Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN MEMBACA

Philosophy of Educational Knowledge


An Introduction to the Foundations of Science of Education,
Philosophy of Education and Practical Pedagogic

(by WOLFGANG BREZINKA, 1978 The University of Konstanz, Germany


translated by JAMES STUART BRICE and RAOUL ESHELMAN)

Disusun untuk memenuhi tugas Aanvullen


Penilaian Akhir Semester Ganjil
Mata Kuliah: Landasan Epistemologis Pendidikan
Dosen: Dr. H. Babang Robandi, M.Pd

Disusun oleh:
Neneng Tsani
NIM 2002118

Disusun oleh:
Neneng Tsani/NIM 2002118

PROGRAM PASCASARJANA STUDI PEDAGOGIK


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020
Table of Contents
CONTENTS

Introduction: Pedagogics, Science and Metatheory

I. Science of Education

la. The Nomothetical Field of Study in Science of Education

lb. Historiography of Education

ll. Philosophy of Education


Ill. Practical Pedagogics
Conclusion: On the Variety and Unity of Pedagogical KnowIedge

1
Daftar isi

Daftar isi.....................................................................................................................................2
Introduction: Pedagogics, Science and Metatheory...................................................................0
I. Science of Education..........................................................................................................3
la. The Nomothetical Field of Study in Science of Education...............................................3
lb. Historiography of Education...........................................................................................42
II. FILSAFAT PENDIDIKAN..............................................................................................46
A. KONSEP-KONSEP FILOSOFI.......................................................................................46
B. PANDANGAN TENTANG FILOSOFI PENDIDIKAN.................................................48
C. KEKURANGAN NORMATIF DARI NORMATIF-DESKRIPSI PEDAGOGI.............49
D. NILAI DAN NORMA SEBAGAI MASALAH EMPIRIS, NORMATIF DAN
EPISTEMOLOGIS..................................................................................................................50
E. TUGAS DAN MASALAH FILOSOFI NORMATIF PENDIDIKAN.............................53
F. FILOSOFI NORMATIF TUJUAN PENDIDIKAN DAN METATHEORY...................55
G. ETIKA NORMATIF BAGI PENDIDIKAN DAN FILOSOFI NORMATIF GURU
DAN ORGANISASI PENDIDIKAN......................................................................................57
III. Practical pedagogy........................................................................................................60
PENUTUP................................................................................................................................63

2
Introduction: Pedagogics, Science and Metatheory

Pendahuluan :pedagogik, Sains dan Metateori


Manusia memiliki perilaku bersandiwara yang luas, tindakan-tindakan tersebut termasuk sebagai
“pendidikannya”. Tindakan pendidikan berbeda dengan tindakan lain. Tindakan mereka dimotivasi oleh
tujuan mereka yang pasti ingin menghasilkan efek tertentu pada satu atau lebih orang lain. Tindakan
pendidikan diarahkan pada sesame makhluk manusia; Mereka adalah tindakan interpersonal atau social.
Orang yang mendidik disebut “pendidik” dan “orang yang berpendidikan” dalam terminology pedagogis,
murid sebagai “objek penelitian” atau “penerima pendidikan”. Hasil akhir yang diinginkan oleh pendidik
adalah keadaan kepribadian tertentu. Pendidik berusaha membantu pendidik dalam memperoleh dan
mempertahankan kemampuan, keterampilan, pengetahuan, sikap, perilaku dan keyakinan tertentu.ini bisa
melibatkan beragam pengalaman dan kesiapan atau kecenderungan perilaku yang dapat dikelompokkan
bersama dalam konsep disposisi psikis. Setiap orang yang mendidik bertujuan untuk mempengaruhi
pembangunan disposisi psikis pendidik.
Tindakan mendidik selalu berkaitan dengan mempengaruhi kehidupan batin “pendidik dengan
memperbaiki atau menetapkan”. Pendidikan dianggap sebagai pembentukan jiwa sebagai suatu seni yang
“membentuk” seseorang agar ia menerima bentuk yang tepat. Pendidikan terdiri dari serangkaian
tindakan panjang yang ujungnya tidak terletak pada diri mereka sendiri, melainkan pada tujuan akhir di
mana mereka diarahkan.
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kondisi hidup masyarakat. Pendidik dan pendidik bergantung
pada pengalaman dan perilaku mereka pada berbagai kondisi eksternal yang dapat dimasukkan
berdasarkan konsep lingkungan, ruang hidup, dan lingkungan. Individu memperoleh sebagian besar dari
rata-rata orang-orang yang mereka tumbuh bersama, dari kelompok di mana mereka tinggal,
membungkuk, mereka mengadopsi makna ini secara seektif dan memodifikasinya dalam jalan masing-
masing.
Dalam usaha pertama untuk menemukan ilmu pengetahuan empiris, materi pelajaran sains disebut
pendidikan sebagai fakta. Pendidikan seperti yang dipraktekkan dalam masyarakat tertentu dikatakan
memiliki “kenyataan yang sama” seperti fakta social lainnya. Subjek pelajaran ilmu pengetahuan
dianggap “pendidikan sebagai fakta budaya”. “pendidikan realitas” atau “fenomena pendidikan”.
Pendidikan sangat memiliki bidang studi yang luas dan rumit. Beberapa sub bidangnya merupakan
bidang studi ilmu pengetahuan lainnya, khususnya psikologi dan sosiolog.
Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu Teoritis, Empiris, Praktis dan Normatif
Ilmu pendidikan sebagai ilmu normatif
Ilmu pendidikan adalah termasuk ilmu pengetahuan empiris yang diangkat dari pengalaman pendidikan,
kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis dengan menempatkan kedudukan ilmu
pendidikan di dalam sistematika ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan normative, ilmu
pendidikan merumuskan kaidah atau pedoman atau ukuran tingkah laku. Sesuatu yang normative berarti
berbicara tentang baik buruknya perilaku manusia. Ilmu pendidikan merumuskan peraturan-peraturan
terhadap tingkah laku manusia untuk mencapai keteraturan hidup, karena keteraturan hidup akan
menjamin kelangsungan keeratan (kohesi) hubungan antar manusia (hubungan social manusia).
Ciri-ciri pendidikan ilmu normative :
Ilmu pengetahuan normative selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang tidak hanya diperoleh
dari pengalaman dan praktek mendidik dan pendidikan, tapi didapat dari sumber norma filsafat
(pandangan hidup seseorang atau masyarakat) keyakinan beragama atau rasa spirit keagamaan yang
dianutnya.
Ilmu pengetahuan normative erat kaitannya dengan pengetahuan filsafat, sehingga melahirkan filsafat
pendidikan. Guru atau pendidikan harus selalu mengikat diri sesuai kaidag filsafat pendidikan.
Pendidikan normative meliputin pendidikan agama, etika, budi pekerti yang tergolong pendidikan
pengembangan kepribadian.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan dikatakan sebagai ilmu normative adalah
memberikan aturan-aturan terhadap tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Aturan- aturan
tersebut mencakup etika, norma, agama dan lain sebagainya yg jelas engatur tentang tingkah laku
manusia dalam kehidupannya.
Pendidikan sebagai ilmu praktis dan teoritis.
Ilmu pendidikan adalah termasuk ilmu pengetahuan empiris yang diangkat dari pengalaman pendidikan,
kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis dengan menempatkan kedudukan ilmu
pendidikan di dalam sistematika ilmu pengetahuan. Ilmu pendidikan bersifat normatif, berarti pendidikan
juga bersifat praktis karena pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan dalam kehidupan,
sehingga pendidik bertugas menanamkan system-sistem norma tingkah laku manusia yang dibanggakan,
dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam mendidik teoritis para cerdik pandai mengatur
dan mensistemkan di dalam pemikiran masalah yang tersusun sebagai pola pemikiran pendidikan. Jadi
dari praktis-praktis teoritis ini, pendidikan disusun secara teoritis.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai ilmu praktis adalah suatu
praktek pendidik untuk mendapatkan kemudahan, kenyamanan dalam mencari pengetahuan. Pendidikan
sebagai ilmu teoritis adalah pendidikan dilaksanakan berdasarkan teori yang sudah ada untuk
mempermudah jalannya pendidikan.
Pendidikan sebagai ilmu empiris
Ilmu pengetahuan harus bersifat empiris artinya kesimpulan atau konklusi ilmu pengetahuan yang diambil
harus tunduk kepada pemeriksaan atau verifikasi indra manusia, maka kaidah logika formal dan hokum
sebab-akibat harus menjadi dasar kebenaran yang bersifat realitas, objektif, dan netral.
Peranan dan kedudukan ilmu pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan
Peranan ilmu pendidikan dalam penyelenggara pendidikan
Ilmu pendidikan mempunyai peranan sebagai perantara dalam membentuk masyarakat yang mempunyai
landasan individual, social dan unsur dalam penyelenggaraan pendidikan. Pada skala mikro pendidikan
bagi individu dan kelompok kecil berlangsung dalam skala unsur terbatas seperti antara unsur sahabat,
antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan
istri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia
sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaannya yang baik dan
lengkap.

1
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Pendidikan Nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia
Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional dan penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kedudukan Ilmu Pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan
Ilmu pendidikan adalah ilmu yang mempelajari serta memproses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan, proses, cara, pembuatan mendidik. Ilmu pendidikan sebagai suatu ilmu harus dapat bersifat :
Empiris, karena objeknya dijumpai dalam dunia pengalaman.
Rokhaniah, karena situasi pendidikan berdasar atas tujuan manusia tidak membiarkan peserta didik
kepada keadaan alamnya.
Normative, karena berdasar atas pemilihan antara yang baik dan yang buruk.
Histories, karena memberikan uraian teoritis tentang system-sistem pendidikan sepanjang jaman dengan
mengingat latar belakang kebudayaan dan filsafat yang berpengaruh pada jaman tertentu.
Praktis, karena memberikan pemikiran tentang masalah dan ketentuan pendidikan yang langsung
ditujukan kepada pembuatan mendidik.
Kedudukan ilmu pendidikan itu berada di tengah-tengah ilmu yang lain dalam penyelenggaraan
pendidikan. Ilmu pendidikan ialah suatu ilmu pengetahuan yang membahas masalah yang berhubungan
dengan pendidikan, sedangkan definisi yang terpenting dari suatu pendidikan itu sendiri yaitu :
Meningkatkan pengetahuan, pengertian, kesadaran dan toleransi. Meningkatkan questioning skills dan
kemampuan menganalisakan sesuatu termasuk pendidikannnya. Meningkatkan kedewasaan individu.
Pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau asasi dalam hidup manusia dimana ada kehidupan
disitu pasti ada pendidikan. Pendidikan adalah upaya sadar untuk mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki manusia, melahirkan teori-teori pendidikan.

2
I. Science of Education

la. The Nomothetical Field of Study in Science of Education

Pendidik mencoba ... melalui pertanyaan yang benar tentang


alam ... untuk mengeksplorasi keabsahan fenomena yang
terjadi di hadapannya, dan dengan demikian juga untuk menemukan bagaimana mereka
dapat dimodifikasi sesuai dengan niat dan rencana.
FRIEDRICH Herbart (1804) 1

Siapa pun yang berpikir serius tentang masalah bagaimana untuk mewujudkan tujuan
pendidikan tertentu dipaksa untuk mencari keteraturan nomological tertentu yang harus
kebutuhan diperhitungkan dalam tindakan pendidikan. Dalam pengertian ini, pendekatan yang
berkaitan dengan perolehan pengetahuan nomologis selalu mendapat tempat, bahkan dalam
pedagogik tradisional. Namun demikian, sampai saat ini kami telah hampir tidak maju di luar
beberapa anggapan yang relatif cukup beralasan, dan masih tidak tahu di mana jenis of situation
mereka atau tidak benar. Pedagogik tradisional tetap secara nomologis - dan dengan demikian
juga secara teknologi - tidak memuaskan.
Salah satu alasan untuk ini tidak diragukan lagi terletak pada fakta bahwa  hingga sekarang
teori-teori pendidikan telah dirumuskan tanpa cukup untuk masalah kausal-analitis dan metode
ilmiah yang sesuai untuk memecahkan mereka. Tidak hanya pemahaman yang jelas tentang
masalah tersebut, tetapi juga metode yang diperlukan untuk menyelesaikannya masih kurang.
Begitu kebutuhan ini diakui dan upaya yang dilakukan untuk memenuhi itu, menjadi jelas
bahwa penelitian pendidikan empiris harus diperkuat dan berteknologi hasil yang bermanfaat
harus diharapkan dari itu.
Namun, fakta bahwa pengetahuan kita tentang cara yang tepat untuk mewujudkan tujuan
pendidikan  sangat terbatas tidak semata-mata disebabkan praktek banyak teori pendidikan
melanjutkan dari pengandaian yang berbeda tentang tugas ilmu mereka (dan dengan demikian
juga dari prinsip-prinsip metodologis lainnya) dari yang dibahas dalam filsafat ilmu yang
dirumuskan oleh filsafat analitik. Ada alasan lain juga. Lebih dari apa pun, itu adalah masalah
yang melekat dalam materi pelajaran itu sendiri yang menyebabkan keterbelakangan ini
pengetahuan teknologi pendidikan kita. Pada  awal tahun 1852, Theodor Waitz mengarahkan
perhatian kesulitan ini ketika ia menyebutkan "yang tengkar besar penyebab" di mana tindakan
pendidikan intervensi. "Sebuah ilmu pendidikan benar-benar lengkap akan dapat tepat
menentukan setiap keadaan mental yang mungkin dari murid dengan segala sebab dan
akibatnya dan untuk benar-benar menjelaskan jumlah dan jenis dari setiap pengaruh yang
mungkin diberikan oleh pendidik "z. Ilmu pendidikan dalam pengertian ini sama sekali tidak
mungkin. Waltz didukung pandangannya dengan menunjuk ke tak terhitung berbagai terus
berubah pengaruh yang educands terkena, dimana "konsekuensi banyak, memang jauh sebagian
besar pengaruh yang diberikan pada murid juga tidak Corne cahaya atau melakukannya hanya

3
secara tidak langsung" . Bahkan dalam kasus-kasus di mana educands jangan mencapai
menyatakan pendidik mereka telah merencanakan untuk mereka, itu tidak bisa dikatakan
dengan pasti "berapa banyak dari keberhasilan ini dapat masing-masing dikaitkan dengan
karakter pendidik individu, siswa dan keadaan eksternal" 3 . Banyaknya faktor yang paling
tidak diketahui sebagian yang berperan dalam perkembangan keadaan kepribadian tertentu
memperkenalkan " tingkat ketidakpastian yang tinggi ke dalam penilaian empiris tentang
keefektifan sarana pendidikan individu".
Mengingat kesulitan-kesulitan ini, tidaklah cukup hanya menghadapi kenyataan pedagogik
tradisional yang tidak memuaskan dengan cita-cita ilmu pendidikan empiris yang dirumuskan
sebagai garis besar yang menjanjikan. Sebaliknya, perlu untuk menggambarkan aspek-aspek
tertentu dari ilmu pengetahuan dan bagaimana mereka dapat direalisasikan. Kita perlu
mencapai kejelasan tentang masalah yang harus diselesaikan dan hambatan untuk
menyelesaikannya.

MASALAH DAN HIPOTESIS SEBAGAI TITIK AWAL

Seseorang hanya bisa memperoleh pengetahuan dari kenyataan dengan mendekatinya


dengan pertanyaan-pertanyaan yang jelas. Tidak masuk akal untuk mengamati segala sesuatu
yang dapat diamati dan percaya bahwa hasilnya nantinya dapat digunakan. Dunia ini luar biasa
rumit dan jumlah diamati benda hampir tak terbatas. Jadi yang disebut "realitas pendidikan"
juga sangat rumit. Ini tidak hanya ada untuk dipelajari secara ilmiah, tapi pertama harus
ditentukan oleh modus kami penyelidikan". Realitas pendidikan tidak jelas batas-batasnya,
tetapi merupakan lebih  segmen realitas yang mengungkapkan dirinya hanya setelah dunia
diamati dari titik tertentu Apa yang kita sebut realitas pendidikan adalah seleksi dari
melimpahnya hal-hal yang ada yang dibuat berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang kita
ajukan dan asumsi-asumsi yang kita buat. Dalam pengertian ini realitas pendidikan adalah
sebuah konstruksi, produk imajinasi manusia.

benar Memang bahwa tidak ada pendekatan fakta bebas 1968:... dari asumsi sebelumnya
Sebaliknya, kami melakukan pengamatan karena kami memiliki harapan tertentu, asumsi-
asumsi teoritis atau hipotesispernyataan. dalam cara yang sama, tentang observasi s (deskripsi)
adalah "selalu interpretasi dari fakta yang diamati ... dalam terang teori" 6. Pengetahuan ilmiah
diperoleh , bukan dengan mengumpulkan hasil observasi, tetapi dengan membuat asumsi yang
relatif beralasan yang kemudian diuji secara menyeluruh. Asumsi ini selalu didasarkan pada
keadaan pengetahuan kita saat ini tentang subjek tertentu. Kami membangun "pada ilmu
kemarin, yang pada gilirannya dibangun di atas ilmu sebelumnya, dll .; ilmu tertua dibangun di
atas pra-ilmiah mitostt7• Kita tidak bisa, bahkan jika kita ingin, mengabaikan semua pengetahuan
diwariskan dan mulai dari mulai tanpa pengetahuan sebelumnya teoritis -. "teori bebas" Ilmu
tidak dimulai dengan fakta-fakta, tetapi dengan masalah dan upaya untuk
8
menyelesaikannya untuk.. Pengamatan (termasuk yang diperoleh secara eksperimental)
berfungsi untuk menguji hipotesis tersebut atau solusi dicoba mereka pernyataan yang berdiri 
pengujian ini dapat sementara dianggap sebagai dikonfirmasi-.
dalam ilmu pendidikan seperti dalam setiap disiplin lain -penting adalah untuk pertama
menetapkan sebagai persis seperti mungkin apa yang ingin tahu dan masih tidak pengamatan
apa yang kita ingin membuat dan fakta-fakta yang bisa menjadi. penting tergantung pada sifat
4
dari masalah spesifik yang kita pilih untuk dipelajari dan dugaan kita sebagai solusi yang
mungkin.
Jika kita mempertimbangkan pedagogik tradisional dalam terang ap yang disebutkan di
atas proach, kita akan segera melihat dua kekurangan utama. Yang pertama adalah kurangnya
perbedaan yang memadai antara ada dan seharusnya, realitas dan cita-cita, antara pernyataan
dan tuntutan, dan antara pengetahuan dan keputusan. Karena itu, terlalu sedikit perhatian yang
diberikan pada perbedaan antara masalah ilmiah-teknologi dan masalah moral.
Kelemahan utama kedua adalah bahwa dalam pedagogi tradisional masa lalu (setidaknya
cabang berurusan dengan realitas pendidikan) dibayar sedikit perhatian untuk mendefinisikan
masalah daerah tertentu dan dengan demikian terdapat sedikit di jalan hipotesis khusus dan
masalah. Banyak yang secaratelah tidak kritisdisahkan sebagai pengetahuan yang tidak lebih
dari keyakinan subjektif yang belum teruji. Hal itu jarang mengakui bahwa pengetahuan nyata
seperti tidak lengkap, tidak tepat dan dipertanyakan, dan banyak yang akan diperlukan bagi kita
untuk mengetahui masih belum diketahui. Aturan dan resep dasar dirumuskan sebelum fakta
yang relevan diketahui. Sebagai hasil dari ketidaktertarikan ini dalam merumuskan masalah
tertentu, informasi konten dari pedagogi telah tetap relatif terbatas, dan pernyataan yang telah
lama dianggap sebagai tidak ilmiah dan sedikit penggunaan  untuk praksis pendidikan9•
Dalam upaya untuk memperbaiki keadaan malang ini urusan, pelopor ilmu pendidikan
empiris menekankan di atas semua itu subyek ilmu pendidikan pertama harus diamati dan
digambarkan  sebagai "diberikan", sebagai  "besar,yang faktadiberikan"10. Dalam kata-kata
salah satu peneliti awal ini, " hampir tidak ada detail praksis pendidikan yang telah dijelaskan
dengan andal dan menyeluruh" 11. Untuk itu Aloys FISCHER menyerukan "pedagogi
deskriptif" - sebuah konsep yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Rudolf
Lochner12.Dalam menggunakan nama ini, kedua penulis berusaha hanya untuk menekankan
bahwa mereka berarti ilmu empiris pedagogi, tidak menjadi bingung dengan "pedagogi
normatif" yang, atas dasar keyakinan ideologis, berspekulasi tentang apa tujuan dan metode
pendidikan harusl3• Proposal untuk mendeskripsikan yang "diberikan" semata-mata dihasilkan
dari keinginan untuk meneliti situasi pendidikan secara spesifik, alihalih - meneruskan "lagi dan
lagi gambaran yang salah" dari fakta14. Proposal ini sangat cocok untuk masa pertumbuhan ilmu
pendidikan - suatu tahap yang bahkan sampai saat ini bidang tersebut hampir tidak muncul.
Program penelitian ini diarahkan pada deskripsi dan klasifikasi "pendidikan sebagai
realitas", bagaimanapun, kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman bahwa pengamatan
harus dan bisa "teori bebas" atau "dilakukan tanpa asumsi sebelumnya". Deskripsi "fakta-fakta
di giveness pra-teoritis alam mereka" dikatakan untuk berdiri "di awal semua ilmu
pengetahuan" dan ia berpikir bahwa "mungkin formulasi masalah" ilmu pendidikan dapat
ditemukan dalam deskripsi ini15. Untuk secara akurat mempersepsikan subjek tersebut
mensyaratkan bahwa ilmuwan menjauhkan dirinya dari semua praanggapan substantif dan
"dengan tegas menolak keyakinan danpra-sains anggapan" 16.
Pernyataan seperti memperlihatkan naif empirisme yang secara langsung bertentangan
dengan temuan psikologi kognitif bahwa setiap observasi harus didasarkan pada prasangka
teoritis. Empiris naif memegang deskripsi dari hasil pengamatan (biasanya disebut "fakta" atau
"data") untuk menjadi dasar atau sumber pengetahuan. Untuk alasan ini mereka gagal untuk
memahami pentingnya perumusan hipotesis sebagai langkah pertama dalam mencapai
pengetahuan nomological. Teorisme, di sisi lain, menekankan bahwa adalah tidak mungkin

5
untuk meneliti apapun aspek dari realitas tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan teori
sebelumnya

asumsi dan berbagai kemungkinan kriteria seleksi17. Oleh karena itu, penelitian dimulai
dengan mencoba untuk mengklarifikasi dan membedakan asumsi-asumsi ini tentang realitas ke
titik di mana peneliti dapat merumuskan hipotesis dan menguji tertentu (melalui observasi yang
dipandu secara teoritis) apakah mereka sesuai dengan kenyataan.
Dengan demikian, titik awal penelitian dalam ilmu pendidikan adalah asumsi atau pendapat
sementara tentang tindakan pendidikan (atau pada lembaga pendidikan) dan konsekuensinya
dalam kaitannya dengan aspek lain dari situasi pendidikan. Asumsi atau pendapat ini sebagian
berasal dari ajaran pendidikan tradisional dan sebagian lagi dari pengalaman sehari-hari.
Mereka adalah teori pra-sains yang bisa jadi relatif tidak tepat, tidak lengkap, tidak
berdiferensiasi, atau tidak benar. Tujuan penelitian adalah untuk memperbaikinya agar sampai
pada teori yang dikonfirmasi secara ilmiah. Hal ini dimungkinkan hanya jika kita pertama
mendapatkan kejelasan tentang apa teori ilmiah adalah. Hanya dengan begitudapat kita
memeriksa apakah ada berbagai jenis teori yang sesuai dengan berbagai bidang subjek. Sebuah
pertanyaan penting di sini adalah apakah sistem pernyataan dianggap teori dalam ilmu alam
juga dapat berfungsi sebagai model untuk ilmu-ilmu sosial dan budaya. Yang paling kita
butuhkan di atas segalanya adalah teori ideal dalam ilmu pendidikan dan pemahaman
bagaimana hal ini dapat diwujudkan.

TEORI ILMIAH  SEBAGAI TUJUAN  PENELITIAN

Kata "teori" memiliki banyak arti. Dalam bahasa sehari-hari, ini umumnya digunakan


untuk menunjukkan kebalikan dari "praktik". "Latihan" mengacu pada setiap jenis tindakan atau
aktivitas; "teori" di sini berarti sistem pemikiran, opini,, pandangan atau pengetahuan yang
berhubungan dengan materi pelajaran18 tertentu. Ketika membuat perbedaan sederhana antara
"teori" pengetahuan dan "praktek" sebagai tindakan harus diingat bahwa tidak  ada tindakan
tanpa sepengetahuan dan tidak ada praktek tanpa teori.
Karena setiap teori dinyatakan dalam bahasa, kita juga bisa menggambarkan teori sebagai
suatu sistem pernyataan (atau sistem pernyataan). Jelas ada berbagai macam sistem pernyataan
yang istilah "teori"  diterapkan. Dalam buku ini, misalnya, kita telah merujuk, tidak hanya pada
"pra-sains" dan "ilmiah", tetapi juga "filosofis" dan "teori praktis". Apa, kemudian, adalah
perbedaan antara sistem pernyataan ditunjuk sebagai "teori ilmiah" dan jenis lain dari teori?
Jawabannya tergantung pada apa yang dimaksud dengan "sains". Dalam arti luas  kata, "ilmu"
bisa menjadi sistem pernyataan apa pun yang diberikan nama dan diajarkan oleh lembaga
pendidikan kita yang lebih tinggi. "Ilmu" dalam pengertian ini dengan demikian tidak hanya
mencakup sistem pernyataan dari alam, budaya dan sosial ilmu  tetapi juga orang-orang dari
yurisprudensi, filsafat dan Theology19. Definisi enumerative sejarah ketat budaya "ilmu" ini
tentu saja tidak memuaskan, untuk itu juga termasuk sistem pernyataan dogmatis seperti doktrin
agama (theologfO) atau Filsafat ideologis (misalnya Marxisme-Leninisme) yang mengejar
tujuan lain dan yang memiliki dasar yang berbeda dari matematika, ilmu alam dan sosial, dan
humaniora. Hal ini tidak selalu mudah untuk memisahkan teori-teori ilmiah dari pra-ilmiah,
ekstra teori-teori ilmiah atau non-ilmiah. Hal ini karena pengetahuan ilmiah tumbuh dari

6
pengetahuan sehari-hari dan berbeda dari hanya di tingkat21: "semua ilmu, dan semua filsafat,
tercerahkansehat" akal  22.
Karakteristik importarlt sebagian konsep umum ilmu umumnya dianggap fakta
bahwa pernyataan ilmiah sistem terdiri daripernyataan dibenarkan. Laporan dari sistem ilmiah
mengacu pada materi pelajaran yang sama dan terkait satu sama lain sebagai timbal balik
membenarkan23• Dengan ini dimaksudkan bahwa mereka saling mendukung satu sama lain dan
setidaknya untuk tingkat tertentu dapat diuji untuk konten kebenaran, kesamaan dengan
kebenaran24, probabilitas, atau derajat pembuktian. Sebuah teori  dianggap sebagai "ilmiah"
hanya setelah dasar keabsahannya dapat dinyatakan. Salah satu harus mampu menunjukkan
bagaimana seseorang telah datang untuk "tahu" hal-hal teori menegaskan atau mengapa
pernyataan teori ini benar25 •
kondisi umum yang paling ini untuk setiap pembenaran yang mungkin dari sistem
pernyataan ilmiah disebut  kriteria intersubjektif. testability Ini menetapkan pertama-tama
bahwa pernyataan yang tidak dapat diuji - yaitu yang konten kebenarannya tidak dapat
ditentukan - harus dikeluarkan dari sains. Ini adalah pernyataan yang tidak bisa dimengerti atau
yang maknanya sangat jelas bahwa seseorang tidak bisa mengatakan bagaimana mereka harus
ditafsirkan atau apa yang mereka menegaskan. Kedua, kriteria, ditetapkan bahwa tidak cukup
untuk isi kebenaran sistem pernyataan yang akan ditentukan oleh hanya satu hakim (subjek).
Intersubjektif (atau lebih tepatnya "trans-subyektif" atau "interpersonal", yaitu mungkin untuk
lebih dari satu orang) testabilitas berarti bahwa setiap orang yang cukup cerdas dapat, dengan
pelatihan dan materi yang tepat, menguji kebenaran dari sistem pernyataan yang diberikan 26• Ini
tidak berarti bahwa setiap pernyataan harus pada kenyataannya akan sangat diuji, "melainkan
hanya itu setiap pernyataan harus diuji, atau, dengan kata lain, seharusnya tidak ada pernyataan
dalam ilmu yang harus hanya diterima sebagai mereka karena secara logika mustahil untuk
mengujinya "27.

Kriteria daun testability intersubjektif membuka pertanyaan tentang bagaimana pengujian


tersebut harus dilakukan. Proses beton pengujian tergantung lebih pada materi pelajaran tertentu
yang teori ilmiah yang diberikan berkaitan. Ada perbedaan mendasar antara sistem pernyataan
yang berkaitan dengan realitas atau nyata situasidan materi pelajaran dan sistem pernyataan
yang berkaitan dengandikonseptualisasikan atau ideal materi pokok yang.
Ilmu-ilmu formal (logika dan matematika) mengobati hanya ideal subyek dan untuk alasan
bahwa teori-teori mereka berisi pernyataan hanya ideal. Untuk menguji pernyataan seperti itu
sudah cukup untuk menentukan apakah atau tidak mereka saling bertentangan. Jika dapat
dibuktikan bahwa mereka tidak bertentangan satu sama lain, maka mereka dikatakan valid
secara logis. Hal ini dimungkinkan karena pernyataan semacam itu mengatakan tidakapa-apa
tentang realitas, melainkan hanya tentang hubungan yang ada dalam sistem konseptual, yang
pada gilirannya bersandar pada proposisi yang didefinisikan secara sewenang-wenang (postulat
atau aksioma). Teorikoherensi  kebenaran demikian yang sesuai untuk laporan pada subjek
yang ideal peduli28• ini mendefinisikan teori kebenaran sebagai kesepakatan bersama non
bertentangan pernyataan dalam sistem pernyataan yang diberikan. Pernyataan tersebut hanya
bisa benar atau salah dalam arti logis29•
Dalam ilmu-ilmuempiris, subjek nyata materi diteliti dan pernyataan yang dibuat tentang
realitas (reality klaim atau pernyataan empiris). Dimasukkan ke dalam bentuk yang sangat
disederhanakan, pernyataan tersebut diuji dengan membandingkan konten faktual mereka

7
menegaskan dengan realitas dan menentukan apakah ada kesepakatan. Co"Teori espondence
dari tmth3O, yang mendefinisikan kebenaran sebagai kesepakatan pernyataan dengan realitas,
berlaku untuk pernyataan empiris.
Realitas, bagaimanapun, adalah langsung dapat diakses kepada kita hanya melalui
pengalaman subjektif kita31• Hanya dalam kasus pernyataan tentang langsung pengalaman dapat
dengan mengalami subjek dengan pasti kebenaran dengan langsung perbandingandengan
kenyataan (di sini dipahami sebagai realitas subjektif yang orang yang diberikan telah
mengalami). Sebaliknya, realitas yang diduga ada di luar pengalaman langsung kami
(pengalaman-transenden atau realitas objektif, yang adalah apa yang ilmu pengetahuan empiris
berusaha untuk memahami dan menjelaskan) tidak segera hadir untuk dibandingkan. Hal ini
secara tidak langsung dapat diakses melalui pernyataan yang orang membuat tentang
pengalaman mereka (pernyataan observasional). demikian diwakili oleh konten hadir
observasional dalam pengalaman. ini konten  selalu teoritis ditafsirkan terlebih dahulu.
Kita bisa menunda sampai nanti diskusi tentang bagaimana spesifik teori ilmu empiris
dibenarkan atau divalidasi. Lebih cepat penting adalah untuk memperjelas apa "teori" adalah 
dipahami  dalam ilmu empiris. Dalam arti luas,  kata "teori" setara dengan "ilmu": suatu sistem
pernyataan tentang tertentu aspek dari realitas yang berdiri bersama-sama dalam suatu
hubungan membenarkan. Dalam hal ini, "sistem" berarti  bahwa pernyataan  terkait dan  telah
diselenggarakan dalam hal  konten. The "pembenaran" (atau validasi) dari pernyataan seperti
mengacu pertama  pada fakta bahwa mereka telah setidaknya sebagian dikonfirmasi oleh
pernyataan tentang fakta-fakta yang sudah dipastikan, dan kedua,  bahwa laporan dari sistem
tersebut saling mendukung atau  setidaknya  tidak bertentangan satu sama lain. Untuk
"membenarkan" pernyataan dalam ilmu empiris, tidak hanya empiris tetapi juga logis "alasan"
demikian diperlukan.
Konsep ini teori masih begitu umum yang   dapat diterapkan untuk semua pernyataan
sistem dari ilmu-ilmu empiris. Ini juga mencakupindividu atau historiografi pernyataanyang
sistemterbatas pada penelitian, penjelasan, dan klasifikasi fakta individu. Berbeda dengan
kelompok ilmu empiris yang studi peristiwa tunggal, ilmu nomothetical bertujuan untuk
menemukan keteraturan empiris32• pernyataan nomological tentang dunia nyata membentuk inti
dari sebuah teori ilmiah empiris dalam arti sempit  kata. Untuk ini alasan ilmu-ilmu
nomothetical  sering  disebut sebagai ilmu "teori".   Untuk memahami apa yang dimaksud
dengan "teori" dalam ilmu ini, pertama-tama perludengan jelas memahami apa yang "hukum"
adalah33•  Bagaimana hukum ilmiah - atau, lebih hati-hati,nomological pernyataan - berbeda
dari non-nomological (tunggal ,individu atau pernyataankebetulan) yang hanya
menggambarkan fakta, fenomena, keadaan, peristiwa atau proses individu?  Apa kriteria yang
menentukan untuk membangun hukum ilmiah?
Sampai sekarang, jawabannya tidak ada yang memuaskan untuk pertanyaan-pertanyaan
ini  telah ditemukan34. Dengan demikian  ada tidak satu tapi beberapa konsep dari "hukum"
35.  Dalam arti tujuan kata, "hukum" mengacu pada keteraturan yang ada dalam realitas,
terlepas dari apakah  kita   menyadarinya atau tidak. Keteraturan obyektif seperti itu biasanya
disebut sebagai "alam hukum". "Hukum kodrat adalah hubungan yang tidak- berubahubah dan
universal yang ada antara kondisi dan / atau proses nyata" 36. Pernyataan nomological harus
dibedakan dariobjektif. alam hukum Pernyataan seperti mengacu pada alam hukum dan sesuai

8
dengan mereka dalam lebih atau kurang tepat fashion. Hal ini sering mengatakan kiasan bahwa
pernyataan nomological "mencerminkan", "mereproduksi", atau "duplikat" hukum objektif37•

Orang-orang datang untuk menganggap keberadaan hukum-hukum alam atas dasar


pengalaman sehari-hari mereka yang pengulangan dan keteraturan ada di dunia: "karakteristik
tertentu dari kejadian yang diberikan muncul selalu dan di mana-mana sehubungan dengan
karakteristik tertentu lainnya" . Perhatian khusus diberikan untuk kasus-kasus di mana
kelompok tertentu karakteristik temporal mendahului penampilan kelompok lain karakteristik.
"Keadaan yang mendahului tertentu terjadinya sering diamati (A), biasanya dapat dibagi
menjadi dua kelompok -. Konstan dan variabel Ketika itu lebih menemukan bahwa kelompok
konstan  selalu diikuti dengan A, maka salah satu dapat menyatakan kelompok ini keadaan
untuk menjadi penyebab bersyarat dari A Bergandengan tangan dengan kesadaran dari khusus,
koneksi biasa antara fenomena sebagai abstraksi dari totalitasnya, ada sehingga
mengembangkan keyakinan koneksi yang diperlukan universal mereka satu sama lain. di luar
pengalaman, itu lebih jauh lagi mendalilkan bahwa bahkan dalam kasus-kasus di mana
penyebab fenomena specifiable tertentu belum terisolasi, penyebab tersebut harus tetap menjadi
stateable .... dengan menerapkan postulat ini, yang juga dapat disebut prinsip kausalitas,
pengetahuan kita terus-menerus diperkuat kembali oleh pengakuan berkelanjutan atas penyebab
bersyarat khusus. Dengan demikian, kami menetapkan sebagai hukum kodrat ... keteraturan
yang telah ditetapkan d dengan kepastian yang memadai dalam perjalanan peristiwa, sejauh
keteraturan ini tampaknya perlu dalam pengertian postulat yang disebutkan di atas "38.
Ilmu-ilmu nomothetical mencoba untuk menemukan sebanyak keteraturan ini mungkin.
Tujuannya adalah untuk menemukan faktor-faktor (unsur atau proses) terkait dan dengan apa,
cara  serta untuk menemukan apa yang terjadi di bawah kondisi tertentu
tertentu. Dalam penggunaan yang tepat, pernyataan yang menyatakan keteraturan seperti itu
disebut "pernyataan nomologis" atau "hipotesis nomologis". Berbicara kurang tepat, mereka
juga dapat disebut "hukum", sebagai singkatan dari "ilmiah hukum", meskipun yang kami
maksud tidak hukum objektif itu sendiri, tetapi rekonstruksi konseptual, Le. citra mental dari
mereka39•
Sebuah ilmiah undang-undang dapat didefinisikan sebagai "sebuah mengkonfirmasi
hipotesis ilmiah yang menyatakan hubungan konstan antara dua atau lebih variabel masing-
masing mewakili (setidaknya sebagian dan tidak langsung) properti dari sistem beton"40.
"Sistem" dalam pengertian ini mengacu pada sesuatu yang ada di dunia nyata. Konsep
"variabel" digunakan untuk menekankan bahwa hukum ilmiah tidak mengungkapkan hubungan
antara fakta individu, melainkan antara yang dipilih sub-elemen dari fakta-fakta. Dalam
membangun hubungan ini, baik kompleksitas situasi dan proses individu di dunia nyata maupun
individualitas elemen yang terlibat dalam hubungan tidak dipertimbangkan. Dibandingkan
dengan cara hal-hal terkait di dunia nyata, hukum ilmiah menggambarkan disederhanakan atau
diidealkan umum yang hubungan. Ini berlaku juga untuk semua sistem pernyataan dari tatanan
yang lebih tinggi yang mengandung pernyataan nomological, yaitu untuk hirarki hipotesis dan
teori41•
pernyataan nomological berbeda dari pernyataan lain terutama
42
melaluimereka umum karakter • Kata "umum" dalam hal ini menandakan sebaliknya dari
"tunggal", "individu", "tunggal", "khusus" atau "spesifik". Ini merujuk pada segala sesuatu yang
berlaku untuk semua anggota kelas, kesamaanatau bagaimana merekamereka mirip satu sama

9
lain. Pernyataan nominal bersifat umum karena menyatakan satu dan hubungan yang sama
antara bagian yang berubah atau dapat dipertukarkan (variabel). Kualitas umum ini berarti
bahwa banyak hubungan tunggal atau individu adalah kasus khusus dari hubungan umum dan
dapat dikelompokkan bersama di bawah hubungan ini43. Ada sejumlah jenis, tingkatan, atau
tingkat umum yang berbeda. Umum yang ketat berarti bahwa pernyataan ini berlaku tanpa
pengecualian untuk semua kasus setiap saat. Sebuah bentuk yang lebih lemah dari umum terjadi
ketika sebuah pernyataan berlaku sebagian besar waktu untuk sebagian besar atau hampir
semua kasus.
Pernyataan nomologis yang bersifat sangat umum menyatakan bahwa tanpa pengecualian
fenomena empiris tertentu atau bagian tertentu dari fenomena empiris terhubung satu sama lain
secara teratur . Lingkup validitas pernyataan semacam itu tidak terbatas. Berarti bahwa
keteraturan ini mengemukakan untuk semua kasus kelas tertentu di semua tempat dan setiap
saat. Hukum semacam itu dengan demikian disebut "universal" hukum dan memiliki bentuk
logis dari pernyataan bersyarat (universal) yang tidak terbatas secara spasial dan temporal: "jika
demikian, maka dalam semua kasus dan setiap saat". Yang disebutdasar hukum fisika
( misalnya hukum gravitasi) adalah semacam ini
Pernyataan nomologis yang berhubungan dengan sejumlah kasus yang terbatas dalam
lingkup realitas yang terbatas secara spasial atau temporer memiliki bentuk umum yang
terbatas. Pernyataan ini, juga, mempertahankan sesuatu tentang semua elemen a kelas tertentu
(misalnya "di antara semua orang primitif, kejadian penting memberi kesempatan untuk
upacara"). Pernyataan seperti itu mengikuti pola "jika demikian, maka selalu di ruang dan / atau
lokasi temporal ini". ("Jika kejadian penting terjadi dalam kehidupan masyarakat yang termasuk
dalam subkelompok masyarakat primitif, maka kejadian seperti
itumerupakan selalu kesempatan untuk upacara "). regional dan / atau Pernyataan nomologis
yang terbatas secaratemporer ini khas untuk sosial ilmu45.Bentuk mereka, bagaimanapun, dalam
banyak kasus statistik dan jarang yang universal (misalnya "Dalam kebanyakan pemuda
masyarakat primitif dikenakan ritus pubertas sebagai inisiasi menjadi dewasa").
Logika yang sama sekali berbeda berlaku untuk laporan nomological yang mengklaim
bahwa keteraturan terjadi dalam persentase tertentu dari kasus. Pernyataan semacam itu
adalah "probabilistik hukum" 46 atau "statistik hukum". (Lebih tepatnya, mereka harus disebut
"nomologis statistik pernyataan"). Hukum statistik mengungkapkan frekuensi relatif dari
peristiwa atau fenomena tertentu dalam berbagai peristiwa atau fenomena Hukum universal -
sederhananya - menyatakan bahwa "semua objek dengan kualitas P juga memiliki karakteristik
Q. statistik hukum Sebaliknya,menyatakan bahwa persentase tertentu dari objek yang memiliki
kualitas P juga memiliki karakteristik Q" 47 . Ada pengecualian untukstatistik, undang-undang
"tapi pengecualian ini datang ke kedepan dalam persentase reguler kasus". pernyataan seperti
ikuti pola "jika demikian, maka selalu dalam persentase tertentu dari kasus" 48.
sebuah undang-undang statistik mengatakan apa-apa tentang elemen individu suatu kelas,
tetapi selalu berlaku untuk kelas elemen individu. Ia mempertahankan bahwa dalam populasi
individu tertentu karakteristik tertentu terjadi dengan frekuensi tertentu (misalnya "the recidivi
tingkat sm untuk terpidana kejahatan adalah 95% "49). Frekuensi relatif ini
disebut matematis (atau statistik) probabilitas. Probabilitas matematis adalah "rasio kasus dalam
subkelompok dengan kasus dalam kelompok yang lebih tinggi" (atau, menggunakan contoh
sebelumnya, "rasio pelanggar berulang dengan jumlah total orang yang dihukum karena
kejahatan") 50. Insofar as this numerical relationship is based on a large number of cases, it can

10
serve to justify the expectation that under unchanging conditions the relative frequency of cases
of a subclass in relation to cases of a higher class will remain constant. Although in principle
nothing can be predicted for a specific actual event on the basis of a statistical law, the law
makes it possible to establish a reasonable belief or epistemological probability which (in the
sense of an estimate) corresponds to the average frequency of occurrence for a given
phenomenon in the sum total of cases51•
Sampai saat ini, penggunaan hukum probabilistik diasumsikan hanya akan menjadi bantuan
sementara sampai ditemukan hubungan nomologis yang sebenarnya. Dalam Sementara itu,
bagaimanapun, hal itu telah menjadi jelas bahwa semua hukum alam mungkin harus dianggap
sebagai, statisticallaws 52 . Dalam hal apapun dapat dengan aman berasumsi bahwa setidaknya
hukum atau hubungan nomological ditemukan dalam ilmu-ilmu sosial statistik.
Ini berarti bahwa pernyataan nomologis dalam ilmu sosial pada dasarnya bersifat hipotetis
(atau hanya benar secara kondisional). Derajat konfirmasi mereka (atau probabilitas
kebenarannya) 53 bisa lebih besar atau lebih kecil. Mereka hanya valid sementara, dan dapat
dikoreksi, ditambahkan ke, atau dibedakan seiring bertambahnya pengetahuan. Selain itu,
penting bahwa karakteristik validitas umum - yang penting untuk hukum ilmiah atau pernyataan
nomologis - ditafsirkan saat ini jauh lebih tidak ketat daripada di masa lalu. Ini cukup untuk
pernyataan nomological secara umum berlaku dalam hal tertentu (yaitu dalam kaitannya dengan
tertentu fenomena, kualitas, hubungan, variabel dan / atau spatio tertentu daerah duniawi)
dan untuk tingkat tertentu (suatu tempat antara "sebagian besar" dan "selalu "atau" sebagian
besar "dan" semua "). Akhirnya, karakteristik esensial lainnya dari pernyataan nomologis
adalah karakter sistemiknya: ia tidak dapat dipisahkan tetapi harus menjadi bagian dari teori.
Kesimpulannya, pernyataan nomologis dapat dicirikan sebagai berikut: itu adalah
pernyataan yang memiliki konten empiris atau hubungan dengan fakta dan "umumnya valid
dalam hal tertentu (yaitu tidak berlaku untuk objek unik)", itu telah " cukup dikonfirmasi untuk
waktu dan tempat tertentu dan termasuk dalam suatu teori (terlepas dari apakah berkembang
sepenuhnya atau tidak) "54.
Pencarian hukum alam atau hubungan nomologis berfungsi untuk memperluas
pengetahuan kita tentang dunia. Lebih mudah untuk memahami kompleksitas hal dan peristiwa
ketika kita terbiasa dengan hubungan yang terjadi berulang kali. Pernyataan nomologis
berfungsi untuk menertibkan pengalaman kita tentang realitas. Kami membutuhkan mereka di
atas segalanya, tidak hanya untuk menjelaskan peristiwa, tetapi juga untuk memprediksi yang
akan datang. Tanpa pernyataan nomologis yang darinya mereka dapat diturunkan, baik
penjelasan maupun prediksi 55 tidak akan mungkin.
Pernyataan nominal juga sangat diperlukan untuk memecahkan masalah teknis. Namun,
mereka hanya dapat digunakan untuk tujuan ini jika mereka terkait dengan pernyataan
nomologis lain dalam konteks teori.
Sebelum kita sekali lagi mengalihkan perhatian kita pada konsep teori yang digunakan
dalam ilmu nomothetical, pertama-tama kita perlu mengatakan sesuatu tentang berbagai tingkat
pernyataan nomologis.
Pada dasarnya, hukum ilmiah dapat memiliki generalitas yang rendah atau tinggi. Yang
pertama sering disebut "hukum empiris" atau "generalisasi empiris"; yang terakhir
"theoreticallaws" s7. Mereka berbeda dalam derajat abstraksi dari fakta individu yang dapat
diamati. Pernyataan nomologis dari urutan yang lebih rendah (yaitu pada tingkat abstraksi yang
lebih rendah) mengungkapkan hubungan yang dipilih yang telah diamati dalam berbagai

11
fenomena dan kemudian digeneralisasikan setelah dipastikan bahwa hubungan tersebut tidak
terikat pada fenomena individu, tetapi berlaku untuk kategori fenomena tertentu 58 . Hubungan
aktual dari hubungan terpilih ini dengan hubungan nomologis lainnya dalam bidang studi
tertentu tetap terbuka dan seringkali sangat tidak jelas.
Pernyataan nomologis dari tingkat yang lebih tinggi (yaitu pernyataan pada tingkat
abstraksi yang lebih tinggi) berhubungan dengan hubungan yang ada di antara hukum-hukum
tingkat yang lebih rendah. Mereka mewakili hubungan yang teratur di antara hukum empiris
tertentu. Untuk alasan itu mereka juga disebut "hukum teoritis", karena mereka berhubungan,
bukan dengan fenomena yang dapat diamati, tetapi dengan hubungan dugaan. Hubungan ini
diasumsikan mendasari fenomena yang dapat diamati dan diekspresikan melalui konsep teoritis,
yaitu konsep yang hanya terkait secara tidak langsung dengan data pengamatan (misalnya
"molekul" atau "disposisi psikis"). Hukum teoretis lebih sulit ditemukan daripada generalisasi
empiris. Mereka tidak dapat diperoleh dengan menggeneralisasi kasus individu, melainkan
dirumuskan sebagai hipotesis yang hanya dapat dikonfirmasi secara tidak langsung. Proses ini
terdiri dari mendapatkan hukum empiris dari hipotesis dan mengujinya dengan observasi
empiris. Dalam beberapa kasus, hukum empiris yang diturunkan ini dikenal dan dikonfirmasi
dengan baik; di tempat lain mereka baru dan harus dikonfirmasi melalui pengamatan
baru. "Konfirmasi dari hukum turunan seperti itu memberikan konfirmasi tidak langsung untuk
theoreticallaw" 59.
Dalam ilmu nomothetical, teori ilmiah dalam arti kata yang sempit dipahami sebagai
sistem pernyataan yang berisi pernyataan nomologis dari tingkat yang lebih tinggi. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa teori adalah sistem pernyataan nomologis. Idealnya, teori
mewakili hubungan logis yang diperlukan untuk pembenaran semua pernyataan dari cabang
ilmu pengetahuan, di mana semua asumsi atau praanggapan diberikan secara lengkap dan hasil
diturunkan dari deductivelf'O. Sebuah teori, kemudian, terdiri dari pernyataan nomologis
hipotetis tentang realitas yang validitasnya hanya dapat dikonfirmasi secara tidak langsung dan
tidak lengkap. Untuk alasan itulah teori sering disebut sebagai sistem deduktif-hipotetis. Teori
tidak menggambarkan dunia seperti yang kita rasakan, melainkan pernyataan nomologis
teoretis mereka berfungsi untuk menjelaskan fenomena yang diamati dengan
menghubungkannya dengan (disimpulkan atau dibangun) fakta yang tidak dapat dilihat.
POPPER telah membandingkan teori ilmiah dengan jaring "yang kami usir untuk
menangkap apa yang kami sebut 'dunia': merasionalisasikannya, menjelaskan, dan
menguasainya. Kami berusaha keras untuk membuat jaring menjadi semakin halus dan halus"
61. Gambar ini menjelaskan bahwa dalam memperoleh pengetahuan kita memainkan peran
aktif daripada pasif. Hubungan nomologis antara fenomena empiris tidak secara langsung dapat
kita akses melalui persepsi atau intuisi akal sehat; sebaliknya, kita hanya bisa mendekati
mereka secara tidak langsung dengan membuat asumsi tentatif tentang mereka (yaitu dengan
merumuskan hipotesis) dan kemudian mengujinya terhadap dunia nyata untuk melihat apakah
mereka benar. Hipotesis nomologis yang telah terbukti dapat diandalkan kemudian
digabungkan untuk membentuk sistem yang relatif rumit, yaitu hierarki hipotesis yang
dibangun secara logis tentang bidang studi atau teori tertentu.
Sekarang setelah saya menjelaskan apa yang dimaksud dengan teori ilmiah dalam ilmu
nomothetical (atau teoritis) empiris, kita harus mengalihkan perhatian kita pada perbedaan
penting antara penciptaan dan pembenaran pengetahuan dan teori. Saya kemudian akan

12
membahas masalah bagaimana teori didirikan dan akhirnya, akan memeriksa pertanyaan apakah
ada perbedaan mendasar dalam sifat, tujuan dan pembenaran teori dalam ilmu alam, sosial dan
budaya. Setelah pertanyaan pendahuluan ini diklarifikasi, saya akan membahas masalah khusus
yang terlibat dalam membangun dan menerapkan teori dalam ilmu pendidikan.

TENTANG PERBEDAAN ANTARA MEMPRODUKSI DAN MENJUSTIFIKASI


SISTEM PERNYATAAN ILMIAH

Banyak kesalahpahaman yang mengganggu diskusi ilmiah (dan khususnya kontroversi


mengenai karakter ilmiah pedagogik) dapat dengan mudah diselesaikan dengan membedakan
antara produksi hipotesis, pernyataan nomologis dan teori di satu sisi dan validitasnya di sisi
lain. Cara asal pernyataan ilmiah tertentu yang diduga merupakan pertanyaan faktual yang
ditangani oleh psikologi kognitif atau psikologi penelitian ilmiah. Disiplin ini memperlakukan
proses psikis yang terlibat dalam perilaku pemecahan masalah, kondisi yang mengarah pada
inspirasi kreatif dan fenomena serupa. Psikologi pemikiran dan tindakan ilmiah dengan
demikian merupakan disiplin empiris, seperti juga historiografi sains dan sosiologi sains.
Pertanyaan tentang bagaimana pernyataan ilmiah dapat dibenarkan sangatlah
berbeda. Dalam hal ini kami tidak peduli dengan bagaimana sebuah pernyataan berasal, tetapi
dengan menguji pengetahuan yang diklaim sesuai dengan norma atau aturan yang ditetapkan
(metode ilmiah) dan penerimaan atau penolakannya. Disiplin yang berhubungan dengan metode
pengujian pernyataan ilmiah disebut epistemologi atau filsafat kognisi ilmiah. Kadang-kadang
juga disebut "logika sains", karena berkaitan dengan penerapan logika formal. Epistemologi
secara alami juga memperhitungkan teknik yang sebenarnya digunakan dalam memperoleh
pengetahuan ilmiah, tetapi pada dasarnya ini adalah disiplin filosofis normatif daripada
empiris 62 .
Dua bidang masalah yang disebutkan di atas biasanya dirujuk oleh istilah konteks
penemuan63 dan konteks pembenaran 64 • Untuk menghindari kontroversi yang tidak perlu,
sangat penting untuk membedakan dengan jelas pertanyaan tentang penemuan fakta atau
derivasi, asal atau asal pernyataan dari pertanyaan tentang justifikasi, konfirmasi atau
validasinya. Pembedaan ini perlu, terutama karena penjelasan tentang bagaimana pernyataan
atau hipotesis umum dipahami tidak menjamin bahwa pernyataan itu benar. Baik asal-usul
pernyataan dalam wawasan akal sehat langsung (intuisi) maupun dalam pengamatan fakta tidak
dapat menjamin kebenaran. Konstruktivisme atau theoretism modern, yang bertentangan dengan
epistemologi klasik rasionalisme dan empirisme, mengasumsikan bahwa tidak ada sumber
diragukan lagi diandalkan pengetahuan 65 . Pengetahuan kita terdiri dari dugaan teoritis yang
validitasnya ditentukan, bukan oleh asalnya, melainkan oleh hasil tes kritis yang menjadi
sasarannya.
Oleh karena itu, toleransi yang paling mungkin disarankan dalam konteks penemuan,
sedangkan sikap kritis sepenuhnya berguna dalam konteks pembenaran. Dalam ilmu
pendidikan, juga, setiap cara yang mungkin untuk memperoleh wawasan diperbolehkan. Proses
yang disebut "pemahaman simpatik" ("Verstehen") atau persepsi fenomenologis "esensi"
("Wesensschau") sama sahnya dengan observasi, generalisasi induktif, perbandingan atau
refleksi interpretatif atas pengetahuan yang diturunkan. Intuisi, imajinasi, dan wawasan kreatif
semuanya dapat memainkan peran dalam mengungkap kemungkinan hubungan. Namun, dalam

13
sains, wawasan kreatif semacam itu tidak muncul tanpa persiapan sebelumnya. Biasanya,
mereka datang hanya kepada mereka yang benar-benar memahami suatu bidang masalah dan
informasi relevan yang tersedia. Tetapi apakah hasil refleksi yang telaten atau inspirasi tiba-
tiba, pernyataan ilmiah pada awalnya hanya dipandang sebagai anggapan (hipotesis) yang
kebenarannya harus diuji. Cara pernyataan berasal tidak ada hubungannya dengan validitasnya.
Kebingungan sering muncul di sini karena penggunaan kata "metode" yang tidak
tepat. Jika "metode" hanya diartikan sebagai "cara berproses dalam bidang tertentu '> 66, dua
hal yang sangat berbeda dicakup oleh konsep luas ini: di satu sisi prosedur yang digunakan
dalam memahami pernyataan (hipotesis, teori), yang untuknya aturan umum tidak dapat
ditetapkan, dan di sisi lain prosedur logis-empiris yang terlibat dalam pernyataan pengujian .
Untuk alasan ini lebih disarankan untuk membedakan secara tepat antara proses penemuan dan
metode pengujian. Metode terakhir inilah yang sangat penting dalam menetapkan nilai
kebenaran pernyataan ilmiah Dalam pengertian kedua ini, yang hanya relevan dengan logika
sains, "metode" berarti cara "di mana keabsahan suatu klaim harus ditetapkan; ia menyediakan
sarana untuk memastikan apakah suatu klaim benar "67.
Jika kita ingin mendukung kebebasan tanpa batas dalam pilihan sumber atau cara yang
digunakan untuk merumuskan hipotesis, maka kita harus memperhitungkan ac ~ ount bahwa
kita pengetahuan memperoleh juga akan mengandung kesalahan, penipuan dan
prasangka. Banyak dari pengetahuan kita adalah hasil dari tebakan belaka. Secara umum, hanya
ada satu cara yang berguna untuk menemukan dan menghilangkan kesalahan, yaitu pengujian
intersubjektif atau "kendali rasional timbal balik melalui diskusi kritis" 68. Jadi pernyataan-
pernyataan yang dirahasiakan dari inspeksi publik karena para pendukungnya mengklaim
bahwa mereka atau rekan-rekan sepaham telah memahami kebenaran mereka tidak pada
tempatnya dalam wacana ilmiah.
Sebuah konsep yang tidak jelas metode dan kurangnya perbedaan yang jelas antara konteks
penemuan dan konteks pembenaran memainkan peran sentral dalam resistensi terhadap dalil
pengujian intersubjektif dengan kemungkinan yang melekat menyangkal pernyataan. Dalam
dom ain pedagogik, hal ini dapat dengan mudah didemonstrasikan, dengan menggunakan
contoh yang disebut "pedagogik hermeneutis" (bahasa Jerman: "geisteswissenschaftliche
Padagogik"). Penganut bentuk pedagogik ini menganggap "kognisi hermeneutik" sebagai
"pemahaman simpatik" (Verstehen), memandangnya sebagai proses yang identik. "Pemahaman
simpatik" dideskripsikan sebagai "pemahaman batin atas konstruksi yang diciptakan oleh
manusia, objektivasi pikiran manusia - atau ekspresi" dari "pencapaian kreatif kehidupan, o
(j9. Seperti halnya dengan apa yang disebut Konsep "alami" dari "pengalaman "70, kesan
diciptakan bahwa" pemahaman batin "ini bisa sekaligus merupakan prosedur
penemuan dan konfirmasi yang cukup dari klaim kebenaran untuk fakta yang" dipahami
secara batin "atau" dipahami secara simpatik ".
Tidak diragukan lagi benar bahwa dalam ilmu sosial dan humaniora, proses "pemahaman
simpatik" sangat diperlukan untuk memahami makna yang seharusnya dari tindakan manusia
dan objek budaya. Namun, ini tidak berarti bahwa pengujian intersu dasar klaim yang
dihasilkan dari "pemahaman simpatik" tidak berguna. Siapapun yang menggunakan metode
"pemahaman simpatik" bisa berbuat salah; mereka juga dapat salah menafsirkan hal-hal yang
mereka klaim sebagai pemahaman mereka. Proses memahami makna suatu tindakan atau
objektivasi psikis lainnya “selalu menghasilkan hipotesis interpretatif yang diadopsi untuk
tujuan interpretasi, yang pada prinsipnya selalu membutuhkan verifikasi empiris ” 71. Hal ini

14
demikian tidak sesuai dengan aturan metode ilmiah untuk menahan pernyataan tertentu dari
pengujian independen dengan mengklaim bahwa itu telah tiba di melalui "pemahaman
simpatik", "empati" atau "intuisi". Subyektif "keinginan untuk objektivitas pemahaman" 72
(yang siapa pun dapat mengajukan klaim) tidak terbukti berguna dalam membedakan
pernyataan yang benar dari yang salah 73 . Kami tidak memiliki "pengetahuan" sampai telah
ditentukan bahwa pernyataan itu benar. "Selama seseorang tidak tahu apakah suatu klaim itu
benar, itu tidak mewakili pengetahuan, bahkan jika itu benar" 74. Karenanya "pemahaman
simpatik" dan setiap jenis "pengalaman" subjektif lainnya hanya memiliki nilai
heuristik75. Mereka adalah proses psikis yang dapat mengarah pada penciptaan atau perumusan
hipotesis. Apakah hipotesis yang diperoleh dengan cara ini benar hanya dapat dipastikan dengan
pengujian logis dan empiris tambahan 76 . di mana penulis menyatakan bahwa "sains dan
objektivitas ilmiah tidak ... dihasilkan dari upaya seorang ilmuwan individu untuk 'objektif',
tetapi dari kerja sama banyak ilmuwan". Ia adalah "produk dari karakter sosial atau publik dari
metode ilmiah; dan ketidakberpihakan individu ilmuwan, sejauh keberadaannya, bukanlah
sumbernya melainkan hasil dari objektivitas sains yang terorganisir secara sosial atau
kelembagaan". Demikian pula, POPPER menegaskan (1% 2: 240): "Hal yang kita sebut
objektivitas ilmiah memiliki satu-satunya sumber dalam tradisi kritis", yaitu dalam "kritik
timbal balik, dalam pembagian kerja teman-lawan antara ilmuwan".

MENGUJI, MENYESUAIKAN DAN MENOLAK HYPOTESIS DAN TEORI

Tujuan teori ilmiah adalah untuk memaksimalkan pemahaman kita tentang


dunia. Pernyataan nomologis dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa, dan dalam keadaan
tertentu dapat memiliki nilai prediksi 77. Teori hanya dapat memenuhi tujuannya jika benar
atau paling tidak mendekati kebenaran. Maka timbul pertanyaan tentang bagaimana
membuktikan validitas suatu teori dan elemen terpentingnya, hipotesis nomologis.
Pengujian hipotesis nomologis dilakukan melalui prosedur logis dan
empiris. Dalam kaitannya dengan murni logis aspek dari masalah, pertama-tama perlu untuk
memeriksa kontradiksi antara laporan yang diuji dan pernyataan nomological lain dalam
teori. Konsistensi logis adalah suatu keharusan, tetapi bukan kondisi yang cukup bagi hipotesis
nomologis untuk dipandang sebagai terbukti secara ilmiah. Hanya dalam ilmu formal logika
dan matematika konsistensi logis merupakan kondisi kebenaran yang cukup. Ilmu empiris,
bagaimanapun, membuat pernyataan tentang realitas. Pernyataan mereka tidak hanya harus
valid secara logis, tetapi juga diverifikasi secara empiris . Hipotesis ilmiah hanya dapat
dianggap valid jika terdapat kesepakatan yang cukup antara isinya dan pernyataan deskriptif
berdasarkan data observasi. Dalam teori ilmiah, pernyataan semacam itu biasa disebut
"pernyataan dasar", karena merupakan dasar empiris untuk menguji hipotesis dan teori
nomologis.
Sementara para ilmuwan yang berpraktik dan filsuf sains sepakat tentang penggunaan
konsistensi logis sebagai pengujian hipotesis dan teori nomologis, ada ketidaksepakatan luas
mengenai kondisi empiris validitas. Ini di sini tidak mungkin dan tidak benar-benar diperlukan
untuk membahas semua pro dan kontra dari pertanyaan ini. Untuk tujuan kita, cukup
memperhatikan dua masalah: masalah induksi dan hubungan antara teori dan pengalaman.
Istilah "induksi" bisa berarti dua hal. Pertama, ini dapat merujuk pada prosedur
untuk menemukan hipotesis nomologis; kedua, prosedur untuk menguji hipotesis semacam

15
itu. Namun, seringkali dipertahankan bahwa induksi adalah satu prosedur yang mencakup kedua
tugas tersebut. Dengan cara ini, JOHN STUART MILL mendefinisikan induksi sebagai
"operasi untuk menemukan dan membuktikan proposisi umum" 78. Ini di sini tidak perlu
berurusan dengan dugaan kesesuaian induksi sebagai prosedur untuk menemukan hipotesis,
karena dalam konteks ini kita prihatin semata-mata dengan prosedur yang terlibat dalam
menguji mereka. Dalam pengertian kedua, induksi didefinisikan sebagai prosedur "yang
dengannya kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar dalam kasus atau kasus
tertentu, akan benar dalam semua kasus yang menyerupai yang pertama dalam hal tertentu yang
dapat dialihkan. Dengan kata lain, induksi adalah proses dimana kita menyimpulkan bahwa apa
yang benar untuk seluruh kelas, atau apa yang benar pada waktu tertentu akan benar dalam
keadaan yang sama setiap saat ”79.
The masalah induksi hasil karena dalam hipotesis nomological lebih diklaim daripada yang
dapat diketahui melalui observasi sederhana. Tegasnya, satu-satunya hal yang dapat kita pahami
dengan mengamati kenyataan adalah fakta individu. Kami hanya dapat memastikan sejumlah
terbatas dari fakta-fakta ini, yang dengan sendirinya selalu merupakan entitas historis yang
muncul pada spatio-temporallocations tertentu. Adalah mungkin untuk membandingkan dan
mengamati kesepakatan dan perbedaan antara sejumlah fakta dan mengamati fenomena dalam
kondisi yang berbeda-beda dengan harapan menemukan keteraturan yang dalam keadaan
tertentu akan selalu muncul. Karena data observasi ini berhubungan dengan kasus individu yang
terbatas pada titik-titik tertentu dalam ruang-waktu, mereka disebut "pernyataan tunggal",
"pernyataan khusus" atau "pernyataan di sini dan sekarang". Sebaliknya, hipotesis nomologis
disebut sebagai "pernyataan universal": dianggap valid untuk setiap titik (atau acak) dalam
ruang waktu 8o • Masalah induksi adalah apakah secara logis dibenarkan untuk menerapkan
kesimpulan yang diperoleh dari bentuk tunggal pernyataan (yang menggambarkan data
observasi) ke yang universal.
Jadi pertanyaannya adalah apakah sebuah fakta yang telah dipastikan dalam sejumlah
kasus tertentu dapat digeneralisasikan. Berdasarkan sifat psikis kita, kita cenderung berasumsi
bahwa keteraturan yang telah kita amati akan selalu terjadi dalam keadaan yang sama. Namun
secara logis, tidak ada pembenaran untuk asumsi ini, karena tidak mungkin untuk
menyimpulkan kasus baru yang tidak diketahui dari kasus yang diketahui sebelumnya. Tidak
ada prosedur induktif yang melaluinya pernyataan universal dapat diturunkan dari pernyataan
tunggal. Oleh karena itu, hipotesis nomologis universal tidak dapat dibuktikan dalam arti kata
yang ketat - terlepas dari berapa banyak pernyataan dasar pendukung (pernyataan berdasarkan
pengamatan atau persepsi) yang ditemukan seseorang.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam prosedur induktif adalah ekstrapolasi, yaitu perluasan
lingkup validitas pernyataan di luar kasus yang diamati untuk mencakup jumlah kasus yang
tidak terbatas. Hal ini diasumsikan bahwa keteraturan yang diamati dalam beberapa kasus juga
akan ditemukan dalam semua kasus lain. Ini menambah kualitas yang sama sekali baru pada
kasus yang sudah ada. Misalnya, hanya pernyataan yang memiliki struktur logis berikut yang
dapat divalidasi:

"Setiap kali peristiwa p terjadi di masa lalu, peristiwa q juga terjadi". Dalam induksi,


bagaimanapun, klaim dibuat bahwa "jika peristiwa p diberikan, maka peristiwa q dalam setiap
kasus juga akan muncul". Diasumsikan "bahwa kasus dari kelas yang sama terus terjadi dan
bahwa hubungan yang telah terbukti konstan di antara kasus yang telah ditetapkan tetap

16
sama". Asumsi seperti itu tidak dapat diturunkan dari keteraturan yang telah ditetapkan, juga
tidak dapat divalidasi oleh salah satunya. Terdapat pengandaian keabsahan dalam asumsi bahwa
peristiwa yang sama akan selalu terjadi dalam kondisi yang sama. "Hanya asumsi inilah yang
mengarah ke luar kasus-kasus historis yang dikonfirmasi dan menghasilkan keabsahan
universal yang tidak dibatasi" 81.
Jadi, jika dilihat lebih dekat, apa yang disebut metode induktif mengungkapkan dirinya
sebagai deduktif, berdasarkan argumentasi berikut: dalam keadaan yang sama, hal yang sama
akan selalu terjadi; pada kondisi a, b, C dan d hubungan R selalu muncul; jadi dalam kondisi ini
hubungan ini akan selalu muncul: itu adalah keteraturan nomologisS2. Premis utama universal
yang menyatakan bahwa peristiwa yang sama akan terjadi dalam kondisi yang sama tidak dapat
dibuktikan secara logis, tetapi dapat dilihat sebagai "dalil perjuangan kita untuk pengetahuan"
yang penerimaannya didasarkan pada keputusan yang disengaja 83 • Premis utama universal ini
adalah itu sendiri merupakan produk dari ekstrapolasi dan merupakan hipotesis yang dari
kebutuhan mutlak untuk memahami realitas, karena tanpa itu tidak penjelasan atau prediksi
akan mungkin 84 •
Dengan demikian, dalam proses induktif terjadi hal-hal berikut ini. Premis utama universal
yang menyatakan keberadaan keteraturan nomologis di dunia dianggap sebagai hipotesis
umum. Sejauh mungkin, premis minor tertentu didefinisikan sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan semua hasil empiris yang diamati hingga saat perumusannya. Kesimpulan tidak lebih
dari yang terkandung dalam premis minor tertentu.
Jadi kita dapat melihat bahwa pernyataan universal yang diturunkan dengan cara ini belum
tentu benar. Mereka hanyalah hipotesis yang harus dibuang ketika fakta yang baru diamati
bertentangan dengan mereka. Jika hasil observasi tidak sesuai dengan hipotesis nomologis,
salah satu premisnya pasti salah. "Perjanjian Lengkap hipotesis dengan fakta-fakta tidak pernah
dapat membuktikan hipotesis yang akan selalu benar dalam semua kasus, tetapi bisa di sangat
paling membuktikannya kemungkinan. Sebuah tunggal kasus di mana A tidak B bertentangan
dengan pernyataan menegaskan bahwa semua A adalah B Di sisi lain, 1000 kasus dimana A
memiliki predikat Bare tidak cukup untuk membuktikan pernyataan tersebut: tidak mungkin
bahwa A bukan B "ss. Dari pertimbangan logis ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis
nomologis universal dan teori yang dibangun di atasnya tidak pernah dapat secara definitif
terbukti benar (Diverifikasi). 
Mereka bisa, bagaimanapun, dibantah atau dipalsukan dengan mendirikan kontradiksi
antara kesimpulan yang diambil dari mereka dan dikonfirmasi data pengamatan. KARL
POPPER berusaha, dalam teorinya tentang metodologi untuk ilmu empiris, untuk menggunakan
wawasan ini, yang pertama kali diperkenalkan ke dalam logika oleh DAVID
HUME 86 . POPPER menekankan bahwa hipotesis dan teori nomologis hanya dapat diuji dalam
arti negatif, yaitu dengan mencoba menyanggah atau menyanggahnya. Dengan demikian,
metode umum ilmu empiris tidak terdiri dari membuktikan apa yang benar, melainkan dalam
menghilangkan apa yang salah. POPPER oleh karena itu menyebut ini sebagai
"metode penjaluran" 87.
POPPER berpendapat bahwa kemajuan dalam perolehan pengetahuan ilmiah dicapai
melalui mengatasi kesalahan dan konsepsi yang tidak memadai melalui pengujian kritis. Upaya
untuk menyangkal hipotesis nomologis menunjukkan apakah mereka berdiri atau tidak untuk
pemeriksaan lebih dekat. Semakin ketat pengujian yang dimiliki suatu hipotesis, semakin tinggi

17
tingkat konfirmasinya. Dengan demikian prosedur pengujian diusulkan yang terdiri dari upaya
untuk menyangkal hipotesis dan teori.
Dasar logis untuk aturan metodologis ini bertumpu pada kemampuan untuk mengubah
pernyataan nomologis universal sebagai pernyataan "tidak ada". Contoh berikut sering
digunakan untuk mendemonstrasikan hal ini: isi dari proposisi universal "semua angsa putih"
juga dapat diekspresikan dalam pernyataan "tidak ada angsa hitam". Jika seekor angsa hitam
benar-benar diamati pada suatu waktu atau tempat, hal ini dapat dirumuskan dalam proposisi
eksistensial tunggal atau dalam pernyataan "ada" ("ada angsa hitam di tempat p pada
waktu t" = pernyataan dasar) yang menyangkal atau memalsukan pernyataan umum "tidak
ada" 88 . Proposisi universal tentu saja tidak pernah dapat diturunkan dari proposisi tunggal,
tetapi dapat bertentangan dengannya. "Akibatnya adalah mungkin melalui kesimpulan deduktif
murni ... untuk membantah dari kebenaran pernyataan tunggal ke kepalsuan pernyataan
universal ,, 89.
Ini benar secara logis, tetapi tidak mengikuti dari hubungan logis ini bahwa pemalsuan
adalah prosedur yang berguna untuk menguji hipotesis dan teori. Pemalsuan bukanlah prosedur
yang berguna karena alasan sederhana bahwa hipotesis nomologis statistik tidak dapat
dipalsukan. Bahwa kepalsuan hipotesis dapat disimpulkan dari kurangnya kesepakatan dengan
data observasi hanya berlaku untuk hipotesis nomologis universal. Sebaliknya, jika hipotesis
statistik ditolak karena data observasi tertentu tidak sesuai dengan hipotesis tersebut, maka akan
ada risiko penolakan hipotesis yang benar. Karena kesulitan-kesulitan ini, STEGMULLER
merekomendasikan untuk memperluas konsep sanggahan empiris atau pemalsuan
menjadi "penolakan yang wajar". 'Perbedaan yang menentukan terdiri dalam kenyataan bahwa
sanggahan mewakili sesuatu akhir, sedangkan penolakan wajar tidak". Sebuah penolakan awal
dari hipotesis statistik dapat ditarik kembali jika hasil pengamatan baru mendukung penilaian
ulang 90 •
Konsep penolakan yang wajar mengungkapkan sudut pandang metodologis yang lebih
sesuai dengan prosedur ilmiah aktual daripada konsep pemalsuan. Istilah terakhir diperkenalkan
oleh POPPER untuk memerangi ilusi yang disebarkan oleh empirisme naif bahwa pengetahuan
hukum ilmiah yang dapat diandalkan dapat diperoleh dengan menggunakan metode
induktif. "Pemalsuan" berfungsi sebagai konsep tandingan untuk "verifikasi" dan membantu
untuk menekankan bahwa hipotesis dan teori tidak pernah dapat diverifikasi secara lengkap dan
definitif, tetapi paling-paling kadang-kadang dapat dipalsukan. Sejak saat itu, wawasan logis ini
hampir diterima dengan suara bulat. Untuk alasan itu juga telah disarankan bahwa konsep
verifikasi yang menyesatkan harus diganti dengan yang lebih sedikit menunjukkan salah
satu konfirmasi 91 • Namun, dengan benar menunjukkan bahwa tidak ada prosedur induktif,
tetapi hanya pengujian deduktif tidak membuat sanggahan pernyataan yang terbaik, atau bahkan
satu-satunya metode pengujian yang dapat diterima: Sama-sama valid adalah upaya untuk
mengkonfirmasi hipotesis dan teori nomologis 92 .
Dalam praktik penelitian aktual, hipotesis nomologis sama sekali tidak ditolak jika
kesimpulan yang diambil darinya tidak sesuai dengan hasil observasi yang relevan 93 •
Sebaliknya, observasi diulangi jika memungkinkan. Jika kesimpulan yang diambil dari hipotesis
yang diberikan berulang kali tidak sesuai dengan hasil observasi empiris, hipotesis tersebut
tidak akan sepenuhnya ditolak, tetapi upaya pertama-tama akan dilakukan untuk merevisinya
agar lebih sesuai dengan fakta (atau, lebih tepatnya, dengan basis pernyataan yang menjelaskan
fakta). Sebuah kontradiksi antara hipotesis dan pernyataan dasar bertindak sebagai insentif

18
untuk lebih tepat mendefinisikan hipotesis, untuk menarik kondisi yang sebelumnya diabaikan
dan jika perlu untuk mengurangi bidang penerapan hipotesis. Hanya setelah upaya untuk
memperbaiki hipotesis asli ini gagal barulah tampak masuk akal untuk membuangnya.
Seperti yang telah kita lihat dengan masalah induksi, tidak ada hubungan langsung antara
realitas yang diperlakukan oleh sains dan hipotesis dan teori nomologis yang menjelaskan
realitas ini. The hubungan antara teori dan pengalaman yang tidak langsung. Sebuah teori
empiris adalah membangun, ciptaan kecerdasan yang mengklaim lebih dari yang
dapat dipastikan dengan observasi. Namun, pada saat yang sama, itu harus divalidasi dengan
terus-menerus memeriksanya terhadap hasil pengamatan. Hanya dengan merujuk kembali ke
pernyataan perseptual, perangkap kesewenang-wenangan teoretis dapat
dihindari. Dalam metodologi yang lebih baru (berbeda dengan empirisme naif) observasi
memiliki fungsi yang sama sekali berbeda. Sedangkan dalam konteks penemuan terus
dipandang sebagai salah satu dari beberapa sumber inspirasi dan hipotesis, dalam konteks
validasi tidak lagi diterima sebagai landasan pengetahuan, melainkan hanya sebagai alat bantu
untuk menguji hipotesis. Pengamatan digunakan untuk memeriksa apakah konstruksi teoritis
sesuai dengan kenyataan.
Seseorang dapat memperjelas struktur teori ilmiah dan peran yang dimainkan pengalaman
di dalamnya dengan membedakan secara skematis antara dua tahap penelitian: generalisasi
empiris dan pembangunan teori. Pada tahap pertama peneliti telah melampaui data observasi,
karena dalam merumuskan hipotesis, semua pengetahuan faktual yang dapat diakses biasanya
diperhitungkan. Namun, konfirmasi atau penolakan hipotesis individu didasarkan pada
observasi sistematis, bentuk yang paling produktif adalah eksperimen. Konsep-konsep yang
digunakan dalam tahap ini terutama berasal dari dunia pengalaman, yaitu mereka memasukkan
fenomena yang dapat dilihat dalam isinya atau setidaknya dapat dengan mudah ditelusuri
kembali ke fenomena tersebut. Dalam tahap pembangunan teori, sejumlah besar hipotesis pada
berbagai tingkat abstraksi digabungkan untuk membentuk sistem deduktif. Dalam sistem
seperti itu, konsep yang digunakan hanya berhubungan secara tidak langsung dengan realitas
yang dapat diamati. Teori dapat dibandingkan dengan "jaringan tiga dimensi yang kompleks"
yang naik di atas tingkat pengalaman empiris "dan berlabuh di tingkat ini hanya pada titik
terendahnya. Titik simpul dalam jaringan yang terletak di atas tingkat ini mewakili konsep
teoretis yang, melalui hipotesis dan definisi, sangat longgar dan tidak langsung terkait dengan
fenomena yang dapat dialami secara langsung "94. Dalam setiap peristiwa, hubungan ini
dengan realitas diamati harus cukup mempertahankan bahwa teori dapat digunakan untuk
penjelasan dan prediksi.
Dengan demikian, sains tidak memiliki dasar empiris yang mutlak pasti. Untuk
menggunakan salah satu metafora POPPER, "sains tidak bertumpu pada dasar batu. Struktur
berani teorinya naik, seolah-olah, di atas rawa. Ini seperti bangunan yang didirikan di atas
tumpukan. Tumpukan didorong turun dari atas ke dalam rawa, tetapi tidak sampai ke dasar
alami atau 'diberikan'; dan ketika kita menghentikan upaya kita untuk mendorong tumpukan kita
ke lapisan yang lebih dalam, itu bukan karena kita telah mencapai tempat yang kokoh. Kita
hanya berhenti ketika kita puas bahwa mereka cukup kokoh untuk membawa struktur,
setidaknya untuk saat ini "95.
Menurut pandangan ini, teori (dalam arti luas kata) lebih diutamakan daripada data
observasi. Tentu saja ini tidak menyangkal bahwa kita mulai dengan pengalaman sebelumnya

19
dan menyusun hipotesis berdasarkan apa yang telah kita terima sebagai diberikan melalui
pengamatan. Yang dimaksud adalah bahwa ketentuan teoritis (Le. Pernyataan umum atau
hipotesis nomologis) diperlukan untuk membuat urutan nomologis dari data empiris. Apakah
urutan ini membuktikan dirinya valid diuji baik secara logis dan empiris: secara logis dengan
memeriksa konsistensi dan penurunan timbal balik dari pernyataan teori, dan secara empiris
dengan membandingkan kesimpulan yang berasal dari teori dengan pengamatan kejadian aktual
di dunia pengalaman.
Validitas pengetahuan ilmiah tidak dapat ditetapkan atas dasar pernyataan tunggal,
melainkan melalui " hubungan logis yang luas dari pernyataan tentang fakta yang dipersepsikan
dan disimpulkan serta tentang hukum" 96. Yang lebih penting daripada validitas argumen
tunggal adalah bahwa terdapat sistem pernyataan nomologis berbeda yang saling mendukung
satu sama lain, bahkan jika beberapa lebih baik dikonfirmasi daripada yang lain. PEIRCE
dengan bijak berkomentar bahwa "penalaran ilmiah tidak boleh membentuk rantai yang tidak
lebih kuat dari mata rantai terlemahnya, tetapi kabel yang seratnya mungkin sangat tipis,
asalkan jumlahnya cukup banyak dan terhubung erat" 97.

HUKUM DAN TEORI DALAM ILMU SOSIAL

Seperti yang telah kita lihat, teori ilmiah dalam arti kata yang sempit dipahami sebagai
sistem pernyataan nomologis hipotetis-deduktif. Saat ini, hampir semua teori yang berhubungan
dengan konsep ini ditemukan dalam ilmu pengetahuan alam. Dalam ilmu sosial (terlepas dari
kasus khusus teori ekonomi) kita "hanya menemukan program dan langkah pertama dalam
perumusan teori" 98, tetapi tidak sistem deduktif yang sebanding dengan teori ilmu
alam. Dominan adalah sistem pernyataan deskriptif yang berhubungan dengan fenomena sosial
tertentu dalam situasi sejarah tertentu, sedangkan sebaliknya terdapat kekurangan pernyataan
nomologis universal yang dapat digunakan untuk penjelasan dan prediksi 99 . Sejauh
keberadaannya, pernyataan nomologis hanyalah generalisasi empiris yang bersifat
statistik. Tidak ada pernyataan nomologis dari urutan yang lebih tinggi yang akan cocok untuk
mensistematisasikan sejumlah besar pernyataan nomologis yang ada dari urutan yang lebih
rendah. Mayoritas generalisasi ini hanya berlaku untuk kondisi sosial budaya tertentu. Beberapa
pernyataan yang diklaim berlaku untuk semua orang di setiap waktu dan tempat hanya memiliki
sedikit konten dan jarang mengungkapkan lebih dari pengetahuan sehari-hari yang
umum. Perhatikan satu contoh saja: "Semakin sering aktivitas seseorang dihargai, semakin
besar kemungkinan dia melakukan aktivitas tersebut".
Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini muncul pertanyaan apakah jenis pernyataan dan
teori nomologis yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam dapat direalisasikan dalam ilmu
sosial. Apakah ideal teori sama untuk semua ilmu nomologi, generalisasi atau teoritis? Mengapa
begitu sedikit teori dalam humaniora dan ilmu sosial yang dikonstruksi sebagai teori nomologis
yang harus dijatuhkan ?
Bidang studi ilmu-ilmu sosial tidak diragukan lagi berbeda dengan bidang ilmu
pengetahuan alam. Perbedaan esensial adalah bahwa ilmuwan sosial tidak hanya berurusan
dengan benda mati dan hidup, tetapi juga dengan orang yang berpikir, berharap dan bertindak
dalam situasi tertentu dan dengan karya mereka. Dalam bidang studi ini fenomena seperti niat,
tujuan, norma sosial, aturan dan institusi memainkan peran sentral lO2 . Seiring dengan kondisi

20
alam di mana semua higWy dikembangkan organisme tergantung, itu didominasi fenomena
psikis dan sosial budaya yang menentukan perilaku manusia.
Penentu internal perilaku seperti pikiran, sikap, perasaan, dan tindakan kemauan (niat,
tujuan) sudah banyak, beragam dan dapat diubah dalam kasus satu individu dan terlebih lagi
dengan sejumlah besar orang. Norma sosial (resep, aturan, klaim yang seharusnya) sebagai
penentu perilaku eksternal juga berbeda dari kelompok ke kelompok dan berubah dalam
perjalanan waktu. Perilaku manusia dengan demikian ditentukan oleh interaksi banyak faktor
variabel yang lebih banyak atau lebih sedikit yang hanya dapat diamati sebagian sehingga hanya
dapat disimpulkan atau diasumsikan. Sangat sulit dan dalam kebanyakan kasus tidak mungkin
untuk mengisolasi faktor individu dari jaringan kondisi yang kompleks ini untuk mempelajari
efeknya secara eksperimental.
Karakter khusus dari mata pelajaran ilmu sosial membuatnya tidak dapat dihindari bahwa
ilmu sosial akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam memperoleh pengetahuan
nomologis daripada ilmu alam. Seperti yang telah ditunjukkan, di antara yang paling penting
adalah masalah-masalah berikut: ketidakmungkinan mengamati kehidupan batin orang
lain dan kebutuhan penafsiran yang bersamaan dengan banyak kemungkinan
kesalahannya, kompleksitas besar konteks psikis, sosial dan
budaya, keunikan situasi , keragaman kepribadian, kelompok, lembaga dan norma serta kondisi
dan keterkaitannya. Marilah kita memeriksa kesulitan-kesulitan ini dan menentukan apakah
kesulitan-kesulitan itu begitu tidak dapat diatasi sehingga kita dapat menganggap pencarian
hukum perilaku manusia sebagai upaya yang sia-sia.

Kesulitan pertama yang disebutkan di atas terletak pada ketidakmungkinan mengamati


keadaan psikis dan proses yang bertindak sebagai penentu internal perilaku. Hanya perilaku
eksternal dari orang lain yang diamati, dan itu tidak langsung jelas apa yang kompleks kondisi
mendasari perilaku ini. Jadi hanya secara tidak langsung melalui interpretasi kita dapat mencoba
untuk memperoleh pengetahuan tentang faktor penentu batin dari perilaku. Untuk ini diperlukan
sistem hipotesis tentang fenomena mental dan hubungan sebab akibat. Sayangnya, sistem
semacam itu sendiri sebagian didasarkan pada interpretasi dan hanya dapat dikonfirmasi secara
empiris sampai batas tertentu. Namun demikian, tidak hanya satu sistem hipotesis, tetapi juga
variasi, di mana asumsi yang berbeda diungkapkan oleh konsep yang berbeda. Ini pada
gilirannya sebagian saling melengkapi dan sebagian bertentangan satu sama lain. Sebagai
contoh, seseorang dapat mengambil perbedaan antara konsep behavioristik, fenomenologis, dan
psikoanalisis dari realitas psikis. Sampai saat ini, belum banyak kesepakatan tentang konsep
dasar dan klasifikasi fenomena mental, belum lagi cara-cara di mana keduanya berfungsi
bersama.
Kemungkinan kesalahan yang tinggi tidak dapat dihindari dalam penafsiran perilaku
manusia. Hasil interpretasi hanya berlaku sementara dan kemudian hanya dalam hal
tertentu. Tidak hanya data pengamatan baru, tetapi juga sudut pandang yang berbeda dapat
memberikan hasil yang sama sekali berbeda. Manusia terbuka, bisa berubah, dan
pengalamannya dikondisikan oleh kekuatan bawah sadar. Akibatnya, interpretasi psikologis
adalah "selalu interpretasi dari yang tidak diketahui, yang laten, yang tersembunyi, dan hal-hal
yang pada dasarnya tidak terbatas" 103. Seseorang bahkan dapat mengatakan bahwa
"pernyataan psikologis" harus selalu dipahami "secara dialektis": "Segala sesuatu yang saya
ketahui tentang seseorang harus secara bersamaan dipertanyakan" 104.

21
Ini berlaku tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk interpretasi perilaku
kelompok. Pikirkan tentang interpretasi yang sangat berbeda tentang perilaku protes di
kalangan anak muda 105 . Bergantung pada kerangka interpretatif yang diterapkan, protes dapat
dilihat sebagai reaksi terhadap kebebasan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, tuntutan
pencapaian yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, ketegasan atau sikap mengumbar yang
ditunjukkan oleh figur otoritas, sebagai keinginan untuk kebebasan lebih atau keinginan bawah
sadar untuk integrasi sosial. Seperti yang tercermin dalam literatur ilmu sosial, seringkali ada
kesewenang-wenangan tertentu dalam penafsiran fenomena sosial, dan hal ini dapat
menimbulkan keraguan pada kemampuan kita untuk mendapatkan informasi nomologis yang
diperlukan untuk membuat penjelasan yang dapat diandalkan atau bahkan prediksi.
Kesulitan kedua dalam memperoleh pengetahuan nomologis dalam ilmu-ilmu sosial
terletak pada kompleksitas yang besar dari fenomena sosial dan kondisinya. Tindakan sosial
dan konsekuensinya bergantung pada interaksi yang sangat rumit antara berbagai macam proses
psikis yang ditentukan berlipat ganda dan berbagai faktor non-psikis. Ini membentuk hubungan
yang kompleks di mana perubahan dalam satu bagian memberikan pengaruh pada banyak
bagian lainnya. Hanya sampai batas tertentu, hubungan yang sedemikian kompleks dapat
diamati secara langsung. Juga sulit untuk mengisolasi faktor individu dari semua faktor lainnya
dan secara sistematis mengubahnya untuk mempelajari efek dari perubahan ini melalui
perbandingan dengan kelompok kontrol. Eksperimen, umumnya cara paling penting untuk
menguji hipotesis nomologis, jarang dapat diterapkan pada ranah fenomena sosial yang
kompleks.
Selain itu, kita juga dihadapkan pada kesulitan lebih lanjut
tentang keunikan dan perubahan fenomena sosial. Pikirkan, misalnya, tentang karakter unik
yang diberikan pada setiap situasi pendidikan oleh kepribadian individu dari pendidik dan
pendidik yang berpartisipasi. Yang juga unik adalah tindakan pendidikan, keadaan di mana
tindakan tersebut terjadi, dan efeknya. Kontribusi keunikan situasi ini adalah perubahan konstan
yang terjadi, baik pada orang maupun di lingkungan sosial mereka. Tidak ada yang pernah
memiliki pengalaman yang sama atau melakukan hal yang sama dua kali.
Fakta-fakta ini, bagaimanapun, tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh
pengetahuan nomologis. Kompleksitas, keunikan, dan kemampuan berubah sama sekali tidak
terbatas pada fenomena manusia dan sosial-budaya, tetapi berlaku untuk semua fenomena di
dunia nyata 106 • Tidak ada partikel atom terkecil pun yang identik dalam semua detail, masing-
masing benar-benar unik 107 • Namun demikian , hukum dapat ditemukan dan pengetahuan kita
tentangnya dapat digunakan untuk memengaruhi peristiwa. Orang juga tidak hanya memiliki
ciri-ciri individu, tetapi juga karakteristik yang mereka miliki, baik dengan semua, atau
dengan beberapa orang 108 • Seperti dalam ilmu pengetahuan alam, adalah mungkin dalam ilmu
sosial untuk mengabaikan kekhasan individu dan melihat semua fenomena yang dimiliki oleh
suatu kelompok secara eksklusif dalam hal karakteristik bersama mereka. Tak perlu dikatakan
bahwa orang lebih berbeda secara individual daripada benda mati 109 • Namun, keragaman
mereka hanya dapat dipahami berdasarkan asumsi tentang karakteristik bersama mereka 110 •
Sumber dasar dari semua masalah dalam memperoleh pengetahuan nomologis dalam ilmu-
ilmu sosial adalah kenyataan bahwa fenomena sosial-budaya ( tindakan dan karya)
yang membentuk materi pelajarannya adalah milik dunia seperti yang kita alami dan hanya
memiliki makna di dunia itu 111 • Tidak hanya proses mental yang melaluinya mereka
berevolusi, tetapi juga proses yang melaluinya kita memahaminya adalah totalitas pengalaman

22
yang kompleks . Mereka tidak dapat dibagi menjadi elemen yang lebih sederhana yang secara
konseptual dapat didefinisikan secara tepat, dan secara empiris dapat diuji dan diukur. Karena
mereka berada di luar pemahaman pengalaman kita, kita tidak tahu apa-apa tentang elemen
yang lebih kecil yang membentuk tindakan atau sistem tindakan dalam pengalaman sadar
kita. Kami menghubungkan tindakan kami dengan pengalaman kemauan, imajinasi
kecenderungan untuk bertindak (disposisi psikis dan kompleks disposisional seperti sikap,
orientasi nilai, komitmen, harapan), tetapi tidak pasti apa yang sesuai dengan konsep-konsep ini
dalam kenyataan di luar dunia pengalaman internal kita, dan bagaimana mereka berhubungan
dan berinteraksi satu sama lain juga tidak jelas. Kebingungan terminologis yang sangat besar
dalam ilmu-ilmu sosial dapat dilihat setidaknya sebagian sebagai pengungkapan ketidakjelasan
ini.
Konsep deskriptif psikologis kita berhubungan dengan fenomena psikis kompleks yang
penting secara praktis bagi kehidupan kita. Konsep-konsep ini berasal dari "psikologi makro
prescientific dari kehidupan sehari-hari", tetapi tidak cocok untuk membedakan antara "proses
psikis di alam mikro-psikis". Konsep psikologis menyangkut totalitas tak terpisahkan yang
muncul dari kedalaman mikro-psikis yang tidak dapat diketahui dan dapat berbeda secara
signifikan dari fenomena makro-psikis yang dapat diakses dan dijelaskan 112 • Ini adalah situasi
yang berbeda dari yang ditemukan dalam fisika atau kimia, tetapi tidak mengesampingkan
kemungkinan adanya hubungan antara fenomena tertentu yang dapat diakses secara empiris
yang dapat bersifat nomologis dan subjek penelitian.
Tak satu pun dari kesulitan yang disebutkan di atas yang bersumber dari pokok bahasan
ilmu sosial yang membuat tidak mungkin untuk mendapatkan informasi nomologis, bahkan
tentang fenomena psikis, sosial dan budaya. Namun, kita tidak dapat berharap menemukan
keteraturan dalam bentuk hukum alam universal atau deterministik, tetapi harus puas dengan
pernyataan nomologis statistik. Validitas pernyataan ini dibatasi secara spasial dan temporal,
tetapi bahkan dengan batasannya itu membantu memperluas pengetahuan kita tentang
dunia. Banyak yang hanya dikonfirmasi sementara, tetapi pengetahuan yang tidak cukup
dikonfirmasi lebih baik daripada tidak sama sekali. Memang sejumlah besar pengetahuan
nomologis sudah ada yang membuktikan produktivitas penelitian nomothetical dalam ilmu
sosial 113 . Teori-teori yang memuat pernyataan nomologis sebagian besar berhubungan dengan
segmen realitas yang sempit dan masih hampir tidak terkait dengan teori-teori di wilayah
tetangga. Lebih jauh, ada teori-teori yang bersaing yang berurusan dengan bidang studi yang
sama (misalnya pembelajaran) yang berlaku adil hanya untuk sebagian dari fenomena yang
relevan 114 • Di kebanyakan bidang, bahkan sistematisasi sederhana dari pernyataan nomologis
terkait telah tercapai.

Karena keadaan yang tidak memuaskan dalam konstruksi teori ilmu sosial , tidak masuk


akal untuk berharap terlalu banyak dari aplikasinya dalam menjelaskan, memprediksi dan
memecahkan masalah teknologi. Namun pada dasarnya, ketiga tugas ini hanya dapat dipenuhi
jika pengetahuan nomologis tersedia. Meskipun memiliki materi pelajaran yang berbeda dan
kesulitan khusus yang ditimbulkannya dalam memperoleh pengetahuan nomologis, ilmu sosial
tampaknya tidak berbeda dengan ilmu alam dalam hal ini 115 • Namun, saat ini belum pasti
apakah pengetahuan nomologis di ilmu sosial akan tetap terbatas pada generalisasi empiris atau
apakah ilmuwan sosial akan berhasil merumuskan teori dalam pengertian sistem pernyataan
deduktif-hipotetis.

23
KONSTRUKSI DAN APLIKASI TEORI DALAM ILMU PENDIDIKAN
Mereka yang terlibat dalam pendidikan atau dalam perencanaan dan pengelolaan lembaga
pendidikan menaruh banyak harapan pada ilmu pendidikan. Mereka berharap dapat
memberikan pengetahuan yang akan membantu memecahkan masalah praktis. Dari masalah
yang mereka hadapi, yang paling mendesak adalah yang bersifat teknologi . Pendidik ingin
mengetahui apa yang dapat dilakukan sehingga pendidik dapat memperoleh, mempertahankan,
atau memperkuat disposisi psikis tertentu yang dianggap positif dan mengurangi, melemahkan,
atau sepenuhnya menghindari pengembangan disposisi yang dianggap negatif. Ini berarti
mereka perlu mengetahui efek samping dari cara khusus dan bagaimana efek samping yang
tidak diinginkan dapat dihindari. Mayoritas pertanyaan teknologi berkaitan dengan fenomena
yang sangat kompleks, yang terdiri dari sejumlah besar sub-elemen yang saling terkait secara
rumit. Fokusnya di sini adalah pada hubungan tujuan-sarana, yang membutuhkan analisis
berbagai tujuan yang ada baik secara simultan maupun berurutan dan banyak faktor individu
yang terkait dengan kompleks-kompleks sarana, yang semuanya dikondisikan oleh situasi
sosial-budaya yang terus berubah.
Selain masalah teknologi, praktisi pendidikan juga dihadapkan pada masalah penjelasan
dan prediksi. Sebuah penjelasan mencari jawaban atas pertanyaan "Mengapa begitu
ini?" Prediksi atau prognosis ilmiah berkaitan dengan menjawab pertanyaan "Apa yang akan
terjadi jika ...?" Dalam praktik pendidikan sehari-hari, ada banyak sekali fenomena yang
membutuhkan penjelasan. Sebuah minat dalam acara menjelaskan sering ditambah dengan
harapan bahwa menemukan apa yang menyebabkan hasil atau hasil tertentu akan memberikan
kontribusi menguntungkan untuk masa depan tindakan pendidikan kita. Ini berlaku terutama
untuk minat dalam prediksi.

Penjelasan, prediksi, dan pengetahuan teknologi pendidikan semuanya mengasumsikan


keberadaan sebelumnya dari teori empiris tentang pendidikan yang berisi pernyataan nomologis
yang diperlukan. Mereka adalah kegunaan teori yang paling penting dalam
pendidikan 116 • Namun, karena teori tidak dapat diterapkan sampai mereka dikembangkan,
konstruksi teori harus mendahului penerapannya.
Dalam keinginan mereka untuk memenuhi harapan para pendidik, ahli teori pendidikan
sering mencoba untuk memecahkan masalah penjelasan, prediksi atau teknologi tanpa memiliki
pengetahuan yang diperlukan untuk melakukannya. Mereka menjadi terbiasa untuk mengatakan
lebih dari yang sebenarnya mereka ketahui, dan karena mereka tidak ingin mengambil risiko
kontradiksi dengan fakta, mereka mengungkapkan diri mereka secara samar-samar sehingga
sebagian besar situasi nyata tampak sesuai dengan pernyataan mereka. Karena minimnya teori-
teori konten informasional yang tinggi, maka tidak dapat dihindari bahwa pandangan mereka
tentang masalah aplikasi juga kurang dalam konten. Dengan mencoba meletakkan kereta di
depan kuda, mereka tidak lebih dari menciptakan citra buruk ilmu pendidikan di kalangan
praktisi pendidikan.
Menanggapi ekspektasi, keinginan dan janji yang tidak realistis, ada tiga hal yang harus
ditekankan: 1. Konstruksi teori berbeda dari penerapannya; 2. Solusi masalah aplikasi
mengandaikan adanya teori nomologis dengan konten empiris yang tinggi; 3. Tidak semua teori
cocok untuk solusi masalah aplikasi. Tidak masuk akal untuk mengusulkan program ilmu
pendidikan yang begitu komprehensif sehingga tidak dapat dipenuhi. Bahkan dalam ilmu-ilmu
alam eksakta ada perbedaan antara pengetahuan tentang hukum alam dan penerapannya. Dan

24
bahkan ketika kita memiliki pengetahuan penuh tentang sistem dunia nyata tertentu dan semua
hukum yang berkaitan dengan sistem itu, masih mungkin bahwa kita "tidak dapat memprediksi
atau merekonstruksi atau dengan cara lain menjelaskan kejadian tertentu". Oleh karena itu,
STEGMOLLER menganggap lebih tepat untuk menafsirkan pemahaman ilmiah tentang dunia
sebagai "pemahaman tentang hukum yang mengatur jalannya peristiwa", daripada sebagai
"kemampuan untuk menjelaskan dan memprediksi" 117. Ilmu-ilmu sosial sangat jauh dari
pengetahuan semacam ini, dan tidak ada yang tahu apakah pengetahuan semacam itu bisa
diperoleh. Dengan demikian, dalam ilmu sosial, akan lebih kurang disarankan daripada dalam
ilmu alam untuk membuat penerapan teori untuk penjelasan dan prediksi sebagai ukuran
nilai ilmiahnya .
Teori ilmiah pendidikan harus dikembangkan terlebih dahulu; hanya setelah itu kita dapat
menguji apakah dan untuk tujuan apa mereka dapat diterapkan. Masalah penjelasan, prediksi,
dan teknologi sangat penting secara praktis, tetapi sedikit yang dapat dilakukan untuk
membantu memecahkannya secara ilmiah selama teori yang kaya secara empiris masih
kurang. Ilmu pendidikan juga mengupayakan pengetahuan nomologis, tidak hanya demi
pengetahuan murni, tetapi juga untuk memecahkan masalah praktik pendidikan. Dalam kasus
yang ideal, pengetahuan ini dapat digabungkan untuk membentuk sistem deduktif-hipotetis,
tetapi apakah dan sejauh mana hal ini akan terjadi tidak dapat diramalkan. Kita harus mulai
dengan yang dapat dicapai, yaitu menetapkan dan mengatur fakta yang berkaitan dengan
pendidikan, efeknya dan kondisi yang dianggap perlu untuk keberhasilan pendidikan. Dalam
pencarian pernyataan nomologis, tidak mungkin untuk melampaui generalisasi empiris yang
validitasnya bergantung pada spasi-temporal. Namun demikian, ini masih merupakan
peningkatan dari pengetahuan sehari-hari yang dangkal dan acak.
Setelah membahas perbedaan antara konstruksi dan penerapan teori, sekarang saya ingin
memeriksa peran fakta (dan pencarian fakta) dalam konstruksi teori dalam ilmu
pendidikan. Saya kemudian akan membahas penerapan teori pendidikan dalam penjelasan,
prediksi dan pemecahan masalah teknologi.

PERAN TINGKAT PENENTUAN FAKTA DALAM PENYUSUNAN JENIS ILMU


PENDIDIKAN

Teori nominal ilmu pendidikan harus dibangun di atas hipotesis nomologis yang
mapan. Dalam rangka merumuskan dan menguji hipotesis nomological kita harus sudah akrab
dengan fenomena penting yang paling ditemukan dalam situasi pendidikan (atau
bidang). Apa yang saat ini dianggap sebagai situasi pendidikan dan mana fenomena dianggap
penting tergantung pada pengetahuan sebelumnya pengamat, itu kerangka teori dan masalah dia
ingin memecahkan. Pengetahuan kita sebelumnya tentang pendidikan terutama berasal dari
pengalaman sehari-hari dan dari ajaran pendidikan praktis yang merangkum dan mengatur
wawasan dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini bertumpu pada konsep yang relatif
lemah dalam konten, pada gagasan yang sangat disederhanakan tentang realitas pendidikan dan
pada asumsi yang kurang lebih tidak tepat dan tidak dapat diandalkan tentang jaringan
kompleks hubungan yang mempengaruhi pendidikan. Sistem pernyataan di mana pengetahuan
pendidikan tradisional ini diekspresikan sudah merupakan hasil konstruksi teoritis. Mereka
membentuk teori-teori sementara yang digunakan sebagai titik awal untuk memperoleh teori-
teori yang tidak hanya lebih terkonfirmasi, tetapi juga lebih kaya konten informasional.

25
Kita hanya dapat berkembang dari pengetahuan yang tidak tepat menjadi pengetahuan
yang tepat ketika ketidak-eksaktauan dikenali seperti itu dan upaya dilakukan untuk lebih tepat
memahami penyelidikan fenomena. Tindakan yang mengarah ke akhir ini biasanya disebut
sebagai "deskripsi" ll9. Seperti halnya dengan "penjelasan" atau "sains", "deskripsi" adalah
salah satu dari kata-kata yang dibebani oleh ambiguitas produk proses: dapat merujuk pada
tindakan mendeskripsikan atau hasil dari tindakan ini, yaitu pernyataan kompleks di mana
segmen tertentu dari realitas dijelaskan l20 • Dalam deskripsi, seseorang berusaha menjawab
pertanyaan "apa kasusnya"? atau "apa masalahnya"? Jawabannya terdiri dari pernyataan
tunggal "ada" dengan sebutan waktu dan tempat. Pernyataan seperti itu sangat penting, tidak
hanya untuk memperoleh, tetapi di atas segalanya untuk menguji hipotesis nomologis.
Tindakan deskripsi dapat diarahkan pada fakta individu (sekarang dan masa lalu), atau
pada hubungan nomologis antara fakta individu. Kedua pendekatan tersebut diperlukan, karena
tidak ada cara lain untuk memperoleh pengetahuan nomologis selain dengan memeriksa fakta
individu sebagai prasyarat untuk merumuskan hipotesis nomologis. Jadi, misalnya, ALOYS
FISCHER menyerukan "deskripsi dan analisis mendalam tentang detail praksis pedagogis
sedetail mungkin" l21, sambil menekankan bahwa "deskripsi berjalan lebih jauh daripada
penggambaran fakta individu dalam hal menganalisis hubungan batin dari banyak rincian
"122. WINNEFELD mengungkapkan ide ini dengan lebih jelas: baginya sangat penting untuk
"mendeskripsikan kasus-kasus individu setepat mungkin" I23, tetapi di sisi lain penelitian
dalam ilmu pendidikan tidak boleh hanya bertahan dalam "menjelaskan fenomena", tetapi harus
terus maju untuk "mengungkap kompleks bersyarat yang mendasari" I24.
Dasar yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini terdiri dari pemeriksaan situasi
pendidikan yang khas melalui studi lapangan eksplorasi l25 • Dengan demikian, catatan khusus
diambil dari faktor-faktor yang, berdasarkan pengetahuan kita yang ada, dapat dilihat sebagai
kondisi yang mungkin atau sebagai penentu perilaku seorang pendidik. Terutama informatif
adalah pengamatan situasi pendidikan, komponen dan perubahan dalam hubungan timbal balik
mereka dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, studi perkembangan atau jangka panjang lebih
disukai daripada deskripsi situasi sederhana pada satu titik waktu.

Deskripsi paling menyeluruh tentang perkembangan hubungan sosial dalam perjalanan


waktu dapat ditemukan dalam studi kasus. Dalam studi kasus, materi pelajaran yang dipelajari
dipandang secara keseluruhan dan dijaga integritasnya l26 • Studi kasus dapat membahas riwayat
hidup individu, kelompok (keluarga, kelas sekolah, penghuni panti asuhan ) atau hubungan timbal
balik diambil sebagai unit, misalnya hubungan antara orang tua dan anak-anak, guru dan siswa,
psikoterapis dan pasien, dll.
Seperti setiap jenis penelitian lainnya, studi kasus mengasumsikan adanya pengetahuan
teoritis sebelumnya dan masalah khusus. Dalam konteks memperoleh dan menguji pengetahuan
nomologis, studi kasus harus memeriksa materi pelajaran secara menyeluruh dalam seluruh
kompleksitasnya. Hal ini dilakukan untuk mendorong maju dari asumsi yang kurang lebih kabur
ke hipotesis yang relatif jelas dan spesifik tentang kemungkinan hubungan. Ini kemudian dapat
diuji dengan studi eksperimental atau studi komparatif kausal. Misalnya, studi kasus telah
memberi kami sebagian besar pengetahuan terapeutik kami tentang anak-anak dengan gangguan
perilaku yang tinggal di institusi 127 • Kami berhutang pengetahuan kami tentang banyak fakta
penting individu pada studi kasus fenomena kompleks baru yang masih diteliti, seperti misalnya
kelompok remaja di lembaga "rumah terbuka" l28 , pembentukan otoritas di kelas sekolah l29 ,

26
atau perilaku remaja yang berlibur l3O • Pengetahuan tentang fakta-fakta ini dapat terbukti
bermanfaat untuk studi selanjutnya dengan menggunakan pendekatan yang lebih
khusus. Berdasarkan studi kasus, para peneliti telah menemukan keseragaman perilaku di antara
anggota berbagai kelompok kecil. Hal ini mengarah pada perumusan dan konfirmasi hipotesis
nomologis yang mungkin dapat diterapkan pada semua jenis groupSl3l.
Untuk menetapkan apakah asumsi hubungan antara fakta individu memiliki karakter
nomologis, kita harus menentukan keadaan mana yang selalu ada saat hubungan tertentu
muncul dan keadaan apa yang mungkin tidak ada. Ini adalah masalah memisahkan kondisi yang
diperlukan dan cukup untuk hubungan tertentu dari faktor kebetulan 132 •
Dalam menguji hipotesis nomologis, teknik eksperimental dan non-eksperimental dapat
diterapkan. Penelitian eksperimental adalah jalur paling pasti menuju pengetahuan nomologis,
tetapi ada banyak contoh yang tidak dapat digunakan.

Sebuah percobaan didefinisikan sebagai "seri sistematis dan replicably diinduksi peristiwa


di mana pengamatan yang dibuat tentang bagaimana kondisi invarian setidaknya satu variabel
dependen berubah ketika setidaknya satu variabel independen diubah" 133. Faktor-faktor yang
pengaruhnya akan dipelajari disebut variabel independen; variabel dependen didefinisikan
sebagai faktor yang diasumsikan bergantung pada variabel independen. "Independen" dan
"tergantung" adalah konsep relatif; faktor mana yang mereka tunjuk tergantung pada masalah
yang akan dipecahkan.
Keuntungan metodologis eksperimen terletak pada kenyataan bahwa fenomena yang akan
dipelajari dapat diisolasi dari kondisi sekunder yang mengganggu, direproduksi sesuka hati dan
bervariasi secara sistematis. Berkat sifat sederhana dari situasi eksperimental, di mana faktor-
faktor yang tidak perlu dikecualikan dan faktor-faktor yang tersisa dikendalikan (yaitu dicegah
dari mempengaruhi hasil) kita dapat menetapkan apakah ada hubungan invarian yang dianggap
ada antara variabel eksperimental. Sebuah contoh yang baik dari prosedur eksperimental adalah
studi yang dilakukan oleh UPPITI dan WHI1E tentang hubungan antara gaya kepemimpinan
orang dewasa (variabel bebas) dan perilaku kelompok anak-anak (variabel terikat ? 34.
Dalam ilmu pendidikan, ada banyak hipotesis yang berhubungan dengan hubungan antara
faktor lingkungan tertentu dan jenis perilaku (atau disposisi psikis) pendidik yang tidak dapat
diuji secara eksperimental untuk alasan praktis atau etis. Di antara hipotesis ini adalah hipotesis
yang membahas pengaruh faktor-faktor yang tidak dapat diinduksi sesuka hati atau bervariasi
(misalnya kecerdasan orang tua atau jumlah saudara kandung dalam sebuah keluarga). Jenis lain
termasuk hipotesis tentang fenomena yang sangat kompleks yang tidak dapat dibagi lagi
menjadi topik penelitian individu. Dengan demikian, faktor-faktor komponen tidak dapat
diisolasi dan dipelajari secara terpisah sedemikian rupa sehingga efek dari faktor-faktor yang
mengganggu dikecualikan (misalnya studi tentang sistem sekolah). Alasan etis menghalangi
percobaan hipotesis tentang faktor-faktor yang mungkin akan menyebabkan kerusakan psikis,
misalnya mengurangi kontak siswa dengan teman-temannya, membuat tuntutan yang berlebihan
pada kinerja siswa, mempengaruhi perilaku pendidik dan mitra sosial dengan cara yang tidak
sesuai dengan etika yang ada. kode, dll. Untuk menguji hipotesis seperti itu, prosedur
perbandingan-kausal seperti studi "ex-post-facto" dan penelitian lapangan digunakan. Prosedur
non eksperimental ini memiliki ciri umum bahwa peneliti membiarkan subjek mereka tidak
berubah dan membatasi diri untuk menganalisis elemen terpilih yang mereka asumsikan terkait

27
satu sama lain. Dua jenis studi semacam itu dapat dibedakan, tergantung pada apakah studi
tersebut dimulai dari variabel dependen atau independen.
Studi "ex-past-facto" dimulai dengan analisis variabel dependen dan mencari variabel
independen. Fenomena yang diteliti dipandang sebagai akibat dari faktor penyebab (kondisi
anteseden 135 ) yang keberadaannya harus dibuktikan. Karena kompleks kausal tertentu telah
muncul di masa lalu, ia harus ditemukan setelah ia menghasilkan efeknya. Dengan kata lain,
peneliti berusaha untuk merekonstruksi fakta masa lalu setelah kejadian itu terjadi. 136 • Contoh
prosedur ini adalah studi perbandingan yang tak terhitung jumlahnya yang mengambil
gangguan psikis dan kegagalan atau keberhasilan di sekolah sebagai titik awal dan
menghubungkannya dengan peristiwa di kehidupan lampau. orang yang terkena
dampak. Peristiwa ini secara hipotetis dipandang bertanggung jawab atas kinerja
mereka. Contoh lain akan menjadi studi retrospektif dilakukan tentang bagaimana
pengembangan kepribadian dipengaruhi oleh pemisahan awal dari seorang ibu dan jangka
panjang pelembagaan 137 •
The hipotesis-pengujian jenis penelitian lapangan dimulai dengan variabel independen dan
berusaha untuk menentukan apakah peristiwa diprediksi oleh hipotesis yang diberikan (variabel
dependen) benar-benar terjadi. Salah satu contoh dari prosedur ini adalah studi yang
berhubungan dengan hubungan antara perilaku guru dan murid hasil belajar 138 •
Dalam ruang yang terbatas, tidak mungkin untuk memperlakukan prosedur yang tepat yang
digunakan dalam menguji hipotesis di antara berbagai jenis studi atau masalah apakah hasil
studi tersebut dapat digeneralisasikan 139 • Membuktikan adanya hubungan sebab akibat (bukan
sekadar korelasi ) adalah salah satu tugas tersulit yang dihadapi penelitian empiris. Namun,
karena presentasi tentang teknik penelitian berada di luar filosofi pengetahuan pendidikan, saya
akan membatasi diri pada beberapa komentar l40 •
Yang penting bagi kita di atas segalanya adalah bahwa konstruksi teori nomologis yang
valid dalam ilmu pendidikan sangat kompleks dan ditambah dengan sumber kesalahan potensial
yang tak terhitung jumlahnya. Banyak pernyataan teoritis pada kenyataannya terlalu tidak jelas
untuk dapat diuji secara empiris. Di sisi lain, validitas hipotesis yang diuji seringkali sangat
terbatas dalam ruang lingkupnya sehingga tidak berlaku dalam kondisi yang berubah dan tidak
dapat diterapkan pada masalah teknologi pendidikan. Jadi misalnya, beberapa pernyataan
nomologis tentang pembelajaran telah dikonfirmasi melalui eksperimen dalam kondisi
laboratorium yang disederhanakan secara artifisial. Terdapat bukti empiris bahwa pernyataan
ini tidak berlaku untuk cara siswa belajar dalam kondisi kompleks di lingkungan rumah dan
sekolah mereka.
Kami berharap teori-teori ilmu pendidikan yang berorientasi pada realitas akan
memberikan informasi tentang hubungan sebab akibat dalam situasi kompleks yang ada antara
pendidik dan pendidik. Namun, ini berarti berpaling dari jenis penelitian analitik kausal yang
telah mendominasi hingga saat ini, di mana penelitian dibuat tentang hubungan antara sesedikit
dan sesederhana mungkin berbagai variabel. Sebaliknya, sistem sarana pendidikan yang
kompleks dan efeknya yang bervariasi (disengaja dan tidak disengaja) pada pendidik harus
diteliti, dan kemudian tidak hanya dengan cara yang terisolasi, tetapi melalui analisis yang
mencakup semua dari pengaruh tambahan yang bekerja pada pendidik situasi
tertentu. Dalam rangka untuk lebih dekat mendekati ideal ini, "multivariat strategi membujur
eksperimental" telah direkomendasikan yang juga harus mempertimbangkan perbedaan individu
antara educands l41 • Di bawah judul "ekologi eksperimental pendidikan", upaya bahkan telah

28
dibuat untuk melaksanakan komparatif studi kausal-analitik tentang bagaimana seluruh sistem
lingkungan bertindak atas pendidik dan pendidik l42 . Proyek-proyek ini, terlepas dari aplikasinya
yang menjanjikan, memiliki sedikit fitur eksperimen ilmiah, yang selain sistematis dan dapat
direproduksi, juga dapat bervariasi di bawah kondisi yang terkendali l43 • Untuk mencapai status
eksperimen ilmiah, studi ini harus mencakup Variasi variabel dan hubungan timbal balik
sedemikian rupa sehingga teori yang dicari akan menjadi terlalu rumit untuk pengujian atau
aplikasi.
Upaya untuk meneliti hubungan antara sistem variabel kompleks alih-alih antara variabel
terisolasi tanpa memperhatikan konteks sistemik mereka dapat mengarah pada teori yang lebih
tepat. Ini mengasumsikan bahwa peneliti bisa mendapatkan gambaran menyeluruh yang
memadai dari kondisi yang relevan yang akan membuat itu mungkin untuk membangun kondisi
yang memiliki apa efek dalam kerangka sistem yang diberikan. Inilah tepatnya yang tampaknya
hanya mungkin dilakukan pada tingkat terbatas dalam pendekatan multivariat (atau multifaktor)
ini. Karena alasan ini, hasil studi tersebut tidak dapat dipandang secara tegas. Mereka akan
selalu tunduk pada berbagai interpretasi tergantung pada variabel mana (atau kelompok
variabel) yang dianggap (berdasarkan teori yang diandaikan masing-masing) sebagai penentu
utama dari keadaan atau peristiwa yang dipandang sebagai efek l44 •

Penyebutan singkat kesulitan-kesulitan ini mungkin cukup untuk memberikan gambaran


tentang kesenjangan antara apa yang dapat dicari, apa yang mungkin dicapai dan teori-teori ilmu
pendidikan yang ada. Yang terpenting, kita harus ingat bahwa teori ilmu pendidikan, seperti
semua teori ilmu sosial lainnya dan sebagian besar teori ilmu alam, tidak
memiliki ketertutupan dan kelengkapan. Penutupan berarti bahwa faktor-faktor yang ditentukan
oleh konsep teori tertentu hanya ada dalam hubungan satu sama lain dan tidak dengan faktor
lain yang berada di luar lingkup teori. Kelengkapan berarti bahwa tidak ada variabel yang
dihilangkan yang memiliki pengaruh aktual dan yang penemuannya memerlukan perubahan
dalam teori145. Pengetahuan tentang semua variabel yang relevan dan hubungannya akan
menjadi prasyarat untuk kelengkapan teori. Tidaklah sulit untuk melihat bahwa teori-teori
ilmiah tentang pendidikan masih jauh dari tertutup atau lengkap. Namun, ini juga berlaku untuk
sebagian besar ilmu lainnya.
Situasi ini harus mendorong kerendahan hati, tetapi bukan kepasrahan. Penelitian ilmu
sosial telah membuktikan bahwa kita dapat menemukan keteraturan nomologis yang dapat
diterapkan secara teknologi146. Hipotesis nomologis ini masih belum lengkap, tetapi dapat
diperbaiki dan dilengkapi dengan hipotesis tambahan.
Seperti dalam setiap sains lainnya, kemajuan pengetahuan dalam sains pendidikan
bergantung pada penggantian pernyataan yang tidak jelas dan tidak dapat diuji dengan
pernyataan yang lebih tepat dan dapat diuji. Selain itu, fakta individu harus diperiksa, tidak
hanya untuk membedakannya, tetapi juga ciri-ciri umum mereka, dan konsep tipologis harus
dirumuskan untuk memungkinkan kita meninggalkan diskusi umum dan mengajukan
pertanyaan khusus. Beberapa dekade yang lalu, misalnya, kondisi yang relevan dengan
pengembangan kepribadian masih diklasifikasikan secara kasar menjadi tindakan pendidikan
yang disengaja, disposisi turun-temurun, dan "pengaruh lingkungan" (juga disebut "pendidikan
fungsional" dan "pendidik bersama rahasia"). Sejak saat itu, "pengaruh lingkungan" ini
(termasuk fenomena pendidikan) dibedakan dengan lebih tepat. Signifikansi relatif mereka
secara teoritis telah dibobotkan dan menjadi sasaran penyelidikan empiris. Sebagai

29
konsekuensinya kita mengetahui lebih banyak tentang kegunaan potensinya dalam mencapai
tujuan pendidikan. Dalam perjalanannya, apa yang disebut langkah-langkah pendidikan yang
menjadi fokus pedagogik tradisional terbukti menjadi kepentingan kedua.

Contoh tipikal dari keadaan pengetahuan kita saat ini yang relatif lebih maju, namun masih
tidak memuaskan adalah pernyataan berikut.
"Pada umumnya nada emosi yang menyebar luas faktor situasi spesifik) dan realisme studi (atau
kesesuaian situasional dari penelitian) di sisi lain (yang mengurangi kemungkinan untuk
mengendalikan kondisi). Cf. lAUCKEN dan SCHICK (1971: 85 dst.).

Digunakan oleh orang tua dalam membesarkan anak-anak (dan terutama nada cinta-menolak)
mempengaruhi perkembangan selanjutnya lebih dari teknik tertentu dalam mengasuh anak
(misalnya permisif, restriktif, hukuman, penghargaan) atau kekompakan unit perkawinan".
Untuk Seseorang yang mencari pengetahuan teknologi pendidikan, hipotesis ini masih terlalu
tidak pasti, tetapi hampir tidak dapat disangkal bahwa ini mewakili kemajuan kognitif atas
kepercayaan naif dalam keefektifan "sarana pendidikan" yang ada secara independen dari aspek
emosional situasi pendidikan.
Jika kita mencoba untuk menafsirkan contoh yang dikutip dari hipotesis nomologis
(bersama dengan konsekuensi yang tidak dapat didiskusikan di sini) dengan cara teknologi, kita
dapat mengatakan bahwa empati orang tua yang positif adalah suatu keharusan, tetapi tidak
cukup bagi anak-anak untuk memperoleh disposisi psikis tertentu. Kondisi A
disebut perlu ketika kemunculan fenomena B tidak mungkin tanpa realisasinya. Namun,
kemunculan A saja tidak cukup untuk kemunculan B. Kondisi lain juga
diperlukan. Suatu kondisi A dikatakan cukup bila realisasinya selalu mengarah pada munculnya
B. Namun demikian, munculnya B tidak berarti bahwa kondisi A yang cukup itu telah terwujud,
karena tidak mungkin pula B dapat dihasilkan oleh kondisi AI ' ~, dll. "Jika seseorang hanya
mengetahui suatu kondisi yang cukup, ia tidak mengetahui apakah mungkin terdapat kondisi
lain yang juga cukup. Jika di sisi lain hanya kondisi yang diperlukan yang diketahui, maka ia
hanya mengetahui kapan peristiwa tersebut akan terjadi. tidak terjadi "149. Hanya setelah kita
mengetahui tidak hanya yang diperlukan, tetapi juga kondisi yang cukup untuk fenomena B
terjadi barulah pengetahuan kita lengkap. Kondisi yang cukup dan perlu adalah yang tanpanya
B tidak dapat muncul dan yang secara konsisten menghasilkan B.
Karena potensi penerapan teknologinya, maka diperlukan teori-teori ilmu pendidikan yang
menginformasikan kepada kita tentang kondisi yang diperlukan dan mencukupi untuk
munculnya efek tertentu. Yang paling diinginkan adalah pengetahuan tentang hubungan antara
determinan ("penyebab") dan hasil ("akibat") mengikuti model: "Jika A, maka B, terlepas dari
faktor lainnya". Pada kenyataannya, bagaimanapun, yang terbaik yang biasanya dapat kita
temukan tampaknya adalah hubungan bersyarat yang mengikuti model: "Jika A, maka B, tetapi
hanya jika C". Situasi ini bahkan lebih rumit karena faktor-faktor penentu
tertentu dapat setidaknya sebagian digantikan oleh orang lain ( "Jika A, maka B, tetapi jika F,
kemudian juga B" 150). Asumsi ini mendasari pencarian mode akting alternatif 151 .
Contoh ini menunjukkan tidak hanya sejauh mana kesenjangan antara pengetahuan kausal
yang diinginkan dan yang ada, tetapi juga betapa sulitnya menjembatani. Dengan kata lain,
hipotesis dan teori ilmu pendidikan sangat terbuka 152 • Wawasan ini dapat melindungi kita dari
ekspektasi utopis akan pengetahuan yang lengkap dan pasti, tetapi tidak membenarkan untuk

30
meninggalkan konstruksi teori-teori ilmu pendidikan yang dapat dicapai (meskipun tidak
lengkap dan tentatif), hanya untuk memuaskan diri kita sendiri dengan pendapat yang belum
teruji tentang pendidikan.

PENERAPAN TEORI DALAM PENJELASAN

Teori menggambarkan hubungan nomologis yang ada di bagian tertentu dunia


nyata. Meskipun dapat diterapkan untuk tujuan yang berbeda, prosedur dasarnya serupa di
semua jenis aplikasi. Dalam ilmu pendidikan, aplikasi teknologi adalah yang terpenting, tetapi
karena prosedur itu sendiri paling baik didemonstrasikan dengan menggunakan model
penjelasan, model inilah yang akan kita gunakan dalam pembahasan berikut.
Kata "penjelasan" memiliki beberapa arti. Penjelasan mengacu pada upaya untuk
menjawab pertanyaan "mengapa": "Mengapa ada sesuatu yang
terjadi" ?; "Mengapa terjadi sesuatu" ?; "Mengapa tidak peristiwa tertentu terjadi"? Karena itu
kami prihatin dengan penjelasan fakta atau peristiwa individu 153 • Kami ingin mempelajari
sesuatu tentang kondisi di mana fakta atau peristiwa tersebut terjadi. Seringkali kita juga
berbicara dalam istilah menemukan "sebab".
Mari kita mulai dengan sebuah contoh. Seorang siswa yang cemas dan tidak aman yang
sebelumnya mendapat nilai buruk di sekolah secara konsisten mendapat nilai bagus di kelas
baru dengan guru yang berbeda. Sebuah penjelasan dicari. Kami mulai dengan mencari teori
yang berisi pernyataan nomologis yang relevan dengan peristiwa yang ingin kami
jelaskan. Dalam kasus khusus ini, tinjauan dibuat dari teori-teori yang berkaitan dengan
hubungan antara sifat murid, metode pembelajaran dan pembelajaran yang berhasil 154 • Dalam
melakukannya, perhatian khusus diberikan pada hipotesis nomologis yang relevan dengan
variabel kepribadian "kecemasan" 155. Dalam pencarian kami, kami menemukan hipotesis
yang dikonfirmasi secara empiris bahwa anak-anak yang gelisah bereaksi jauh lebih positif
terhadap pengajaran yang dipandu dengan tegas oleh guru dan diatur dengan jelas dalam semua
detail daripada yang mereka lakukan pada instruksi yang membuat mereka banyak kebebasan
dalam situasi tanpa pengawasan 156 • Langkah selanjutnya adalah menetapkan apakah kondisi
yang diberikan dalam hipotesis ada dalam kasus yang akan dijelaskan. Mari kita asumsikan
bahwa siswa yang gelisah sebelumnya menghadiri sekolah di mana kursus diawasi secara
longgar dan setelah pindah sekolah berada dalam situasi yang lebih diawasi. Jika demikian
maka perbaikan kinerja dapat dijelaskan oleh hipotesis yang disebutkan di atas dan pernyataan
deskriptif merinci keadaan konkret kasus 157 •
Contoh ini menunjukkan bahwa penjelasan terdiri dari deduksi logis yang di dalamnya
terdapat dua jenis pernyataan: pertama, pernyataan nomologis (atau pernyataan umum) dan
kedua, pernyataan khusus atau tunggal yang menjelaskan kondisi suatu kasus 158 . Dalam contoh
kami, pernyataan nomologis berbunyi sebagai berikut: "Jika siswa yang cemas menerima
instruksi yang diawasi dengan baik oleh guru dan diatur dengan jelas dalam semua detailnya,
maka mereka akan bekerja lebih baik daripada ketika mereka menerima instruksi yang diawasi
secara longgar dan diatur secara minimal". Pernyataan tunggal tersebut berbunyi sebagai
berikut: "Pada poin p ada pada waktu t siswa A yang gelisah"; "Siswa A yang gelisah menerima
instruksi yang diatur secara minimal dan diawasi secara longgar sebelum pindah
sekolah"; "Setelah pindah sekolah, dia menerima instruksi yang diarahkan dengan tegas dan

31
diatur dengan jelas dari gurunya". Dari premis-premis ini dimungkinkan untuk mendapatkan
pernyataan yang menjelaskan peristiwa-peristiwa yang ingin kami jelaskan pada l59 ; "Siswa A
yang cemas berprestasi lebih baik setelah pindah sekolah".
Dalam bahasa epistemologi, peristiwa yang akan dijelaskan disebut dengan "penjelasan-
peristiwa"; pernyataan yang menjelaskan penjelasan-peristiwa itu disebut sebagai "pernyataan-
penjelasan". Untuk singkatnya istilah "eksplanandum" biasanya digunakan dan dapat merujuk
pada pernyataan eksplanandum atau peristiwa yang dijelaskannya l60 • Keadaan khusus atau
kondisi individu yang ada baik sebelum atau pada saat yang sama dengan peristiwa yang ingin
dijelaskan disebut "kondisi anteseden" 161. Kedua kelas pernyataan yang membentuk premis
argumen penjelas (yaitu pernyataan nomologis dan pernyataan tunggal yang menggambarkan
kondisi anteseden) dikelompokkan bersama di bawah konsep "explanans" 162. Sebuah
pertanyaan mengapa harus ditafsirkan mengacu pada kedua bagian penjelasan: "Atas dasar
kondisi anteseden apa dan hukum atau pernyataan nomologis mana peristiwa ini terjadi"?
Bergantung pada apakah pernyataan nomologis (universal) yang sangat umum atau
probabilistik (statistik) digunakan, kita dapat membedakan antara dua jenis penjelasan
ilmiah. Dalam kasus pertama, kesimpulan mengikuti kebutuhan logis dari hubungan premis-
premis di explanans. Karena eksplanandum secara logis terkandung dalam explanan, orang
dapat mengatakan bahwa jika explanan tersebut benar (atau mungkin), maka eksplanandum
tersebut juga harus benar (atau mungkin). Karena deduksi logis dibuat di sini, jenis penjelasan
ini disebut penjelasan nomologis deduktif.
Dalam kasus kedua, hipotesis nomologis digunakan di mana diklaim bahwa dalam kondisi
tertentu peristiwa tertentu akan muncul dengan probabilitas statistik tertentu. Karena explanan
tidak mengandung pernyataan nomologis universal yang akan berlaku untuk semua kasus,
eksplanandum bukanlah kesimpulan yang secara logis diperlukan, tetapi hanya memiliki
probabilitas statistik tertentu. Jenis penjelasan disebut sebuah probabilistik atau induktif
statistik 163 penjelasan. Skema untuk kedua bentuk penjelasan adalah sama, tetapi penjelasan
probabilistik, berbeda dengan deduktif-nomologis, menghasilkan masalah epistemologis khusus
yang tidak memerlukan penanganan lebih lanjut di sini l64 .
Skema penjelasan yang ideal (deduktif sekaligus induktif) digunakan, tidak hanya dalam
ilmu alam, tetapi juga dalam ilmu sosial dan humaniora. Dengan penjelasan tindakan manusia
dan penjelasan sejarah genetik, bagaimanapun, masalah khusus muncul dari sifat tindakan yang
berorientasi pada tujuan dan adanya alternatif yang berbeda untuk bertindak l65 . Namun
demikian, dapat dibuktikan bahwa alternatif yang diharapkan - seperti misalnya penjelasan yang
didasarkan pada motif rasional daripada hipotesis nomologis - pada dasarnya sesuai dengan
skema penjelasan yang dijelaskan di atas l66 .
Karena skema ini menggunakan model atau tipe ideal, jelas bahwa penjelasan aktual akan
berbeda dari yang ideal dalam berbagai derajat. Ada penjelasan yang tidak lengkap, tidak tepat,
fragmentaris, dan parsial. Penjelasan untuk fenomena kompleks seperti yang ditemukan di
lingkungan pendidikan tidak bisa lain adalah tidak lengkap. Dalam rangka untuk menjelaskan
peristiwa yang rumit, kita harus membangun tidak satu, tapi banyak pernyataan
nomological. "Lengkap deskripsi dan penjelasan tentang tindakan sosial", kadang-kadang
diusulkan sebagai tujuan ideal untuk penelitian ilmu sosial L67 , adalah mustahil l68 . Mari kita
perhatikan beberapa contoh fenomena pendidikan yang membutuhkan penjelasan. Mengapa
anak-anak tertentu tidak mampu berhubungan dengan teman sebayanya? Mengapa beberapa
tidak kooperatif selama instruksi? Mengapa beberapa siswa mengembangkan pengendalian diri
yang meningkat dalam konteks metode pembelajaran "kemitraan" sementara yang lain dalam
32
konteks ini kehilangan hambatan mereka? Mengapa terapi bermain berhasil dalam satu kasus
tetapi tidak di kasus lain? Secara umum, mengapa beberapa ciri-ciri kepribadian (jenis perilaku
atau disposisi) yang diinginkan atau tidak diinginkan (berkaitan dengan tujuan pendidikan
tertentu) muncul dalam pendidikan dan? Atau, mari kita alihkan perhatian kita dari hubungan
antara perilaku pendidik dan struktur kepribadian pendidik ke permasalahan institusi
pendidikan. Mengapa hanya 30 hingga 50 persen siswa dalam sistem sekolah tertentu lulus
dalam waktu yang disarankan? Mengapa persentase siswa yang begitu tinggi membutuhkan
bantuan setelah sekolah? Mengapa pendidikan umum didorong lebih dari pendidikan kejuruan
dalam kurun waktu tertentu dalam sejarah suatu negara? Mengapa ada saling ketidakpercayaan
antara orang tua dan guru?
Dalam setiap kasus ini, fakta-fakta yang sangat kompleks harus dijelaskan. Seseorang
bahkan mungkin keberatan bahwa fakta-fakta ini terlalu kompleks untuk dijelaskan secara
memuaskan. Tetapi meskipun dalam banyak kasus eksplanandum dapat dirumuskan secara
lebih tepat, fenomena dalam bidang pendidikan yang penjelasannya paling penting secara
praktis biasanya juga sangat kompleks. Dalam area ini tidak mungkin untuk menyederhanakan
sistem yang kompleks sampai tingkat apapun tanpa mengubahnya secara radikal.
Dalam keadaan ini kita harus puas dengan penjelasan parsial atau seringkali hanya
dengan garis besar penjelasan belaka 169 • Dalam kasus penjelasan parsial, explanan yang
disarankan tidak cukup "untuk menjelaskan fenomena eksplanandum dalam segala hal di mana
ia telah dijelaskan; namun, itu memberikan penjelasan untuk sejumlah aspek ". Dalam garis
besar penjelasan, "eksplanan hanya ada sebagai perkiraan garis besar penjelasan, dalam
referensi yang kurang lebih samar tentang bagaimana data dan hukum anteseden dapat
ditambahkan sehingga penjelasan rasional yang memuaskan. Bahwa kita berurusan dengan
garis besar belaka menjadi jelas dalam kasus di mana saat ini tidak mungkin untuk memberikan
pengetahuan nomologis dengan dasar empiris yang memadai "170.
Oleh karena itu penjelasan bisa menjadi tidak sempurna karena pengetahuan yang tidak
memadai tentang kondisi sebelumnya atau hukum yang relevan. Fenomena yang relevan untuk
mencapai tujuan pendidikan pada umumnya ditentukan oleh banyak faktor yang tidak pernah
dapat kita temukan sepenuhnya. Karena tidak hanya objektivasi psikis (tindakan dan karya),
tetapi juga ciri-ciri kepribadian yang relevan dalam situasi pendidikan, peran sentral dalam
pendidikan dimainkan oleh sikap, disposisi emosional, kebiasaan penilaian dan pandangan
dunia yang diperoleh seseorang dari kontak seumur hidup dengan mitra interaksi. . Kita jarang
berpikir tentang seberapa besar jumlah variabel yang bisa playa peran dalam menjelaskan
perubahan perilaku 17L . Saat ini kami paling banyak menyadari sebagian kecil dari kondisi yang
diperlukan untuk menciptakan disposisi psikis yang diinginkan sebagai tujuan pendidikan
dalam situasi tertentu.
Bahkan yang kurang memuaskan adalah pengetahuan kita tentang keteraturan nomologis
yang dapat diterapkan dalam menjelaskan fakta-fakta yang relevan secara
pendidikan. Ini adalah naif untuk membayangkan bahwa hukum ditemukan dalam penelitian
dasar biologi, psikologi atau sosiologi hanya dapat diterapkan untuk pendidikan. Pernyataan
nomologis ini, pada umumnya, terlalu umum dan penelitian tambahan diperlukan untuk
menetapkan apakah pernyataan tersebut harus digunakan dalam kasus khusus yang ingin kami
jelaskan. Hukum yang berlaku untuk respon tikus yang terkondisikan di kotak Skinner tidak
dapat digunakan secara tidak kritis untuk menjelaskan bagaimana anak sekolah belajar bahasa
asing. Dalam situasi pendidikan kita sering menemukan faktor tambahan (atau variabel) yang

33
membuatnya sangat berbeda dari situasi sederhana penelitian dasar sehingga hipotesis yang
diverifikasi secara eksperimental tidak memiliki nilai penjelas 172 • Ini adalah hasil dari praktik
penelitian psikologi eksperimental, yang, sebagaimana telah dicatat, untuk alasan metodologis
berusaha untuk mengecualikan hampir semua rangkaian kondisi kompleks yang mempengaruhi
perilaku orang dalam situasi normal. Hanya jika kita membatasi diri untuk menggunakan
sejumlah kecil kondisi dasar sebagai variabel independen, kita dapat menentukan pengaruhnya
dengan tingkat akurasi yang relatif tinggi173. Dalam interaksi pendidikan normal,
bagaimanapun, variabel ini tidak muncul dalam bentuk yang terisolasi, tetapi hidup
berdampingan dengan variabel lain yang tak terhitung jumlahnya dalam sistem yang sangat
kompleks.
Untuk semua alasan ini, banyak penjelasan dalam ilmu pendidikan pasti tidak
sempurna. Setiap penjelasan tentatif. Jika deskripsi yang lebih tepat tentang peristiwa yang akan
dijelaskan tercapai, dan jika hipotesis nomologis yang lebih sesuai atau lebih baik ditemukan,
maka penjelasan yang diberikan dapat diganti dengan penjelasan yang lebih baik. Di mana
hukum yang diverifikasi secara empiris sama sekali tidak ada, dalam kasus terburuk yang
mungkin terjadi, kita harus puas dengan dugaan yang tidak didukung dengan baik atau hanya
dengan "hipotesis yang berorientasi" 174. Selama kita tetap menyadari kekurangan mereka,
penjelasan yang tidak sempurna lebih baik daripada tidak sama sekali, karena mereka bertindak
sebagai stimulus untuk penelitian lebih lanjut ke arah yang paling menjanjikan.

Prediksi atau prognosis ilmiah adalah argumen yang menjawab pertanyaan: "Apa yang
akan terjadi jika ... ?" Model prediksi yang ideal sangat dekat dengan penjelasan. Dalam
penjelasan, peristiwa yang ingin kami jelaskan telah terjadi dan hukum serta kondisi
sebelumnya dari mana penjelasan dapat diturunkan dicari setelah fakta. Dalam prediksi,
pernyataan nomologis dan pernyataan berdasarkan pengamatan keadaan konkret (atau kondisi
anteseden) sudah diberikan: prediksi (pernyataan yang menggambarkan peristiwa masa depan)
kemudian diturunkan dari premis ini. Perbedaan antara penjelasan dan prediksi terletak terutama
pada hubungan temporal antara terjadinya peristiwa dan waktu di mana pernyataan diturunkan
yang menggambarkan peristiwa ini. Dalam kasus prediksi, pengurangan
175 
dilakukan sebelum terjadinya peristiwa  •
Seperti penjelasan, prediksi ilmiah juga membutuhkan pengetahuan tentang hukum dan
kondisi sebelumnya. Berbeda dengan nubuatan, yang tanpa syarat mengklaim bahwa "x akan
terjadi", prediksi merumuskan klaim bersyarat atau hipotetis: "x akan (atau dapat)
terjadi jika hukum tertentu berlaku dan kondisi tertentu hadir" 176. Karena dalam kasus yang
ideal kita dapat mengasumsikan bahwa semua hukum yang relevan telah diketahui, tugas utama
peneliti terletak pada menentukan kondisi konkret yang diberikan pada situasi awal. Prediksi
tersebut kemudian disimpulkan dari kondisi ini dan hukum yang relevan.
Dalam bentuk logisnya, skema prediksi sesuai dengan penjelasan 177 , tetapi dalam hal lain
terdapat perbedaan yang cukup besar di antara keduanya. Satu perbedaan penting adalah bahwa
dalam penjelasan data tentang kondisi anteseden berlaku sepenuhnya untuk situasi masa
lalu dimana kita dapat memperoleh informasi yang cukup andal. Di sisi lain, dalam prediksi,
perlu memperhitungkan data tentang kondisi anteseden untuk situasi masa depan . Jadi,
seseorang harus berasumsi bahwa kondisi anteseden yang ditetapkan telah ada di masa lalu juga
akan hadir pada titik waktu mendatang di mana prediksi dibuat. Ini, bagaimanapun, adalah
asumsi hipotetis yang kemudian dapat disangkal. Antara waktu ketika prediksi dibuat dan di

34
mana peristiwa yang diprediksi diharapkan akan muncul, peristiwa-peristiwa yang mengganggu
mungkin ikut bermain dan mencegah kemunculannya l78 .
Terlepas dari semua perbedaan antara penjelasan dan prediksi l79 , argumen penjelasan
selalu dapat digunakan dalam kapasitas prediksi, sedangkan sebaliknya tidak terjadi. Mari kita
lihat lagi argumen penjelasan yang kita gunakan di bab sebelumnya. Hipotesis nomologis
berikut sudah diberikan: "Jika siswa yang cemas menerima instruksi yang diawasi dengan baik
dan diatur dengan jelas dari guru mereka, mereka akan bekerja lebih baik daripada jika
pengajaran diawasi secara longgar dan terstruktur
minimal". Jika dipertahankan dalam pernyataan tunggal bahwa siswa yang cemas A sampai
saat ini menerima instruksi yang kurang diawasi, berstruktur minimal, tetapi sekarang
menerima instruksi yang terorganisir dan diawasi dengan baik, kemudian menggunakan
hipotesis nomologis dan pernyataan tunggal ini sebagai premis yang dapat kita peroleh prediksi
bahwa dalam kondisi baru siswa A akan berprestasi lebih baik dari sebelumnya.
Setiap prediksi ilmiah terkait dengan asumsi bahwa kondisi awal akan tetap sama. Namun
pada kenyataannya tidak semua kondisi yang ada dalam suatu situasi pendidikan
diketahui. Selain itu, kondisi di mana orang hidup, belajar dan bertindak tidak pernah tetap
sama untuk waktu yang lama; Kompleks kondisi yang mempengaruhi perilaku masyarakat
berubah terus menerus. Oleh karena itu, prediksi jangka panjang untuk sistem terbuka dan tidak
terisolasi dengan kebebasan besar untuk tindakan spontan - seperti yang terjadi pada orang dan
kelompok sosial - sangat tidak pasti. Bahkan pernyataan nomologis yang memiliki kekuatan
penjelas yang besar tidak membantu dalam prediksi, jika pengetahuan tentang kondisi khusus
yang terlibat kurang. Dengan demikian, prediksi hanya bisa sama persis dengan pengetahuan
kita tentang hukum yang relevan dan kondisi individu dari kasus konkret. Jika misalnya
prediksi yang dibuat tentang prestasi sekolah siswa cemas, tetapi faktor-faktor tak terduga
seperti disfungsi otak yang mengakibatkan dalam hilangnya motivasi yang hadir, kenaikan
diperkirakan prestasi tidak mungkin terjadi.
Dalam membuat prediksi ilmiah, perlu juga mempertimbangkan jenis pernyataan
nomologis dan universal. Karena dalam ilmu pendidikan kita hanya dapat menggunakan jenis
statistik laporan nomological dan generalisasi empiris, secara fundamental tidak mungkin untuk
memprediksi individu acara. Untuk melakukannya kita harus menggunakan pernyataan
nomologis universal sebagai premis. Jika hanya pernyataan statistik yang tersedia, maka hanya
mungkin untuk membuat prediksi untuk kelas peristiwa. "Kemunculan kasus individu tertentu,
sebaliknya, sama sekali tidak pasti; hal yang mustahil dapat terjadi kapan saja" 180. Bahkan jika
kita harus berhasil dalam merumuskan teori perilaku sosial yang memiliki lebih banyak konten
daripada teori kita sekarang, hampir tidak dapat diharapkan bahwa dengan bantuan mereka
prediksi yang dapat diandalkan untuk praktik pendidikan dapat dibuat dalam setiap kasus
individu. Hipotesis nomologis teori hanya valid untuk kasus "murni" atau "ideal"; di dunia
nyata, karena sejumlah besar variabel yang relevan, perilaku beton individu dalam situasi yang
kompleks menyimpang sangat dari ideal ini 181 • Hal ini tetap mungkin untuk meningkatkan
tidak hanya pengetahuan nomological, tetapi juga pengetahuan kita tentang kondisi individu
dan penggunaan kedua jenis pengetahuan tersebut untuk berkembang dari prediksi yang sangat
tidak tepat ke prediksi yang lebih tepat.

PENERAPAN TEORI DALAM PEMECAHAN MASALAH TEKNOLOGI PENDIDIKAN

35
Pendekatan teknologi menanyakan "Apa yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan
x"? Perhatian utama di sini adalah untuk menemukan kondisi yang diperlukan dan cukup untuk
mewujudkan hasil atau hasil yang diinginkan. Yang menarik adalah kondisi yang tunduk pada
pengaruh kami.
Seperti prediksi, struktur logis yang digunakan dalam memecahkan masalah teknologi
mirip dengan model penjelasan yang ideal. Dalam aplikasi prediksi teori, pernyataan nomologis
dan pernyataan tunggal tentang kondisi anteseden (kondisi awal atau situasional) sudah
diberikan, sementara konsekuensi yang dihasilkan dari situasi yang diketahui dicari. Dalam
penerapan teknologi suatu teori, pernyataan nomologis dan pernyataan tunggal tentang suatu
tujuan sudah diberikan (yaitu pernyataan yang menggambarkan keadaan atau peristiwa tertentu
yang kita coba wujudkan). Peneliti mencari kondisi anteseden yang akan menyebabkan
terjadinya keadaan yang diinginkan. Dalam istilah logis murni, masalah akan terpecahkan
ketika pernyataan yang menggambarkan keadaan yang diinginkan dapat diturunkan dari
hipotesis nomologis teori dan pernyataan tentang kondisi yang dicari 182 • Tugas peneliti
kemudian terdiri dalam menemukan kondisi anteseden dalam sosial konkret realitas budaya
yang sesuai dengan hipotesis nomologisnya. Jika mereka tidak dapat ditemukan, dia harus
mencoba untuk mencari tahu apakah dan dengan cara apa mereka dapat dibawa ke 183 .
Sebagai contoh, mari kita asumsikan bahwa tujuan kita adalah untuk mendamaikan dua
kelompok pemuda yang berseteru dan menggabungkan mereka untuk membuat satu kelompok
yang lebih besar. Kami memilih dari berbagai teori sosio-psikologis yang ada, hipotesis
nomologis yang dikonfirmasi secara empiris bahwa anggota kelompok yang berseteru akan
menjadi kurang antagonis dan mencapai rasa solidaritas kelompok jika mereka berbagi
pengalaman yang sama dan bertindak bersama untuk mencapai tujuan bersama. Perubahan
sikap terjadi terutama dalam situasi di mana "lawan yang sama", "masalah bersama",
"keuntungan bersama", atau "kepuasan bersama" dialami l84 . Sekarang perlu untuk menentukan
kondisi yang berlaku untuk kedua kelompok yang ada dalam kondisi tertentu pada waktu dan
tempat tertentu yang sesuai dengan komponen-if dari hipotesis nomologis. Misalnya, situasi
"cornmon lawan" dapat dibuat dengan membuat kedua grup ambil bagian dalam pertandingan
olahraga melawan beberapa grup luar lainnya, dll.
Dilihat secara logis, ini adalah model yang sama seperti yang digunakan dalam penjelasan
dan prediksi. Ini digunakan sebagai pernyataan nomologis tempat dan pernyataan tunggal pada
kondisi anteseden. Ini digunakan untuk menyimpulkan pernyataan yang menggambarkan
keadaan atau tujuan yang diinginkan.

Hipotesis nominal: Pernyataan tunggal, Kesimpulan tunggal


“Jika anggota kelompok yang berseteru memiliki pengalaman cornmon dan mengambil bagian
dalam aksi kooperatif, maka permusuhan mereka akan berkurang dan akan muncul rasa identitas
kelompok”.
"Di tempat p pada waktu t ada dua kelompok A dan B yang berseteru".
'' Grup A dan B mengambil bagian dalam situasi yang melibatkan pengalaman cornmon dan
tindakan kooperatif Sl-Sn (misalnya kompetisi melawan lawan cornmon, dll) ".
"Anggota grup A dan B yang berseteru mengurangi permusuhan bersama dan mengembangkan
identitas grup bersama".

36
Masalah teknologi berhubungan dengan sarana yang sesuai untuk mewujudkan tujuan yang
ditetapkan (keadaan atau peristiwa yang diinginkan). Proses pemecahan masalah dimulai dengan
masalah membawa keadaan atau peristiwa yang dipandang sebagai efek, hasil atau hasil yang
diinginkan. Apa yang dicari adalah totalitas dari kondisi atau penyebab memproduksi hasil yang
diinginkan L85 ; kami ingin menemukan kombinasi keadaan mana yang dapat digunakan untuk
mewujudkannya.
Keadaan atau peristiwa yang ingin kita wujudkan bukanlah satu-satunya tujuan yang
mungkin. Kami juga dapat mencoba untuk mencegah munculnya peristiwa tertentu atau bekerja
melawan keadaan tertentu yang sudah ada. Dengan demikian, tujuan yang diberikan bergantung
pada keputusan, dan keputusan ini mengandaikan penilaian nilai. Orang hanya akan melihat k
untuk merealisasikan keadaan atau peristiwa yang mereka pandang sebagai positif dan hanya
akan berusaha untuk mencegah hal-hal yang mereka anggap negatif. Namun, tidak perlu untuk
memasukkan penilaian nilai ini ke dalam sistem pernyataan teknologi
pendidikan; sebaliknya, itu cukup untuk memulai dengan keadaan atau peristiwa yang telah
dikejar sebagai tujuan (atau mungkin dapat dikejar sebagai tujuan). Bahwa setiap keputusan
untuk tujuan tertentu bertumpu pada penilaian nilai tidak perlu dikatakan lagi, tetapi penilaian
nilai ini tidak harus dimiliki oleh sistem pernyataan teknologi. Menilai, menginginkan atau
memilih fenomena sebagai tujuan tidak relevan dengan pertanyaan tentang kondisi untuk
mewujudkannya.
Dalam memecahkan masalah teknologi, diperlukan hipotesis nomologis yang kemudian
komponennya mengandung pernyataan spesifik tentang fenomena akhir. Dalam contoh kami,
hipotesis nomologis berbunyi: "Jika anggota kelompok yang berseteru memiliki pengalaman
yang sama dan mengambil bagian dalam tindakan kooperatif, permusuhan bersama mereka
akan berkurang dan rasa identitas kelompok akan muncul". Hipotesis nomologis ini, seperti
halnya setiap pernyataan empiris, adalah aplikasi netral; dapat digunakan dalam mengejar
tujuan yang sepenuhnya berlawanan 187 • Jika kita berusaha untuk mewujudkan keadaan yang
dijelaskan dalam komponen kemudian, kita dapat merumuskan pernyataan teknologi berikut:
"Hasil yang diinginkan atau hasil 'pengurangan permusuhan bersama' dapat dicapai jika anggota
kelompok yang berseteru dibawa bersama dalam situasi di mana mereka berbagi pengalaman
yang sama dan mengambil bagian dalam tindakan kooperatif ". Di sisi lain, jika kita
ingin menghindari keadaan yang dijelaskan dalam komponen kemudian, kita dapat merumuskan
pernyataan teknologi berikut: "Tujuan 'menjaga permusuhan bersama' dapat dicapai jika
anggota kelompok yang bertikai dicegah untuk berbagi kesamaan pengalaman dan mengambil
bagian dalam tindakan kooperatif ". Strategi kedua ini diikuti ketika anggota kelompok percaya
bahwa sikap bermusuhan terhadap kelompok lain diperlukan untuk mengikat kelompok mereka
sendiri dan mencegah hilangnya komitmen anggotanya terhadap norma kelompok. Perilaku ini
merupakan ciri khas kelompok agama, ideologis, politik, nasional atau lokal yang ingin
melindungi anggotanya dari pengaruh kelompok dengan norma-norma yang menyimpang.
Hal ini juga memungkinkan untuk menggabungkan isi dari pernyataan teknologi deskriptif
dalam laporan preskriptif mengungkapkan mles atau norma-norma teknis. Sedangkan
pernyataan teknologi hanya memberikan informasi tentang kemungkinan untuk bertindak,
aturan teknis berisi resep untuk bertindak; mereka menentukan tindakan yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Aturan teknis berbentuk: " Untuk
mewujudkan tujuan B, lakukan tindakan A", atau "Jika ingin menghasilkan hasil B, gunakan

37
cara A" ("B dicapai melalui A"). Sebaliknya, jika seseorang ingin menghindari hasil B, maka
aturannya adalah: "Untuk menghindari B, jangan lakukan tindakan A", atau "Jika ingin
menghindari hasil B, jangan gunakan cara A" ("non -B dicapai oleh non-A "). Kedua aturan
tersebut bersandar pada hipotesis nomologis yang sama: "jika kondisi A ada, maka B akan
terjadi" ("Jika A. lalu B"). Komponen kemudian (atau konsekuensi) dari hipotesis nomologis
digunakan dalam aturan teknis sebagai komponen-jika (atau anteseden), sedangkan komponen-if
(anteseden) dari hipotesis nomologis muncul dalam aturan teknis sebagai komponen kemudian
(konsekuensi ). Dengan kata lain, anteseden logis dari hipotesis nomologis (serta negasinya)
muncul dalam aturan teknis sebagai sarana, sedangkan dalam aturan teknis konsekuensi logis
dari hipotesis nomologis (dan negasinya) membentuk tujuan, hasil atau akhir
yang diinginkan. l88 .
Hubungan antara hipotesis nomologis dan pernyataan teknologi (atau aturan) dapat
didemonstrasikan lebih jelas dalam pernyataan model berikut: "Karena penyebab (kompleks
bersyarat) A memiliki efek B, seseorang dapat (atau seharusnya) menghasilkan A untuk
mencapai B ". "Karena penyebab (kompleks bersyarat) A memiliki efek B, seseorang dapat
(atau harus) menahan diri dari memproduksi A untuk menghindari BU.
Komentar ini harus cukup untuk menyampaikan pemahaman tentang aspek logis dari
penerapan teori dalam memecahkan masalah teknologi. Metode yang diperlukan dalam kasus
konkret biasanya jauh lebih rumit. Banyak konsep psikis disposisi dan kompleks disposisional
yang telah ditetapkan sebagai tujuan pendidikan hanya didefinisikan secara samar dan kondisi
yang diperlukan untuk penampilan mereka tidak jelas. Ada kekurangan hipotesis nomologis
yang relevan dan seringkali hipotesis yang tampaknya relevan terlalu umum untuk penerapan
teknologi dalam kondisi tertentu. Selain itu, tidak semua hipotesis nomologis yang cocok untuk
menjelaskan fenomena cocok untuk menghasilkan, mencegah, atau mengubah fenomena
ini. Tidaklah cukup hanya terbiasa dengan kondisi di mana efek yang diinginkan
bergantung; melainkan yang penting dalam teknologi adalah pengetahuan tentang kondisi-
kondisi yang dapat dipengaruhi.
Alasan lain untuk kerumitan besar masalah teknologi adalah bahwa dalam kasus konkret
(berlawanan dengan kondisi yang termasuk dalam model yang disederhanakan) kita tidak
pernah hanya berurusan dengan satu tujuan pendidikan; sebaliknya, setiap tujuan adalah bagian
dari tujuan yang lebih kompleks yang juga harus dipertimbangkan. Dalam kompleks tujuan ini
ada juga tujuan yang menunjuk disposisi psikis yang hampir tidak cocok untuk satu dan orang
yang sama, misalnya "kemampuan untuk berpikir kritis tentang ideologi", di satu sisi, dan
"keyakinan" agama, ideologis atau politik di lain. Di atas segalanya, bagaimanapun, ada bahaya
bahwa sarana yang sesuai untuk mencapai satu tujuan akan menghalangi atau mencegah
pendidik tertentu mencapai tujuan lain . Jadi filsafat kadang-kadang diajarkan sebagai sejarah
intelektual komparatif, dimana ia secara kritis direlatifkan. Hal ini dapat melemahkan daya
tanggap terhadap keyakinan agama atau, dilihat secara lebih umum, pada orientasi ideologis
seseorang, perasaan aman dan kemampuan untuk bertindak secara moral. Masalah utama dari
teknologi pendidikan adalah efek samping yang tidak diinginkan 189 yang mungkin secara tidak
sengaja ditimbulkan dengan menerapkan cara-cara tertentu untuk tujuan yang diinginkan,
seperti misalnya ketika menyadari disposisi psikis yang dipilih sebagai tujuan l90 • Dengan
memeriksa hubungan yang sangat kompleks di mana tindakan pendidikan dilakukan.
dimaksudkan untuk campur tangan, kita bisa lebih memahami mengapa kita masih jauh dari

38
memiliki teknologi pendidikan yang didasarkan secara teoritis dan mengapa kita masih sangat
bergantung pada metode coba-coba yang tidak dapat diandalkan. Pendekatan teknologi terhadap
ilmu pendidikan tidak mempromosikan kepercayaan yang naif dalam perencanaan (seperti yang
dikira beberapa pengkritiknya), tetapi sebaliknya membuat kita sadar betapa sedikit
pengetahuan ilmiah yang kita miliki tentang kondisi untuk keberhasilan pendidikan.
 

lb. Historiography of Education

Historiografi merupakan sebuah kajian tentang metode sejarawan dalam mengembangkan


sejarah sebagai disiplin akademis dan secara luas. Definisi historiografi yang lain yaitu
setiap karya sejarah tentang topik tertentu. Tujuan historiografi yaitu untuk menulis
peristiwa di masa lalu secara kronologis dan sistematis. Kata historiografi tersusun dari kata
history yang artinya sejarah dan graph yang artinya tulisan. Sehingga bisa dikatakan bahwa
definisi historiografi yaitu tulisan sejarah baik yang memiliki sifat ilmiah (problem oriented)
ataupun yang tidak ilmiah (no problem oriented). Problem oriented yaitu karya sejarah yang
ditulis dan bersifat ilmiah dan berorientasi terhadap pemecahan masalah yang penulisannnya
memakai seperangkat metode penelitian. Lalu no problem oriented yaitu karya tulis sejarah
yang ditulis tidak berorientasi terhadap pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, serta
tidak memakai metode penelitian. Definisi historiografi menurut para ahli, salah satunya
Louis Gottschalk . Menurut Louis Gottschalk mendefinisikan historiografi adalah bentuk
publikasi, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan mengenai peristiwa atau kombinasi
peristiwa-peristiwa di masa lampau. Kemudian menurut Menurut Haryono Historiografi
merupakan suatu kisah masa lampau yang direkontruksi oleh sejarawan berdasarkan fakta
yang ada.
Berkenaan denan subjeknya yakni pendidikan, historiografi pendidikan menurut
Brezinka (1992) adalah subdisiplin ilmu pendidikan empiris. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa historiografi pendidikan adalah fenomena pada masa lampau mengenai
pendidikan yang direkontruksi oleh sejarwan berdasarkan fakta yang ada. Ada banyak
subdisiplin ilmu pendidikan empiris, diantaranya yang terdapat dalam Brezinka (1992) yakni
sejarah pedagogi, ilmu pendidikan sejarah, sejarah pendidikan, historiografis pedagogis,
historiografi pendidikan dan penelitian sejarah. Dasar dari semua disiplin sejarah ini sama
bahwa pernyataan tentang sebuah fenomena dapat diakses oleh pengalaman dan menjadi
sebuah fakta fenomena yang ada di masa lalu tidak mengubah situasi, untuk alasan ini
semua disiplin sejarah tunduk pada peraturan metodologis umum yang berlaku untuk semua
ilmu pengetahuan empiris.

Brezinka (1992) menjelaskan bahwa historiografi pendidikan tidak mengacu pada sejarah
pendidikan sebagai tindakan masa lalu, tetapi lebih kepada penyelidikan ilmian dan
deskripsi tindakan pendidikan masa lalu. Dalam hal ini ungkapan ambigu “pedagogik” harus
dihindari bahwa tindakan yang dimaksud oleh Brezinka bukan sebagai pedagogik, karena

39
pedagogik hanya mengacu pada sistem pernyataan atau teori pendidikan. Sedangkan dalam
displin yang dimaksud oleh Brezinka adalah kita memperhatikan semua fenomena sejarah
yang berhubungan dengan pendidikan serta hubungannya dengan sosial budaya. Kami pada
titik ini berurusan dengan penelitian pendidikan sejarah yang dilakukan oleh sejarawan
pendidikan. Oleh karena itu saran Brezinka adalah menamai sistem pernyataan yang memuat
hasil penelitian ini sebagai “historiografi pendidikan”, dengan menekankan pada tindakan
menulis (Yunani: historiographia: historia yakni sejarah dan graphia adalah menulis),
sebutan ini paling cocok untuk mengingatkan kita bahwa hasil penelitian sejarah tidak boleh
hanya dilihat sebagai refleksi atau penggambaran kejadian masa lalu yang sebenarnya, tetapi
sebagai kontruksi hipotesis yang dibuat oleh sejarawan.
Namun, dalam fondasi epistemologis dan teknik penelititannya, teori ini terikat pada
peraturan yang ditetapkan untuk penelitian historis. Penelitian historis adalah mempelajari
dan menggali fakta-fakta dan menyusun kesimpulan mengenai peristiwa masa
lampau. Peneliti dituntut menemukan fakta, menilai dan menafsirkan fakta yang diperoleh
secara sistematik dan obyektif. Pendidikan berlangsung seiring dengan zaman dan tentu
menjadi bagian dari masa lalu. Bagian pendidikan yang terbentang di masa lalu jauh lebih
terbentang dari masa sekarang. Pendidikan terdiri atas kejadian masa lalu, atau sejarah dan
termasuk bidang materi pelajaran ilmu pendidikan seperti halnya pendidikan saat ini.

Pandangan Wolfgang Brezinka Mengenai Historiografi Pendidikan


Untuk mendapatkan pengetahuan tentang kejadian masa lalu, kita harus menggunakan
penelitian historis. Begitu juga pendidikan sudah tentu memiliki masa lalu, pendidikan
memiliki subdisiplin sejarah dimana fenomena pendidikan di masa lalu yang relevan dapat
di akses dan diselidiki. Historigrafi pendidikan muncul tidak semata-mata terdiri dari
tindakan pendidikan masa lalu, tetapi mencakup semua aspek lain dari situasi atau bidang
pendidikan masa lalu, serta hubungan mereka dengan sistem sosial budaya yang lebih besar
pada zaman mereka. Pokok bahasan hitoriografi pendidikan tidak semata-mata terdiri dari
tindakan pendidikan masa lalu, tetapi mencakup semua aspek lain dari situasi atau bidang
pendidikan masa lalu, serta hubungannya dengan sistem sosial budaya. Tindakan pendidikan
mengandaikan refleksi teoritis tentang pendidik, situasi khusus mereka, tujuan, sarana, efek
pendidikan dan bagaimana pendidik menyesuaikan diri melalui rencana teoritis, model atau
intruksi untuk bertindak berdasarkan pendidikan. Oleh karena itu unsur-unsur teoritis ini
juga merupakan bagian esensial dari pokok bahasan penelitian sejarah tentang pendidikan.
Teori pendidikan masa lalu, literatur pendidikan masa lalu atau pedagogik masa lalu juga
termasuk dalam pokok bahasan historiografi pendidikan.
2..2.1 Pandangan Yang Berbeda Pada Tugas Historiografi Pendidikan
Apakah seseorang yang memandang “ilmu pendidikan (atau pedagogik ilmiah)” sebagai
ilmu murni empiris atau sebagai ilmu normatif akan mempengaruhi pendapat seseorang
tentang tugas atau tujuan historiografis pendidikan. Para pendukung ilmu pendidikan

40
empiris berpendapat bahwa penelitian sejarah dibidangnya memiliki tujuan yang sama
seperti dalam ilmu sosial dan budaya lainnya. Analisis keseluruhan materi sejarah dianggap
sangat penting untuk ilmu pendidikan, karena sebagai bagian terakhir yang harus
mendukung teori-teorinya dengan basis empiris seluas mungkin. Penelitian ini harus
menambah pengetahuan kita tentang berbagai macam fenomena pendidikan. Menurut
pandangan analitik-empiris ini, historiografi pendidikan tidak boleh dibatasi oleh norma
ideologis, moral atau politik yang sudah ada sebelumnya, dan juga tidak boleh dibuat untuk
melayani tujuan praktis dalam mendukung atau memberikan membenarkan norma-norma
yang diakui oleh kelompok-kelompok kontemporer partisan. Sebaliknya menurut para
pendukung pedagogik non-pribumi, mereka berpendapat bahwa sejarah dalam pendidikan
harus mengejar tujuan praktis. Mereka berpandangan bahwa objektivasi psikis masa lalu
mengenai norma dapat digunakan dan dibenarkan untuk tindakan pendidikan dan keputusan
kebijakan pendidikan saat ini. Namun dalam historiografi pendidikan dimungkinkan untuk
membuat norma-norma pendidikan teknis yang dirumuskan di masa lalu bisa digunakan
dalam situasi pendidikan kontemporer, tetapi pengetahuan tentang norma-norma tersebut
tidak boleh disamakan dengan pengetahuan yang didasarkan secara teoritis tentang
kegunaanya. Oleh karena itu historiografis pendidikan diharapkan tidak hanya untuk
memberikan pengetahuan tentang norma-norma teknis untuk pendidikan, tetapi juga
memberikan kontribusi untuk memperoleh, memvalidasi, dan mendukung norma tersebut.
Perbedaan sejarah pendidikan dan sejarah pengajaran masing-masing dan teori dibuat
cukup awal. Sejarah praksis pedagogis kontras dengan sejarah pendapat pedagogis dan
ajaran pedagogis tentang sejarah sistem pendidikan atau sejarah dengan sejarah literatur
pedagogis. Topik yang disebutkan pertama termasuk dalam sejarah budaya dan sosial,
sedangkan yang kedua termasuk sejarah intelektual dan sebagian sejarah ilmu pengetahuan.
Banyak yang membandingkan hubungan antara kedua bidang ini dengan sejarah antara
gereja dan dogmase. Perbandingan ini bagaimanapun, seharusnya mengingatkan kita bukan
hanya perbedaan antara norma dan cara orang yang menurutinya, tapi juga hubungan erat
antara kedua cabang sejarah pendidikan seperti halnya gereja yang tidak dapat eksis tanpa
dogma. Sistem pendidikan juga tidak akan ada tanpa opini, prinsip atau teori pendidikan
praktis. Sebaliknya, sistem pemikiran pedagogis dari zaman yang berbeda selalu
menerapkan praktik pendidikan tertentu sebagai prasangka dan referensi acuan. Isi teori dan
praktik pendidikan zaman sekarang tentu dapat dibedakan dalam hal kontras antara ideal dan
nyata. Tentu saja mereka juga dapat dipelajari secara terpisah dengan menggunakan
pendekatan yang lebih khusus, namun hal ini masih dapat terjadi dalam subdisplin historis
yang sama dalam ilmu pendidikan.
Menurut Brezinka (1992) bahwa studi historis dalam pedagogik cenderung menekankan
sejarah gagasan pendidikan dan sistem sekolah, namun dalam historiografi pendidikan studi
historis lebih cenderung bahwa situasi pendidikan dipandang sebagai fungsi variabel yang
berpusat pada kehidupan politik dan sosial masyarakat yang berbeda dan bahwa kebutuhan
dan keadaan sosial umum dipandang sebagai kunci ke bentuk di mana pendidikan pada
zaman tertentu mengekspresikan dirinya sendiri. Fenomena pendidikan yang paling relevan
41
dengan tugas normatif adalah keyakinan agama dan pandangan dunia, norma moral, adat
istiadat, gaya hidup dan ajaran pendidikan yang timbul. Perhatian utama mereka adalah
dengan sejarah “analisis struktural” intelektual dalam arti penafsiran yang menilai
kepercayaan tradisional. Tujuannya adalah untuk mendapatkan, membenarakan atau
mendukung norma-norma untuk digunakan dalam menafsirkan dunia dan menjalankan
kehidupan seseorang. Menurut pendekatan hemeneutis, historiografi pendidikan mempunyai
noram utama menciptakan konsensus tentang norma-norma masa lalu. Berdasarkan contoh
tokoh-tokoh penting yang mempercyainya dan teks yang dipilih berdasarkan keputusan
normatif awal. Adapun menurut Brezikna (1992) subordinasi penelitian historiografi
pendidikan tentang pendidikan ke tujuan normatif dapat ditemukan, tidak hanya dalam
bentuk pedagogik praktis yang “konservatif” yang berkaitan dengan pelestarian tradisi,
tetapi juga dalam bentuk progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan tradisi yang
ada. Setiap kelompok terlibat dalam ideologis kontemporer berusaha untuk mengikuti
pandangan dunianya sendiri, mencoba mengguanakan sejarah untuk digunakan sendiri. Ini
mengarah pada penyajian peristiwa, teks, dan gagasan sepihak yang ditafsirkan sebagai
penegasan ajaran kelompok. Historiografi pendidikan diharapkan dapat memperluas
cakrawala kita dengan mencari pendidikan diseluruh kehidupan budaya dan unit sosial
masyarakat. Adapun bidang studi historiografi pendidikan lainnya adalah pendidikan
keluarga, suku, lingkungan, atau masyarakat, majelis religius, kelompok sejawat, asosiasi
profesi dan pabrik, di unit militer, di kulb, dll. Historiografi pendidikan berpegang teguh
pada prinsip panduan untuk mempelajari hubungan antara tujuan, maksud dan hasil.

42
II. FILSAFAT PENDIDIKAN
(ll. Philosophy of Education)

(Jerman: Philosophie der Erziehung; Prancis: philosophie de l'education; Italia: filosofia dell'
educazione; Spanyol: filosofia de la educacion; Rusia: filosofija vospitanija)
Di satu sisi, tujuan pendidikan sangat penting untuk memutuskan
pertanyaan pedagogis setiap individu, sedangkan di sisi lain, mereka
bergantung pada pandangan dunia yang lengkap, yaitu pada totalitas
pandangan tentang nilai dan makna hidup manusia.
Ini, bagaimanapun, sejak dahulu kala dianggap sebagai yang pertanyaan
filsafat terakhir. Jadi, pedagogik pada dasarnya bergantung pada
filosofi. JONAS COHN (1919) 1

Karena kata "filsafat" memiliki banyak arti, banyak hal yang berbeda dapat diartikan dengan
ungkapan "filsafat pendidikan". Sebagai langkah pertama, kita harus membedakan Filsafat
sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir dan filsafat sebagai suatu sistem pernyataan.

Dalam buku ini kata "filsafat" selalu digunakan untuk menunjukkan sistem pernyataan, hasil
pemikiran filosofis atau produk dari aktivitas filosofis.

Apa itu karakteristik sistem pernyataan filosofis? Ciri-ciri apa yang membedakan filsafat dari
sistem pernyataan bukan milik filsafat?

Apa bidang studinya atau itu bidang masalah filsafat? Sebelum kita dapat memperoleh
pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan, pertama-tama perlu untuk
menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini.

A. KONSEP-KONSEP FILOSOFI
Sejak kata itu pertama kali muncul dan berlanjut hingga saat ini, pernyataan itu sistem yang
disebut "filosofi" memiliki perbedaan yang luas dalam tujuan, isi dan metode validasi. Dalam
bahasa Yunani kuno, "filsafat" pada awalnya dipahami sebagai pengetahuan yang dihargai demi
kepentingannya sendiri.

Filsafat pada awalnya merupakan ilmu universal Pokok bahasan utamanya termasuk alam,
manusia, moral, negara, seni dan aturan untuk berpikir benar. Di Selain bidang masalah teoritis
murni ada juga segera dikembangkan praktis fokus. Filsafat menggabungkan teori tentang dunia

43
dan teori tentang menjalani kehidupan yang baik, yaitu filsafat alam dan moral. Setelah kematian
ARISTOTLE kesatuan ini bubar karena pertumbuhan pengetahuan membuatnya perlu untuk
mengkhususkan diri. Ilmu individu dikembangkan dan nama "filsafat" sejak saat itu digunakan
terutama dalam arti "agama terpelajar" atau ajaran moral tentang perilaku hidup yang benar.
Sejak itu, Kata "filsafat" memiliki arti sekunder tambahan dari "agama semu", a"doktrin sekuler
tentang keselamatan" dan "ajaran kebijaksanaan".

Di Eropa Kristen, tugas memberikan pengetahuan agama diserahkan kepada teologi.Istilah


"filsafat" sekali lagi digunakan untuk memaksudkan semua pengetahuan non-teologis yang
didasarkan padaalasan (kecuali yurisprudensi dan kedokteran). Sejak abad ketujuh belas.

Namun, ilmu-ilmu khusus telah secara definitif memisahkan diri dari filsafat. Pada abad
kesembilan belas dan kedua puluh yang terakhir dari disiplin yang sebelumnya dianggap menjadi
bagian dari filsafat: logika, psikologi, ilmu politik dan pedagogi akhirnya menjadi otonom.

Filsafat terutama diturunkan untuk mempelajari masalah memperoleh pengetahuan


(epistemologi). Dasar epistemologis baik dari ilmu individu dan sistem pernyataan non-ilmiah,
telah menjadi yang utama bidang masalah yang terus menjadi tanggung jawab filosofi.

Bagaimanapun, terus ada pemahaman dalam filsafat sebagai pandangan dunia dan sebagai
panduan praktis untuk hidup. Alih-alih menurun, "filosofi" menjadi lebih relevan sebagai:
Kemunduran dari agama, sekularisasi kepercayaan, hilangnya pola hidup tradisional dan
ketidakamanan yang disebabkan oleh krisis makna, skeptisisme dan nihilisme telah
menyebabkan - terjadi di Late Antiquity- untuk mencari dan menyediakan pandangan dunia
dasar dan moral-ajaran orientasi dengan nama "filsafat". Berikut Ini kelas filsafat menurut
Brezinska

1. pandangan umum atau ideologi filsafat atau filsafat sebagai "ideologi spengganti agama
2. filsafat sebagai" sistem aturan untuk menguasai kehidupan "atau sebagai pedoman hidup
3. Filsafat sebagai sistem pernyataan teoritis yang dipahami secara independen temuan dari
ilmu individu dan pandangan dunia;
4. filosofi sebagai satu kesatuangambar meringkas hasil dari ilmu individu; dan
5. filosofi sebagaipenyelidikan prinsip-prinsip dasar, sebagai teori dan kritik terhadap
pengetahuan.

Contoh HUSSERL menyebut filosofi fenomenologisnya sebagai "sains ketat". Dan menganggap
intuisi ("Wesensschau") sebagai metode yang dapat diterima, sedangkan dari sudut pandang
Pandangan filsafat analitis tidak memiliki karakteristik esensial ilmu pengetahuan, yaitut
stabilitas pernyataan intersubjektif yang dihasilkan dengan menerapkan metode ini

44
Filsafat ini disebut "normatif" untuk menghindari kebingungan dengan "meta-etika ", cabang
filsafat analitik-epistemologis yang meneliti yang sudah ekspresi dan pernyataan etis dalam
istilah epistemologis3

Gambaran keseluruhan dari tiga kelas utama nama "filsafat", kita bisa menyelidiki arti "filsafat
pendidikan" dengan penafsiran etimologis, leksikal, operasional dan subjektif.

B. PANDANGAN TENTANG FILOSOFI PENDIDIKAN


Teks tentang "filsafat pendidikan" mengungkapkan pendapat yang agak berbeda, topik atau
materi pelajaran mana yang termasuk dalam bidang pengetahuan ini. Setidaknya ada delapan
makna kata atau delapan kelas sistem pernyataan yang diberikan menurut kriteria analitik-
epistemologis. Yaitu:

1. "filsafat pendidikan" atau "pedagogik filosofis" merupakan sistem pernyataan ilmiah-


empiris tentang pendidikan yang hanya tidak signifikan ditambah dengan pernyataan
normatif.
2. Dalam "filsafat pendidikan" dipahami sebagai ilmu universal dalampengertian Platonis-
Aristotelian atau abad pertengahan dari kata "filsafat", yaitu sebagai kombinasi ilmu
pendidikan empiris, normatif, metafisik dan analitik-epistemologi
3. "filsafat pendidikan" digunakan untuk merujuk pada praktik teori pendidikan (atau dalam
terminologi kami sistem pedagogik praktis).
4. "filosofi pendidikan" juga mengacu pada sistem pernyataan yang berhubungan dengan
pengaruh yang diberikan doktrin filosofis pada teori pendidikan
5. doktrin filosofis dipelajari menurut apa yang mereka katakan baik secara langsung
maupun tidak langsung(sejauh dapat direkonstruksi dengan interpretasi) tentang
pertanyaan-pertanyaan pendidikan.
6. Terkadang sistem pernyataan secara tegas ditetapkan sebagai "filosofi analitik pendidikan
tidak terbatas" filosofipendidikan "dalam pengertian filsafat analitik atau epistemologis
7. Di bawah nama "filosofi pendidikan" kami juga menemukan sistem pernyataan yang
dapat disebut filosofi pandangan dunia pendidikan. Sistem pernyataan ini berbeda secara
luas menurut isi filsafat pandangan dunia yang mendasari mereka. Perbedaan lama antara
filsafat teoretis dan praktis (metafisik, ontologis, filosofis-antropologis)
8. Istilah "filosofi pendidikan" atau ungkapan terkait paling sering digunakan untuk filosofi
normatif pendidikan.

45
C. KEKURANGAN NORMATIF DARI NORMATIF-DESKRIPSI
PEDAGOGI
Dalam teori praktis pendidikan, dari mana pedagogika ilmiah berasal, COMENIUS mengusulkan
sebagai tiga tujuan teori pendidikan "kebahagiaan" (harmoni dengan Tuhan), "kebajikan" dan
"seni".

Porsi utama karyanya didedikasikan tentang bagaimana anak-anak harus dibimbing untuk
memperoleh disposisi psikis ini. Dalam teori pendidikandari jenis ini keyakinan religius dan
moral masyarakat tentang nilai hierarki objek dan tujuan potensial, makna hidup, kebajikan dan
kejahatan dimasukkan ke dalam doktrin pendidikan tanpa pembenaran eksplisit, karena memang
demikian adanyad ianggap terbukti dengan sendirinya.

Tujuan ini harus dicapai melalui pendidikan dimulai pada abad kesembilan belas dengan upaya
pertama untuk membatasi ilmiah dari teori pedagogik seni pendidikan, pendidikan berusaha
mengembangkan kombinasi disiplin normatif-deskriptif.

llmu pedagogik telah memenuhi tugas normatif. Konten normatif umumnya menurun lebih dari
itu tumbuh. Penulis menyerukan "humanisasi manusia" melalui humanitarianisme humanisasi
hubungan interpersonal. Ketika mencoba untuk menetapkan tujuan yang konkrit, sebagai
pendidik harus berurusan dengan yang spesifik dalam kondisi tertentu, pengalaman telah
menunjukkan bahwa "dalam ideal keduniawian ... nilai-nilai etika yang menyusun secara
keseluruhan makna dan isi hidup kita.

Demikianlah tujuan pendidikanmenjadi bukti di sini; ia berlaku untuk setiap orang mengikuti
analisis kami tentang situasi saat ini.Apa yang 'pada akhirnya' didasarkan pada mereka bukanlah
hal yang sangat penting ".

Berdasarkan wawasan tentang "historisitas keberadaan manusia", pendidik dengan normatifnya.


berkontriibusi terhadap etika tindakan pendidikan. Alasan untuk ini berkaitan terutama dengan
keadaan yang tidak memadai pengetahuan teknologi tentang pendidikan.

Saat ini pengetahuan ilmiah masih kurang hubungan antara tujuan dan sarana yang didefinisikan
secara tepat dan efektif dalam keadaan tertentu. Jadi pedagogik normatif-deskriptif - terlepas dari
semua desakan pada praktiknya berisi tidak hanya sedikit wawasan tentang teknologi
pendidikan, tetapi juga norma yang konkret dan beralasan.

Meskipun didefinisikan dengan jelas, dibutuhkan norma-norma konkrettindakan pendidikan,


justru inilah yang kurang. Meskipun norma keilmuanberkenaan dengan penilaian nilai dan
pernyataan normatif hanya dapat berarti bahwa mereka seharusnya divalidasi, ini dilakukan
secara tidak memadai atau tidak dilakukan sama sekali.

46
Kekurangan normatif dari pedagogik ilmiah normatif-deskriptif campuranakan menjadi kurang
kritis jika bukan karena satu hal. Banyak ahli teori pendidikan juga memilikinya. pertama-tama
perlu dibedakan masalahnya dari yang terkait denganpenilaian nilai dan norma yang
diperlakukan dalam ilmu pendidikan empiris dan difilosofi pengetahuan pendidikan (atau meta-
educology).

D. NILAI DAN NORMA SEBAGAI MASALAH EMPIRIS,


NORMATIF DAN EPISTEMOLOGIS
Wilayah yang terdiri dari valuasi dan norma tidak hanya luas dan sulit untuk disurvei, tetapi
setidaknya secara teoritis kontroversial seperti cabang pengetahuan lainnya. Kata kunci dari
subjek ini ambigu, misalnya '' nilai '', "norma", "moralitas", "moral", atau "baik"

Ada kekurangan konsep yang jelas dan bahkan ada kesepakatan tentang interpretasi dan
klasifikasi dasar empiris. Yang lebih luas adalah ketidaksepakatan tentang kemungkinan dan
metode yang terlibat dalam mengenali nilai dan norma pembenaran.

Berikut ini menjelaskan tugas-tugas filsafat pendidikan normatif, kita harus membedakan antara
masalah empiris, normatif dan epistemologis.

1. empiris masalah keprihatinan valuasi dan norma-norma sebagai fakta psikis dan sosial
dibaik dulu maupun sekarang. Masalah-masalah ini ditangani dalam ilmu empiris. tugas
utamanya adalah mengumpulkan, mendeskripsikan, menafsirkan, membandingkan,
mengklasifikasikan dan menjelaskan fenomena tersebut.
Beberapa masalah bersifat psikologis. Antara lain, ini masalahproses psikis yang terlibat
dalam menilai dan memilih, dalam perilaku yang berorientasi pada tujuan,motivasi,
sentimen moral, pengembangan kesadaran nilai, kemampuan membuatdiskriminasi moral
dan bertindak secara moral, perbedaan individu dalam menilai dan mematuhidengan
norma, serta psikopatologi penilaian dan perilaku moral.
2. Kajian normatif dapat dipahami baik dalam arti sempit maupun luas. Didalam pengertian
sempit, itu adalah masalah pertanyaan "Apa yang harus saya lakukan?" Dalam arti luas,
misalnya pertama: "Bagaimana seharusnya menilai? Menetapkan norma hanya mungkin
setelah kita menganggap nilai positif atau negatif fenomena dan membentuk hierarki
barang (atau nilai).

Selanjutnya tujuan tertinggi (ideal, nilai, baik) kehidupan dapat diberi nilai dan makna.
Untuk banyak alasan, ini termasuk di antara masalah normatif. Konsepsi ini sesuai
dengan tradisi kembali ke ARISTOTLE, yang menurutnya tugas etika atau filosofi moral
tidak hanya untuk menetapkan norma, tapi di atas semua untuk menjawab pertanyaan
untuk kebaikan tertinggi, tertinggi (atau benar) tujuan, yang hirarki yang tepat atas barang
(atau nilai) dan determinasi manusia.

47
Dengan demikian kategori masalah normatif dalam arti luas meliputi pertama-tama
masalah penilaian yang harus diperlakukan secara (non-deskriptif, penilaian atau)
normatif teori nilai (aksiologi).
Penting untuk diingat bahwa penilaian moral hanyalah satu kategori antara lain. Ada juga
konsep nilai pengetahuan, hukum, agama, kegunaan,efisiensi, kecantikan, vitalitas, dll.
Jika pendidik dan pembuat undang-undang yang peduli dengan pendidikan ingin
memperoleh hakorientasi normatif, itu adalah mutlak diperlukan bahwa jawaban
ditemukan untuk berbagaipertanyaan tentang penilaian. Ini berlaku untuk semua aspek
situasi pendidikan danterutama untuk tujuan dan sarana. Sebagai contoh, orang hanya
perlu memeriksa masalah terlibat dalam memilih bahan ajar dari warisan budaya atau
pembelajaran tertentukonten dari berbagai macam materi pelajaran yang tersedia.
"aksiologi pedagogis", area ini termasuk didaktik diarti kata yang lebih sempit (sebagai
teori isi pengajaran), yang untuk sebagian besar identik dengan apa yang sekarang
disebut "teori kurikulum".

Faktor sentralnya adalah nilaipenilaian, karena hanya setelah penilaian dibuat barulah
mungkin untuk menetapkan norma.Masalah penetapan norma merupakan sub bidang
kedua dari masalah normatif.

Untuk filsafat pendidikan normatif itu di atas semua penting untuk membedakan antara
norma yang menyatakan bahwa sesuatu harus menjadi dan normamenyatakan bahwa
sesuatu harus atau tidak seharusnya dilakukan.

Yang pertama disebut cita - cita, itu norma perilaku terakhir (resep untuk bertindak atau
menahan diri dari tindakan). Dalam kasus cita-cita seseorang dapat membedakan antara
cita-cita kepribadian dan cita-cita masyarakat. SejakCiri-ciri kepribadian pendidik selalu
menjadi sasaran tindakan pendidikan, normatif Teori cita-cita atau kebajikan kepribadian
sebagai tujuan pendidikan merupakan hal yang sangat penting mengorientasikan
pendidik.

Norma perilaku dapat dibedakan menjadi norma teknis dan norma moral. Secara normatif
Filsafat pendidikan kita tidak perlu memperhatikan norma-norma teknis, karena ia faktual
terdiri dari hipotesis nomologis yang formulasi dan pengujiannya adalah pendidikan
empiris. Konten normatifnya bergantung padatujuan tertentu sedang ditetapkan, yang
dengan sendirinya diperlakukan oleh teori normatif cita-cita kepribadian sebagai tujuan
pendidikan.

Namun, yang paling penting adalah norma moraluntuk tindakan pendidikan. Norma-
norma ini mengungkapkan apa, menurut kriteria moral tertentu, harus atau tidak harus
dilakukan dalam pendidikan.

48
3. Masalah epistemologis menyangkut antara lain bahasa nilai penilaian dan pernyataan
normatif, kekhasan logis mereka dan argumen yang digunakan untuk membenarkan
mereka. Dalam hal ini kita berurusan dengan filosofi dari menilai dan pernyataan
normatif (atau sistem pernyataan).
Sejauh ini adalah analitik-studi epistemologis norma moral, seseorang berbicara tentang
meta-etika.
Tugas utamanya adalah "untuk memeriksa secara kritis konteks pembenaran dalam
argumentasi etis dan kritis mengevaluasi prinsip-prinsip moral dan mengkritik sistem
etika yang berlaku dan dominan moralitas. Berikut ini beberapa contoh pertanyaan yang
diambil dari filosofi epistemologis pengetahuan pendidikan normatif: "Apa arti dari
pernyataan itu?
"Apa itu makna norma bahwa tujuan pendidikan adalah 'perolehan kemampuan kritis
partisipasi dalam perjuangan melawan kondisi yang menghambat wacana bebas?;
"Apakonten normatif terkandung dalam tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh Jerman
Dewan Pendidikan bahwa siswa Jerman harus memperoleh kemampuan untuk
'merealisasikankebebasan dan hak yang diberikan oleh Konstitusi '? ".

Telah memisahkan yang normatif dari masalah empiris dan epistemologis sekarang saya
ingin membahas secara lebih rinci tugas-tugas spesifik dari filsafat normatif pendidikan.

E. TUGAS DAN MASALAH FILOSOFI NORMATIF


PENDIDIKAN
Seperti halnya setiap jenis pengetahuan empiris, temuan ilmu pendidikan bisa jadi digunakan
untuk tujuan. Dalam ilmu pendidikan kita hanya belajar tentang fakta, tapi tidak tentang
bagaimana kita harus mengevaluasi dan apa yang kita inginkan.

Orang mengandalkan alat bantu normatif untuk menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip dasar
penilaian, hierarki barang, cita-cita, kebajikan dan tugas. Alat bantu yang paling vital adalah
terkandung dan diperoleh dari norma hukum.

Ajaran moral dan Weltanschauung dari kelompok-kelompok yang menjadi anggotanya. Untuk
struktur penting hubungan interpersonal, misalnya antara pasangan nikah, orang tua dan anak,
supervisor dan bawahan, ada pola penilaian dan tindakan yang dilembagakan.

Pola tersebut dilokalkan dalam bentuk adat istiadat dan adat istiadat masyarakat. Misalnya
banyak profesi memiliki kode perilaku atau etika profesi, seperti halnya guru/pendidik. Banyak
para filsuf menyebut 'landasan rasional bagi moralitas' dan mencoba untuk menjaga kepercayaan
pada moralitas dominan dan pembenarannya tidak lagi sesederhana itu. Dalam masyarakat
terbuka (atau pluralistik) saat ini, semakin sedikit peran normatif untuk mengarahkan orang. Di

49
antara alasan lain, hal ini dapat dikaitkan dengan penyebaran pandangan dunia ilmiah,
keragaman ajaran moral dan gaya hidup.

Hal ini membawa pada pertanyaan tentang makna, nilai dan norma. Jumlah norma moral yang
diterima secara universal hampir tidak melampaui hak asasi manusia.

Tidak ada retorika tentang "penentuan nasib sendiri", "realisasi diri", "otonomi"
atau"emansipasi" dapat menyamarkan fakta bahwa kebanyakan orang yang hidup di negara
industri maju masyarakat tunduk pada pengaruh eksternal.

Mereka yang berdebat dengan cara yang beralasan ilmiah dengan demikian dapat menghindari
kritik, tetapi pada saat yang sama mereka tidak akan memperoleh orientasi normatif. Orientasi
ini didasarkan pada pengetahuan, dan juga pada keberanian untuk menilai, membuat keputusan,
dan mengakui keyakinan seseorang. Saat ini, filsafat kritis analitik dan epistemologis
berkembang jauh lebih baik daripada yang terjadi dalam filsafat normatif.

Risiko yang lebih kecil bagi filsuf untuk menganalisis, menafsirkan, dan mengkritik penilaian
nilai dan norma-norma itu adalah untuk merumuskan dan membenarkan mereka (norma dan nilai
dominan). Di sisi lain, tidak perlu diragukan bahwa pendidik membutuhkan alat bantu orientasi
normatif yang tidak akan membuat mereka tidak berdaya dalam pendidikan konkrit.

Komentar GOETHE berlaku pada masalah pengetahuan empiris saat ini tentang nilai, cita-cita,
norma moral dan landasan agama, pandangan dunia atau filosofis "Pengetahuan tidak lagi
memajukan kita hiruk pikuk dunia: sebelum seseorang mencatat segalanya, dia sendiri berada di
urutan ke-10 ". untuk itu hanya filosofi pendidikan normatif yang dapat menilai menawarkan
orientasi normatif. Karena filosofi ini harus menetapkan norma-norma dan nilai-nilai. Ini tidak
terjadi secara irasional, melainkan atas dasar pengetahuan yang kurang lebih menyeluruh,
fenomena ini harus dievaluasi atau diinterpretasikan secara normatif atau diadaptasi,dan
penilaian aktual yang dilakukan orang.

Alasan pasti bisa diberikan mendukung satu nilai dan menolak yang lain, dan memang karakter
Filsafat normatif justru terdiri dari keterbukaan pernyataannya terhadap logika pembenaran.
Namun, pembenaran ini, betapapun lengkapnya, tidak akan pernah dapat membuat keputusan
konkret. Filosofi pendidikan normatif tidak dapat menggantikan pandangan dunia yang
berterima, hukum yang valid, sentimen moral dan tindakan moral yang dilembagakan bagi
pendidik. Sebagai sistem pernyataan, filsafat normatif bukanlah yang utama, namun elemen
tatanan masyarakat atau kontrol sosial.

Filsafat normatif "adalah disiplin praktis, tujuan doktrinnya adalah untuk mendapatkan tujuan
yaitu menyelidiki perilaku manusia, dan bagaimana membimbingnya". Filsuf etika normatif
harus keluar untuk mendorong kinerja satu tindakan dan untuk mencegah tindakan lainnya. Cara
paling sederhana untuk mengklasifikasikan tugas-tugas filsafat pendidikan normatif adalah

50
menurut skema tujuan-tujuan. Atas dasar ini, kita dapat membedakan antara Filsafat normatif
dan tujuan pendidikan atau teologi pedagogis normatif dan filosofi normatif.

Bahasa "etika normatif bagi pendidik", sub-bidang ini selanjutnya dapat dibagi menjadi
pengajaran normatif kebajikan bagi pendidik dan etika tindakan pendidikan (teori tugas). Kedua
kelompok topik ini meliputi aksiologi (menilai atau normatif) sarana material (teori barang).
Yang terakhir dapat dibagi menjadi teori nilai isi pengajaran (normatif didaktik) dan filosofi
normatif organisasi pendidikan (aksiologi pengajaran konten dan organisasi pendidikan).

Dengan demikian Filsafat pendidikan normatif tidak terbatas pada norma moral untuk
pendidikan, tetapi juga meluas pada penilaian nilai, termasuk pertimbangan nilai moral, yakni
hukum, estetika, agama, ekonomi dan penilaian higienis.

F. FILOSOFI NORMATIF TUJUAN PENDIDIKAN DAN


METATHEORY
Tujuan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian sejumlah peserta didik dari disposisi psikis
(kemampuan, kompetensi, kebajikan) yang difasilitasi oleh pendidik dalam proses kegiatan
pendidikan mereka. Konsep kepribadian dasar yang mengikat semua anggota masyarakat dalan
internal budaya mereka. Seseorang tidak perlu membuat kepribadian yang baru namun cukup
memperjelas, menafsirkan, mengkonkritkan, melengkapi dan mungkin juga untuk
mengembangkannya lebih lanjut tentang tujuan pendidikan ini.

Ini adalah proses yang secara fundamental menyangkut semua warga negara dalam demokrasi.
Profesional pendidik dan ahli teori pendidikan tidak memiliki tanggung jawab lebih. Sistem
pendidikan adalah sektor dari sistem kemasyarakatan yang dimiliki secara khusus mewujudkan
disposisi psikis kepribadian yang ideal.

Dalam menjelaskan bagaimana pemilihan dan pengaturan tujuan pendidikan mengacu pada
filsafat epistemologis. Epistemologis analitik (atau meta-teoritis) tujuan pendidikan memiliki dua
elemen utama: konten normatif dan interpretasinya di satu sisi, serta validasi atau pembenaran di
sisi lain.

justifikasi pendidikan bertujuan dalam terang ini. Oleh karena itu, tujuan pendidikan harus
diperiksa sehubungan dengan konten normatif. Hal ini untuk menentukan apakah ada atau tidak,
dan jika ya, isinya.

Secara umum isi normatif suatu pernyataan adalah berbanding terbalik dengan ruang lingkup
empiris, eksistensial atau tindakan kompatibel.

Dengan demikian Isi normatif tidak dapat dipisahkan secara empirisnya, yaitu dari pernyataan
tentang gaya hidup atau tindakan yang menjadi norma:mendukung, melarang atau mengizinkan.

51
Konten empiris menjadi bagian dari suatu norma saat menjadi "seharusnya". Kurangnya konten
normatif selalu berarti kekurangan konten empiris.

Contoh dari ini adalah pernyataan pseudo-normatif berikut:”Murid harus belajar untuk bertindak
secara bertanggung jawab";

"Tanggung jawab memiliki arti dalam setiap komitmen terletak pada prinsip utama moralitas:
kebaikan. Orang yang bertanggung jawab mengukur dirinya sendiri. Menerima tanggung jawab
dan bertindak dalam gaya yang terstruktur secara moral berarti satu. Untuk diskusi komprehensif
tentang pseudo-normatif kita harus mengerti bahwa normatif berfungsi tidak hanya untuk
mengidentifikasi pandangan dunia, tetapi juga diperlukan sebagai prasyarat untuk penilaian kritis
dan untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Sebelum kita dapat menguji validitas, implikasi dan kelayakan tujuan pendidikan,pertama-tama
perlu untuk menemukan yang disposisi psikis dimaksudkan Masalah metatheoretik dalam
membenarkan tujuan pendidikan adalah –adanya perbedaan konsepsi metatheoretical dari ciri-
ciri pernyataan normatif.

Para naturalis meta-etika berpendapat bahwa konsep normatif dapat sepenuhnya ditentukan oleh
konsep deskriptif, bahwa pernyataan normatif dapat diterjemahkan tanpa kehilangan makna
menjadi pernyataan empiris, dan karenanya pernyataan normatif juga bisa berasal dari yang
empiris.

Para intuisi meta-etika (atau non-naturalis) berpendapat bahwa ada perbedaan penting antara
pernyataan normatif deskriptif dan normatif itu sendiri. pernyataan deskriptif atau dibenarkan
secara empiris. Menurut mereka, prinsip dasar valuasi, serta norma dasar, diakui sebagai bukti
diri secara intuitif. Penilaian nilai atau pernyataan normatif berasal bukan dari prinsip tidak benar
atau salah, melainkan valid atau tidak valid.

Para non-kognitivis meta-etis (atau penggerak emosi) mengajarkan pernyataan normatif itu
terutama memenuhi fungsi praktis. Karakteristik utama mereka bukanlah karena mereka
menggambarkan menetapkan konten tertentu (yaitu bahwa mereka hanya memiliki karakter
kognitif), mungkin benar atau salah.

Polemik yang ambigu tidak perlu dapat dilacak pada kegagalan untuk membedakan secara jelas
di antara "Pembenaran norma" dapat diuji dengan prinsip-prinsip sebagai berikut.

1. logis (atau deduktif)pembenaran;

2. pembenaran melalui prosedur penetapan norma yang diakui (atau valid);

3. justifikasi dalam arti memberikan alasan empiris (atau "membenarkan norma dalam
konten-pengertian evaluatif ").

52
Hanya makna ketiga ini yang merujuk konsekuensi logis (derivasi atau deducibility)
artinya pernyataan normatif dianggap dapat dibenarkan jika dapat diturunkan dari
pernyataan normatif yang valid.

Dengan demikian, tujuan pendidikan yang sangat kaya tidak akan pernah bisa diperoleh melalui
apa pun melalui proses derivasi (deduksi).

Tentunya tujuan pendidikan yang bersumber dari tafsir yang demikian mendasarhak tidak cukup
untuk memberikan norma bagi seluruh kurikulum sekolah nasional sistem, tetapi mereka
berfungsi sebagai kriteria untuk mengkritik atau mengecualikan yang tidak kompatibel dengan
instruksional.

JONAS COHN menulis bahwa "relativisme itu benar dalam mempertahankan apa yang bisa ada
tidak ada bukti logis murni dari validitas nilai ekstra-logis, tujuan atau norma, yaitu tidak ada
kontradiksi dalam menyangkal keabsahan nilai etika, estetika atau lainnya.

Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada cara untuk membuat keputusan ilmiah yang valid.
Elemen rasional utama dalam menimbang pembenaran adalah pengetahuan empiris (atau dugaan
berdasarkan pengetahuan semacam itu).

G. ETIKA NORMATIF BAGI PENDIDIKAN DAN FILOSOFI


NORMATIF GURU DAN ORGANISASI PENDIDIKAN
Pendidik adalah variabel terpenting yang penting untuk meraih keadaan psikis yang ditetapkan
sebagai tujuan pendidikan. Pedagogik telah lama menekankan pentingnya teladan pendidik untuk
memperoleh kebajikan tertentu. Kepribadian pendidik adalah yang paling penting. Berdasarkan
HERBART, otoritas yang diperlukan hanya dapat diperoleh "melalui keunggulanpikiran”.
Artinya tidak hanya kebajikan profesional seperti kesabaran, kebijaksanaan dan keadilan, tapi
pendidik juga harus memiliki disposisi untuk berpikir, merasakan dan bertindak yang
independen, mencontohkan cita-cita moral dan intelektual masyarakat di mana mereka hidup.

Dalam pengertian ini BUBER menulis bahwa "kekuatan yang menentukan untuk
mempengaruhi" didasarkan pada "pemilihan aspek terbaik dunia sebagai bidang pengaruh yang
mempengaruhi manusia", yang mengandaikan bahwa pendidik telah mengumpulkan" kekuatan
konstruktif dunia ... dalam dirinya sendiri'.

Argumentasi bagi faham relativisme dan skeptisisme moral - dapat dengan mudah mengarah
pada cita-cita yang tidak realistis yang secara moral berlebiha npendidik.

Namun, ada kebenarannya dalam kontak dengan pendidik mereka umumnya lebih penting yakni
tindakan pendidikan yang direncanakan. Dari argumen yang relatif abstrak ini dapat dilihat
bahwa teori kebajikan untuk pendidik memiliki dasar empiris.

53
Dasar ini terdiri dari pengamatan karakter dan perilaku orang lain dalam membantu pendidik
mencapai keadaan psikis sebagai tujuan pendidikan. Apa yang dianut sebagai kebajikan dalam
banyak kasus tidak lebih dari kebalikan dari sikap atau cara bertindak yang dianggap negatif.

Misalnya, pengetahuan tentang konsekuensi berbahaya dari perlakuan dingin atau tidak pengasih
terhadap anak-anak digunakan untuk membenarkan norma kehangatan sebagai kebajikan
pendidikan dan perhatian penuh kasih sebagai pendidikantanggung jawab.

Norma-norma ini tidak bisa hanya diturunkan dari empiris yang disebutkan di atas pengetahuan
tentang konsekuensi negatif. Namun, mereka bisa secara empiris dan logis dibenarkan norma
ditetapkan bahwa fenomena merugikan harus dihindari.

Demikianlah sikap dan pola perilaku tepat untuk dipromosikan sebagai norma, sejauh tidak
bertentangan dengan norma moral yang lebih tinggi yang tidak memiliki efek samping yang
tidak diinginkan dan buruk secara moral.

Demikian pula, ada sikap terlarang larangan dan pola perilaku yang akan menghalangi realisasi
tujuan yang diinginkan.

Penilaian moral pada tujuan pendidikan tertentu, memiliki dasar untuk mencapai tujuan
pendidikan masing-masing. Oleh karena itu, potensi norma teknis harus dinilai berdasarkan
norma moral yang lebih tinggi. Contohnya adalah norma "membiarkan individualitas seutuhnya.;
norma bahwa setiap tindakan pendidikan harus dinilai oleh" pengalaman, yaitu dengan empati
pendidik, bahwa" semua pendidikan harus berlangsung dalam iklim cinta"

norma" tanggung jawab untuk mendidik "atau "keaslian hubungan pedagogis antara tuntutan
pendidikan dan kesadaran para pendidik akan pertanyaan"

Norma yang lebih tinggi semacam ini sering disebut (moral) '' prinsip '' pendidikan.

Adapun tujuan pendidikan, prinsip pendidikan sangat bervariasi dalam konten normatifnya.
Demikian pula, banyak prinsip pendidikan yang dimasukkan pernyataan normatif yang praktis
tidak memiliki konten apa pun. Perilaku untuk alternatif pedagogis cukup ulangi pernyataan
etika umum tentang tanggung jawab, keadilan, rasa hormat untuk pasangan, martabat, dll
spesifik katalog tugas profesi-spesifik untukpendidik yang dapat membimbing mereka dalam
menguji aspek moral dari segala sesuatu yang mereka lakukan.

Katalog tugas semacam itu harus selalu dianalisis ulang dan beradaptasi dengan kondisi yang
berubah, tetapi kita tidak boleh begitu terpesona oleh perubahan yang cepat terjadidi zaman kita
yang kita bahkan tidak berani menyebarluaskan dan menegakkan norma-norma moral pendidik.

Saat ini, "kurikulum" dan justifikasinya menawarkan materi pelajaran untuk filsafat analitik-
epistemologis. Begitu banyak masalah yang terlibat dalam filosofi normatif pendidikan. Masalah

54
ini dimulai pada tingkat masalah politik tentang pendidikan - monopoli negara dalam pendidikan
tentang lama sekolah, pendidikan wajib, bentuk dan gelar sekolah’ guru pelatihan dan
pengawasan - dan serta hal lebih spesifik otorisasi buku teks, tes, penilaian, dll.

Ada berbagai macam masalah yang membutuhkan solusi, dan pro-kontra harus dipertimbangkan
sebelum kita dapat membuatnya sebagai keputusan efektif. Orang hanya perlu memikirkan
konflik saat ini dan topik terkait sekolah yang komprehensif, kombinasi sekolah profesional dan
di tempat kerja pelatihan, integrasi jenis sekolah yang secara tradisional berbeda, dll.

55
III. Practical pedagogy
A. Pedagogik Praktis Dan Ilmu Pendidikan
B. Demarkasi dan penandaan Pedagogik praktis
C. Pedagogi hermeneutika sebagai pedagogi praktis
D. Unsur-unsur pedagogik praktis
E. Bantahan Pedagogik praktis
F. Syarat-syarat dasar pedagogik kpraktis
Pandangan wolfgang itu mendukung ilmu pendidikan yang menilai dan menetapkan
norma adalah dengan mengabaikan kesenjangan logis yang memisahkan pernyataan dan
nilai faktual (dan / atau norma) serta perbedaan antara penerimaan dan pembenaran
norma.
Bagi persyaratan dasar pedagogik praktis,wolfgang di buku ini menberikan saran-
sarannya dengan cara jawaban.
(1) Pedagogik praktis harus memberikan informasi empiris yang berguna tentang
situasi pendidikan yang ada, serta orientasi normatif untuk tindakan pendidikan.
Pengetahuan ini harus sesuai dengan tugas yang diberikan dan tingkat pendidikan
orang-orang yang dimaksudkan. Pedagogik praktis harus sedapat mungkin
mempertimbangkan hasil-hasil ilmu dan menyampaikannya kepada pendidik
dalam bentuk yang berorientasi praksis. Setidaknya, tidak boleh berisi pernyataan
yang bertentangan dengan pernyataan yang divalidasi secara ilmiah (misalnya
hasil observasi, fakta sejarah, hipotesis nomologis, teori).
(2) Arti pernyataan pedagogis harus selalu jelas. Secara khusus, tidak boleh ada
ketidakpastian tentang apakah suatu pernyataan dimaksudkan sebagai pernyataan
empiris, pernyataan analitik, penilaian nilai atau pernyataan normatif. Ini adalah
sebuah prasyarat yang sangat diperlukan untuk menguji apakah pernyataan itu
benar dan / atau valid. Pernyataan empiris harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga pada prinsipnya dapat diuji secara empiris (Yaitu melalui observasi).
(3) Pedagogik praktis harus mematuhi aturan logika. Ini berlaku untuk metodenya
yang tidak hanya memperoleh pernyataan deskriptif, tetapi juga pernyataan
normatif. Yang paling penting adalah aturan bahwa norma (pernyataan yang
seharusnya) tidak boleh diturunkan dari pernyataan deskriptif, tetapi hanya dari
premis yang setidaknya satu harus normatif.
(4) Prinsip nilai fundamental yang menjadi dasar penilaian nilai harus ditetapkan
seperti itu atau setidaknya harus dapat dikenali dengan jelas dari konteks tertentu
di mana penilaian tersebut muncul. Validitas penilaian nilai bergantung pada
derivasi yang benar secara logis dari penilaian nilai yang lebih umum dan pada
akhirnya dari aksioma nilai yang ada sebelumnya. Hanya setelah kita menerima
penilaian dasar yang mendasarinya, kita juga harus menerima penilaian nilai yang

56
diturunkan darinya, sejauh objek atau situasi yang dievaluasi benar-benar
memiliki kualitas yang nilainya telah ditetapkan.
(5) Isi norma harus dirumuskan sejelas mungkin. Istilah pembatas "mungkin"
disertakan, karena kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
dalam banyak kasus tidak cukup diketahui dan oleh karena itu sangat sulit untuk
dirumuskan aturan atau proposal pedagogis. Selain aturan umum yang relatif
abstrak untuk bertindak atau tidak melakukan tindakan, pedagogik praktis harus
lebih memperhatikan norma-norma khusus yang lingkup validitasnya terbatas
pada kelompok orang, kelompok usia, situasi, dll. Di sisi lain, pseudo- formula
kosong normatif tanpa isi normatif harus dibatasi pada kebutuhan minimum yang
sangat diperlukan sehubungan dengan sistem nilai dari kelompok sasaran tertentu
di mana pedagogik praktis dirumuskan.
(6) Bahasa pedagogik praktis harus mudah dimengerti. Dengan menggunakan bentuk
presentasi sebaik mungkin, ahli teori harus membuat karyanya menarik dan dapat
diakses oleh pembaca. Penting untuk memperjelas hubungan yang rumit dan
menyederhanakan pemikiran yang sulit, tanpa pada saat yang sama mendorong
rasa aman palsu yang diakibatkan oleh ketidaktahuan akan karakter terbatas dari
pengetahuan yang tersedia.
(7) Karena pedagogik praktis harus, antara lain, juga berfungsi untuk memotivasi
tindakan yang sehat secara moral, hal itu dibenarkan tidak hanya menggunakan
bahasa deskriptif dan informatif, tetapi juga bahasa emotif, yaitu bahasa yang
menarik emosi orang. Penggunaan bahasa yang emosional seharusnya,
bagaimanapun, tidak menggantikan atau menggantikan bahasa deskriptif,
melainkan berfungsi untuk mendukung secara emosional penerimaan penilaian
nilai yang didirikan secara rasional dan norma moral.

Ketujuh persyaratan minimal untuk kontribusi pada pedagogik praktis ini tentunya tidak
lengkap, tetapi diharapkan cukup sebagai kriteria sementara untuk menilai kualitas
literatur pedagogis. Orang tidak boleh lupa bahwa pedagogik praktis menjangkau lebih
banyak pendidik dan memengaruhi mereka ke tingkat yang jauh lebih tinggi daripada
ilmu pendidikan empiris. Pedagogik praktis adalah sistem pernyataan yang berkaitan
dengan pelatihan pendidik. Untuk alasan ini, ilmuwan pendidikan tidak boleh
meninggalkan bidang ini hanya untuk amatir. Mungkin lebih penting secara moral dan
politik untuk memberikan pedagogik praktis terbaik (jika juga tidak lengkap) di sini dan
saat ini daripada mengabdikan diri pada penelitian khusus jangka panjang dalam ilmu
pendidikan. Jika kita tidak ingin para pendidik gagal dalam usahanya, maka ahli teori
pendidikan harus mengambil tanggung jawab mereka atas kualitas pedagogik praktis
sama seriusnya dengan kualitas ilmu pendidikan dan filsafat pendidikan.
Kesimpulan
Dalam membangun kedua jenis sistem pernyataan, kita dalam banyak hal bergantung
pada studi filosofis. Sistem ilmu pendidikan yang memuaskan hanya dapat tercipta jika
57
kita memperhatikan epistemologi dan filsafat ilmu. Sebuah sistem pedagogik praktis
yang mapan memiliki prasyarat analisis dan keputusan aksiologi dan, di atas segalanya,
filsafat moral. Ini karena penting untuk membuat pilihan antara tujuan dan sarana yang
berbeda; standar (kriteria) diperlukan untuk ini. Pedagogik praktis adalah sintesis dari
pengetahuan pilihan yang diambil dari ilmu pendidikan, interpretasi pandangan dunia dan
pernyataan moral yang berfungsi sebagai dasar teoritis untuk keputusan pendidikan
rasional.
Persoalan kesatuan pengetahuan pedagogis terkait dengan berbagai persoalan dan bukan
semata-mata pada kemungkinan teori pedagogis yang bersatu.Konsep kesatuan
pengetahuan pedagogis ini dengan demikian dapat merujuk pada keadaan yang
sebenarnya ada pada seseorang (makna deskriptif) atau pada cita-cita yang harus
diwujudkan (makna normatif).
Di sini kita tidak berurusan dengan keseluruhan pengetahuan pedagogis, melainkan
dengan kemampuan praktis untuk membuat penilaian pendidikan menggunakan
informasi yang secara langsung berkaitan dengan situasi dan tindakan tertentu. Jenis
kemampuan ini didasarkan pada pengetahuan tentang tujuan, pendidikan, dan sarana
yang mungkin paling sesuai untuk pendidikan tertentu situasi. Pengetahuan semacam itu
tidak pernah pasti, tetapi selalu tidak pasti dan terbuka untuk perbaikan. Ini membantu
memberikan kejelasan tentang alternatif potensial yang terbuka bagi pendidik tetapi
jarang cukup untuk sepenuhnya membenarkan tindakan tertentu. Dalam beberapa dekade
terakhir, tanpa diragukan lagi telah ada pertumbuhan yang luar biasa pengetahuan dalam
ilmu sosial.

Namun, situasi pendidik tidak banyak berubah. Di masa lalu seperti sekarang ini adalah
tepat untuk memasukkan dalam budaya pedagogis tidak hanya apa yang kita ketahui
tentang pendidikan, tetapi juga pengakuan akan batas-batas pengetahuan pendidikan kita.
Pendidik harus selalu bertindak, meskipun masih banyak yang tidak pasti. Tidak ada yang
bisa membebaskan mereka dari tanggung jawab atas keputusan mereka, tetapi
peningkatan pengetahuan dalam ilmu pendidikan, filsafat pendidikan dan pedagogik
praktis dapat berkontribusi untuk membantu mereka membuat keputusan ini serasional
mungkin dan bertanggung jawab.

58
PENUTUP

Conclusion: On the Variety and Unity ofPedagogical KnowIedge

Filsafat pendidikan merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang berusaha memahami
pendidikan dengan memperdalamnya, memaknainya dan menafsirkannya dengan menggunakan
konsep-konsep umum yang dapat menjadi pedoman atau arahan bagi tujuan dan kebijakan
pendidikan.
Sebagai cabang filsafat. pemikiran filosofis tentang pendidikan juga memiliki ciri spekulatif.
preskriptif dan analitis. Filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan karena filsafat
mengandung hal-hal yang harus ada dalam pendidikan.
Manfaat pembelajaran filsafat pendidikan lebih bersifat teoritis, tidak praktis agar peserta didik
terbiasa memahami persoalan pendidikan hakiki secara kritis, terbuka dan reflektif. Demikian
pula, praktik pendidikan bisa menjadi bahan pemikiran reflektif tentang pendidikan.
Filsafat pendidikan dalam pandangan pendidikan dianggap sebagai dasar terbaik untuk penilaian
pendidikan dalam arti yang komprehensif. Jika setiap pendidikan telah memahami prinsip dan
nilai filosofi dan menerapkannya dalam pendidikan, maka filosofi pendidikan dapat menjadi
norma pendidikan atau sebagai prinsip/azas normatif dalam pendidikan.

59

Anda mungkin juga menyukai