati nurani, kata hari, conscienci, geweten
atau gewessen yang bersifat super rasional). Ketujuh potensi itu merupakan
potensi dan watak bawaan yang potensial. Aktualisasi dari ketujuh potensi
tersebut menentukan kualitas pribadi seseorang.
Konsepsi keutuhan wawasan (orientasi) manusia sebagai subjek yang sadar
nilai. Tingkah laku manusia terutama yang dewasa dan berpendidikan dipengaruhi
oleh wawsan atau orientasi terhadap nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan
telah diakui kebenarannya. Wawasan tersebut meliputi (1) wawasan dunia akhirat:
cara pandang manusia tentang kehidupan di dunia yang pasti akan berakhir
dengan kematian, selanjutnya akan diteruskan dalam kehidupan akhirat. Sesuai
dengan pandangan ini manusia berusaha untuk memperoleh kehidupan yang baik
di akhirat, selain kehidupan yang baik di dunia, untuk itu manusia berusaha untuk
berbuat baik dan meninggalkan dosa, (2) wawasan indivudalitas dan sosial yang
seimbang, artinya tingkah laku manusia yang didasarkan atas keseimbangan
antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat (3) wawasan jasmaniah
dan rokhaniah, yaitu kesadaran pribadi akan adanya kebutuhan jasmaniah seperti
kesehatan, makanan bergizi, olahraga, rekreasi, dan sebagainya ; dan kesadaran
akan kebutuhan rokhani akan nilai-nilai budaya, ilmu pengetahuan, kesenian dan
nilai agama, dan (4) wawasan masa lampau dan masa datang, yaitu cara pandang
manusia untuk memperoleh kebahagiaan atau kesejahteraan di masa datang
dengan bercermin dari pengalaman masa lampau.
Manusia dalam peningkatan mutu kehidupan berperan sebagai perencana,
pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas. Untuk bisa berperan sebagai
perencana, pelaksana, dan pengawas dibutuhkan manusia yang berkualitas.
Manusia yang berkualitas yaitu manusia yang mampu untuk mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal dan seimbang sehingga potensi-
potensi tersebut dapat diakutualisasikan dalam kehidupan berupa tingkah laku dan
perbuatan.
Sesuai dengan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manusia yang
berkualitas yaitu manusia yang mmapu untuk mengembangkan potensi-potensi
yang dimilikinya secara optimal dan seimbang sehingga potensi-potensi tersebut
dapat diakutualisasikan dalam kehidupan berupa tingkah laku dan perbuatan;
tingkah laku dan perbuatan yang merupakan aktualisasi dari potensi-potensi
tersebut perlu didasari dengan atau berorientsi pada nilai-nilai dalam kehidupan
yang memberikan arah dan pertimbangan dalam bertingkah laku.
Dalam rangka meningkatkan kualitas manusia sebagai sumberdaya
pembangunan Emil Salim (1991) mengemukakan perlunya penekanan terhadap
beberapa segi kualitas manusia yang meliputi :
1. Kualitas spiritual
Yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam hubungan ini
perlu ditumbuhkan kesadaran mengembangkan segi-segi kehidupan spiritual yang
benar dan menghindari subjektivisme intuisi yang tidak tidak terkontrol oleh
dimensi sosial yang menjurus pada kultur. Segi-segi kehidupan spiritual seperti
iman, tagwa dan moralitas perlu ditingkatkan. Dengan kemudian kepada Tuhan
Yang Maha Esa manusia sebagai makhluk individu yang bebas akan mamiliki
kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam pembentukan kepribadian.
Untuk mengembangkan kepribadian manusia memerlukan cara peribadatan untuk
mencapai kualitas spiritual umum yaitu taqwa.
2. Kualitas kemasyarakatan dan kualitas berbangsa
Masyarakat Indonesia bersifat majemuk, sehingga diperlukan keterikatan
lintas kelompok sebagaimana tercermin dalam kualitas bermasyarakat dan
berbangsa. Sebagai indikasi kualitas ini adalah kesetiakawanan sosial, tanggung
jawab dan disiplin sosial. kesetiakawanan sosial akan tumbuh subur bila
diimbangi dengan pertumbuhan keadilan sosial, dimana sermua diperlakukan
secara adil dan mempunyai kesempatan sama. Tanggungjawab dan disiplin sosial
tercermin pada kesadaran meletakkan kepentingan umurm di atas kepentingan
pribadi atau golongan. Komitmen ini harus tumbuh atas dasar pemahaman dan
bukan paksaan dari luar.
3. Kualitas kekaryaan
Kualitas kekaryaan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor pribadi
(kecerdasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman sikap kerja), faktor
lingkungan dalam organisasi (situasi kerja, kepemimpinan), dan faktor lingkungan
luar organisasi (nilai-nilai sosial, keadaan ekonomi dan lain-lain).
Ketiga kualitas tersebut di atas perlu dikembangkan pada diri manusia.
Dengan pengembangan ketiga kualitas tersebut akan dihasilkan manusia yang
taqwa, memiliki kepekaan sosial dan menjadi pribadi yang mandiri. Adapun
pribadi mandiri memiliki komponen-komponen, sebagai berikut (1) bebas, yakni
tumbuhnya tindakan atas kehendak sendiri dan bukan karena orang lain, bahkan
tidak bergantung pada orang lain, (2) progresif dan uletseperti tampak pada usaha
mengejar prestasi penuh ketekunan, merencanakan, dan mewujudkan harapan -
hampannya, (3) berinisiatif yakni mampu berfikir dan bertindak secara orisinil,
kreatif dan penuh inisiatif, (4) pengenalian dari dalam (internal locus of control),
adanya kemampuan mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan
tindakan serta kemampuannya mempengaruhi lingkungan atas usahanya sendiri
dan (5) kemantapan diri (seff esteem, self confidence), mencakup aspek percaya
diri dan memperoleh kepuasan atas usahanya sendiri.
Karya manusia berupa teknologi sangat dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu sains, salah satunya adalah Fisika. Menurut Festiyed dkk (2012) Fisika
sangat penting untuk dikembangkan sebab ilmu Fisika memegang peranan utama
dalam merancang dan mengembangkan tekanologi. Oleh karena itu, berbagai
upaya telah dilakukan agar pembelajaran Fisika dapat berjalan dengan baik dan
memberikan hasil yang memuaskan.

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia yang memiliki


berkualitas yang menjadi sumberdaya pembangunan adalah manusia tiga aspek
yang seimbang antara aspek pribadi sebagai manusia individu, aspek sosial
sebagai makhluk sosial dan aspek kebangsaan. Manusia yang demikian itulah
yang diharapkan terwujud sebagai sumberdaya pembangunan nasional.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Matriks Pemikiran Filosofis Yang Telah Diungkapkan Oleh Para Filosof Mengenai Hakikat Manusia Dalam Pandangan
Islam, Barat, dan Indonesia
Filosof di Dunia Timur diwakili oleh para Para Filosof di Dunia Barat Pandangan Indonesia
filsuf Muslim
a. Ibnu Miskawaih a. Plato Hakikat manusia Indonesia  seutuhnya
Plato berpendapat bahwa manusia itu sebagai dikembangkan atas pandangan hidup
Manusia merupakan kombinasi dua substansi suatu pribadi yang tidak terbatas pada saat bangsa Indonesia yakni pancasila
yang secara diametrik bertentangan baik bersatunya jiwa dengan raga. Jiwa dan raga
esensi, kualitas, maupun di segi fungsinya, bukan diciptakan secara bersamaan. Jiwa telah
yakni jiwa dan raga. ada jauh sebelum ia muncul di dunia,
b. Raghib al Isfahani sedangkan raga manusia diciptakan setelahnya
merupakan instrumen bagi penyempurnaan
Manusia tersusun oleh unsur bahimah di satu jiwa di dunia
sisi dan malakiyan di sisi lainnya; yang
pertama merupakan unsur syahwat badani b. Aristoteles
yang terlihat aktivitas-aktivitas seperti
makan,minum, nikah, dan bentuk-bentuk Aristoteles berpendapat bahwa manusia
kelezatan badan lainnya. Sedangkan yang merupakan makhluk organis yang
kedua adalah potensi ruhaniah seperti hikmah fungsionalisasinya tergantung pada jiwa
`adala, juud, hilm, `ilm, naatiq dan fahm
c. Rene Descartes
Descartes mengungkapkan bahwa jiwa adalah
terpadu, rasional, dan konsisten yang dalam
aktivitasnya selalu terjadi interaksi dengan
Filosof di Dunia Timur diwakili oleh para Para Filosof di Dunia Barat Pandangan Indonesia
filsuf Muslim
tubuh

d. Schopenhauer
Schopenhauer berpendapat bahwa eksistensi
manusia adalah tarik-menarik daya kehendak
dan daya inteleknya
Manusia itu terdiri dari dua substansi Dilihat dari beberapa pernyataan yang Manusia Pancasila adalah
yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh telah diungkapkan para filosofis di atas, dapat manusia yang bebas dan bertanggung
yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat disimpulakan yaitu bahwa jiwa merupakan jawab terhadap perkembangan dirinya
manusia itu adalah ruh itu, sedangkan hakikat manusia yang sesungguhnya dan raga sebagai individu dan perkembangan
jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh merupakan instrumen bagi pengembangan jiwa masyarakat (makhluk sosial) Indonesia.
ruh untuk menjalani kehidupan material di manusia. Manusia ciptaan Tuhan Yang
alam material yang bersifat sekunder dan ruh Mahakuasa dianugerahi kemampuan
adalah yang primer, karena ruh saja tanpa atau potensi untuk bertumbuh dan
jasad yang material tidak dapat dinamakan berkembang sepanjang hayat.
manusia

B. Matrik Perbandingan Hakikat Manusia Menurut Islam, Barat, dan Indonesia


Hakikat Manusia dalam pandangan Hakikat Manusia dalam pandangan
Hakikat Manusia dalam pandangan Barat
Islam Indonesia
Dimensi manusia dalam pandangan Islam Beberapa hakikat manusia menurut pandangan Pancasila memandang sudut pandang
menurut Khasinah (2013) dalam jurnalnya ilmuwan barat dikemukakan dalam jurnal hakikat manusia sebagai berikut:
adalah sebagai berikut: Khasinah (2013) yaitu:
Hakikat Manusia dalam pandangan Hakikat Manusia dalam pandangan
Hakikat Manusia dalam pandangan Barat
Islam Indonesia
a. Monodualistik dan Monopluralistik
a. Manusia sebagai Hamba Allah (Abd a. Pandangan Psiko Analitik dari S. Freud
Allah) b. Keselarasan, keserasian, dan
Menurut Freud, secara hakiki
keseimbangan
keperibadian manusia terdiri dari tiga
b. Manusia sebagai al- Nas
komponen yaitu Id, ego, dan superego. 
c. Manusia sebagai Khalifah Allah c. Integralistik, kebersamaan, dan
b. Pandangan Humanistik kekeluargaan
Pandangan humanistik ini ditokohi oleh:
d. Manusia sebagai Bani Adam Roger, Hansen, Adlet, dan Martin Buber.
Human artinya manusia, yaitu memahami
e. Manusia sebagai al- Insan secara hakiki keberadaan manusia, oleh
manusia, dan dari manusia berdasarkan rasio
(pemikiran manusia).
f. Manusia sebagai Makhluk Biologis (al-
Basyar) c. Pandangan Behavioristik
Pandangan ini menjelaskan bahwa
behavior (tingkah laku) manusia ditentukan
oleh pengaruh lingkungan yang dialami
individu yang bersangkutan. Lingkungan
adalah penentu tunggal dari behavior manusia.
C. Matriks Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli Dalam Pandangan Islam, Barat, Dan Indonesia
Pandangan Islam Pandangan Barat Pandangan Indonesia
a. Abdullah Idi dan Toto Suharto a. Langeveld  a. Ki Hajar Dewantara
Mereka mengatakan bahwa
pendidikan adalah sebuah proses Menurutnya pendidikan adalah Ki Hajar Dewantara merumuskan
bimbingan dan pembinaan semaksimal bimbingan atau pertolongan yang diberikan pengertian pendidikan sebagai sebagai
mungkin yang diberikan kepada seseorang oleh orang dewasa kepada perkembangan anak upaya untuk memajukan budi pekerti,
melalui ajaran Islam agar orang tersebut untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan pikiran serta jasmani anak, agar dapat
tumbuh dan berkembang sesuai tujuan agar anak cukup cakap dalam melaksanakan memajukan kesempurnaan hidup dan
yang diharapkan. tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan menghidupkan anak yang selaras dengan
orang lain. alam dan masyarakatnya. Lebih lanjut
b. Yusuf al-Qardawi b. John Dewey  beliau (Ki Hajar Dewantara 1962:14)
menjelaskan bahwa “Pendidikan umumnya
Menurut Yusuf al-Qardawi Pendidikan (education) diartikan sebagai berarti daya upaya untuk memajukan
sebagaimana dikutip Bashori Muchsin, “Proses pembentukan kecakapan-kecakapan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
Moh. Sulthon, dan Abdul Wahid fundamental secara intelektual dan emosional batin, karakter), pikiran (intellect) dan
mengemukakan, pendidikan Islam ke arah alam dan sesama manusia”. tubuh anak; dalam pengertian Taman
merupakan pendidikan manusia
Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan
bagian itu, agar supaya kita dapat
jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya
memajukan kesempurnaan hidup, yakni
kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang kita didik selaras dengan dunianya”.
b. Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) No. 20 tahun
2003 Bab I, pasal 1
Menggariskan pengertian:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan
Pandangan Islam Pandangan Barat Pandangan Indonesia
terencana untuk mewujudkan
suasana  belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.

D. Matrik Perbandingan Hakikat Pendidikan Menurut Islam, Barat, dan Indonesia


Hakikat Pendidikan dalam pandangan Hakikat Pendidikan dalam pandangan Hakikat Pendidikan dalam pandangan
Islam Barat Indonesia
a. Istilah al-tarbiyah Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari Tujuan pendidikan di suatu negara akan
hakikat manusia, sebab urusan utama berbeda dengan tujuan pendidikan di
kata al-tarbiyah berasal dari tiga pendidikan adalah manusia. Di Barat, negara lainnya, sesuai dengan dasar
kata (raba, rabiya, dan rabba), pendidikan menjadi ajang pertarungan negara, falsafah hidup bangsa, dan ideologi
Abdurrahman an- Nahlawi merumuskan ideologis dimana apa yang menjadi tujuan negara tersebut.
definisi pendidikan Islam dari kata pendidikan – secara tidak langsung merupakan
tarbiyah menurutnya arti asal ar-rabb tujuan hidup – berbenturan dengan a. Pendidikan Nasional
adalah at-tarbiyah, yaitu menyampaikan kepentingan-kepentingan lain.
sesuatu sedikit demi sedikit sehingga Adapun yang dimaksud dengan
sempurna. Dengan demikian, definisi a. Orang-orang Sparta pendidikan nasional adalah pendidikan
pendidikan Islam dengan bertolak dari tiga yang berdasarkan Pancasila dan Undang–
kata tersebut adalah sebuah proses Orang-orang Sparta salah satu kerajaan Yunani Undang Dasar Negara Republik Indonesia
pengembangan seluruh potensi anak didik lama dahulu berpendapat bahwa tujuan hidup Tahun 1945 yang berakar pada nilai–nilai
secara bertahap menurut ajaran Islam. adalah untuk berbakti kepada negara, untuk agama, kebudayaan nasional Indonesia,
Hakikat Pendidikan dalam pandangan Hakikat Pendidikan dalam pandangan Hakikat Pendidikan dalam pandangan
Islam Barat Indonesia
memperkuat negara. Sehingga pengertian kuat dan tanggap terhadap tuntutan perubahan
b. lstilah al-ta’lim menurut orang-orang Sparta adalah kekuatan zaman. Sedangkan tujuan dari pendidikan
fisik. Oleh sebab itu tujuan pendidikan Sparta nasional sebagaimana yang tercantum di
Menurut konsep pendidikan Islam, kata adalah sejajar dengan tujuan hidup mereka, dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal
ta’lim lebih luas cakupannya dan lebih yaitu memperkuat, memperindah dan 3 adalah mengembangkan kemampuan dan
umum daripada kata tarbiyah. lstilah al- mempertegus jasmani. membentuk watak serta peradaban bangsa
ta’lim lebih berkonotasi pada yang bermartabat dalam rangka
pembelajaran, yakni semacam proses b. Orang Athena mencerdaskan kehidupan bangsa,
transfer ilmu pengetahuan. Dengan bertujuan untuk berkembangnya potensi
demikian ta’lim cenderung dipahami Orang Athena, juga salah satu kerajaan Yunani peserta didik agar menjadi manusia yang
sebagai proses bimbingan yang di titik lama, berpendapat bahwa tujuan hidup adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
beratkan pada aspek peningkatan mencari kebenaran (truth), dan kalau bisa Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
intelektualitas anak didik. menyirnakan diri pada kebenaran itu. Manusia cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
terdiri dari roh dan jasad. Roh itulah hakikat negara yang demokratis serta bertanggung
c. Istilah al-ta'dib manusia, maka segala usaha untuk jawab.
membersihkan, memelihara, menjaga dan lain-
al-Attas mengemukakan bahwa lain roh itu disebut pendidikan.
ta’dib adalah sebuah konsep pendidikan
Islam yang komprehensif dan integral, Madzhab-madzhab pendidikan eropa Barat
karena ta’dib telah mencakup konsep dan Amerika mengambil dari kedua madzhab
tarbiyah dan ta’lim. Sebagai aktivitas yang Yunani lama tersebut, dan semua madzhab
bergerak dalam proses pembinaan beranggapan bahwa dunia inilah tujuan hidup
kepribadiarn muslim, maka pendidikan sehingga ada yang mengingkari sama sekali
dalam pandangan lslam memerlukan azaz wujud Tuhan dan hari akhir.
atau dasar yang dijadikan landasan kerja.
Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari
Hakikat Pendidikan dalam pandangan Hakikat Pendidikan dalam pandangan Hakikat Pendidikan dalam pandangan
Islam Barat Indonesia
pendidikan dalam lslam adalah Al-Quran
dan hadist (Sunnah Rasulullah).
Hakikat pendidikan adalah Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha
mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada hakikat manusia, sebab urusan utama sadar dan terencana untuk mewujudkan
manusia (fitrah) dengan bimbingan pendidikan adalah manusia. Pendidikan adalah suasana belajar dan proses pembelajaran
Alquran dan asSunnah (Hadits) sehingga suatu usaha manusia untuk membantu agar peserta didik secara aktif
menjadi manusia berakhlakul karimah pertumbuhan dalam proses hidup tersebut mengembangkan potensi dirinya untuk
(insan kamil). Berdasarkan hal ini, maka dengan membentukan kecakapan fundamental memiliki potensi spiritual keagamaan,
tugas dan fungsi yang harus diemban oleh atau kecakapan dasar yang mencakup aspek pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
pendidikan lslam adalah pendidikan intelektual dan emosional yang berguna atau akhlak mulia, serta ketrampilan yang
manusia seutuhnya dan berlangsung bermanfaat bagi manusia terutama bagi dirinya diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
sepanjang hayat. Konsep ini bermakna sendiri dan bagi alam sekitar. negara
bahwa tugas dan fungsi pendidikan Pendidikan hanyalah suatu alat yang
memiliki sasaran agar manusia senantiasa digunakan oleh manusia untuk memelihara
tumbuh dan berkembang secara dinamis, kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai
mulai dari kandungan sampai akhir individu maupun sebagai masyarakat. Dengan
hayatnya. begitu tujuan pendidikan harus berpangkal
pada tujuan hidup. Di sinilah perbedaan
pendapat para filosof Barat dalam menetapkan
tujuan hidup.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hakikat manusia dalam pandangan Islam adalah hakikat manusia itu
adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh
untuk menjalani kehidupan material di alam material yang bersifat
sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh saja tanpa jasad yang
material tidak dapat dinamakan manusia. Sedangkan Hakikat pendidikan
adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan
bimbingan Alquran dan asSunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia
berakhlakul karimah (insan kamil). Berdasarkan hal ini, maka tugas dan
fungsi yang harus diemban oleh pendidikan lslam adalah pendidikan
manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini
bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran agar
manusia senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari
kandungan sampai akhir hayatnya.
2. Hakikat manusia dalam pandangan barat adalah manusia yang
sesungguhnya dan raga merupakan instrumen bagi pengembangan jiwa
manusia. Sedangkan Hakikat Pendidikan adalah suatu alat yang digunakan
oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik
sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Dengan begitu tujuan
pendidikan harus berpangkal pada tujuan hidup. Di sinilah perbedaan
pendapat para filosof Barat dalam menetapkan tujuan hidup.
3. Hakikat manusia dalam pandangan Indonesia adalah Manusia Pancasila
yaitu manusia yang bebas dan bertanggung jawab terhadap perkembangan
dirinya sebagai individu dan perkembangan masyarakat (makhluk sosial)
Indonesia. Manusia ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dianugerahi
kemampuan atau potensi untuk bertumbuh dan berkembang sepanjang
hayat. Sedangkan hakikat pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki potensi
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

B. Saran
Makalah ini masih belum sempurna, penulis menyarankan pada pembaca
agar membaca referensi lain tentang manusiad dan kemanusiaan. Manusia pada
hakikatnya adalah mahluk yang selalu belajar dan dipelajari. Oleh karena itu,
disarankan untuk membahas tentang hakikat manusia pada seluruh pengkajian
tentang pendidikan, karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuh
kembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur
dan hal itu menjadi keharusan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, dkk. 2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Achmad, Munib. 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT UNNES
PRESS.

Alim, Muhammad. 2010. Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam; Kajian
Komprehensif Islam dalam ketatanegaraan. Yogyakarta: LKIS.

Dewantara, Ki Hadjar. 1962. Bagian I Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur


Persatuan Taman Siswa

Festiyed, dkk. 2012. “Pengaruh Pemberian Assessment Essay terhadap


Pencapaian Kompetensi Siswa dalam Pembelajaran Fisika Menggunakan
Pendekatan Ekspositori dan Inkuiri di Kelas XI IA SMA N 1 Kecamatan
Suliki Kabupaten Lima Puluh Kota”. Jurnal Penelitian Pembelajaran
Fisika. Vo. 1, No. 1, Hal: 1-14

Frimayanti, Ade Imelda. 2017. “Implementasi Pendidikan Nilai dalam Pendidikan


Agama Islam”. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8 No. II

Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Khasinah, Siti. 2013. “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat”.
Jurnal Ilmiah Didaktika. Vol. XIII, No. 2, Hlm. 296-317.

Langgulung, Hasan. 2008. Azas-Azas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-


Husna

Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta:


Kencana.

Muhammmad Munir Mursyi, Al-Tarbiyat al-Islamiyyat: Ushuluha wa


Tathawwuruha fil bilad al-‘Arab, Kahirat: ‘Alam al-Kitab, 1986, Hlm. 16

Mumtahanah, Nurotun. 2017. Wahyu dan Fungsinya dalam Manajemen


Pendidikan Islam. Al-Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7, No. 1, Maret
2017.

Nata, NA & Barnawi. 2012. Ilmu Pendidikan Islam Rancang Bangun Konsep
Pendidikan Monokotomik-Holistik. Yogyakarta: Ar Ruzz Media

Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Padang: Grasindo.

Pu’ad, Dede. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Garut: Defiya print.


Rahmat, Ali. 2017. Konsep Manusia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam.
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Karimiyah Sumenep, Volume 1, Nomor
1, Maret 2017. Hlm. 28-33.

Rapar, Jan Hendrik. 2010. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius

Sastrapratedja, M. 1982. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat.


Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Shaifudin, A. 2016. Hakikat Pendidikan Dalam Perspektif Islam Dan Barat. El-
Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 2(2), 198 - 223. 
Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakaya.

Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta.

Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. 2010. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Yunus, A. 2010. “Memahami Hakikat Pendidikan dalam Islam”. Mimbar Studi


Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman. Vol 34, No.1, Hal. 29-40

Wahyudin, Dinn. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai