Anda di halaman 1dari 17

1

MAKALAH
ULAMA PEWARIS NABI
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Adabul Ilmi

Dosen Pengampu :

Drs. H. Yusuf Badri, M.Ag

Disusun Oleh :

Mutia Azzahra ( 19.03.2382 )

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG
2020 M/1442 H
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ Ulama Pewaris Nabi”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Adabul Ilmi di. Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. H. Yusuf Badri, M.Ag selaku
dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Mei 2020

penulis
3

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫سنَ ٍة َمنْ يُ َج ِّد ُد لَها َ ِد ْينَها‬ ِ ‫ث فِ ْي َه ِذ ِه ْاألُ َّم ِة َعلَى َر ْأ‬


َ ‫س ُك ِّل ِمائَ ِة‬ ُ ‫إِنَّ هللاَ يَ ْب َع‬

“Sesungguhnya Allah akan membangkitkan di setiap awal seratus tahun orang yang akan
memperbaharui agama umat ini.” (HR. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1874)

Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah mengatakan: “Ulama di muka bumi ini bagaikan bintang-
bintang di langit. Apabila muncul, manusia akan diterangi jalannya dan bila gelap manusia akan
mengalami kebingungan.” (Tadzkiratus Sami’, hal 34)

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami bahwa Abu Dawud
adalah termasuk ulama dari ulama-ulama yang mengamalkan ilmunya sehingga sebagian imam
mengatakan bahwa Abu Dawud serupa dengan Ahmad bin Hanbal dalam hal bimbingan dan
kewibawaan. Dalam hal ini Ahmad menyerupai Waki’, dalam hal ini pula Waki’ menyerupai Sufyan
dan Sufyan menyerupai Manshur dan Manshur menyerupai Ibrahim, Ibrahim serupa dengan ‘Alqamah
dan ‘Alqamah dengan Abdullah bin Mas’ud. ‘Alqamah berkata: “Ibnu Mas’ud menyerupai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bimbingan dan arahannya.” (Tadzkiratul Huffadz, 2/592, lihat
Wujub Irtibath bil ‘Ulama karya Hasan bin Qashim Ar-Rimi)

Dalam setiap generasi dan jaman, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih sejumlah orang yang
dikehendaki-Nya sebagai pelita dan lentera kegelapan dan perahu dalam mangarungi lautan yang
diliputi guncangan ombak dahsyat sebagai tali penghubung antara diri-Nya dengan para hamba-Nya.
Sebagai penunjuk jalan dan pemandu dalam perjalanan setiap insan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka adalah ulama.

Salah itu ilmu yang dikembangkan oleh para ulama untuk menjaga kemurnian ajaran islam adalah
dengan melakukan studi kritik hadis. Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan
4

hadis Nabi Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya
melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan
perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis.
Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang
dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan
sebagai acuan melakukan studi kritik Hadis. Aktivitas kritik hadis marak terjadi pada abad ke-3 hijriyah.
Namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan
kritik hadis. Sebab ketika penelitian hadis dipahami (dengan sederhana) sebagai upaya untuk
membedakan antara hadis yang sahih dan yang tidak sahih, maka kegiatan kritik hadis dalam bentuk
yang begitu sederhana telah muncul sejak masa Rasululullah masih hidup.

Berangkat dari latar belakang tersebut sebagai salah satu tugas mata kuliah Studi Adabul Ilmi maka
makalah ini diberi judul :”Ulama Pewaris Nabi”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ulama ?
2. Apa yang dimaksud dengan ulama sebagai pewaris nabi?
3. Apa saja keistimewaan nabi yang tidak bisa diwariskan kepada Ulama ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu Ulama
2. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan ulama sebagai pewaris nabi.
3. Untuk mengetahui Apa saja keistimewaan Nabi yang tidak dapat diwariskan pada Ulama
5

Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Ulama’
Secara harfiyah kata Ulama’ mempunyai arti orang-orang yang tahu alau alim. Sedangkan menurut
istilah ulama’ adalah sebutan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang tahu dan memiliki
pengetahuan ilmu agama serta ilmu pengetahuan kealaman, yang dengan ilmu pengetahuannya tersebut
mereka memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT. Kata ulama’ merupakan bentuk jamak dari
kata “alim aalim”, yang keduanya mempunyai arti yang tahu atau mempunyai pengetahuan.
Jika kata ulama’ yang terdapat dalam surat Al-Fatir ayat 28 dihubungkan dengan ayat sebelumnya
yaitu ayat 2, pengertian ulama pada ayat tersebut adalah orang yang memiliki tentang ilmu kealaman
atau ilmu kauniyah.
Hal ini diperkuat dengan kata ulama’ yang terdapat dalam surat As-syuara ayat 196-197 yang artinya
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab yang terdahulu. Dan  apakah
tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama’ Bani Israil mengetahuinya”. Di sini arti
ulama’ adalah orang yang memiliki pengetahuan agama, dan dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya
itu dipergunakan untuk menghantarkannya pada rasa khasyyah (takut atau tunduk) kepada Allah SWT.
Dalam kitab tafsir Al-qurtuby disebutkan, bahwa Rasulalah SAW bersabda yang artinya
“Sesungguhnya keutamaan orang-orang alim atas orang-orang ahli ibadah (namun tidak alim) adalah
seperti keutamaan bulan pada malam lailatul qodar atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama’
itu adalah pewaris para Nabi. Dan bahwa para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya
mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmu, maka ia mengambil bagian yang sempurna. (HR.
Abu Dawud)1

B. Ulama Pewaris Nabi

Permbahasan ulama, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan
permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penyambung
umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah sederetan
orang yang akan menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati yaitu jalan
yang lurus. Oleh karena itu ketika seseorang melepaskan diri dari mereka berarti dia telah melepaskan

1
M. Ihsan Elsaha, MA, Sketsa Al-Qur’an
6

dan memutuskan tali yang kokoh dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan
malapetaka yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam. Berarti
siapapun atau kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti akan tersesat jalannya dan akan
binasa.

Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam muqaddimah kitab Akhlaq Al-Ulama mengatakan: “Amma
ba’du, sesungguhnya Allah dengan nama-nama-Nya yang Maha Suci telah mengkhususkan beberapa
orang dari makhluk yang dicintai-Nya lalu menunjuki mereka kepada keimanan. Kemudian Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga memilih dari seluruh orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang
dicintai-Nya dan setelah itu memberikan keutamaan atas mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-
Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, mengajarkan kepada mereka ilmu agama dan tafsir Al-Qur’an yang
jelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala utamakan mereka di atas seluruh orang-orang yang beriman pada
setiap jaman dan tempat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat mereka dengan ilmu, menghiasi mereka dengan sikap
kelemahlembutan. Dengan keberadaan mereka, diketahui yang halal dan haram, yang hak dan yang
batil, yang mendatangkan mudharat dari yang mendatangkan manfaat, yang baik dan yang jelek.
Keutamaan mereka besar, kedudukan mereka mulia. Mereka adalah pewaris para nabi dan pemimpin
para wali. Semua ikan yang ada di lautan memintakan ampun buat mereka, malaikat dengan sayap-
sayapnya menaungi mereka dan tunduk. Para ulama pada hari kiamat akan memberikan syafa’at setelah
para Nabi, majelis-majelis mereka penuh dengan ilmu dan dengan amal-amal mereka menegur orang-
orang yang lalai.

Mereka lebih utama dari ahli ibadah dan lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang zuhud. Hidup
mereka merupakan harta ghanimah bagi umat dan mati mereka merupakan musibah. Mereka
mengingatkan orang-orang yang lalai, mengajarkan orang-orang yang jahil. Tidak pernah terlintas
bahwa mereka akan melakukan kerusakan dan tidak ada kekhawatiran mereka akan membawa menuju
kebinasaan. Dengan kebagusan adab mereka, orang-orang yang bermaksiat terdorong untuk menjadi
orang yang taat. Dan dengan nasihat mereka, para pelaku dosa bertaubat.

Seluruh makhluk butuh kepada ilmu mereka. Orang yang menyelisihi ucapan mereka adalah penentang,
ketaatan kepada mereka atas seluruh makhluk adalah wajib dan bermaksiat kepada mereka adalah
haram. Barangsiapa yang mentaati mereka akan mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang
7

memaksiati mereka akan sesat. Dalam perkara-perkara yang rancu, ucapan para ulama merupakan
landasan mereka berbuat. Dan kepada pendapat mereka akan dikembalikan segala bentuk perkara yang
menimpa pemimpin-pemimpin kaum muslimin terhadap sebuah hukum yang tidak mereka ketahui.
Maka dengan ucapan ulama pula mereka berbuat dan kepada pendapat ulama mereka kembali.

Segala perkara yang menimpa para hakim umat Islam maka dengan hukum para ulama-lah mereka
berhukum, dan kepada ulama-lah merekalah kembali. Para ulama adalah lentera hamba-hamba Allah
Subhanahu wa Ta’ala, lambang2 sebuah negara, lambang kekokohan umat, sumber ilmu dan hikmah,
serta mereka adalah musuh syaithan. Dengan ulama akan menjadikan hidupnya hati para ahli haq dan
matinya hati para penyeleweng. Keberadaan mereka di muka bumi bagaikan bintang-bintang di langit
yang akan bisa menerangi dan dipakai untuk menunjuki jalan dalam kegelapan di daratan dan di lautan.
Ketika bintang-bintang itu redup (tidak muncul), mereka (umat) kebingungan. Dan bila muncul, mereka
(bisa) melihat jalan dalam kegelapan.”

Dari ucapan Al-Imam Al-Ajurri di atas jelas bagaimana kedudukan ulama dalam agama dan butuhnya
umat kepada mereka serta betapa besar bahayanya meninggalkan mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ب ْال ِع ْل ِم َوإِ َّن ْال َعالِ َم لَيَ ْستَ ْغفِ ُر لَهُ َم ْن‬
ِ ِ‫ض ُع أَجْ نِ َحتَهَا ِرضًا لِطَال‬
َ َ‫ُق ْال َجنَّ ِة َوإِ َّن ْال َماَل ئِ َكةَ لَت‬ ْ َ‫َم ْن َسلَكَ طَ ِريقًا ي‬
َ َ‫طلُبُ فِي ِه ِع ْل ًما َسل‬
ِ ‫ك هَّللا ُ بِ ِه طَ ِريقًا ِم ْن طُر‬
‫ب َوإِ َّن‬ ِ ‫ف ْال َما ِء َوإِ َّن فَضْ َل ْال َعالِ ِم َعلَى ْال َعابِ ِد َكفَضْ ِل ْالقَ َم ِر لَ ْيلَةَ ْالبَ ْد ِر َعلَى َسائِ ِر ْال َك َوا ِك‬ِ ْ‫ض َو ْال ِحيتَانُ فِي َجو‬ ِ ْ‫ت َو َم ْن فِي اأْل َر‬ ِ ‫فِي ال َّس َم َوا‬
ٍّ ‫ْال ُعلَ َما َء َو َرثَةُ اأْل َ ْنبِيَا ِء َوإِ َّن اأْل َ ْنبِيَا َء لَ ْم يُ َورِّ ثُوا ِدينَارًا َواَل ِدرْ هَ ًما َو َّرثُوا ْال ِع ْل َم فَ َم ْن أَ َخ َذهُ أَ َخ َذ بِ َح‬
‫ظ َوافِ ٍر‬

“Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya –dengan hal itu- Allah jalankan dia di atas
jalan di antara jalan-jalan surga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap
mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi (pencari ilmu agama). Dan sesungguhnya seorang alim itu
dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air. Dan
sesungguhnya keutamaan seorang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada
seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak
mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia
telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641 dan ini lafazh-nya; Tirmidzi no.
3641; Ibnu Majah no. 223; Ahmad, 4/196; Darimi no. 1/98. Dihasankan Syaikh Salim al-Hilali di
dalam Bahjatun Nazhirin, 2/470, hadits no. 1388).
8

Marilah kita perhatikan hadits yang agung ini. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan keutamaan menuntut ilmu pada awal kalimat, dan keutamaan alim (orang yang
berilmu) pada pertengahan kalimat, lalu pada akhir kalimat beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan, bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang diwariskan para Nabi.

C. Keistimewaan Nabi Yang Tidak Dimiliki Ulama’


Dalam kaitannya dengan pemahaman pemaparan, dan pengalaman kitab suci, para nabi (khususnya
Nabi Muhammad SAW) memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ulama’, dalam arti mereka
tidak dapat mewarisinya secara sempurna. Ulama’ dalam hal ini hanya sekedar berusaha untuk
memahami Al-Qur’an sepanjang pengetahuan dan pengalaman ilmiyah mereka, untuk kemudian
memaparkan kesimpulan-kesimpula mereka kepada umat. Dalam usaha ini, mereka dapat saja
mengalami kekeliruan ganda, yaitu :
-          pertama ; pada saat memahami Al-Qur’an
-          kedua ; pada saat memaparkan atau menyampaikan
Dua hal ini tidak mungkin dialami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagimana firman Allah SWT
yang tercantum dalam Q.S Al Qiyamah, yang artinya :
Artinya : “ Kemudian,  Sesungguhnya  atas  tanggungan  kamilah penjelasannya” (QS. Al-Qiyamah :
19)
ayat tersebut merupakan konsekwensi logis dari jabatan kenabian dan kerasulan, seperti difirmankan
Allah SWT yang artinya : “Sesungguhnya kami mengutus engkau disertai dengan segala kebenaran
(dalam segala aspeknya)”.(QS:2:105)2
Sedangkan dalam pengamalannya, Nabi Muhammad SAW mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur’an
secara sempurna, sehingga ajaran-ajaran tersebut menjelma dalam prilaku sehari-hari beliau.
Kemampuan mengamalkan tersebut disebabkan oleh kesempurnaan attitude (kesediaan atau bakat) yang
bergabung dalam tingkat yang sama dalam pribadi Nabi Muhammad SAW, yakni kesediaan ibadah,
berfikir, mengekspresikan keindahan dan berkarya.3 Kesempurnaan-kesempurnaan itu kemudian dihiasi
oleh kesederhanan dalam aksi dan interaksi, lepas dari sifat-sifat yang dibuat-buat atau pura-pura.

2
Tajuk majalah Al-Muslim, Edisi Robi’utsani1373/ Desember 1953
3
Abqariyah Muhammad, Al-Aqqad, Dar Al-Hilal
9

Dengan demikian, peran yang dituntut dari para ulama’ adalah musabaqah bial-khairat (berlomba
dalam berbuat kebajikan), yang titik tolaknya adalah mendekati, karena tidak mungkin mencapai,
keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh orang-orang yang diwarisinya (Nabi), yakni dalam hal
pemahaman, penerapan, maupun pengamalan kitab suci.

D. Dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ٍ َ ‫يَ ْرفَ ِع هللاُ الَّ ِذيْنَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذيْنَ أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم َد َرجا‬
‫ت‬

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu
beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “(Kedudukan) ulama berada di atas orang-orang yang beriman
sampai 100 derajat, jarak antara satu derajat dengan yang lain seratus tahun.” 4

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ ِ‫ش ِه َد هللاُ أَنَّهُ الَ إِلَهَ إِالَّ ه َُو َوا ْل َمالَئِ َكةُ َوأُولُوا ا ْل ِع ْل ِم قَائِما ً بِا ْلق‬
‫ص ِط‬ َ

“Allah telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia dan para malaikat
dan orang yang berilmu (ikut mempersaksikan) dengan penuh keadilan.” (Ali ‘Imran: 18)

Al-Imam Badruddin rahimahullah berkata: “Allah memulai dengan dirinya (dalam persaksian), lalu
malaikat-malaikat-Nya, lalu orang-orang yang berilmu. Cukuplah hal ini sebagai bentuk kemuliaan,
keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat mereka).” (Tadzkiratus Sami’, hal 27)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini
terdapat penjelasan tentang keutamaan ilmu dan ulama karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut
mereka secara khusus dari manusia lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan persaksian
mereka dengan persaksian diri-Nya dan malaikat-malaikat-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan persaksian mereka (ulama) sebagai bukti besar tentang ketauhidan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, agama, dan balasan-Nya. Dan wajib atas setiap makhluk menerima persaksian yang penuh

4
Tadzkiratus Sami’, hal. 27
10

keadilan dan kejujuran ini. Dan dalam kandungan ayat ini pula terdapat pujian kepada mereka (ulama)
bahwa makhluk harus mengikuti mereka dan mereka (para ulama) adalah imam-imam yang harus
diikuti. Semua ini menunjukkan keutamaan, kemuliaan dan ketinggian derajat mereka, sebuah derajat
yang tidak bisa diukur.” 5

Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini ada dalil tentang
keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama. Maka jika ada yang lebih mulia dari mereka, niscaya Allah akan
menggandengkan nama mereka dengan nama–Nya dan nama malaikat-malaikat-Nya sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan nama ulama.” 6

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ َ‫قُ ْل َه ْل ي‬
َ‫ستَ ِوى الَّ ِذيْنَ يَ ْعلَ ُم ْونَ َوالَّ ِذيْنَ الَ يَ ْعلَ ُم ْون‬

“Katakan (wahai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apakah sama antara orang yang berilmu dengan
orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan unsur kesamaan antara
ulama dengan selain mereka sebagaimana Allah menafikan unsur kesamaan antara penduduk surga dan
penduduk neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakan, tidaklah sama antara orang yang
berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala: “Tidak akan sama antara penduduk neraka dan penduduk surga.” (Al-Hasyr: 20). Ini
menunjukkan tingginya keutamaan ulama dan kemuliaan mereka.” 7

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِّ ‫سأَلُوا أَ ْه َل‬
َ‫الذ ْك ِر إِنْ ُك ْنتُ ْم الَ تَ ْعلَ ُم ْون‬ ْ ‫فَا‬

“Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ilmu pengetahuan) jika kalian tidak mengetahui.”
(An-Naml: 43)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Sesungguhnya Allah


telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama)

5
Tafsir As-Sa’di, hal 103
6
Tafsir Al-Qurthubi, 2/27
7
Miftah Dar As-Sa’adah, 1/221
11

dalam segala hal. Dan dalam kandungan ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk
mereka dari sisi di mana Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di, hal.
394)

5. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫َو َما يَ ْعقِلُ َها إِالَّ ا ْل َعالِ ُم ْون‬

“Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah) melainkan
orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Melainkan orang-


orang yang berilmu secara benar di mana ilmunya sampai ke lubuk hatinya.” (Tafsir As-Sa’di, hal 581)

6. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫إِنَّ َما يَ ْخشَى هللاَ ِمنْ ِعبَا ِد ِه ا ْل ُعلَمآ ُء‬

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku mengira bahwa terlupakannya
ilmu karena dosa, kesalahan yang dilakukan. Dan orang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal. 28)

Abdurrazaq mengatakan: “Aku tidak melihat seseorang yang lebih bagus shalatnya dari Ibnu Juraij. Dan
ketika melihatnya, aku mengetahui bahwa dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab
Tadzkiratus Sami’, hal 28)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa mereka (para
ulama) adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengkhususkan mereka dari mayoritas orang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama, sesungguhnya Allah
Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28). Ayat ini merupakan pembatasan bahwa orang yang
takut kepada Allah adalah ulama.” (Miftah Dar As-Sa’adah 1/225)

8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


12

‫َمنْ يُ ِر ِد هللاُ ِب ِه َخ ْي ًرا يُفَقِّ ْههُ فِي ال ِّد ْي ِن‬

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah akan
mengajarkannya ilmu agama.”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan, barangsiapa yang tidak dijadikan
Allah faqih dalam agama-Nya, menunjukkan bahwa Allah tidak mengijinkan kepadanya kebaikan.”
(Miftah Dar As-Sa’adah, 1/246)

9. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ا ْل ُعلُ َما ُء َو َرثَةُ ْاألَ ْنبِيَا ِء‬

“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)

Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan
kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan
yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris
para nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29)

Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan
pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris
perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana
awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar
bagi muslimin.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat
sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk
dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”

Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai
kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah
direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)

Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan
keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah
13

Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam
sebuah sabdanya:

‫ش ِّر‬ ُ ‫َمفاَتِ ْي ُح لِلِ َخ ْي ِر َو َمغاَلِ ْي‬


َّ ‫ق لِل‬

“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”

Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum muslimin dan dalam
perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya
pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Ilmu merupakan warisan
para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka
wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah
mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada
kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul
‘Ilmi, hal. 16)

Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

ْ َ‫ثُ َّم أَ ْو َر ْثنا َ ا ْل ِكتا َ َب الَّ ِذيْن‬


َ ‫اصطَفَ ْينا َ ِمنْ ِعبا َ ِدنا‬

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba
kami.” (Fathir: 32)

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kemudian Kami
menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai
pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-
hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” 8

8
Tafsir Ibnu Katsir, 3/577
14

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits
yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” 9

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada
orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami
telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai
Muhammad yang telah Kami turunkan kepadam dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah
para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan
mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka sebagai umat di tengah-
tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena
mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٍّ ‫ إِنَّ ْاألَ ْنبِيا َ َء لَ ْم يُ َو ِّرثُ ْوا ِد ْينا َ ًرا َوالَ ِد ْرهَما ً إِنَّ َما َو َّرثُ ْوا ا ْل ِع ْل َم فَ َمنْ أَ َخ َذ بِ ِه فَقَ ْد أَ َخ َذ بِ َح‬،‫إن ا ْل ُعلُ َما ُء َو َرثَةُ ْاألَ ْنبِيَا ِء‬
‫ظ َوافِ ٍر‬

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia
telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan
beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu
Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu
Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih
Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182,
dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas
makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah
maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi
tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut
nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang
yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan
orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah
melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan
9
Fathul Bari, 1/83
15

umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan
ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan
pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka
mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-
Rasul Al-Karim hal. 15)

Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah
pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang
mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa.
Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama
adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang
mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu
kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum
muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat,
maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal.
140)
16

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa :

 ulama, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan


permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang
menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka adalah sederetan orang yang akan menuntun umat kepada cinta dan
ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati yaitu jalan yang lurus. Oleh karena itu ketika
seseorang melepaskan diri dari mereka berarti dia telah melepaskan dan memutuskan tali
yang kokoh dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka
yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٍّ ‫بِ َح‬ ‫أَ َخ َذ‬ ُ‫أَ َخ َذه‬  َ‫فَ َمن‬ ‫ا ْل ِع ْل َم‬ ‫ َو َّرثُوا‬ ‫إِنَّ َما‬ ً ‫ ِد ْرهَما‬ َ‫ َوال‬ ً‫ ِدينَارا‬ ‫يُ َو ِّرثُوا‬ ‫لَ ْم‬ ‫اأْل َ ْنبِيَا َء‬  َّ‫إِن‬ ،‫اأْل َ ْنبِيَا ِء‬ ُ‫ َو َرثَة‬ ‫ا ْل ُعلَ َما َء‬  َّ‫إِن‬
‫ َوافِ ٍر‬ ‫ظ‬

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil
warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.”  (HR. al-Imam at-
Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalamMusnad-nya (5/169), ad-
Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di
dalam Muqaddimah-nya, serta dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih
Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu
Majah no. 182, dan Shahih at-Targhib, 1/33/68)
17

DAFTAR PUSTAKA

Mahsyar Idris, Analyzing the Essence of Spirit in Hadit“, International Journal of Philosophy
and Theology Vol. 4, No. 1, pp. 79-88, (June 2016)
Al-‘Asqalani, Ahmad bin Alī bin Hajar, Nuzhatun Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr, Semarang:
Maktabah al-Munawwar, t.th.
Al-‘Azhimy, Muhammad Musthafa, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu
Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990.
Al-Adlabī, Salahuddin bin Ahmad, Manhaj Naqil Matn, Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983.
Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Farid, Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerjemah;MasturiIrham & Asmu’I Taman, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Isma’īl, Syuhudi, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Sejarah¸Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr,
1963.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Al-Shalīh, Subhi, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin, 1977.
Al-Syuyuti, Jalal al-Din, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, Ttp.: Dar al-Kutub al-Haditsah,
t.th.
Smeer, Zeid B., Ulumul Hadis, Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang: UIN-Malang Press,
2008.
Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Anda mungkin juga menyukai