Anda di halaman 1dari 38

RESU

ME
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN:
SEBUAH BUKU PENGANTAR
(Dr. Redja Mudyahardjo, PT Remaja Rosda Karya,
2001)

Disusun untuk memenuhi tugas Aanvullen

Mata Kuliah: Landasan Epistemologis Pendidikan


Dosen: Dr. H. Babang Robandi, M.Pd

Disusun oleh:

Neneng Tsani
NIM 2002118

PROGRAM PASCASARJANA STUDI PEDAGOGIK


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020
DAFTAR ISI

BAGIAN SATU: PENDAHULUAN, ORIENTASI UMUM 1


BAB 1 Pengertian Filsafat Ilmu Pendidikan 1
A. FILSAFAT UMUM DAN KHUSUS 1
B. Objek dan Status Filsafat Ilmu Pendidikan 2
Bab 2 Pengertian Ilmu Pendidikan 4
A. SUBSTANSI DAN STRUKTUR ILMU PENDIDIKAN 4
B. Status Ilmu Pendidikan 8
BAGIAN DUA: EPISTEMOLOGI ILMU PENDIDIKAN 11
Bab 3 Objek Formal Ilmu Pendidikan 11
A. Pengertian Maha Luas tentang Pendidikan 11
B. Pengertian Sempit tentang Pendidikan 12
C. Pengertian Luas Terbatas tentang Pendidikan 12
Bab 4 Objek Material Ilmu Pendidikan 14
A. Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem 14
B. Pendidikan Seumur Hidup 15
BAGIAN TIGA: METODOLOGI ILMU PENDIDIKAN 19
Bab 5 Metodologi Ilmu pada Umumnya Sebelum Abad 19 19
A. Tonggak Pertama: Aristoteles 19
B. Tonggak Kedua: Francis Bacon 20
Bab 6 Metodologi Sains Secara Umum: Abad 19 dan 20 22
A. Pilar ketiga: Perkembangan Abad 19 22
B. Pilar Keempat: Perkembangan Abad ke-20 23
Bab 7 Metodologi Ilmu Pendidikan: Riset Kualitatif 25
A. Dasar Filosofis dan Karakteristik 25
B. Bentuk-bentuk riset 28
Bab 8 Metodologi Ilmu Pendidikan: Riset Kuantitatif 30
A. Dasar-dasar Filosofi dan Karakteristik 30
B. Bentuk Riset Eksperimen 31
BAGIAN EMPAT: Aksiologi ILMU PENDIDIKAN 33
Bab 9 Aksiologi Ilmu Pendidikan: Nilai-nilai Kegunaan Teoritis 33
A. Kegunaan bagi Ilmu dan Teknologi 33

Resume Filsafat Ilmu Pendidikan: Sebuah Pengantar 2


B. Kegunaan bagi Filsafat 33
Bab 10 Aksiologi Ilmu Pendidikan: Nilai-nilai Kegunaan Praktis 34
A. Kegunaan Praktek Pendidikan 34
B. Kegunaan Seni Pendidikan 34
Tentang Penulis 36

Resume Filsafat Ilmu Pendidikan: Sebuah Pengantar 3


BAGIAN SATU: PENDAHULUAN, ORIENTASI UMUM
BAB 1 Pengertian Filsafat Ilmu Pendidikan

A. FILSAFAT UMUM DAN KHUSUS

Filsafat Pendidikan bukanlah Filsafat Umum atau Filsafat Murni, tetapi Filsafat Khusus atau
Filsafat Terapan.
Apabila dilihat dari sudut karakteristik objeknya, filsafat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) Filsafat Umum atau Filsafat Murni, dan
(2) Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan.

Filsafat Umum mempunyai objek:


(1) hakikat kenyataan segala sesuatu (Metafisika), yang termasuk di dalamnya hakikat kenyataan
secara keseluruhan (Ontologi), kenyataan tentang alam atau kosmos (Kosmologi), kenyataan
tentang manusia (Humanologi), dan kenyataan tentang Tuhan (Teologi);
(2) hakikat mengetahui kenyataan (Epistemologi);
(3) hakikat menyusun kesimpulan pengetahuan tentang kenyataan (Logika); dan
(4) hakikat menilai kenyataan (Aksiologi),
antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik dan jahat (Etika) serta nilai
berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika).

Berbeda dengan Filsafat Umum yang objeknya adalah kenyaaan keseluruhan segala sesuatu,
Filsafat Khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang penting
(misainya: hukum, sejarah, seni, ilmu, pendidikan, dan sebagainya).

Cabang-cabang Filsafat Khusus antara lain sebagai berikut.

a. Filsafat Hukum, yang menyelidiki hukum sebagai suatu bentuk yang sangat khas dari
pengawasan sosial dalam sebuah masyarakat yang terorganisasi berdasarkan politik yang
dianut, bagaimana maayarakal tersebut mempertahankannya, dan bagaimana pelaksanaannya
melalui suatu proses yuridis dan administratif (Roscoe Pound, Philosophy of Law, Living
Schools)
b. Filsafat Sejarah, yang menyelidiki metafisika sejarah yang berkenaan dengan latar belakang,
sebab-sebab dan hukum- hukum yang mendasar, makna dan motivasi perkembangan manusia
sebagai makhluk sosial dalam batas-batas kausalitas psikofisik, serta logika sejarah yang
berkenaan dengan pemahaman sejarah. (Ligmar Von Fersen, Philosophy of History, A
Dictionary of Philosophy, hlm. 127)
c. Filsafat Seni, yang menyelidiki hakikat nilai-nilai estetis, yaitu nilai-nilai keindahan yang
terkandung dalam alam dan karva seni dalam segala bentuk dan maknanya. (Harold M. Titus,
Li ing Iwraes of Philosophy, hlm. 360)
d. Filsafat Moral, menyelidiki makna tentang baik, yang berhubungan dengan tujuan hidup,
makna kewajiban yang berhu- bungan dengan hukum, dan makna kebajikan yang ber-
hubungan dengan kesetujuan dan ketidaksetujuan. (Thomas English Hill, Contemporary
Ethical Theories, hlm. 157-158)
e. Filsafat Sosial (termasuk politik dan ekonomi), menyelidiki masalah keberadaan saling
berhubungan antara manusia dengan masyarakat, perangkat nilai-nilai asosiatif yang tertuju
pada proses sosial yang terarah, kekuatan dan kekuasaan pegura, pengawasan sonial yang
berkenaan dengan hukum dan hak, kewajiban politik, dan keadilan. (Robert N. Beck,
Handbook n Social Philosoply, him. 4-5)
f. Filafat Olahroga, yang menyelidiki hakikat olahraga aktif yang berkenaan dengan seluk
beluk gerak yang dilakukan dalam alahraga, dan hakikat olahraga pasif atau penghayatan ter-
hadap pergelaran olahraga. (Edward Wiecrozek, (editor), Prob- lema of Sports, Medicine,
and Sports Training and Coaching)
g. Filafat Religi, yang menyelidiki religi sebagai hubungan dengan Tuhan dan hubungannya
dengan pengalaman lainnya. (Egdar Sheffield Bightman A Philoply of Religion, hm. 22)
h. Filsafat Logika, yang menyelidiki kebenaran, tata bahasa. pdan penyimpangan logika sebagai
seni dan ilmu ( Vw Quine, Philosophy of Logic, hlm22)
i. Filsafat ilmu, yang menyelidiki struktur ilmu (Victor F Lenzen)
j. Filsafat Pendidikan, yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan: tujuan latar belakang,
car dan hasilnya (B. Othanel Smith)

B. Objek dan Status Filsafat Ilmu Pendidikan

Sosok pendidikan yang dapat kita kenali dalam kehidupan manusia dapat dibedakan dalam dua
macam, yaitu
(1) praktek pendidikan dan
(2) ilmu pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan.

Oleh karena itu, ditinjau dari segi sosok atau bentuk tampilan pendidikan, Filsafat Pendidikan
dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) Filsafat Praktek Pendidikan, dan
(2) Filsafat Ilmu Pendidikan.

Filsafat Praktik Pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana
seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia Filsafat
Praktek Pendidikan dapat dibedakan menjadi:
(1) Filsafat Proses Pendidikan (biasanya hanya disebut Filsafat Pendidikan) dan
(2) Filsafat Sosial Pendidikan.

Filsafat Proses Pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya
kegiatan pendidikan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat Proses Pendidikan
biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu
(1) apakah sebenarnya pendidikan itu;
(2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya; dan
(3) dengan cara apakah tujuan pendidikan dapat dicapai. (Henderson; 1959: 237)
Istilah Filsafat Sosial Pendidikan, antara lain dikemukakan oleh TW Moore dalam Philosophy of
Education yang dibataskan sebagai pembahasan hubungan antara penataan masyarakat manusia
dengan pendidikan.

Dengan kata lain, dapat pula dibataskan secara lebih konseptual, Filsafat Sosial Pendidikan
merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan
diselenggarakan dalam mewujudkan tatanan masyarakat manusia idaman.

Sehubungan dengan batasan tersebut, T.W. Moore mengemukakan tiga masalah pokok yang
dibahas dalam Filsafat Sosial Pendidikan, yaitu
(1) hakikat kesamaan manusia dan pendidikan,
(2) hakikat kemerdekaan dan pendidikan, dan
(3) hakikat demokrasi dan pendidikan.

Objek Filsafat Ilmu pendidikan dibedakan menjadi:


a. Ontologi Ilmu pendidikan, yang membahas tentang hakikat substansi dan pola organisasi
Ilmu Pendidikan;
b. Epistemologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat objek formal dan material
Ilmu Pendidikan;
c. Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam
menyusun Ilmu Pendidikan; dan
d. Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoretis dan
praktis Ilmu Pendidikan.
Bab 2 Pengertian Ilmu Pendidikan

A. SUBSTANSI DAN STRUKTUR ILMU PENDIDIKAN

Lenzen, meninjau ilmu dari segi morfologis atau bentuk substansinya, sebagai pengetahuan
sistematis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan.

Ditinjau dari substansi atau isinya, Ilmu Pendidikan merupakan sebuah sistem pengetahuan
tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset.
Oleh karena pengetahuan yang dihasilkan riset tersebut disajikan dalam bentuk konsep-konsep
pendidikan, maka Ilmu Pendidikan dapat pula dibataskan sebagai sebuah sistem konsep
pendidikan yang dihasilkan melalui riset.

Menurut May Brodbeck dalam Logic and Scientific Method in Re- search, yang dimuat dalam
Handbook of Research on Teaching, setiap ilmu berisi sejumlah besar istilah yang disebut
konsep, yang tidak lain merupakan apa yang kita pikirkan berdasarkan pengalaman (Novak: 18
dan Brodbeck: 48).

Dengan demikian, unsur yang menjadi isi setiap ilmu termasuk Ilmu Pendidikan, adalah konsep.

Keseluruhan konsep yang menjadi isi sebuah ilmu ditata secara sistematis menjadi satu kesatuan.
Sekelompok konsep yang berkenaan dengan sekelompok hal, yang merupakan satu kesatuan
disebut skema konseptual.

Setiap ilmu termasuk Ilmu Pendidikan, terbentuk dari beberapa skema konseptual yang
merupakan bagian-bagian atau komponen-komponen isi ilmu.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa organisasi isi Ilmu Pendidikan, sebagai sebuah sistem
konsep, terbentuk dari unsur-unsur yang berupa konsep-konsep tentang variabel-variabel
pendidikan, dan bagian-bagian yang berupa skema- skema konseptual tentang komponen-
komponen pendidikan.

Apabila ditinjau dua macam, yaitu


(1) definisi konotatif, dan
(2) definisi denotatif

Definisi konotatif adalah definisi yang menyatakan secara tersurat tentang isi pengertian yang
terkandung dalam istilah atau konsep yang didefinisikan.
Isi pengertian adalah sifat atau sifat-sifat yang menjadi ciri utama dari makna yang terkandung
dalan istilah atau konsep.
Pada garis besarnya, definisi konotatif dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
(1) definisi leksikal atau definisi kamus, dan
(2) definisi stipulatif atau definisi yang menyebutkan persyaratan-persyaratan yang menjadi
makna.

Definisi kamus adalah definisi yang menyatakan secara tersurat makna yang biasa digunakan
khalayak ramal sehari hari, Misalnya, mendidik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa
Indonesia, hlm. 206),

Definisi Stipulatif adalah definisi konotatif yang menyebutkan satu persatu atau menuntut syarat-
syarat apa yang menjadi ciri dan konsep konsep yang didefinisikan.

Misalnya, Pemerintah melalui UU No. 2 Tahun 1989 menetapkan syarat-syarat akademi sebagai
salan satu bentuk perguruan tinggi. Berdasarkan syarat tersebut, Peraturan Pemerintah No. 90
Tahun 1999 mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan akademi. "Akademi adalah
perguruan tings (genus) yang menyelenggarakan program pendidikan profesion dalam satu
cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.

Definisi denotatif dalah definisi yang menyatakan secara tersurat luas pengertian dari istilah atau
konsep yang didefinisikan.

Bentuk Isi Ilmu Pendidikan terdiri atas

(1) generalisasi-generalisasi,
(2) hukum-hukum atau prinsip-prinsip, dan
(3) teori-teori.

Generalisasi adalah kesimpulan umum yang ditarik berdasarkan hal-hal khusus. Misalnya,
penelitianan Kamla tentang "Perbedaan antara Guru-guru yang Efektif Tidak Efektif" (1978),
disertai peringkat (dalam bentuk angka di dalam kurung) yang menghasilkan generalisasi-
generalisasi sebagai berikut.
Karakteristik-karakteristik pribadi, profesional, dan akademik yang sangat mempengaruhi
keberhasilan semua guru sekolah menengah, yaitu:

Karakteristik pribadi
1) Percaya diri (80),
2) Rasa berkewajiban dan tanggung jawab (74),
3) Mempunyai suara yang merdu dan khas (73), dan
4) Kesehatan yang baik (57),

Karakteristik profesional
1) Menerangkan topik-topik yang diajarkan dengan jelas
2) Menyampaikan mata pelajaran dengan jelas
3) Mempunyai organisasi mata pelajaran yang sistematis (80),
4) Mempunyai kemampuan berekspresi (70),
5) Mempunyai kecakapan dalam membangkitkan minat dan motivasi murid-murid (78), dan
6) Merencanakan dan mempersiapakan pelajaran (71).

Karakteristik latar belakang dan keahlian akademik


1) Mempunyai pengetahuan yang tepat tentang mata pelajaran (93), dan
2) Mempunyai kemampuan menyesuaikan mata pelajaran dengan tingkat pemahaman murid-
murid (90)

Apabila secara keseluruhan didaftar berurutan dari yang paling berpengaruh maka data
generalisasi tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mempunyai pengetahuan yang tepat tentang mata pelajaran (93),


b. Mempunyai kemampuan menyesuaikan mata pelajaran dengan pemahaman murid-murid (90),
c. Menerangkan topik-topik dengan jelas (88),
d. Menyajikan mata pelajaran dengan jelas (87),
e. Mengorganisasi mata pelajaran secara sistematis (80),
f. Mempunyai kepercayaan diri (80),
g. Mempunyai kemampuan berekspresi (79),
h. Mempunyai kecakapan membangkitkan minat dan motivasi murid-murid untuk aktif belajar
(78),
i. Mempunyai rasa wajib dan tanggung jawab(74),
j. Mempunyai suara merdu dan khas (73),
k. Merencanakan dan mempersiapakan pelajaran (71), dan
l. Mempunyai kesehatan yang baik (57).

Bentuk isi Ilmu Pendidikan yang kedua adalah hukum atau prinsip.

Misalnya, Throndike dalam Educational Psychology mengemukakan ada tiga hukum utama dan
empat hukum penting dalam belajar. Ketiga hukum utama tersebut, yaitu
(1) Hukum Akibat (the law of effect),
(2) Hukum Latihan (the law of exercise) dan
(3) Hukum Kesiapan (the law of readiness),

Hukum Akibat menyatakan bahwa setiap perbuatan yang menghasilkan suatu keadaan yang
menyenangkan cenderung akan diulang, dan sebaliknya apabila sesuatu perbuatan
mengakibatkan ketidakpuasan akan cenderung dihentikan. Hukum Latihan atau keseringan
menyatakan bahwa makin sering diulang atau dilatih, sesuatu tindakan cenderung makin kuat
tertanam, dan sebaliknya, semakin kurang dilatih cenderung makin menghilang. Hukum
Kesiapan menyatakan bahwa kegiatan yang disertai kesiapan cenderung memberikan rasa puas.
Bagan perbandingan teori-teori belajar behaviouristik, Humanistik, dan Kognitif dalam
pendidikan.

Tertium Teori-teori belajar


No
komparationis
Behaviouristik Humanistik Kognitif

Perlakuan Individual
Perlakukan
didasarkan pada Perlakuan Individual
Individual didasarkan
1. Individualisasi kebutuhan didasarkan pada tingkat
pada tugas, ganjaran
individualitas/kepribadian perkembangan anak
dan disiplin.
anak.

Motivasi belajar
bersifat ekstrinsik Motivasi belajar bersifat Motivası belajar bersifat
mela lui pembiasaan intrinsik, berdasarkan instrinsik melalui
2. Motivasi
terus- pemuasan kebutuhan pengetahuan yang telah
menerus/reinforceme individu dimiliki
nt

Metode belajar
dijabarkan secara Mempergunakan
Menggunakan
terinci untuk kurikulum dan
pendekatan proyek yang
mengembangkan metodologi yang
3. Metodologi terpadu menekankan pada
keterampilan dan mengembangkan
mempelajari kehidupan
pengetahuan tertentu, keterampilan dasar
sosial.
serta menggunakan bahan pelajaran
teknologi pendidikan.

Memusatkan diri pada


pengembangan
Memusatkan diri pada
kemampuan secara
Memusatkan diri pengembangan sosial,
keseluruhan: gerak,
Tujuan tujuan pada pengetahuan keterampilan
4. pendirian, bahasa,
Kurikuler dan keterampilan berkomunikasi, tanggap
berpikir interaksi sosial
akadernis. terhadap kebutuhan
sebagai alat untuk
kelompok dan individu.
mengembangkan
intelegensi.

5. Bentuk Berpusat pada guru, Berpusat pada anak, anak Berpusat pada anak guru
berfungsi membimbing
hubungan-hubungan bebas memilih, guru
anak dalam belajar
pengelolaan soslal adalah cara dan membantu dan bukan
berkesplorasi dan
bukan tujuan mengarahkan
bereksperimen

Program pengajaran Program pengajaran


Program pengajaran
disusun dalam bentuk disusun dalam bentuk
Usaha disusun secara terinci
topik-topik yang terpadu pengetahuan yang
6. mengefektifkan dan bertingkat:
berdasarkan kebutuhan- terpadu, konsep dan
mengajar mengutamakan
kebutuhan individual keterampilan disusun
penguasaan bahan.
anak. secara hierarkis

Partisipasi siswa
dituntut untuk
Partisipasi aktif dari
Siswa mungkin pengembangkan
7. Partisipasi siswa diutamakan; anak
bersifat pasif kemampuan berpikir,
belajar dengan kerja.
anak belajar dengan
bekerja

B. Status Ilmu Pendidikan

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari pembahasan tentang status Ilmu Pendidikan
ditinjau dari klasifikasi-klasifikasi ilmu dari Aristoteles, Francis Bacon, Comte, Spencer, dan
Horne. Pelajaran pertama dan utama, yaitu bahwa Ilmu Pendidikan tidak tercantum secara
tersurat dalam kelima klasifikasi ilmu.

Hal ini memberi pelajaran lebih lanjut bahwa status keilmuan Ilmu Pendidikan kurang jelas. Hal
ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.

 Apakah Ilmu Pendidikan yang otonom itu belum ada?

 Apakah Ilmu Pendidikan itu hanya merupakan penerapan cabang-cabang ilmu, seperti
psikologi, sosiologi, antropologi, dan cabang-cabang ilmu yang lainnya?

 Apakah status keilmuan Ilmu Pendidikan yang ku- rang jelas itu disebabkan karena
karakteristik pendidikan sebagai objeknya selalu tidak terlepas dari aspek-aspek
normatif?

Pertanyaan- pertanyaan tersebut dan pertanyaan lainnya menjadi pendorong dan dasar
pembahasan bab-bab selanjutnya.
Pelajaran selanjutnya yaitu bahwa untuk memahami pendidikan dengan baik diperlukan banyak
ilmu bantu yang harus dikuasai. Ilmu-ilmu bantu tersebut adalah ilmu-ilmu tentang manusia,
tidak hanya terbatas pada psikologi. Ilmu-ilmu bantu tersebut mencakup pula cabang-cabang
ilmu: biologi manusia, fisiologi manusia, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.

Hal ini bersangkut paut dengan karakteristik pendidikan sebagai gejala kehidupan manusia yang
kompleks, sekompleks dari kehidupan manusia itu sendiri.

Seperti dasar-dasar umum bagi profesi pendidikan, seperti misalnya setiap dokter harus
menguasai anatomi, fisiologi dan kimia. Sehubungan dengan hal ini, Brubacher menyarankan
bahwa setiap orang yang bekerja secara profesional dalam bidang pendidikan harus menguasai
aspek-aspek sosiologis, psikologis, historis, dan filosofis dari profesi pendidikan. Sedangkan
Horne lébih luas lagi, yaitu aspek tubuh dan jiwa dari manusia yang dididik, yang mencakup
fisiologi, psikologi, logika, estetika, etika, dan sosiologi.
Aristoteles yang dipandang sebagai bapak ilmu mencoba mengklasifikasikan ilmu didasarkan
pada tujuan dan objeknya. Berdasarkan tujuannya, ilmu dapat dibedakan menjadi dua ke- lompok
besar, yaitu
(1) Ilmu-Ilmu Teoretis yang penyelidikannya bertujuan memperoleh pengetahuan tentang
kenyataan, dan
(2) Ilmu-ilmu praktis/produktif, yang penyelidikannya bertujuan men- jelaskan perbuatan yang
berdasarkan pada pengetahuan.
Berdasarkan objek materialnya, Ilmu-Ilmu Teoretis yang mem- punyai objek formal substansi,
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
(1) Ilmu-Ilmu Kealaman,
(2) Matematika, dan
(3) Metafisika.

Objek Ilmu-Ilmu Kealaman adalah substansi yang dapat diindra dan dapat digerakkan, baik yang
abadi maupun yang dapat dihancurkan.
Oleh karena itu, Ilmu-ilmu Kealaman menyelidiki unsur-unsur alam dan gerak atau perubahan-
perubahan alam/ peristiwa-peristiwa alam, baik yang terjadi karena proses-proses perubahan
inorganik maupun organik.
Objek Ilmu-Ilmu Kealaman adalah "alam" dalam arti materi dan gerak, dan prinsip-prinsipnya
dihasilkan melalui penyelidikan induktif dari pengalaman tentang benda-benda yang mengalami
perubahan-perubahan atau bergerak.
Menurut objek materialnya, Ilmu-Ilmu Kealaman diklasifikasikan menjadi enam macam cabang,
yaitu (1) Fisika, (2) Astronomi, (3) Ilmu Kimia, (4) Meteorologi, (5) Biologi, dan (6) Psikologi.
BAGIAN DUA: EPISTEMOLOGI ILMU PENDIDIKAN
Bab 3 Objek Formal Ilmu Pendidikan

A. Pengertian Maha Luas tentang Pendidikan

Ilmu Pendidikan mempunyai objek yang menjadi ruang lingkup dan hal-hal yang diteliti.
Ditinjau dari fungsinya, objek Ilmu Pendidikan Sapat dibedakan menjadi:

(1) objek formal atau bidang yang menjadi keseluruhan ruang lingkup garapan riset pendidikan,
dan

(2) objek material atau aspek-aspek atau hal-hal yang menjadi garapan Jangsung riset
pendidikan. Objek formal ilmu berkenaan dengan bidang yang menjadi keseluruhan ruang
lingkup garapan sebuah ilmu. Sedangkan objek material ilmu berkenaan dengan aspek- aspek
yang menjadi garapan penyelidikan langsung ilmu yang bersangkutan.

Dengan demikian, dapat terjadi bahwa sekelompok cabang ilmu mempunyai objek formal yang
sama, misalnya manusia, tetapi setiap cabang ilmu mempunyai objek material yang berbeda.
Misalnya, antropologi mempunyai objek material asal-usul, perkembangan, dan ciri-ciri spesies
atau ras manusia (Wolman: 27; Beals dan kawan-kawan: 1, 701); psikologi mempunyai objek
material tingkah laku binatang dan manusia (Wolman: 296); sosiologi mempunyai objek
material: masyarakat, kelompok- kelompok, organisasi-organisasi, dan instansi-instansi manusia
(Wolman: 352), dan sebagainya.

Objek formal Ilmu Pendidikan adalah pendidikan, yang dapat diartikan secara maha luas, sempit,
dan luas terbatas. Dalam pengertian maha luas, pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan
adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang.

Dalam pengertian yang maha luas, kemahaluasan pengertian pendidikan tersirat pula tujuan
pendidikannya. Setiap pengalaman belajar dalam hidup dengan sendirinya terarah (self-directed)
kepada pertumbuhan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar pengalaman belajar, tetapi
terkandung dan melekat di dalamnya. Misi atau tujuan pendidikan yang tersirat dalam
pengalaman be- lajar memberi hikmah tertentu bagi pertumbuhan seseorang.
B. Pengertian Sempit tentang Pendidikan

Dalam pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah atau persekolahan (schooling). Sekolah
adalah lembaga pendidikan formal sebagai salah satu hasil rekayasa dari peradaban manusia, di
samping keluarga, dunia kerja, negara, dan lembaga keagamaan. Sekolah sebagai hasil rekayasa
manusia diciptakan untuk menyelenggarakan pendidikan, dan penciptaannya berkaitan erat
dengan pe nguasaan bahasa tertulis dalam masyarakat, yang berkembang makin sistematis dan
meningkat.

Bentuk pendidikan adalah terstruktur. Artinya bahwa pendidikan merupakan lembaga formal
yang diciptakan khusus untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan tertentu yang harus
mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, yang secara teknis dikendalikan oleh
guru (teacher-directed).

Peranan guru dalam penyelenggaraan bentuk-bentuk kegiatan pendidikan adalah sentral. Guru
mengendalikan penyelenggaraan bentuk-bentuk kegiatan pendidikan sejak dari perencanaan
sampai dengan penilaian pendidikan.
Sejak dari awal sampai akhir penyelenggaraan proses pendidikan.

Selain itu, bentuk-bentuk kegiatan pendidikan berorientasi pada isi pendidikan yang terprogram
dalam bentuk sebuah kurikulum (content-oriented). Bahan-bahan ajaran dan kegiatan belajar
mengajar sudah ditetapkan sebelum berlangsungnya proses pendidikan.

C. Pengertian Luas Terbatas tentang Pendidikan

Definisi maha luas tentang pendidikan, antara lain mengandung kelemahan tidak dapat
menggambarkan dengan tegas batas-batas pengaruh pendidikan dan bukan pendidikan terhadap
pertumbuhan individu. Sedangkan kekuatannya, antara lain terletak pada menempatkan kegiatan
atau pengalaman belajar sebagai inti dalam proses pendidikan yang berlangsung di mana pun
dalam lingkungan hidup, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Definisi alternatif adalah definisi dialektis yang mencoba memadukan pengertian-pengertian


yang menjadi kekuatan pada definisi maha luas dan definisi sempit, yang sekaligus
menghilangkan kelemahan-kelemahannya.

Definisi alternatif merupakan definisi luas yang maknanya berisi berbagai macam pengalaman
belajar dalam keseluruhan lingkungan hidup, baik di sekolah maupun di luar sekolah yang
sengaja diselenggarakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Dengan demikian, definisi luas menghilangkan pengaruh yang tidak sengaja terhadap
pertumbuhan individu dan dominasi pemaksaan dalam proses pendidikan, dalam rumusan
definisi pendidikan.
Di samping itu, menyilangkan makna-makna pendidikan yang menjadi kekuatan dalam rumusan
definisi maha luas dan definisi sempit. Hal ini mengandung arti bahwa pengalaman-pengalaman
belajar yang berlangsung di luar sekolah harus ditingkatkan bobotnya menjadi bentuk-bentuk
pengalaman belajar yang terprogram sehingga proses pendidikannya menjadi lebih produktif;
dan rekayasa pengubahan pola tingkah laku yang cenderung lebih bersifat mengajar harus
dilengkapi oleh unsur kebebasan sehingga proses pendidikan di sekolah menjadi proses belajar-
mengajar yang di dalamnya berlangsung proses komunikasi insani dua arah atau timbal-balik.

Dapat pula dikatakan bahwa proses pendidikan di sekolah berupa Kegiatan-kegiatan mengajar
yang memberi keleluasaan berlang- gnya pengalaman belajar mencapai pertumbuhan individu
yang selaras dengan cita-cita hidup yang diharapkan.
Bab 4 Objek Material Ilmu Pendidikan

A. Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem

Baik dibataskan secara maha luas, sempit maupun luas terbatas, pendidikan tetap merupakan
salah satu bentuk kegiatan dalam kehidupan manusia, yang berawal dari hal- yang bersifat aktual
menuju pada hal-hal yang ideal. Hal-hal yang bersifat aktual berkenaan dengan kondisi-kondisi
yang telah ada pada peserta didik dan lingkungan tempat berlangsungnya kegiatan belajar.
Terkandung dalam kondisi-kondisi aktual tersebut dimensi-dimensi psikologis, sosiologis,
antropologis, ekologis, teknologis, historis (waktu), kependudukan dan manajemen, yang
menjadi titik tolak kegiatan pendidikan.

Hal-hal yang ideal berhubungan cita-cita yang secara langsung atau tidak langsung tertuju pada
sosok manusia idaman. Ini semua berhubungan dengan tujuan pendidikan dan tujuan hidup.
Kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang menjembatani antara kondisi-kondisi aktual dengan
kondisi-kondisi ideal. Kegiatan pendidikan berlangsung dalam satuan waktu tertentu dan berben-
tuk dalam berbagai proses pendidikan, yang merupakan serang- kaian kegiatan atau langkah-
langkah yang digunakan untuk meng- ubah kondisi awal peserta didik sebagai masukan, menjadi
kondisi- kondisi ideal sebagai hasilnya. Proses-proses pendidikan, antara lain berupa
individualisasi atau personalisasi atau proses yang tertuju untuk menjadi seorang individu atau
diri pribadi; sosialisasi atau proses yang tertuju untuk menjadi anggota masyarakat yang
diidamkan; enkulturasi atau proses yang tertuju untuk memiliki cara-cara hidup yang diharapkan
oleh suatu masyarakat;

Menurut Arthur. J. Jones dalam Principles of Guidance (1970), bimbingan (guidance) adalah
bantuan yang diberikan seseorang kepada orang lain untuk menentukan pilihan-pilihan dan
penyesuaian diri peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Bimbingan bertujuan membantu menumbuhkan kebebasan dan kemampuan untuk dapat
bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Bimbingan merupakan sebuah layanan yang bersifat
universal, yang tidak hanya di sekolah dan keluarga, tetapi terjadi pula di perusahaan dan
industri, pemerintah, rumah-rumah sakit, penjara-penjara, dan di mana pun ada orang yang
memerlu- kan bantuan dan di mana pun ada orang yang membantu. Dengan demikian,
bimbingan merupakan kegiatan pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan kepribadian
manusia Indonesia. Menurut Henderson dalam Introduction to Philosophy of Educa- tion (1959),
pengajaran (instruction) bertujuan membantu murid- murid memperoleh pengetahuan dan
dengan demikian mengem- bangkan kecerdasan mereka sendiri. Apa yang dimaksud dengan
pengajaran adalah bantuan dalam bentuk memberi dorongan, mengarahkan kegiatan,
menumbuhkan kemampuan, dan memaksimalkan upaya murid-murid dalam memperoleh
pengetahuan sehingga mengembangkan kecerdasan mereka sendiri.

Chauhan dalam Innovations in Teaching and Learning Process mengemuka-kan empat ciri
pengajaran, yaitu:
a. Mengajar adalah komunikasi antara dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi
dalam gagasan-gagasan mereka dan belajar sesuatu dalam proses interaksi.
b. Mengajar adalah mengisi jiwa murid berupa informasi dan pengetahuan tentang fakta-
fakta untuk digunakan pada masa yang akan datang.
c. Mengajar adalah sebuah proses yang hubungan antara murid, guru, kurikulum, dan
variabel-variabel lainnya terorganisasi dalam sebuah pola yang sistematis untuk
mencapai tujuan- tujuan yang terlebih dahulu ditetapkan.
d. Mengajar adalah mendorong murid belajar.

B. Pendidikan Seumur Hidup

Dave dalam Lifelong Education and School Curriculum (1973) mencoba menggambarkan
kerangka-kerja teoretis dan operasional pendidikan seumur hidup dalam empat tahap, yaitu

(1) deskripsi komponen-komponen hidup,

(2) deskripsi aspek-aspek dalam perjalanan sepanjang hidup,

(3) deskripsi pendidikan, dan

(4) deskripsi sebuah sistem operasional pendidikan seumur hidup.

Hidup (life) mempunyai tiga komponen yang saling berhubungan satu dengan lainnya, yaitu (1)
individu, (2) masyarakat, dan (3) lingkungan fisik.

Perjalanan manusia seumur hidup (lifelong) mengandung perkembangan dan perubahan yang
mencakup tiga komponen, yaitu

(1) tahap-tahap perkembangan individu (masa balita, masa kanak- kanak, masa sekolah, masa
remaja, dan masa dewasa), (

2) peranan- peranan sosial yang umum dan unik dalam kehidupan, yang berbeda-beda di setiap
lingkungan hidup, dan

(3) aspek-aspek perkembangan kepribadian (fisik, mental, sosial, dan emosional).

Pendidikan yang tertuju pada pencapaian perkembangan dan perubahan individu dan sosial
secara utuh, yang berlangsung dalam hidup, terbangun dari tiga komponen, yaitu

(1) landasan-landasan pendidikan (Foundations of Education),

(2) isi pendidikan (Content of Education), dan cara-cara pendidikan (Means of Education).
Landasan-landasan pendidikan mencakup: (1) landasan sosiologi pendidikan; (2) landasan
ekonomi pendidikan; (3) landasan politik pendidikan; (4) landasan demografi pendidikan; (5)
landasan ekologi pendidikan; (6) landasan filosofi pendidikan; (7) landasan biologi pendidikan;
(8) landasan psikologi pendidikan; (9) landasan iptek pendidikan; (10) dan sebagainya. Isi
pendidikan berkenaan dengan persediaan kultural yang berupa pengetahuan manusia serta
perkembangan pengetahuan baru dan keusangan pengetahuan.

Cara-cara pendidikan berkenaan dengan cara-cara komunikasi verbal dan nonverbal, alat-alat
bantu belajar-mengajar baru, dan sebagainya. Sebuah sistem operasional pendidikan seumur
hidup mencakup komponen-komponen: (1) tujuan-tujuan pendidikan seumur hidup; (2) asumsi-
asumsi yang mendasari pendidikan seumur hidup; (3) prinsip-prinsip pembimbing untuk
pengembangan sistem pendidikan seumur hidup; dan (4) bentuk-bentuk belajar, yang terdiri atas
pendidikan umum yang berlangsung secara formal dan nonformal dan pendidikan profesional
yang berlangsung secara formal dan nonformal.

Teknologi pendidikan berkenaan dengan:

(1) tujuan-tujuan pendidikan berdasarkan jenjang dan jenis-jenis pendidikan,

(2) perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum;

(3) strategi dan proses-proses belajar,

yang tercakup: (a) belajar permulaan, (b) belajar bersama, dan (c) belajar mandiri, individual;

(4) evaluasi, yang tercakup di dalamnya:

(a) evaluasi eksternal, (b) evaluasi internal, dan (c) evaluasi sendiri;

(5) bimbingan, serta

(6) media dan bahan ajar.

Gambaran tentang kerangka teoretis dan operasional pendidikan seumur hidup terlihat pada
bagan 21. Bagaimanapun, gambaran pendidikan sebagai proses dinamis yang berawal dari
kondisi aktual dari orang yang belajar dan lingkunganya menuju kondisi ideal dan konsep
pendidikan seumur hidup tidaklah jauh berbeda. Sosok Ilmu Pendidikan dewasa ini tidak terdiri
dari satu ilmu, tetapi mencakup sejumlah cabang Ilmu Pendidikan.

Uraian tentang peta bidang pendidikan, baik ditinjau dari pendidikan sebagai proses dinamis
yang bergerak dari kondisi faktual menuju kondisi ideal.

Maupun dari konsep pendidikan seumur hidup, menunjukkan bahwa bidang pendidikan tidak
saja luas tetapi juga kompleks karena banyak aspek dan dimensinya.
Bidang pendidikan menjadi objek formal Ilmu Pendidikan, dan aspek-aspek atau dimensinya
menjadi objek material dari cabang-cabang llma Pendidikan. Apabila ditinjau dari keluasan objek
materialnya, Ilmu Pendidikan dapat dibedakan menjadi dua kelompok cabang, yaitu (1) Ilmu
Pendidikan-Makro, atau Ilmu Pendidikan yang menyelidiki keseluruhan yang terpadu dari semua
satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan
tercapainya tujuan nasional; dan (2) Ilmu Pendidikan Mikro, atau Ilmu Pendidikan yang
menyelidiki satuan pendidikan atau kegiatan pendidikan secara keseluruhan atau hanya satu
satuan atau satu bentuk kegiatan pendidikan.

Kelompok cabang Ilmu Pendidikan Makro, antara lain men- cakup:

(1) Ilmu Pendidikan Administratif, yaitu ilmu yang mempunyai objek material berupa proses
pemaduan usaha staf dan penggunaan bahan-bahan secara tepat untuk meningkatkan efek- tifitas
pengembangan mutu Bumber daya manusia (Gregg: 19-24);

(2) Ilmu Pendidikan Komparatif, atau ilmu yang mempunyai objek ma- terial berupa perbedaan
dan persamaan praktek pendidikan dan Latar belakang sosial budayanya di beberapa negara atau
kekuatan- kekuatan yang menyebabkan perbedaan-perbedaan antara sistem-sistem pendidikan
nasional (Kandell: 8);

(3) Ilmu Pendidikan Historis, atau ilmu yang mempunyai objek material berupa perkembangan
pendidikan dengan latar belakang sosial budayanya yang terjadi di suatu negara atau kesatuan
budaya selama kurun waktu tertentu (Butt); dan

(4) Ilmu Pendidikan Kependudukan, atau ilmu yang mempunyai objek material berupa penduduk
manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, dengan tujuan meningkatkan mutu hidup
manusia tanpa menimbulkan pengaruh negatif terhadap lingkungan (Sharma: 8).

Kelompok cabang Ilmu Pendidikan-Mikro antara lain mencakup cabang: (1) Ilmu Mendidik
Umum atau ilmu yang mempunyai objek material kegiatan pendidikan, baik yang terjadi di
sekolah maupun di satuan pendidikan luar sekolah dan (2) Ilmu Mendidik Khusus, atau ilmu
yang mempunyai objek material berupa kegiatan pendi- dikan di sekolah atau satuan pendidikan
luar sekolah atau tertuju pada peserta didik khusus (luar biasa). Cabang Ilmu Mendidik Umum,
antara lain mencakup: (1) Peda- gogik Teoretis, atau ilmu yang mempunyai objek material
berupa situasi pendidikan yang mencakup unsur-unsur: tujuan pendidikan, peserta didik,
pendidik, hubungan pendidikan, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan; (2) Ilmu
Pendidikan Psikologis, atau ilmu yang mempunyai objek material berupa faktor-faktor manusia
dalam belajar (Seagoe: 407); (3) Ilmu Pendidikan Sosiologis, atau ilmu yang mempunyai objek
material berupa faktor-faktor sosial dalam belajar atau pendidikan (Dodson: 408); (4) Ilmu
Pendidikan Antropologis, atau ilmu yang mempunyai objek material berupa cara-cara orang
belajar dan mengajar dalam budaya masyarakat yang berbeda-beda coraknya (Beals: 586); dan
(5) Ilmu Pendidikan Ekonomik, atau ilmu yang mempunyai objek material berupa hubungan-
hubungan antarekonomi dengan sistem pendidikan (Woodhall: 27). Cabang Ilmu Mendidik
Khusus antara lain mencakup: (1) Ilmu Persekolahan, atau ilmu yang mempunyai objek material
berupa penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan pendidikan di sekolah; (2) Ilmu Pendidikan
Luar Sekolah, atau ilmu yang mempunyai objek material berupa penyelenggaran dan
pelaksanaan kegiatan pendidikan di satuan-satuan pendidikan di luar sekolah; (3) Ilmu
Pendidikan Luar Biasa, atau Orthopedagogik, atau ilmu yang mempunyai objek material berupa
penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan pendidikan bagi anak-anak penyandang kelainan fisik
atau mental.
BAGIAN TIGA: METODOLOGI ILMU PENDIDIKAN
Bab 5 Metodologi Ilmu pada Umumnya Sebelum Abad 19

A. Tonggak Pertama: Aristoteles

Imu Pendidikan dibangun melalui berbagai riset pendidikan. Artinya, riset merupakan metode
kerja yang dipergunakan I para ahli dalam membangun Ilmu Pendidikan. Istilah riset dan metode
ilmiah, kadang-kadang dipergunakan sebagai sinonim dalam pembahasan tentang pendidikan.

Meskipun benar bahwa kedua istilah tersebut mempunyai beberapa unsur umum yang sama,
tetapi menjelaskan perbedaannya akan dapat membantu memahami lebih tepat tentang
pengertian riset. Baik riset maupun metode ilmiah merupakan metode pemecahan masalah yang
mengacu pada berpikir reflektif, yaitu berpikir menemukan masalah serta memecahkannya
melalui kegiatan-kegiatan secara bertahap.

Riset merupakan pemecahan masalah yang lebih formal, sistematis, dan intensif, apabila
dibandingkan dengan metode ilmiah. Metode ilmiah dalam pemecahan masalah merupakan
sebuah penerapan informal dalam berpikir reflektif, yang terdiri atas pengenalan masalah,
penyusunan hipotesis, pengumpulan data, analisis, dan penyimpulan. Seseorang dapat sampai
pada sebuah kesimpulan tentang mengapa mobilnya tidak dapat maju atau mengapa kebakaran
terjadi di sebuah rumah yang tidak berpenghuni. Riset adalah serangkaian kegiatan yang lebih
sistematis tertuju pada penemuan dan pengembangan sebuah sosok pengetahuan yang
terorganisasi. Sehubungan dengan hal ini, Best dalam Research in Education (1977: 8-9)
membataskan riset sebagai analisis dan perekaman yang sistematis dan objektif tentang hasil-
hasil observasi yang terawasi, yang tertuju pada pengembangan.

Menurut N.L. Gage, penemuan sebagai hasil riset melibatkan dan memprediksikan gejala-gejala
yang diobservasi, adanya upaya penaksiran pola hubungan antara peristiwa atau variabel.

Fungsi pertama penemuan sebagai hasil riset adalah terjadi dalam alam atau kehidupan manusia,
karena hasil riset dapat menjelaskan secara logis pola hubungan antara peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Selain itu, penemuan sebagai hasil riset dapat menambah kemampuan kita memprediksi
suatu peristiwa menambah kemampuan kita memahami peristiwa atau gejala yang karena hasil
riset dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meramalkan peristiwa-peristiwa yang akan datang.

Akhirnya, penemuan sebagai hasil riset dapat pula menambah kemampuan kita mengendalikan
peristiwa, karena dapat dipergunakan untuk menciptakan teknologi sebagai upaya penerapan
penemuan untuk durm memecahkan masalah yang dihadapi.

Dengan demikian, teknologi merupakan teknik-teknik pengelolaan peristiwa untuk mencapai


efisiensi dan efektivitas bertindak dalam bekerja menghadapi alam dan/atau kehidupan manusia.
Metode-metode riset pada umumnya dan pendidikan pada khususnya seperti yang kita kenal
dewasa ini, merupakan hasil kumu- latif dari perkembangan riset dari dulu hingga sekarang.

Masalah dasar yang dihadapi metode riset sejak dulu hingga sekarang berkaitan erat dengan
penggunaan metode induksi dan metode deduksi dalam menyusun batang tubuh ilmu.
Sehubungan dengan hal ini, Karl Popper dalam Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (1962:53) antara lain menyatakan bahwa keberhasilan ilmu tidaklah
didasarkan pada aturan-aturan induksi, tetapi bergantung pada keberuntungan, kecerdikan, dan
aturan- aturan penalaran deduksi murni dalam penalaran kritis. S

ehubungan dengan hal ini, Popper menegaskan bahwa induksi yang tepat bukanlah penentu
utama keberhasilan sebuah ilmu, tetapi menjadi ukuran batas antara ilmu yang benar dengan ilmu
gadungan (pseudo-science). Lebih lanjut dikemukakan kesimpulan-kesimpulan tentang induksi
sebagai berikut:

a. Tahap Induksi
Menurut aristoteles, hal khusus adalah kesatuan materi membetuk sebuah generalisasi
sebagai kesimpulan berdasarkan banyak observasi adalah sebuah mitos. Induksi bukan suatu
fakta psikologis, bukan suatu fakta kehidupan sehari-hari, dan bukan sebuah prosedur
ilmiah.

Prosedur aktual dari ilmu berkenaan dengan mengadakan perkiraan: meloncat pada
kesimpulan-kesimpulan sering terjadi

b. Tahap deduksi
Tahap ini kesimpulan-kesimpulan umum dibentuk menjadi premis-premis atau asumsi.

B. Tonggak Kedua: Francis Bacon

Tonggak kedua dalam sejarah perkembangan metode riset dicetus kan oleh Francis Bacon
(1561-1626) melalui karangannya "Novum Organon" yang merupakan bagian dari Instauratio
Magna.

Francis Bacon melalui Instauratio Magna secara positif hendak membangun kembali ilmu yang
baru, dan secara negatif menentang konsep-konsep tentang ilmu dari Aristoteles atau
Aristotelianisme,

Menurut Francis Bacon, jiwa rasional mempunyai tiga macam daya, yaitu (1) ingatan, (2)
imajinasi, dan (3) pikiran.

Daya ingatan menciptakan sejarah. Daya imajinasi menciptakan puisi, Sedangkan daya pikir
menghasilkan filsafat. Filsafat terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) Filsafat tentang Tuhan atau
Teologi Alam/Rasional, (2) Filsafat tentang alam, dan (3) Filsafat tentang manusia. Klasifikasi
tentang "ilmu" secara keseluruhan menurut Francis Bacon (Pearson: 314)
Francis Bacon menyatakan bahwa persyaratan pertama dari metode ilmiah adalah bahwa
ilmuwan hendaknya membersihkan dirinya dari prasangka dan kecenderungan-kecenderungan
agar kembali menjadi bersih seperti anak yang baru lahir.

Studi tentang alam telah dikaburkan oleh empat macam Idola yang menyerang pikiran manusia.
Keempat Idola tersebut, yaitu: (1) Idola tribus, (2) Idola specus, (3) Idola fori, dan (4) Idola
theatri.

Idola tribus adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan oleh kecenderungan yang melekat
dalam sifat manusia, yang menghalangi untuk mampu mempertimbangkan secara objektif,
misalnya manusia cenderung senang dengan hal yang menimbulkan kenikmatan pengindraan.

Idola specus adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan subjektivitas seseorang yang


berkenaan dengan watak, pendidikan, pem- bacaan dan pengaruh-pengaruh khusus yang
tertanam dalam diri seseorang.
Bab 6 Metodologi Sains Secara Umum: Abad 19 dan 20

A. Pilar ketiga: Perkembangan Abad 19

John Stuart Mill (1806-1873) berusaha merumuskan teknik- teknik induktif untuk menilai
hubungan antara kesimpulan dengan evidensi atau hal-hal yang menjadi sumbernya. Dalam
System of Logic dikemukakan aturan-aturan pembuktian hubungan sebab-akibat. Filsafat ilmu
Mill merupakan contoh induktivisme, yaitu sebuah pandangan yang menekankan pentingnya
penalaran induktif bagi ilmu. Ia memberi pernyataan yang sangat tegas tentang peranan
penalaran induktif, baik dalam hubungannya dengan penemuan hukum-hukum ilmiah maupun
pembenaran tentang hukum-hukum tersebut.

Dalam hubungannya dengan pola penemuan, posisi penganut induktivisme berada dalam garis
pandangan bahwa penyelidikan ilmiah adalah generalisasi induktif dari hasil-hasil observasi dan
eksperimen.

Dalam hubungannya dengan pola pembenaran, posisi penganut induktivisme berada dalam garis
pandangan bahwa sebuah hukum atau teori dinyatakan benar hanya jika evidensi sesuai dalam
mendukung skema induktif. John Stuart Mill adalah seorang yang berpropaganda efektif dalam
menyebarkan metode-metode induktif yang dikemukakan oleh Duns Scotus, Ockham, Hume,
Herschel, dan sebagainya.

Banyak yang menyebut bahwa metode tersebut sebagai metode penyelidikan eksperimental dari
Mill. Dia menekankan pada pen-tingnya metode tersebut dalam penemuan hukum-hukum ilmiah.
Ia membahas empat metode induktif, yaitu (1) Metode Persamaan, (2) Metode Perbedaan, (3)
Metode Variasi-variasi Konkomitan, dan (4) Metode Residu.

Mill mengemukakan tiga tahap dalam menggunakan Metode Deduktif, yaitu: (1) perumusan
seperangkat hukum-hukum, (2) deduksi atau penjabaran sebuah pernyataan tentang akibat re-
sultan dari sebuah gabungan khusus hukum-hukum tersebut di atas, dan (3) verifikasi.

Sehubungan dengan hal ini, Mill lebih menyukai bahwa setiap hukum diturunkan atau dijabarkan
dari sebuah studi tentang sebab yang relevan, yang bekerja secara terpisah, meskipun ia
membolehkan penggunaan hipotesis-hipotesis yang tidak diturunkan dari gejala. Hipotesis-
hipotesis adalah perkiraan-perkiraan tentang sebab yang dapat diharapkan oleh seorang ilmuwan
dalam kasus-kasus yang tidak praktis untuk mengusulkan hukum-hukum secara terpisah.

Mill sependapat bahwa penggunaan hipotesis dibenarkan apabila akibat-akibat deduktifnya


sesuai dengan hasil-hasil observasi. Bagaimanapun, Mill menetapkan persyaratan sangat keras
untuk melakukan verifikasi penuh terhadap hipotesis-hipotesis. Ia menuntut sebuah hipotesis
yang dapat dibuktikan, tidak hanya bahwa akibat-akibat deduktifnya sesuai dengan hasil-hasil
observasi, tapi menuntut juga bahwa tidak ada hipotesis lain yang menyatakan secara tidak
langsung fakta-fakta yang diterangkan.
Mill mempertahankan pandangan bahwa verifikasi yang lengkap tentang sebuah hipotesis
menuntut adanya hipotesis alternatif. Mill percaya bahwa verifikasi lengkap untuk menyelidiki
penyebab jamak dapat dicapai, meskipun ia sadar bahwa mengeluarkan hipotesis alternatif
adalah sulit, dan ia sangat berhati-hati dalam menilai status hipotesis dan teori. Mill
menganjurkan bahwa untuk masa yang akan datang, sebuah teori dapat dirumuskan yang
menerangkan tidak hanya gejala-gejala yang terjadi sekarang, tetapi juga dapat menyerap dan
memancarkan gejala-gejala yang tidak diterangkan oleh teori.
B. Pilar Keempat: Perkembangan Abad ke-20

TONGGAK KEEMPAT PERKEMBANGAN PADA ABAD 20

Percy Williams Bridgman (1882-1961) memperjuangkan sebuah orientasi metodologis yang


dikenal sebagai operasionalisme, yang menekankan pada operasi-operasi yang dilakukan untuk
member kan nilai pada konsep-konsep ilmiah.
Operasionalisme adalah sebuah pandangan tentang demarkasi konsep-konsep ilmiah, sebuah
pandangan yang sebagian bersumber pada tuntutan Newton bahwa ilmu eksperimental hanya
berhubungan dengan sifat-sifat yang nilainya dapat diukur.

Bridgman mengungkapkan bahwa pendapatnya tentang metodologi merupakan penegasan lebih


lanjut tentang sebuah metodologi yang telah dipraktekkan oleh para ilmu- wan tertentu seperti
Mach, Poincare, Dukem, dan Einstein. Misalnya, Mach dalam perumusan kembali mekanika
Newton, menyarankan sebuah definisi tentang "massa" dalam arti hasil-hasil dari operasi-operasi
yang dilakukan.

Definisi tersebut mempersya- ratkan bahwa perbandingan dua massa adalah sama dengan per
bandingan terbalik dari kecepatan dua benda di angkasa, yang diobservasi dalam kondisi-kondisi
yang telah ditentukan. Mach menyatakan bahwa sebuah definisi tentang massa dalam arti gerak-
gerak yang diobservasi adalah jelas lebih unggul daripada setiap definisi verbal semata, dalam
arti "kuantitas materi".

Dalam tulisannya yang terakhir, Bridgman juga membahas ke- terbatasan yang melekat dalam
analisis operasional. Salah satu keterbatasan tersebut adalah bahwa analisis operasional tidak
mungkin menentukan semua kondisi yang ada, apabila sebuah dilakukan operasi dilakukan.
Tetapi agar dapat digunakan dalam ilmu, sebuah harus dapat diulangi oleh setiap pengamat yang
berwenang (qualified). Prakteknya, para ilmuwan menduga bahwa sebuah oprasional tertentu
dapat diulangi, bebas dari adanya keragaman sejumlah besar faktor yang diperhitungkan.
Apakah asumsi ini dibenarkan, dengan sendirinya merupakan sebuah perkara yang berkenaan
dengan pengalaman. Bridgman menyatakan bahwa dalam banyak kasus, asumsi tersebut seolah-
seolah benar, tetapi ia mengingatkan bahwa sebuah perluasan operasi-operasi yang berguna pada
awalnya masuk ke dalam daerah-daerah pengalaman baru, mungkin memaksa para ilmuwan
untuk memperhatikan kondisi-kondisi yang tidak diketahui sebelumnya. Keterbatasan kedua dari
analisis operasional adalah keharusan untuk menerima beberapa operasi yang tidak dianalisis.
Karena alasan-alasan praktis, analisis operasional dalam arti operasi-operasi yang lain tidak
dapat berjalan terus dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Misalnya, konsep "lautan" mungkin
dapat dianalisis dalam arti operasi-operasi yang membentuk keseragaman.

Berkenaaan dengan masalah hipotesis-hipotesis pelengkap yana prinsip eksklusif dari Pauli, dan
hipotesis-hipotesis konstraksi d Lorentz, Prinsip Pauli adalah sebuah penambahan terhadap teo
atom dari Bohr-Sonimerfeld, Pauli mendalilkan bahwa tidak d dua elektron dalam sebuah atom
yang ada, dapat mempunyai perangkat dalam jumlah yang sama dalam jumlah kuantumnya.

Misalnya, dua elektron dalam sebuah atom mungkin berbeda, dalan momentum sudut orbitnya
atau dalam arah putarannya, Tambahan prinsip eksklusi terhadap teori umum tentang struktur
atom memungkinkan banyak prediksi tambahan harus dibuat berkenaan dengan spektrum atom
dan kombinasi kimia. Sebaliknya, hipotesis-hipotesis tidak menambah tingkat kepalsuan teori
ether yang ditambahi dengan hipotesis tambahan. Lorentz menganjurkan bahwa semua benda-
benda di bumi mengalami sebuah kontraksi kecil dalam arah gerak bumi menembus udara
sekelilingnya. Dengan menggunakan hipotesis ini, ia dapat memperhitungkan hasil dari
eksperimen Michelson-Morley. Michelson dan Morley menunjukkan bahwa kecepatan
perjalanan keliling dari cahaya adalah sama dalam semua arah pada permukaan bumi. Hasil
eksperimen iní tidak sesuai dengan teori ether. Berdasarkan teori tersebut kecepatan perjalanan
tersebut seharusnya lebih rendah dalam arah dari gerak bumi menembus udara, daripada dalam
arah tegak lurus pada gerak bumi tersebut. Hipotesis kontraksi dari Lorentz memperbaiki
kesesuaian antara teori ether dengan eksperimen, tetapi dalam arti adhoc. Tidak ada prediksi-
prediksi lebih lanjut ditarik dari teori ether yang diperluas. Popper menyebut hipotesis Lorentz
sebagai sebuah tambahan hipotesis yang seharusnya dikeluarkan dari ilmu empiris berdasarkan
ukuran kepalsuan. Popper memandang sejarah ilmu sebagai sebuah rangkaian dari perkiraan-
perkiraan, pembuktian-pembuktian kesalahan.
Bab 7 Metodologi Ilmu Pendidikan: Riset Kualitatif

A. Dasar Filosofis dan Karakteristik

Riset Kualitatif merupakan sekumpulan metode-metode pemecahan masalah yang terencana dan
cermat dengan desain yang cukup longgar, pengumpulan data lunak, dan bertuju pada
penyusunan teori yang disimpulkan melalui induktir langsung.

Desain dalam riset kualitatif tidak dirumuskan secara ketat terhadap variabel penelitiannya, tetapi
cukup dirumuskan secara garis besar dan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan peneliti. Oleh
karena itu, desain riset kualitatif bersifat berkembang (evolving), lentur (flexible), dan umum
(general). Pengumpulan data dilaksanakan secara lentur dimana peneliti sebagai instrumen
pengumpulan data yang utama, untuk mendapatkan data utama dan untuk mendapatkan data
lunak. Pengumpulan data yang dilakukan secara lentur, berarti sampel penelitian tidak sejak awal
ditentukan dengan tegas. Sampel pene- litian ditentukan dalam proses perjalanan pelaksanaan
pengumpulan data dengan berpegang teguh pada prinsip kecukupan yang ditentukan oleh peneliti
sendiri. Pengumpulan data tidak menggu- nakan instrumen baku yang telah dipersiapakan, tetapi
lebih tertuju pada data lunak, yaitu data yang kaya dengan gambaran tentang orang, tempat-
tempat kejadian, dan percakapan-percakapan. Pengolahan data tertuju pada penyusunan teori
deskriptif tentang makna, yang disimpulkan langsung secara induktif dari data lunak yang dapat
diperoleh (grounded theory). Sehubungan dengan hal tersebut, maka ciri-ciri riset kualitatif
menurut Bogdan dan Biklen adalah sebagai berikut:

a. Riset kualitatif menghendaki situasi-situasi alami (natural) sebagaimana adanya, sebagai


sumber langsung, dan peneliti adalah alat penelitian utama. Orang-orang yang melaksanakan
riset kualitatif melibatkan dan menggunakan sebagian besar waktunya dalam kesatuan-
kesatuan hidup bermasyarakat sebagaimana adanyn, misalnya di sekolah, keluarga,
kampung. dan sebagainya. Mereka mendatangi situasi-situasi kehidupan yang khusus
tersebut, karena mereka tertarik kepada masalah abungan manusia. Mereka merasa bahwa
perbuatan dapat dipahami dengan sangat baik apabila perbuatan tersebut diamati dalam
situasi-situasi yang terjadi sebagaimana adanya. Selanjutnya, stuasi-situasi yang telah terjadi
sebagaimana adanya harus dipahami dalam kaitannya dengan sejarah lembaga tempat
situasi-situasi tersebut terjadi atau dalam kerangka hubungan perbuatan-perbuatan yang
terjadi dalam kehidupan bersama dan dalam waktu tertentu. Mereka berasumsi bahwa
tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh kerangka situasi hubungan dari perbuatan-
perbuatan yang terjadi di dalamnya.
b. Riset kualitatif adalah deskriptif, dalam arti yang dikumpulkan lebih merupakan kata-kata
atau gambar-gambar daripada angka- angka. Hasil-hasil tertulis dari riset kualitatif berisi
kutipan- kutipan yang sejauh mungkin dapat melukiskan dan menunjuk- kan keaslian
penggambaran. Data tersebut mencakup catatan-catatan wawancara, catatan-catatan studi
lapangan, hasil-hasil pemotretan, rekaman video, dokumen-dokumen pribadi, catatan-catatan
yang bersifat kenangan (memori), dan laporan-laporan resmi. Para peneliti kualitatif, dalam
memahami data yang baik, tidak mengubah cerita-cerita yang terdapat dalam berbagai
catatan tersebut menjadi angka-angka atau simbol-simbol yang menunjukkan angka. Mereka
berusaha menganalisis isi catatan catatan tersebut apa adanya. Ulasan-ulasan atau laporan
laporan hasil riset kualitatif adalah deskriptif, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai
laporan yang bersifat anekdot; yang menggambarkan peristiwa peristiwa khusus. Pendekatan
riset kualitatif dalam pengumpulan data, berpangkal pada asumsi bahwa tak ada sesuatu pun
yang tidak berarti.
Sesuatu secara potensial mempunyai makna dalam rangka memperoleh pemahaman yang
menyeluruh. Pengumpulan data dalam riart kualitatif tidak dapat mengabaikan sesuatu hal
yang kelihatannya kecil atau sepele, karena sesuatu itu mempunyai hubungan dengan
keseluruhan suatu peristiwa yang terjadi.

c. Riset kualitatif lebih memusatkan penelitiannya tentang proses dari pada hasil. Riset
kualitatif lebih tertuju pada penelitian tentang rangkaian yang terjadi dalam kehidupan, dapat
berupa kegiatan-kegiatan sehari-sehari, cara-cara bekerja dan hidup serta interak, interaksi
sosial yang terjadi dalam lingkungan hidup.

d. Riset kualitatif cenderung menghendaki analisis data induktif dalam penyusunan teori,
sehingga teori yang dihas merupakan "the grounded theory", yaitu teori yang diangkat dari
bawah secara induktif. Para peneliti kualitatif mengumpulkan data atau evidensi bukan untuk
membuktikan kebenaran dan ketidakbenaran hipotesis yang telah ditetapkan sebelumaya
tetapi lebih tertuju kepada menyusun abstraksi-abstraksi yang didasarkan sekelompok data
yang telah dikumpulkan. Teori yang dikembangkan dalam riset kualitatif adalah yang
disusun dari bawah ke atas dan bukan dari atas ke bawah atau penurunan asumsi/dalil
menjadi hipotesis yang kemudaian dicek dengan data.

Penyusunan teori dalam riset kualitatif adalah langsung dari sejumlah data yang telah
dikumpulkan das kemudian diolah dengan menggunakan prinsip-prinsip penalaran induktif,
dan menghasilkan abstraksi-abstraksi data, yang oleh Glaser dan Strauss disebut "grounded
theory" atau teori dari bawah. Proses analisis data dalam riset kualitatif, seperti sebuah
cerobong asap di kapal Segala sesuatu adalah terbuka pada awal (atau di atas cerobong), dan
makin mendekati akhir pekerjaan (atau ke bawah cerobong) makin terarah dan khusus
Peneliti kualitatif merencanakan untuk menggunakan sebagian dari kegiatan-kegiatan
penelitiannya dalam rangka mempelajari pertanyaan-pertanyaan penelitian yang penting dia
berasumsi bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki sebelum melaksanakan penelitian,
tentang hal-hal penting yang perla ditanyakan dalam penelitian, belumlah cukup untuk dapat
memperoleh data yang memadai.
Pertanyaan-pertanyaaan penelitian dalam riset kualitatif terus berkembang berdasarkan
pengalaman-pengalaman penelitian yang sedang dilakukan Pelaksanaan pengumpulan data
yang terus berkembang menyebabkan proses analisis data yang terus berkembang makis
terarah dan khusus.
e. Riset kualitatif terutama bertujuan mengenali makna peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari secara alami. Peneliti kualitatif tertarik pada hal-hal yang menjadi latar belakang
dari perbedaan-perbedaan cara hidup atau garis pandangan hidup orang, yang oleh Bogdan
dan Biklen disebut participant perspective. Para peneliti kualitatif, dengan demikian
memusatkan perhatian mereka pada pertanyaan-pertanyaan seperti:
Hal-hal apakah yang mendasari orang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu?
Hal-hal apakah yang meng- Knggap sesuatu sebagai hal yang sudah selayaknya?

Riset kualitatif dengan menggunakan observasi lapangan, menurut Frederick Erickson


bertujuan: (1) lebih terarah kepada mengetahui struktur khusus dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi daripada mengetahui sifat-sifat umum peristiwa- peristiwa tersebut, (2) mengetahui
makna perspektif atau makna garis pandangan hidup dari para pelaku utama dalam
peristiwa-peristiwa khusus, (3) mengetahui lokasi titik-titik hubungan yang terjadi secara
sewajarnya, yang secara logis dan etis tidak dapat diamati melalui tekník observasi
eksperimental, dan (4) mengenali saling keterkaitan yang bersifat khusus, yang tidak dapat
diamati melalui teknik observasi eksperimental.

Lebih lanjut Erickson, Florio, dan Buschman dalam Field Work in Education Research
menyatakan bahwa observasi lapangan adalah cara terbaik untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut: (1) Apakah yang terjadi, terutama dalam aksi sosial yang
berlangsung dalam situasi-situasi khusus tersebut? (2) Apakah makna perbuatan-perbuatan
yang dilakukan pelaku-pelaku utama yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa khusus tersebut
terorganisasi dalam pola-pola sosial atau organisasi, dan dipelajarinya prinsip-prinsip budaya
untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari atau bagaimanakah orang dalam
situasi-situasi tersebut diorganisasi dalam kaitannya dengan cara-cara kehidupan sosial yang
diorganisasi dalam lingkup yang lebih luas, di tempat lain, dan pada waktu yang berlainan?
(Merlin C. Wittcock: 121), Lebih sederhana, G. Psathas dalam Phenomenological Sosiology
antara lain menya- takan, bahwa penyelidikan kualitatif terhadap orang-orang yang sedang
belajar mencakup pertanyaan-pertanyaan: (1) Apakah yang sedang mereka alami?, (2)
Bagaimana mereka meng- interpretasikan pengalaman tersebut?, dan (3) Bagaimana mereka
sendiri mengorganisasi dana sosial tempat mereka hidup? (Bogdan Biklen: 30)

B. Bentuk-bentuk riset

Metode-metode riset kualitatif yang digunakan dalam menyusun ilmu pendidikan antara lain
mencakup:

1. Metode fenomenologi
2. Komparatif
3. Historis
4. Interaksi simbolik
5. metode etnografis, dan
6. etnometodologi.
Metode fenomenologi pertama-tama diperkenalkan secara tegas oleh Edmund Husserl. Pada
dasarnya metode ini bermula dari gejala sebagaimana adanya, kemudian melakukan reduksi
eiditis (menghilangkan semua hal yang berkenaan dengan subjektivitas peneliti) dan reduksi
transenden (menghilangkan semua hal subjektivitas peneliti)
Metode fenomenologi adalah metode bermula dari makna yang melekat dalam gejala, agar dapat
menemukan eidos atau hakikat yang menjadi makna sebenarnya dari gejala-gejala.
Menurut Psathas, riset kualitatif pendidikan berkenaan dengan orang yang sedang belajar, yang
bertujuan dapat menjawab perta- nyaan-pertanyaan: (1) apakah yang sedang mereka alami; (2)
bagaimanakah mereka menginterpretasikan pengalaman tersebut; dan (3) bagaimankah mereka
sendiri menstrukturkan dunia kehidupan sosial mereka.

Langeveld dalam Beknopte Theoritische Paedagogiek menyatakan pendidikan merupakan gejala


yang terdapat dalam pergaulan antara anak dengan orang dewasa. Dalam situa gaulan tersebut,
terdapat unsur-unsur: (1) anak sebagai si terdidik; (2) orang dewasa sebagai pendidik, (3)
hubungan kewibawaan pendidikan; (4) penciptaan situasi dan kegiatan pendidikan sebagai alat
pendidikan, (5) lingkungan hidup bersama sebagai lingkungan pendidikan; dan (6) kedewasaan
sebagai tujuan pendidikan. Metode komparatif dalam pendidikan tertuju pada menemukan
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara sistem- sistem pendidikan nasional.

Sehubungan dengan hal ini, Bereday dalam Comparative Method in Education (1964)
mengemukakan bahwa metode komparatif dalam pendidikan terdiri atas empat langkah, yaitu:
(1) deskripsi, atau pengumpulan secara sistematik tentang informasi pendidikan di beberapa
negara; (2) interpretasi, atau analisis latar belakang sosio-kultural pendidikan dari setiap negara
yang akan dibandingkan; (3) penjajaran, atau pengkajian secara serempak beberapa sistem
pendidikan untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan secara linier, dan
(4) pembandingan secara keseluruhan antara sistem-sistem pendidikan yang dibandingkan,
Secara skematis, Bereday menggambarkan keempat langkah dalam metode komparatif.

Metode historis dalam pendidikan berkenaan dengan penggambaran apa yang telah terjadi dalam
dunia pendidikan selama kurun waktu tertentu. Proses dalam riset historis pendidikan mencakup
perekaman, analisis, dan interpretasi peristiwa-peristiwa pendidikan di lingkungan hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bab 8 Metodologi Ilmu Pendidikan: Riset Kuantitatif

A. Dasar-dasar Filosofi dan Karakteristik

Riset Kuantitatif merupakan metode pemecahan masal yang terencana dan cermat, dengan
desain yang terstruktur ketat, pengumpulan data secara sistematis terkontrol dalam kerangka
pembuktian hipotesis secara empiris (Hypothe Deductive Observational Procedure).
Desain dalam riset kuantitatif menentukan adanya penataan yang tegas tentang perangkat
variabel yang diselidiki dan karakteristik hubungannya. Oleh karena itu, desain riset kuantitatif
bersifat ditetapkan terlebih dahulu pola hubungan variabel-variabel yang diteliti (predetermin
dinyatakan secara tegas tersurat (formal); dan variabel-variabel serta hubungan-hubungannya
didefinisikan secara operasional (specific). Pengumpulan data terhadap sampel yang ditetapkas
secara acak dilakukan secara terawasi (ada variabel bebasiebe dan variabel tak bebas/akibat,
serta variabel pencampuran adalah pengukuran dengan menggunakan instrumen yang
terkalibrasi (tervalidasi). Dari sana diperoleh data keras. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan prosedur statistik inferensi yang tertuju pada pembuktian hipotesis.

Berdasarkan penjelas tersebut di atas, maka dapat kita kenali ciri-ciri riset kuantitatif sebagai
berikut:
a. Riset kuantitatif menghendaki adanya perekayasaan sda yang akan diteliti, dengan tereneana
memberikan suatu per kuan (treatment) tertentu, untuk mengetahui akibat-akibatnya
b. Riset kuantitatif adalah eksperimental atau percobaan y beetuju pada penyusunan teori yang
disimpulkan secara induktif dilakukan secara terencana, sistematis, dan terkontrol dengan baik
dalam bentuk desain fungsional maupun desain faktorial.

Riset kuantitatif lebih tertuju pada penelitian tentang hasil daripada proses sehingga data yang
dikumpulkan berupa data tentang akibat-akibat yang disebabkan oleh adanya perlakuan atau
perubahan variabel yang disengaja. 4 Riset kuantitatif cenderung merupakan prosedur
pengumpulan data melalui observasi untuk pembuktian hipotesis yang dideduksi dari dalil atau
teori (Hypothetico Deductive Observa- tional Procedure). 6 Riset kuantitatif terutama bertujuan
menghasilkan penemuan- penemuan, baik dalam bentuk teori baru atau perbaikan teori lama.
Apabila riset kualitatif dalam pendidikan berakar pada riset ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi
dan antropologi maka riset kuantitatif dalam pendidikan lebih berakar pada riset ilmu-ilmu
kealaman, yang disemangati oleh filsafat poitivisme atau neopositivisme. Oleh karena itu, riset
kuantitatif dalam pendidikan berakar pada perkembangan penggunaan metode induktif-deduktif
Aristoteles sampai mencapai bentuk yang terakhir, berupa Hypothetico Deductive Observational
Procedure. Aksioma-aksioma kaum positivisme yang mendasari riset-riset kuantitatif adalah
sebagai berikut:
a. Hakikat kenyataan (ontologi). Kenyataan adalah tunggal, dapat diamati dan dapat dibagi
dalam fragmen-fragmen.

b. Hakikat hubungan subjek dan objek (epistemologu. Subjek yang mengetahui dengan
objek yang diketahui adalah bebas tidak saling bergantung, dan membentuk sebuah
dualisme yang tegas.
c. Kemungkinan generalisasi (logika). Tujuan penyelidikan adalah mengembangkan suatu
sosok pengetahuan nomotetia dalam bentuk generalisasi yang kebenarannya tidak
bergantung pada waktu dan tempat (konteks)
d. Kemungkinan hubungan sebab-akibat (logika), Setiap tindakan dapat diterangkan
sebagai hasil (akibat) dari sebuah sebab yang nyata, yang dalam hubungannya dengan
waktu adalah mendahului akibat (atau sekurang-kurangnya terjadi serempak).
e. Peranan nilai dalam penyelidikon faksiolegii. Penyelidikan adalah bebas dari campur
tangan nilai dan dapat dijamin babwa penyelidikan yang digunakan adalah objektif.

B. Bentuk Riset Eksperimen

Riset kuantitatif dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimental. Riset eksperimen


merupakan penyelidikan yang penelitinya mengontrol kondisi-kondisi perlakuan dan pengaruh
dari luar.

Metode eksperimental berkenaan dengan gejala tentang sebab dan akibat. Kita menilai dinamika
sebab dan akibat dalam sebuah sistem tertutup dari kondisi-kondisi yang terawasi.

Apabila ditinjau dari desainnya, metode-metode eksperimental dapat dibedakan dalam empat
kelompok, yaitu:

(1) desain-desain Pra- Eksperimental (Pre Experimental Designs);

(2) desain-desain Eksperimental yang sesungguhnya (True Experimental Designs);

(3) desain-desain Eksperimental Rekaan (Quasi-Experimental Designs); dan

(4) desain-desain Korelasional dan Sebab Terbalik (Correla- tional and Ex Post Facto Designs).

Desain-desain Pra-Eksperimental dapat dibedakan dalam tiga macam bentuk, yaitu:

(1) One-Shot Case Study;

(2) One Group Pre- test-Posttest Design; dan

(3) Static Group Comparison.


One-Shot Case Study merupakan studi kasus sekali potret yang bertujuan mencoba
menerangkan sebuah akibat yang dihasilkan oleh sebuah sebab.

Bentuk desain eksperimental studi kasus sekali potret ini adalah sebagai berikut: X O. Bentuk
riset eksperimental ini telah banyak menimbulkan prasangka dan merupakan bentuk riset
eksperimental yang paling kurang dapat dipercaya.

One Group Pretest-Posttest Design merupakan desain eksperi- mental yang dilakukan dengan
cara memberi tes awal (pretest) dan terakhir (posttest) pada satu kelompok, yang bertujuan untuk
menilai pengaruh sebuah variabel. Bentuk desain riset eksperimentalnya sebagai berikut: 0, X
Og.

Bentuk riset eksperimental ini merupakan sebuah pendekatan naif yang bertumpu pada peng-
andaian dan kesejalanan dalam menetapkan kesimpulan. Static Group Comparison merupakan
penyelidikan yang dilakukan terhadap dua kelompok yang kurang lebih mempunyai
karakteristik yang sama, yang dipilih secara acak (random), Satu kelompok diberi perlakuan
sehingga merupakan kelompok eksperimental, dan kelompok satunya lagi tidak diberi perlakuan
sehingga menjadi kelompok pengontrol.

Tujuan riset eksperimental ini adalah mendapatkan pengaruh variabel pada satu kelompok dan
tidak pada kelompok lainnya.
BAGIAN EMPAT: Aksiologi ILMU PENDIDIKAN
Bab 9 Aksiologi Ilmu Pendidikan: Nilai-nilai Kegunaan Teoritis

A. Kegunaan bagi Ilmu dan Teknologi

Hasil Ilmu Pendidikan adalah konsep-konsep ilmiah tentang aspek-aspek dan dimensi-dimensi
pendidikan sebagai salah satu gejala kehidupan manusia. Konsep-konsep tersebut Sangat
berguna untuk meningkatkan pemahaman kita tentang berbagai aspek dan dimensi pendidikan.
Pemahaman tersebut secara potensial dapat dipergunakan untuk lebih mengembangkan konsep-
konsep ilmiah pendidikan, baik dalam arti meningkatkan mutu (validitas dan signifikansi)
konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada, maupun melahirkan atau menciptakan konsep-
konsep baru, yang secara langsung atau tidak langsung bersumber pada konsep-konsep ilmiah
pendidikan yang telah ada.

Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan secara potensial
mempunyai nilai kegunaan untuk mengem- bangkan isi dan metode Ilmu Pendidikan.
Disamping itu, secara potensial dapat pula membantu meningkatkan wawasan dan keyakinan
diri kita, baik sebagai ahli pendidikan atau teoretikus pendidikan maupun sebagai praktisi
pendidikan (pendidik dan pengelola pendidikan). Dengan kata lain, secara potensial dapat turut
serta mengembangkan mutu profesional teoretikus dan praktisi pendidikan. Konsep-konsep
ilmiah pendidikan memperluas khazanah pengetahuan tentang tingkah laku manusia sebagai
individu atau pribadi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk susila.

B. Kegunaan bagi Filsafat

Konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan oleh Ilmu Pendidikan, secara potensial dapat
mengundang berkembangnya kritik pendidikan, baik yang datang dari kalangan para pengamat
pendidikan pada umumnya, maupun yang datang dari kalangan para profesional pendidikan,
yang termasuk di dalamnya para ilmuwan pendidikan, para filosof pendidikan serta para
pengelola dan pengembang pendidikan.
Maraknya kritik pendidikan memberikan kondisi yang menunjang pada berkembangnya Filsafat
Ilmu Pendidikan. Konsep-konsep ilmiah yang dihasilkannya, secara potensial merupakan objek
material dari Filsafat Ilmu Pendidikan. Selanjutnya, apabila Filsafat Ilmu Pendidikan dapat
berkembang dengan subur dan sehat, maka akan mendorong perbaikan- perbaikan validitas dan
signifikansi konsep-konsep ilmiah pendidikan.
Bab 10 Aksiologi Ilmu Pendidikan: Nilai-nilai Kegunaan Praktis

A. Kegunaan Praktek Pendidikan

Pemahaman tenaga kependidikan secara komprehensif dan sistematis turut serta dalam
menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan menerangkan prinsip-prinsip bagaimana orang
melakukan pendidikan.
Penguasaan yang mantap terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan memberikan pencerahan
tentang bagaimana melakukan tugas-tugas profesional kependidikan. Pencerahan ini memberi
kejelasan tentang apa yang layak dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas profesional
kependidikan. Selanjutnya, kejelasan ini memberi rasa aman dan rasa pasti mampu dalam
mengerjakan tugas-tugas profesional, sehingga terciptalah rasa percaya diri.
Menurut penelitian, percaya diri merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang sangat
berpengaruh terhadap tercapainya keberhasilan atau efektivitas menjalankan tugas profesional
kependidikan. Konsep-konsep yang dihasilkan Ilmu Pendidikan, secara langung atau tidak
langsung dapat berguna bagi upaya peningkatan kelancaran dan keberhasilan praktek
pendidikan, baik dalam bentuk kegiatan pendidikan maupun pengelolaan pendidikan.
Pengenalan yang mantap tentang konsep-konsep ilmiah pendidikan (prinsip-prinsip pendidikan)
menumbuhkan kepercayaan diri atau keyakinan diri pendidik/pengelola pendidikan dalam
melakaanakan tugasnya. Hasil penelitian Arora Kamla menyatakan bahwa karakteristik pribadi
yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas guru mengajar adalah:
1. Kepercayaan diri
2. Rasa wajib dan tanggung jawab
3. Suara yang merdu dan khas, dan
4. Kesehatan yang baik
B. Kegunaan Seni Pendidikan

Di samping memberi kemungkinan berkembangnya teknologi nendidikan, penerapan konsep-


konsep ilmiah tentang pendidikan lam praktek, dapat pula memberi peluang pada
berkembangnya seni pendidikan.
Sebuah kegiatan pendidikan dikatakan sebuah seni sendidikan, apabila kegiatan tersebut tidak
saja mencapai hasil yang diharapkan; tetapi proses pelaksanaannya dapat memberi keasyikan
dan kesenangan, baik bagi peserta didik maupun pendidiknya. Dalam kegiatan pendidikan
sebagai seni, berlangsungnya suatu proses hubungan sosial, melibatkan emosi yang cukup
mendalam dan nilai-nilai kemanusian. Hal ini mengandung arti bahwa penerapan konsep-konsep

Resume Filsafat Ilmu Pendidikan: Sebuah Pengantar 32


ilmiah pendidikan dalam praktek pendidikan perlu memperhitungkan terpenuhinya kebutuhan
emosional, berupa rasa puas, rasa senang, atau rasa sejenisnya.

Dengan demikian, bentuk penerapan atau pengemasan konsep-konsep ilmiah pendidikan tidak
saja harus tepat dalam mengatasi masalah yang dihadapi praktek pendidikan, tetapi harus pula
memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan dalam menggunakan- nya.
Hal ini dapat dicapai hanya apabila dikemas dalam bentuk prosedur-prosedur dan teknik-teknik
pendidikan yang manusiawi dalam arti memperhitungkan aspek emosional. Pengembangan seni
pendidikan akan efektif apabila melalui pelatihan-pelatihan yang ntensif. Tanpa latihan
semacam ini sulit dicapai bentuk-bentuk yang bertahap seni. Perlu pula disadari bahwa banyak
konsep-konsep ilmiah pendidikan khususnya, dan teori-teori pendidikan pada umumnya
mempunyai pengaruh kecil terhadap praktek pendidikan. Sehubungan dengan hal ini, Jerome S.
Bruner dalam The Relevance of Education mengemukakan tiga alasan mengapa hal itu dapat
terjadi.

Pertama, karena teori pendidikannya salah;


kedua, karena tidak sesuai dengan masalah inti dalam praktek pendidikan; dan
Ketiga, karena teori pendidikannya terlalu abstrak sehingga tidak dapat dikelola.
Konsep ilmiah pendidikan yan salah dapat terjadi karena disusun melalui kesimpulan terburu-
buru yang kurang didukung dien fakta yang cukup memadai, sehingga tidak sesuai dengan
keyataan yang terjadi.

Resume Filsafat Ilmu Pendidikan: Sebuah Pengantar 33


Tentang Penulis

Dr. REDJA MUDYAHARDJO lahir di Cirebon, 26 Januari 1938 adalah dosen pada Fakultas Ilmu
Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia.
Latar belakang pendidikan dan latihannya meliputi: Sarjana Pendidikan Jurusan Filsafat Pendi dikan
IKIP Bandung (1965);
Innotech Three Month Training Programme in Educational Innovation and Technology Bangkok,
Thailand (1975); Latihan Penulisan dan Evaluasi Sistem Peng ajaran dengan Modul di Perguruan Tinggi
BP3K, Jakarta (1979); serta peserta Post Doktoral Program A dan B dalam Administrasi Pendidikan di
LPPD IKIP Bandung (1981). Pengalaman kerja yang pernah dilakoninya adalah sebagai dosen di
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (1971 -...); Angkatan Darat (1971-1984); Angkatan Laut
(1979-1980) serta dosen Sekolah Staf dan Pimpinan POLRI (1993 -...).
Sementara itu, jabatan yang pernah disandangnya, Wakil Ketua Jurusan Filsafat Pendidikan FIP IKIP
Bandung (1966-1968); Pembantu Dekan IV FIP IKIP Bandung (1968-1971); Sekretaris Jurusan
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga FIK IKIP Bandung (1971-1973); Staf Satgas Penilaian Pendidikan
PPNP Jakarta (1973-1975); Staf Pusat Penelitian dan Penilaian Pendidikan BP3K Jakarta (1975-1977);
Konsultan Ahli (Nasional) LPM-ITB dalam Pengembangan Sistem Administrasi Pendidikan Menengah
Umum (1993/1994); Instruktur Pelatihan Pesadikmenum Direktorat Pendidikan Menengah Umum
(1994) serta sejumlah pengalaman lainnya.
Segudang pengalaman penelitian juga pernah dilakukan Drs. Redja Mudyahardjo, di antaranya Anggota
Tim Survei Proyek Efisiensi Aparatur (PEA) Biro Organisasi Setjen Depdikbud Jakarta (1972); Ketua
Tim Teknis Monitoring Pelaksanaan Kurikulum SMP dan SMA Tahap I-VII (1976/ 1977-1982 / 1983);
Peneliti dalam studi kualitatif, kuantitatif, dan keuangan PEQIP (Primary Education lain-lain.a Quality
Improvement Project) untuk PT MLD / DHV (1996-1997), dan lain-lain.

Resume Filsafat Ilmu Pendidikan: Sebuah Pengantar 34

Anda mungkin juga menyukai