Anda di halaman 1dari 295

LIMBAH

PAKAN TERNAK ALTERNATIF


DAN APLIKASI TEKNOLOGI

I. G. N. G. BIDURA
I. B. GAGA PARTAMA
TJOK. GDE OKA SUSILA

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 


Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta
Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1987
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan
atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk
itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(Seratus Juta Rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah).

ii | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


LIMBAH
PAKAN TERNAK ALTERNATIF
DAN APLIKASI TEKNOLOGI

Udayana University Press

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | iii


LIMBAH
PAKAN TERNAK ALTERNATIF
DAN APLIKASI TEKNOLOGI

Penulis:
I. G. N. G. Bidura
I. B. Gaga Partama
Tjok. Gde Oka Susila

Ilustrasi: Repro

Penyunting:
D. K. Harya Putra

Diterbitkan oleh:
Udayana University Press
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar - Bali
Lantai Dasar Perpustakaan Pascasarjana
Telp. 081 337 491 413

Cetakan Pertama:
Juni 2008
xxv + 269 hlm, 14 x 21 cm

ISBN: 978-979-8286-51-3

Hak Cipta pada Penulis.


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

iv | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Prakarta

T erjadinya krisis ekonomi secara berkepanjangan di


Indonesia membuat kita sadar bahwa selama ini
kita terlalu banyak berkiblat ke luar negeri, dan mempunyai
ketergantungan yang cukup besar terhadap komponen bahan
pakan impor. Pada saat itu, banyak peternak yang mengalami
kebangkrutan karena tidak mampu membeli ransum. Sampai-
sampai ada ungkapan bahwa ternak mengkonsumsi “mobil”
untuk mempertahankan hidupnya. Hal itu terkait dengan terlalu
mahalnya ransum sehingga peternak menjual barang modal,
seperti mobil untuk mempertahankan usaha ternaknya. Pelajaran
berharga tersebut menjadikan kita harus mencari alternatif bahan
makanan yang bersifat inkonvensional yang tidak bersaing
dengan kebutuhan manusia, harganya murah, bersifat lokal, tetapi
mempunyai kandungan nutrisi yang memadai untuk ternak.
Beberapa bahan pakan, seperti pakan limbah dan yang
bersifat inkonvensional mempunyai potensi untuk dikembangkan
ditinjau dari segi ketersediaannya, walaupun kadang-kadang
ditemukan faktor pembatas dalam penggunaannya. Misalnya,

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 


kandungan serat kasar dan karbohidrat bukan pati (“Non Starch
Polysacharides” = NSP) dalam pakan akan berpengaruh negatif
terhadap kecernaan ransum pada ternak monogastrik. Demikian
juga halnya dengan kandungan protein dan keseimbangan
asam amino, serta kecernaannya yang menjadi faktor pembatas
penggunaannya dalam ransum. Oleh karena itu, aplikasi
teknologi tepat guna sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai
guna dari pakan limbah tersebut.
Dalam buku ini, dikupas ihwal klasifikasi pakan limbah,
limbah industri pertanian, limbah perkebunan, limbah perikanan
dan peternakan, jerami, pakan ternak alternatif, dan hasil-hasil
penelitian mengenai pengaruh ransum berbasis limbah terhadap
kuantitas dan kualitas produksi ternak, serta aplikasi teknologi
untuk meningkatkan nilai guna dari pakan limbah tersebut,
seperti teknologi fisika dan kimia, teknologi fermentasi, silase, dan
probiotik. Dengan demikian, buku ajar ini akan sangat berguna
dan membantu sekali dalam pemahaman mengenai kuantitas
dan kualitas bahan pakan limbah maupun pakan inkonvensionil.
Pemanfaatan teknologi serta level pemberian pakan limbah yang
tepat pada ternak akan dapat memberikan hasil yang optimal.
Sasaran utama pengguna buku ajar ini adalah mahasiswa
peternakan tingkat sarjana maupun pascasarjana di bidang
peternakan dan yang terkait dengannya. Selain itu, buku ini juga
akan bermanfaat bagi mereka yang berkecimpung atau setidaknya
menaruh minat di bidang peternakan, karena dalam buku ini juga
diberikan beberapa hasil penelitian dan pemanfaatan berbagai
macam limbah, baik dengan maupun tanpa sentuhan teknologi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada Ketua Lembaga Penelitian Unud, atas
kesempatan dan dana yang diberikan kepada penulis untuk
meneliti penggunaan bahan pakan alternatif pada ternak, juga
kepada Ketua UPT Penerbit Unud, yang telah membantu,
memfasilitasi, dan mendorong untuk membuat buku ajar. Ucapan
yang sama juga disampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas

vi | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Peternakan, Universitas Udayana, atas waktu dan dorongan
yang diberikan sehingga penyusunan buku ajar ini dapat
terselesaikan. Penerbitan buku ini pun akan sulit terwujud bila
tidak ada kesempatan dan bimbingan dari bapak Prof. Ir. Dewa
Ketut Harya Putra, M.Sc. Ph.D. Beliau sendiri adalah Ketua UPT
Penerbit dan Dewan Penyunting Buku Ajar Unud. Karena itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
tulus kepada beliau. Buku ini kupersembahkan untuk kedua
orang tuaku I Gst. Ketut Astika, BA (Aji) dan Ni Ketut Sena (Ibu),
serta kepada istri tercinta Ir. Elly Susanti dan anaknda I Gusti
Bagus Teguh Pramana yang telah menemani dengan penuh kasih
sayang selama penyusunan buku ini. Kepada sdr. I Made Suyasa,
SE dan Ir. D.P.M.A. Candrawati, MSi yang telah banyak membantu
dalam pengetikkan dan pencariaan pustaka, baik melalui internet
maupun dalam jurnal di perpustakaan.
Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini berguna untuk
menambah pengetahuan dan menjadi rujukan dalam penyusunan
ransum ternak dengan memperhitungkan prinsip-prinsip
ekonomi, sehingga produktivitas ternak dapat ditingkatkan.
Buku ajar yang sederhana ini tidak akan sempurna bila tidak ada
kritik saran dari pembaca. Oleh karena itu, segala kritik dan saran
untuk kesempurnaan buku ajar ini sangat kami harapkan.

Denpasar, Januari 2008


Hormat kami,

Penyusun

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | vii


viii | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
Daftar Isi

PRAKATA ~ v
DAFTAR ISI ~ ix
DAFTAR TABEL ~ xv
DAFTAR GAMBAR ~ xxiii
I. PENDAHULUAN ~ 1
1.1 Pengertian Limbah ~ 1
1.2 Keterbatasan Nutrisi Pakan Limbah ~ 2
1.3 Jenis Pakan Limbah Untuk Ternak ~ 3
1.4 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis ~ 5
1.5 Peranan Teknologi dalam Pengolahan Limbah ~ 7
1.5.1. Teknologi untuk mengatasi senyawa
antinutrisi ~ 9
1.5.2. Aplikasi bioteknologi ~ 10
1.5.3. Teknologi pakan lengkap ~ 12
1.5.4. Teknologi pakan pada integrasi ternak
dengan usaha pertanian dan perkebunan ~ 13
1.5.5. Teknologi ramah lingkungan ~ 16

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | ix


II. KLASIFIKASI PAKAN LIMBAH ~ 19
2.1 Pakan Limbah Sumber Protein ~ 19
2.2 Pakan Limbah Sumber Energi ~ 21
2.3 Pakan Limbah Sumber Lemak ~ 24
2.4 Pakan Limbah Berserat ~ 27
2.5 Pakan Limbah Sumber Mineral ~ 29
2.6 Pakan Limbah Sumber Vitamin ~ 31
2.7 Pakan Limbah Sumber Enzim ~ 33
2.7.1. Produksi enzim hewani ~ 33
2.7.2. Produksi enzim tanaman ~ 34
2.7.3. Produksi enzim mikroba ~ 35
2.7.4. Isolasi enzim ~ 37
2.8 Pakan Limbah Sumber Hormon ~ 39

III. LIMBAH INDUSTRI PERTANIAN ~ 43


3.1 Potensi Limbah Kulit Biji ~ 43
3.1.1. Kulit biji kacang kedelai ~ 44
3.1.1.1. Fermentasi kulit kacang kedelai ~ 46
3.1.1.2. Respons ternak terhadap pemberian
kulit kacang kedelai ~ 47
3.1.2. Bungkil Kacang Kedelai ~ 51
3.2 Ampas Tahu ~ 52
3.3 Ampas Kecap ~ 55
3.4 Pollard ~ 55
3.5 Sorghum (Sorghum bicolor) ~ 58
3.6 Dedak Padi ~ 61
3.7 Bungkil Kelapa ~ 63
3.8 Limbah Roti ~ 64
3.9 Onggok ~ 67
3.10 Limbah Hotel ~ 69

 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


IV. LIMBAH PERKEBUNAN ~ 73
4.1 Kulit Cokelat (Theobroma cacao) ~ 73
4.2 Bungkil Inti Kelapa Sawit ~ 77
4.3 Pelepah Sawit ~ 80
4.4 Batang Pisang ~ 82
4.5 Serbuk Gergaji Kayu ~ 83

V. LIMBAH PERIKANAN DAN PETERNAKAN ~ 87


5.1 Limbah Ikan dan Udang ~ 87
5.1.1. Fermentasi Limbah Ikan ~ 88
5.1.2. Aspek Biokimia Silase Limbah Ikan ~ 89
5.1.3. Cara Pembuatan Silase Limbah Ikan ~ 90
5.1.4. Nilai Gizi Silase Limbah Ikan ~ 91
5.1.5. Peranan Bakteri Asam Laktat
dalam Proses Fermentasi limbah Ikan ~ 93
5.1.6. Aspek Dasar Fermentasi Bakteri Asam Laktat ~ 96
5.2 Tepung darah ~ 98
5.3 Kotoran Ayam ~ 98
5.4 Bulu Ayam ~ 103
5.5 Isi Rumen ~ 107
5.6 Limbah Ternak Lain ~ 109

VI. JERAMI ~ 111


6.1 Potensi Jerami ~ 111
6.2 Jenis-Jenis Jerami ~ 112
6.3 Jerami Sebagai Pakan Ternak ~ 113
6.3.1. Jerami padi (Oriza sativa) ~ 114
6.3.2. Jerami bawang putih (Allium sativum) ~ 119
6.3.3. Jerami eceng gondok (Eichornia crassives) ~ 123
6.3.4. Jerami pucuk tebu ~ 126
6.4 Pengolahan Jerami ~ 127

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xi


6.4.1. Fermentasi jerami ~ 127
6.4.2. Amoniasi jerami ~ 135
6.4.3. Perlakuan basa ~ 140
6.4.4. Perlakuan fisik ~ 142
6.4.5. Pengolahan kombinasi
(Fisika, Kimia, dan Biologis) ~ 144
6.4.6. Metode suplementasi ~ 146
6.4.7. Pemanfaatan jerami pada integrasi usaha
tani dengan ternak dalam mendukung
peternakan berwawasan lingkungan ~ 147

VII. PAKAN TERNAK ALTERNATIF ~ 153


7.1 Hijauan untuk Pakan ~ 153
7.1.1. Senyawa fitokimia pada hijauan ~ 154
7.1.2. Khasiat fitokimia pada ternak ~ 154
7.2 Duckweed (Lemna minor) ~ 155
7.3 Kayu Apu (Pistia stratiotes) ~ 158
7.4 Daun Asam (Tamarindus indica) ~ 159
7.5 Daun Katuk (Soropus androgynus) ~ 161
7.6 Daun Avokat (Persae Americana Mill) ~ 162
7.7 Daun Lamtoro ~ 163
7.8 Daun Mengkudu (Morinda citrifelia) ~ 164
7.9 Rumput Laut (Gracillaria sp.) ~ 164
7.10 Daun Pepaya (Carica papaya L.) ~ 169

VIII.TEKNOLOGI PENGOLAHAN FISIK DAN KIMIA ~ 175


8.1 Aplikasi Teknologi Pengolahan Limbah ~ 175
8.2 Pengolahan Secara Fisik ~ 177
8.2.1. Teknologi meperluas permukaan pakan ~ 177
8.2.2. Pengolahan kering (Hay) ~ 178
8.2.3. Pengolahan basah ~ 179

xii | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


8.3 Pengolahan Kimia ~ 180
8.3.1. Amoniasi ~ 180
8.3.2. Pengolahan basa (NaOH) ~ 181
8.4 Pengolahan Fisika-Kimia ~ 183

IX. TEKNOLOGI FERMENTASI ~ 185


9.1 Pengertian Fermentasi ~ 185
9.2 Tipe Fermentasi ~ 186
9.3 Perubahan Nilai Gizi Akibat Fermentasi ~ 187
9.4 Pengendalian Fermentasi ~ 190
9.5 Aplikasi Fermentasi ~ 191
9.6 Penggunaan Jasa Mikroba dalam Proses Fermentasi ~ 193
9.6.1. Karakteristik mikroba fermentasi ~ 195
9.6.2. Bakteri ~ 197
9.6.3. Fungi (Jamur) ~ 198
9.6.4. Yeast ~ 199
9.6.5. Protozoa dan algae ~ 200
9.7 Metode Fermentasi ~ 200
9.7.1. Fermentasi padat ~ 201
9.7.2. Fermentasi cair ~ 203
9.8 Aplikasi Produk Fermentasi Pada Ternak ~ 204

X. TEKNOLOGI SILASE ~ 209


10.1 Pengertian Silase ~ 209
10.2 Prinsip Silase ~ 210
10.3 Metode Pembuatan Silase ~ 211
10.3.1. Silase jerami ~ 212
10.3.2. Silase pakan limbah berserat ~ 213
10.4 Penilaian Kualitas Silase ~ 214
10.4.1. Silase tipe laktat ~ 214
10.4.2. Silase tipe asetat ~ 215

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xiii


10.4.3. Silase tipe butirat ~ 215
10.5 Aditif dalam Pembuatan Silase ~ 216

XI. PENUTUP ~ 221


11.1 Limbah Pakan Ternak Alternatif ~ 221
11.2 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis ~ 223
11.3 Pengolahan Pakan ~ 224
11.4 Aplikasi Produk Bioteknologi ~ 227
11.5 Ransum dan Zat Makanan ~ 231
11.6 Kandungan Nutrisi Pakan ~ 234
11.7 Ransum Berbasis Limbah ~ 235
11.7.1. Ransum limbah pertanian ~ 235
11.7.2. Ransum limbah perkebunan ~ 237
11.7.3. Ransum limbah peternakan ~ 240
11.7.4. Ransum limbah fermentasi ~ 242

XII. DAFTAR PUSTAKA ~ 247

xiv | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Daftar Tabel

1 Kandungan protein dari beberapa bahan pakan asal


hewan.........................20

2 Pencapaian berat badan akhir, pertambahan berat badan


dan prosentase karkas dari itik yang mengkonsumsi ransum
dengan penggunaan lemak sapi sebagai pengganti sebagian
energi jagung ( 0 – 7 minggu )…………..25

3 Bilangan iodium dari beberapa bahan pakan untuk ternak


..........................26

4 Pengaruh penggunaan zeolit dalam ransum terhadap nilai


cerna dan laju aliran ransum pada ayam broiler ...........31

5 Enzim yang terdapat dan dapat diekstrak dari hewan dan


tanaman……….33

6 Beberapa jenis mikroba yang menghasilkan enzim yang


diproduksi untuk tujuan komersial ..................................36

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xv


7 Komposisi kimia kacang kedelai dan kulit ari kacang kedelai,
yang dipeoleh lewat perebusan (cara A) dan perebusan-
perendaman (cara B).....44

8 Kandungan zat makanan kacang kedelai sebelum


diolah dan setelah diolah menjadi tempe (Rhizopus
oligoporus)………………………………47

9 Pengaruh penggunaan tepung kulit kacang kedelai


terfermentasi dengan ragi tape terhadap penampilan ayam
broiler umur 2 – 7 minggu………….48

10 Respons ayam broiler umur 2 – 6 minggu terhadap pemberian


kulit ari kacang kedelai yang difermentasi probiotik
starbio.....................................49

11 Pengaruh penambahan enzim cairan rumen pada wheat


pollard terhadap persentase polisakarida, oligosakarida, dan
energi termatabolis wheat pollard pada broiler................57

12 Perubahan kadar gula, polisakarida, oligosakarida,


dan energi metabolis wheat pollard yang diberi enzim
rumen.......................................................58

13 Kandungan nutrisi tempe sorghum.....................59

14 Kecernaan protein kasar, kecernaan lemak kasar, dan


kecernaan serat kasar tempe sorghum pada berbagai level
penambahan mineral Ramos......60

15 Komposisi kimia berbagai jenis dedak padi......................61

16 Tingkat penggunaan dedak padi dalam ransum ternak.....62

17 Pengaruh tingkat pemberian dedak padi dalam ransum


berbasis rumput gajah terhadap konsumsi ransum,

xvi | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


pertambahan berat badan, dan jumlah daging karkas
domba..........................................................................63

18 Pengaruh penggantian penggunaan jagung kuning dalam


ransum basal dengan campuran limbah roti dan tepung
daun duckweed (LRDW) terhadap penampilan ayam buras
umur 2 – 8 minggu……………………..65

19 Pengaruh penggantian jagung kuning dengan campuran


limbah roti dan tepung jerami bawang putih terhadap
produksi telur ayam Lohmann Brown umur 42 – 50
minggu........................................................................66

20 Perubahan zat gizi onggok sebelum dan sesudah difermentasi


dengan kapang Aspergillus niger...........68

21 Komposisi limbah hotel berdasarkan peringkat hotel


(bintang 1 – 5) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak....................................................70

22 Komposisi zat makanan limbah hotel berdasarkan


sumbernya....................71

23 Pengaruh pemberian limbah hotel terhadap penampilan


babi Bali..............72

24 Pengaruh penggunaan pod kakao yang disuplementasi ragi


tape dalam ransum terhadap distribusi lemak tubuh (% berat
potong) itik Bali jantan umur 8 minggu ....................77

25 Perubahan kandungan nutrisi serbuk gergaji kayu yang


mengalamin deamoniasi dan difermentasi dengan
Trichoderma viredeae……………….84

26 Pengaruh penggantian dedak padi dengan sekam padi atau


serbuk gergaji kayu yang disuplementasi dengan starbio

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xvii


terhadap efisiensi penggunaan ransum dan kadar asam urat
darah itik.........................................................85

27 Pengaruh kultur starter (L. plantarum) terhadap nilai gizi


ikan terfermentasi yang disimpan selama 2 bulan ............91

28 Perbedaan mikroorganisme homofermentatif dan


heterofermentatif dalam fermentasi tipe laktat ............94

29 Bakteri penghasil asam laktat yang penting dalam proses


pembuatan silase..................95

30 Pengaruh penggunaan kotoran ayam ras petelur dalam


ransum terhadap produksi telur dan efisiensi penggunaan
ransum pada ayam Lohmann Brown fase peneluran
pertama..................99

31 Kandungan zat makanan pada kotoran ayam ras.........100

32 Perubahan komposisi kimia kotoran ayam petelur yang


difermentasi dengan EM4 (%)…………101

33 Kandungan zat makanan isi rumen sapi, kerbau, dan


domba.......................108

34 Jenis jerami dengan kandungan nutrisinya............113

35 Utilisasi nitrogen pada sapi Bali penggemukan yang diberi


ransum berbasis jerami padi amoniasi urea disuplementasi
mineral.........................118

36 Pengaruh penggunaan tepung jerami bawang putih (Allium


sativum) dalam ransum terhadap bobot dan komposisi fisik
karkas itik Bali umur delapan minggu..................122

37 Penggunaan tepung daun katuk, bawang putih, dan


kombinasinya terhadap penampilan ayam broiler umur 2 – 7
minggu…………...……….123

xviii | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


38 Pengaruh tingkat pemberian tepung eceng gondok (Eichornis
crassipes) dalam ransum terhadap penampilan ayam buras
umur 0 – 12 minggu…….124

39 Kandungan nutrisi eceng gondok (Eichornis crassipes).......125

40 Penggunaan pucuk tebu dalam berbagai bentuk sebagai


pakan sapi potong....................127

41 Perbandingan kandungan nutrisi jerami segar dengan jerami


terfermentasi.....................129

42 Komposisi zat makanan jerami segar dan jerami


fermentasi………………131

43 Perubahan nilai nutrisi jerami padi setelah


fermentasi...........132

44 Koefisien cerna ransum pada sapi Bali


penggemukan……………………..134

45 Metode pengolahan dengan amonia untuk hijauan (roughage)


kualitas rendah..............139

46 Metode Pengolahan dengan NaOH untuk hijauan (roughage)


kualitas rendah..............141

47 Pengaruh pemberian wafer pucuk tebu terhadap


pertambahan berat badan sapi Bali jantan............144

48 Daya cerna bahan organik jerami barley yang diberi berbagai


macam perlakuan............145

49 Pengaruh penggunaan tepung daun duckweed dalam


ransum terhadap penampilan itik Bali jantan umur 0 – 8
minggu............................................157

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xix


50 Pengaruh penggunaan tepung daun duckweed dalam ransum
terhadap bobot dan komposisi fisik karkas itik Bali jantan
umur 0 – 8 minggu..........158

51 Pengaruh pemberian ekstrak daun asam dan ekstrak daun


katuk melalui air minum terhadap pertambahan berat badan,
lemak abdominal, dan kolesterol total plasma ayam broiler
umur 2 – 6 minggu ............................160

52 Komponen karkas dan kadar kolesterol daging babi yang


diberi rumput laut.............167

53 Pengaruh penggunaan tepung rumput laut sebagai sumber


serat terlarut (agar) dalam ransum terhadap penampilan,
karkas, perlemakan, dan kolesterol darah itik Bali jantan
umur 2 – 8 minggu...............168

54 Analisis komposisi buah dan daun pepaya (100 g)........170

55 Rata–rata berat badan awal, berat badan akhir, konsumsi


pakan harian, pertambahan berat badan harian (PBBH),
dan konversi pakan kambing Bligon yang diberi daun
pepaya....................172

56 Rataan skor rasa, tekstur, keempukan, dan warna daging


kambing Bligon yang diberi daun pepaya.........173

57 Metode pengolahan dengan NaOH untuk hijauan (Roughage)


kualitas rendah...................182

58 Koefisien cerna beberapa zat gizi bungkil Kelapa


sebelum dan sesudah difermentasi dengan Aspergillus
niger…………………………………………194

59 Berbagai mikroba dan produk fermentasi yang dihasilkannya


…………..206

xx | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


60 Pengaruh perlakuan terhadap komposisi serat pod kakao
dan kecernaan in vitro..................207

61 Beberapa komposisi nutrisi limbah pakan ternak..............233

62 Respons ayam broiler umur 2 – 6 minggu terhadap


pemberian kulit ari kacang kedelai yang difermentasi
probiotik.................................................236

63 Pengaruh biofermentasi pod kakao terhadap penampilan


sapi FH jantan….............238

64 Pengaruh penambahan gergaji kayu, ragi tape, dan


kombinasinya dalam ransum terhadap penampilan ayam
pedaging umur 2 - 7 minggu…………239

65 Pengaruh penggantian dedak padi dengan sekam padi atau


serbuk gergaji kayu yang disuplementasi dengan starbio
terhadap efisiensi penggunaan ransum dan kadar asam urat
darah itik..................240

66 Pengaruh penggunaan tepung bulu ayam terfermentasi


dalam ransum terhadap penampilan ayam broiler umur 2
– 6 minggu……………………242

67 Pengaruh pemberian ransum terfermentasi dengan ragi


terhadap penampilan broiler umur 2 – 6 minggu...............243

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xxi


xxii | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
Daftar Gambar

1. Pembagian karbohidrat menurut Chot dan Annison


(1990)………………27

2 Proses pembuatan tepung kulit ari kacang kedelai mulai dari


perendaman kacang kedelai pada proses pembuatan tempe
sampai menjadi tepung…............45

3 Pengaruh kulit ari kacang kedelai terhadap distribusi lemak


tubuh broiler umur 6 minggu..................50

4 Bagan pembuatan tepung tempe ampas tahu terfermentasi


(Mahfudz 2006................52

5 Onggok merupakan ampas hasil pemerasan ubi kayu dalam


proses pembuatan tapioka....................67

6 Limbah perkebunan kulit buah kakao (Theobroma


cacao).........................74

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xxiii


7 Pod kakao tanpa perlakuan (kiri) dan pod kakao yang telah
mengalami fermentasi dengan kapang (kanan) (Erika, 1998)
.......................................76

8 Proses pembuatan produk fermentasi lumpur sawit


(“Ferlawit”)................79

9 Bentuk fisik lumpur sawit setelah dicampur dengan


konsentrat.................80

10 Pelepah kelapa sawit yang direcah dapat digunakan sebagai


pengganti rumput gajah....................81

11 Batang pisang sebelum diberikan pada ternak terlebih dahulu


harus di iris-iris tipis (kanan).....................83

12 Kotoran ayam petelur sangat potensial sebagai pakan


alternatif.................103

13 Bulu ayam broiler sebagai sumber protein...................105

14 Sapi yang diberi jerami padi tanpa pengolahan..................117

15 Jerami bawang putih berkhasiat menurunkan lemak dan


kolesterol tubuh unggas...........120

16 Jerami pucuk tebu sangat potensial sebagai pakan ternak


ruminansia sebagai sumber energi............................126

17 Alur proses pembuatan jerami padi (Balitnak, Ciawi, Bogor,


2004)……..130

18 Daun pucuk tebu dalam bentuk silase, wafer, dan


pellet…………………143

xxiv | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


19 Konsep dasar pemanfaatan jerami.........................148

20 Model introduksi teknologi pengolahan pakan


dalam sistem terpadu antara pertanian dengan usaha
peternakan………………………………..150

21 Tanaman Dukweed (Lemna minor) bahan pakan alternatif


sumber protein ...........156

22 Tanaman katuk (Sauropus androgynus) berkhasiat sebagai


antibakteri dan menurunkan akumulasi lemak tubuh ayam
...........................................161

23 Skema pengolahan limbah ........................176

24 Perubahan struktur serat pod kakao segar (kiri) dan dengan


amoniasi 1,5% Urea (kanan) (Erika, 1998..........................181

25 Perubahan struktur serat pod kakao setelah perlakuan


pengolahan (tanpa, biofermentasi rumen, dan biofermentasi
Kapang P. Chrysosporium (Erika, 1998)...................188

26 Bagan alir proses fermentasi dengan penambahan kultur


murni………….189

27 Skema proses aktivasi Aspergillus niger......................217

28 Cara pencampuran ransum......................232

29 Bulu ayam broiler yang masih utuh (kiri) dan sesudah direbus
serta difermentasi (kanan).....................241

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | xxv


I. PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Limbah

B ila dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (l998),


pengertian limbah secara harfiah didefinisikan sebagai
sisa proses produksi dan air buangan pabrik. Pengertian sisa di
sini harus diartikan sebagai bahan sampingan yang tersisa setelah
proses produksi utama selesai. Winarno (l985) mendefinisikan
secara khusus limbah pertanian, yaitu bahan yang merupakan
buangan dari proses perlakuan atau pengolahan untuk
memperoleh hasil utama dan hasil sampingan.
Mastika (l991) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
limbah pertanian adalah hasil sampingan yang dihasilkan dari
pertanian dan belum termanfaatkan secara maksimal. Dalam
bidang pertanian, industri, perkebunan, peternakan, dan
perikanan, maka pengertian limbah akan lebih luas lagi termasuk
bahan sampingan (“by product”), bahan terbuang, dan bahan tidak
terpakai (“waste product”).
Apabila limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat
dan optimal, akan dapat diperoleh pakan yang murah dan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 


bermutu, sehingga itu akan dapat meningkatkan pendapatan
peternak, mendukung upaya peningkatan populasi dan
produktivitas ternak, dan membuka peluang usaha, yang sekaligus
dapat mengatasi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh
produksi limbah yang tidak ditangani dengan baik.

1.2 Keterbatasan Nutrisi Pakan Limbah


Pakan limbah untuk ternak ruminansia maupun
nonruminansia sebagiaan tidak dapat dicerna dan proporsi
yang tidak tercerna tersebut cukup besar (protein, karbohidrat,
dan mineral). Pada ternak monogastrik termasuk unggas, serat
kasar dapat dikatakan tidak dapat dicerna, sedangkan protein
hampir 50 % terbuang sebagai feses. Walaupun ternak ruminansia
memiliki rumen untuk membantu mencerna serat kasar, pada
kenyataannya kecernaan hijauan hanya mencapai 50-60%.
Keterbatasan nutrisi lainnya pada pakan limbah asal
nabati adalah kandungan serat kasarnya yang relatif lebih tinggi
daripada bahan pakan asal hewani. Ternak unggas hanya mampu
mencerna serat kasar lebih kurang 20 – 30 % dan itu berlangsung
di bagian sekum dan kolon. Namun, serat kasar pada ransum
ternak unggas ternyata mempunyai fungsi yang sangat penting,
khususnya dalam upaya mengatasi kanker saluran pencernaan
dan mengurangi kegemukan pada ayam petelur.
Rendahnya availabilitas zat makanan yang terkandung
dalam limbah merupakan kendala utama dalam usaha
memanfaatkan limbah untuk makanan ternak. Keadaan tersebut
di atas merupakan sifat umum daripada limbah.
Umumnya limbah mempunyai sifat “bulky” (“volumeneous
= amba”) yang disebabkan karena tingginya kandungan serat
kasar di dalam limbah tersebut. Misalnya, limbah yang bersumber
dari proses penggilingan dedak padi mempunyai density yang
bervariasi, yaitu berkisar antara 0,24 – 0,30 g/cm3 (BoGohl,
1975). Limbah yang berasal dari proses ekstraksi minyak, seperti
bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, dan bungkil kacang tanah

 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


mempunyai density berkisar antara 0,40 – 0,60, sedangkan limbah
yang bersumber dari hewan/ikan, seperti tepung daging dan
tepung ikan mempunyai angka density yang paling tinggi, yaitu
berkisar antara 0,45 – 0,64 g/cm3. Adanya sifat “bulky” tersebut
menyebabkan konsumsi pakan akan terbatas khususnya pada
ternak unggas. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan proses
pelleting.
Bahan pakan limbah nabati umumnya tidak mempunyai
kandungan asam amino cukup seimbang, sehingga dalam
penyusunan ransum hendaknya menggunakan lebih dari satu
bahan pakan asal nabati dengan tujuan untuk saling melengkapi
kelebihan dan kekurangan asam amino. Dengan demikian,
bahan pakan limbah asal hewani hanya sebagai pelengkap saja,
mengingat harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan
pakan nabati.
Tinggi rendahnya penggunaan bahan pakan asal tanaman
dalam penyusunan ransum erat kaitannya dengan harga dan
kandungan nutrisi dari ransum yang dibuat. Kandungan asam
amino asal protein nabati umumnya rendah, tidak seimbang,
dan juga tidak lengkap. Bungkil kacang kedelai misalnya, sangat
baik digunakan dalam penyusunan ransum, tetapi kandungan
metioninnya rendah. Demikian juga halnya dengan bungkil
kacang tanah; kandungan asam amino lysinnya rendah. Hal
yang sama juga terjadi pada bungkil kelapa; asam amino lysin
dan metioninnya rendah.
Tidak ada sumber bahan pakan, baik yang murni dihasilkan
untuk pakan ternak maupun hasil sampingannya mengandung
semua unsur nutrisi. Kekurangan kandungan unsur nutrisi
dapat ditingkatkan dengan penambahan berbagai sumber bahan
pakan yang lain ke dalam bahan pakan tersebut sehingga terjadi
substitusi (saling melengkapi).

1.3 Jenis Pakan Limbah untuk Ternak


Bahan pakan limbah untuk ternak terbagi atas bahan pakan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 


asal nabati atau yang bersumber dari produk pertanian, bahan
pakan asal hewani atau bahan pakan asal produk perikanan, dan
pakan limbah pelengkap yang umumnya buatan pabrik, yang
biasanya digunakan untuk menutupi atau menyempurnakan
keseimbangan nutrisi. Pakan limbah nabati mempunyai porsi 90
– 94 % dari total formulasi ransum ternak nonruminansia (Rasyaf,
2005). Hal tersebut disebabkan karena bahan pakan nabati
umumnya sebagai sumber energi yang harus selalu terpenuhi
dalam penyusunan ransum.
Karena demikian beragamnya jenis limbah yang ada, maka
ada baiknya limbah tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa
jenis limbah, antara lain sebagai berikut ini :
1. Limbah pertanian: yang termasuk limbah pertanian di sini
meliputi jerami padi, jerami jagung, jerami kacang-kacangan,
jerami kacang kedelai, jerami kacang tanah, daun singkong,
pucuk tebu, dan sebagainya.
2. Limbah industri pertanian atau “agro-industrial-by-product”,
seperti dedak padi, dedak jagung, bungkil kelapa, bungkil
kedelai, dan bungkil kacang tanah.
3. Limbah peternakan, seperti kotoran ayam, isi rumen, bulu
ayam, lemak telo, tulang, dan darah.
4. Limbah perikanan yang meliputi beberapa jenis ikan yang
merupakan hasil sampingan pada penangkapan udang dan
limbah pada unit pembekuan dan pengolahan/pengalengan
ikan seperti bagian kepala, sirip, ekor, dan isi perut.
5. Limbah perkebunan, yaitu meliputi semua hasil ikutan dalam
usaha tanaman perkebunan tertentu yang menghasilkan
produk utama yang menjadi tujuan pengusaha. Limbah
perkebunan yang umumnya digunakan sebagai pakan
ternak, antara lain pucuk tebu dan daun tebu, gulma hasil
penyiangan, limbah rumput pengolahan antara lain tetes
(molasis), ampas kelapa sawit, ampas tebu (bagase), onggok,
dan bagian sampah seperti kulit kopi, kulit coklat, serta air
buangan sawit.

 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


6. Limbah tata boga yang meliputi limbah hasil restauran,
hotel, rumah tangga, dan pasar. Limbah tersebut berupa
sisa dapur, hotel, dan sisa sayuran di pasar yang merupakan
limbah pasar yang cukup banyak serta dapat dimanfaatkan
untuk makanan ternak babi dan ruminansia.

1.4 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis

Bahan pakan yang akan digunakan harus tersedia dalam


waktu yang lama atau ketersediaannya harus kontinyu. Bahan
pakan yang sudah tersedia pada suatu saat dan kemudian hilang
(tidak tersedia) harus dihindarkan penggunaannya. Masalah
ketersediaan ini erat kaitannya dengan produksi.
Padi yang diproduksi secara masal dan nasional
menyebabkan ketersediaan dedak padi dan bekatul untuk
ternak juga akan berlimpah. Lain halnya dengan bahan pakan
yang diproduksi secara terbatas akan menghasilkan bahan
pakan yang terbatas pula ketersediaannya. Karena masalah
ketersediaan inilah, beberapa bahan pakan inkonvensional tidak
dapat digunakan dalam pembuatan ransum oleh pabrik makanan
ternak pada umumnya.
Beberapa contoh bahan pakan inkonvensional yang sering
digunakan sebagai bahan pakan oleh peternak tradisional adalah
tepung daun singkong, tepung ubi kayu, tepung sisa rumah
potong, limbah tempe, kulit biji kacang kedelai, kulit cokelat,
dan lain-lain. Walaupun dari segi nutrisi bahan pakan tersebut
dapat dimanfaatkan oleh ternak, ketersediaannya yang terbatas
dan tidak berkesinambungan menjadikan bahan tersebut tidak
layak digunakan sebagai bahan utama penyusun ransum ternak.
Contoh spesifik untuk di Indonesia adalah ubi kayu. Ubi kayu
produksinya cukup banyak, tetapi karena bahan ini masih banyak
digunakan untuk industri dan pangan manusia, serta kandungan
nutrisinya yang rendah maka ubi kayu tidak layak digunakan
dalam penyusunan ransum ternak.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 


Produksi pertanian yang besar tentu akan menghasilkan
banyak bahan pakan untuk ternak. Indonesia yang mengutamakan
produksi padi akan banyak menghasilkan dedak dan bekatul.
Karena itu, dedak padi selalu digunakan dalam penyusunan
ransum ternak. Selanjutnya, karena buah kelapa dan kelapa
sawit banyak dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan minyak
goreng, maka hasil samping pembuatan minyak goreng itu dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti bungkil kelapa dan
bungkil sawit. Dapat dikatakan bahwa bahan pakan yang banyak
diproduksi akan menjamin ketersediaannya, sehingga terjamin
pula kontinyuitas penggunaannya dalam penyusunan ransum
ternak.
Bahan pakan untuk ternak tidak boleh bersaing dengan
manusia. Apabila manusia lebih banyak membutuhkannya, maka
bahan pakan tersebut tidak boleh diberikan pada ternak, misalnya
kacang kedelai. Namun demikian, bungkil kacang kedelai dapat
diberikan pada ternak.
Pertimbangan lainnya, harga bahan pakan itu sendiri.
Walaupun dapat digunakan sebagai bahan pakan, apabila
harganya mahal, maka penggunaan bahan atau peran bahan pakan
itu sebagai bahan pakan ternak akan tersisihkan. Murah ataupun
mahalnya suatu bahan pakan harus dinilai dari manfaat bahan
pakan itu sendiri, yang merupakan cermin dari kualitasnya dan
hasil yang diperoleh. Tepung ikan misalnya, harganya memang
mahal, tetapi bila dibandingkan dengan kandungan proteinnya
yang tinggi dan kelengkapan asam aminonya serta manfaat yang
diperoleh, maka penggunaan tepung ikan sebagai bahan pakan
sumber protein menjadi murah.
Walaupun harga absolut suatu bahan pakan murah,
ketersediaannya banyak dan berkesinambungan, tetapi bila
kandungan gizinya rendah atau mengecewakan, maka bahan
pakan tersebut tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan
unggas. Bagi ternak monogastrik, batasannya adalah kandungan
serat kasar suatu bahan. Semakin tinggi kandungan serat

 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


kasarnya, akan semakin berkurang perannya dalam penyusunan
ransum nonruminansia (monogastrik dan unggas).
Kelengkapan asam amino, vitamin, mineral, dan energi
yang terkandung di dalamnya memegang peran penting untuk
menentukan apakah bahan pakan tersebut berperan atau tidak.
Bahan pakan limbah yang mudah membentuk racun atau mudah
cemar juga tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan. Bungkil
kelapa misalnya, meskipun masih tetap digunakan karena
kandungan minyaknya masih tinggi, ransum yang mengandung
bungkil kelapa dalam proporsi tinggi akan mudah tengik. Karena
itu, beberapa pabrik makanan ternak mulai meninggalkan
penggunaan bungkil kelapa dalam penyusunan ransum.

1.5 Peranan Teknologi dalam Pengolahan Limbah


Pengolahan terhadap pakan limbah dilakukan karena
adanya sifat pakan yang kurang menguntungkan, seperti mudah
rusak, kecernaan rendah, nilai gizi rendah, adanya zat antinutrisi,
dan harga yang relatif mahal. Dengan adanya teknologi dalam
pengolahan pakan limbah tersebut, maka sifat-sifat jelek tersebut
dapat diminimalkan bahkan juga dapat dilakukan peningkatan
terhadap potensi dari bahan pakan yang dimiliki melalui
teknis-teknis tertentu. Untuk bahan pakan limbah yang mudah
rusak, maka yang diperlukan adalah teknologi pengawetan dan
penyimpanan pakan sehingga pakan dapat tahan lama dan dapat
dimanfaatkan sepanjang waktu. Selain itu, perlakuan itu juga
dapat mengurangi jumlah pakan yang rusak/busuk yang dapat
mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.
Pakan yang memiliki kecernaan rendah terutama hijauan
untuk ternak ruminansia dapat ditingkatkan kecernaanya dengan
metode fisik maupun kimiawi. Dengan memotong-motongnya
menjadi bagian yang lebih kecil, itu dapat memperbesar luas
permukaan dan pakan menjadi lebih homogen. Selain itu, dapat
juga dilakukan dengan menambahkan zat yang bersifat basa
kuat yang dapat memecah ikatan lignin yang terdapat dalam

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 


bahan. Dengan demikian, pakan akan mudah dicerna sehingga
feed intake jadi meningkat, yang berarti lebih efektif dalam
meningkatkan produktivitas ternak dan pada akhirnya jadi lebih
menguntungkan.
Berbagai macam teknologi pengolahan pakan bisa
diterapkan dalam meningkatkan kualitas bahan pakan yang
tersedia. Pengelolaan pakan pada umumnya dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu cara fisik, kimiawi, dan cara biologis.
Metode fisik antara lain adalah perendaman (soaking), penggilingan
(grinding), pembuatan pelet (pelleting), pemanasan dalam air
(boiling), pemanasan dengan tekanan uap (steaming), penyinaran
dengan sinar radiasi, dan lain sebagainya. Metode kimia biasanya
menggunakan zat yang bersifat basa kuat, seperti NaOH, KOH,
CaOH, NH4OH, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, metode
biologis dilakukan dengan menambahkan enzim, prebiotik,
probiotik, jamur, dan lain-lain. Di samping itu, juga dilakukan
perlakukan pengolahan pakan dengan menggabungkan antara
beberapa metode yang ada karena kelemahan dan keterbatasan
masing-masing metode yang ada.
Pada saat pakan mahal, maka perlu dilakukan substitusi
dengan bahan pakan lain yang harganya lebih murah dan nilai
nutrisinya cukup tinggi. Dengan berbagai macam teknologi
pakan yang ada tersebut, maka masalah kualitas pakan akan
dapat diatasi yang nantinya akan memberikan kontribusi yang
besar terhadap efisiensi dalam usaha peternakan sehingga akan
lebih profitable.
Pengolahan pakan sebaiknya lebih diarahkan pada
pemanfaatan potensi lokal yang tersedia sehingga ketersediaan
pakan akan lebih terjamin dalam memenuhi kebutuhan ternak.
Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak akan memberikan
keuntungan ganda karena lebih murah dan sekaligus membantu
dalam mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan.
Dengan adanya teknologi pengolahan pakan, limbah
yang memiliki kualitas yang relatif rendah dapat dimanfaatkan

 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


kembali sebagai pakan ternak yang berpotensi tinggi. Untuk
lebih sempurnanya pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak,
khususnya limbah pertanian, maka perlu diterapkan sistem
integrasi antara ternak dengan tanaman pertanian/perkebunan.
Dengan adanya integrasi tersebut, maka keseluruhan potensi
yang ada dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa adanya
materi yang terbuang dari dalam sistem (“zero waste”).

1.5.1. Teknologi untuk Mengatasi Senyawa Antinutrisi

Hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa mikroba


rumen ternyata dapat berperan dalam menetralisir efek mimosin
pada daun lamtoro terhadap ternak. Lamtoro mengandung
senyawa mimosin yang dapat bersifat racun bagi ternak yang
mengkonsumsinya. Namun demikian, pengaruh racun tersebut
dapat diatasi dengan melakukan penambahan mikroba dalam
ransum yang diinokulasi dari rumen domba yang sebelumnya
sudah diadaptasikan dengan mengkonsumsi daun lamtoro,
sehingga gejala keracunan yang ditimbulkan oleh efek momosin
menjadi hilang.
Dedak padi mengandung asam fitat yang cukup tinggi
yang dapat mengikat protein dan mineral sehingga sulit dapat
dimanfaatkan oleh ternak monogastrik. Namun, pemberian
enzim phitase pada ransum tersebut ternyata dapat mengatasi
problema yang disebabkan oleh senyawa fitat tersebut, sehingga
mineral fosfor dapat dimanfaatkan lebih banyak. Penambahan
Aspergillus niger ke dalam ransum ternyata dapat meningkatkan
kecernaan fosfor dan pada ransum yang mengandung sorgum
tinggi ternyata dapat menurunkan kandungan tanninnya.
Senyawa beracun yang terdapat pada minyak biji kapok
dapat meracuni ayam petelur, demikian juga halnya dengan biji
kapas dan tepung daun gamal ternyata dapat meracuni ayam,
serta senyawa teobromin (theobromine) pada kulit cokelat (pod
kakao) dapat menurunkan produktivitas ternak. Tepung bulu

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 


ayam segar mempunyai nilai gizi rendah (sulit dicerna), sehingga
perlu dilakukan pemasakan dan hidrolisis sebelum digunakan
dalam pencampuran ransum.
Pengawetan hijauan makanan ternak (HMT) dengan
proses silase (ensilase) ternyata memiliki beberapa keuntungan
jika dibandingkan dengan pengeringan (kerusakan protein dan
vitamin lebih rendah) dan juga tidak tergantung kepada musim.
Proses ensiling melibatkan kegiatan bakteri asam laktat (BAL)
dari senyawa gula. Asam laktat berfungsi sebagai pengawet (pH
menjadi rendah) sehingga dapat mencegah pertumbuhan dan
aktivitas mikroba pembusuk.
Dalam ilmu makanan ternak, alkaloid merupakan zat
antinutrisi selain asam sianida, asam nitrat, asam oksalat, mimosin,
dan gossipol (Siregar, 1994). Pada alkaloid, derajat keracunannya
tergantung pada macam alkaloid, konsentrasi, dan ketahanan
ternak. Pada domba, misalnya terdapat mikroflora yang dapat
merusak alkaloid sehingga tidak menimbulkan efek keracunan.

1.5.2. Aplikasi Bioteknologi

Bahan pakan yang diberikan kepada ternak, baik untuk


ternak ruminansia maupun nonruminansia atau monogastrik,
sebagian tidak dapat dicerna, dan proporsi yang tidak tercerna
tersebut cukup besar (protein, karbohidrat, dan mineral). Pada
ternak unggas, serat dapat dikatakan tidak dapat dicerna,
sedangkan protein hampir 50 % terbuang sebagai feses. Walaupun
ternak ruminansia memiliki rumen untuk membantu mencerna
serat, pada kenyataannya kecernaan hijauan masih berkisar antara
50 – 60 %.
Bioteknologi merupakan penggunaan ilmu mengenai
produk-produk alami dalam meningkatkan nilai tambah.
Bioteknologi pada ternak monogastrik adalah penggunaan
mikroorganisme tertentu untuk memperbaiki efisiensi
penggunaan pakan, pemanfaatan enzim yang diproduksi oleh

10 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


mikroorganisme, penciptaan bahan-bahan kimia, seperti antibiotik
dan pemacu pertumbuhan yang dapat ditambahkan ke dalam
pakan monogastrik, baik bahan tersebut dari hasil fermentasi
ataupun lainnya.
Intervensi bioteknologi sangat dibutuhkan untuk
mengatasi faktor pembatas pada pakan limbah. Onggok yang
difermentasi oleh Aspergillus niger menghasilkan produk dengan
kecernaan bahan kering dan protein yang lebih tinggi. Produk
yang dihasilkan memiliki kandungan protein kasar sekitar 35 – 40
% dan merupakan bahan pakan sumber protein bagi ternak.
Sebelum digunakan untuk pakan ternak, limbah pakan (pod
kakao, kulit kopi, onggok, kulit kedelai, ampas tahu) dihancurkan
dan diperas airnya. Limbah yang sudah hancur kemudian
dibasahi dengan larutan Aspergillus niger, kemudian ditutup
dengan karung goni atau plastic. Maka, akan terbentuk limbah
fermentasi. Limbah yang terfermentasi kemudian dikeringkan
selama 2 – 3 hari, selanjutnya digiling agar terbentuk tepung
(tepung limbah terfermentasi). Tepung limbah terfermentasi
tersebut dapat digunakan sebagai bahan pakan penguat untuk
ternak ruminansia, babi, dan ayam.
Tepung limbah terfermentasi dapat langsung diberikan
kepada ternak atau disimpan dalam wadah yang bersih dan
kering. Untuk ternak ruminansia, tepung limbah terfermentasi
dapat digunakan sebagai pakan penguat untuk mempercepat
pertumbuhan dan meningkatkan produksi susu. Tepung limbah
terfermentasi ini dapat diberikan sebagai pengganti penggunaan
dedak padi, yaitu sebanyak 0,70 – 1,0 % dari berat hidup ternak
ruminansia.
Penggunaan tepung limbah terfermentasi untuk ternak babi
dapat digunakan sebagai pengganti penggunaan dedak padi.
Dalam ransum babi, bahan itu dapat digunakan antara 20 – 40 %.
Pada ayam petelur, penggunaan tepung pod kakao terfermentasi
sampai tingkat 36 % secara nyata dapat meningkatkan produksi
telur. Pemberian tepung limbah kopi terfermentasi sebanyak 100

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 11


– 200 g per ekor per hari pada anak kambing yang sedang tumbuh
secara nyata dapat meningkatkan pertambahan berat badan per
harinya (Guntoro, 2004). Hasil yang sama juga diperoleh apabila
anak kambing diberi antara 100 – 200 g/ekor/hari tepung pod
kakao terfermentasi.

1.5.3. Teknologi Pakan Lengkap (Complete Feed)


Penerapan teknologi pakan lengkap untuk ransum ternak
monogastrik umumnya dan ternak unggas khususnya sudah
umum dilakukan. Akhir-akhir ini penerapan teknologi pakan
lengkap untuk ternak ruminansia sudah mulai ditingkatkan.
Penggunaan teknologi pakan lengkap, di samping
mengandung nutrisi yang seimbang juga harganya yang lebih
murah. Hal ini dimungkinkan karena complete feed dibuat
dari bahan baku limbah pertanian dan agroindustri serta
disuplementasi dengan bahan pakan yang bernilai nutrisi tinggi.
Keunggulan lain dari penggunaan teknologi pakan lengkap ini
antara lain :
1. hemat dalam penggunaan tenaga kerja (tenaga kerja 1 orang
untuk 100-150 ekor domba),
2. mudah diaplikasikan,
3. waktu penggemukan relatif pendek (3 - 4 bulan),
4. pertambahan bobot badan ternak cukup tinggi, serta
5. praktis serta ekonomis.

Karena keunggulannya tersebut, penggunaan complete feed


pada ternak domba setiap tahunnya terus meningkat. Memang
diperlukan masa adaptasi untuk mengubah pakan ternak dari
yang biasa diberikan ke pemberian complete feed.
Dalam pembuatan ransum complete feed, bahan pakan yang
diperlukan antara lain :
1. sumber serat kasar (jerami kedelai, tongkol jagung, pucuk
tebu, dan lain-lain),
2. sumber energi (pollard, dedak padi, bungkil tapioka atau

12 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


gamblong, tetes atau molasses, dan lain-lain),
3. sumber protein (bungkil kopra, bungkil sawit, bungkil miyak
biji kapok atau klenteng, kulit kopi, kulit kakao, dan lain-
lain), dan
4. sumber mineral (urea, tepung tulang, mineral mix, garam
dapur, dan lain-lain).

Pembuatan pakan lengkap dapat dilakukan melalui


pengolahan dengan mesin skala kecil yang dilaksanakan pada
tingkat kelompok tani, maupun mesin skala besar. Meskipun
demikian, secara umum proses pengolahannya relatif sama.

1.5.4. Teknologi Pakan pada Integrasi Ternak dengan Usaha


Pertanian dan Perkebunan
Dalam usaha mewujudkan usaha peternakan yang lebih
menguntungkan dan ramah lingkungan, maka perlu dilakukan
penggunaan teknologi pengolahan pakan secara selektif. Dengan
demikian, akan diperoleh hasil yang lebih efektif terhadap
produksi dan efisien serta tidak mengganggu lingkungan. Hal
ini harus disesuaikan dengan jenis ternak yang dipelihara dan
kapasitas produksi yang dimiliki serta pakan yang tersedia.
Peran teknologi pengolahan pakan dalam upaya
memadukan ternak dengan usaha pertanian dan perkebunan
sangat berdampak positif terhadap aspek budidaya, dan
sosial ekonomi. Budidaya ternak akan semakin efisien karena
ketersediaan pakan dapat dilakukan dengan kontinyu dengan
biaya yang lebih murah dan dapat meningkatkan nilai tambah
sehingga akan lebih menguntungkan bagi usaha peternakan.
Secara ekonomis, peternak dapat melakukan efisiensi usaha
(meningkatkan pendapatan) dengan menggunakan pakan yang
lebih murah dan mudah didapat di lingkungan sekitarnya.
Dari jenis bahan pakan yang tersedia perlu diketahui
kualitasnya, apakah perlu dilakukan peningkatan atau tidak.
Kalau kualitas pakan yang dimiliki masih rendah dan kurang

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 13


efisisen diberikan pada ternak, maka perlu dilakukan pengolahan
lebih lanjut. Teknologi pengolahan pakan yang digunakan
secara teknis harus mudah diterapkan, secara ekonomis harus
menguntungkan, dan aman baik bagi ternak, manusia sebagai
konsumen, dan lingkungan sekitarnya.
Dalam penerapan teknologi pakan perlu disadari bahwa
tidak ada komposisi nutrisi dan strategi pakan yang paling
sempurna yang dapat diterapkan pada semua sistem usaha
peternakan yang tersebar pada berbagai lokasi usaha. Hal yang
menjadi perhatian adalah bagaimana mengolah potensi bahan
pakan yang tersedia menjadi produk yang sehat, menguntungkan,
dan ramah terhadap lingkungan. Oleh karena itu, beberapa faktor
yang perlu diterapkan dalam pemberian pakan pada ternak
adalah sebagai berikut :
1. disesuaikan dengan anatomi dan fisiologi pencernaan ternak
yang bersangkutan,
2. perhatikan kebutuhan pakan (kesehatan, biaya, dan hasil),
3. pemilihan bahan pakan,
4. strategi pemberian,
5. perhitungan kecukupan pakan, dan
6. pemberian pakan yang sesuai dengan status produksi
ternak.

Sub sektor peternakan sebagai bagian dari sektor pertanian


dapat melakukan integrasi dengan sub sektor pertanian dan
perkebunan untuk meningkatkan produktivitas masing masing
sektor. Artinya, ketiga komponen ini dapat saling menopang
untuk saling mengisi dalam meningkatkan produktivitas dengan
memanfaatkan produk sampingan usaha.Ternak yang diusahakan
dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian dan perkebunan
untuk saling mengisi sehingga masing-masing usaha dapat
memberi hasil optimal.
Dengan adanya integrasi tersebut, maka keseluruhan
potensi yang ada dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa

14 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


adanya materi yang terbuang dari dalam sistem (zero waste).
Dengan demikian, usaha peternakan yang dilakukan akan
lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan adanya
dukungan sistem yang saling terkait secara sinergis dan saling
menguntungkan. Selain itu, pengembangan potensi limbah ini
akan dapat membuka kesempatan kerja baru dan peningkatan
pendapatan dengan adanya nilai tambah dari pengolahan limbah
yang dilakukan.
Usaha ternak memiliki kendala, yaitu ketergantungan pada
penyediaan sumber pakan ternak secara kontinyu (baik hijauan
maupun konsentrat), terbatasnya lahan untuk pengembangan
usaha, kesulitan pembuangan hasil sampingan usaha (limbah)
berupa kotoran ternak, dan permasalahan lingkungan sekitar
usaha. Namun, usaha pertanian dan perkebunan menghadapi
kendala dalam penyediaan sumber unsur hara untuk lahan,
pertumbuhan tanaman yang kurang sehat akibat unsur hara yang
berkurang, perawatan untuk pertumbuhan tanaman memerlukan
biaya yang besar, dan permasalahan limbah yang semakin lama
semakin menumpuk sehingga menjadi sarang hama dan penyakit.
Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan melakukan
integrasi atar sub sektor secara terpadu.
Sistem pertanian terpadu (“integrated farming system”)
merupakan suatu sistem yang mengintegrasikan beberapa
unit usaha di bidang pertanian yang dikelola secara terpadu
dan berorientasi ekologis, sehingga diperoleh peningkatan
nilai ekonomis, tingkat efisiensi, dan produktivitas yang tinggi.
Konsep pertanian terpadu juga sering disebut sebagai konsep
LEISA (“Low External Input Sustainable Agriculture”). Konsep ini
diharapkan menjadi arah baru bagi pertanian masa depan, di
mana pihak yang terlibat dapat menikmati hasil yang sepadan dan
berkelanjutan. Konsep LEISA menyangkut berbagai aspek, yaitu
(1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal, (2) maksimalisasi
daur ulang (“zero waste”), (3) minimalisasi kerusakan lingkungan
(ramah lingkungan), (4) deversifikasi usaha, (5) pencapaian tingkat

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 15


produksi yang stabil dan memadai untuk jangka panjang, dan (6)
menciptakan kemandirian.
Berdasarkan konsep LEISA, usaha ternak dapat
diintegrasikan dengan usaha pertanian dan perkebunan dengan
cara berikut ini.
1. Hasil samping (limbah) pertanian dan perkebunan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan. Jerami padi, pucuk
tebu, tongkol jagung, jerami kacang tanah, jerami kacang
kedelai, dan kulit buah kakao dapat digunakan sebagai
pakan ternak.
2. Kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil panen yang bukan
pangan atau pakan dapat didekomposisi menjadi kompos
untuk penyediaan unsur hara lahan.
3. Ternak (terutama ruminansia) dapat dilepas di perkebunan
(kelapa sawit atau hibrida) untuk memanfaatkan tanaman
liar/gulma sebagai pakan dan sekaligus menghemat biaya
penyiangan.

Problem sosial yang sering kali terjadi akibat limbah


yang menimbulkan polusi (kotoran ternak, sisa panen, limbah
perkebunan/pertanian) dapat diatasi dan membawa pengaruh
yang baik. Disamping itu, secara ekonomis petani/peternak dapat
melakukan efisiensi usaha (meningkatnya pendapatan) dengan
menggunakan pakan yang lebih murah dan mudah didapat di
lingkungan sekitarnya. Akhirnya, kemandirian petani/peternak
dalam berusaha dapat diwujudkan dan ketergantungan pada
sarana produksi dari luar dapat ditekan (dikurangi).

1.5.5. Tekologi Limbah Ramah Lingkungan
Pendekatan yang digunakan dalam pengolahan pakan yang
mengarah ke ramah lingkungan serta menguntungkan adalah :
(1) teknologi yang digunakan menguntungkan dan efisien bagi
peternak itu sendiri, sehingga perlu dipikirkan bahan apa yang
akan diolah dan teknologi apa yang akan digunakan supaya aman

16 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


bagi ternak maupun peternak; (2) bahan yang akan diolah berasal
dari daerah lokal setempat sehingga harga tidak terlalu mahal
dan ketersediaan cukup banyak; (3) teknologi yang digunakan
tersedia sepanjang tahun dan dapat terus menerus/berlanjut
dihasilkan pakan untuk ternak; (4) ramah lingkungan, aman bagi
peternak dan lingkungan di mana ternak dan manusia hidup dan
(5) secara sosial ekonomi dapat diterima oleh masyarakat.
Teknologi pengolahan pakan memegang peran yang sangat
penting, agar pemanfaatan limbah sebagai faktor pencemar
dapat dikelola dengan efektif dan efisien dalam meningkatkan
produktivitas ternak, sehingga pada akhirnya akan terwujud
sebuah sistem peternakan yang menguntungkan dan berwawasan
lingkungan. Dalam mendukung terciptanya sistem peternakan
yang menguntungkan dan berwawasan lingkungan, maka perlu
dilakukan penerapan teknologi pengolahan pakan dalam suatu
kesatuan sistem pertanian yang terpadu.
Pengolahan pakan sebaiknya lebih diarahkan pada
pemanfaatan potensi lokal yang tersedia sehingga ketersediaan
pakan akan lebih terjamin dalam memenuhi kebutuhan ternak.
Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak akan memberikan
keuntungan ganda karena lebih murah dan sekaligus membantu
dalam mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan. Dengan
adanya teknologi pengolahan pakan, limbah yang memiliki
kualitas yang relatif rendah dapat dimanfaatkan kembali sebagai
pakan ternak yang berpotensi tinggi. Untuk lebih sempurnanya
pemanfaatan limbah sebagi pakan ternak khususnya limbah
pertanian, maka perlu diterapkan sistem integrasi antara ternak
dengan tanaman pertanian/perkebunan.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 17


18 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
II. KLASIFIKASI PAKAN LIMBAH

2.1 Pakan Limbah Sumber Protein

U mumnya pakan limbah sebagai sumber protein


ini sangat sulit didapat. Ada saja faktor pembatas
penggunaannya sebagai sumber protein. Misalnya, tepung bulu
ayam kandungan protein kasarnya tinggi dan dapat mencapai
75 %. Akan tetapi, karena nilai cerna proteinnya rendah yang
disebabkan oleh adanya proses keratinisasi pada bulu ayam
tersebut, menyebabkan pakan limbah ini masih jarang digunakan
sebagai sumber protein pengganti tepung ikan yang harganya
mahal.
Klasifikasi bahan pakan sebagai sumber protein adalah: (1)
kandungan protein kasarnya harus di atas 20 %, (2) kandungan
serat kasarnya di bawah 18 %, dan (3) nilai cerna bahan tersebut
di atas 75 %. Berdasarkan kriteria tersebut, sangat sulit untuk
mendapatkan pakan limbah sumber protein yang umumnya
mempunyai kecernaan rendah serta mengandung serat kasar
yang tinggi. Namun demikian, produk fermentasi dari pakan
limbah tersebut akan dapat mengatasi semua hal tersebut di atas.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 19


Dalam proses pembuatan tepung ikan, sering dilakukan
manipulasi melalui penambahan urea yang apabila dianalisis
akan memberikan kandungan protein kasar yang tinggi. Hal lain
yang ditakutkan adalah bahwa dalam proses pembuatan tepung
ikan di kapal yang berlangsung terlalu lama dan menerima panas
yang terlalu tinggi, dapat terbentuk racun yang bila dikonsumsi
dapat menimbulkan penyakit muntah hitam (Gizzerosin) yang
menyerang dinding gizzard dan dapat menyebabkan kematian
yang mendadak pada ternak unggas.
Tepung ikan yang umumnya digunakan di Indonesia adalah
yang bersumber dari hasil samping pengolahan ikan, sehingga
kualitasnya masih rendah. Namun demikian, kandungan protein
kasarnya berkisar antara 50 - 58 % dan merupakan sumber utama
asam amino lysin dan metionin serta sebagai sumber mineral
fosfor (P) dan kalsium (Ca).
Pada Tabel 1, tersaji kandungan protein dan energi
termetabolis beberapa bahan pakan yang bersumber dari hewan
yang umumnya digunakan dalam penyusunan ransum.

Tabel 1. Kandungan protein dari beberapa bahan pakan asal


hewan

Bahan Pakan Protein(%) ME (Kkal/kg) Keterangan


Metionin dan sistin sebagai
Sisa rumah
50 1980 faktorkendala.Kualitasprotein
potong
beragam
Sumberproteindanasamamino
Tepung ikan 60 - 70 2640 - 3190 ygbaik,sertasumbermineralCa
dan P
Kualitasproteinsangatrendah.
Tepung bulu
84 2310 Miskin akan metionin, lysin,
terhidrolisis
histidin, triptofan
Rendah isoleusin dan kurang
Tepungdarah 80 2850
baikdigunakandalamransum

Sumber : Rasyaf (2002)

20 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Keterbatasan lain dari pakan limbah sumber protein adalah
adanya antinutrisi (antitripsin) pada pakan limbah biji-bijian, yang
dapat menurunkan kecernaan dalam bahan tersebut terutama
dari tanaman legum, sehingga menurunkan kecernaan protein,
karbohidrat, serta menghambat penggunaan mineral dan vitamin.
Penambahan enzim protease akan memperbaiki kecernaan dan
ketersediaan asam amino dari pakan limbah tersebut (Rooke et
al., 1996; Beal et al., 1999).
Umumnya ada dua asam amino yang menjadi masalah
(kekurangan) pada pakan limbah yang bersumber dari biji-bijian,
yaitu asam amino metionin dan lysin. Masalah tersebut dapat
diatasi dengan melakukan penambahan dengan asam amino
sintetis yang sudah banyak beredar di pasaran, yaitu DL-Metionin
yang mangandung metionin sekitar 98 – 99 % dan L- lysine
mengandung 60 – 99 % lysin.
Penggunaan asam amino sintetis seperti L-lysine dalam
dunia industri peternakan sudah banyak dilakukan. Akan
tetapi, harga asam amino tersebut sangat mahal sehingga perlu
dilakukan analisis ekonomisnya sebelum bahan tersebut dipakai.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shin et al. (l992) melaporkan
bahwa suplementasi L-lysine ke dalam ransum ternyata dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan lemak, total karbohidrat, dan
retensi nitrogen.
Termasuk ke dalam kelompok pakan limbah sumber protein
adalah bungkil kacang kedelai, bungkil kelapa, bungkil kacang
tanah, ampas tahu, tepung bulu ayam, tepung darah, dan tepung
limbah ikan.

2.2 Pakan Limbah Sumber Energi


Kriteria utama pakan limbah sumber energi ini antara
lain (1) kandungan protein kasarnya di bawah 20 % dan (2)
kandungan serat kasarnya lebih rendah dari 18 %. Serat kasar
untuk ternak ruminansia digunakan untuk sumber energi karena
adanya mikroorganisme dalam rumen. Akan tetapi, untuk

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 21


ternak nonruminansia, serat kasar tersebut tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan. Namun, keberadaannya dalam saluran
pencernaan ternak nonruminansia penting artinya, khususnya
dalam usaha meningkatkan kualitas produksi (Sutardi, l997).
Umumnya pakan limbah yang sering digunakan sebagai
sumber energi adalah lemak hewan yang bersumber dari sapi.
Kandungan energi termetabolis dari lemak sapi (tallow) sebesar
7700 kkal/kg. Lemak hewan mengandung lemak kasar sebesar
99,40 % dan kandungan vitamin E sebesar 7,9 mg/kg.
Kandungan energi yang tinggi inilah yang menyebabkan
lemak hewani banyak digunakan untuk ransum unggas pedaging.
Hal ini logis karena pertumbuhan ayam pedaging sangat cepat
dan kebutuhan akan energi termetabolisnya sangat tinggi, yaitu
berkisar antara 300 – 3200 kkal/kg, dan akan sangat sulit dicapai
kalau hanya mengandalkan jagung kuning sebagai sumber energi
dalam penyusunan ransum.
Penggunaan minyak atau lemak dalam penyusunan ransum
untuk ternak nonruminansia mempunyai fungsi antara lain :
1. meningkatkan palatabilitas atau cita rasa ransum,
2. mengurangi sifat berdebu ransum, khususnya ransum yang
berbentuk tepung atau mash,
3. dapat memenuhi kebutuhan akan energi dalam ransum,
karena lemak atau minyak memberikan dua perempat kali
lebih banyak energi daripada karbohidrat dalam berat yang
sama,
4. meningkatkan penyerapan vitamin A dan zat warna karoten,
untuk meningkatkan warna kuning pada kulit, kaki, dan
kuning telur,
5. membantu penyerapan mineral tertentu, khususnya
kalsium,
6. sebagai sumber vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, dan
K), dan
7. sebagai sumber asam lemak esensial yang sangat dibutuhkan
oleh ternak nonruminansia (unggas), yaitu asam linoleat,

22 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


linolenat, dan arakidonat.

Menurut Lloyd et al. (l978), di antara komponen lemak yang


paling penting adalah asam lemak. Asam lemak digolongkan
menjadi dua, yaitu asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam
lemak jenuh antara lain asam laurat, miristat, palmitat, dan
stearat, sedangkan asam lemak jenuh meliputi asam palmitoleat,
oleat, linoleat, dan arakidonat.
Pemecahan lemak ransum menjadi asam lemak,
monogliserida, kholin, dan lain-lain hampir semuanya terjadi
di dalam duodenum dan jejunum. Di dalam kedua organ
ini terdapat garam empedu dan lipase pankreas. Di dalam
duodenum, garam empedu mengemulsikan lemak, kemudian
dengan gerakan peristaltik terdipresi menjadi butiran yang lebih
kecil yang selanjutnya diikuti dengan masuknya lipase (Tillman
et al., 1998).
Lipida yang sudah tercerna dan sebagian larut dalam
air membentuk misel yang stabil. Misel tersebut terdiri atas
asam lemak rantai panjang, monogliserida, dan asam empedu
yang terdifusi ke permukaan sel mukosa, selanjutnya diserap
(Anggorodi, 1985). Hampir semua lemak disimpan dalam jaringan
lemak atau daging dalam bentuk trigliserida. Ternak yang dalam
keadaan puasa atau bila glukosa di dalam ransum tidak cukup,
trigliserida akan dirombak kembali sebagai energi (Yasin, 1988).
Sifat dari lemak tubuh ternyata sangat dipengaruhi oleh
sifat lemak dari sumber bahan pakan yang diberikan. Hal ini
sangat penting karena derajat kekerasan lemak tubuh tersebut
adalah suatu faktor yang menarik dalam nilai pemasaran dari
karkas daging ternak (Anggorodi, 1980). Pada ternak unggas,
apabila ransumnya mengandung kadar lemak yang tinggi, maka
macam lemak dalam bahan makanan itu akan sangat berpengaruh
terhadap sifat lemak yang dibentuk di dalam tubuh unggas.
Lemak cadangan dalam tubuh tidak hanya terbentuk dari
lemak yang dimakan, tetapi berasal pula dari karbohidrat dan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 23


ada kalanya dari protein. Lebih kurang 50 persen dari jaringan
lemak terdapat di bawah kulit dan sisanya ada di sekeliling alat-
alat tubuh tertentu, utamanya ginjal, dalam membran sekeliling
usus, dalam urat daging, dan di tempat lainnya di dalam tubuh.
Asam lemak dalam lemak bahan pakan yang digunakan dalam
penyusunan ransum akan disimpan dalam tubuh dengan tidak
mengalami perubahan.
Apabila ransum mengandung banyak bungkil kacang
kedelai atau bungkil kacang tanah, maka daging akan menjadi
begitu lunak sehingga mutunya rendah. Sebaliknya, bungkil
kelapa akan menghasilkan daging yang keras.
Pakan limbah yang termasuk golongan sumber energi
antara lain : dedak padi, pollard, onggok, limbah roti, limbah hotel,
dan lain sebagainya. Hampir semua hijauan dari kelompok non
leguminosa merupakan bahan pakan sumber energi. Demikian
juga halnya dengan kelompok jerami, seperti jerami padi, jerami
jagung, jerami tebu, jerami eceng gondok, dan lain sebagainya.

2.3 Pakan Limbah Sumber Lemak


Lemak sapi (beef tallow) merupakan bahan pakan alternatif
yang dapat dicoba, khususnya karena merupakan sumber energi
yang sangat potensial, yaitu dengan energi metabolis 7010 kkal/kg
(Scott et al., 1982). Lemak sapi juga merupakan sumber asam lemak
esensial. Pemanfaatan lemak sapi sebagai pengganti sebagian
energi jagung secara ekonomis menguntungkan, karena harga
lemak sapi setiap satuan energi lebih murah jika dibandingkan
dengan jagung.
Pemanfaatan lemak sapi pada dasarnya dimaksudkan
untuk menggantikan sebagian karbohidrat jagung sebagai sumber
energi dengan memanfaatkan fenomena extra caloric effect, yaitu
sampai batas-batas tertentu dapat saling menggantikan sebagai
sumber energi. Pemanfaatan lemak sebagai sumber energi lebih
menguntungkan karena lebih kecil panas yang terbuang dalam
proses metabolisme (specific dynamic effect) ( French et al., 1974 ).

24 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Konsekuensi logis pemanfaatan lemak sapi dalam ransum
unggas adalah berubahnya kecernaan ransum itu sendiri yang
secara langsung berpengaruh pada penyediaan zat makanan bagi
penampilan ternak itu sendiri. Unggas mempunyai kemampuan
yang sangat terbatas dalam mencerna lemak, terutama pada
periode awal dari pertumbuhannya (Scott et al., 1982 ). Kondisi
seperti ini akan berpengaruh terhadap berkurangnya pertambahan
berat badan, lebih rendahnya berat badan akhir dan prosentase
karkas yang dihasilkan.
Pada Tabel 2, tersaji hasil penelitian Udayana (2005) yang
menunjukkan bahwa tidak ada masalah dengan penggantian
energi jagung dengan energi lemak sapi hingga batas tertentu.
Penggantian energi jagung dengan energi lemak sapi hingga 30
% tidak berpengaruh terhadap pencapaian berat badan akhir dan
pertambahan berat badan itik. Pengaruhnya menjadi nyata ketika
penggantian itu ditingkatkan menjadi 40 % dan 50 %.

Tabel 2. Pencapaian berat badan akhir, pertambahan berat badan


dan prosentase karkas dari itik yang mengkonsumsi
ransum dengan penggunaan lemak sapi sebagai
pengganti sebagian energi jagung ( 0 – 7 minggu )

Lemak Berat Badan Berat Badan PertambahanBeratBadan Karkas


(%) Awal(g/ekor) Akhir(g/ekor) (g/ekor/7 mg) (%)
40,38 a* 998,92 a* 958,54 a* 48,38 a*
0 40,58 a 1069,89 a 1023,31 a 50,51 ac
10 40,90 a 1035,82 a 994,92 a 49,84ab
20 40,83 a 1075,70 a 1034,87 a 53,27 a
30 40,88 a 1002,78 ab 961,90 ab 47,11ab
40 40,97a 939,59 b 898,62 b 46,05bc
50 40,95 a 921,17 b 880,22 b 43,89 b

Sumber : Udayana (2005)

* Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata


(P<0,05)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 25


Pada tingkat penggantian 40 % dan 50 %, pencapaian
berat badan akhir nyata lebih rendah, masing-masing sebesar
12,18 % dan 13,10 %, jika dibandingkan dengan itik yang
mengkonsumsi ransum tanpa lemak sapi. Demikian juga halnya
pada pertambahan berat badan; itik yang mengkonsumsi ransum
dengan penggunaan lemak sapi sebagai pengganti 40 % dan 50
% energi jagung mempunyai pertambahan berat badan masing-
masing 12,36 % dan 14,15 % lebih rendah jika dibandingkan
dengan itik yang mengkonsumsi ransum tanpa lemak sapi.
Umumnya ternak yang diberi ransum berkadar lemak tidak
jenuh yang tinggi lemak tubuhnya akan lunak. Jadi, semakin
tinggi derajat ketidakjenuhan dari lemak, maka semakin tinggi
pula bilangan iodiumnya dan semakin lunak pula lemaknya.
Pengukuran derajat ketidakjenuhan dari lemak dapat dilihat pada
nilai bilangan iodiumnya. Semakin tinggi nilai bilangan iodiumnya,
semakin tinggi pula kandungan lemak tidak jenuhnya.
Pada Tabel 3, tersaji nilai bilangan iodium dari beberapa
bahan pakan yang umum digunakan dalam penyusunan ransum
ternak.

Tabel 3. Bilangan iodium dari beberapa bahan pakan untuk


ternak
Bilangan Iodium dari Bilangan Iodium dari
Lemak Bahan Pakan
Lemak Bahan Pakan Lemak Tubuh
Minyak Kacang kedelai 132 123
Minyak jagung 124 114
Minyak biji kapas 108 107
Minyak kacang tanah 102 98
Lemak babi 63 72
Lemak mentega 36 56
Minyak kelapa 8 35

Sumber : Anggorodi (1980)

Penimbunan lemak lunak dalam tubuh dapat diatur


dengan mengubah ransum. Apabila setelah beberapa lama bahan

26 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


makanan yang kaya akan lemak tidak jenuh diberikan, kemudian
diganti dengan ransum yang akan menghasilkan lemak keras,
maka lemak yang ditimbun lama kelamaan akan menjadi keras.

2.4 Pakan Limbah Berserat


Beberapa produk limbah pertanian ataupun agro-industri
pertanian mengandung serat kasar yang tinggi. Serat kasar
merupakan komponen dinding sel tanaman yang sulit dicerna
oleh ternak nonruminansia dan tidak mengandung nilai nutrisi.
Serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna
secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh unggas) sehingga
tidak digolongkan sebagai sumber zat makanan (Linder, 1985).
Menurut Chot dan Annison (1990), serat kasar merupakan bagian
dari karbohidrat setelah dikurangi bahan ekstrak tanpa nitrogen
(BETN). Untuk lebih jelasnya, pembagian karbohidrat dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pembagian Karbohidrat menurut Chot dan Annison


(1990).

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 27


Dalam ilmu pangan, serat sering dibedakan berdasarkan
kelarutannya dalam air, sehingga dikenal serat yang tidak larut
dan yang larut dalam air. Serat yang tidak larut dalam air adalah
komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah
komponen nonstruktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak
terdapat pada kulit gandum, sayur-mayur, kacang-kacangan, dan
biji-bijian (Harianto, 1996).
Penggunaan serat terlarut dalam ransum, seperti agar dan
keragenan yang banyak terdapat pada rumput laut ternyata dapat
berfungsi sebagai :
1. penyerap air dan membentuk massa atau gumpalan yang
merangsang gerakan usus;
2. mempercepat laju aliran ransum dan memperkecil timbulnya
pertumbuhan sel ganas kanker;
3. menurunkan kadar kolesterol darah; dan
4. mengontrol berat badan (Abu Bakar, 2001) dan menjaga
keseimbangan mikroflora saluran pencernaan, seperti
Lactobacilli dan Bifidobacteria (Bao-Ming Shi et al., 2001).

Selain serat kasar adanya polisakarida bukan pati


menyebabkan ketersediaan pati rendah. Salah satu dari
polisakarida bukan pati yang dapat mengganggu kecernaan
lemak, protein, dan bahan kering adalah arabinoxylan (Ward dan
Marquardt, 1987) sehingga arabinoxylan sering disebut antinutrisi,
karena kerekatan susunan dengan yang lain dalam polisakarida
(Chot dan Annison, 1990; Chot, 2001).
Kelompok pakan yang tinggi fraksi seratnya memerlukan
pengolahan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak
untuk meningkatkan fermentabilitasnya. Hal ini dimaksudkan
untuk memutuskan ikatan lignoselulosa yang sulit dicerna
oleh mikroba atau enzim pencernaan. Penambahan enzim
arabinoxylanase dalam ransum dapat mendepolimerisasi
polisakarida bukan pati yang larut ataupun tak larut ke dalam
bentuk polimer yang lebih kecil (Pack dan Bedford, 1997), dan

28 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


mampu meningkatkan ketersediaan energi (Chot, 2001).
Basyir (l999) melaporkan bahwa arti penting serat kasar
bagi ternak unggas antara lain sebagai pemelihara struktur dan
fungsi normal dari saluran pencernaan. Pengaruh positif serat
kasar pada ternak monogastrik dapat dibedakan menjadi tiga.
1. Serat kasar dapat mengurangi populasi sel goblet pada epitel
usus. Berkurangnya sel goblet ini menyebabkan jumlah
lendir yang dihasilkannyapun berkurang. Akibatnya, proses
penyerapan zat makanan oleh usus meningkat karena lendir
dari sel goblet tersebut dalam saluran pencernaan akan
menghambat bagi proses absorpsi nutrisi, serta saluran
pencernaan menjadi lebih panjang.
2. Serat kasar dalam jangka lama dengan jumlah yang moderat
berpengaruh positif terhadap penyerapan mineral makanan.
Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang menggunakan
kulit gandum sebagai sumber serat dalam waktu yang lama
ternyata dapat meningkatkan retensi mineral sodium dan
potasium. Demikian juga halnya, penggunaan kulit kacang
kedelai dalam ransum ternyata dapat meningkatkan retensi
mineral copper (Co) dan besi (Fe).
3. Serat kasar yang tinggi dalam ransum dan diberikan dalam
waktu yang lama dapat mencegah kanibalisme pada ayam.

2.5 Pakan Limbah Sumber Mineral
Pakan limbah sumber mineral yang paling banyak
digunakan dalam penyusunan ransum ternak, khususnya untuk
ternak yang sedang menyusui, bertelur, dan sedang tumbuh
adalah sebagai berikut ini.
• Tepung tulang. Bahan ini mengandung mineral kalsium (Ca)
24 % dan fosfor (P) 12 %. Penggunaan tepung tulang mulai
jarang ditemukan semenjak sudah banyak ditemukannya
sumber mineral sintetis yang diproduksi oleh pabarik pakan
maupun farmasi.
• Tepung Kulit Kerang. Bahan ini merupakan sumber mineral

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 29


Ca yang sangat baik, dan kandungan kalsiumnya 38 %,
sering digunakan sebagai grit untuk membantu pencernaan
di bagian gizzard.
• Kapur. Yang sering digunakan adalah kalsium karbonat,
sering juga dikenal dengan nama heavy. Kandungan kalsium
(Ca) pada kapur hampir sama dengan kulit kerang, yaitu 38
%.
• Garam dapur. Garam yang paling umum digunakan dalam
penyusunan ransum unggas adalah garam dapur, yang
mengandung Iodium 30 – 100 ppm. Garam dapur (NaCl)
merupakan sumber mineral Na dan Cl. Penggunaannya
dibatasi sampai 0,25 %. Bila berlebihan, sering terjadi
pengeluaran kotoran yang basah dan dalam jumlah banyak,
sehingga litter menjadi basah. Hal ini akan dapat mengganggu
kenyamanan ayam.
• Zeolit. Zeolit merupakan batuan vulkanik yang sebagian
besar merupakan mineral aluminosilikat terhidrat dengan
struktur tiga dimensi dan mempunyai kemampuan sebagai
penukar kation, serta struktur kristal yang membangun
mineral tersebut mempunyai banyak rongga kecil yang dapat
menyimpan air dan kation (Mumpton dan Fishman, 1977).
Sifat zeolit tersebut diduga dapat berfungsi sebagai “carrier”
zat makanan atau dapat menahan laju aliran ransum dalam
saluran pencernaan ternak nonruminansia sehingga peluang
untuk penyerapan zat makanan dapat lebih banyak (Soejono
dan Santoso, 1990).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan


zeolit dalam ransum ternyata dapat meningkatkan penggunaan
bahan organik, kalsium, dan nitrogen ransum (Evans, 1989), serta
dapat meningkatkan pertambahan berat dan efisiensi penggunaan
ransum (Nakaue et al. , l98l). Adanya kemampuan zeolit dalam
meningkatkan nilai cerna ransum telah dibuktikan oleh Bidura
(l997) yang mendapatkan bahwa penggunaan 2 – 6 % zeolit dalam

30 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


ransum secara nyata dapat meningkatkan koefisien cerna bahan
kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) pada broiler umur
0 – 6 minggu. Untuk lebih jelasnya, hasil penelitian tersebut
tersaji pada Tabel 4. Di samping itu, penggunaan zeolit dalam
ransom ternyata dapat menghambat laju aliran digesta dalam
saluran pencernaan ayam sehingga peluang untuk penyerapan
zat makanan menjadi lebih lama.

Tabel 4. Pengaruh penggunaan zeolit dalam ransum terhadap


nilai cerna dan laju aliran ransum pada ayam broiler

Tingkat Zeolit dalam Ransum


Variabel
0% 2% 4% 6%
Koefisien cerna bahan kering (%) 68,64 71,64 72,43 68,77
Koefisiencernabahanorganik (%) 74,77 75,39 77,51 75,01
Rate of Passage (menit) 168,4 169,80 172,80 170,80

Sumber : Bidura (l997)

Hasil penelitian yang dilakukan Harmiati (2004) melaporkan


bahwa penggunaan 2 % zeolit dalam ransum nyata meningkatkan
berat telur, tebal kulit telur, berat jenis telur, dan nilai warna
kuning telur ayam petelur Lohmann Brown.

2.6 Pakan Limbah Sumber Vitamin


Hampir semua vitamin terdapat dalam bahan pakan
dari sumber nabati maupun hewani. Umumnya pakan limbah
berlemak banyak mengandung vitamin A, D, E, dan K, sedangkan
pakan limbah yang bersumber dari biji-bijian dan hijauan banyak
mengandung vitamin yang larut dalam air.
Vitamin digolongkan menjadi dua, yaitu (1) vitamin yang
larut dalam lemak dan (2) vitamin yang larut dalam air. Yang
pertama dapat diekstrak dari bahan pakan dengan larutan lemak
dan yang kedua dengan air. Vitamin yang larut dalam lemak
termasuk vitamin A, D, E, dan K serta mengandung karbon,
hidrogen, dan oksigen. Vitamin yang larut dalam air terdiri atas

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 31


: asam askorbat (vitamin C) dan B-kompleks (tiamin, riboflavin,
asam nikotin, asam folik, biotin, asam pantotenat, piridoxin,
dan vitamin B12). Zat tersebut mengandung karbon, hidrogen,
dan oksigen dan dapat pula mengandung nitrogen, sulfur, atau
kobalt.
Kekurangan vitamin menyebabkan gangguan
pertumbuhan, menurunnya reproduksi dan produksi. Tidak
jarang kekurangan vitamin menyebabkan kematian pada ternak
dewasa dan menurunnya mortalitas. Gejala defisiensi yang sering
dijumpai pada ternak, khususnya ternak unggas yang menderita
kekurangan vitamin, adalah sebagai berikut ini.
1. Anorexia, yaitu hilangnya nafsu makan ayam yang diakibatkan
oleh kekurangan vitamin A. Apabila gejala ini berlanjut,
dapat terjadi kematian.
2. Ataxia, yaitu hilangnya keseimbangan ayam. Juga sering
dijumpai hilangnya warna kuning pada sisik kaki dan paruh.
Berjalan beberapa langkah, terus duduk memakai lutut (hock).
Gejala ini timbul akibat kekurangan vitamin A dan D.
3. Xeroptalmia, yaitu terjadinya pelepuhan di bagian atas saluran
pencernaan (glandula mukosa). Ditemukan adanya pustula
putih kecil pada saluran pernafasan, mulut, esofagus, faring,
dan tembolok. Apabila butir-butir tersebut pecah, dapat
terjadi infeksi bakteri pada ayam. Gejala ini timbul karena
kekurangan vitamin A.
4. Enchephalomalacia adalah suatu keadaan di mana ayam
mengalami ataxia yang disebabkan karena terjadinya
pendarahan dan oedema dalam molekul dan lapisan granular
dari otak, sebagai akibat ayam mengalami kekurangan
vitamin E.
5. Exudative diathesis, yaitu sejenis oedema yang disebabkan
karena sangat meningkatnya permeabilitas kapiler. Gejala
ini timbul akibat defisiensi vitamin E dan berhubungan erat
dengan mineral selenium (Se).

32 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


2.7 Pakan Limbah Sumber Enzim
2.7.1. Produksi Enzim Hewani
Enzim komersial dari produk hewan biasanya diperoleh
dalam bentuk ekstrak kasar. Cara produksinya tergantung
kepada jenis sumber. Berbagai enzim disintesis dalam bentuk
proenzim, sehingga harus diubah menjadi bentuk aktifnya dengan
menambahkan tripsin atau cairan duodenum (yang mengandung
tripsin). Cairan enzim yang diperoleh dipekatkan. Apabila
terdapat banyak pekatan lendir, cairan tersebut selanjutnya
dapat diekstrak dengan metode ekstraksi protein biasa melalui
pengendapan protein oleh aseton atau ammonium sulfat yang
selanjutnya diikuti dengan pengeringan.
Berbagai pakan limbah lainnya seperti limbah pengolahan
ikan dan putih telur banyak dimanfaatkan sebagai sumber enzim
protease dan lisozim. Katalase yang berguna untuk menguraikan
hydrogen peroksida (H2O2) dalam susu banyak diperoleh dari hati
ayam. Beberapa jenis enzim yang dapat diekstrak dari hewan dan
tanaman tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Enzim yang terdapat dan dapat diekstrak dari hewan
dan tanaman

Sumber
Enzim
Hewan Tanaman
Alfa-Amilase,Tripsin,dan Kelenjar Pankreas Kecambah Barley
Khimotripsin
Beta-Amilase - Barley, ubi jalar, kac.
kedelai, gandum
R – Enzim Lipoksigenase - Kacang-kacangan,
kentang
Endo Beta-glukonase - Kecambah barley
Papain - Pepaya
Bromelin - Nenas
Pepsin Lambung
Renin Abomasum anak sapi

Esterase Kelenjar pankreas


Glukosa oksidase dan Hati
katalase

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 33


Protease pankreas umumnya digunakan sebagai campuran
preparat komersial pengempuk daging. Komponen protease
yang bekerja secara nyata adalah tripsin, khimotripsin, kolagenase,
elastase, dan pepsin. Tripsin memotong sisi karboksil lisin dan
arginin, sedangkan khimotripsin bekerja pada sisi karboksil
triptofan, fenilalanin, leusin, dan metionin. Elastase bekerja pada
sisi karboksilalanin, dan kolagenase bekerja pada sisi amino glisin.
Substrat kolagen sendiri kaya akan glisin dan prolin.

2.7.2. Produksi Enzim Tanaman

Berbeda dengan enzim dari hewan yang umumnya


diperoleh sebagai produk samping, tanaman tertentu secara
khusus dipelihara untuk menghasilkan enzim. Contoh yang
paling nyata adalah pohon pepaya untuk memproduksi papain.
Papain dari pepaya dan enzim amilolitik dari kecambah barley
merupakan contoh enzim asal tanaman yang dimanfaatkan dalam
skala besar, khususnya dalam industri roti.
Enzim amilolitik dari malt atau kecambah barley bekerja
dalam bentuk sel asli (bentuk kecambah) dan tidak diekstrak
seperti halnya dengan papain. Papain terdapat dalam getah pohon,
terutama getah buah papaya muda. Getah ini biasanya dipanen
dari pohon yang masih muda pada musim panas di pagi hari,
sebab waktu panen sangat mempengaruhi jumlah getah yang
dihasilkan.
Papain dalam getah sangat sensitif terhadap adanya logam
Oleh karena itu, sebaiknya digunakan batang kayu atau kaca
untuk menoreh buah dan bukan pisau logam. Getah tersebut
dikumpulkan dalam wadah non logam seperti mangkok plastik
atau dapat diambil langsung apabila getah dalam buah tidak
menetes dan sudah berkoagulasi di permukaan buah.
Pemanenan dapat dilakukan berulang-ulang pada buah
papaya yang masih muda. Mula-mula getah papaya yang baru
diambil akan berbentuk cair, selanjutnya mengental, dan terakhir

34 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


menggumpal. Secara sederhana, papain dapat dijual sebagai getah
(lateks) yang sudah dikeringkan. Dari 1 kg getah papaya segar,
akan diperoleh 200 g lateks (papain) kering. Pengeringan dapat
dilakukan di bawah sinar matahari atau oven bersuhu rendah.
Senyawa bisulfit dapat ditambahkan untuk mempertahankan
stabilitas enzim selama pengeringan dan penyimpanan.
Pengeringan secara vakum lebih populer karena enzim yang
dihasilkan lebih awet.
Papain merupakan enzim proteolitik, yaitu enzim yang
mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat protein. Hasil
hidrolisis enzimatik protein adalah suatu hidrolisat yang
mengandung peptida dengan berat molekul rendah dan asam
amino bebas. Produk hidroklisat umumnya mempunyai kelarutan
yang tinggi dalam air, kapasitas emulsinya baik, kemampuan
mengembangnya besar, serta mudah diserap oleh tubuh. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa suplementasi enzim papain pada
ransum ayam petelur dapat meningkatkan konsumsi pakan
(Sasongko, 1993).
Dalam produksi papain (crude papain) secara tradisional,
getah hasil penyadapan buah dikeringkan dengan bantuan sinar
matahari. Papain yang diperoleh dengan cara ini mempunyai
aktivitas proteolitik yang lebih rendah daripada papain yang
dikeringkan dengan pengering semprot (spray drier) (Muhidin,
2003). Daun pepaya yang layu sampai kering masih mengandung
enzim, walaupun aktivitas proteolitiknya rendah.

2.7.3. Produksi Enzim Mikroba

Produksi enzim dari mikroba menunjukkan keuntungan


yang lebih besar jika dibandingkan dengan produksi enzim
dari sumber nonmikroba. Produksi enzim mikroba dapat
ditingkatkan pada skala besar dalam ruang yang relatif terbatas.
Teknik budidaya mikroba jauh lebih canggih bila dibandingkan
dengan produksi enzim dari hewan atau tanaman. Selain itu,

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 35


pengembangbiakannya memerlukan waktu yang relatif singkat,
yaitu sekitar 2 – 10 hari dalam “batch”
Spesies Aspergillus menunjukkan peranan yang sejajar
dengan Bacillus dalam memproduksi enzim. Golongan ini tersebar
luas dan sangat beragam, serta hanya beberapa spesies yang
bersifat patogenik seperti Aspergillus plavus, A. fumigatus, dan A.
parasiticus. Golongan A. flavus membahayakan karena organisme
ini menghasilkan zat racun aflatoksin yang sangat toksik. Di antara
golongan Aspergillus, maka Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae
yang paling banyak digunakan dalam meningkatkan nilai nutrisi
pakan (Maggy, 1989). Kapang Aspergillus oryzae dan A. niger
merupakan kapang penghasil amylase, glukoamilase, protease, dan
pektinase.
Di antara sekian banyak mikroba penghasil enzim, kapang
dari jenis Aspergillus niger, A. oryzae, Saccharomyces, dan bakteri
Bacillus subtillis termasuk ke dalam golongan yang dipandang
aman bagi kesehatan manusia maupun ternak. Beberapa jenis
mikroba penghasil enzim tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6. Beberapa jenis mikroba yang menghasilkan enzim yang


diproduksi untuk tujuan komersial

Mikroba Golongan Enzim Komersial


Mucor miehei, Mucor pusillus Bakteri Renet
Endothia parasitica Bakteri Renet
TrichodermaviridedanT.reesei Kapang Selulase
Micrococcus lysodeikticus Bakteri Katalase
Bacillus licheniformis Bakteri Amilase, Protease
Amilase, Glukoamilase,
Rhizopus sp. Kapang Pektinase, Lipase, dan
Protease
Streptomyces sp. Bakteri Glukosa isomerase
Streptococcus sp. Bakteri Streptokinase
Clostridium histoliticum Bakteri Kolagenase

Sumber : Maggy (1989)

36 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Species Bacillus sangat cocok untuk produksi enzim.
Mikroba jenis Bacillus merupakan golongan saprofit yang tidak
menghasilkan toksin. Golongan ini mudah ditumbuhkan dan
tidak memerlukan substrat mahal. Beberapa Bacillus mampu
menghasilkan antibiotika polipeptida, misalnya B. licheniformis yang
memproduksi Bacitracin.
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya
substrat, suhu, keasaman, kofaktor, dan inhibitor. Tiap enzim
memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang
berbeda-beda karena enzim adalah protein yang dapat mengalami
perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu
atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal
atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan
menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja
enzim juga dipengaruhi oleh kofaktor dan inhibitor. Dewasa ini,
enzim adalah senyawa umum yang digunakan dalam proses
produksi. Enzim yang digunakan pada umumnya berasal dari
enzim yang diisolasi dari bakteri. Penggunaan enzim dalam
proses produksi dapat meningkatkan efisiensi yang kemudian
akan meningkatkan jumlah produksi.

2.7.4. Isolasi Enzim


Enzim sebenarnya dengan mudah dapat diisolasi dari
sumbernya. Contohnya enzim papain yang dapat diisolasi dari
tanaman papaya. Metode sederhana untuk mendapatkan enzim
papain dari tanaman papaya, dapat diuraikan sebagai berikut ini
(Tarwiyah, 2001).
1. Penyadapan: (i) Penyadapan dilakukan terhadap buah muda
dengan diameter 6 – 7 cm. Kulit buah ditoreh sedalam
0,5cm dari atas ke bawah. Torehan tersebut dibuat sebanyak
4 buah untuk setiap buah papaya; (ii) Dari torehan, akan
menetes getah buah. Tetesan getah ditampung dengan
mangkok. Mangkok tersebut diletakkan pada penyangga
dan penyangga tersebut diikatkan 10 cm di bawah getah

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 37


terendah; (iii) Bagian dalam mangkok dapat dilapisi dengan
kain blacu yang terbuat dari katun. Pelapisan ini berguna
untuk mencegah terperciknya getah keluar mangkok dan
memudahkan pada waktu melepaskan getah dari mangkok.
Getah dapat dilepaskan dengan menarik kain blacu; (iv)
Penorehan dapat dilakukan setiap 2 atau 3 hari. Paling sedikit
penorehan dilakukan sekali seminggu. Perlu diusahakan agar
penorehan baru berjarak 2 cm dari penorehan sebelumnya (v)
Biasanya tetesan getah akan terhenti setelah 1 jam penorehan.
Setelah tidak ada getah yang menetes, getah dikeluarkan
dari mangkok. Getah menempel kuat pada mangkok. Oleh
karena itu, perlu dikerok-kerok untuk melepaskannya dari
mangkok. Apabila mangkok dilapisi kain blacu, getah lebih
mudah dilepaskan dari mangkok, yaitu dengan menarik kain
pelapis mangkok.
2. Reduksi molekul Pro-papain menjadi Papain : Molekul
papain pada getah papain merupakan pro-papain yang
mempunyai ikatan disulfida. Bila ikatan disulfida ini
direduksi (diputus), maka dihasilkan molekul papain yang
aktif (dapat mengkatalisis pemutusan ikatan peptida).
Senyawa pereduksi yang digunakan adalah senyawa sulfit
dalam bentuk Natrium bisulfit. Caranya secara berturutan
adalah sebagai berikut ini. (1) Natrium bisulfit dan NaCl
dilarutkan di dalam air. Setiap 1 liter air memerlukan 14
gram Natrium Bisulfit dan 3 gram NaCl. Campuran ini
diaduk sehingga diperoleh larutan yang homogen. Larutan
ini disebut larutan pengaktif; (2) Larutan pengaktif dicampur
dengan getah papaya. Tiap 1 kg getah papaya dicampur
dengan 1 liter larutan pengaktif. Campuran diaduk sampai
rata sehingga berupa bubur; (3) Bubur tersebut disaring
dengan kain saring untuk membuang kotoran yang mungkin
ada.
3. Pengeringan getah: Getah papaya perlu dikeringkan
sesegera mungkin. Apabila langit berawan, sebaikya getah

38 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


dikeringkan dengan alat pengering pada suhu 55 – 60 0C.
Getah yang tidak segera dikeringkan atau tidak tersedia panas
yang mencukupi selama pengeringan akan berwarna sawo
matang dan berbau busuk. Getah yang sudah mongering
disebut dengan konsentrat papain. Kadar air konsentrat ini
sebaiknya maksimum 9 %.
4. Hasil: Rata-rata setiap pohon dapat menghasilkan 0,25 – 0,35
kg getah kering per tahun. Pohon sehat dapat disadap selama
3 tahun, mulai umur 1 – 3 tahun. Semakin tua tanaman,
semakin turun produksi getahnya. Dalam setiap hektar
kebun papaya, dapat dihasilkan getah kering sebesar 67 – 135
kg per tahun.
5. Penggilingan: Konsentrat papain yang telah cukup kering
kemudian digiling sampai halus. Jika jumlahnya tidak
banyak, penggilingan dapat dilakukan dengan menggunakan
blender.
6. Pengemasan: tepung konsentrat papain harus disimpan pada
wadah tertutup, dan wadah yang dapat digunakan adalah
botol kaca berwarna gelap, botol plastik yang tidak bening,
kantung plastik berlapis aluminium, dan kantung kertas
yang dimasukkan ke dalam plastik polietilin.

Enzim lainnya adalah Bromelin biasanya diperoleh dari


limbah kulit, batang, daun, atau bagian lain yang merupakan
buangan tanaman nenas. Tanaman Ficus carica menghasilkan fisin
yang terdapat pada bagian getahnya (lateksnya). Tanaman kacang
tanah (Arachis hipogea) juga memproduksi protease arachin pada
bijinya. Waluh atau labu (Cucurbita pepo) memproduksi protease
pada bagian bunganya, dan buah semangka (Curcumis melon)
dilaporkan juga mengandung protease.

2.8 Pakan Limbah Sumber Hormon


Pakan limbah sumber hormon yang paling mudah didapat
adalah melalui pengambilan kelenjar hipofisa ternak (sapi,

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 39


kerbau, kambing, dan domba) dari kepala ternak tersebut.
Ketersediaan kelenjar hipofisa sapi cukup banyak, khususnya di
daerah perkotaan. Kelenjar hipofisa merupakan kelenjar sistem
endokrin yang terletak di bawah dasar otak dan terlindung dalam
sebuah bentukan dari tulang di bawah hipotalamus yang disebut
dengan sella turcica (Djojosoebagio, 1990). Kelenjar hipofisa ini
merupakan organ yang relatif kecil ukurannya jika dibandingkan
dengan ukuran tubuh; misalnya pada sapi ukuran 1.988 + 0,49
mg (Oka, 1992). Hormon yang dihasilkan mempunyai pengaruh
pada sejumlah proses vital dalam tubuh manusia maupun
hewan. Pengaruh yang luas dari kelenjar hipofisa di dalam tubuh
disebabkan oleh kerja hormon yang dihasilkan oleh kelenjar
hipofisa tersebut.
Umumnya, kepala ternak besar (sapi, kerbau, kambing, dan
domba) setelah diambil bagian otak, kulit, lidah, dan kuping, maka
yang tertinggal adalah bagian tulang. Kelenjar hopofisa yang
tersembunyi di bagian dasar otak, biasanya tidak ikut terambil.
Oleh karena itu, akan sangat ekonomis sekali bila diambil untuk
diekstrak atau diambil hormonnya. Hormon yang terkandung
di dalamnya dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan dan
menurunkan akumulasi lemak dalam tubuh ternak.
Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa sudah
banyak diketahui sebagai salah satu hormon yang berperan
dalam metabolisme zat makanan seperti karbohidrat, lemak,
dan protein. Menurut Partodihardjo (1987), hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofisa ada sembilan macam, yaitu:
ACTH (Adrenocorticotrope hormone), TSH (Thyroid stimulating
hormone), FSH (Follicle stimulating hormone), LH (Luteinizing
hormone), STH (Somatrotropin hormone), MSH, Prolaktin, Vasopresin,
dan Oksitosin.
Hormon merupakan substansi organik yang disekresikan
oleh kelenjar endokrin langsung ke dalam sirkulasi darah, yang
kemudian diteruskan ke organ sasarannya. Dalam jumlah yang
relatif sangat sedikit, hormon tersebut sudah mampu memberikan

40 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


perubahan fisiologis yang cukup besar pada organ sasarannya.
Hormon sangat berperan dalam mengatur fungsi fisiologis
organ tubuh sehingga sering dicobakan sebagai zat perangsang
pertumbuhan pada ternak seperti hormon testosteron, tiroksin,
dan kortison (Wirtha, 2002).

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 41


42 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
III. LIMBAH INDUSTRI PERTANIAN

3.1 Potensi Limbah Kulit Biji

K ulit dari beberapa jenis biji-bijian ataupun leguminosa


merupakan limbah pertanian yang mempunyai potensi
cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi pakan
ternak. Selain potensinya sebagai sumber energi, kulit biji-bijian
juga mempunyai keunggulan dalam menurunkan kadar kolesterol
dan komponen lemak tubuh pada ternak (Piliang, 1997).
Lundin et al. (l993) melaporkan bahwa marmot yang
diberi ransum dengan kandungan serat kasar tinggi (12 %) yang
bersumber dari kulit kacang kedelai dan dedak gandum ternyata
meningkatkan densitas volume epitel dan vilus di daerah jejunum,
ileum serta di bagian proksimal dan distal usus halusnya.
Dilaporkan juga oleh Rhein et al. (l992) bahwa pemberian 8
% kulit kacang kedelai atau kulit kacang tanah yang diberi
tambahan ragi tape sebanyak 0,75 % ternyata dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum dan tidak berpengaruh terhadap
pertambahan berat badan babi lepas sapih.
Piliang et al. (l996) menyatakan bahwa suplementasi kulit

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 43


kacang kedelai ke dalam ransum primata (Macaca fascicularis) dapat
menurunkan kadar kolesterol, kadar trigliserida, dan kadar LDL
darah. Dilaporkan juga oleh Bakhit et al. (l994) bahwa konsumsi
kulit kacang kedelai mampu menurunkan kadar lemak darah.
Yalcin et al. (l990) melaporkan bahwa penggunaan kulit kacang
hazel dengan kisaran 2 - 6 % tidak berpengaruh pada produksi
telur dan FCR, tetapi meningkatkan warna kuning telur.

3.1.1. Kulit Biji Kacang Kedelai


Lebih dari 90 % tempe diproduksi oleh perusahaan rumah
tangga yang jumlahnya di Indonesia mencapai sekitar 10 ribu buah
dan jumlah kacang kedelai yang dibutuhkan oleh perusahaan
tersebut adalah sekitar 5000 ton/hari (Subekti, 1982). Kulit biji/ari
yang dihasilkan adalah 15 – 20 % dari biji kacang kedelai.
Rata-rata konsumsi tempe per orang per hari di pulau Jawa
berkisar antara 30–120 gram per hari. Hal tersebut disebabkan
karena tempe berfungsi sebagai sumber protein pengganti daging
dengan harga relatif murah (Winarno, 1979). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ternyata kandungan nutrisi dari kulit ari
kacang kedelai yang diperoleh lewat perebusan dan perebusan
menunjukkan adanya perbedaan. Uraian lebih rinci tersaji pada
Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi kimia kacang kedelai dan kulit ari kacang


kedelai, yang dipeoleh lewat perebusan (cara A) dan
perebusan-perendaman (cara B)

Kulit Biji Kacang Kedelai/


Zat Makanan Kacang Kedelai
Ampas Tempe
Cara A Cara B Cara A Cara B
Bahan Kering (%) 90.0 91,20 19,50 20,50
Protein kasar (%) 38,60 35,70 17,20 13,00
Energi (MJ/kg) 23,50 23,70 18.00 18,20
Serat Kasar (%) 14,80 15,10 64,00 70,20
Ca (%) 0,30 0,30 0,40 0,40
Fosfor (%) 0,60 0,60 0,20 0,20
Abu (%) 5,30 5,30 2,90 2,30
Sumber : Bakrie et al. (1990)

44 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Ampas tempe atau kulit ari kacang kedelai yang dihasilkan
terdiri atas “tista” atau kulit ari (87,70 – 92,90 %), pecahan cutiledon
(6,1 – 10,50 %) dan tunas atau hipokotil (1,0 – 1,80 %). Koefisien
cerna bahan keringnya secara in vitro tinggi, yaitu berkisar antara
73,20 – 81,60 % (Bakrie et al., 1990).
Pada Gambar 2, tersaji proses pembuatan tepung kulit
ari kacang kedelai. Pojok kiri atas, menunjukkan biji kacang
kedelai yang telah mengalami perendaman selama 12 jam pada
proses pembuatan tempe. Selanjutnya, kulit ari kacang kedelai
akan terpisah dengan bijinya setelah melalui proses pengadukan
(kanan atas), kemudian diletakkan di atas lembaran seng dan
dijemur/dikeringkan dengan bantuan sinar matahari (kiri bawah).
Setelah kering, selanjutnya bahan itu digiling dengan penggiling
tepung dan tepung kulit ari kacang kedelai siap dipakai bahan
pakan unggas sebagai sumber energi (kanan bawah).

Gambar 2. Proses pembuatan tepung kulit ari kacang kedelai


mulai dari perendaman kacang kedelai pada proses
pembuatan tempe sampai menjadi tepung

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 45


3.1.1.1. Fermentasi Kulit Kacang Kedelai
Dalam proses fermentasi kulit ari kacang kedelai, mikroba
akan bekerja sebagai fermenter (peragi) bahan organik. Hasil
peragian bahan organik tersebut adalah berupa pelepasan asam-
asam amino dan sakarida dalam bentuk senyawa organik terlarut
yang mudah diserap (Higa dan Parr, 1994).
Melalui proses peragian mikroorganisme, dapat dihasilkan
asam organik, vitamin, dan antibiotik. Piao et al. (l999) melaporkan
bahwa suplementasi ragi (yeast) dalam ransum ternyata dapat
meningkatkan pertambahan berat badan dan pemanfaatan zat-
zat makanan, serta kecernaan nitrogen dan fosfor.
Proses fermentasi menyebabkan enzim peroksidase
ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroba mampu melunakkan dan
memecah dinding serat serta melepaskan pita serat mikrofibrilnya
(Totter, 1990). Disamping itu, reaksi degradasi lignin oleh kapang
adalah biokatalis ligninase yang mampu mengkatalis oksidasi
cincin aromatik lignin untuk membentuk radikal kation yang
selanjutnya senyawa ini akan melepaskan ikatan inti pada cincin
aromatik, sehingga dapat dimanfaatkan oleh enzim pencernaan
ternak.
Kapang mempunyai kemampuan kuat untuk merombak
lignin secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidase
ekstraseluler berupa lignin peroksidase dan mangan peroksidase
(Vallie et al., 1992). Enzim lignolitik dapat memutuskan ikatan
lignoselulosa. Kapang juga mampu mendegradasi senyawa
organik pencemar lingkungan (Bumpus dan Aust, 1987), sehingga
memberikan harapan untuk digunakan dalam proses delignifikasi
pakan dan proses pengolahan limbah yang mengandung derivat
lignin dan senyawa racun.
Tempe sebagai sumber protein ternyata nilai nutrisinya
lebih baik jika dibandingkan dengan kacang kedelai asalnya.
Nilai nutrisi kacang kedelai yang dibandingkan dengan tempe
tersaji pada Tabel 8.

46 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 8. Kandungan zat makanan kacang kedelai sebelum
diolah dan setelah diolah menjadi tempe (Rhizopus
oligoporus)

Zat Makanan Kacang Kedelai Tempe


Air (%) 2,00 2,00
Protein kasar (%) 47,50 48,75
Lemak kasar (%) 30,60 29,50
Asam lemak bebas (%) 0,50 21,00
Persentaseproteinterlarutdalamair 6,50 39,00
Persentase zat padat terlarut 14,00 34,00
Vitamin B1 (IU) 0,001 0,004
Niasin (%) 0,0009 0,0060
Sumber : Kasmidjo (1990)

Peningkatan nilai nutrisi bungkil kacang kedelai dapat


dilakukan melalui proses fermentasi dengan memanfaatkan jasa
ragi (Rhizopus oligoporus), yang dikenal dengan istilah tempe.
Tempe yang digunakan sebagai pakan ternak adalah tempe yang
kadaluwarsa atau tempe yang bentuknya rusak.

3.1.1.2. Respons Ternak terhadap Pemberian Kulit Kacang
Kedelai
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bidura dan Sudiastra
(2002) pada ayam broiler menunjukkan bahwa penggunaan
15 % kulit kacang kedelai dalam ransum nyata menurunkan
pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum pada
ayam. Namun, yang menarik dari penelitian tersebut adalah
bahwa adanya proses fermentasi pada kulit kacang kedelai
tersebut ternyata secara signifikan dapat meningkatkan nilai guna
dari kulit kacang kedelai tersebut.
Pada Tabel 9, disajikan data tentang penggunaan ragi tape

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 47


dalam ransum yang menggunakan kulit kacang kedelai, yang
ternyata mampu meningkatkan nilai guna dari kulit kacang
kedelai tersebut.

Tabel 9. Pengaruh penggunaan tepung kulit kacang kedelai


terfermentasi dengan ragi tape terhadap penampilan
ayam broiler umur 2 – 7 minggu

Perlakuan
Variabel
A B C
Kons. ransum (g) 3360,2a 3700,8c 3525,8b
Konsumsi Lysin (g) 46,43c 52,18a 50,07b
Berat Badan akhir (g) 1739,6a 1635,8c 1661,8c
PertambahanBeratBadan(g) 1576,8a 1474,1b 1500,0a
Feed Conversion Ratio (FCR) 2,13a 2,51b 2,35c

Sumber : Bidura dan Sudiastra (2002)

Keterangan : Ransum tanpa penggunaan kulit kacang kedelai


sebagai kontrol (A), ransum dengan 15 % kulit kacang kedelai
(B), dan 15 % kulit kac. kedelai terfermentasi dengan 0,20 %
ragi (C).

Adanya proses fermentasi pada kulit ari kacang kedelai


sebelum diberikan menyebabkan terjadinya penurunan pada
konsumsi zat-zat makanan dibandingkan tanpa fermentasi (Tabel
10). Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi menyebabkan
nilai cerna zat makanan khususnya energi meningkat. Peningkatan
energi dan protein termetabolis akibat proses fermentasi
dilaporkan juga oleh Pangestu (l997); kandungan serat kasar dan
karbohidrat dalam bahan pakan terfermentasi menurun secara
nyata, dan sebaliknya kandungan protein dan energi termetabolis
meningkat masing-masing 16,00 % dan 48,40 %.

48 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 10. Respons ayam broiler umur 2 – 6 minggu terhadap
pemberian kulit ari kacang kedelai yang difermentasi
probiotik Starbio

Perlakuan
Variabel
A B C
Konsumsi ransum (g/ekor/4 mg) 2393,00 b
2695,00 a
2469,00b
Berat badan akhir (g/ekor) 1774,43a 1679,14b 1854,08a
Pertamb.beratbadan(g/ekor/4mg) 1276,77 a
1184,14 b
1357,36a
Feed conversion ratio (FCR) 1,87b 2,16a 1,82b
KCBK ( % ) 71,57 a
69,57 b
72,84a
KCBO ( % ) 74,81ab 74,00b 76,33a

Keterangan : Sumber (Purwati, 2005)


A = Ransum tanpa penggunaan kulit ari kacang kedelai sebagai
kontrol.
B = Ransum dengan penggunaan 15% kulit ari kacang kedelai.
C = Ransum dengan 15% kulit ari kacang kedelai yang
difermentasi dengan 0,20 % probiotik
KCBK = Koefisien Cerna Bahan Kering dan KCBO (Koefisien
Cerna Bahan Organik)

Hasil penelitian Purwati (2005) tersebut menunjukkan


bahwa proses fermentasi pada kulit ari kacang kedelai ternyata
dapat meningkatkan nilai guna dari kulit ari kacang kedelai
tersebut. Peningkatan pertambahan berat badan tersebut
disebabkan karena adanya mikroba pencerna serat pada Starbio
yang digunakan sebagai inokulan dalam proses fermentasi
tersebut.
Penggunaan inokulan probiotik dalam proses fermentasi
ternyata dapat meningkatkan sekresi mucin. Mucin merupakan zat
yang sangat penting artinya bagi habitat dan sumber zat makanan
bagi mikrobia yang menguntungkan dalam saluran pencernaan
ayam (Savage, 1991). Dilaporkan juga oleh Madrigal et al. (l993)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 49


bahwa konsumsi ransum menurun dan efisiensi penggunaan
ransum meningkat dengan adanya suplementasi ragi (50, 100,
dan 200 g/ton ransum) pada ayam broiler.
Mengkonsumsi pakan terfermentasi ternyata dapat
menurunkan jumlah lemak dalam tubuh, yang disebabkan karena
dalam proses fermentasi tersebut terjadi penurunan kadar lemak
ransum sebesar 52,3 % (Hamid et al., 1999), sehingga lemak yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh juga menurun. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Purwati (2005) membuktikan bahwa
penggunaan Starbio dalam proses fermentasi kulit kacang kedelai
ternyata mampu menekan akumulasi lemak tubuh broiler. Hasil
senada dilaporkan juga oleh Ketaren et al. (l999), bahwa pemberian
produk fermentasi ternyata dapat menekan perlemakan dalam
tubuh ayam pedaging. Penurunan lemak tersebut juga disebabkan
karena adanya senyawa-senyawa produk fermentasi yang dapat
menghambat sintesis lipida dalam hati.
Pengaruh pemberian kulit ari kacang kedelai dengan dan
tanpa proses fermentasi dalam ransum terhadap distribusi lemak
tubuh broiler umur 6 minggu diperlihatkan pada Gambar 3.

3
Distribusi Lemak Tubuh (%)

2,5

2 Lem ak E m pedal
Lem ak M es enterium
1,5
Lem ak B antalan
1 Lem ak A bdom en

0,5

0
A B C
Perlakuan

Gambar 3. Pengaruh pemberian kulit ari kacang kedelai terhadap


distribusi lemak tubuh broiler umur 6 minggu

50 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


3.1.2. Bungkil Kacang Kedelai
Penggunaan kacang kedelai mentah dalam pembuatan
ransum masih sangat jarang. Hal ini disebabkan karena kacang
kedelai masih digunakan dalam pembuatan tahu dan tempe,
serta masih mengandung zat penghambat pertumbuhan yang
sering dikenal dengan istilah antitripsin. Antitripsin baru dapat
dihilangkan dengan proses pemanasan.
Bungkil kacang kedelai merupakan hasil samping pembuatan
minyak kedelai; merupakan sumber protein dan sering digunakan
dalam penyusunan ransum untuk mendampingi tepung ikan.
Kandungan proteinnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 42 – 50
%, dan energi termetabolisnya berkisar antara 2825 – 2890 kkal/kg.
Faktor pembatas penggunaannya sebagai sumber protein dalam
ransum adalah asam aminonya yang tidak seimbang dan defisien
akan methionin. Namun, itu dapat diatasi, mengingat sudah ada
asam amino sintetis (metionin sintetis). Kandungan seratnya
tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 6 %.
Penggunaan bungkil kacang kedelai dalam ransum unggas
adalah :
• untuk ayam ras petelur dan pedaging : 0- 30 %,
• itik petelur : 0 – 40 %, dan
• entog atau sejenisnya : 0 – 45 %.

Khomsan (1999) menyatakan bahwa dalam kedelai


terkandung zat yang disebut beta-sitosterol yang mempunyai efek
hipokolesterolemik (menurunkan kadar kolesterol). Di samping
itu, penggunaan ragi dalam proses fermentasi kacang kedelai
menjadi tempe juga akan menekan kadar kolesterol. Hal ini
disebabkan karena proses peragian tersebut dapat meningkatkan
niasin dari 9 mg dalam kacang kedelai menjadi 60 mg dalam
tempe per 100 g bahan. Niasin dapat menurunkan kadar kolesterol
total dan kolesterol jahat (LDL) serta menaikkan kadar kolesterol
baik (HDL). Dalam tempe ditemukan juga isoflavon yang
merupakan enzim paling penting dalam tempe. Isoflavon dapat

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 51


membersihkan berbagai radikal (zat beracun) yang berada dalam
darah dan mengikis endapan kolesterol pada dinding pembuluh
darah koroner yang mengalami proses pengapuran.

3.2 Ampas Tahu


Ampas tahu merupakan limbah pembuatan tahu dan masih
mengandung protein dengan asam amino lysin dan metionin
serta kalsium yang cukup tinggi. Akan tetapi, kandungan serat
kasar dan air pada ampas tahu tinggi, sehingga menjadi faktor
pembatas penggunaannya dalam penyusunan ransum. Oleh
karena itu, untuk memberdayagunakan ampas tahu, perlu
diberikan perlakuan dan salah satunya adalah dengan fermentasi
(Mahfudz, 2006).
Mahfudz (2006) melaporkan bahwa ampas tahu, sebelum
dipakai sebagai bahan penyusun ransum, terlebih dahulu
difermentasi dengan ragi yang mengandung kapang Rhyzopus
oligosporus dan R. oryzae. Ada tiga tahap pembuatan ampas tahu
terfermentasi, yaitu (1) persiapan ampas tahu, meliputi pencucian,
pengepresan, dan pengukusan; (2) inokulasi dengan kapang,
pencetakan, dan inkubasi selama 40 jam, dan (3) pembuatan
tepung yang dimulai dengan mengiris tipis ampas tahu tersebut
(“germbus”), menjemur, dan menggiling. Uraiannya secara lebih
rinci tersaji pada Gambar 4 :

Ampas Tahu

Pemeraman selama 24 jam (suhu kamar)

Pencucian dengan air mengalir sampai air jernih

Pengepresan untuk mengurangi kadar air

52 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Pengukusan selama 60 menit

Pendinginan sampai suhu kamar (dengan diangin-anginkan)

Inokulasi dengan 1 % ragi tempe (mengandung kapang R.


oligosporus dan R. oryzae)

Pencetakan

Inkubasi 40 Jam

Tempe ampas tahu dipotong tipis agar mudah kering

Dijemur matahari

Digiling dan diayak

Tepung tempe ampas tahu

Gambar 4. Bagan pembuatan tepung tempe ampas tahu


terfermentasi (Mahfudz 2006)

Mahfudz et al. (l997) menyatakan bahwa tempe ampas tahu


memiliki kandungan protein kasar 21,66 %, Serat kasar 20,26 %,

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 53


Lemak kasar 2,73 %, abu 3,68 %, dan kadar air 11,18 %, Ca 1,09
%; P 0,88% dan energi termatabolisnya 2.830 kkal/kg bahan.
Duldjaman (2005) melaporkan bahwa ampas tahu mengandung
protein kasar 23,62 %, BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen)
41,98 %, serat kasar 22,65 %, dan lemak kasar 7,78 %.
Penggunaan ampas tahu terfermentasi pada level 10 % tidak
berpengaruh nyata terhadap berat karkas dan persentase karkas.
Akan tetapi, pada level 15 % dan 20 % secara nyata meningkat.
Peningkatan pemberian ampas tahu secara nyata meningkatkan
bobot karkas dan luas otot mata rusuk (cm2). Hampir semua
komponen karkas domba (otot, lemak, jaringan ikat, dan tulang)
meningkat dengan semakin meningkatnya pemberian ampas tahu
(100 – 300 g/ekor/hari (Duldjaman, 2005). Penggunaan ampas tahu
terfermentasi dengan ragi oncom pada level 10%, 15%, dan 20 %
dalam ransum ayam pedaging nyata meningkatkan konsumsi
ransum, pertambahan berat badan, dan efisiensi penggunaan
ransum.
Mahfudz et al. (l996) menyatakan bahwa meningkatnya
nafsu makan dengan adanya penggunaan ampas tahu
terfermentasi dalam ransum disebabkan karena proses fermentasi
dapat meningkatkan kandungan asam glutamat yang dapat
meningkatkan nafsu makan ayam. Proses fermentasi akan
memecah protein dan karbohidrat menjadi asam amino, N, dan
karbon terlarut, yang diperlukan untuk sintesis protein (Rahayu
et al., l989). Meningkatnya kecernaan protein juga mempermudah
metabolisme protein, sehingga secara langsung juga meningkatkan
sintesis protein daging (Suparno, 1982)
Proses fermentasi dengan menggunakan ragi yang
mengandung kapang Rhizopus oligosporus dan R. oryzae akan
menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan
meningkatkan nilai gizinya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi
akan mengubah protein menjadi asam amino dan secara tidak
langsung akan menurunkan kadar serat kasarnya.
Proses fermentasi yang tidak sempurna tampaknya

54 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


menyebabkan berkembangnya bakteri lain yang bersifat patogen
yang menimbulkan gangguan kesehatan dan kematian ternak
penelitian.

3.3 Ampas Kecap


Ampas kecap merupakan buangan dari proses pembuatan
kecap. Untuk dapat digunakan sebagai campuran dalam ransum
unggas, terlebih dahulu bahan tersebut harus dikeringkan dan
dijadikan tepung. Kandungan proteinnya cukup tinggi, yaitu
24,90 % dan lemak kasar 24,30 %.
Faktor pembatas penggunaannya adalah bahwa bahan
tersebut sulit didapat dan kalaupun ada dijual dalam keadaan
bundar dan keras sehingga perlu dilakukan pemecahan lagi.
Faktor lain yang menjadi pembatas adalah bahan tersebut
sering ditumbuhi oleh jamur Aspergillus flavus, yaitu jamur yang
menghasilkan racun yang sangat berbahaya bagi ayam. Bila racun
tersebut bekerja, proses pencernaan ayam tidak akan sempurna
lagi dan itu berdampak negatif terhadap daya serap unsur nutrisi
ke dalam tubuh ayam (Rasyaf, 2002)

3.4 Pollard
Gandum (Triticum aestinum) adalah termasuk jenis tanaman
rumput-rumputan (gramineae) yang ditanam untuk produksi
biji. Di negara-negara penghasil gandum (Kanada, USA, Eropa,
dan Australia), biji gandum dimanfaatkan sebagian besar untuk
makanan manusia dan sebagian kecil merupakan sumber energi
untuk pakan ternak.
Menurut Mc.Donald et al. (1978), biji gandum terdiri
atas 85 % endosperma, 13 % dedak dengan kulit biji, serta 2 %
germ (embrio dan lembaga). Banyaknya tepung yang dihasilkan
bervariasi. Sebagai contoh, di Inggris tepung yang dihasilkan ±
72 % dan sisa yang 28 % terdiri atas : wheat germ (embrio) yang
mengandung protein 22 – 32 %, bran (straight run bran) campuran
dedak dengan kandungan serat kasar 8,5 – 12 %, dan protein kasar

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 55


12,5 – 16 %.
Pollard merupakan limbah dari pengolahan gandum.
Kandungan nutrisinya cukup baik, yaitu mengandung energi
termetabolis 1140 kkal/kg, protein 11,80 %, serat kasar 11,20 %,
dan lemak kasar 3,0 % (Wawan, 2003). Menurut Scott et al. (l982),
pollard mengandung energi termetabolis 1300 kkal/kg, protein
kasar 15 %, lemak kasar 4,0 %, dan serat kasar 10 %. Lebih jauh,
NRC (l984) melaporkan bahwa pollard mengandung energi
termetabolis 1300 kkal/kg; protein 15,70 %; lemak kasar 3,0 %;
dan serat kasar 11 %.
Wheat pollard merupakan bahan pakan alternatif sebagai
pengganti jagung. Kelemahan utama wheat pollard sebagai bahan
pakan ternak adalah tingginya kandungan polisakarida non-pati,
yaitu arabinoxilan. Selain itu, penggunaan yang tinggi dalam
ransum ternak monogastrik, khususnya ternak unggas dapat
berperan sebagai antinutrisi, yaitu dapat menghalang-halangi
penyerapan asam amino dan mineral dalam saluran pencernaan
(Vranjes dan Wenk, l995). Selain itu, pemberian wheat pollard yang
tinggi pada unggas akan dapat menekan pertumbuhan. Karena
itu, sampai saat ini pemakaian wheat pollard pada unggas belum
optimal dan penggunaan pada ransum tidak boleh melebihi 15
%.
Tingginya kandungan polisakarida non-pati pada wheat
pollard dapat diatasi dengan menambahkan enzim. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan enzim yang bersumber dari
cairan rumen pada tingkat 620 – 1240 U/kg wheat pollard ternyata
dapat meurunkan kandungan polisakarida dan sebaliknya dapat
meningkatkan oligosakarida serta kandungan energi metabolis
wheat pollard. Uraian lebih jelasnya tersaji pada Tabel 11.

56 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 11. Pengaruh penambahan enzim cairan rumen pada wheat
pollard terhadap persentase polisakarida, oligosakarida,
dan energi termatabolis wheat pollard pada broiler

Polisakarida Oligosakarida EnergiTermetabolis


Perlakuan
(%) (%) (MJ/kg)
Kontrol 26,32 73,68 6,176
620 U/kg Enzim Rumen 22,24 77,76 6,248
1240U/kgEnzimRumen 22,38 77,62 7,548

Bahan sampingan wheat (wheat by products) merupakan


hasil sisa dari produk gandum yang dapat dimanfaatkan untuk
penelitian karena manfaat utama yang berupa tepung gandum
telah diperuntukkan untuk manusia. Bahan sampingan yang
potensial untuk dimanfaatkan baik untuk ternak maupun untuk
manusia adalah dedak gandum. Dedak gandum yang merupakan
13 % bagian biji ini sangat baik untuk sumber protein pada
pakan ternak dan pakan suplemen manusia karena kandungan
serat kasarnya yang cukup tinggi (8,5 – 12 %). Serat kasar, yang
sebagian besar adalah selulosa dan lignin hampir semuanya tidak
tercerna oleh ternak monogastrik termasuk manusia (Ensminger
et al., 1990).
Pollard yang beredar di pasaran umumnya ada dua
macam, yaitu pollard halus dan pollard kasar. Hasil analisis
di laboratorium menunjukkan bahwa kandungan serat kasar
pollard tersebut masing-masing 15,34 % dan 26,42 %. Tingginya
kandungan serat kasar pada pollard menjadi faktor pembatas
penggunaannya dalam ransum. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan pollard di atas 15 % pada ayam menyebabkan
pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum menurun.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 57


Tabel 12. Perubahan kadar gula, polisakarida, oligosakarida, dan
energi termetabolis wheat pollard yang diberi enzim rumen

Gula Total (mg/g) Prosentase (%) Energi


Perlakuan Sebelum Setelah Polisa Oligosa Termetabolis
dialisis dialisis karida karida (MJ/kg)
Tanpa Enzim 175,79 46,28 26,32 73,68 6,176 ± 0,37
Enzim 620 U/kg 186,83 41,55 22,24 77,76 6,248 ± 0,19
Enzim1.240U/kg 154,33 34,55 22,38 77,62 7,548 ± 0,27

Sumbe : Pantaya (2005)

Pada Tabel 12, terlihat prosentase penurunan polisakarida


antara wheat pollard tanpa enzim dan wheat pollard dengan
penambahan enzim 620 dan 1.240 U/kg masing-masing sebesar 4
% dan 3,9 %. Wheat pollard tanpa enzim mengandung polisakarida
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diberi enzim.
Rataan energi termetabolis memperlihatkan bahwa penambahan
enzim akan meningkatkan energi termetabolisme wheat pollard.

3.5 Sorghum (Sorghum bicilor)


Menurut Badan Pusat Statistik Jakarta (l998), sorghum
banyak tumbuh di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa
Tenggara Timur, dan belum banyak dimanfaatkan secara
maksimal. Tanaman sorghum tumbuhnya relatif cepat, tahan
terhadap kekeringan, dan dapat dipanen pada umur 120 hari.
Produksi rata-rata biji sorghum hasil panen di daerah Jawa Tengah
adalah sebanyak 6089 ton dari luas panen seluas 3344 ha/tahun.
Kendala utama sorghum adalah tingginya kandungan
taninnya yang dapat menghambat kerja enzim tripsin, lipase,
amilase, dan protease sehingga berpengaruh terhadap kecernaan
zat pakan. Kadar tannin di atas 0,50 % dalam ransum dapat
menekan daya cerna protein. Kadar tanninnya antara 0,50 – 2,00
% dapat menekan pertumbuhan dan produksi telur, sedangkan

58 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


pada kadar tanin 3 – 4 % dalam ransum dapat mengakibatkan
kematian pada unggas.
Pada Tabel 13 tersaji perubahan nilai nutrisi sorghum
sebagai akibat peningkatan penambahan mineral Ramos dalam
proses fermentasi kapang tersebut. Terjadi penurunan kadar
tannin yang cukup signifikan pada biji sorghum dan peningkatan
kandungan energi termetabolis pada tempe sorghum dengan
semakin meningkatnya penambahan mineral Ramos dalam proses
fermentasi sorghum dengan menggunakan kapang Rhizopus sp.

Tabel 13. Kandungan nutrisi tempe sorghum

BK PK SK EE BETN Tanin ME
Perlakuan
(%) (%) (%) (%) (%) (%) Kal/g
To 92,36 7,99 3,19 3,25 82,91 0,54 3090
T1 89,66 14,22 3,41 4,25 74,32 0,39 3265
T2 90,64 17,52 3,95 4,05 70,64 0,17 3069
T3 89,83 16,51 3,75 3,93 72,00 0,36 3187

Keterangan: Sumber (Utama et al., 2006)

To = Sorghum + kapang Rhizopus sp. 0,40 % BK + 0 % mineral


Ramos, diperam 2 hari.
T1 = Sorghum + kapang Rhizopuz sp. 0,40 % BK + 40 % mineral
Ramos, diperam 2 hari
T2 = Sorghum + kapang Rhizopus sp. 0,40 % BK + 50 % mineral
Ramos, diperam 2 hari
T3 = Sorghum + kapang Rhizopus sp. 0,40 % BK + 60 % mineral
Ramos, diperam 2 hari

Perbedaan kadar protein kasar dalam tempe sorghum


tersebut disebabkan karena proses biokonversi kapang dalam
memanfaatkan mineral Ramos yang ada pada tempe sorghum
sehingga protein dan asam amino dapat meningkat. Sumber NPN
(urea) yang ditambahkan ke dalam media fermentasi akan terurai
oleh enzim urease menjadi ion NH4 dan CO2, selanjutnya NH4
yang terbentuk digunakan oleh kapang untuk proses biokonversi

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 59


menjadi protein kapang. Sintesis protein di dalam sel membentuk
mineral Mg 2+ sebagai ko-faktor dalam proses metabolismenya.
Pengolahan biji sorghum dilakukan dengan fermentasi
menggunakan mikroorganisme berupa kapang Rhizopus sp. yang
ditambahkan mineral dan urea. Mineral dalam proses tersebut
digunakan sebagai sumber nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh
ragi tempe untuk sintesis protein mikroba. Penambahan mineral
Ramos dalam proses fermentasi biji sorghum dapat meningkatkan
koefisien cerna protein kasar biji sorghum (Tabel 14).

Tabel 14. Kecernaan protein kasar, kecernaan lemak kasar, dan


kecernaan serat kasar tempe sorghum pada masing-
masing perlakuan

Penambahan Koefisien Cerna (%)


Mineral
Ramos Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar
0% 80,45 77,40 76,74
40 % 81,71 79,14 73,10
50 % 81,23 85,19 72,57
60 % 83,56 86,07 79,52

Keterangan : Sumber (Utama et al., 2006)


Metode fermentasi biji sorghum dengan suplementasi
mineral Ramos sangat sederhana. Mula-mula biji sorghum
digiling kasar, kemudian dicampur dengan larutan mineral Ramos
(campuran mineral Ramos terdiriatas (NH2)2SO4, Urea, NaH2PO4,
MgSO4 7H2O, KCl, FeSO4, dan CaCl2), selanjutnya dikukus
selama 60 menit. Setelah dikukus, didinginkan di atas plastik dan
diinokulasikan dengan ragi tempe sebanyak 0,40 % bahan kering,
selanjutnya dibungkus dengan plastik yang sebelumnya telah
dilubangi untuk sirkulasi oksigen dan diperam selama 2 hari.
Pada proses fermentasi, sering dijumpai terjadi peningkatan
kandungan serat kasar. Hal ini disebabkan karena adanya miselium
pada tempe (kapang) yang terhitung sebagai serat kasar dalam
analisis, serta sebagai akibat kehilangan sejumlah padatan lainnya

60 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


(Hartanto, 1990). NPN dalam proses fermentasi akan terurai oleh
enzim urease menjadi ion NH4 dan CO2.

3.6 Dedak Padi


Dedak padi merupakan pakan limbah yang paling banyak
digunakan dalam penyusunan ransum. Dedak padi merupakan
limbah dari proses pengolahan gabah dan tidak dikonsumsi oleh
manusia. Kelemahan utama dedak padi adalah kandungan serat
kasarnya yang cukup tinggi, yaitu 13,0 %. Serat kasar yang tinggi
tersebut merupakan faktor pembatas penggunaannya dalam
penyusunan ransum ternak nonruminansia. Namun, kandungan
proteinnya yang berkisar antara 12 – 13,5 % dan energi termetabolis
berkisar antara 1640 – 1890 kkal/kg, menjadikan bahan pakan
ini sangat diperhitungkan dalam penyusunan ransum ternak
nonruminansia.
Kelemahan lain dari dedak padi adalah kandungan asam
aminonya yang rendah, demikian juga halnya dengan vitamin
dan mineral. Pada Tabel 15 tersaji data komposisi kimia dari
dedak padi kasar, dedak halus yang bersumber dari pabrik dan
kampung, serta bekatul yang mempunyai nilai nutrisi yang paling
bagus di antara dedak padi lainnya.
Tabel 15. Komposisi kimia berbagai jenis dedak padi

Komponen(%) Dedak Kasar Dedak Halus Bekatul


Pabrik Kampung
Air 10,50 10,90 11,70 12,55
Protein kasar 6,10 13,60 10,10 10,80
Lemak kasar 2,30 6,20 4,90 2,90
Ether extract 38,80 - - -
Serat kasar 26,80 8,00 15,30 4,90
Nitrogen - 50,80 48,10 61,30
Abu 15,50 8,50 9.90 7,55
Dari Tabel 15 tersebut, ternyata kandungan nutrien
dedak padi yang bersumber dari pabrik masih lebih baik jika
dibandingkan dengan dedak padi kampung. Umumnya, dedak

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 61


padi yang beredar di pasaran hampir semuanya bersumber dari
pabrik. Oleh karena itu, ketelitian dalam pemilihan dedak padi
sangat penting artinya, karena perbedaan kandungan nutrien
cukup signifikan.
Kandungan protein dedak padi umumnya disebut oryzem,
dan protein ini memiliki nilai gizi yang tinggi karena banyak
mengandung asam amino esensial. Dedak padi mengandung
minyak sekitar 10 – 30 %, dan asam lemak tidak jenuh yang cukup
tinggi, yaitu berkisar antara 75 – 80 %. Kandungan karbohidrat
pada dedak padi dapat mencapai 40 – 49 % dan sebagian besar
dalam bentuk pati.
Dedak padi merupakan selaput antara beras dengan sekam
padi dengan berat lebih kurang 8,50 % dari berat padi. Dedak
dihasilkan dari penggilingan padi menjadi beras (Sulistya, 1987).
Dedak dapat dihasilkan dari penyosohan beras pecah kulit menjadi
beras, termasuk di dalamnya lapisan kutikula dan sebagian kecil
lembaga.
Penggunaan dedak padi dalam ransum ada batasnya, yaitu
0 – 15 % untuk ayam petelur fase starter; 0 – 20 % untuk ayam
petelur fase grower; dan 0 – 20 % untuk ayam petelur fase layer.
Untuk ayam broiler, penggunaannya berkisar antara 5 – 20 %, dan
tidak lebih dari 20 % karena akan dapat menurunkan produktivitas
ayam. Pada Tabel 16, tersaji batas penggunaan dedak padi dalam
penyusunan ransum ternak.

Tabel 16. Tingkat penggunaan dedak padi dalam ransum unggas


dan babi

Level Penggunaan
Jenis Hewan
Starter Grower Finiser/Layer
Ayam ras petelur 0 – 15 0 – 20 0 – 20
Broiler 5 – 20 5 – 20 5 – 20
Kalkun 5–8 10 – 20 10 – 25
Itik 5 – 10 5 – 15 5 – 25
Entog 5 – 10 10 – 25 10 – 30
Babi 1 – 20 10 – 30 20 – 40

62 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Hasil penelitian Rianto et al. (2006) menunjukkan bahwa
semakin tinggi pemberian dedak padi dalam ransum berbasis
rumput gajah, semakin meningkat pertambahan berat badan
harian (g/ekor/hari) domba. Selain itu, juga terjadi peningkatan
yang signifikan pada berat daging dan lemak karkas. Lebih rinci
hasil penelitian tersebut tersaji pada Tabel 17.

Tabel 17. Pengaruh tingkat pemberian dedak padi dalam ransum


berbasis rumput gajah terhadap konsumsi ransum,
pertambahan berat badan, dan jumlah daging karkas
domba

LevelPemberianDedakPadi(g/ekor/hari)
Variabel dalam ransum Berbasis Rumput Gajah
0 200 400
Konsumsi ransum (g BK/ekor/hari) 852,43 912,94 967,17
Pertambahanberatbadan(g/ekor/hari) -26,49 27,47 44,46
Berat potong (kg/ekor) 21,20 25,00 25,98
Bobot daging karkas (g/ekor) 4408 6185 6361
Bobot tulang karkas (g/ekor) 1722 1915 1888
Bobot lemak karkas (g/ekor) 475 1063 1303

Keterangan : Sumber (Rianto et al., 2006); BK (bahan kering)

3.7 Bungkil Kelapa


Bungkil kelapa merupakan limbah dari proses pembuatan
minyak kelapa. Kalau proses pembuatan minyak kelapa cukup
baik, maka kandungan lemak bungkil kelapanya akan rendah
(dapat disimpan lama). Namun, bila proses pembuatan minyak
tidak sempurna, bungkil kelapa masih banyak mengandung
lemak. Hal inilah yang menjadi kendala penggunaannya dalam
penyusunan ransum unggas karena bahan tersebut mudah tengik.
Namun, kendala tersebut dapat diatasi dengan penambahan zat
anti jamur dan antioksidan.
Kandungan protein kasarnya cukup tinggi, yaitu berkisar
antara 20 – 26 % tergantung pada proses pembuatannya.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 63


Demikian juga, kandungan energi termetabolisnya rendah 1640
kkal/kg dan tergantung pada proses pembuatannya. Namun,
yang dapat dimanfaatkan oleh ternak unggas khususnya berkisar
antara 53 – 81 %. Akan tetapi, karena proses pembuatan bungkil
kelapa tersebut melalui proses pemanasan, asam amino lysin
mudah rusak, sehingga dapat dikatakan bahwa bungkil kelapa
kandungan asam amino lysinnya masih perlu disuplementasi
dengan asam amino lysin sintetis di samping metionin.
Penggunaan bungkil kelapa dalam penyusunan ransum
unggas adalah :
• untuk ayam ras petelur : 0 – 25 %,
• ayam ras pedaging : 0- 15 %,
• ayam buras : 0 – 35 %,
• itik : 10 -35 %,
• entog/itik manila : 10 – 20 %, dan
• angsa : 10 – 30 %.
Teknologi fermentasi dapat meningkatkan kualitas dari
bahan pakan khususnya yang memiliki serat kasar dan antinutrisi
yang tinggi. Fermentasi dapat meningkatkan kecernaan bahan
pakan melalui penyederhanaan zat yang terkandung dalam bahan
pakan oleh enzim yang diproduksi oleh fermentor (mikroba).

3.8 Limbah Roti


Jumlah pabrik roti yang ada di pulau Bali mencapai 32 buah,
yang sangat berpotensi sebagai penyedia limbah roti (Anon., 1999).
Roti merupakan bahan makanan yang secara umum terbuat dari
tepung terigu, gula, susu, telur, garam, dan air (Samuel, l972).
Limbah roti adalah sisa pembuatan roti serta roti yang sudah
kedaluwarsa yang dikembalikan oleh pedagang ke perusahaan
pembuat roti.
Kandungan nutrisi limbah roti yang ada di Bali sangat
bagus dipakai sebagai sumber energi dalam penyusunan ransum.
Limbah roti mengandung 87,62 % bahan kering, 71,46 % bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN); 10,73 % protein kasar; 0,33 %

64 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


serat kasar; 3,14 % kalsium; 0,05 % fosfor; dan kandungan energi
brutonya sebesar 4154 kkal/kg (Mahayani, 1994). Menurut Scott
et al. (l982), komposisi zat makanan pada roti adalah: 10 % protein
kasar; 10 % lemak kasar; 1,0 % serat kasar; 0,05 % kalsium; 0,15 %
fosfor; dan energi metabolis sebesar 3740 kkal/kg bahan.
Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Sudiastra
dan Suasta (l997) mendapatkan bahwa limbah roti mengandung:
88,81 % bahan kering, 14,35 % protein kasar, 16,12 % lemak kasar,
0,91 % serat kasar, 0,07 % Ca, 0,22 % P, dan energi metabolis
3294,21 kkal/kg. Komposisi asam aminonya adalah sebagai
berikut 0,14 % arginin, 0,05 % alanin, 0,09 % glisin, 0,11 % histidin,
0,13 % isoleusin, 0,12 % leusin, 0,05 % lysin, 0,18 % metionin, 0,14
% fenilalanin, 0,03 % tyrosin, dan 0,05 % valin.
Penggantian penggunaan jagung kuning dalam ransum
basal ayam buras dengan campuran limbah roti dan tepung daun
duckweed (LRDW) pada tingkat 50 – 100 % dapat meningkatkan
berat badan akhir, pertambahan berat badan, dan efisiensi
penggunaan ransum. Hal ini logis karena kandungan protein
dan asam amino essensial pembatas pada LRDW lebih tinggi
daripada jagung kuning. Tingginya kandungan protein dan asam
amino lysin pada LRDW tidak terlepas dari keberadaan duckweed.
Pengaruh penggunaan LRDW sebagai pengganti penggunaan
jagung kuning dalam ransum ayam buras tersaji pada Tabel 18.

Tabel 18. Pengaruh penggantian penggunaan jagung kuning


dalam ransum basal dengan campuran limbah roti dan
tepung daun duckweed (LRDW) terhadap penampilan
ayam buras umur 2 – 8 minggu
Variabel Perlakuan1) SEM
A B C
Berat badan akhir (g) 386,50b2) 539,00a 417,33b 14,699
Pertambahanberatbadan (g) 300,83c 453,17a 331,50b 6,887
Konsumsi ransum (g) 909,0c 1272,83a 1077,0b 31,341
Konsumsi protein (g) 163,62a 238,02b 208,83c 5,871
Konsumsi lysin (g) 9,00b 11,85a 12,92a 0,384
Feed Conversion Ratio (FCR) 3,03b 2,82c 3,26a 0,066
Keterangan : Sumber (Bidura et al., 2002)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 65


• Ransum basal yang menggunakan 50 % jagung kuning
sebagai kontrol (A), penggantian 50 % jagung kuning dalam
ransum basal dengan LRDW (B), penggantian 100 % jagung
kuning dalam ransum basal dengan LRDW (C).
Bahan dasar dalam pembuatan roti adalah tepung terigu,
ragi roti, susu, telur, garam dan gula (Buckle et al., 1987). Menurut
Scott et al. (l982), roti mengandung protein kasar 10 %; lemak 10 %;
serat kasar 1 %; Kalsium 0,05 %; dan Fosfor tersedia 0,15 % dengan
komposisi asam amino arginin 0,52 %; sistin 0,17 %; sistein 0,6 %;
histidin 0,2 %; isoleusin 0,36 %; leusin 0,6 %; lysin 0,30 %; metionin
0,14 %; penilalanin 0,4 %; treonin 0,28 %; triptofan 0,12 %; tirosin
0,30 %; dan valin 0,40 % serta mengandung energi metabolis 3740
kkal/kg.

Tabel 19. Pengaruh Penggantian Jagung Kuning dengan Campuran


Limbah Roti dan Tepung Jerami Bawang Putih terhadap
Produksi Telur Ayam Lohmann Brown Umur 42 – 50
Minggu
Perlakuan
Variabel
A B C D
Konsumsi ransum (g) 8109,17c 8664,67b 8733,33ab 8900,00a
Berat Telur total (g) 2512,77c 2616,28b 2617,64b 2662,81a
Feed Conversion Ratio (FCR) 3,23a 3,31a 3,34a 3,28a
Jumlah telur total (butir) 40,53a 40,67a 39,68b 39,60b
Rataan Berat telur (g) 61,84d 64,35c 65,97b 67,25a
Hen day production (%) 72,38a 72,62a 70,86b 70,72b

Sumber : Suasta dan Bidura (2001)

• Ayam diberi ransum yang menggunakan 50 % jagung kuning


sebagai kontrol (A); Penggantian 30 % jagung kuning dengan
campuran limbah roti dan tepung jerami bawang putih (B);
penggantian 60 % jagung kuning dengan campuran limbah
roti dan tepung jerami bawang putih (C); dan penggantian
100 % jagung kuning dengan campuran limbah roti dan
tepung jerami bawang putih (D).

66 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Suasta dan Bidura (2001) mengkombinasikan penggunaan
limbah roti dan tepung jerami bawang putih sebagai pengganti
jagung kuning dalam ransum ayam petelur. Data hasil penelitian
tersebut disajikan dalan Tabel 19. Dari hasil penelitian tersebut,
penggantian 60 – 100 % jagung kuning dengan campuran limbah
roti dan tepung jerami bawang putih menurunkan produksi telur
dan sebaliknya meningkatkan rataan berat telur.

3.9 Onggok
Penggunaan ubi kayu dalam ransum unggas dan dalam
keadaan mentah kurang memuaskan karena mengandung racun,
yaitu asam sianida (HCN). Namun, penjemuran, perebusan,
atau pemanasan bahan tersebut dapat menurunkan atau
menghilangkan racun tersebut.
Kelebihan utama ubi kayu adalah kandungan energi
termetabolisnya yang cukup tinggi, yaitu 2970 kkal/kg. Namun,
kandungan protein kasarnya rendah, berkisar antara 0,18 – 2,50
%, serat kasarnya 0,77 – 0,97 %, dan lemak kasarnya 0,94 – 0,95 %.
Kandungan protein kasar ubi kayu sangat beragam tergantung
pada varietas tanamannya.

Gambar 5. Onggok merupakan ampas hasil pemerasan ubi kayu


dalam proses pembuatan tapioka.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 67


Onggok (Gambar 5) adalah limbah padat atau ampas yang
merupakan hasil pemerasan ubi kayu dalam proses pengolahan
pati (tapioka). Onggok umumnya masih mengandung
karbohidrat yang cukup tinggi, yaitu 45–69 % dengan kandungan
serat kasarnya berkisar antara 8 – 11 %.
Ubi kayu (Manihot carthagenesi) kandungan protein kasarnya
dapat mencapai 15,4 %. Pemanasan ubi kayu di dalam oven dapat
mengurangi HCN bebas dan menghancurkan enzim linamarin,
yaitu enzim yang dibutuhkan untuk hidrolisis glukosida dalam
bentuk HCN bebas.
Lebih rinci perubahan kandungan nutrisi pada onggok
sebelum dan sesudah difermentasi dengan A. niger tersaji pada
Tabel 20. Dari hasil fermentasi tersebut, peningkatan yang paling
tinggi nampaknya terjadi pada kandungan protein kasar, yaitu
dari 0,44 % menjadi 23,96 %.

Tabel 20. Perubahan zat gizi onggok sebelum dan sesudah


difermentasi dengan kapang Aspergillus niger

Zat Gizi (%) Onggok Onggokfermentasi


Protein kasar 0,44 23,96
Serat kasar 10,53 14,56
Abu 2,40 2,60
Kalsium 0,09 0,25
Fosfor 0,03 0,26
Treonin - 0,29
Alanin - 0,39
Glisin - 0,29
Valin - 0,36
Metionin - 0,10
Isoleusin - 0,26
Leusin - 0,42
Fenilalanin - 0,27
Lisin - 0,25
Arginin - 0,32

Sumber : Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor (2004)

68 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Hasil penelitian Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor (2004)
melaporkan bahwa penggunaan onggok terfermentasi dalam
ransum ternak ternyata meningkatkan produktivitas ternak.
Proses fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus
niger ternyata dapat meningkatkan daya cerna bahan kering dan
protein kasar onggok. Dengan penambahan campuran mineral
tertentu ke dalam onggok, dapat ditingkatkan kandungan protein
onggok, karena ativitas kapang yang mampu mengubah nitrogen
anorganik menjadi protein.
Batas penggunaan onggok terfermentasi dalam ransum
adalah sebagai berikut:
• pada ayam buras : 10 %,
• ayam broiler : 7,50 % ,
• ayam/itik petelur : 10 %, dan
• sapi perah : 25 %.

Tingginya kandungan karbohidrat pada onggok


menyebabkan onggok cocok digunakan sebagai sumber karbon
dalam fermentasi padat maupun cair. Namun demikian,
penggunaan onggok sebagai bahan pakan alternatif jarang
dilakukan karena kandungan protein kasarnya yang rendah,
yaitu 0,44 %.

3.10 Limbah Hotel


Limbah hotel adalah hasil sampingan dari jasa perhotelan.
Limbah hotel tersusun dari bahan yang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak (64 %), seperti nasi, roti, mie, daging, telor,
ikan, kulit buah-buahan, sayur, dan bahan yang tidak dapat
digunakan sebagai pakan ternak (36 %), seperti kantung plastik
dan kertas.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 69


Tabel 21. Komposisi limbah hotel berdasarkan peringkat hotel
(bintang 1 – 5) yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak

Komposisi Bahan Pakan


PeringkatHotel
A B C D
Bintang 1 68,50 16,00 4,50 11,00
Bintang 2 62,00 19,00 6,60 12,40
Bintang 3 70,00 20,00 2,50 7,50
Bintang 4 72,50 15,80 2,00 9,70
Bintang 5 65,20 17,00 7,50 10,30
Sumber : Rika et al. (l995)

Keterangan :
A = Nasi, mie, roti, dan kaldu
B = Daging, tulang, ikan, dan telor
C = Buah-buahan dan kulit buah-buahan
D = sayur-sayuran

Komposisi bahan penyusun limbah hotel yang dapat


dimanfaatkan untuk pakan ternak sangat bervariasi. Hal ini
sangat tergantung dari menu hidangan yang dikonsumsi oleh
wisatawan yang menginap di hotel tersebut. Pada Tabel 21, tersaji
komposisi bahan pakan pada limbah hotel yang diperoleh dari
lima peringkat hotel (Bintang 1 – 5).
Bagian limbah hotel yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak ternyata mengandung 25,5 – 27,79 % bahan kering;
15,35 – 23,92 % protein kasar; 1,70 – 3,30 % serat kasar; 18,41 –
23,92 % lemak kasar; 4,31 – 9,06 % mineral kalsium; 4,29 – 6,53
% fosfor; dan kandungan energi tercernanya (DE) sebesar 4375
kkal/kg bahan (Tabel 22).

70 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 22. Komposisi zat makanan limbah hotel berdasarkan
sumbernya

Limbah Komposisi Zat Makanan (% BK)


BK (%) DE(kkal/kg)
Hotel PK SK EE Ca P
Bintang1 27,34 4088 18,22 2,30 18,58 3,82 5,27
Bintang2 25,50 4321 23,92 3,30 23,15 9,06 6,06
Bintang3 26,90 4375 20,87 1,70 24,05 6.87 4,29
Bintang4 27,79 4239 15,55 1,86 23,70 5,99 6,53
Bintang5 29,66 3998 18,51 3,25 18,41 4,31 5,34
Sumber : Rika et al. (1995)

Komposisi zat makanan pada limbah hotel yang dapat


dimanfaatkan sebagai pakan ternak sangat bervariasi tergantung
pada komposisi bahan penyusun limbah hotel tersebut. Limbah
hotel yang banyak mengandung nasi, mie, roti, dan kaldu (A),
banyak mengandung energi, sedangkan limbah hotel yang
banyak mengandung daging, tulang, ikan, dan telor (B), banyak
mengandung protein.
Apabila dilihat dari kandungan protein kasarnya, maka
limbah hotel Bintang 2 yang paling tinggi dan disusul dengan
limbah hotel Bintang 3. Namun, bila dilihat dari kandungan
energinya, maka limbah hotel Bintang 3 mempunyai kandungan
energi yang paling tinggi, disusul oleh hotel Bintang 2.
Hasil penelitian Suwena (l998) menunjukkan bahwa
penggunaan limbah hotel sampai tingkat 100 % dalam ransum
babi tidak berpengaruh terhadap performans babi. Namun
demikian, ada kecenderungan bahwa performans babi meningkat
dengan meningkatnya penggunaan limbah hotel dalam ransum.
Efisiensi penggunaan ransum yang paling baik terjadi pada babi
yang diberi 100 % limbah hotel, sedangkan pertambahan berat
badan yang paling tinggi diperoleh pada babi yang diberi 50 %
limbah hotel. Data yang lebih rinci tersaji pada Tabel 23.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 71


Tabel 23. Pengaruh Pemberian limbah hotel terhadap penampilan
babi Bali
Level Limbah Hotel Dalam Ransum
Variabel
0% 25 % 50 % 100 %
Berat badan akhir (kg) 10,56 15,28 16,11 14,37
Pertambahanberatbadan(kg.ekor/hari) 0,10 0,21 0,23 0,19
Konsumsi ransum (kg BK/ekor/hari) 0,47 0,63 0,59 0,46
Feed Conversion Ratio (FCR) 4,47 2,94 2,51 2,37
Sumber Suwena (1998)

Limbah hotel mempunyai kelemahan, di antaranya


mudah busuk, ketersediaannya sangat fluktuatif, mengandung
mikroorganisme patogen, kadar lemaknya tinggi sehingga mudah
tengik, dan apabila dikonsumsi berlebihan akan meningkatkan
kadar lemak dan kolesterol pada karkas.

72 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


IV. LIMBAH PERKEBUNAN

4.1 Kulit Cokelat (Theobroma cacao)

T anaman kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu


tanaman perkebunan, yang saat ini penanamannya
berkembang dengan pesat, khususnya di pulau Jawa dan Bali.
Tujuan utama produksi kakao adalah untuk mendapatkan bijinya
(bean) yang menjadi salah satu devisa andalan Indonesia (Gambar
6). Dalam proses tersebut pengeluaran biji tersebut, dihasilkan
limbah yang jumlahnya jauh lebih banyak. Buah kakao terdiri
atas 73 % cangkang buah atau pod dan 27 % isi buah yang terdiri
atas biji beserta musilase (Wong et al., l986).
Wong et al. (l986) menyatakan bahwa kulit cokelat atau
cangkang kakao mengandung theobromine (3,7-dimethyl-xanthine).
Konsentrasi yang tertinggi terdapat pada isi biji (nib), pada kulit
biji sekitar 1,8 - 2,1 %, dan pada cangkang kakao sekitar 0,17 -
0,20 %. Lebih lanjut, dilaporkan juga oleh Sutardi (l99l) bahwa
konsumsi theobromine dalam jumlah banyak oleh unggas dapat
mengganggu pertumbuhan, produksi telur, terjadi lisis pada usus
halus, dan apabila terlalu banyak dapat menimbulkan kematian.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 73


Gambar 6. Limbah perkebunan kulit buah kakao
(Theobroma cacao)

Umumnya, buah kakao (Theobroma cacao) setelah dipanen,


buah dikupas di kebun dan isinya (27 %) diangkut ke pabrik untuk
diolah, sedangkan bagian cangkangnya/pod (73 %) biasanya
disebarkan di sekitar tanaman. Penyebaran di sekitar tanaman
dapat mengundang infeksi jamur Phytopthora palmivora pada
buah, yang dikenal dengan nama “black pod disease”.
Menurut Sutardi (l99l), berdasarkan hasil analisis proksimat
bahan kering cangkang kakao terdiri atas : 12,6 % abu; 8,9 %
protein kasar; 0,90 % lemak kasar; 34,50 % serat kasar; dan energi
metabolisnya 1746 kka/kg bahan kering. Smith (l984) menyatakan
bahwa fraksi karbohidrat (BETN) pada cangkang kakao sangat
mudah dicerna, tetapi kecernaan serat kasarnya rendah. Hal
ini disebabkan karena kadar NDF (Neutral Detergent Fibre) pada
cangkang kakao tinggi, yaitu 66,30 %, ADFnya (Acid Detergent
Fibre) 65,10 %, dan lignin 28,0 %, serta kadar silikanya rendah

74 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


yaitu 0,17 %.
Biofermentasi pod kakao dengan kapang Phanerochaete
chrysosporium ternyata dapat melunakkan dan memecah dinding
serat pod kakao dan juga mampu melepaskan pita-pita serat
mikrofibrilnya, sehingga struktur serat menjadi rapuh dan lebih
terbuka. Kapang tersebut bekerja secara bertahap dalam memecah
komponen dinding sel. Melalui benang fibril hifanya, kapang
Phanerochaete chrysosporium mengeluarkan enzim peroksidase
ekstraseluler. Enzim peroksidase ekstraseluler tersebut bekerja secara
aktif pada aktivitas lignolisis sehingga ikatan lignoselulosa
putus, dan fraksi lignin terurai menjadi CO2 dan selulosa dapat
dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Fermentasi cangkang coklat
dengan inokulan EM-4 dapat meningkatkan kandungan fosfornya
(Arsyad et al., 2001); demikian juga halnya dengan kandungan
protein dan koefisien cernanya (Bidura et al., 2002).
Proses biofermentasi pada pod kakao akan merombak
struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa
dan lignin, sehingga ransum mudah dicerna. Pada saat berada
di dalam saluran pencernaan ayam, mikroba fermenter ini akan
mampu bekerja sebagai probiotik. Probiotik dalam saluran
pencernaan dapat meningkatkan kecernaan zat makanan (Jin et
al., 1997), dapat meningkatkan retensi protein, mineral Ca, Co, P,
dan Mn (Nahashon et al., 1994).
Perubahan struktur jaringan serat pod kakao sebagai
akibat difermentasi oleh kapang secara visual dengan
menggunakan mikroskop elektron (SEM) tersaji pada Gambar
7. Pada gambar tampak penampang dinding serat pod kakao
sebelum difermentasi (kiri) dan sesudah difermentasi oleh kapang
(kanan). Biofermentasi pod kakao dengan kapang Phanerochaete
chrysosporium ternyata dapat melunakkan dan memecah dinding
serat pod kakao.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 75


(a) (b)

Gambar 7. Pod kakao tanpa perlakuan (a) dan pod kakao yang
telah mengalami fermentasi dengan kapang (b) (Erika, 1998).

Kapang mampu melepaskan pita-pita serat mikrofibrilnya,


sehingga struktur serat menjadi rapuh dan lebih terbuka (Gambar
7b). Kapang tersebut bekerja secara bertahap dalam memecah
komponen dinding sel. Melalui benang fibril hifanya, kapang
Phanerochaete chrysosporium mengeluarkan enzim peroksidase
ekstraseluler. Enzim peroksidase ekstraseluler tersebut bekerja secara
aktif pada aktivitas lignolisis sehingga ikatan lignoselulosa
putus, dan fraksi lignin terurai menjadi CO2 dan selulosa dapat
dimanfaatkan oleh mikroba rumen.
Hasil penelitian Mariani dan Suryani (2004) menunjukkan
bahwa penggunaan 15 – 30 % pod kakao dalam ransum nyata
menurunkan berat potong itik Bali jantan, akan tetapi dengan
adanya suplementasi 0,50 % ragi tape (perlakuan C dan D), berat
potong yang dihasilkan sama dengan kontrol (tanpa pod kakao)
dan nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa ragi tape
(perlakuan B dan C). Hasil yang lebih rinci tersaji pada Tabel 24.

76 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 24. Pengaruh penggunaan pod kakao yang disuplementasi
ragi tape dalam ransum terhadap distribusi lemak
tubuh (% berat potong) itik Bali jantan umur 8
minggu

Variabel Perlakuan1)
A B C D E
Berat Potong (g) 1316,67bc 3)
1350,00b 1171,67d 1443,33a 1295,83c
Pad-fat (%) 0,33a 3)
0,33a 0,25b 0,22b 0,22b
Mesenteric-fat(%) 0,24a 0,23a 0,24a 0,25a 0,22a
Lemak empedal
0,26a 0,27a 0,25a 0,25a 0,25a
(%)
Lemakabdomen
0,83a 0,83a 0,74ab 0,72ab 0,70b
(%)
Lemaksubkutan+
26,87a 26,32a 24,12ab 22,84b 22,07b
kulit (%)
Kolesteroldaging
70,88a 71.05a 67,76b 69,72a 66,66b
(mg/100g)
Keterangan : Sumber (Mariani dan Suryani, 2004)
1. Ransum tanpa pod kakao dan ragi sebagai kontrol (A),
ransum dengan 15 % pod kakao (B), ransum dengan 30 %
pod kakao (C), ransum dengan 15 % pod kakao + 0,50 % ragi
tape (D), dan ransum dengan 30 % pod kakao + 0,50 % ragi
tape (E).
2. Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama,
menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

4.2 Bungkil Inti Kelapa Sawit


Bungkil inti kelapa sawit merupakan hasil ikutan proses
pemisahan minyak inti sawit. Produksi bungkil inti sawit sebagai
pakan ternak dapat diduga jumlahnya, yaitu 2,20 % dari total
tandan buah sawit.
Kandungan nutrisi bungkil inti kelapa swait adalah 85 – 91
% bahan kering, 12,5 – 21,30 % protein kasar, 12,50 – 21,30 % lemak
kasar, 11,90 – 20,80 % serat kasar, 0,20 – 0,40 % Ca, 0,30 – 0,70 %
P, 41,0 – 55,30 % BETN, dan kandungan energi termetabolisnya
berkisar antara 1600 – 2900 kkal/kg bahan (Aritonang, 1985).
Menurut Hartadi et al. (l986), kandungan nutrien bungkil inti

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 77


kelapa sawit adalah 14,0 % air; 12,90 % protein kasar; 9,40 %
lemak kasar; 16,90 % serat kasar; 0,21 % Ca; 0,53 % P; dan 41,20 %
BETN.
Bungkil inti kelapa sawit mengandung cukup asam amino
metionin dan sistin, tetapi kekurangan lysin. Struktur serat
kasar pada bungkil inti kelapa sawit tersusun sedemikian rupa,
sehingga menjaring protein di dalamnya dan struktur ini tahan
terhadap pencernaan enzim dan bakteri saluran pencernaan
ternak monogastrik. Penggunaan bungkil inti kelapa sawit dalam
ransum babi dapat sampai 30 %, karena belum berpengaruh nyata
bila dibandingkan dengan ransum tanpa mengandung bungkil
inti kelapa sawit. Hasil penelitian Putri (1994) melaporkan
bahwa penggunaan 22 % bungkil inti kelapa sawit dalam ransum
babi ternyata tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat
badan dan efisiensi penggunaan ransum, tetapi secara nyata
dapat menyebabkan menipisnya tebal lemak punggung dan
menurunkan kadar kolesterol pada daging loin babi perlakuan.
Lumpur sawit, yaitu hasil sampingan proses pengolahan
minyak sawit (“crude palm oil”), cocok digunakan sebagai bahan
pakan alternatif untuk ternak monogastrik maupun ternak
ruminansia sebagai sumber energi. Hasil kajian Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (2004) melaporkan bahwa lumpur
sawit mengandung bahan kering 84 – 93 %; protein kasar 9 – 14 %;
lemak kasar 10 – 13 %; BETN 39 – 46 %; dan energi termetabolisnya
2900 – 3100 kkal/kg bahan.
Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor (2004) telah menerapkan
bioteknologi fermentasi pada lumpur sawit dengan menggunakan
kapang Aspergillus niger. Produk fermentasi tersebut diberi nama
“Ferlawit” merupakan singkatan dari “Fermentasi lumpur
sawit”. Produk fermentasi tersebut ternyata dapat meningkatkan
kandungan protein dan asam amino pada lumpur sawit. Lebih
rinci, tahapan proses produksi “Ferlawit” tersaji pada Gambar 8.
Mula-mula lumpur sawit ditambahi larutan mineral
secukupnya, selanjutnya dikukus dengan drum. Setelah dingin,

78 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


kemudian ditambahkan inokulan Aspergillus niger yang bertujuan
untuk meningkatkan kandungan protein pada lumpur sawit.
Tahapan berikutnya adalah inkubasi selama lima hari atau satu
minggu, setelah itu di keringkan dengan sinar matahari. Tahap
terakhir adalah proses pembuatan tepung “Ferlawit”. Pada
proses ini diperlukan tenaga tambahan apabila tidak ada mesin
penggiling. Namun demikian, sebaiknya proses penghancuran
“Ferlawit” tersebut dilakukan pada saat sebelum dikeringkan.

Gambar 8. Proses pembuatan produk fermentasi lumpur sawit


(“Ferlawit”)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 79


Lumpur sawit yang sudah terolah dapat diberikan sebagai
suplemen tunggal atau komponen konsentrat sebanyak 15 – 30 %.
Hasil percobaan pada kambing dan domba ternyata pemberiannya
mampu memberikan pertambahan bobot badan masing-masing
70 g dan 80 g per ekor per hari. Untuk ebih jelasnya lihat Gambar
9.

Gambar 9. Bentuk fisik lumpur sawit (kiri) dapat diberikan


langsung pada kambing (kanan)

Pada Gambar 9, tersaji bentuk fisik dari “Ferlawit” yang


ukurannya masih menyerupai gumpalan tanah liat saja. Untuk
ternak ruminansia, hal tersebut tidak menjadi masalah, namun
untuk ternak nonruminansia khususnya unggas, ukuran
“Ferlawit” tersebut hendaknya seperti tepung, sehingga lebih
mudah dicampurkan dengan bahan pakan lainnya.

4.3 Pelapah Sawit


Hasil kajian pemanfaatan pohon kelapa sawit sebagai pakan
ternak, yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (2004) di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa sebelum
dihasilkan buah sawit, ternyata pelepah daun kelapa sawit dapat
dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk ternak ruminansia
(sapi dan kambing). Umumnya pelepah kelapa sawit secara
rutin dipangkas untuk mendapatkan buah tandan yang banyak.

80 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Sebelum diberikan pada ternak kambing atau sapi, terlebih
dahulu pelepah tandan tersebut dikupas, selanjutnya dicacah
dan dapat diberikan langsung pada ternak dalam keadaan segar
atau dicampur dengan konsentrat. Untuk lebih jelasnya, lihat
Gambar 10.

Kandungan nutrien pelepah kelapa sawit adalah sebagai


berikut: bahan kering 80 – 85 %; protein kasar 7 – 11 %; selulosa
30 – 34 %; hemiselulosa 34 – 36 %; dan lignin 16 – 18 %. Pemberian
pada ternak dapat dicampurkan langsung dengan konsentrat atau

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 81


diberikan segar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata
pelepah kelapa sawit yang sudah dicacah dapat mengganti
penggunaan rumput sampai level 80 % tanpa berpengaruh buruk
pada penampilan kambing.

4.4 Batang Pisang (Musa paradisica)


Tanaman pisang (Musa paradisica) merupakan tanaman
tropis dan subtropis yang banyak tumbuh di Indonesia. Selain
buahnya, ternyata batangnya sudah banyak dimanfaatkan sebagai
campuran pakan babi, kuda, dan ternak ruminansia lainnya.
Batang pisang merupakan batang semu karena dibentuk oleh
pelepah daun yang memanjang dan saling menutupi.
Batang pisang sebagai pakan ternak mengandung 92,50
% air; 0,35 % protein kasar, 4,60 % karbohidrat, dan kaya akan
mineral, antara lain mengandung fosfor 135 mg, kalsium 122 mg,
kalium 213 mg; dan zat besi 0,70 mg. Kandungan mineral utama
yang terkandung pada batang pisang dan diharapkan akan paling
banyak perannya adalah mineral Zn yang berkisar antara 37 – 163
ppm. Mineral Zn akan mempengaruhi kualitas karkas melalui
peningkatan metabolisme protein.
Umumnya, batang pisang yang digunakan oleh peternak
sebagai pakan ternak babi adalah batang pisang yang sudah
diambil buahnya. Sebelum diberikan pada babi, terlebih batang
pisang tersebut diiris tipis-tipis dan dihancurkan.
Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 11.

82 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Hasil penelitian Wibawa (l997) melaporkan bahwa
penggunaan 4 % batang pisang dalam ransum babi dapat
direkomendasikan karena belum berpengaruh terhadap
penampilan babi. Akan tetapi, pemberian pada level 8 % dan 12
% dalam ransum nyata menurunkan berat potong, berat karkas,
dan persentase karkas babi. Sebaliknya, pemberiannya secara
nyata menurunkan persentase lemak karkas babi.

4.5 Serbuk Gergaji Kayu


Ketersediaan serbuk gergaji kayu cukup banyak, khususnya
pada sentra kerajinan tangan. Serbuk gergaji kayu merupakan
limbah dari hasil penggergajian kayu dan umumnya banyak
digunakan sebagai bahan pembakar batu bata. Namun, akan lebih
ekonomis kalau serbuk gergaji kayu tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pakan limbah berserat.
Menurut Pangestu (l997), kandungan protein kasar serbuk
gergaji kayu sebesar 5,36 %, lemak kasarnya 1,19 %, karbohidrat
92,24 %, NDF 85,53 %, ADF 67,76 %, selulosa 44,49 %, dan
kandungan energi brutonya 3,692 kkal/g bahan.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 83


Meningkatkan nilai nutrisi serbuk gergaji kayu dapat
dilakukan dengan diamoniasi (4 % ammonia) selama 21 hari,
selanjutnya difermentasi dengan Trichoderma viredeae (0,10 %
bahan kering serbuk gergaji kayu). Pada Tabel 25 tersaji perubahan
nutrisi serbuk gergaji kayu setelah diamoniasi dan difermentasi
dengan Trichoderma viredeae. Melalui proses diamoniasi dan
fermentasi, ternyata kandungan protein kasar serbuk gergaji
kayu meningkat secara signifikan, sebaliknya kandungan serat
kasarnya menurun.

Tabel 25. Perubahan kandungan nutrisi serbuk gergaji kayu


yang mengalami deamoniasi dan fermentasi dengan
Trichoderma viredeae

Lama Fermentasi (hari)


Nutrien
0 14 28 42
Protein kasar (%) 5,36 7,91 8,36 9,48
Karbohidrat (%) 92,34 88,99 87,30 84,90
NDF (%) 85,53 76,69 76,18 74,20
Selulosa (%) 44,49 38,72 37,47 35,80
Energi (GE kkal/g) 3,692 3,780 3,934 4,080

Sumber : Pangestu (l997)

Bidura et al. (l996) melaporkan bahwa serbuk gergaji


kayu dapat digunakan sebagai sumber serat kasar untuk
menurunkan kandungan lemak dan kolesterol dalam tubuh
ayam. Kandungan serat kasar serbuk gergaji kayu tinggi, yaitu
82 % dan protein kasarnya rendah sebesar 2,10 %. Hasil penelitian
Belawa dan Sukmawati (2006) melaporkan bahwa penggantian
50 % penggunaan dedak padi dalam ransum dengan serbuk
gergaji kayu yang disuplementasi 0,20 % Starbio (perlakuan C)
secara nyata menurunkan pertambahan berat badan, efisiensi
penggunaan ransum, dan kadar asam urat darah itik. Data yang
lebih rinci tersaji pada Tabel 26.

84 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 26. Pengaruh penggantian dedak padi dengan sekam padi
atau serbuk gergaji kayu yang disuplementasi dengan
Starbio terhadap efisiensi penggunaan ransum dan
kadar asam urat darah itik

Variabel Perlakuan1) SEM


A B C
Konsumsi ransum 12771,68a 13545,18b 14520,98c 70,65

(g/ekor/17 minggu)
Pertambahanberatbadan 1181,5a 1133,75b 1095,5c 70,65

(g/ekor/17 minggu)
Efisiensi penggunaan 0,090a 0,083ab 0,078b 0,002
ransum
Asamuratdarah(mg/100 5,10a 5,70b 4,70c 0,071
ml)

Keterangan : Belawa dan Sukmawati (2006)


1. Ransum kontrol tanpa sekam padi atau gergaji kayu
(A), penggantian 50 % dedak dengan sekam padi yang
disuplementasi dengan 0,2 % Starbio (B), penggantian 50 %
dedak dengan gergaji kayu yang disuplementasi dengan 0,2
% Starbio (C).

Konsumsi ransum pada penggantian 50 % dedak padi


dengan sekam padi atau serbuk gergaji kayu yang disuplementasi
dengan Starbio secara nyata meningkat jika dibandingkan
dengan kontrol. Peningkatan konsumsi ransum ini disebabkan
karena fraksi serat kasar sangat sulit dicerna sehingga dengan
cepat dikeluarkan dari saluran pencernaan itik (Lubis, 1992).
Dilaporkan oleh Bidura et al. (l996) bahwa pemberian ransum
dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan
laju aliran ransum dalam saluran pencernaan itik meningkat.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 85


86 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
V. LIMBAH PERIKANAN
DAN PETERNAKAN

5.1 Limbah Ikan dan Udang

D alam industri pengolahan ikan, hanya 40 % daging


yang dapat dimakan dan 60 % sebagai limbah
(kepala, tulang, kulit, dan jeroan). Pembusukan ikan/limbah ikan
disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk, aktivitas enzim
endogenus, dan reaksi kimia (oksidasi). Pembusukan kebanyakan
disebabkan oleh aktivitas bakteri Bacillus, Micrococcus, dan
Coryneform. Jumlah ikan yang hilang sebagai akibat pembusukan
oleh aktivitas mikroba diperkirakan lebih dari 10 % dari total
jumlah ikan yang ditangkap di dunia.
Ikan atau limbah ikan sangat kaya akan protein dan lipida,
tetapi memiliki gula bebas (ribosa, glukosa, dan fruktosa) yang
sangat rendah yang tersedia untuk fermentasi oleh bakteri.
Sumber energi untuk pertumbuhan bakteri pada ikan adalah
asam-asam amino bebas yang konsentrasinya meningkat
sebagai hasil dari proteolisis pada ikan pascapanen. Bakteri
pembusuk memanfaatkan asam-asam amino sebagai sumber
energi, sedangkan bakteri asam laktat mempunyai kemampuan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 87


yang terbatas untuk mendekomposisi asam amino, apabila tidak
tersedia cukup glukosa.
Limbah industri udang adalah berupa kulit pembungkus
dan kepala udang itu sendiri, yang selanjutnya dikeringkan
dan digiling halus. Pengeringan limbah udang dapat dilakukan
dengan uap panas, udara panas, atau sinar matahari. Bagian
tubuh udang yang menjadi limbah sangat menentukan kualitas
dari limbah udang tersebut. Kandungan proteinnya berkisar
antara 35 – 45 %. Penggunaannya pada ayam petelur sebaiknya
di bawah 7 %, sedangkan pada unggas pedaging berkisar antara
8 – 14 %

5.1.1. Fermentasi Limbah Ikan

Di Indonesia, ikan lemuru (Sardinella longiceps) dari selat


Bali secara periodik mengalami surplus produksi. Pada tahun
1976, sekitar 8000 ton ikan mengalami pembusukan (Aryanta,
1993). Untuk menghambat pembusukan dan memperpanjang
masa simpan ikan, perlu dilakukan upaya pengawetan. Salah
satu metode pengawetan dan penyimpanan limbah ikan adalah
dengan metode fermentasi dengan kultur bakteri asam laktat.
Silase ikan terfermentasi adalah produk ikan/limbah ikan yang
berbentuk cair yang difermentasi secara anaerob oleh bakteri
asam laktat dan umumnya digunakan sebagai pakan ternak
untuk unggas dan babi. Karbohidrat yang mudah difermentasi
(glukosa dan sukrosa) oleh bakteri asam laktat harus ditambahkan
ke dalam adonan silase ikan, agar fermentasi dapat berlangsung
dengan baik. Hal ini disebabkan karena ikan hanya mengandung
gula bebas dalam jumlah sedikit.
Dalam pembuatan silase limbah ikan, didapatkan hasil yang
baik bila ditambahkan 20 kg tepung oat ke dalam 100 kg adonan
silase ikan/limbah ikan. Di samping molases (10 %), starter bakteri
asam laktat sebaiknya ditambahkan ke dalam adonan silase untuk
menjamin terjadinya proses fermentasi yang baik. Penambahan

88 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


malt dalam proporsi yang kecil perlu dilakukan, karena enzim
amilolitik yang terdapat di dalam malt akan mengubah pati pada
tepung serealia menjadi glukosa, sehingga dapat difermentasi
oleh bakteri asam laktat.
Secara alamiah, bakteri asam laktat terdapat pada ikan
dengan populasi yang rendah (101 – 104/g). Karena itu, silase
ikan terfermentasi juga dapat diproduksi tanpa penambahan
kultur starter bakteri asam laktat. Genus bakteri asam laktat yang
sering diisolasi dari silase ikan terfermentasi secara alami adalah
Lactobacillus dan Pediococcus.

5.1.2. Aspek Biokimia Silase Limbah Ikan

Pada dasarnya, perubahan biokimia yang terjadi selama


fermentasi dan penyimpanan silase limbah ikan disebabkan
oleh adanya degradasi gula, protein, lemak, dan produk-produk
sekunder menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih
rendah. Degradasi tersebut disebabkan oleh aktivitas mikroba
dan aktivitas enzim endogenus yang berasal dari ikan.
Selama fermentasi silase ikan, bakteri asam laktat
memfermentasi karbohidrat yang ditambahkan menjadi asam
laktat sehingga menurunkan pH dan mengawetkan produk.
Apabila fermentasi berlangsung baik, maka silase ikan akan
memiliki pH sekitar 4,5 setelah 2 – 4 hari. Pada pH ini atau lebih
rendah lagi, bakteri patogen khususnya golongan C. butolinum tipe
E tidak dapat tumbuh dan tidak mampu memproduksi senyawa
toksin.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Raa et al. (l983)
menunjukkan bahwa penambahan 10 % molasses dalam pembuatan
silase ikan dengan menggunakan Lactobacillus plantarum sebagai
inokulan menyebabkan pH antara 4,0 – 4,5 tercapai setelah tiga
hari fermentasi pada suhu 28 0C. Dilaporkan juga bahwa selama
6 bulan penyimpanan pada suhu 30 0C, konsentrasi asam amino
bebas dalam silase meningkat. Selama penyimpanan silase ikan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 89


terfermentasi, protein didegradasi menjadi asam amino dan
peptida oleh aktivitas enzim di dalam usus terutama pepsin.
Pepsin endogenus masih aktif pada pH 4,4. Akan tetapi, selama
penyimpanan, aktivitas enzim pepsin tersebut menurun dengan
cepat. Dilaporkan oleh Raa dan Gildberg (1982), bahwa pada
pH 4,4–5,0 proteolisis juga terjadi selama penyimpanan yang
disebabkan oleh aktivitas enzim cathepsin, yaitu enzim yang ada
dalam daging ikan.

5.1.3. Cara Pembuatan Silase Limbah Ikan

Limbah ikan atau ikan yang tidak layak dikonsumsi


lagi sangat baik digunakan untuk bahan pakan ternak sumber
protein hewani. Namun, kendala utama yang dihadapi adalah
cepatnya bahan pakan tersebut membusuk. Karena itu, teknologi
penyimpanan atau pengolahan yang paling sesuai adalah dengan
bioteknologi fermentasi (silase ikan). Secara berturutan berikut ini
dijelaskan metode sederhana dalam pembiatan silase ikan.
• Limbah ikan lemuru (kepala, jeroan, dan tulang) dihancurkan,
kemudian ditambahi 15 % molasses dan 30 % air.
• Tambahkan starter L. plantarum (107 sel/g) dan diaduk rata.
• Campuran silase kemudian dimasukkan ke dalam ember
plastik masing-masing sebanyak 5 kg, dan ditutup rapat
untuk kemudian diperam atau diinkubasi selama 72 jam
pada suhu kamar.
• Produk dapat digunakan atau disimpan selama 5 bulan tanpa
berpengaruh terhadap nilai gizinya.

Selama penyimpanan silase ikan terfermentasi, akan


terjadi peningkatan amonia, amina, asam amino, dan peptida
yang disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik (autolitik),
sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan pH (Sinell, 1980).
Dilaporkan juga bahwa terjadi proses lipolisis atau degradasi
lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol oleh aktivitas

90 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


enzim lipase, baik yang berasal dari ikan itu sendiri maupun yang
dihasilkan oleh mikroba.

5.1.4. Nilai Gizi Silase Limbah Ikan

Melalui proses fermentasi, ternyata nilai gizi ikan meningkat


dan dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Nilai biologis
protein silase ikan terfermentasi sama dengan nilai biologis
protein susu skim. Silase ikan terfermentasi ternyata lebih baik
daripada silase ikan secara kimia (silase yang diawetkan dengan
asam). Akan tetapi, silase ikan terfermentasi dengan inokulan
ternyata memiliki kadar gas amonia yang lebih tinggi daripada
silase secara asam.
Pada Tabel 27, disajikan data tentang penggunaan kultur
starter L. plantarum dalam proses fermentasi ikan yang disimpan
selama dua bulan. Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa
melalui proses fermentasi ternyata kandungan protein, lemak
kasar, total asam, derajat keasaman, total mikroba, dan total
bakteri asam laktat mengalami peningkatan (Aryanta et al., 1993)

Tabel 27. Pengaruh kultur starter (L. plantarum) terhadap


nilai gizi ikan terfermentasi yang disimpan selama 2 bulan

Variabel Tanpa Starter Dengan Starter


Protein kasar (%) 13,89a 14,38b
Lemak kasar (%) 5,81a 6,20b
Total asam (%) 2,53a 3,33b
Derajat keasaman (pH) 4,70a 4,49b
Total mikroba (log koloni/g) 8,40a 8,95b
Total BAL (log koloni/g) 8,28a 8,94b

Sumber : Aryanta et al. (1993)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 91


Dilaporkan juga bahwa sebanyak 12 % nitrogen hilang
sebagai amonia selama 4 minggu penyimpanan silase ikan
terfermentasi pada suhu 28 0C. Meskipun demikian, nilai gizi
silase ikan terfermentasi tetap baik karena amonia yang terbentuk
berasal dari asam amino nonesensial (Raa dan Gildberg, 1982).
Silase limbah ikan dapat digunakan sebagai sumber
protein hewani, baik untuk ternak monogastrik maupun ternak
ruminansia. Komposisi kimia silase limbah ikan adalah 40 – 45 %
protein kasar; 10,10 % lemak kasar; 12,18 % kalsium; dan 5,42 %
fosfor (Suprijadi, 1998).
Proses pemuatan silase limbah ikan (ikan limbah yang
diperoleh dari TPI (tempat pemotongan ikan) atau limbah ikan
yang bersumber dari pabrik pengalengan ikan) adalah sebagai
berikut ini.
1. Proses dengan kimia. Pertama-tama ikan dipotong-potong
halus, kemudian ditambahkan larutan asam formiat 90 %
dan asam propionat 95 % (perbandingan 1 : 1) sebanyak 3 %
dari berat limbah ikan yang akan dibuat silase. Selanjutnya
semuanya itu dicampur dalam ember plastik secara merata
dan disimpan selama 3 – 5 hari pada suhu ruang sampai pH
menjadi 2 – 3,5.
2. Proses biologis. Cacahan limbah ikan ditambahi 12,50 %
starter bakteri Lactobacillus plantarum (cara pembuatannya
adalah sebagai berikut : daun kubis direjang halus, kemudian
ditambah larutan garam 2,5 % sebanyak 4 liter untuk setiap
1 kg kubis dan didiamkan beberapa hari) dan sumber
karbohidrat mudah larut sebanyak 15 – 20 % (tetes) yang
sudah dilarutkan dalam 4 liter air panas. Seluruh campuran
di atas dimasukkan ke dalam ember plastik atau drum
tertutup dan difermentasi anaerob selama 1 minggu sehingga
pH mencapai 4 – 4,5 dan silase limbah ikan siap digunakan
(segar maupun kering).

92 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Silase limbah ikan yang baik berbau asam, tidak berbau
amonia, tidak berjamur, tekstur lunak, dan pH berkisar antara
4 – 4,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan 5
kg silase limbah ikan setara dengan 1 kg tepung ikan. Tingkat
penggunaannya dalam ransum ternak adalah sebagai berikut :
• ayam buras/broiler : 8 – 10 %,
• ayam petelur : 10 %,
• itik : 10 – 12 %,
• sapi berat badan 350 kg : 3 kg/hari, dan
• babi : 10 – 25 %.

5.1.5. Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Proses Fermentasi


Limbah Ikan

Proses ensilase melibatkan kegiatan bakteri asam laktat


(BAL) dari senyawa gula. Asam laktat yang berfungsi sebagai
pengawet (pH rendah) dapat mencegah pertumbuhan dan
aktivitas mikroba pembusuk. Umumnya bakteri asam laktat yang
banyak digunakan dalam proses fermentasi adalah dari strain
Lactobacillus sp.
Pada prinsipnya ada dua aspek dalam proses fermentasi
yaitu meningkatkan kandungan bahan pakan dengan zat tertentu
dan pengawetan bahan pakan dengan pembuatan silase. Dalam
proses tersebut, ada dua tipe bakteri asam laktat, yaitu (1)
Heterofermentatif, yaitu menghasilkan satu molekul asam laktat
dan gas dari satu molekul gula, misalnya Lactobacillus brevis dan
(2) Homofermentatif, yaitu menghasilkan 2 molekul asam laktat
dari satu molekul gula, misalnya L. casei, Streptococcus cremonis, L.
plantarum, dan Pediococcus cereviseae (Tabel 28).

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 93


Tabel 28. Perbedaan mikroorganisme homofermentatif dan
heterofermentatif dalam fermentasi tipe laktat

HOMOFERMENTATIF HETEROFERMENTATIF
A. Hasil Fermentasinya
Glukosa  2 as. Laktat Glukosa  as. Laktat + etanol + CO2
Fruktosa  2 as. Laktat 3 Fruk.as.Laktat+asetat + CO2 + 2 manitol
Xylosa  as. Laktat + asetat 2 Fruk.as. Laktat+astat + CO2 + 2 manitol
Arabinosa  as. Laktat + asetat

B. Mikroorganisme
Strain Coccus Strain Coccus
Streptococcus faecalis Leucomostoc mesenteroides
Streptococcus faecium Leucomostoc olextranicum
Pediococcus acidilactis Leucomostoc cremoris
Strain Lactobacillus Strain Lactobacillus
L. plantarum L. brevis
L. curvatus L. fermentum
L. carymoformis sub. Sp. L. viridexceus

Sumber : James et al. (l977)

Kedua bakteri homofermentatif dan heterofermentatif tersebut


akan bekerja secara berurutan. Pertama-tama yang aktif adalah
bakteri asam laktat heterofermentatif sehingga menghasilkan asam
laktat dan gas. Gas yang terbentuk akan mendesak oksigen/
udara sehingga ketersediaan oksigen berkurang. Dalam keadaan
demikian, bakteri asam laktat tipe Homofermentatif mulai aktif
sehingga pH menurun dengan cepat. Pada Tabel 29, tersaji genus
dan spesies bakteri asam laktat yang umumnya digunakan dalam
proses fermentasi limbah ikan.Tabel 29. Bakteri penghasil asam
laktat yang penting dalam proses pembuatan silase

94 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Genus Spesies Glukosa Fermentasi
L. achidophilus

L. casei, L. corniformis
Homofermentatif
L. plantarum
L. brevis,
Lactobacillus
L. bhucherni, L. fermentum Heterofermentatif
P. brevis

Pediococcus P.cereviseae,P.pentosaceus Homofermentatif


Enterococcus E. faecalis, E. faecium Homofermentatif

Lactococcus L. lactis Homofermentatif

Streptococcus S. bivis Homofermentatif

Leuconostoc L. mesenteroides Heterofermentatif


Sumber : James et al. (l977)

Bakteri asam laktat, selain mampu mencegah pembusukan


bahan pakan yang disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk,
juga mampu menambah citarasa produk dan dapat mencegah
ketengikan, serta reaksi-reaksi kimia lainnya yang menyebabkan
penurunan kualitas produk fermentasi (James et al., 1977).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme, yaitu air, pH, zat penghambat,
suhu, dan zat makanan bagi mikroorganisme itu sendiri dalam
proses biofermentasi pakan. Pengolahan fermentasi ini sering
dilakukan pada industri alkohol, asam sitrat, aseton, antibiotik,
vitamin, dan PST (protein sel tunggal).
BAL tersebut sangat bagus digunakan dalam pembuatan
silase limbah ikan. Cacahan ikan yang sudah siap, selanjutnya
ditambahi 12,5 % starter bakteri L. plantarum dan tambahkan juga
sumber karbohidrat sebanyak 15 - 20 % yang sudah dilarutkan
dengan 4 liter air panas.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 95


5.1.6. Aspek Dasar Fermentasi Bakteri Asam Laktat

Secara morfologi, bakteri asam laktat terdiri atas dua familia,


yaitu Lactobacillaceae yang berbentuk batang dan Streptococcuseae
yang berbentuk bulat. Selain berdasarkan jalur metabolismenya,
bakteri asam laktat dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan
homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri asam laktat yang
bersifat homofermentatif mengkonversi glukosa menjadi asam
laktat lebih dari 85 % dari total asam, melalui jalur glikolisa
EMP (Embden Meyerhoff Parnas), sedangkan bakteri asam laktat
heterofermentatif sebanyak 50 % dari total asam, melalui jalur
phosphoketolase. Selain itu, bakteri asam laktat heterofermentatif juga
menghasilkan produk akhir berupa alkohol, asam asetat, dan gas
CO2 (Stamer, 1979; Holzapfel dan Wood, 1995).
Menurut Kozaki (l996), bakteri asam laktat berperan pada
proses fermentasi tradisional di Asia Tenggara. Beberapa spesies
dari strain bakteri asam laktat dinyatakan mempunyai peranan
yang menguntungkan terhadap kesehatan saluran pencernaan
manusia. Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut menghasilkan
metabolit antimikroba dan komponen sel yang spesifik sebagai
spesies bakteri intestin indogenus, misalnya kemampuannya untuk
mengkolonisasi intestin (Ray, 1996).
Menurut Ham et al. (2002), conjugated linoleic acid (CLA)
merupakan bentuk umum untuk posisi dan isomer geomatrik dari
asam linoleat (“linoleic acid atau LA”), cis-9, cis-12 octadecadienoic
acid dalam dua ikatan rangkap konjugasi. Penggunaan conjugated
linoleic acid (CLA) dalam ransum ternyata dapat meningkatkan
kuantitas dan kualitas produksi.
Ostrowska et al. (l999) melaporkan bahwa suplementasi
CLA dalam ransum ternyata dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan ransum dan menurunkan deposisi lemak dalam
tubuh, serta dapat menurunkan ketebalan lemak punggung babi.
Hal senada dilaporkan juga oleh Dunshea et al. (2002), bahwa pada
dosis penggunaan CLA yang lebih tinggi (10 g/kg ransum) terjadi

96 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


penurunan tebal lemak punggung sebanyak 25 % dan penurunan
deposisi lemak dalam tubuh sebanyak 31 % jika dibandingkan
dengan kontrol. Dilaporkan juga bahwa penggunaan CLA dalam
ransum, selain dapat memperbaiki pertumbuhan juga dapat
memperbaiki komposisi karkas dan kualitas daging. Penggunaan
CLA lebih efektif pada babi betina daripada babi jantan. CLA
selain dapat diproduksi oleh bakteri Lactobacillus fermentum, juga
dapat bersumber dari lemak hewani (tallow), tepung daging, dan
tepung tulang.
Selain bakteri Lactobacillus fermentum, ternyata Lactobacillus
salivarius juga berperan sebagai sumber probiotik. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Bae et al. (2002) menunjukkan bahwa, dari
beberapa macam strain Lactobacillus yang ada dalam saluran
pencernaan ayam, ternyata Lactobacillus salivarius Subsp. Salivarius
sangat efektif sebagai sumber probiotik karena resisten terhadap
antibiotik, mampu menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh,
dan sangat cocok penggunaannya dalam dunia industri.
Umumnya pada media yang mengandung gula, bakteri asam
laktat akan memproduksi asam laktat dalam jumlah besar yang
dapat menyebabkan turunnya pH, sehingga mampu menghambat
pertumbuhan mikroba lainnya. Di samping menghasilkan asam,
beberapa bakteri asam laktat mampu memproduksi antibiotik
yang dapat berfungsi sebagai bahan pengawet.
Penambahan gula yang dapat difermentasi seperti glukosa,
fruktosa, dan ribosa mengakibatkan pertumbuhan bakteri asam
laktat meningkat, walaupun kondisi lingkungannya kaya akan
asam-asam amino. Hal ini disebabkan karena glukosa mampu
menekan produksi enzim deaminase pada bakteri pembusuk.
Dalam kondisi anaerobik, bakteri pembusuk akan memfermentasi
glukosa yang akan menghasilkan asam (pH rendah). Menurunnya
pH menyebabkan meningkatnya aktivitas bakteri asam laktat
yang sangat toleran terhadap suasana asam.
Pada pembuatan silase ikan, perlu dicegah perkembangan
bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif, karena produksi

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 97


gas secara intensif akan mengakibatkan peningkatan volume
yang berlebihan di dalam wadah silase. Salah satu cara untuk
menekan perkembangan bakteri penghasil gas adalah dengan
menambahkan 5 % natrium khlorida (Staton dan Yeoh, 1977), atau
dengan menambahkan asam organic, atau merebus ikan sebelum
melakukan inokulasi kultur starter yang sesuai.

5.2 Tepung darah


Limbah pemotongan hewan yang jarang mendapat
perhatian adalah darah. Tepung darah sangat tinggi kandungan
proteinnya, yaitu 80 %. Namun, daya serap unggas terhadap
protein darah tersebut sangat rendah, sehingga penggunaannya
dalam ransum dibatasi maksimum 2 %. Selain kaya akan protein,
tepung darah juga kaya akan asam amino lysin, arginin, metionin,
sistin, dan leusin. Akan tetapi, kandungan asam amino isoleusin
dan argininnya rendah serta nilai biologis dari protein tepung
darah rendah. Ini berarti bahwa walaupun kandungan protein
tepung darah tinggi, yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh atau
yang dapat dicerna rendah.
Darah yang akan dijadikan tepung darah dapat diambil dari
RPA (rumah potong ayam) setempat dengan cara yang higienis,
kemudian direbus dalam wajan tertutup dengan tekanan yang
tinggi. Selanjutnya, bahan ditiriskan, diiris tipis, dan dikeringkan.
Setelah kering, irisan darah selanjutnya digiling untuk dijadikan
tepung.

5.3 Kotoran Ayam


Kegiatan peternakan ayam menyebabkan terjadinya
peningkatan produksi kotoran ayam yang disebabkan oleh
tingginya jumlah populasi ayam. Di lain pihak, keuntungan yang
diperoleh peternak kurang memadai sebagai akibat mahalnya
harga bahan pakan konvensional.
Kedua permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan
cara menggunakan kotoran ayam tersebut sebagai bahan pakan.

98 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Kotoran ayam masih mempunyai nilai gizi yang berasal dari
bahan pakan yang tidak dicerna, mikroorganisme, pakan yang
terbuang, dan bahan organik sisa lainnya. Namun, kotoran yang
tidak diproses dapat mengganggu kesehatan ternak (Laconi,
1992). Untuk itu, kotoran perlu proses untuk meningkatkan nilai
gizinya dan untuk menghilangkan sesuatu yang berpengaruh
negatif seperti mikroorgnisme patogen, residu obat, logam berat,
dan lain-lain.
Kotoran ayam sebelum digunakan terlebih dahulu
dibersihkan dari berbagai unsur yang membahayakan, selanjutnya
dikeringkan, dan digiling halus. Faktor pembatas penggunaannya
adalah nilai cerna proteinnya yang rendah dan kandungan serat
kasarnya yang tinggi (14,9 – 18,60 %).
Bau kotoran ayam sebagai bahan pakan dalam penyusunan
ransum unggas menyebabkan konsumsi akan menurun. Oleh
karena itu, sebelum diberikan terlebih dahulu dikeringkan dan
didiamkan beberapa hari. Tujuan pengeringan, disamping untuk
menghilangkan bau juga untuk menghilangkan bakteri salmonela.
Ransum yang menggunakan kotoran ayam sebaiknya disajikan
dalam bentuk crumble atau pellet.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muller (l980)
menunjukkan bahwa penggunaan kotoran ayam ras petelur
pada tingkat 12,5 % dalam ransum ternyata dapat meningkatkan
produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum (Tabel 30).
Tabel 30. Pengaruh penggunaan kotoran ayam ras petelur
dalam ransum terhadap produksi telur dan efisiensi
penggunaan ransum pada ayam Lohmann Brown fase
peneluran pertama
Variabel Kotoran Ayam Dalam Ransum
0% 12,5 % 25,0 %
Hen-day Production (%) 64,40 67,80 65,00
Konsumsi Ransum (gr/ekor/hari) 96,40 95,10 107,80
Feed Conversion Ratio (ransum/berat telur) 2,41 2,22 3,00

Sumber : Muller (l980)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 99


Apabila dalam proses pengolahan kotoran ayam baik, dan
di dalam penyusunan ransum dikombinasikan dengan bahan
lain yang cukup baik kandungan nutrisinya, maka penggunaan
kotoran ayam dalam ransum unggas dapat mencapai 30 % dari
total ransum.
Hasil penelitian yang dilakukan Santoso et al. (2004)
melaporkan bahwa peningkatan energi dan BETN kotoran
ayam disebabkan karena pembentukan gula yang berasal dari
pemecahan serat kasar. Selain itu, penurunan kadar protein dalam
kotoran mungkin juga menyediakan sejumlah substrat untuk
mensintesis karbohidrat. Ini merupakan hasil yang mengejutkan,
sebab biasanya proses fermentasi menurunkan kadar energi
bahan pakan (Hanafiah, 1995; Susanawati, 1998).
Tabel 31 menyajikan kandungan nutrisi dari kotoran ayam
yang berasal dari lantai “cage” dan kotoran ayam yang berasal
dari lantai “litter”.

Tabel 31. Kandungan zat makanan pada kotoran ayam ras


Nutrisi Tinja Ayam
Cage Litter
Protein kasar % 28,70 25,30
Lemak kasar % 1,70 2,30
Serat Kasar % 14,90 18,60
Ca % 2,70 2,50
P total % 2,20 1,60
Metionin % 0,12 0,13
Lysin % 0,39 0,49
Triptofan % 0,53 -
Treonin % 0,35 0,52
Isoleusin % 0,36 0,58
Histidin % 0,23 0,20
Valin % 0,46 0,74
Leusin % 0,80 0,70
Arginin % 0,38 0,43
Fenilalanin % 0,35 0,49

Sumber : Rasyaf (2002)

100 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Pada Tabel 32 tersaji hasil penelitian Santoso et al. (2004),
di mana kotoran ayam petelur difermentasi dengan 0 ml (P0);
1,2 ml (P1); 2,4 ml (P2); 3,6 ml (P3); 4,8 ml (P4); atau 6 ml (P5)
EM4 per 100 gram kotoran. Tepung kotoran disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf selama 2 jam pada suhu 105 °C dengan
tekanan 1 atmosfer. Mikroorganisme efektif diaktifkan dengan
memasukkannya ke dalam larutan gula (1,2 g; 2,4 g; 3,6 g; 4,8 g;
atau 6 g per 100 aguadest untuk masing P1, P2, P3, P4, atau P5) dan
diinkubasi selama 72 jam pada kondisi anaerob. Tepung kotoran
kemudian ditambahi larutan yang berisi mikroorganisme efektif
yang telah diaktifkan sampai kadar airnya mencapai 60 %. Kotoran
kemudian difermentasikan selama 4 hari pada kondisi anaerob
pada suhu ruang. Kotoran yang telah difermentasi kemudian
dikeringkan pada suhu 55 °C selama 2 hari, digiling, dan disimpan
pada kantong plastik tertutup sebelum digunakan.

Tabel 32. Perubahan komposisi kimia kotoran ayam petelur yang


difermentasi dengan EM41 (%)

Energi
Perlakuan2 Protein Serat Lemak Air Abu BETN
(kkal/kg)
P0 37,1a 26,2a 0,7a 5,4a 11,1a 19,5a 2330,8a
P1 34,2b 20,3b 0,7a 6,0 13,0ab 25,6b 2463,5ab
P2 33,2c 14,4c 0,9b 5,5a 17,5ab 32,7c 2559,5bc
P3 32,7d 12,2c 0,8ab 5,7a 17,2ab 30,4c 2599,1bc
P4 31,7c 9,7d 0,9b 5,8a 19,9b 32,1c 2696,9c
P5 30,6f 7,5d 0,9b 5,8a 20,4b 34,8c 2747,7c

Keterangan : Santoso et al. (2004)


• P0 = 0 ml EM4, P1 = 1,2 ml EM4, P2 = 2,4 ml EM4, P3 = 3,6 ml EM4,
P4 = 4,8 ml EM4, P5 = 6 ml EM4 100 gram kotoran ayam.

Komponen nitrogen dalam kotoran ayam terutama dalam


bentuk asam urat dan amoniak (Santoso et al., 1999). Untuk
meningkatkan nilai senyawa nitrogen dalam kotoran, maka

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 101


senyawa tersebut harus diubah menjadi asam amino atau protein
mikroba.
Penurunan kadar protein menunjukkan bahwa EM4 (yang
terutama mengandung Lactobacillus sp.) kurang efektif untuk
mensintesis protein mikroba dari senyawa nitrogen dalam
kotoran. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat pelepasan
nitrogen selama fermentasi. Telah diketahui bahwa fermentasi
oleh bakteri asam laktat menurunkan kadar protein bahan pakan
(Ohshima et al.,1997). Untuk memperbaiki kadar protein kotoran,
EM4 sebaiknya dikombinasikan dengan mikroorganisme efektif
lainnya. Handayani (1997) menemukan bahwa fermentasi kotoran
ayam pedaging dengan ragi tape meningkatkan kadar protein
kotoran.
EM4 sangat efektif untuk memecah serat kasar dalam
kotoran ayam. EM4 diduga menghasilkan sejumlah besar enzim
yang mampu memecah serat kasar terutama selulase. Keuntungan
penggunaan Lactobacillus untuk memecah serat kasar adalah
bahwa bakteri tidak menghasilkan serat kasar dalam aktivitasnya,
sehingga mereka lebih efektif dalam menurunkan kadar serat
kasar bahan pakan jika dibandingkan dengan ragi atau kapang
(Hanifah, 1995; Pasaribu et al., 1998).
Kadar lemak yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh
meningkatnya sintesis asam lemak. Penurunan serat kasar dan
protein diduga meningkatkan ketersediaan substrat untuk
merangsang sintesis asam lemak. Peningkatan sintesis asam
lemak merupakan faktor utama peningkatan kadar lemak suatu
bahan (Scorve et al.,1993).
Pada Gambar 12, tersaji sistem pemeliharaan ayam dengan
lantai “cage” sehingga kotoran ayam yang terkumpul di bawahnya
lebih mudah digunakan sebagai pakan ayam. Berbeda halnya
dengan kotoran ayam yang berasal dari lantai “litter”; kotoran
ayam bercampur dengan bahan penyusun “litter’ itu sendiri yang
umumnya bersumber dari sekam padi.

102 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Gambar 12. Kandang ayam berlantai “cage”; kotoran
ayam petelur yang tertampung sangat potensial sebagai pakan
alternatif

Teknologi pengolahan limbah merupakan salah satu


alternatif dalam penyediaan pakan dan bermanfaat pula dalam
mengurangi pencemaran lingkungan.
Peningkatan mutu pakan dengan menggunakan kotoran
ayam dapat dilakukan dengan metode “wastelage”, yaitu proses
pembuatan silase dengan memfermentasikan limbah pertanian
(“by-product”) yang ditambahi limbah ternak. Sutrisno et al. (2006)
menyatakan bahwa cara pengeringan ternyata menurunkan daya
hidup mikroba kotoran ayam (pengeringan dengan oven lebih
baik daripada matahari).

5.4 Bulu Ayam

Bulu ayam merupakan hasil ikutan usaha pemotongan


ayam. Tepung bulu komersial diolah dengan proses hidrolisis
dengan pemanasan dan tekanan uap dan merupakan sumber

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 103


protein yang baik dengan kuantitas protein dan energi relatif
tinggi. Bulu ayam tersedia cukup banyak, yang bersumber dari
rumah potong ayam. Namun, penggunaannya secara penuh
belum begitu banyak.
Tepung bulu ayam mudah didapat, tersedia dalam jumlah
yang cukup banyak, berkesinambungan, dan sebagai bahan pakan
ternak harganya relatif murah, tetapi penggunaannya sebagai
bahan pakan penyusun pakan ternak belum banyak dimanfaatkan.
Padahal, kandungan protein bulu ayam sangat tinggi, yaitu 85,60
% (Ochetim, 1993). Hal tersebut disebabkan karena rendahnya
kecernaan protein pada bulu ayam yang disebabkan oleh adanya
proses keratinisasi dan daya cernanya rendah (Han dan Parson,
1991). Kandungan keratinnya sebanyak 8,8% dari kandungan
proteinnya (Scott et al., 1982) dan kandungan asam amino lysin,
metionin, histidin, dan triptofannya rendah (William et al., 1982).
Komposisi zat makanan pada bulu ayam menurut Ochetim
(l993) adalah 85,60 % protein kasar, dengan komposisi asam amino
glisin 4,20 %; leusin 5,43 %; sistin 6,40 %; histidin 0,53 %; lisin 2,26
%; arginin 4,40 %; isoleusin 3,00 %; metionin 0,32 %; fenilalanin
3,18 %; prolin 6,81 %; serin 5,72 %; treonin 2,47 %; tirosin 1,79 %;
valin 4,13 %; asam aspartat 3,42 %; dan asam glutamat 6,90 %.
Menurut Fenita (2002) yang dikutip oleh Chaniago (2002),
tepung bulu ayam mengandung 64,10 % protein kasar; 1,31 %
lemak kasar; 1,09 % serat kasar; 0,21 % Ca; 0,20 % P. Kandungan
asam aminonya secara berturutan adalah 4,73 % arginin; 2,03
% isoleusin; 5,47 % leusin; 1,46 % lysin; 0,37 % metionin; 3,30
% penilalanin; 3,63 % treonin; 4,27 % valin; dan 2,21 % sistein.
Kelemahan utama tepung bulu ayam sebagai pakan (Gambar
13), yaitu rendahnya kandungan metionin sehingga perlu
adanya suplementasi metionin sintetis. Kelemahan lain tepung
bulu ayam adalah ketidakseimbangan asam aminonya (Moran
et al., 1966 dalam Ochetim, 1993). Menurut Sutradi (1979),
ketidakseimbangan beberapa asam amino akan mengubah pola
konsentrasi asam amino dalam tubuh. Apabila konsentrasi

104 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


asam amino berubah, maka selera makan menurun Akibatnya,
konsumsi pakan menurun.

Gambar 13. Bulu ayam broiler sebagai sumber protein

Nuraini et al. (2002) melaporkan bahwa tepung bulu ayam


mengandung bahan kering 92,34 %, protein kasar 80,42 %, lemak
kasar 7,79 %, serat kasar 0,88 %, dan abu 2,63 %. Agar kandungan
zat-zat makanan pada tepung bulu ayam menyamai tepung ikan,
maka harus ditambahkan dengan 25 % minyak kelapa (75 : 25).
Dilaporkan juga bahwa penggunaan tepung bulu ayam (75 %
tepung bulu ayam + 25 % minyak kelapa) pada level 2,5 %, 5 %, dan
7,5 % sebagai pengganti penggunaan tepung ikan dalam ransum
secara nyata dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan
berat badan, efisiensi penggunaan ransum, persentase karkas,
dan persentase lemak abdominal ayam. Akan tetapi, penambahan
enzim papain dalam ransum (0,03 – 0,06 %) ternyata dapat
memberikan hasil yang sama dengan kontrol. Ada kecendrungan
terjadi peningkatan efisiensi penggunaan ransum dan penurunan
jumlah lemak abdominal bila dibandingkan dengan kontrol

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 105


Lin et al. (2001) melaporkan bahwa mikroorganisme
Streptomyces fradiae ternyata dapat menghidrolisis bulu ayam
sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa keratinisasi pada bulu ayam dapat
diatasi dengan teknologi fermentasi. Menurut Koh et al. (l963),
enzim keratinolitik ternyata dapat diproduksi oleh strain
Aspergillus. Dilaporkan juga oleh Shih dan Lee (l993) dalam Lin et
al. (2001) bahwa tepung bulu ayam terfermentasi dengan Bacillus
licheniformis ternyata dapat meningkatkan kecernaan tepung bulu
ayam sehingga dapat digunakan dalam ransum sebagai pengganti
bungkil kedelai.
Tingginya kandungan asam amino sistin pada bulu ayam
dapat menutupi kekurangan asam amino metionin. Menurut
Sugahara dan Kubo (l992), ransum yang mengandung asam amino
arginin dan asam amino yang mengandung sulfur tinggi ternyata
dapat menurunkan retensi energi sebagai lemak, sehingga karkas
yang dihasilkan akan mengandung lemak rendah. Wessel (l992)
melaporkan bahwa pengukusan bulu ayam yang terlalu lama
ternyata dapat menurunkan kandungan asam amino metionin,
histidin, lisin, dan triptofan.
Nuraini at al. (2002) menyatakan bahwa salah satu cara
untuk meningkatkan penggunaan tepung bulu ayam adalah
penggunaan enzim dalam pakan yang bertujuan antara lain untuk
meningkatkan nilai gizi dari pakan tersebut. Penggunaan enzim
papain sebagai enzim proteolitik diketahui mampu memutuskan
rantai peptida kompleks menjadi asam-asam amino yang lebih
sederhana pada kondisi yang sesuai dengan fisiologi ayam.
Penggunaan enzim papain diharapkan dapat meningkatkan
daya cerna protein pakan dan mengoptimalkan kerja sistem
pencernaan serta absorpsi zat makanan dalam saluran pencernaan
ayam. Dilaporkan bahwa penambahan 0,03 % dan 0,06 % enzim
papain dalam ransum secara nyata dapat meningkatkan konsumsi
ransum, persentase karkas, pertambahan berat badan, dan
efisiensi penggunaan ransum ayam. Persentase lemak abdominal

106 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


ayam meningkat secara tidak nyata dengan semakin meningkat
kandungan enzim papain dalam ransum.
Papain sebagai enzim protease akan dapat mengkatalisis
molekul protein menjadi fragmen yang lebih kecil, di mana
peptidase menghidrolisis fragmen polipeptida menjadi asam-
asam amino sehingga dalam tubuh ayam akan lebih mudah
dicerna.

5.5 Isi Rumen
Salah satu limbah yang dihasilkan dari rumah potong hewan
(RPH) adalah isi rumen. Sebagai hasil buangan, volume isi rumen
mencapai 10 – 12 % dari berat hidup ternak. Pada prinsipnya, isi
rumen adalah bahan pakan yang tercerna dan tidak tercerna yang
belum sempat diserap oleh usus serta masih tercampur dengan
getah lambung, enzim-enzim pencernaan, dan mikroba rumen.
Cairan rumen yang diperoleh dari rumah potong hewan
kaya akan kandungan enzim pendegradasi serat dan vitamin.
Cairan rumen mengandung enzim α-amilase, galaktosidase,
hemiselulase, selulase, dan xilanase (Williams dan Withers,
1992).
Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi
polisakarida. Polisakarida dihidrolisis dalam rumen disebabkan
karena pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks
mikroorganisme, terutama selulase dan xilanase ( Trinci et
al., 1994). Isi rumen yang merupakan limbah rumah potong
hewan apabila tidak ditangani dengan baik dapat mencemari
lingkungan. Sebaliknya, isi rumen berpotensi sebagai feed additive.
Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam
pengelolaan silase jerami padi. Lebih lanjut, cairan rumen pada
onggok sebagai bahan baku penyusun ransum komplit dapat
meningkatkan kandungan VFA (volatile fatty acids) (Hardiyanto,
2001).
Hasil penelitian Nitis (l987) menunjukkan bahwa
penggunaan campuran isi rumen dengan tepung limbah ikan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 107


dengan perbandingan 37 % : 63 % sebagai sumber protein
konsentrat pada ransum ayam petelur pada level 15 – 35 %
ternyata menurunkan produksi telur. Hal ini duduga karena
tingginya kandungan serat kasar dan zat makanan yang tidak
tercerna. Kandungan zat makanan pada isi rumen dari ternak
sapi, kerbau, dan domba tersaji pada Tabel 33.

Tabel 33. Kandungan zat makanan dari isi rumen sapi, kerbau,
dan domba

Zat Makanan (%) Isi Rumen


Sapi Kerbau Domba
Air 8,80 – 14,63 7,52 8,28
Protein kasar 7,11 – 9,63 7,37 13,38 – 14,41
Serat kasar 24,80 – 35,71 23,10 24,38 – 33,98
Lemak kasar 1,23 – 2,62 1,72 3,59- 4,35
BETN 26,43 – 38,40 36,10 20,31 – 32,97
Kalsium 0,20 – 1,22 0,62 0,68
Fosfor 0,29 – 0,54 0,58 0,80 – 1,08
Energi (GE kkal/kg) 3118 - 3380 - 3577 – 3650

Sumber : Nitis (l987)

Isi rumen kaya akan zat makanan berupa asam-asam amino,


vitamin B-kompleks, serta mineral yang sangat bermanfaat bagi
ternak. Selain itu, isi rumen mengandung serat kasar yang tinggi,
lignin, silika, dan energi termetabolisnya rendah. Kadang-kadang
ditemukan juga senyawa antinutrisi. Oleh karena itu, pemakaian
isi rumen sebagai pakan ternak sangat terbatas.
Salah satu bakteri yang terkandung dalam cairan rumen
adalah bakteri selulolitik. Isolasi bakteri selulolitik dari
cairan rumen dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Purnomohadi, 2006).
• Untuk mendapatkan bakteri selulolitik, dilakukan pemurnian
bahan dari cairan rumen dari ternak yang baru disembelih.
• Bakteri yang dominan terpilih dari proses ini adalah enam
macam isolat dari genus bakteri selulolitik yang bersifat

108 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


fakultatif (anaerob), yaitu Cellulomonas, Cytophaga, Bacillus,
Lactobacillus, Acidothermus, dan Cellvibrio.
• Keenam genus bakteri tersebut kemudian dikembangkan
untuk digunakan sebagai inokulum.
• Cara pembuatan inokulum adalah stok bakteri pada media
miring ditambahi aquadest steril 5 ml, divorteks selama 1
menit untuk membuat suspensi bakteri dari media miring
tabung untuk selanjutnya dituang pada 45 ml media cair
Czapek Modification.
• Inkubasi dengan suhu kamar pada sacker selama 2 hari.
• Suspensi bakteri 50 ml pada media cair Czapek Modification
dimasukkan ke dalam 450 ml cairan carboxil metil cellulose
(CMC) yang telah ditambah malt ekstrak.
• Inkubasi dengan suhu kamar selama 2 hari.
• Suspensi siap diinokulasikan pada bahan pakan (jerami
padi)

5.6 Limbah Ternak Lainnya


Bahan lain yang berpotensi untuk digunakan sebagai
pakan ternak adalah limbah rumah pemotongan ternak berupa
campuran tulang dan sisa daging yang masih melekat (meat and
bone meal). Untuk produk luar negeri, kandungan protein kasar
bahan pakan ini dapat mencapai 55 – 60 %. Bahan pakan ini sangat
bagus untuk sumber mineral kalsium dan fosfor. Penggunaannya
dalam ransum unggas umumnya berkisar antara 2,5 – 10 %.
Dalam suatu usaha breeding penetasan yang kapasitas
setiap minggunya dapat mencapai 10.000 butir telur, akan banyak
sekali limbah penetasan yang dihasilkan. Limbah penetasan ini
dapat berupa telur yang tidak ada tunasnya (setelah tiga hari
seleksi), telur dengan tunas tetapi gagal menetas, dan kulit telur
itu sendiri. Umumnya limbah penetasan telur ini dijadikan
tepung dan sangat bagus sebagai bahan pakan sumber mineral
kalsium dan fosfor.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 109


110 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
VI. JERAMI

6.1 Potensi Jerami


Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di
dunia. Posisi Indonesia terletak pada garis khatulistiwa sebagai
kumpulan dari ribuan pulau-pulau kecil (archipelago). Keadaan
alam seperti ini menghasilkan iklim yang sangat mendukung
bagi kelangsungan hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan.
Kondisi tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai negara
agraris dan maritim yang sangat subur. Indonesia sebagai negara
agraris memiliki potensi yang sangat besar dalam sektor pertanian.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjadikan pertanian
sebagai komoditas usaha dan profesi. Kebutuhan akan pangan
dalam negeri dapat dipenuhi sebagian oleh sektor pertanian.
Produktivitas pertanian tanaman pangan di Indonesia setiap
tahunnya.
Terkait dengan itu, setiap panen raya pertanian tanaman
pangan di Indonesia ini selalu membawa hasil sampingan
atau limbah pertanian yang cukup besar pula. Setiap tahunnya
dihasilkan limbah pertanian yang sangat berlimpah hingga

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 111


mencapai jutaan ton. Limbah pertanian ini terdiri atas jerami padi,
daun jagung, batang jagung, daun kedelai, daun kacang tanah,
dan ubi kayu. Jerami padi merupakan limbah pertanian terbesar
dengan jumlah sekitar 20 juta ton per tahun. Sebagian besar jerami
padi tidak dimanfaatkan, karena selalu dibakar setelah proses
pemanenan. Di lain pihak, sektor peternakan membutuhkan
makanan ternak (pakan) yang harus tersedia sepanjang waktu.

6.2 Jenis-Jenis Jerami


Jerami sudah tak asing lagi bagi petani peternak di
Indonesia. Hal ini karena ketersediaannya cukup melimpah
sepanjang tahun, terutama pada saat panen raya padi tiba. Jerami
tersebut dimanfaatkan sebagai campuran atau makanan ternak
jika persediaan hijauan segar sudah tak mencukupi kebutuhan
untuk konsumsi ternak.
Kendala keterbatasan jerami sebagai pakan adalah minimnya
kandungan nutrisi dari limbah pertanian tersebut. Berdasarkan
realita yang ada, jerami umumnya mengandung energi netto
yang rendah per satuan berat. Kadar seratnya tinggi, yaitu dalam
keadaan kering mengandung serat kasar lebih dari 10 % sehingga
nilai hayati jerami padi sangat rendah. Daya cernanya sekitar 40
%, jumlah konsumsinya di bawah 2 % bobot badan ternak, dan
kadar proteinnya 3 – 5 %. Namun, untuk hidup ternak ruminansia
dibutuhkan bahan hijauan pakan dengan nilai kecernaan minimal
50 – 55 % dan kandungan protein kasar sekitar 8 % (Djajanegara,
1983).
Jenis jerami dan kandungan nutrisi yang terdapat di
dalamnya tersaji pada Tabel 34. Apabila dilihat dari kandungan
protein kasarnya, maka jerami kacang kedelai, kacang tanah,
kacang hijau, dan kacang otok sangat bagus digunakan sebagai
sumber protein untuk ternak ruminansia.
Tabel 34. Jenis jerami dengan kandungan nutrisinya

112 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Nutrien
Nama Bahan
BK (%) PK (%) LK (%) SK (%) TDN (%)
Jerami Padi 31,867 5,211 1,166 26,779 51,496
Jerami Kacang Kedelai 30,389 14,097 3,542 20,966 61,592
Jerami Kacang Tanah 29,084 11,314 3,319 16,616 64,504
Jerami Kacang Hijau 21,934 15,319 3,593 26,899 55,522
JeramiKacangPanjang 28,395 6,941 3,334 33,491 55,280
Jerami Kacang Otok 15,516 16,058 3,925 38,080 48,313
Jerami Kulit Kedelai 61,933 7,998 5,071 38,672 56,129
Jerami Jagung Segar 21,685 9,660 2,209 26,300 60,237
Sumber : Analisis Proksimat Lab. Lolit Sapi Potong Grati Pasuruan.
Rendahnya tingkat kecernaan jerami padi, karena ikatan
yang terjadi pada jerami padi (selulosa dan hemiselulosa) ini sulit
dipecah oleh mikroba rumen. Karena itu, jerami yang dikonsumsi
ini pun sulit dicerna dan banyak yang tidak dimanfaatkan oleh
pencernaan ruminansia. Dengan melihat komposisi zat nutrisi
jerami yang tergolong marginal itu, maka untuk mencapai hasil
optimal dalam penggemukan ternak ruminansia, perlu juga
ditambahkan makanan penguat (konsentrat).

6.3 Jerami Sebagai Pakan Ternak


Selama ini di Bali ternak terutama jenis ruminansia
dipelihara hanya dengan diberi pakan berupa rumput dan hijauan
segar saja. Namun, dengan semakin terbatasnya lahan, persoalan
pakan ternak menjadi sebuah kendala dalam pemenuhannya.
Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi Bali
tahun 2004, luas areal sawah (luas tanam) tahun 2004 adalah
seluas 153.121 ha. Luas panen tanaman padi selama satu tahun
dari bulan Januari sampai Desember tahun 2004 adalah sebesar
144.146 ha. Tiap hektar tanaman padi dapat menghasilkan 3,86
ton bahan kering jerami padi atau setara dengan 9,65 ton jerami
segar. Dengan demikian, dalam satu tahunnya Bali menghasilkan
kira-kira 1.340.999,25 ton jerami segar/tahun. Kalau dikonversikan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 113


dengan kebutuhan ternak terutama sapi dengan konsumsi berat
kering sebanyak 10 kg/ekor/hari atau 25 kg segar/ekor/hari, maka
hal ini akan dapat memenuhi kebutuhan sekitar 152.438,27 ekor
ternak sapi.
Keadaan tersebut baru menggambarkan ketersediaan salah
satu jenis jerami saja, yaitu jerami padi. Bagaimana halnya dengan
jenis jerami yang lainnya yang jumlahnya juga cukup besar. Kalau
potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, maka akan
dapat diperoleh kontribusi yang besar terhadap pengembangan
ternak ke depannya. Dengan memanfaatkan jerami sebagai pakan
ternak, akan dapat ditingkatkan daya tampung ternak, serta
ditingkatkan efisiensi usaha, karena tidak diperlukan investasi
berupa lahan untuk penanaman hijauan pakan ternak.

6.3.1. Jerami Padi (Oriza sativa)


Jerami padi (Oriza sativa) adalah salah satu contoh limbah
pertanian yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan
hijauan untuk ternak ruminansia. Jerami padi merupakan limbah
pertanian yang paling banyak, yaitu sekitar 43 % dari seluruh
produksi limbah pertanian (Soejono, 1996), sehingga mempunyai
potensi yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan akan
hijauan pakan di Indonesia terutama sebagai sumber energi.
Jerami padi adalah limbah dari pemanenan tanaman padi
yang berupa daun atau batang tanaman padi setelah dipanen atau
diambil gabahnya. Yang dimaksud dengan jerami padi adalah
bagian batang tumbuh yang setelah diambil bulir-bulir buah
bersama atau tidak dengan tangkainya dikuranggi dengan akar
dan bagian batang yang tertinggal setelah disabit kurang lebih 10
- 20 cm di atas tanah.
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak masih sangat
terbatas, yaitu sekitar 35 %. Produksi jerami padi secara nasional
di tahun 1991 adalah sebanyak 39.069.772 ton bahan kering.
Apabila jerami padi tersebut dimanfaatkan dengan baik dan
tepat, maka akan dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak

114 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


ruminansia sebanyak 13 – 14 juta unit ternak (UT). Menurut
Komar (l984), pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak di
Indonesia baru berkisar antara 31 - 39 %, sedangkan yang dibakar
atau yang dikembalikan ke tanah sebagai pupuk sebesar 36 – 62
%, dan sekitar 7 - 16 % digunakan untuk keperluan industri.
Jumlah produksi jerami padi di Bali mencapai 4,66 ton
bahan kering per hektar (BPS Propinsi Bali, 2000). Jerami padi
yang dihasilkan selama ini sebagian besar dibakar dan sebagian
kecil dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kompos.
Pada musim kemarau di daerah tertentu di Bali, jerami padi
dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Dari data limbah pertanian di Jawa dan Bali, diperoleh
limbah pertanian rata-rata 28,7 ton/tahun, dan sebanyak 67,20
% berupa jerami padi (Anon., 2002). Walaupun jumlahnya
berlimpah, pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak masih
sangat terbatas, karena nilai gizinya rendah.
Anon. (2005) menyatakan bahwa kandungan protein
kasar jerami padi adalah sebesar 4,5 %, lemak kasar 1,3 %, bahan
ekstrak tanpa nitrogen 42 %, abu 16,50 %, dan bahan keringnya 80
%. Selain itu, kecernaan jerami padi juga rendah, yaitu berkisar
antara 30 – 40 % yang disebabkan karena dinding sel jerami padi
sudah mengalami lignifikasi bertaraf lanjut. Di samping itu, juga
sudah terjadi ikatan kompleks antara selulosa dan hemiselulosa
dengan lignin menjadi lignoselulosa dan lignohemiselulosa
yang sangat sulit dicerna oleh mikroba rumen. Dilaporkan juga
bahwa kandungan selulosa jerami padi adalah sebesar 33 % dan
hemiselulosanya 26 % yang dapat dimanfaatkan oleh ternak
ruminansia sebagai sumber energi, tetapi dengan adanya ikatan
tersebut menjadi sulit dicerna oleh mikroba rumen.
Di negara-negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia, penerapan bioteknologi pada pakan serat bermutu
rendah, seperti jerami misalnya, belum begitu populer. Menurut
Rachim (2003), produksi jerami padi di Bali sangat tinggi, yaitu
berkisar antara 320 – 400 ribu ton jerami padi per musim panen.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 115


Dapat dibayangkan berapa ribu ton ketersediaan jerami padi
di Bali khususnya per tahun apabila dalam setahunnya ada
tiga kali musim panen. Pada Gambar 14, tersaji cara petani
peternak menyimpan jerami untuk pakan ternak tanpa sentuhan
bioteknologi.

Gambar 14. Sistem penyimpanan jerami tanpa menerapkan


teknologi

Jerami umumnya dibakar atau disimpan begitu saja di


bawah pohon tanpa perlakuan apa pun juga. Padahal, dengan
sedikit sentuhan teknologi, jerami yang merupakan pakan serat
bermutu rendah akan meningkat nilai gunanya bagi peningkatan
produksi ternak.
Sebagai bahan pakan, jerami padi memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya: tingginya kadar komponen serat
(selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dan silika. Di samping itu,
kandungan protein kasarnya hanya berkisar antara 3 – 5 % dari
bahan kering, kandungan mineral kalsium dan fosfornya masing-
masing 0,41 % dan 0,29 %, padahal pemberian yang aman untuk
ternak ruminansia sekitar 1,0 % Ca dan 0,75 % P dari bahan kering
ransum (Sutrisno, 1988).
Selain itu, jerami padi memiliki sifat voluminous dan
memakan tempat (“bulky”), tingkat konsumsi (voluntary feed
intake) rendah, dan nilai nutrisinya juga rendah, karena kadar

116 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


lignin dan silikanya tinggi dalam dinding sel sehingga sulit
dicerna oleh mikroba rumen, serta kandungan nitrogen dan
energi termetabolismenya rendah (Van Soest, 1985).
Jakson (1978) menyatakan bahwa serat kasar pada jerami
padi mengandung silika dalam gugus organik sebanyak 12 - 16 %
dari bahan kering. Silika merupakan kristal yang terdapat dalam
dinding sel dan mengisi ruang antarsel. Kristal silika ini tidak larut
dalam cairan rumen, sehingga menjadi hambatan bagi mikroba
rumen dan enzim yang dihasilkan untuk mencerna jerami padi
(Sutrisno, 1988). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa faktor lain yang
menghambat daya cerna jerami padi adalah adanya kandungan
lignin yang cukup tinggi yang tidak dapat dihancurkan oleh
mikroba rumen.
Sapi yang diberi 100 % jerami padi tanpa pemberian pakan
lain atau yang diberi jerami tanpa sentuhan teknologi (Gambar
14) akan mengalami terhambatnya pertumbuhan, karena
kandungan nutrisi yang ada pada jerami padi tanpa penolahan
tidak dapat mencukupi kebutuhan untuk hidup pokok maupun
untuk produksi. Pemberian dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan kematian, sehingga sentuhan teknologi pada jerami
sebelum diberikan pada ternak sangat diperlukan.

Gambar 14. Sapi yang diberi jerami padi tanpa pengolahan

Adanya kristalisasi dari selulosa dan hemiselulosa dapat

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 117


menghambat kerja enzim yang mencerna dinding sel jerami padi.
Kecernaan yang rendah ini merupakan akibat struktur jaringan
penyangga tanaman yang sudah tua, sehingga sudah mengalami
proses lignifikasi yang sudah lanjut dan akibatnya lignoselulosa
dan lignohemiselulosa sulit untuk dicerna (Djajanegara, 1983).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susila dan Partama
(2005) melaporkan bahwa sapi yang diberi pakan 23 % jerami padi
amoniasi urea dan 77 % konsentrat (sapi perlakuan A) ternyata
nitrogen teretensi yang dihasilkan adalah 37,45 g/ekor/ hari (Tabel
35), sedangkan nitrogen teretensi pada sapi perlakuan B (sapi yang
diberi 23 % jerami padi amoniasi urea dan 77 % konsentrat + 0,05
% ammonium sulfat) 3,44 % lebih tinggi daripada sapi perlakuan
A. Lebih lanjut, sapi perlakuan C (sapi yang diberi pakan 23 %
jerami padi amoniasi urea dan 77 % konsentrat + 0,03 % mineral
pignox) adalah 16,79 % lebih tinggi daripada nitrogen teretensi
pada sapi yang mendapat perlakuan A. Pada sapi perlakuan A,
nilai biologis (BV) yang dihasilkan adalah 66,08 %. Sedangkan
nilai biologis yang dihasilkan pada sapi perlakuan B dan C
masing–masing mengalami peningkatan sebesar 7,43% dan 8,20%
jika dibandingkan dengan sapi perlakuan A.

Tabel 35. Utilisasi nitrogen pada sapi Bali penggemukan yang


diberi ransum berbasis jerami padi amoniasi urea
disuplementasi mineral
Perlakuan
Peubah SEM
A B C
Konsumsi N (g) 89,66 86,36 95,29 1,26
N feses (g) 29,47 28,31 30,20c 0,22
N urin (g) 22,86 19,31 21,35 0,82
N tercerna (g) 60,31 58,06 65,09 1,16
N teretensi (g) 37,45 38,74 43,74 1,39
(NNU) (%) 42,00 45,00 46,00 1,24
Nilai Biologis (BV) (%) 66,08 66,69 67,16 1,53
Sumber : Susila dan Partama (2005)

118 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Dari segi kuantitas, jerami padi yang dapat dimakan oleh
ternak sapi, kurang dari 2 % bobot badan. Hal ini disebabkan
oleh laju pergerakannya di dalam saluran pencernaan sangat
lambat (Sutardi, 1980). Kecepatan degradasi sangat berpengaruh
terhadap mekanisme konsumsi dan jumlah konsumsi. Bila laju
degradasi cepat, maka jumlah konsumsi menjadi meningkat
dan sebaliknya, bila laju degradasi lambat maka konsumsi akan
sedikit (Komar, 1984).

6.3.2. Jerami Bawang Putih (Allium sativum)


Bawang merupakan tanaman umbi-umbian, termasuk
genus Allium atau Liliaceae, yang terbagi atas kelas: bawang merah
(Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), perai (leeks) dan selada
(chives) (Sudibia, l997). Tanaman itu banyak digunakan sebagai
bahan makanan yang penting untuk penambah rasa dan juga
banyak digunakan sebagai tanaman obat yang berkhasiat untuk
menyembuhkan berbagai jenis penyakit karena mengandung
suatu zat kimia yang sangat luar biasa khasiatnya yaitu : allyl
sulfida aktif yang disebut dengan propenecysteine sulphoxide.
Senyawa fitokimia pada bawang putih tidak termasuk zat
gizi dan fitokimia yang terdapat pada bawang putih adalah allyl
sulfide yang mempunyai khasiat antara lain : sebagai antikanker,
merangsang sistem imun, mengatur tekanan darah, dan
menurunkan kolesterol tubuh (Karyadi, l997).
Seperti terlihat pada Gambar 15, jerami atau daun bawang
putih ternyata dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas.
Akan tetapi, sebelum digunakan terlebih dahulu daun bawang
putih tersebut harus dijadikan tepung sehingga akan mudah
tercampur dengan bahan pakan lainnya.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 119


Gambar 15. Jerami bawang putih berkhasiat menurunkan lemak
dan kolesterol tubuh unggas

Bawang putih juga mempunyai kemampuan mencegah


pembentukan bahan karsinogen kuat, yang lebih baik jika
dibandingkan dengan bawang perai atau bawang merah
(Anon., l997). Lebih jauh, dilaporkan bahwa bawang putih juga
mengandung S-allyl cysteine yang dapat menekan pembentukan
bahan karsinogen lainnya, serta dapat mengurangi kemampuan
N-nitrosomorfolin mengubah DNA.
Tumbuhan bawang putih mempunyai mekanisme khusus
dalam pembentukan senyawa bersulfur, dan bau khas dari sulfur
ini baru timbul setelah bawang terluka jaringannya, misalnya
karena dikupas, dipotong, atau tergores (Wijaya, l997). Dilaporkan
juga bahwa pada bawang utuh hanya terdapat prekursor dari
senyawa bersulfur yang kurang aktif. Dengan penanganan yang
tepat, enzim seperti alliinase pada bawang putih akan memicu

120 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


perubahan komponen prekursor menjadi berbagai senyawa sulfur.
Senyawa inilah yang kemudian dilaporkan berkhasiat sebagai
antikolesterol, antitrombotik, antihiperlipidemia, antidiabetes,
dan antikanker.
Selain senyawa bersulfur, bawang putih juga mengandung
senyawa lain yang diduga juga berkhasiat, seperti selenium dan
flavonoid. Hasil analisis laboratorium dari jerami bawang putih
lokal menunjukkan bahwa jerami bawang putih mengandung
bahan kering 85,65 %, protein kasar 7,03 %, serat kasar 46,92 %,
dan energi bruto 3662 kalori/g bahan (Bidura dan Suwidjayana,
l997).
Senyawa allicin termasuk disulfida oksid tak jenuh. Rantai
samping dari allyl tak jenuh ini mudah direduksi menjadi rantai
propyl jenuh dan proses reduksi ini mengakibatkan penurunan
NAD dan NADP dalam tubuh. Selain itu, allicin juga dianggap
mampu berikatan dengan gugus -SH yang merupakan bagian
fungsional dari Co-A dalam proses pembentukan kolesterol
tubuh. Bidura dan Suwidjayana (l997) melaporkan bahwa
penggunaan tepung jerami bawang putih dalam ransum pada
tingkat 7 %, ternyata dapat meningkatkan warna kuning telur dan
menurunkan kadar kolesterol telur ayam.
Hasil penelitian Mahardika dan Bidura (2003) menunjukkan
bahwa penggunaan 3 % dan 6 % tepung jerami bawang putih
dalam ransum ternyata dapat meningkatkan berat potong, berat
karkas, persentase karkas dan persentase daging karkas, serta
menurunkan persentase lemak subkutan termasuk kulit karkas
itik. Uraian lebih rinci hasil penelitian tersebut tersaji pada Tabel
36.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 121


Tabel 36. Pengaruh penggunaan tepung jerami bawang putih
(Allium sativum) dalam ransum terhadap bobot
dan komposisi fisik karkas itik Bali umur delapan
minggu
Level Jerami Bawang Putih dalam
Ransum
Variabel
0% 3% 6%
Berat potong (g) 1270,l7d* 1340,33b* 1390,00a*
Berat karkas (g) 724,17c 776,50b 810,33a
Persentase karkas (%) 57,08c 57,9lb 58,35a
Komposisi fisik karkas (%)
• Daging 40,40a 40,65a 41,67b
• Tulang 25,74a 25,74a 25,57a
• Lemaksubkutantermasukkulit 33,86a 33,62a 32,76b
Konsumsiransum (g/ekor/6minggu) 5278,50a 5322,83b 5341,00b
Konsumsiseratkasar(g/ekor/6minggu) 242,8ld 29l,69c 327,40b
Sumber : Mahardika dan Bidura (2003)

* Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama, berbeda


nyata (P<0,05)

Jin dan Konar (l98l) menyatakan bahwa bawang putih


mempunyai efek menurunkan kadar gula darah dan juga
mempunyai efek menurunkan tekanan darah kelinci (Malik dan
Siddique, l98l). Augusti (l977) menyatakan bahwa pengaruh
bawang putih terhadap lipida darah mungkin disebabkan oleh
senyawa yang mengandung sulfur yang terdapat di dalamnya
seperti allicin yang kadarnya memang tinggi pada bawang putih.
Bidura (2006) mengkombinasikan penggunaan tepung daun
katuk dengan tepung jerami bawang putih pada ayam broiler
tersaji pada Tabel 37. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan
bahwa penggunaan tepung daun katuk, bawang putih, dan
kombinasinya dalam ransum ternyata dapat meningkatkan
pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum ayam
broiler umur 2 – 7 minggu. Penggunaan tepung daun bawang
putih lebih efektif dalam meningkatkan pertambahan berat badan

122 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


ayam broiler umur 2 – 7 minggu jika dibandingkan dengan daun
katuk atau kombinasi keduanya.

Tabel 37. Penggunaan tepung daun katuk, bawang putih, dan


kombinasinya dalam ransum terhadap penampilan
ayam broiler umur 2 – 7 minggu

Penggunaan Tepung Daun Katuk dan Bawang


Putih
1,5 %
3%
Variabel 3% katuk+1,5
Kontrol bawang
katuk %bawang
putih
putih
Berat badan awal (g) 161,00a 162,17a 161,83a 162,83a
Berat badan akhir (g) 1659,33c 1789,83b 1887,50a 1788,67b
Pertb. berat badan (g/5 mg) 1498,33c 1627,67b 1725,67a 1625,83b
Konsumsi protein (g) 704,07a 764,13b 763,53b 746,63b
Feed Conversion Ratio (FCR) 2,34a 2,35a 2,22b 2,28b
Sumber : Bidura (2006)

6.3.3. Jerami Eceng Gondok (Eichornia crassipes)


Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tanaman
pengganggu (gulma) perairan yang sangat sulit diberantas.
Pertumbuhan eceng gondok sangat cepat sehingga cukup
potensial digunakan sebagai bahan pakan ternak. Upaya tersebut
merupakan salah satu alternatif penanganan limbah perairan dan
untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan dan sekaligus
dapat menunjang usaha peternakan.
Di Rawa Pening, Jawa Tengah misalnya, produksi eceng
gondok mencapai 255 ton/tahun/ha. Pertumbuhan eceng gondok
di Rawa Pening berkisar antara 10 - 23 % setiap minggunya,
sehingga pengendalian perlu dilakukan setiap minggu supaya
populasinya menurun (Soedarmadji, 1991).
Umumnya pemberian eceng gondok pada itik dapat dalam
keadaan segar maupun dalam bentuk tepung. Akan tetapi,

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 123


penggunaannya dalam ransum ayam, terlebih dahulu harus
diolah menjadi tepung eceng gondok. Sebaiknya eceng gondok
yang digunakan sebagai pakan ternak dipotong lebih kurang 5 cm
dari atas akarnya, sebab dalam proses penyimpanan, bagian akar
sangat sulit kering dan cepat mengalami pembusukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung
eceng gondok dalam ransum pada tingkat 20 – 30 % ternyata
menurunkan konsumsi ransum dan pertambahan berat badan
ayam buras umur 0 – 12 minggu. Tabel 38 menyajikan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Riana dan Bidura (2002). Dari
tabel tersebut, ternyata penggunaan eceng gondok pada tingkat
10 – 30 % dalam ransum menurunkan konsumsi ransum dan
pertambahan berat badan ayam.

Tabel 38. Pengaruh tingkat pemberian tepung eceng Gondok


(Eichornis crassipes) dalam ransum terhadap
penampilan ayam buras umur 0 – 12 minggu
Tepung Eceng Gondok (%)
Variabel 0 10 20 30
Konsumsi ransum (g/ekor) 1900a 1756a 1431b 951c
Berat badan akhir (g/ekor) 492a 450a 312b 229c
Pertmb.brt.Badan(g/ekor/12minggu) 463a 421a 283b 200c
Feed Conversion Ratio (FCR) 4,11a 4,18a 5,09a 4,78a
Sumber : Riana dan Bidura (2002)

Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan pakan ternak


unggas dihadapkan pada kendala antara lain rendahnya kualitas
nutrisi enceng gondok, yang dapat dilihat dari kandungan protein
kasar yang rendah dan kandungan serat kasarnya yang tinggi.
Soewardi dan Utomo (1975) mengemukakan bahwa kandungan
protein eceng gondok adalah 11,95% sedangkan serat kasarnya
sebesar 37,10 %. Adapun komposisi zat makanan eceng gondok
tersaji pada Tabel 39. Kelemahan sebagai pakan unggas adalah
kandungan serat kasarnya yang tinggi (21,30%) dan kandungan

124 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


asam amino metioninnya rendah (Radjiman et al., l999).
Kualitas nutrisi eceng gondok dapat ditingkatkan melalui
pengolahan secara fisik, kimiawi, biologi, serta kombinasi
ketiganya. Usaha untuk meningkatkan kualitas nutrisi eceng
gondok dengan teknologi yang sederhana, efektif, murah, dan
mudah diterapkan oleh masyarakat peternak, adalah dengan
teknologi amoniasi dengan menggunakan urea. Hasil penelitian
membuktikan bahwa amoniasi dengan menggunakan urea dapat
meningkatkan kandungan protein kasar dan kecernaan bahan
pakan, dan sebaliknya menurunkan derajat ikatan lignoselulosa
dan lignohemiselulosa.

Tabel 39. Kandungan nutrisi Eceng Gondok (Eichornia crassipes)


Unsur Jumlah1)
Energi termetabolis Kkal/kg) 2096,922)
Protein kasar (%) 13,002)
Lemak kasar (%) 1,002)
Serat kasar (%) 21,302)
Kalsium (%) 2,533)
Fosfor (%) 0,253)
Arginin (%) 0,39
Histidin (%) 0,25
Isoleusin (%) 0,56
Leusin (%) 0,94
Lysin (%) 0,69
Metionin (%) 0,10
Fenilalanin (%) 0,61
Treonin (%) 0,56
Valin (%) 0,04
Keterangan :
1. Dihitung menurut standar Gopal dan Sharma (l981) dan
Radjiman et al. (l999)
2. Menurut Radjiman et al. (l999)
3. Menurut Kamal dan Murdhika (l983)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 125


6.3.4. Jerami Pucuk Tebu
Produksi pucuk tebu khususnya pada sentra-sentra
produksi tebu di pulau Jawa cukup banyak, yaitu 11 – 16 ton/
hektar. Namun demikian, penggunaannya sebagai pakan alternatif
masih kurang. Oleh karena itu, penerapan teknologi pengolahan
sangat diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang optimal
dari pucuk tebu (Gambar 16).

Gambar 16. Jerami pucuk tebu sangat potensial sebagai pakan


ternak ruminansia sebagai sumber energi

Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor telah memanfaatkan


jerami pucuk tebu dengan berbagai macam pengolahan untuk
pakan dasar ternak sapi. Dari hasil penelitian tersebut ternyata
pucuk tebu yang disajikan dalam bentuk pellet memberikan
hasil yang paling bagus jika dibandingkan dengan bentuk segar
maupun silase.
Sapi potong yang diberi pakan dasar pucuk tebu dalam
bentuk pellet dan disuplementasi konsentrat 1 % berat badan
mempu menghasilkan pertambahan berat badan per harinya
sebesar 0,80 kg (Tabel 40). Pertambahan berat badan harian tersebut

126 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


hampir 100 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemberian
pucuk tebu segar maupun silase pucuk tebu. Hal ini menunjukkan
bahwa proses memperluas permukaan bahan pakan dengan cara
menjadikan bahan pakan asal ke dalam bentuk tepung, akan
mempermudah enzim pencernaan maupun enzim mikroba
rumen untuk mendegradasi pakan tersebut. Pucuk tebu sebelum
dijadikan pellet, terlebih dahulu harus dijadikan tepung.

Tabel 40. Penggunaan pucuk tebu dalam berbagai bentuk sebagai


pakan sapi potong
Penambahan
Pertambahan Berat Badan
Bahan Bentuk Konsentrat
sapi (Kg/ekor/hari)
(% Berat Badan)
Segar 1% 0,40 – 0,50
Silase 1% 0,40 – 0,50
PucukTebu Wafer 1% 0,60 – 0,70
Pellet 1% 0,80
Sumber : Balitnak, Ciawi, Bogor (2004)

6.4 Pengolahan Jerami


6.4.1. Fermentasi Jerami
Secara umum, teknologi yang lazim digunakan dalam
pengolahan jerami khususnya jerami padi adalah teknologi
fermentasi dan amoniasi. Proses fermentasi menitikberatkan
proses perombakan struktur keras menjadi struktur yang lebih
lunak secara fisik, kimia, dan biologi sehingga bahan struktur
yang kompleks akan berubah menjadi lebih sederhana dan akan
mudah dicerna oleh ternak. Sebaliknya, proses amoniasi adalah
perombakan struktur kasar menjadi lunak dengan penambahan
urea dan terjadi proses urease sehingga nitrogen pada pakan akan
meningkat.
Pemanfaatan jerami padi yang difermentasi akan dapat
memberikan beberapa keuntungan antara lain :
1. mengurangi biaya pakan, khususnya dalam penyediaan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 127


hijauan sebagai pakan utama ternak ruminansia,
2. meningkatkan daya dukung lahan pertanian, karena beternak
ruminansia tidak harus menyediakan lahan sebagai tempat
tanaman hijauan makanan ternak;
3. dapat memberikan nilai tambah bagi petani padi, apabila suatu
saat nanti petani telah melihat peluang tersebut, yang artinya
jerami bukan lagi sebagai limbah yang mengganggu proses
produksi, melainkan sebagai produk yang menguntungkan;
dan
4. memberikan peluang baru kepada biro-biro jasa lainnya
apabila dikelola secara profesional, antara lain akan muncul
suatu bisnis atau usaha baru dalam pelayanan jasa seperti
prosesing dan pengangkutan jerami padi sebagai pakan
ternak sehingga sektor pertanian akan memberikan peluang
untuk menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Agro Inovasi Balai


Penelitian Ternak (Balitnak), ternyata untuk meningkatkan kualitas
nutrisi jerami padi, perlu dilakukan proses fermentasi terbuka
selama 21 hari. Dalam proses tersebut, diperlukan penggunaan
probiotik (Probion). Probion itu sendiri merupakan campuran
dari berbagai mikroorganisme yang dapat membantu pemecahan
komponen serat dalam jerami padi.
Penggunaan Probion, berguna sebagai pemacu proses
degradasi komponen serat dalam jerami padi sehingga akan
lebih mudah dicerna oleh ternak. Proses fermentasi terbuka ini
dapat dilakukan pada tempat terlindung dari hujan maupun
sinar matahari langsung. Proses pembuatan dibagi dalam dua
tahap, yaitu tahap fermentasi dan tahap pengeringan serta
penyimpanan.
Pada tahap pertama, jerami padi yang baru dipanen dari
sawah dikumpulkan pada tempat yang telah disediakan dan
diharapkan masih mempunyai kandungan air sekitar 60 persen.
Caranya, jerami padi segar yang akan dibuat menjadi jerami

128 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


padi fermentasi di timbun dengan ketebalan lebih kurang 20
cm. Selanjutnya, jerami itu ditaburi 2,5 kg probiotik serta 2,5
kg urea untuk setiap ton jerami padi segar. Tumpukan jerami
tersebut dapat dilakukan hingga ketinggian sekitar 3 m. Setelah
pencampuran dilakukan secara merata, campuran itu didiamkan
selama 21 hari agar proses fermentatif dapat berlangsung dengan
baik.
Tahap kedua adalah proses pengeringan dan penyimpanan
jerami pada fermentasi. Tumpukan jerami tersebut dikeringkan
di bawah sinar matahari dan dianginkan, sehingga cukup kering
sebelum disimpan pada tempat yang terlindung. Setelah proses
pengeringan tersebut, maka jerami padi fermentasi itu dapat
diberikan kepada ternak ruminansia, seperti sapi, kambing, dan
domba sebagai pakan pengganti rumput segar. Dengan cara
demikian, pemanfaatan hijauan pakan ternak dalam bentuk
jerami padi akan dapat dilakukan sepanjang tahun dan lebih
efisien dalam pemanfaatan waktu dan tenaga peternak.
Melalui proses fermentasi maka kualitas nutrisi, palatabilitas,
dan digestibilitas jerami dapat ditingkatkan. Perbandingan antara
kandungan nutrisi jerami segar dengan jerami yang terfermentasi
tersaji pada Tabel 41.

Tabel 41. Perbandingan kandungan nutrisi jerami segar dengan


jerami terfermentasi
Kandungan Nutrisi (%) Jerami Segar JeramiFermentasi
Air 59,16 10,17

Abu 24,50 19,87

Protein 4,3 9,03

Lemak 2,5 1,52

Serat Kasar 33,8 31,8

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 129


Inokulan yang bagus digunakan dalam proses fermentasi
jerami padi adalah Trichoderma sp. Aktivasi dan reproduksi
Trichoderma sp dapat dilakukan dengan menggunakan air biasa
yang bersih atau sudah dimasak dengan perbandingan (v/v) 1
bagian Trichoderma sp dan 200 bagian air. Selanjutnya, ditambahkan
10 % gula, 10 % urea, dan 10 % NPK, diaduk merata kemudian
diinkubasi selama 24 – 48 jam.
Pada tahap pertama, jerami padi yang baru dipanen dari
sawah langsung dikumpulkan pada tempat yang telah disediakan,
dan diharapkan masih mempunyai kandungan air sekitar 60 %.
Bahan yang digunakan dalam proses fermentasi adalah urea dan
inokulum (T. verideae). Jerami padi yang segar yang akan dibuat
menjadi jerami padi fermentasi ditimbun dengan ketebalan
kurang lebih 20 cm, selanjutnya di taburi dengan urea dan larutan
inokulum (Gambar 17).

Gambar 17. Alur Proses Pembuatan Jerami Padi (Balitnak, Ciawi,


Bogor, 2004)

Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor


penentu produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber
kerangka karbon, karbohidrat juga merupakan sumber energi
bagi mikroba itu sendiri (Tillman et al., 1998). Peningkatan
kecernaan bahan kering dan protein kasar ransum dengan adanya

130 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


biofermentasi jerami padi dengan kapang Starbio ternyata dapat
melunakkan dan memecah dinding serat jerami padi dan juga
mampu melepaskan pita-pita serat mikrofibrilnya, sehingga
struktur serat menjadi rapuh dan lebih terbuka.
Proses biofermentasi diharapkan akan merombak struktur
jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa, dan
penurunan kadar lignin. Kapang yang bersifat lignolitik juga
mampu mendegradasi lignin melalui pembentukan sekumpulan
miselia kemudian berkembang biak secara aseksual melalui spora
(Dhawale dan Katrina, 1993).
Kapang mempunyai kemampuan kuat untuk merombak
lignin secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidase
ekstraseluler berupa lignin peroksidase dan mangan peroksidase (Vallie
et al., 1992). Sistem kerja enzim peroksidase ekstraseluler adalah
dengan memisahkan serat dengan cara melunakkan dan memecah
dinding-dinding serat dan terkadang juga dengan melepaskan
pita-pita serat mikrofibrilnya (Totter, 1990). Reaksi degradasi
lignin oleh kapang adalah biokatalis ligninase yang mengkatalis
oksidasi cincin aromatik lignin untuk membentuk radikal kation
yang selanjutnya senyawa ini akan melepaskan ikatan-ikatan inti
pada cincin aromatik.
Melalui proses fermentasi, kandungan protein kasar jerami
padi meningkat secara nyata, yaitu dari 4,30 % menjadi 9,03 %.
Sebaliknya, kandungan lemak kasar dan serat kasarnya menurun
secara signifikan (Tabel 42)

Tabel 42. Komposisi zat makanan jerami segar dan jerami


fermentasi
Zat Makanan Jerami Segar Jerami Fermentasi
Air 59,16 10,17
Abu 24,50 19,87
Protein 4,30 9,03
Lemak 2,50 1,52
Serat kasar 33,80 31,80

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 131


Fahey dan Berger ( 1988 ) menyatakan bahwa karbohidrat non
struktural seperti pati akan dipecah menjadi maltosa yang segera
difermentasi oleh mikroba Saccharolitic. Spesies yang memecah
pati pada pakan adalah Bacteroides amylophyllus, Streptococcus
boviis, Succinimonas amylolytica, dan Succinivibrio dextriosolvens.
Dengan ransum yang kaya pati, maka produk akhirnya adalah
berupa asam lemak terbang dengan proporsi asam propionat
yang relatif lebih besar. Namun, pada ransum yang kaya akan
serat kasar, maka porsi produk akhirnya yang lebih besar adalah
asam asetat (Arora, 1989).
Mineral pada jerami padi khususnya masih terikat dengan
fitat maupun senyawa kompleks lainnya sehingga sangat sulit
tersedia bagi mikroba rumen maupun untuk ternak inang.
Ketersediaan mineral yang tinggi sebagai akibat kedua proses
tersebut menyebabkan aktivitas mikroba rumen meningkat,
yang berdampak pada peningkatan degradasi pakan berserat.
Hal senada dilaporkan oleh Lieberman dan Brunning (l990)
bahwa mineral ternyata dapat memacu aktivitas DNA dan RNA
polymerase. Kondisi ini akan dapat menciptakan keseimbangan
neurohormonal, sehingga aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroba rumen maupun ternak inang meningkat sesuai dengan
fungsinya masing-masing.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitnak Ciawi di Bogor
(2004) melaporkan bahwa melalui proses fermentasi, ternyata
kandungan nutrisi jerami padi meningkat secara signifikan (Tabel
43). Daya cerna jerami padi fermentasi meningkat dari 28 – 30 %
menjadi 50 – 55 %.

Tabel 43. Perubahan nilai nutrisi jerami padi setelah fermentasi


Jerami Padi Fermentasi
Parameter Jerami Padi (%)
(%)
Protein kasar 3,50 7,00
NeutralDetergentFibre(NDF) 80 77
Daya cerna 28 – 30 50 – 55
Sumber : Balitnak, Ciawi, Bogor (2004)

132 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Penggunaan Trichoderma virideae mampu meningkatkan
kecernaan bahan kering ransum, tetapi belum mampu
meningkatkan kecernaan protein kasar. Hal ini disebabkan karena
Trichoderma virideae yang digunakan sebagai inokulan adalah
mikroorganisme dari golongan jamur yang mampu memproduksi
berbagai jenis enzim yang terlibat dalam penguraian senyawa
kompleks (polimer) karbohidrat yang dikandung oleh bahan
pakan ternak yang berasal dari jerami padi. Enzim yang dapat
diproduksi adalah : endo-ß-glucanase dan exo-ß-glucanase dalam
jumlah yang relatif besar dan ß-glucosidase dalam jumlah relatif
kecil. Ketiga jenis enzim tersebut merupakan komponen utama
dalam sistem enzim selulolitik yang mampu menghidrolisis
kristal selulosa (in vitro) secara sempurna (Reese et al., 1950).
Hasil penelitian Yuda (2005) menunjukkan bahwa proses
amoniasi urea serta biofermentasi dengan inokulan Starbio dan
T. virideae ternyata dapat meningkatkan koefisien cerna bahan
kering dan protein kasar ransum. Tinggi rendahnya nilai koefisien
cerna suatu ransum dapat menentukan kualitas dari ransum
tersebut, karena bagian yang dicerna dihitung dari selisih antara
kandungan zat makanan dalam ransum yang dikonsumsi dengan
zat makanan yang keluar bersama feses. Dilaporkan juga bahwa
terjadi peningkatan komposisi tubuh sapi (deposisi protein,
lemak, dan energi) yang diberi jerami teramoniasi. Peningkatan
ini disebabkan karena jerami padi yang teramoniasi dengan urea
kandungan proteinnya meningkat. Retensi energi pada tubuh
sapi Bali yang diberi ransum jerami padi amoniasi urea (B), jerami
padi fermentasi dengan Starbio (C), dan jerami padi fermentasi
dengan Trichoderma viridae (D) meningkat jika dibandingkan
dengan yang diberi jerami padi tanpa perlakuan sebagai kontrol
(A). Data lebih rinci tersaji pada Tabel 44.
Peningkatan deposisi protein dalam tubuh sapi tersebut
adalah karena proses fermentasi dapat meningkatkan kandungan
protein dan kecernaan protein jerami padi. Dilaporkan oleh
Badurdeen et al. (1994) bahwa penambahan urea atau amonium

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 133


dalam proses fermentasi jerami dapat meningkatkan kandungan
protein jerami.
Mikroba selulolitik pada Starbio bekerja secara bertahap
dalam memecah komponen dinding sel. Melalui benang fibril
hifanya, kapang selulolitik mengeluarkan enzim peroksidase
ekstraseluler. Enzim peroksidase ekstraseluler tersebut bekerja secara
aktif pada aktivitas lignolisis sehingga ikatan lignoselulosa
putus, dan fraksi lignin terurai menjadi CO2 dan selulosa dapat
dimanfaatkan oleh mikroba rumen.

Tabel 44. Koefisien cerna ransum pada sapi Bali penggemukan


yang diberi ransum berbasis jerami padi dengan
amoniasi dan fermentasi
Perlakuan
Variabel A B C D
Konsumsi bahan kering 7,09a 7,08b 6,83c 6,56d
(kg/ekor/hari)
KCBK (%) 51,80d 66,90a 58,30b 54,10c

Koefisien cerna protein 39,00d 53,00a 50,00b 48,00c


Kasar (%)
Retensinitrogen(g/ek/hr) 54,45d 72,34a 67,86b 59,94c

Pertambahanberatbadan 408,73c 531,75a 468,25b 456, 35b


(g/ekor/hari)
Deposisi lemak tubuh 131,664c 174,083a 155,839ab 148,576bc
(g/ekor/hari)
Deposisi protein tubuh 56,909c 73,926a 66,524ab 63,881bc
(g/ekor/hari)
Retensi energi tubuh 1,540c 2,027a 1,817ab 1,737bc
(Kkal/ekor/hari)
Sumber : Yuda (2005)

Keterangan :
• Sapi yang diberi jerami padi tanpa amoniasi dan fermentasi
dengan Complete feed 1,5% dari bobot sapi sebagai kontrol (A),
sapi yang diberi jerami amoniasi urea denga Complete Feed

134 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


1,5% dari bobot sapi (B), jerami fermentasi Starbio dengan
Complete Feed 1,5% dari bobot sapi (C), dan Jerami fermetasi
Trichoderma viridae dengan Complete feed 1,5% dari bobot sapi
(D)

6.4.2. Amoniasi Jerami


Sesungguhnya, perbaikan nilai gizi bisa dilakukan melalui
pengolahan limbah pertanian secara fisik, kimia, maupun
mikrobiologi. Salah satu di antaranya adalah untuk meningkatkan
mutu jerami padi dengan melakukan inovasi teknologi berupa
amoniasi jerami. Prinsipnya adalah memberikan perlakuan
khusus kepada jerami dengan metode pengolahan dengan
menggunakan amoniak (NH3).
Fungsi amoniak adalah untuk menghancurkan ikatan
lignin, selulosa, dan silika yang merupakan faktor penghambat
utama daya cerna jerami. Di samping itu, juga berperan
memuaikan serat selulosa, memudahkan penetrasi enzim selulosa
dan meningkatkan kandungan protein kasar melalui peresapan
nitrogen. Harapannya, dengan adanya jerami amoniasi, petani
peternak dapat meningkatkan pemanfaatan jerami hasil limbah
pertanian sebagai pakan ternak untuk menunjang tingkat
produktivitas ternak. Sumber amoniak potensial yang bisa
dipergunakan adalah NH3 dalam bentuk gas dan cair, NH3OH
dalam bentuk larutan, dan urea dalam bentuk padat. Dari ketiga
sumber amoniak tersebut, urea mudah diperoleh dan relatif
murah harganya.
Teknik amoniasi jerami padi tergolong sebagai teknik
perlakuan kimiawi. Tujuannya agar konstituen dari jerami yang
berkualitas rendah dapat dicerna enzim pencernaan, sehingga
dapat meningkatkan daya cerna (digestibility) dan jumlah jerami
yang dimakan (intake). Teknik amoniasi dapat mengubah jerami
menjadi makanan ternak yang potensial dan berkualitas karena
dapat meningkatkan daya cerna dan kandungan proteinnya.
Sejumlah negara di dunia, seperti Tunisia, Mesir, dan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 135


Algeria telah melakukan teknik amoniasi jerami padi ini sejak
lebih dari 15 tahun yang lalu (Chenost, 1997). Prinsip dalam
teknik amoniasi ini adalah penggunaan urea sebagai sumber
amoniak yang dicampurkan ke dalam jerami. Urea yang akan
dicampurkan tersebut dapat dilarutkan ke dalam air terlebih
dahulu (cara basah) atau langsung ditaburkan pada setiap lapisan
jerami yang akan diamoniasi (cara kering). Pencampuran urea
dengan jerami harus dilakukan dalam kondisi hampa udara (an-
aerob) dan proses amoniasi jerami ini memerlukan penyimpanan
selama satu bulan. Teknik amoniasi dapat meningkatkan daya
cerna jerami.
Ternak akan lebih mudah mengkonsumsi jerami hasil
amoniasi jika dibandingkan dengan jerami yang tidak diolah.
Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk menghancurkan
ikatan lignin, selulosa, dan silika, yang merupakan faktor penyebab
rendahnya daya cerna jerami bagi ternak. Lignin merupakan
senyawa kompleks yang tidak dapat dicerna oleh ternak. Lignin
ini terkandung dalam bagian fibrosa dari akar, batang, dan daun
pada tumbuhan. Jerami dan rumput kering mengandung lignin
yang sangat banyak.
Selulosa adalah suatu polisakarida yang mempunyai
formula umum seperti pati. Senyawa itu sebagian besar dalam
dinding sel dan bagian-bagian berkayu dari tumbuh-tumbuhan.
Kapas hampir merupakan selulosa murni. Selulosa tidak dapat
dicerna dan tidak dapat digunakan sebagai bahan makanan
kecuali pada hewan ruminansia (sapi, domba, dan kambing) yang
mempunyai mikroorganisme selulotik dalam rumennya. Mikroba
tersebut dapat mencerna selulosa dan memungkinkan hasil akhir
dari pencernaan bermanfaat bagi hewan (Anggorodi, 1984).
Teknik amoniasi dapat meningkatkan kualitas gizi jerami
padi agar dapat bermanfaat bagi ternak. Teknik amoniasi ini
dapat menambah kadar protein kasar (crude protein) dalam jerami.
Kadar protein kasar tersebut diperoleh dari amoniak dalam
urea yang berperan dalam memuaikan serat selulosa. Pemuaian

136 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


ini memudahkan penetrasi enzim selulase dan meningkatkan
kandungan protein kasar melalui peresapan nitrogen dalam
urea. Jerami padi yang telah diamoniasi memiliki nilai energi
yang lebih besar jika dibandingkan jerami yang tidak diolah.
Proses amoniasi sangat efektif dalam menghilangkan aflatoksin
dalam jerami. Jerami yang telah diamoniasi akan terbebas dari
kontaminasi mikroorganisme jika jerami tersebut telah diolah
dengan mengikuti prosedur yang benar secara hati-hati.
Untuk menghasilkan jerami amoniasi yang berkualitas,
maka dibutuhkan bahan yang berkualitas pula. Bahan dasar
dari pembuatan jerami amoniasi ini adalah jerami padi yang
tersisa setelah pemanenan. Jerami padi yang akan diamoniasi
harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu jerami harus dalam
kondisi kering, tidak boleh terendam air sawah atau pun air
hujan, dan harus dalam keadaan baik (tidak busuk atau rusak).
Jika telah diperoleh bahan jerami yang berkualitas, maka langkah
selanjutnya adalah penimbangan dan pengikatan. Penimbangan
dilakukan agar diperoleh jerami amoniasi yang sesuai dengan
kebutuhan peternak. Sebelum diikat, jerami harus dimasukkan
terlebih dahulu ke dalam kotak kayu berbentuk balok dengan
tinggi lebih kurang 50 cm. Kotak kayu tersebut berfungsi untuk
mengemas jerami menjadi padat dan berbentuk balok sehingga
akan memudahkan penanganan. Setelah diikat, jerami tersebut
dapat dikeluarkan kembali dari kotak kayu. Selanjutnya, jerami
yang telah diikat harus ditaburi urea sebagai sumber amoniak.
Penaburan urea ke dalam ikatan jerami harus dilakukan
secara merata di setiap lapisan. Hal tersebut harus dilakukan agar
proses amoniasi jerami padi berjalan dengan baik. Dosis urea
yang ditaburkan ke dalam jerami jumlahnya sekitar 4 – 6 % dari
berat jerami. Dengan kata lain, setiap 100 kg jerami padi yang
akan diamoniasi membutuhkan urea sebanyak 4 - 6 kg. Jika dosis
urea yang ditaburkan ke dalam jerami terlalu banyak, maka urea
tersebut tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap
nilai nutrisi pada jerami (Schiere dan Ibrahim, 1989)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 137


Jerami yang telah ditaburi urea harus segera dibungkus
dengan rapat. Bahan pembungkus yang digunakan biasanya
berupa lembaran plastik dengan ketebalan yang cukup memadai.
Pembungkusan ini sangat penting dilakukan agar tercipta kondisi
hampa udara (anaerob).
Jerami amoniasi harus disimpan di ruang penyimpanan
beratap dengan ventilasi yang memadai. Jika jerami amoniasi
dibiarkan di udara terbuka dan terkena air hujan, maka akan
terjadi proses pelapukan atau dekomposisi pada jerami tersebut.
Penyimpanan dengan jangka waktu lama membutuhkan jerami
amoniasi dengan kadar air sebanyak 20%. Penyimpanan dapat
dilakukan hingga satu tahun dengan kualitas yang tetap terjaga.
Jerami amoniasi dapat diberikan pada ternak dalam bentuk
utuh. Jerami amoniasi yang akan diberikan pada ternak dapat
dicampur dengan molases (produk sampingan dari ekstraksi gula
yang berasal dari tumbuhan) untuk meningkatkan palatabilitas
dan mengimbangi kandungan kandungan nitrogen non-protein
pada urea.
Pada prinsipnya, metode perlakuan kimia amoniasi adalah
sebagai berikut : (1) tingkat urea yang umum dipakai adalah 6
kg/100 kg bahan kering jerami atau berasal dari sekitar 400 kg
jerami segar yang kemudian dikeringkan, (2) urea dicampur
dengan 100 liter air sebelum disemprotkan pada jerami, dan (3)
didiamkan dalam wadah yang tertutup selama 7 sampai dengan
21 hari sebelum siap diberikan kepada ternak.
Untuk mencegah kebocoran, jerami yang telah ditaburi
urea dapat dibungkus dengan lembaran plastik sebanyak dua
lapis atau lebih. Setelah itu, jerami yang telah terbungkus harus
disimpan di tempat yang teduh dan terhindar dari air hujan.
Supaya penggunaan gas amoniak oleh jerami optimal, maka di
atas plastik pembungkus sebaiknya diberi beban agar ada tekanan
ke bawah.

138 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Pada Tabel 45, tersaji beberapa macam metode pengolahan
dengan amonia pada jerami atau hijauan kualitas rendah lainnya.
Proses amoniasi harus berlangsung tanpa kehadiran udara,
sehingga pembungkusan harus dilakukan secara hati-hati.

Tabel 45. Metode pengolahan dengan amonia untuk hijauan


(roughage) kualitas rendah

Bentuk Amonia Prosedur Kondisi Optimum


3–3,5 % NH3
berdasarkan berat
Disusun dalam bentuk
kering. Kadar air
gunung, ditutup plastik dan
15–20 %, dan lama
dihembus/disuntik dengan
pengeraman 1
amonia.
–8minggutergantung
suhu.

3–3,5 % NH3
Larutan dan Gas berdasarkan berat
kering. Kadar air
Dibungkusplastiksatupersatu
15–20 %, dan lama
dan diberi ammonia
pemeraman 1
–8minggutergantung
suhu.

3–3,5 % NH3
berdasarkan berat
Dimasukkan dalam kotak kering. Kadar air
atauruanganterisolasitanpa 15–20 %, dan lama
pemanasan pemeraman 1
–8minggutergantung
suhu.

3–3,5 % NH3
Gas Anhydrous berdasarkan berat
kering. Kadar air
Bahan dipotong, urea
15–20 %, dan lama
ditambahkansebelumpellet
pemeraman 1
–8minggutergantung
suhu.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 139


5 % lar. Urea dicampur
Dimasukkan dlm silo atau
dengan bahan (1 : 1)
keranjang bamboo
selama 1 - 3 minggu

Urea
2 – 3 % lar. Urea pada
Bahan dipotong, urea
suhu 133 0C dan kadar
ditambahkansebelumpellet
air 15 – 20 %

Jumlah berbanding
Urine sebagai pengganti bahan (1 : 1)
Urine
larutan urea dalam lubang tergantung jumlah N
dalam urine

Suhu 60 – 110 0C
Ammoniumkarbonat/ Disusun dalam silo atau
5%lararutanAmonium
Hidrogen karbonat keranjang bamboo
karbonatdenganbahan
berbanding (1 : 1)

Proses penyimpanan ini membutuhkan waktu selama 1


bulan atau 30 hari. Satu bulan kemudian, jerami yang terbungkus
dapat dibuka dari kemasannya. Pembukaan tersebut harus
dilakukan secara hati-hati karena akan membuat mata menjadi
perih. Jerami amoniasi yang baik ditandai dengan bau amoniak
yang sangat menyengat. Oleh karena itu, jerami amoniasi tersebut
harus dibiarkan di udara terbuka terlebih dahulu agar bau
amoniak dapat berkurang.

6.4.3. Perlakuan Basa


Perlakuan basa dipandang sebagai perlakuan yang paling
efektif untuk meningkatkan kualitas jerami. Kerugiannya adalah
adanya residu mineral natrium yang terlalu banyak akan dapat
mengganggu keseimbangan mineral lainnya di dalam tubuh.
Sistem pengolahan jerami dengan menggunakan NaOH
yang sudah umum digunakan adalah sebagai berikut ini.

140 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


1. Metode pencelupan, yaitu NaOH disirkulasikan dengan cara
hasil pencucian jerami yang sudah diberi NaOH digunakan
lagi untuk pencelupan berikutnya. NaOH ditambahkan ke
dalam jerami yang akan dibuat silase dengan kadar air 30 –
60 % atau dapat digunakan dengan konsentrasi NaOH yang
lebih encer dalam waktu yang lebih lama dan
2. Metode penyemprotan, yaitu larutan NaOH pekat (20 – 30 %)
disemprotkan ke dalam bahan. Pengepresan atau pemeletan
setelah penambahan NaOH akan menaikkan suhu sehingga
timbul reaksi antara bahan dengan NaOH. Konsentrasi
NaOH yang digunakan berkisar antara 4 – 6 % dari total
bahan kering jerami yang digunakan. Uraian lebih rinci
tersaji pada Tabel 46.

Tabel 46. Metode pengolahan dengan NaOH untuk hijauan


(Roughage) kualitas rendah

Tingkat Kadar Air Prosedur Kondisi Optimum


1,5– 2,5 % lar. NaOH
Direndam dengan larutan
direndam 12 jam dan
NaOH, kemudian dicuci
dicuci sampai netral
Dicelupkan dengan larutan 1,5 % lar. NaOH,
NaOH, tanpa dicuci lalu perendaman 1/2 - 1 jam
disimpan waktu pematangan
5,5 kg lar. NaOH dan 0,6
Perlakuan Basah kg Ca(OH)2 untuk tiap
100 kg jerami. Larutan
Disemprot dengan larutan disirkulasikan7-8jamdan
NaOH dalam ruangan disimpan selama 10 – 15
jam.
Kadar air 40 – 70 %,
Perlakuansetengah Dibuat silase dengan NaOH NaOH 3 – 5 % berat
Basah dalam silo kering, kedap udara
selamalebihdari1minggu

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 141


Bahan terurai disemprot Lar. NaOH 2 % sebanyak
dengan larutan NaOH dan 200 l untuk 100 kg bahan
diaduk rata disimpan selama 24 jam
0,8 – 1,0 kg dari lar. NaOH
Perlakuan diberikan ketika
50 % untuk setiap bale
bahan dikumpulkan dan
berat 10 kg dan disimpan
disemprot dengan NaOH
1 minggu
Bahandirecah/dipotongdan
425 kg lar. NaOH 16 %
disemprot dengan NaOH
untuk setiap 1 ton jerami
dalam mixer
150-180 liter lar. NaOH 27
Bahan direcah, dicampur
% untuk setiap ton bahan
denganNaOHdandipanaskan
dan dibiarkan selama 3
80-100 0C.
hari.
Perlakuan Kering Kondisi bervariasi.
Lar. NaOH 27–47 %
Bahandipotongataudigiling, ditambahkan sehingga
dicampurdenganNaOHdan terdapat 4-5 % NaOH
dipress atau dipellet. dalam bahan kering,
dipress pada suhu 70-90
oC.

Keuntungan metode perlakuan dengan kapur adalah


relatif lebih murah jika dibandingkan dengan urea. Akan tetapi,
kerugiannya meliputi kemungkinan sisa mineral kalsium yang
masih tinggi dalam bahan/jerami, bila tidak dibilas dahulu dengan
air, dan kendala lainnya yaitu membutuhkan banyak air.
Jerami yang mendapat perlakuan basa ini apabila diberikan
ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, maka harus
ditambahi 2,5 % urea; 0,6 % kalium fosfat; 3 % mineral, dan 3 %
molases dari berat jerami. Untuk keperluan produksi, maka perlu
ditambahkan lagi suplemen yang lebih bergizi misalnya daun
leguminosa pohon seperti lamtoro atau kaliandra segar.

6.4.4. Pengolahan Fisik


Dari penelitian yang terbatas, jerami bagian atas relatif
lebih baik kualitasnya jika dibandingkan dengan jerami bagian
bawahnya. Pada prinsipnya, perlakuan secara fisik adalah untuk

142 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


mengurangi ukuran panjang jerami dengan memotongnya; makin
pendek makin mudah ternak untuk mengunyahnya. Namun,
keleluasaan ternak untuk memilih bagian yang disukainya menjadi
terbatas. Perlakuan fisik umumnya menyangkut penggunaan
panas dan uap dengan ataupun tanpa tekanan.
Pucuk tebu sangat potensial untuk pakan ternak, karena
tanaman tebu dipanen pada musim kamarau di mana pada saat
itu produksi rumput rendah kuantitas dan kualitasnya. Produksi
pucuk tebu mencapai 4 ton/hektar. Penggunaannya pada ternak
dapat dalam bentuk segar, silase, wafer, maupun pellet.
Jerami pucuk tebu dapat disajikan dalam berbagai macam
bentuk, antara lain, bentuk wafer dan pellet (Gambar 18). Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi meningkat
apabila jerami pucuk tebu diolah dalam bentuk wafer dan pellet
jika dibandingkan dengan yang segar. Proses penghancuran atau
pengecilan ukuran partikel akan meningkatkan luas permukaan
bahan, sehingga lebih mudah didegradasi oleh enzim pencernaan
maupun mikroba dalam rumen.

Gambar 18. Daun pucuk tebu dalam bentuk silase, wafer, dan
pellet

Soemarmi et al. (1989) melaporkan bahwa pemberian


wafer pucuk tebu pada sapi Bali jantan ternyata memberikan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 143


pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum yang
paling baik bila dibandingkan dengan pemberian pucuk tebu
segar, rumput gadjah segar, ataupun wafer rumput gajah. Lebih
rinci hasil penelitian tersebut tersaji pada Tabel 47.

Tabel 47. Pengaruh pemberian wafer pucuk tebu terhadap


pertambahan berat badan sapi Bali jantan
Perlakuan
Pucuk Wafer
WaferPucuk Rumput
Variabel Tebu Rumput
Tebu Gajah Segar
segar Gajah
Pertambhn. berat
0,70 0,82 0,69 0,78
badan (kg/ekor/hari)
Konversi ransum 0,13 0,11 0,14 0,13
Sumber : Soemarmi et al. (1989)

6.4.5. Pengolahan Kombinasi (Fisika, Kimia, dan Biologis)


Prinsip pengolahan kombinasi ini adalah penggabungan
tiga metode pengolahan, yaitu pemotongan atau penghancuran
bahan (fisik), penambahan zat kimia seperti urea (kimia), dan
penambahan mikroba (biologis). Pengolahan biologis ini dilakukan
dengan menginkubasikan mikroorganisme yang secara langsung
maupun tidak langsung memberi manfaat kepada ternak yang
memakan bahan yang telah diinkubasi dengan mikroorganisme
tersebut.
Pada Tabel 48, tersaji daya cerna bahan organik jerami barley
yang diberi berbagai macam perlakuan. Tampaknya, daya cerna
bahan organik tertinggi diperoleh pada perlakuan perendaman
dan fermentasi.

144 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 48. Daya cerna bahan organik jerami barley yang diberi
berbagai macam perlakuan

DayacernaBahan
Perlakuan
Organik (%)
Jerami tanpa perlakuan 52,4
Jerami + urea saat pemberian pakan 52,0
Jerami dengan perlakuan urine 56,3
Jerami + urine + bungkil kedelai (urease) 57,1
Jerami perlakuan urea (NH3) 56,4
Jerami + urea (NH3) + bungkil kedelai 59,0
Amonia anhydrous, ditumpuk 67,8
Ammoniaanhydrousditumpukdanudaradikeluarkansebelum
66,7
amonia
Amonia anhydrous dioven 63,6
Larutan amonia ditumpuk 59,0
NaOH… perlakuan kering (NaOH 4 %) 67,8
NaOH… perlakuan kering, giling, pelet (3 % NaOH) 64,7
Metode Bechman (pencelupan/direndam) 75,7
Perlakuan Basah 72,8

Pada sistem pengolahan biologis, semuanya sangat


ditentukan oleh jasa mikroorganisme. Keberhasilan pengolahan
ini sangat tergantung dari jenis mikroba yang digunakan sebagai
inokulan dalam pengolahan. Umumnya, pengolahan dengan
menggunakan jasa mikroba lebih dikenal dengan istilah white rot
fungi. Permasalahan utama di sini adalah penggunaan mikroba
yang cocok dalam mencerna lignin tanpa banyak berpengaruh
pada hemiselulosa dan selulosa, karena selulosa dan hemiselulosa
dapat dicerna dalam rumen.
Pengolahan kombinasi pada saat ini yang terkenal adalah
teknik fermentasi (suhu, air, substrat, dan waktu), sehingga
mikroba dapat bekerja. Perlakuan pendahuluan seperti
pengukusan, alkali, dan asam kadang-kadang harus dikerjakan
untuk hasil yang optimal.
Pengawetan hijauan makanan ternak (HMT) dengan ensilase

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 145


ternyata memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan
dengan pengeringan (kerusakan protein dan vitamin lebih
rendah) dan juga tidak tergantung kepada musim. Proses ensiling
melibatkan kegiatan bakteri asam laktat (BAL) dari senyawa gula.
Asam laktat yang berfungsi sebagai pengawet (pH rendah) dapat
mencegah pertumbuhan dan aktivitas mikroba pembusuk.

6.4.6. Metode Suplementasi


Ransum yang berbahan dasar jerami saja dengan atau
tanpa perlakuan tidak cukup untuk memenuhi hidup pokok
ternak. Oleh sebab itu, perlu ditambahkan suplemen ke dalam
ransumnya. Tambahan tersebut harus mengandung zat pakan
yang dibutuhkan oleh ternak. Jumlah suplemen dalam ransum
biasanya sekitar 25%. Respon penambahan suplemen dapat
dilihat dari peningkatan jumlah jerami yang dikonsumsi dan pada
akhirnya dapat dilihat dari perbaikan produksi ternak misalnya
pertambahan bobot badannya. Bagi ransum dengan bahan dasar
jerami, dikenal tiga bentuk cara penambahan sebagai berikut ini.
1. Suplementasi nitrogen non– protein (NPN). Seperti telah
diketahui, sekitar 30 % kebutuhan nitrogen ransum dapat
berasal dari NPN, seperti urea atau biuret yang diperkaya
dengan mineral lain dan tetes. Sisanya harus berasal dari
bahan nabati atau hewani.
2. Suplementasi konsentrat. Konsentrat mengandung kadar
protein nabati dan hewani yang cukup tinggi. Oleh karena
itu, harganya juga relatif mahal sehingga umumnya hanya
diberikan pada ternak sapi perah.
3. Suplementasi hijauan. Hijauan segar dalam jumlah terbatas
dapat berfungsi sebagai pakan penambah yang memberikan
sumber vitamin dan mineral tertentu. Hijauan ini termasuk
“rumput alam” yang terdiri atas berbagai jenis rumput dan
leguminosa. Daun leguminosa pohon seperti lamtoro, turi,
dan gliricidia merupakan contoh pakan yang kaya akan
protein.

146 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


6.4.7. Pemanfaatan Jerami pada Integrasi Usahatani dengan
Ternak Dalam Mendukung Peternakan Berwawasan
Lingkungan

Para petani secara tradisional telah mengetahui dan


memanfaatkan jerami padi untuk pakan sapi, dan juga
pemanfaatan kotoran dari kandang (kotoran sapi dan sisa pakan)
untuk kompos. Akan tetapi, semuanya ini dilakukan tanpa ada
upaya peningkatan kualitas sebagai pakan atau kualitas sebagai
pupuk dan aplikasinya yang tidak ada patokan bakunya.
Jerami padi mempunyai potensi besar sebagai pakan ternak
ruminansia, terutama sebagai sumber serat. Ketersediaan jerami
padi cukup luas di berbagai daerah di Indonesia, dengan jumlah
yang melimpah. Akan tetapi, kualitas gizinya rendah, yang
ditandai dengan rendahnya kandungan protein dan tingginya
kandungan silika dan lignin, sehingga mengakibatkan rendahnya
kecernaan jerami padi. Berbagai perlakuan untuk meningkatkan
mutu jerami padi telah dilakukan.
Pada umumnya, peternak di daerah Asia Tenggara
lebih suka perlakuan jerami padi dengan urea, karena dapat
meningkatkan kandungan nitrogen dan kecernaan, serta mudah
dilakukan. Berbagai penelitian tentang pemanfaatan jerami padi
dengan suplementasi sisa hasil industri pertanian, maupun
dengan hijauan leguminosa segar telah dilakukan untuk pakan
ternak ruminansia kecil. Untuk menggantikan rumput segar,
jerami padi dapat digunakan sampai sekitar 10 %. Akan tetapi,
bila digunakan bersamaan dengan konsentrat, maka jerami padi
dapat menggantikan rumput sampai sekitar 30 % untuk kambing
dan domba.
Kegiatan pembangunan peternakan perlu memperhatikan
daya dukung dan kualitas lingkungan. Usaha peternakan ternak
ruminansia dengan skala besar dan relatif terlokalisasi akan
menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Pencemaran
ini disebabkan oleh pengelolaan limbah yang belum dilakukan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 147


dengan baik. Akan tetapi ,kalau dikelola dengan baik, limbah
tersebut memberikan nilai tambah bagi usaha peternakan dan
lingkungan di sekitarnya.
Sistem usaha peternakan dengan penerapan produksi
bersih merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam
meminimalisasi limbah ternak. Limbah peternakan meliputi
semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha
peternakan, baik berupa limbah padat, cair, gas, ataupun sisa
pakan (Soehadji, 1992). Salah satu upaya untuk menanggulangi
limbah adalah dengan mengintegrasikan usaha tersebut dengan
usaha lainnya, seperti penggunaan suplemen pada pakan, usaha
pembuatan kompos, budidaya ikan, dan budidaya padi sawah,
sehingga menjadi suatu sistem yang saling sinergis. Integrasi
antara usahatani dengan ternak tersaji pada Gambar 19.

Gambar 19. Konsep dasar pemanfaatan jerami

148 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Bagan alir tersebut menunjukkan bahwa semua produk
yang dihasilkan oleh perusahaan seperti daging, susu, feses, urine,
sisa pakan, pupuk organik, ikan, dan eceng gondok (Eichornia
crassipes) dapat dimanfaatkan dengan baik untuk masing-masing
cabang usahatani serta memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi. Limbah yang dihasilkan, baik limbah padat maupun cair
dapat dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang. Limbah
padat diproses menjadi pupuk organik yang dimanfaatkan untuk
tanaman di persawahaan atau di lahan kering, sehingga lahan
di samping memberikan hasil utama, juga menghasilkan jerami
yang dapat diproses sebagai pakan sapi.
Dalam proses ini, ternak tidak akan kekurangan pakan
karena ketersediaan jerami terjamin sepanjang tahun dan jerami
dapat diberikan secara terus menerus. Peningkatan kualitas jerami
dilakukan dengan penerapan teknologi pakan. Kolam ikan di
samping menghasilkan ikan, juga menghasilkan lumpur kolam
untuk bahan pembuatan kompos. Dengan demikian, tidak ada
limbah yang terbuang langsung ke lingkungan.
Untuk menciptakan sistem terpadu ini, maka diperlukan
suatu teknologi yang tepat guna terutama teknologi pengolahan
pakan yang efektif untuk dapat mengubah limbah pertanian
menjadi sumber daya (feed) dan efisiensi pemanfaatannya
terhadap ternak. Di samping itu, juga untuk mengubah limbah
peternakan menjadi sumberdaya (kompos) dan pemanfaatannya
untuk sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,
maupun untuk budidaya perikanan.
Limbah yang dibuang ditampung terlebih dahulu dan
diolah kembali sehingga memiliki nilai ekonomis. Pengolahan
kembali menghasilkan nilai tambah dan dapat menghemat
biaya pengendalian pencemaran. Peralatan yang lebih baik akan
menciptakan proses yang lebih baik, sehingga zat pencemar yang
terbuang lebih sedikit. Begitu pula penggunaan zat kimia yang
dapat disubstitusi dengan bahan lain yang lebih kecil risikonya.
Penggunaan teknologi yang tepat dapat mensubstitusi bahan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 149


baku untuk mengurangi bahan pencemaran.
Pada proses produksi, masih perlu dipertimbangkan bahan
buangan, reaksi kimia, fisika, dan biologi yang terjadi dalam
proses. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya teknologi pengolahan
limbah yang mengandung prinsip murah dan efisien, tersedia
secara terus menerus, pengoperasiaannya sederhana, dan biaya
pemeliharaannya rendah. Dalam hal ini, introduksi teknologi
pengolahan pakan sangat diperlukan agar limbah sebagai hasil
sampingan yang dapat mencemari lingkungan di sekitarnya
dapat diolah dan dimanfaatkan kembali secara maksimal sebagai
pakan alternatif bagi ternak.
Model mengenai introduksi teknologi pengolahan pakan
dalam sistem terpadu antara pertanian dan usaha peternakan
tersaji pada Gambar 20.

Gambar 20. Model introduksi teknologi pengolahan pakan


dalam sistem terpadu antara pertanian dengan usaha
peternakan

150 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Dari Gambar 20 tersebut, terjadi hubungan yang sinergis
dan menguntungkan antara pertanian dan usaha peternakan.
Usaha peternakan yang menghasilkan limbah, baik berupa feses,
urin, sisa pakan, dan sebagainya didaur ulang kembali menjadi
pupuk organik. Dengan adanya daur ulang tersebut, diharapkan
dalam sistem tersebut tidak akan ada energi yang terbuang, dan
limbah yang dihasilkan dapat diminimalisir dengan melakukan
pengolahan sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk sistem
yang ada di dalamnya.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 151


152 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
VII. PAKAN TERNAK ALTERNATIF

7.1 Hijauan untuk Pakan

A khir-akhir ini penggunaan hijauan dalam ransum


unggas sudah jarang digunakan, walaupun beberapa
industri pakan masih menggunakan daun turi dan sejenisnya
dalam ransum komersialnya. Penggunaan hijauan ini dalam
penyusunan ransum unggas maksimal 4 %, sedangkan untuk
ternak ruminansia dapat diberikan 100 %. Terbatasnya jumlah
pemberian untuk ternak nonruminansia disebabkan karena
tingginya kandungan serat kasar pada hijauan.
Pakan hijauan dalam penyusunan ransum unggas sangat
penting sekali artinya. Di samping sebagai sumber protein,
vitamin, zat warna, dan mineral, hijauan juga mengandung
senyawa fitokimia. Senyawa fitokimia merupakan bahan organik
sekunder yang dihasilkan melalui reaksi sekunder dari bahan
organik primer, seperti karbohidrat, protein, dan lemak (Santoso,
l993). Umumnya yang sering digunakan adalah Leucaena glauca L.,
Pennisetum purpureum, Desmodium intortum, daun pisang terolah,
Bambusa vulgaris, Leuchaena mexicana, dan Euphorbia lancifolia.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 153


7.1.1. Senyawa Fitokimia pada Hijauan
Fitokimia (phytochemical) berasal dari kata phyto yang berarti
tumbuhan dan chemical berarti zat kimia. Jadi phytochemical
berarti zat kimia yang berasal dari sumber nabati yang mempunyai
fungsi faali luar biasa (Karyadi, l997). Dilaporkan juga bahwa
senyawa fitokimia tidak termasuk ke dalam zat gizi, karena bukan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Menurut
struktur kimiawi dan karakteristik fungsionalnya, yang termasuk
senyawa fitokimia adalah: karotenoid, fitosterol, saponin, glukosinolat,
polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam
fitat (Harbone, l987).
Kombinasi senyawa fitokimia di dalam tubuh ternyata dapat
menghasilkan berbagai enzim yang berfungsi untuk menangkal
racun, merangsang sistem kekebalan, mencegah penggumpalan
keping-keping darah (trombosit), menghambat sintesis kolesterol,
meningkatkan metabolisme hormon, pengenceran dan pengikatan
zat karsinogen dalam usus, efek antibakteri, efek antivirus,
antioksidan, mengatur gula darah, dan antikanker (Karyadi,
l997).
Kandungan bahan alami dari tumbuhan berkhasiat adalah
bahan organik sekunder yang dihasilkan melalui reaksi sekunder
dari bahan organik primer, seperti karbohidrat, protein, dan lemak
(Santoso, l993). Dilaporkan juga bahwa bahan organik sekunder
dikenal juga sebagai metabolik sekunder yang menurut garis
besarnya dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) fenolik, (2)
alkaloid, dan (3) terpenoid, serta pigmen dan porfirin termasuk
di dalamnya. Menurut Sumarno (l992), metabolit sekunder
dibedakan menjadi golongan antibiotik, alkaloid, glikosid, steroid,
dan terpenoid.

7.1.2. Khasiat Fitokimia pada Ternak


Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa
senyawa fitokimia sulfida pada daun bawang putih, pada
tingkat penggunaan 6 % dalam ransum itik, secara nyata dapat

154 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan efisiensi penggunaan
ransum, dan menurunkan kolesterol daging, serta perlemakan
tubuh itik (Bidura dan Suwidjayana, l998).
Menurut Harbone (l987), metabolit sekunder berperan
sebagai obat, racun, narkotik, dan stimulan bagi hewan yang
mengkonsumsinya serta sebagai pengawet produk hewani.
Namun, bagi tumbuhan sendiri, bahan organik sekunder misalnya
steroid dan terpenoid merupakan senyawa pengatur tumbuh,
pigmen pembantu pada proses fotosintesis, dan sebagai pemberi
bau wangi yang khas. Alkaloid dan tanin berfungsi sebagai
penolak predator tumbuhan dan flavonoid sebagai pengatur
tumbuh, zat warna, dan pertahanan terhadap penyakit.
Tanin dapat dijumpai di beberapa bagian tumbuhan
terutama dalam daun, periderm, buah muda, dan jaringan pada
kulit biji yang terserang patogen. Diduga tanin berfungsi untuk
melindungi tumbuhan terhadap dehidrasi, proses pembusukan,
serta perusakan hewan. Secara mikroskopis, senyawa itu biasanya
tampak sebagai massa granula atau benda-benda berwarna
kuning, merah, atau coklat (Sumarno, l992).

7.2. Duckweed (Lemna minor)


Dukweed (Lemna minor) merupakan tanaman kecil yang
dapat tumbuh dengan cepat di atas air ataupun pada permukaan
tanah basah, di hampir semua wilayah Indonesia. Tanaman ini
sangat toleran terhadap stress akan zat-zat makanan dan sangat
tahan terhadap serangan penyakit (Leng et al., 1995).
Pada Gambar 21, tersaji bentuk fisik tanaman dukweed (Lemna
minor) yang pertumbuhan begitu cepat, sehingga dalam beberapa
minggu saja sudah menutupi semua permukaan air sawah.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 155


Gambar 21. Tanaman Dukweed (Lemna minor) bahan pakan
alternatif sumber protein

Journey et al. (l991) melaporkan bahwa pada kondisi yang


sesuai, duckweed mampu tumbuh jauh lebih cepat jika dibandingkan
dengan tanaman tinggi lainnya dan mampu berproduksi 80 ton
bahan kering/ha/tahun. Dilaporkan juga bahwa kandungan zat
makanannya sangat tinggi khususnya protein, asam amino lysin,
dan karotennya. Menurut Hillman dan Culley (l978), kandungan
asam amino pada duckweed jauh melebihi kandungan asam amino
pada protein nabati lainnya, dan komposisi asam aminonya
menyerupai asam amino pada protein hewani.
Men et al. (2001) melaporkan bahwa duckweed mengandung
4,70 % bahan kering, 38,60 % protein kasar, 9,80 % lemak kasar,
8,70 % serat kasar, 19,00 % abu; 0,71 % Ca, 0,62 % P total, 4,92 %
K, 0,14 % Na; 0,27 % Fe, 1723 mg/kg Mg, 75 mg/kg Zn, 20 mg/kg
Cu, 2,40 % lysin, 3,00 % leusin, 1,50 % treonin, 1,20 % metionin,
dan energi metabolis 9,80 ME Mj/kg, serta kandungan karoten
sebanyak 1025 mg/kg.
Menurut Becerra (l994), tanaman duckweed mengandung
protein 26,30 % dan serat kasar 11,00 %. Menurut Islam et al.

156 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


(l997), duckweed mengandung 20,27 % protein, 12,07 % serat kasar,
2,00 % ekstrak eter, 31,20 % abu, 24,76 % NFE, 1,40 % lysin, 0,32
% metionin, 2,58 % Ca, dan 0,17 % P serta energi termetabolisnya
1302 kkal/kg.
Pada Tabel 49 dan 50, disajikan hasil penelitian Bidura
dan Puger (2003) yang menunjukkan bahwa penggunaan 3
– 6 % tepung daun duckweed dalam ransum nyata meningkatkan
pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum pada
itik Bali jantan.

Tabel 49. Pengaruh penggunaan tepung daun duckweed dalam


ransum terhadap penampilan itik Bali jantan umur
0 – 8 minggu
Tepung daun Duckweed
Variabel 0% 3% 6%
Berat badan akhir (g) 1186,50 1304,33 1281,67
Pertambahan berat badan (g) 1139,50 1257,83 1235,33
Konsumsi ransum (g) 4909,17 5231,33 5147,83
Konsumsi lysin (g) 48,11 55,45 56,63
Feed Conversion Ratio (FCR) 4,31 4,16 4,17
Sumber : Bidura dan Puger (2003)

Menurut Mbagwu dan Adeniji (l988) dalam Islam et al.


(l997), kandungan protein pada duckweed cukup tinggi yaitu 35
% dan serat kasarnya berkisar antara 5 – 15 % tergantung dari
spesiesnya.
Mean et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian duckweed
dalam ransum nyata meningkatkan warna kulit dan warna
lemak tubuh menjadi oranye ke kuning-kuningan. Hal tersebut
disebabkan karena adanya karoten yang sangat tinggi pada
duckweed. Karoten dicerna dan disimpan dalam tubuh tanpa
menimbulkan efek negatif bagi itik. Warna karkas menjadi lebih
kuning dan warna yang demikian itu sangat disukai oleh konsumen.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 157


Dilaporkan oleh Syamsuhaidi (l997) bahwa penggunaan duckweed
dalam ransum ayam broiler ternyata tidak berpengaruh terhadap
kadar kolesterol plasma dan daging ayam.

Tabel 50. Pengaruh penggunaan tepung daun duckweed dalam


ransum terhadap bobot dan komposisi fisik karkas itik
Bali jantan umur 0 – 8 minggu
Level Daun Duckweed
Variabel 0% 3% 6%
Berat karkas (g) 709,33b 792,17a 776,83a
Persentase karkas (%) 59,71b 60,70a 60,59a
Komposisifisikkarkas(g/100gberatkarkas)
• Daging 43,10b 44,29a 44,45a
• Tulang 31,32a 31,53a 31,28a
• Lemak subkutan + kulit 25,58a 24,18b 24,27b
Lemak abdomen (g/100 g Brt. Badan) 0,64a 0,57b 0,56b
Sumber : Bidura dan Puger (2003)

Men et al. (2001) menyatakan bahwa apabila tanaman


duckweed dipelihara dan dipanen sendiri, maka penghematan
pengeluaran biaya produksi untuk protein dapat mencapai 48 %.
Pemberian duckweed segar secara ad libitum pada itik ternyata tidak
berpengaruh terhadap bobot karkas, berat daging dada, dan paha
atas, serta organ dalam. Dilaporkan juga bahwa duckweed ternyata
dapat menggantikan penggunaan bungkil kacang kedelai dan
vitamin-mineral-mix dalam ransum basal (beras pecah) untuk itik
fase pertumbuhan.

7.3. Kayu Apu (Pistia stratiotes)


Tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) merupakan salah satu
dari tumbuhan air yang tersebar luas di semua benua kecil Eropa
dan Amerika. Kayu apu berperan sebagai penghasil hijauan yang
mampu mengikat energi matahari sebagai bahan mahluk lainnya,
membantu peredaran udara dalam air melalui proses fotosintesis,

158 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


membantu pengendapat bahan-bahan yang terbawa oleh air, dan
juga dapat menyerap kelebihan zat hara yang dapat menyebabkan
pencemaran air.
Tanaman kayu apu termasuk dalam family Lemnaceae
sub family Araceae, tidak mempunyai batang, bentuk daun lebar
memanjang dengan jumlah 3 – 7 helai. Kayu apu berkembang
biak dengan stolon dan berproduksi dengan biji (Gerlack, 1997).
Kayu apu merupakan tanaman air yang kandungan proteinnya
tinggi, yaitu 37,60 %, sehingga sangat baik digunakan sebagai
bahan pakan alternatif untuk ternak sebagai bahan pakan sumber
protein. Hasil analisis kandungan zat makanan pada tepung daun
kayu apu yang bersumber dari sawah adalah sebagai berikut :
protein kasar 14,00 %; serat kasar 19,71 %; lemak kasar 1,54 %; abu
19,70 %; dan kandungan energi termetabolinya 1444,47 kkal/kg
bahan (Sumaryono, 2003).
Dilaporkan oleh Syamsuhaidi (1997) bahwa kayu apu yang
tumbuh di sawah mempunyai kandungan nutrisi cukup bagus,
yaitu mengandung 25,76 % protein kasar, 11,08 % serat kasar, 3,17
% lemak kasar, 0,94 % kalsium, 0,33 % fosfor tersedia, 0,94 % lysin,
0,35 % metionin, dan kandungan energi termatabolisnya sebesar
1973,83 kkal/kg bahan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumaryono (2003)
menunjukkan bahwa tepung daun apu dapat digunakan
dalam ransum ayam kampung sampai level 10 % karena tidak
berpengaruh terhadap pertambahan berat badan dan efisiensi
penggunaan ransum. Pada level 20 % dan 30 %, penggunaan kayu
apu dalam ransum menurunkan penampilan ayam kampung.
Penggunaan kayu apu dalam ransum ayam sangat baik digunakan
apabila bertujuan untuk menekan perlemakan tubuh ayam.

7.4 Daun Asam (Tamarindus indica L)


Asam dan nama ilmiahnya Tamarindus indica L. merupakan
anggota Tamarindus, suku Fabaceae, bangsa Rosales, divisi
Spermatophyta, kelas Dycotyledoneae (Tjitrosoepomo, l99l).

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 159


Dilaporkan oleh Kriswiyanti et al. (l997) bahwa di Bali khususnya,
daun asem digunakan sebagai bumbu masak dengan bau khas
asam. Hasil analisis menunjukkan bahwa golongan senyawa
kimia yang terdapat pada daun asam adalah alkaloid, sterol, quinon,
flavonoid, saponin, dan tanin.
Tabel 51, tersaji pemberian ekstrak daun asam (perlakuan B)
dan ekstrak daun katuk (perlakuan C) melalui air minum ternyata
dapat meningkatkan pertambahan berat badan serta menurunkan
persentase lemak abdominal dan kadar kolesterol plasma darah
ayam broiler jika dibandingkan dengan kontrol, yaitu ayam yang
diberi air minum tanpa ekstrak daun asam maupun daun katuk
(perlakuan A).
Metode yang digunakan oleh Bidura dan Candraasih (2004)
dalam pembuatan ekstrak daun katuk dan daun asam adalah
sebagai berikut : daun asem yang dipergunakan adalah daun
asem (Tamarindus indica L.) dan daun katuk (Sauropus androgynus)
lokal setempat yang sudah tua (warna hijau sampai kuning).
Kedua daun tersebut kemudian dihancurkan di dalam air minum
biasa untuk mendapatkan ekstraknya dengan perbandingan 300
g daun dalam satu liter air minum. Selanjutnya bahan tersebut
diberikan langsung pada ayam.

Tabel 51. Pengaruh pemberian ekstrak daun asam dan ekstrak


daun katuk melalui air minum terhadap pertambahan
berat badan, lemak abdominal, dan kolesterol total
plasma ayam broiler umur 2 – 6 minggu
Perlakuan
A B C
Variabel
Konsumsiransum(g/ekor/4minggu) 2915,0 2970,3 2966,2
Konsumsi lysin (g/ekor) 40,52 41,28 41,23
Berat badan akhir (g/ekor) 1687,67 1743,00 1738,17
Pertamb.bert.badan(g/ekor/4minggu) 1414,17 1468,83 1463,83
Abdominal-fat (% berat badan) 2,16 1,77 1,78
Kolesterol plasma (mg/dl) 165,00 142,83 141,17
Sumber : Bidura dan Candraasih (2004)

160 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
daun asam melalui air minum dapat meningkatkan pertambahan
berat badan ayam jika dibandingkan dengan kontrol. Sebaliknya,
pemberian tersebut secara signifikan menurunkan jumlah lemak
abdomen dan kadar kolesterol darah ayam (Bidura et al., 2004).

7.5. Daun katuk (Sauropus androgynus)


Tanaman katuk (Sauropus androgynus) merupakan tanaman
obat-obatan yang mempunyai zat gizi tinggi, mengandung
zat antibakteri, serta tidak berbahaya bagi kesehatan (Gambar
22). Menurut Anon. (l995) dalam Santoso (2000), daun katuk
mengandung vitamin A dalam bentuk karoten sebanyak 10020
ug, dan vitamin C 1164 mg, serta mineral 334,5 mg, protein kasar
6,4 %, dan energi 59 kalori dalam 100 g daun katuk. Lebih lanjut
Sartini (l996) yang dikutip oleh Santoso (2000) melaporkan bahwa
daun katuk mengandung kadar air 10,8 %, bahan kering 89,18 %,
protein kasar 15,02 %, lemak kasar 20,08 %, serat kasar 31,19 %,
dan abu 12,71 %.

Gambar 22. Tanaman katuk (Sauropus androgynus) berkhasiat


sebagai antibakteri dan menurunkan akumulasi lemak tubuh
ayam

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 161


Pemberian tepung daun katuk tua sebesar 3 % dalam ransum
ternyata dapat menurunkan akumulasi lemak dan meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum tanpa menurunkan berat badan ayam.
Demikian juga halnya, pemberian ekstrak daun katuk sebanyak
4,5 g/liter air minum ternyata dapat menurunkan akumulasi
lemak dalam tubuh, meningkatkan efisiensi penggunaan ransum,
serta menurunkan jumlah Salmonella sp., dan E. coli pada daging
ayam (Santoso, 2000).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bidura et al. (2004),
dilaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk melalui air
minum ternyata dapat meningkatkan pertambahan berat badan
serta menurunkan lemak abdomen dan kadar kolesterol plasma
darah ayam broiler umur 2 – 6 minggu.
Untuk tujuan menekan jumlah Salmonela sp dan E. coli dalam
feses ayam, dapat dilakukan dengan pemberian ekstrak daun
katuk (proses etanol) pada dosis 1,8 g/kg ransum. Lebih lanjut,
untuk menurunkan kadar ammonia dan produksi nitrogen feses,
dapat dilakukan dengan pemberian ekstrak daun katuk pada
level 9g/kg ransum (proses EDK-air panas) atau 0,9 g/kg ransum
EDK-metanol (Santoso, 2005).
Pemberian ekstrak daun katuk melalui ransum secara nyata
dapat meningkatkan jumlah bakteri yang menguntungkan seperti
Lactobacillus sp. dalam feses ayam. Pemberian ekstrak daun katuk
melalui ransum ternyata dapat berfungsi sebagai antibakteri dan
menekan bau kandang, sehingga penampilan ternak yang diberi
daun katuk dapat meningkat (Santoso, 2000).

7.6. Daun Avokad (Persae americana Mill)


Tanaman advokad (Persae americana Mill) merupakan family
dari Lantaceae dan Genus Persae. Daun avokad dapat digunakan
sebagai bahan pakan sumber hijauan dalam ramsum ternak
monogastrik. Hijauan ini banyak mengandung lemak terutama
lemak tak jenuh, lesitin, fitosterol, vitamin A, B, D, dan E yang
berperan dalam menurunkan kolesterol.

162 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun avokad
adalah saponin, alkaloida, flavonoida, tanin, dan niasin. Niasin
merupakan salah satu koenzim yang sangat berguna dalam proses
percernaan zat makanan.
Wahyuningsih (2001) melaporkan bahwa daun advokad
mengandung: 10,50% protein kasar, 4,38 % lemak kasar, 26,33 %
serat kasar, 1,55 % Ca, 0,76 % P, dan energi termetabolisnya 2694
kkal/kg bahan serta kandungan taninnya tinggi, yaitu sebesar 6,32
%. Menurut Cheeke dan Shull (l985), tanin dalam bahan makanan
mempunyai aktivitas biologis yang dapat mengurangi kualitas
nutrisi, yaitu dapat menurunkan bioavailabilitas protein dan
karbohidrat. Lebih lanjut, dilaporkan juga oleh Wahyuningsih
(2001) bahwa penggunaan tepung daun advokad dalam ransum
pada level 2,91 % dapat direkomendasikan, karena memberikan
efisiensi penggunaan ransum yang lebih baik jika dibandingkan
dengan kontrol. Namun, penggunaan pada level 5 – 8,26 %
ternyata menurunkan pertambahan berat badan dan efisiensi
penggunaan ransum ayam broiler.

7.7. Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala)


Tepung daun lamtoro dapat digunakan sebagai sumber
protein nabati yang cukup baik. Kandungan xantofilnya
cukup tinggi, yaitu 660 ppm sedangkan jagung kuning sendiri
mengandung xantofil sebesar 20 ppm. Ini berarti bahwa
penggunaan tepung daun lamtoro dalam ransum sangat tepat
apabila tujuannya adalah untuk meningkatkan warna kuning pada
kaki, kulit, dan kuning telur ayam. Sebelum digunakan dalam
penyusunan ransum, tepung daun lamtoro harus dikeringkan
untuk menghilangkan senyawa mimosin, yaitu senyawa yang
dapat menyebabkan kerontokan bulu unggas.
Penggunaan daun lamtoro sebagai campuran hijauan
makanan ternak ruminansia sudah umum dilakukan. Akan tetapi,
pemberiannya tidak boleh berlebihan. Hal ini disebabkan karena
sering dijumpai terjadinya kerontokan bulu pada ternak kambing

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 163


yang diberikan daun lamtoro segar secara berlebihan.

7.8. Daun Mengkudu (Morinda citrifolia)


Mengkudu atau Noni (Morinda citrifolia) merupakan
tumbuhan asli Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat,
yaitu pada umur 1,5 – 2 tahun sudah dapat menghasilkan buah
pertama. Tanaman itu terus berproduksi sepanjang tahun tanpa
mengenal musim.
Dilaporkan oleh Nurhayati et al. (2005) bahwa tepung buah
mengkudu mengandung: 87,10 % BK; 9,02 % protein kasar; 2,65
% lemak kasar; 24,99 % serat kasar; 4383,46 kkal/kg GE; dan
energi termetabolis sebesar 3117,28 kkal/kg bahan (berdasarkan
perhitungan menurut NRC, 1994 yaitu 0,725 x GE).
Penggunaan tepung buah mengkudu sampai level 10 %
belum berpengaruh terhadap bobot potong dan bobot karkas
broiler. Namun, direkomendasikan penggunaannya sampai level
5 % karena di atas 5 % (7,5 – 10 %) ada kecendrungan terjadi
penurunan berat karkas.
Bangun dan Sarwono (2002) menyatakan bahwa zat
antibakteri yang terkandung dalam buah mengkudu antara lain
Antrakuinon, acubin, dan alizarin. Zat-zat ini dapat digunakan
untuk mengatasi masalah pencernaan, seperti radang saluran
pencernaan. Selain mengandung zat aktif tersebut, buah mengkudu
juga mengandung zat nutrisi dan energi yang dibutuhkan oleh
tubuh seperti protein, xeronin, dan prekursor xeronin (proxeronin).
Proxeronin akan diubah menjadi xeronin di dalam usus oleh enzim
proxeronase dan zat lain. Selanjutnya, xeronin akan diserap oleh
sel tubuh guna mengaktifkan protein yang tidak aktif, mengatur
struktur dan bentuk sel yang tidak aktif. Dilaporkan juga bahwa
mengkudu berkhasiat sebagai antibakteri (Leach et al., 1988).

7.9. Rumput Laut (Gracillaria sp)


Rumput laut (Gracillaria sp) sudah banyak dibudidayakan
di Bali dan merupakan bahan pakan berkualitas protein tinggi

164 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


karena kandungan asam amino esensialnya yang tinggi. Rumput
laut atau nama daerahnya “bulung sangu” mengandung asam
amino lisin 2,71 %, metionin 0,73 %, dan triptofan 1,04 % dari
bahan keringnya (Pond dan Manner, 1974). Dilaporkan juga bahwa
rumput laut mengandung energi termetabolis sebesar 1614 kkal/
kg, protein kasar 13,80 %, serat kasar 5,61 %, kalsium 1,96 %, dan
fosfor 0,36 %. Kelebihan lain yang dimiliki rumput laut adalah
tingginya kandungan serat terlarut (agar), yaitu 42 % yang sangat
penting artinya dalam mencegah kegemukan dan risiko terkena
penyakit jantung koroner (karena kolesterol tinggi).
Rumput laut sebenarnya merupakan istilah yang kurang
tepat, kalau yang dimaksud itu adalah seaweed (dalam bahasa
Inggris). Padahal rumput laut sebenarnya adalah alga laut benthik
dan sama sekali tidak tepat kalau digolongkan graminae. Sekarang,
rumput laut dikaji dalam satu kelompok ilmu tersendiri yakni
Algology atau Phycology, yaitu ilmu yang mempelajari hal-hal
yang berhubungan dengan alga.
Hasil analisis proksimat yang dilakukan oleh Pond dan
Maner (1974) dikutip oleh Sutji (1985) menunjukkan bahwa
rumput laut mengandung ME 1614 kkal/kg, protein kasar 13,86
%, serat kasar 5,61 %, ester ekstrak 0,28 %, bahan ekstrak bebas N
38,52 %, kalsium 1,96 % dan fosfor 0,36 %.
Dihubungkan dengan sifat hipokolesterolemik, ada tiga
komponen yang dikandung oleh rumput laut.
1. Algin, sering juga disebut asam alginik, yaitu suatu senyawa
yang berbentuk getah selaput (membran mucilage). Algin
dalam bentuk garam disebut alginat. Garam alginat ini ada
yang larut dalam air dan ada yang tidak larut dalam air.
Alginat yang larut dalam air, misalnya sodium alginat dan
potasium alginat, sedangkan yang tidak larut dalam air, yaitu
kalsium alginat.
2. Agar-agar, merupakan ester dari galaktan linier, yang tidak
larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas. Agar-agar
termasuk dalam komponen karbohidrat.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 165


3. Karagenan, ada dua bentuk yaitu kappa karagenan dan iota
karagenan. Karagenan dihasilkan oleh rumput laut dari
kelompok Rhodophyceae. Komponen tersebut mampu
mengikat lemak dan mineral dalam saluran pencernaan
sehingga mengurangi penyerapan (Stanogias et al., 1994).

Kelley dan Tsai (1978) yang melakukan penelitian pada


tikus dengan menambahkan agar-agar 5 % dalam ransumnya
melaporkan bahwa kandungan kolesterol dalam serum tikus
menurun. Serum tikus kontrol mengandung kolesterol 110 mg/
dl, sedangkan yang diberi perlakuan agar-agar mrnurun menjadi
108 mg/dl. Dijelaskan bahwa karbohidrat komplek seperti
pektin dan agar-agar menghambat penyerapan kolesterol karena
kemampuannya mengikat kolesterol dalam saluran pencernaan.
Bagiada (1986) meneliti pengaruh substitusi ransum
tradisional dengan rumput laut 7 % terhadap kadar kolesterol
serum dan daging babi Bali. Dilaporkan bahwa kelom­pok babi
yang mendapat substitusi rumput laut, rataan kadar kolesterol
serumnya adalah 96,15 mg/100 ml, se­dangkan yang kontrol 103
mg/100 ml. Kadar kolesterol dalam daging pada kelompok
kontrol 60,90 mg %, sedangkan kelompok babi yang diberi
rumput laut 56,08 mg %. Rendahnya kadar kolesterol serum dan
daging pada kelompok yang diberi substitusi rumput laut diduga
karena rumput laut yang kandungan asam amino triptopan dan
serat kasar cukup tinggi itu mampu mengaktifkan bakteri pada
usus bagian bawah yang dapat mengubah kolesterol menjadi
koprostanol. Selanjutnya, koprostanol dikeluarkan bersama
feses. Dengan demikian, kolesterol yang kembali ke darah lewat
sistem enterohepatik akan berkurang dan hiperkoles­terolemi
dapat dikurangi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Budaarsa (1997)
menunjukkan bahwa pemberian rumput laut pada babi ternyata
dapat menurunkan komponen lemak tubuh pada babi. Babi
yang mendapat ransum tanpa rumput laut komponen lemaknya

166 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


adalah 39,48 % dari bobot karkas (Tabel 52), sedangkan pada babi
yang diberi ransum 5 % dan 10 % rumput laut masing-masing
38,14 % dan 37,38 %. Penurunan komponen lemak disebabkan
oleh adanya penghambatan penyerapan lemak oleh komponen
serat yang terkandung dalam rumput laut. Getah empedu yang
berperan penting dalam proses penyerapan lemak bisa menbentuk
ikatan dengan algin dari rumput laut sehingga kelarutan lemak
menurun.

Tabel 52. Komponen karkas dan kadar kolesterol daging babi


yang diberi rumput laut
Level Rumput laut dalam Ransum
Variabel
0% 5% 10 %
Bobot karkas(kg) 51,80a 55,03a 44,0a
Daging (kg) 26,04a 28,6 a 24,90a
Tulang (kg) 5.30a 5,47a 3,50a
Lemak (kg) 20,45a 20,99a 16,45a
Kolesteroldagingmg/100g 205,00a* 174,70b* 138,50c*
Keterangan: Sumber (Budaarsa, 1997)
* Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama, berbeda
nyata (P<0,05)

Serat terlarut yang terdapat dalam rumput laut


menurunkan kecernaan ransum terutama lemak dan kolesterol.
Adanya serat akan menghasilkan asam lemak mudah menguap
(asam asetat, propionat, dan butirat) dalam sekum, kemudian
asam lemak tersebut terutama propionat setelah diserap akan
menekan kerja enzim HMG-KoA reduktase, salah satu enzim utama
dalam biosintesis kolesterol.
Hasil penelitian Bidura dan Ramia (2004) menunjukkan
bahwa pemberian rumput laut sebagai sumber serat terlarut dalam
ransum itik pada tingkat 6 % ternyata menurunkan pertambahan
berat badan itik, tetapi secara meyakinkan dapat mengurangi

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 167


penimbunan lemak tubuh.
Kandungan agar (serat terlarut) dalam rumput laut yang
tinggi, yaitu 42 % ternyata dapat menurunkan kadar kolesterol
darah. Hal ini dilaporkan oleh Supadmo dan Sutardi (l997);
peningkatan kandungan agar dalam ransum ternyata tidak
mempengaruhi berat badan dan efisiensi penggunaan ransum
pada ayam, tetapi kadar kolesterol dalam ekskreta meningkat.
Dilaporkan juga bahwa penggunaan serat akan menunjukkan
responnya, khususnya pada ternak unggas yang sedang tumbuh
(starter – grower), karena serat sangat penting artinya dalam saluran
pencernaan unggas. Dari Tabel 53, terlihat bahwa penggunaan
tepung rumput laut dalam ransum itik nampaknya paling ideal
pada tingkat 3 %.

Tabel 53. Pengaruh penggunaan tepung rumput laut sebagai


sumber serat terlarut (agar) dalam ransum terhadap
penampilan, karkas, perlemakan, dan kolesterol
darah itik Bali jantan umur 2 – 8 minggu
Level Agar dalam Ransum

Variabel 0% 3% 6%
Pertambahan berat badan (g) 1111,83a* 1125,33a* 1013,50b*
Konsumsi ransum (g) 4623,17a 4584,5a 4358,17b
Konsumsi lysin (g) 41,61b 43,24a 42,49a
Feed Conversion Ratio (FCR) 4,16b 4,08c 4,30a
Berat Karkas (g) 776,83a 786,50a 707,17b
Persentase karkas (%) 60,53a 60,57a 59,72a
Kolesterol total (mg/dl darah) 174,33a 171,33a 153,00b
Pad-fat (g/100 g berat badan) 0,30a 0,25b 0,24b
Abdominal-fat (g/100g Berat badan) 0,64a 0,58b 0,53b
Lemaksubkutan+kulit(g/100gBeratbadan) 15,50a 14,63b 14,56b
Sumber : Bidura dan Ramia (2004)
* Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama, berbeda
nyata (P<0,05)

168 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tingginya kandungan serat terlarut pada rumput laut
ternyata dapat berfungsi sebagai : (1) penyerap air dan membentuk
massa atau gumpalan yang merangsang gerakan usus; (2)
mempercepat laju aliran ransum dan memperkecil timbulnya
pertumbuhan sel ganas kanker; (3) menurunkan kadar kolesterol
darah; dan (4) mengontrol berat badan (Abu Bakar, 2001) serta
menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan, seperti
Lactobacilli dan Bifidobacteria (Bao-Ming Shi et al., 2001).

7.10 Daun Pepaya (Carica papaya L)

Pada zaman pendudukan Jepang, ketika obat sukar


didapat, penderita penyakit malaria selalu diobati dengan
minuman perasan daun pepaya. Rasa pahit dari daun pepaya
disebabkan karena kandungan alkaloid carpain (C14H25NO2) yang
banyak terdapat pada daun. Hal ini ditegaskan juga dari hasil
pemeriksaan skrining fitokimia dengan menggunakan metode
kromatografi lapis tipis. Kandungan kimiawi daun tanaman
pepaya (Carica papaya L) menunjukkan bahwa tanaman tersebut
mengandung senyawa-senyawa yang mengarah pada zat pahit
yaitu alkaloid (Hartanto, 1994).
Buah pepaya tergolong buah yang populer dan digemari
oleh hampir seluruh penduduk dunia. Buah mengandung
gizi cukup tinggi karena mengandung banyak provitamin A
dan vitamin C, juga mineral kalsium. Daun pepaya berkhasiat
sebagai peluntur empedu, sedangkan seduhannya berdaya kerja
sebagai pencahar dan mencegah kejang lambung, serta dapat juga
digunakan untuk mengatasi demam dan malaria. Daun pepaya
juga dapat digunakan sebagai penghilang rasa sakit (analgetik)
dan penambah nafsu makan (Wijayakusuma,1995).
Kandungan kimia pada masing-masing bagian pepaya
menurut Wijayakusuma (1995) adalah sebagai berikut ini.
1. Pada bagian daun, terdapat enzim papain, alkaloid carpain,
pseudocarparina, glikosid, saponin, sukrosa, dan dektrosa.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 169


2. Pada bagian buah, terdapat beta carotene, pectin, d-galaktosa,
I-arabinosa, papain, fitokinase.
3. Pada bagian biji, terdapat papain, kemo karpain, lisosom, lipase,
glutamin, siklo transferase.
4. Pada bagian akar, terdapat alkaloid, saponin, dan flavonoid
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, ternyata


kandungan nutrisi pada buah masak, buah mentah, dan daun
pepaya berbeda-beda. Data lebih rinci tersaji pada Tabel 54.

Tabel 54. Analisis komposisi buah dan daun pepaya (100 g)*
Unsur Buah masak Buah Mentah Daun

Energi (kal) 46 26 79
Air (g) 86,7 92,3 75,4
Protein (g) 0,5 2,1 8,0
Lemak (g) - 0,1 2,0
Karbohidrat(g) 12,2 4,9 11,9
Vitamin A (IU) 365 50 18250
Vitamin B (IU) 0,04 0,02 0,15
Vitamin C (IU) 78 19 140
Kalsium (mg) 23 50 353
Besi (mg) 1,7 0,4 0,8
Fosfor(mg) 12 16 63

* Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, (1979) dikutip dari


Kalie (2003).

Kandungan gizi daun papaya adalah sebagai berikut :


87,37 % bahan kering; 16,77 % protein kasar; 8,55 % lemak kasar;
16,28 % serat kasar; 4,57 % Ca; 0,38 % P; 33,37 % bahan ekstrak
tiada nitrogen; dan energi brutonya sebesar 4102 kkal/kg bahan

170 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


(Widiyaningrum, 2000).
Metode pembuatan ekstrak daun papaya adalah 400 gram
daun pepaya umur sedang (tidak muda, tidak tua) dipotong 1 – 2
cm dan dimasak dalam 2 liter air. Perebusan dihentikan apabila
volume air sampai mencapai 1 liter dan siap diberikan pada ayam.
Pemberian melalui air minum adalah 5, 10, 15, dan 25 ml dalam 1
liter air minum yang diberikan (Sudjatinah et al., 2005).
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pemberian ekstrak daun pepaya pada level 0,5 – 2,5 % dalam air
minum ternyata tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum,
pertambahahn berat badan, dan efisiensi penggunaan ransum.
Namun, ada kecendrungan terjadi peningkatan pertambahan
berat badan pada pemberian 2,5 % ekstrak daun pepaya melalui
air minum masing dari 534,09 g menjadi 586,46 gram.
Dalam industri produksi papain (crude papain) secara
tradisional, getah hasil penyadapan buah dikeringkan dengan
bantuan sinar matahari. Namun, papain ini mempunyai aktivitas
proteolitik yang lebih rendah daripada papain yang dikeringkan
dengan pengering semprot atau “spray drier” (Muhidin, 2003).
Daun pepaya yang sudah layu sampai kering masih mengandung
enzim walaupun aktivitas protiolitiknya rendah.
Alkaloid yang terdapat pada pepaya ternyata dapat
menurunkan tekanan darah tinggi dan membunuh amuba.
Alkaloid secara fisiologis merupakan senyawa penting yang
terjadi dalam tumbuhan dan mengandung nitrogen. Kebanyakan
alkaloid berupa zat padat, rasa pahit, dan sukar larut dalam air
tetapi mudah larut dalam kloroform, eter, dan pelarut organik
lain yang relatif non polar dan tidak bercampur dengan air.
Peran alkaloid bagi tumbuhan antara lain sebagai zat yang
melindungi tumbuhan dari gangguan serangga dan hewan,
produk akhir reaksi detoksifikasi hasil metabolisme, faktor
pengatur pertumbuhan, dan persediaan unsur N yang mungkin
diperlukan bagi tumbuhan (Mursyidi, 1982). Pada Tabel 55,
tersaji hasil penelitian Sriyani (2004) pada kambing yang diberi

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 171


daun pepaya pada level yang berbeda.

Tabel 55. Rata–rata berat badan awal, berat badan akhir, konsumsi
pakan harian, pertambahan berat badan harian
(PBBH) dan konversi pakan kambing Bligon yang
diberi daun pepaya
Tingkat Pemberian Daun Pepaya
Variabel
0% 25 % 50 %

Berat badan awal (kg) 13,74 ± 0,46 13,74 ± 1,04 14,26 ± 0,73

Berat badan akhir (kg) 14,10 ± 0,93 13,94 ± 0,68 15,27 ± 0,72

Pertambahanberatbadan
8,57 ± 5,22 8,86 ± 7,85 13,33 ± 4,99
harian (g)
Konsumsi bahan kering
50,74 ± 1,04 65,83 ± 7,9 82,55 ± 1,83
(g/kg/BB0,75)
Konsumsi PK (g/kg
5,64 ± 0,11 7,53 ± 0,44 8,79 ± 0,19
BB0,75)
Konsumsi TDN (g/kg
27,38 ± 0,53 34,61 ± 1,98 39,72 ± 0,88
BB0,75)

Konversi pakan 42,59 56,40 45,77

Sumber : Sriyani (2004)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa konsumen


dan rumah potong hewan mengeluh bahwa daging kambing yang
diberi pakan daun pepaya mempunyai cita rasa pahit. Hal ini
diduga disebabkan oleh cita rasa pahit pada daun pepaya karena
kandungan alkaloid carpain (C14H25NO2) belum bisa didetoksifikasi
oleh organ hati sehingga rasa pahit menyebar sampai ke jaringan.
Alkaloid merupakan zat padat, rasanya pahit, dan sukar larut
dalam air (Mursyidi, 1982).
Hasil analisis non parametrik pada penelitian Sriyani (2004)

172 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata pada warna
daging yang telah direbus. Warna daging kambing yang diberi
50 % pakan daun pepaya menghasilkan warna daging yang lebih
tinggi (dari coklat sampai agak coklat) daripada warna daging
kambing yang diberi 25 % daun pepaya) maupun kontrol (tanpa
daun pepaya).
Pemberian daun pepaya pada kambing pada level 25 – 50
% dalam ransum yang diberikan, ternyata menyebabkan daging
yang dihasilkan masih terasa pahit. Data lebih jelasnya tersaji
pada Tabel 56.

Tabel 56. Rataan skor rasa, tekstur, keempukan, dan warna daging
kambing Bligon yang diberi daun pepaya
Tingkat Daun Pepaya Dalam Ransum
Variabel
0% 25 % 50 %
Rasa 1,90 2,93 2,73
Tekstur 3,13 2,57 3,23
Keempukan 2,87 3,27 2,27
Warna 2,70 2,83 3,50
Sumber : Sriyani (2004)

Tie Tze (2002) menyatakan bahwa enzim proteolitik papain


mempunyai kemampuan memecah protein dan mengubah
porsinya ke dalam arginin, karena arginin dalam bentuk aslinya
terbukti mampu mempengaruhi produksi hormon pertumbuhan
yang diproduksi oleh kelenjar pituitaria pada manusia.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 173


174 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
VIII. TEKNOLOGI PENGOLAHAN FISIK
DAN KIMIA

8.1 Aplikasi Teknologi Pengolahan Limbah

B erbagai macam teknologi pengolahan pakan bisa


diterapkan dalam meningkatkan kualitas bahan pakan
yang tersedia. Pengolahan pakan pada umumnya dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu fisik, kimia, dan biologis. Metode fisik
antara lain: perendaman (soaking), penggilingan (grinding), pellet
(pelleting), pemanasan dalam air (boiling), pemanasan dengan
tekanan uap (steaming), penyinaran dengan sinar radiasi, dan
lain sebagainya. Pengeringan pakan harus memperhatikan suhu
serta lama pengeringan untuk menghindari terjadinya ikatan
antara protein dan karbohidrat, yang lebih dikenal dengan istilah
maillard browning yang menyebabkan solubilitas dan kecernaan
pakan menurun.
Beberapa macam pengolahan yang dapat diaplikasikan
pada bahan pakan limbah tersaji pada Gambar 23. Penggunaan
teknologi pengolahan tersebut, tentu saja sangat dipengaruhi oleh
jenis, bentuk fisik, dan kandungan nutrisi pakan limbah.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 175


Gambar 23. Skema pengolahan limbah sebelum diberikan kepada
ternak

Metode kimia umumnya menggunakan zat yang bersifat


basa kuat, seperti NaOH, KOH, CaOH, NH4OH, dan sebagainya.
Lebih lanjut, metode biologis dilakukan dengan menambahkan
enzim, probiotik, jamur, dan lain sebagainya. Di samping itu,
dilakukan perlakuan pengolahan pakan dengan menggabungkan
beberapa metode yang ada karena adanya kelemahan dan
keterbatasan masing-masing metode.
Perlakuan fisik dapat berupa pemotongan, penggilingan,
radiasi, atau pemanasan. Namun, perlakuan kimia dapat
menggunakan asam encer, urea (amoniasi), NaOH, KOH, dan air
kapur. Perlakuan fisika-kimia, contohnya memperkecil ukuran
partikel, dan perlakuan kimia (pelleting, steaming).

176 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


8.2 Pengolahan Secara Fisik
8.2.1. Teknologi Memperluas Permukaan Pakan
Umumnya penggilingan biji-bijian seperti jagung, sorghum,
gaplek, dan lain-lainnya bertujuan untuk memperkecil ukuran
partikel sehingga lebih mudah untuk pencampuran dalam
penyusunan ransum, serta memperbesar luas permukaan pakan
sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan. Beberapa
macam alat yang umumnya digunakan untuk memperkecil
ukuran partikel atau untuk memperluas permukaan partikel per
satuan berat partikel antara lain sebagai berikut ini.
1. Hummer mill, yaitu mesin penggilingan yang dilengkapi
dengan saringan yang berdiameter berkisar antara 3 – 6
mm.
2. Disk mill, yaitu alat yang umumnya digunakan untuk ransum
ayam petelur secara manual. Kecepatan penggilingan sangat
tergantung dari jenis biji-bijian yang digunakan, kadar air,
ukuran saringan, dan laju alir.
3. Roller mill, yaitu mesin pemecah pakan yang terdiri atas dua
silinder dengan permukaan kasar yang berputar dan tanpa
memerlukan penyaringan.
4. Roasting, mesin ini sudah dilengkapi dengan pemanas
langsung dengan menggunakan api. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan daya cerna dan mematikan senyawa
racun (suhu berkisar antara 140 – 180 0C)
5. Metode Ekstruksi, biasanya pada kacang kedelai, di mana biji-
bijian dipaksakan masuk dalam uliran baja sehingga akibat
gesekan yang terjadi dapat timbul panas yang dipakai untuk
memanaskan dan mengeringkan bahan. Extruder sering
diberi uap panas sehingga dikenal dengan wet extruder.

Proses memperluas permukaan (bentuk tepung) pada kulit


ari kacang kedelai sebelum difermentasi juga sangat membantu
meningkatkan nilai cerna dari kulit ari kacang kedelai tersebut.
Penghalusan ukuran melalui penggilingan atau penumbukan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 177


tersebut menyebabkan molekul selulosa dapat lebih mudah
menerima penetrasi enzim ekstraseluler dari mikroba untuk
terurai menjadi monomer glukosa yang dapat diangkut melalui
membran sel, dan digunakan sebagai sumber energi oleh mikroba
(Suharsono, 1989). Proses memperbesar porositas molekul, seperti
pembengkakan molekul selulosa dengan perendaman juga dapat
meningkatkan kemudahan degradasi selulosa, sehingga tercapai
fermentasi yang efisien.

8.2.2. Pengolahan Kering (Hay)


Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak berupa rumput-
rumputan dan hijauan leguminosa yang disimpan dalam bentuk
kering berkadar air berkisar antara 20 – 30 %. Pembuatan hay
bertujuan untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak
mengganggu pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab
tanaman yang seragam akan memiliki daya cerna yang lebih
tinggi.
Tujuan khusus pembuatan hay adalah agar tanaman hijauan
(pada waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan untuk
jangka waktu tertentu sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam
mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Ada dua
metode pembuatan hay yang dapat diterapkan.
1. Metode Hamparan. Ini merupakan metode sederhana,
dilakukan dengan cara menghamparkan hijauan yang sudah
dipotong di lapangan terbuka di bawah sinar matahari.
Setiap hari hamparan dibolik-balik hingga kering. Hay yang
dibuat dengan cara ini biasanya memiliki kadar air berkisar
antara 20 – 30 % (tanda secara fisik adalah hijauan berwarna
kecoklat-coklatan).
2. Metode Pod. Ini dilakukan dengan menggunakan semacam
rak sebagai tempat menyimpan hijauan yang telah dijemur
selama 1 - 3 hari (kadar air lebih kurang 50%). Hijauan
yang akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga
(berkadar protein tinggi, serat kasar dan kandungan air

178 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur (tidak
berwarna “gosong”) yang akan menyebabkan turunnya
palatabilitas dan kualitas.

Pengeringan hijauan makanan ternak harus memperhatikan


suhu serta lama pengeringan. Hal ini penting untuk menghindari
terjadinya ikatan antara protein dan karbohidrat, yang lebih
dikenal dengan istilah maillard browning yang menyebabkan
solubilitas dan kecernaan pakan menurun.

8.2.3. Pengolahan Basah


Sistem pengolahan basah ini umumnya diterapkan pada
bahan pakan biji-bijian. Bijian segar yang baru dipanen ditambahi
air sehingga kadar air mencapai 25 – 30 %, selanjutnya disimpan
dalam wadah yang anaerob selama 3 minggu sebelum diberikan
pada ternak. Dengan cara ini, ternyata dapat ditingkatkan nilai
gizi bahan pakan dan sebagai cara penyimpanan yang praktis.
Pemasakan selama 3 – 5 menit dapat juga dilakukan
sebelum digiling dengan roller (steam rolling) atau dibuat flake
(keping). Pembuatan flake diperlukan dengan pengukusan
untuk meningkatkan kadar air dan selanjutnya digencet menjadi
kepingan. Pengukusan dengan tekanan (pressure coacking)
dapat juga diterapkan, misalnya pada biji jagung dengan tekanan
3 kg/cm2 atau suhu 143 0C, atau untuk biji-bijian legum yang
mengandung senyawa racun, seperti antitripsin dan lectin.
Pada pabrik makanan ternak, pengolahan basah sering
digunakan untuk pakan broiler yang dibuat pellet atau crumble.
Proses pembuatan pellet berlangsung dengan cara penambahan
uap dengan temperatur 60 – 94 0C, kemudian dipress di dalam
mesin sehingga sebagian pati akan mengalami gelatinisasi (16 – 25
%).

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 179


8.3 Pengolahan Kimia
8.3.1. Amoniasi
Perlakuan secara kimia untuk hijauan kualitas rendah
bertujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi dan kecernaan hijauan
tersebut. Pengolahan kimia dengan amoniasi ini sangat disukai
oleh petani peternak, karena sangat praktis dan ketersediaan
bahannya mudah didapat. Amonia yang digunakan dapat dalam
berbagai bentuk seperti gas amonia (anhydrous ammonia), larutan
amonia, urea, dan urine.
Pengolahan dengan amonia cair dilakukan dengan cara : (a)
bahan jerami yang akan diolah harus tertutup rapat dengan plastik
dan (b) selanjutnya gas cair bertekanan dimasukkan ke tengah-
tengah. Pada tekanan atmosfer, amonia akan berubah menjadi
gas dan menembus jerami. Untuk daerah tropis, perlakuan ini
memerlukan waktu dua minggu.
Penggunaan amonia lebih bermanfaat pada bahan pakan
(hijauan) dengan kandungan air tinggi (15 – 20 %) dan pengolahan
dengan ammonia tersebut dapat mencegah serangan jamur. Untuk
mempercepat pengolahan, dapat digunakan suhu tinggi sampai
45 0C. Karena amonia bertekanan membutuhkan peralatan yang
memadai, maka larutan amonia yang digunakan hendaknya pada
konsentrasi 25 – 35 %. Pada skala kecil, pemakaian urea lebih
mudah karena urea di pedesaan mudah didapat sebagai pupuk.
Urea terlebih dahulu harus berubah menjadi amonia agar lebih
efektif. Dekomposisi urea menjadi CO2 dan NH3 dapat terjadi
dengan pemanasan sampai 133 0C.
Pada Gambar 24, tersaji perubahan struktur dinding sel
(serat) pod kakao sebagai akibat pengolahan. Sebelum pengolahan,
struktur serat kasar pada pod kakao tampak kokoh dan akan
sangat sulit dihidrolilis oleh enzim pencernaan maupun oleh
mikroba rumen (Gambar 24a). Namun, dengan adanya proses
amoniasi, dinding serat pada pod kakao menjadi longgar sehingga
akan lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan maupun enzim
mikroba dalam rumen (Gambar 24b).

180 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Gambar 24. Perubahan struktur serat pod kakao segar (a) dan
dengan amoniasi 1,5% Urea (b) (Erika, 1998)

8.3.2. Perlakuan NaOH


Sistem pengolahan dengan menggunakan larutan NaOH
yang sudah umum digunakan adalah dengan metode pencelupan,
yaitu bahan pakan (umumnya jerami) langsung dicelupkan ke
dalam larutan NaOH yang sudah dipersiapkan. Hasil pencucian
jerami yang sudah diberi NaOH dapat dipergunakan lagi untuk
pencelupan berikutnya.
Pemakaian NaOH dalam bentuk kering dapat juga dilakukan
setelah jerami terlebih dahulu digiling dan larutan NaOH pekat
(20 – 30 %) disemprotkan ke dalam bahan. Pengepresan atau
pemeletan setelah penambahan NaOH akan menaikkan suhu
sehingga timbul reaksi antara bahan dengan NaOH. Konsentrasi
NaOH yang digunakan berkisar antara 4 – 6 % dari total bahan
kering jerami yang digunakan. Pada kenyataannya di lapangan,
larutan NaOH dapat langsung disemprotkan pada jerami dan
selanjutnya diaduk rata.
Pada industri peternakan berskala besar, senyawa kimia
yang sering digunakan selain NaOH adalah Ca(OH)2 atau gamping
(CaO), KOH yang hampir sama dengan NaOH, dan bahan lain
seperti (SO2)3, ClO2, dan Na2CO3. Metode pembuatannya adalah

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 181


sebagai berikut ini.
1. Pengolahan dengan Ca(OH)2: gunakan 40 – 90 g Ca(OH)2
untuk 1 kg bahan kering bahan pakan hijauan atau jerami.
Kadar air bahan pakan diusahakan berkisar antara 40 – 50 %
dan disimpan selama 2 minggu.
2. Pengolahan dengan KOH, yaitu sebanyak 40 – 90 g Ca(OH)2
untuk 1 kg bahan kering bahan/jerami. Kadar air berkisar
antara 40 – 50 % dan disimpan selama lebih kurang 2
minggu.
3. Pengolahan dengan Na2CO3 kristal: bahan tersebut
disemprotkan atau larutan pekat sebagai pencelup, yaitu
sebanyak 2,5 – 5 % Na2CO3 dalam bahan kering dan disimpan
selama 1 – 7 hari.
Pada Tabel 57 tersaji prosedur penggunaan NaOH dan
kadar air yang diperlukan dalam pengolahan hijauan makanan
ternak berkualitas rendah, serta kondisi optimum yang diperlukan
untuk mendapatkan hasil pengolahan yang maksimal.

Tabel 57. Metode pengolahan dengan NaOH untuk hijauan


(Roughage) kualitas rendah
TingkatKadarAir Prosedur Kondisi Optimum

1,5 – 2,5 % lar. NaOH


Direndam dengan NaOH,
direndam 12 jam dan dicuci
kemudian dicuci
sampai netral

1,5 % lar. NaOH,


Dicelupkan dg lar. NaOH,
perendaman 1/2 - 1 jam
tanpa dicuci lalu disimpan
waktu pematangan
PerlakuanBasah
5,5 kg lar. NaOH dan 0,6 kg
Ca(OH)2 untuk tiap 100 kg
Disemprotdglar.NaOHdalam
jerami.Larutandisirkulasikan
ruangan
7-8jamdandisimpanselama
10 – 15 jam.

182 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Kada air 40 – 70 %, NaOH
Perlakuan DibuatsilasedgNaOHdalam 3 – 5 % berat kering, kedap
setengah Basah silo atau disusun udara selama lebih dari 1
minggu

Lar. NaOH 2 % sebanyak


Bahanteruraidisemprotdglar.
200 l untuk 100 kg bahan
NaOH dan diaduk rata
disimpan selama 24 jam

Perlakuan diberikan ketika 0,8 – 1,0 kg dari lar. NaOH 50


bahandikumpulkandandibuat % untuk setiap bale berat 10
bale, disemprot dg NaOH kg dan disimpan 1 minggu

Bahandirecah/dipotongdan
425 kg lar. NaOH 16 % untuk
disemprot dg NaOH dalam
setiap 1 ton jerami
mixer

PerlakuanKering Bhn.direcah,dicampurdengan 150-180 liter lar. NaOH 27 %


NaOHdandipanaskn80-100 untuk setiap ton bahan dan
oC. dibiarkan selama 3 hari.

Kondisi bervariasi. Lar. NaO


Bahandipotongataudigiling, 27 – 47 % ditambahkan
dicampur dg NaOH dan sehingga terdapat 4-5 %
dipress atau dipelet. NaOH dalam bahan kering,
dipress pada suhu70-90 oC.

8.4 Perubahan Fisiko-Kimia Akibat Pengolahan


Perubahan fisikokimia yang terjadi terhadap bahan pakan
akibat pengolahan dapat dikelompokkan menjadi empat bagian
sebagai berikut ini.
1. Sebagian besar bahan pakan harus digiling terlebih
dahulu sebelum diberikan kepada ternak atau dicampur
dengan komponen bahan lainnya. Karena itu, pemecahan
bahan pakan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil akan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 183


meningkatkan luas permukaan bahan.
2. Panas yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya
gelatinisasi pati. Pada suhu 67 – 77 oC untuk sorghum,
gelatinisasi menyebabkan peningkatan kecernaan pati pada
ternak ruminansia, tetapi pengaruhnya itu tidak nyata pada
ternak monogastrik. Pemanasan terlalu tinggi dapat merusak
kecernaan asam amino lysin, tetapi dapat menghilangkan
racun (antitripsin)
3. Penambahan air. Sorghum yang ditambahi air dan diperam
selama dua minggu dapat meningkatkan kecernaan protein
serta dapat melarutkan senyawa tanin.
4. Penambahan bahan kimia. Penambahan alkali (basa) dapat
menyebabkan partikel pati membengkak dan pecahnya kulit
biji (seed coat) dan dapat meningkatkan daya cerna pakan
berserat tinggi. Penambahan amonia hanya efektif apabila
cukup waktu untuk kontak terhadap jamur. Penambahan
asam organik untuk pengawet terhadap jamur ternyata dapat
mempengaruhi kecernaan pakan, tetapi dapat menurunkan
jumlah vitamin E dalam bahan pakan yang diawetkan.
5. Proses fermentasi menyebabkan nilai cerna zat makanan,
khususnya energi meningkat. Akibat proses fermentasi,
kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam bahan
pakan terfermentasi menurun secara nyata dan sebaliknya,
kandungan protein dan energi termetabolis meningkat
masing-masing 16,00 % dan 48,40 %.

184 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


IX. TEKNOLOGI FERMENTASI

9.1 Pengertian Fermentasi

I stilah fermentasi berasal dari kata kerja Latin, fervere, artinya


mendidih, yaitu pemaparan peristiwa hasil kerja ragi
dalam sari buah atau sari biji-bijian. Peristiwa tersebut sebenarnya
ditimbulkan oleh gelembung-gelembung gas karbondioksida
yang dihasilkan dari katabolisme karbohidrat secara anaerobik.
Namun, pengertian fermentasi ini sekarang sudah diperluas dan
bahkan kadang-kadang sudah berbeda sama sekali baik ditinjau
dari segi biokimia maupun dari segi mikrobiologi industri. Dari
sudut biokimia, fermentasi berhubungan dengan pembebasan
energi pada katabolisme senyawa organik.
Biofermentasi merupakan proses perubahan kimia pada
substrat sebagai hasil kerja enzim dari mikroorganisme dengan
menghasilkan produk tertentu. Proses ini berjalan tergantung
pada jenis substrat, mikroorganisme dan lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 185


9.2 Tipe Fermentasi
Berdasarkan produk hasil fermentasinya, ada tiga tipe
fermentasi yang sering dijumpai dalam proses pengolahan atau
pengawetan pakan limbah.
1. Tipe fermentasi asam laktat adalah tipe fermentasi yang
sangat penting dalam penyimpanan bahan pakan. Gula dalam
bahan pakan dapat dikonversikan menjadi asam laktat dan
produk-produk akhir lainnya, serta dalam jumlah tertentu
dapat menciptakan lingkungan untuk mengendalikan
organisme yang lain. Fermentasi asam laktat sangat efisien
karena mikroba dalam proses ini pertumbuhannya cepat.
Dalam hal ini, gula dikonversikan menjadi asam, selanjutnya
asam dioksidasi untuk menghasilkan CO2 + H2O. Sebagai
contoh, beberapa jenis jamur digunakan untuk memproduksi
asam sitrat dari larutan gula.
2. Tipe fermentasi asam butirat kurang bermanfaat dalam proses
pengawetan pakan bila dibandingkan dengan fermentasi
laktat. Organime dalam fermentasi asam butirat ini bersifat
anaerob dan menghasilkan cita rasa serta bau yang tidak
dikehendaki oleh bahan pakan.
3. Tipe fermentasi yang memproduksi gas dalam jumlah besar.
Fermentasi ini bermanfaat dalam pengawetan pangan,
walaupun produksi gas memberikan kerugian. Dari segi
energi, hal ini kurang efisien untuk menghasilkan gas (C02
+ H2), karena kurang atau tidak memiliki daya pengawet
jika dibandingkan dengan tipe fermentasi asam laktat pada
kadar yang sama. Miroorganisme pembusuk masih mampu
tumbuh dalam suasana fermentasi tipe ini. Dalam proses
fermentasi ini molekul gula diubah menjadi bentuk asam,
alkohol, dan gas CO2.

Ada dua cara serangan mikroba dalam proses fermentasi.


(1) Oksidasi sempurna di mana karbohidrat + O2  CO2 + H2O.
Kebanyakan oksidasi sempurna ini dilakukan oleh bakteri, jamur,

186 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


dan ragi. (2) Oksidasi sebagian dan produk intermedietnya
digunakan oleh industri. Beberapa contoh untuk itu antara lain :

9.3 Perubahan Nilai Gizi pakan Akibat Fermentasi


Substrat yang mengalami biofermentasi biasanya memiliki
nilai gizi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya. Hal ini
dikarenakan adanya sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme
sehingga mampu memecah komponen yang lebih kompleks
menjadi senyawa yang sederhana dan mudah tercerna. Proses
fermentasi akan merombak struktur jaringan kimia dinding sel
dan pemutusan ikatan lignoselulosa. Pakan yang mengalami

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 187


fermentasi akan meningkat kecernaan nutriennya.
Kapang Phanerochaete chrysosporium dari klas Basidiomycetes
adalah kapang pendegradasi lignin, membentuk sekumpulan
meselia dan berkembang biak secara ansexual melalui spora
(Dhawale dan Katrina, 1993). Menurut Vallie et al. (l992), kapang
ini mempunyai kemampuan kuat merombak lignin dengan
cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler, berupa lignin
peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP).
Pada Gambar 25, terlihat perubahan struktur serat pod kakao
sebelum perlakuan (kontrol) dan setelah perlakuan masing-masing
dengan biofermentasi cairan rumen dan biofermentasi kapang P.
chrysosporium. Struktur serat pod kakao tanpa pengolahan masih
mempunyai struktur yang kokoh dan padat, sedangkan struktur
serat setelah biofermentasi rumen dan kapang (Phanerochaete
chrysosporium) tampak lebih renggang dan mudah didegradasi.

Gambar 25. Perubahan struktur serat pod kakao setelah perlakuan


pengolahan (tanpa, biofermentasi rumen, dan biofermentasi
Kapang P. Chrysosporium (Erika, 1998)

Dalam proses fermentasi dengan menggunakan


kultur murni, proses sterilisasi harus benar-benar dijaga untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Pada Gambar 26, tersaji bagan
alir proses fermentasi dengan menggunakan kultur murni pada
substrat padat pakan limbah (dedak padi, kulit kacang kedelai,
pod kakao, dan lain-lain).

188 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Gambar 26. Bagan alir proses fermentasi dengan penambahan
kultur murni

Trichoderma sp adalah mikroorganisme dari golongan jamur


yang mampu memproduksi berbagai jenis enzim yang terlibat
dalam penguraian senyawa kompleks (polimer) karbohidrat yang
dikandung oleh bahan pakan ternak yang berasal dari jerami
padi. Enzim yang dapat diproduksi, yaitu endo-ß-glucanase dan
exo-ß-glucanase dalam jumlah yang relatif besar dan ß-glucosidase

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 189


dalam jumlah relatif kecil. Ketiga jenis enzim tersebut merupakan
komponen utama dalam sistem enzim selulolitik yang mampu
menghidrolisis kristal selulose (in vitro) secara sempurna. Strain
Trichoderma sp yang dinilai paling baik untuk menghasilkan enzim
selulase adalah Trichoderma reesei QM-9414.
Enzim tersebut merupakan katalisator biologis dalam proses
metabolisme untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi
proses tersebut. Secara umum, enzim yang digunakan pada
pakan adalah produk fermentasi dari mikroorganisme, baik fungi
maupun bakteri. Enzim yang diproduksi oleh bakteri termasuk
ß-gluconase dan endoprotease dari Bacillus subtilis, pullunase dari
Bacillus acidophilus, sedangkan yang berasal dari fungi adalah
pektinase dari Aspergillus niger, sellulase dari Trichoderma ressei atau
T. virideae.

9.4. Pengendalian Fermentasi


Bahan pakan yang terkena kontaminasi oleh mikroba
akan menjadi busuk bila tidak terjaga. Jenis kegiatan yang akan
berkembang tergantung pada kondisi lingkungan yang ada.
Adapaun faktor pengendali tersebut adalah sebagai berikut ini.
1. Derajat keasaman (pH). Ada dua jenis fermentasi yang
penting dalam bahan pakan, yaitu fermentasi oksidatif dan
fermentasi alkoholis, di mana pertumbuhan organisme
dikendalikan oleh derajat keasaman (pH) medium.
2. Sumber energi. Kebutuhan utama dari mikroba yang
digunakan dalam frmentasi adalah energi. Adanya
karbohidrat yang mudah larut dan cepat tersedia akan
mempengaruhi populasi mikroba dan juga jenis mikroba.
3. Ketersediaan oksigen. Derajat anaerob merupakan faktor
utama dalam pengendalian fermentasi. Dalam produksi
alkohol, penyediaan oksigen harus terbatas sekali. Jamur
memerlukan kondisi aerob dan perkembangannya
dikendalikan oleh ada tidaknya oksigen. Populasi bakteri
yang akan mendominasi suatu substrat dapat dimanipulasi

190 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


dengan kebutuhan oksigennya dan ketersediaannya.
4. Suhu. Masing-masing mikroba memerlukan suhu tertentu
untuk pertumbuhannya yang optimum.
• Suhu 32 0F: pada suhu ini, aktivitas mikroba rendah
terjadi penghambatan perkembangan mikroba.
• Suhu 40 0F : pada suhu ini sedikit terjadi pertumbuhan
mikroba dan terjadi pengembangan perubahan cita
rasa yang lebih cepat.
• Suhu 70 0F : terjadi pertumbuhan Streptococcus lactis
yang dominan.
• Suhu 100 0F : pada suhu ini terjadi pertumbuhan
Lactobacillus bulgaricus yang dominan.
• Suhu 150 0F: pada suhu ini kebanyakan mikroba mati,
tetapi Lactobacillus thermophillus masih tumbuh.
• Suhu 160 0F : pada suhu ini, umumnya yang masih
bertahan hidup adalah Bacillus colidolactis.

Fermentasi yang paling umum adalah terjadinya suasana


oksidasi gula secara parsial. Khamir adalah perombak yang
paling efisien dari aldehid menjadi alkohol. Banyak species bakteri,
khamir, dan jamur yang mampu menghasilkan alkohol. Khamir
dari strain Saccharomyces ellipsoides merupakan organisme yang
penting dalam industri alkohol.

9.5. Aplikasi Fermentasi


Aplikasi fermentasi dalam skala industri besar maupun
kecil ternyata sangat besar artinya dalam menciptakan produk
pakan yang berkualitas. Dalam skala rumah tangga, fermentasi
tersebut sudah diterapkan sejak dahulu, seperti dalam pembuatan
tempe, oncom, tape, maupun produk pangan lainnya.
Aplikasi proses fermentasi pada skala industri/komersial
dapat dikelompokkan menjadi empat macam, sebagai berikut
ini:
1. Proses fermentasi untuk memproduksi sel mikroba, misalnya

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 191


produksi sel tunggal (PST).
2. Proses fermentasi untuk memproduksi enzim;
contohnya produksi enzim protease, amilase, pektinase,
amiloglukosidase, laktase, glukose oksidase, dan glukose
isomerase.
3. Proses fermentasi untuk memproduksi metabolit primer
maupun metabolit sekunder. Metabolit primer, contohnya
etanol, asam sitrat, aseton-butanol, asam glutamat, lisin,
vitamin, dan nukleotida, sedangkan metabolit sekunder
adalah steroid, antibiotik, dan asam kojak.
4. Proses fermentasi untuk memodifikasi senyawa kimia tertentu
menjadi produk yang lebih mempunyai nilai ekonomis
atau dikenal pula sebagai proses transformasi. Contohnya,
konversi anhidrotetrasiklin menjadi tetrasiklin dan naftalen
menjadi asam salisilat.

Dalam sekala industri, dalam aplikasinya terdapat enam


komponen utama proses, yaitu (1) formulasi medium untuk
digunakan sebagai proses perkembangbiakan mikroorganisme
sejak persiapan inokulum/ starter sampai tahap fermentasi untuk
produksi; (2) sterilisasi media, fermentor, dan peralatan serta
sarana yang lain, (3) produksi starter yang aktif dan murni untuk
inokulasi tangki fermentasi skala produksi, (4) pemeliharaan
pertumbuhan mikroorganisme pada aktivitas yang optimum
untuk pembentukan produk, (5) pengunduhan dan pemurnian
produk, dan (6) pembuangan limbah sisa hasil fermentasi.
Manfaat fermentasi bagi kehidupan manusia sangat penting
artinya, baik dalam proses fermentasi bahan pangan maupun
bahan pakan untuk ternak. Tanpa disadari, ternyata manusia
telah memperkaryakan jasad renik tersebut, seperti dalam proses
pembuatan keju, yoghurt, roti, tempe, kecap, dan oncom. Produksi
ragi roti secara komersial mempergunakan teknologi fermentasi
aerobik dalam tangki. Selanjutnya dikembangkan produksi asam
sitrat oleh Aspergillus niger.

192 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Pengetahuan dan penelitian tentang kebutuhan akan
nutrien tertentu, formulasi media, pH, suhu, kemungkinan
adanya senyawa penghambatan, penambahan senyawa pemacu,
dan faktor-faktor lain bagi perkembangbiakkan mikroba sangat
penting artinya dalam meningkatkan mutu produk enzim
maupun kuantitasnya.

9.6. Penggunaan Jasa Mikroba dalam Proses Fermentasi


Dalam proses fermentasi, penggunaan jasa mikroba
sebagai inokulan fermentasi penting sekali artinya. Ada beberapa
pertimbangan dalam penggunaan jasa mikroba, antara lain :
1. kultur mikroba harus dalam keadaan aktif dan sehat, sehingga
fase log dalam proses fermentasi seminimal mungkin;
2. harus tersedia dalam jumlah yang memadai untuk tercapainya
proporsi inokulum dan media fermentasi yang optimal;
3. harus terbebas dari kontaminasi; dan
4. kemampuan membentuk produk tetap stabil.

Penggunaan inokulan Rhyzopus sp. dalam proses pembuatan


tempe ternyata mampu meningkatkan kandungan protein kasar,
energi termetabolis, asam amino, dan kecernaan kacang kedelai
(Agustina, 1999) dan apabila diberikan pada ternak ternyata
dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan
dalam saluran pencernaan ternak. Selama proses fermentasi oleh
Rhyzopus sp., akan terbentuk senyawa biologis aktif, yaitu asam
lemak tidak jenuh tunggal dan ganda, karoten, vitamin E, dan
antioksida (6,7,4-trihidroksi inositol).
Permasalahan utama di sini adalah penggunaan mikroba
yang cocok dalam mencerna lignin tetapi tanpa banyak
berpengaruh pada hemiselulosa dan selulosa. Hal ini disebabkan
karena selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna dalam rumen.
Perlakuan pendahuluan seperti pengukusan, alkali, dan asam
kadang-kadang harus dikerjakan untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Penambahan Aspergillus niger ke dalam ransum ternyata

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 193


dapat meningkatkan kecernaan fosfor dan pada sorghum ternyata
dapat menurunkan kandungan taninnya.
Pada proses fermentasi padat yang memanfaatkan media
atau substrat selulosa, seringkali dilakukan perlakuan fisik
dan kimiawi untuk mengurangi daerah berkristal tersebut di
atas. Dengan perlakuan ini, molekul substrat selulosa dapat
lebih mudah menerima penetrasi enzim ekstraseluler agar
terurai menjadi monomer glukosa yang dapat diangkut melalui
membran sel, dan digunakan sebagai sumber energi oleh mikroba
(Suharsono, 1989).
Struktur kristal sangat dipengaruhi oleh tingkat
polimerisasi molekul, bersama-sama dengan lignin yang biasanya
secara alamiah ada bersama-sama dengan selulosa, menentukan
kerapuhan keseluruhan senyawa selulosa terhadap degradasi
enzimatik. Pada Tabel 58, tersaji peranan Aspergillus niger dalam
proses fermentasi bungkil kelapa dalam meningkatkan nilai cerna
energi dan protein dari bungkil kelapa.

Tabel 58. Koefisien cerna beberapa zat gizi bungkil kelapa sebelum
dan sesudah difermentasi dengan Aspergillus niger

Fermentasi
Peningkatan
dengan
Zat Gizi Bungkil Kelapa
(%)
A.. niger
Bahan kering (%) 60,00 + 7,60 63,20 + 5,80 5,30
Energi (kkal/kg) 1667 + 154 2473 + 246 48,40
Protein kasar (%) 31,30 + 16,8 36,30 + 9,30 16,00
Fosfor (%) 23,0 + 20,08 36,10 + 10,08 57,00

Penghalusan ukuran melalui penggilingan atau


penumbukan mutlak diperlukan sebelum dilakukan proses yang
lebih rumit. Proses yang memperbesar porositas molekul, seperti
pembengkakan molekul selulosa dengan perendaman di dalam

194 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


asam fosfat dapat meningkatkan kemudahan degradasi selulosa,
sehingga tercapai fermentasi yang efisien.
Kapang dari klas Basidiomycetes mempunyai kemampuan
kuat untuk merombak lignin secara efektif dengan cara
menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler berupa lignin
peroksidase dan mangan peroksidase (Vallie et al., 1992). Enzim
lignolitik dapat memutuskan ikatan lignoselulosa. Jenis kapang
ini juga mampu mendegradasi senyawa organik pencemar
lingkungan (Bumpus dan Aust, 1987), sehingga memberikan
harapan untuk digunakan dalam proses delignifikasi pakan dan
proses pengolahan limbah yang mengandung derivat lignin dan
senyawa toksik atau beracun.
Sistem kerja enzim peroksidase ekstraseluler tidak memisahkan
serat dengan cara melarutkan lignin yang ada dalam lamella
tengah, tetapi dengan cara melunakkan dan memecah dinding-
dinding serat dan terkadang juga dengan melepaskan pita-pita
serat mikrofibrilnya (Totter, 1990). Dilaporkan juga bahwa reaksi
degradasi lignin oleh kapang P. chrysosporium adalah biokatalis
ligninase yang mengkatalis oksidasi cincin aromatik lignin untuk
membentuk radikal kation yang selanjutnya senyawa ini akan
melepaskan ikatan inti pada cincin aromatik.

9.6.1. Karakteristik Mikroba Fermentasi


Mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi adalah
mikroba yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim
dalam jumlah besar. Bakteri, khamir, dan cendawan merupakan
mikroba sel tunggal, mempunyai kapasitas fungsional
pertumbuhan, reproduksi, pencernaan, dan memperbaiki isi
dalam sel, di mana bagi bentuk kehidupan tingkat tinggi sudah
didistribusikan ke jaringan-jaringan. Oleh karena itu, mikroba
sel tunggal merupakan wujud kehidupan yang lengkap seperti
misalnya khamir yaitu mikroba yang memiliki produktivitas
enzim dan kapasitas fermentatif yang tinggi bila dibandingkan
dengan mahluk hidup lainnya.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 195


Mikroorganisme secara kimia sangat mirip dengan sel
mamalia dan dapat menunjukkan banyak persamaan reaksi
biokimia seperti siklus karbon, oksigen, nitrogen, dan unsur-
unsur yang dibutuhkan.
Ada tiga karakteristik penting yang harus dimiliki oleh
mikroba bila akan digunakan dalam proses fermentasi dan
pengasaman.
1. Mikroba harus mampu tumbuh dengan cepat dalam suatu
substrat dan lingkungan yang cocok dan mudah untuk
dibudidayakan dalam jumlah besar.
2. Mikroba tersebut harus memiliki kemampuan untuk
mengatur ketahanan fisiologis dalam kondisi seperti tersebut
di atas serta mampu menghasilkan enzim-enzim esensial
dengan mudah dan dalam jumlah besar agar berbagai bahan
kimia yang dikehendaki dapat terjadi.
3. Kondisi lingkungan yang diperlukan bagi pertumbuhan dan
produksi maksimum secara komperatif harus sederhana.

Mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi


membutuhkan tersedianya karbohidrat, protein, lemak, mineral,
dan zat gizi lainnya yang ada didalam bahan pakan aslinya. Mikroba
pertama-tama menyerang karbohidrat, kemudian protein, dan
berikutnya lemak. Bahkan, ada tingkatan penyerangan terhadap
karbohidrat, yaitu yang pertama diserang adalah gula, kemudian
alkohol, baru kemudian asam. Karena kebutuhan yang pertama
bagi aktivitas mikroba adalah energi, maka tampak bahwa bentuk
yang paling dapat disediakan sesuai dengan tingkat kesukaan
adalah rantai karbon CH2, CH, CHOH, dan COOH. Beberapa
ikatan seperti misalnya radikal CN tidak dapat dimanfaatkan
oleh mikroba.
Penggunaan mikroorganisme dalam bioteknologi fermentasi
bertujuan terutama untuk produksi komoditi sebagai massa
sel atau metabolit baik primer maupun sekunder atau pemberi
jasa dalam pengolahan limbah. Dari segi kepentingan teknologi

196 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


fermentasi, mikroorganisme digolongkan atas dasar karakteristik
biofisika sebagai berikut ini.
1. Bakteri.
2. Fungi, termasuk yeast dan Actinomycetes.
3. Protozoa termasuk algae.
4. Virus termasuk faga.

9.6.2. Bakteri
Bakteri merupakan mikroba uniseluler yang selalu
dilindungi oleh dinding sel. Banyak spesies pada permukaan
luar dinding selnya ditutupi oleh kapsul atau lapisan lendir
seperti lem perekat. Itu termasuk sel prokariotik yang relatif
kecil dan sederhana. Bentuk khas bakteri ada tiga, yaitu bulat
(coccus) dengan diameter berkisar antara 0,5 – 4,0 mikrometer,
batang (bacillus) dengan panjang antara 0,5–20 mikrometer, dan
spiral (spirilla) berukuran panjang > 10 mikrometer dan lebar 0,5
mikrometer (Tarigan, 1989).
Kelebihan utama bakteri adalah kemampuannya
membentuk endospora di bawah kondisi kritis. Endospora adalah
bentuk dorman yang mampu bertahan terhadap panas, radiasi,
dan racun kimia. Apabila endospora ini dikembalikan pada
lingkungan yang menyenangkan, maka sel akan tumbuh dan
berfungsi normal seperti biasa.
Dinding sel bakteri terdiri atas peptidoglycan, yaitu suatu
jaringan rantai polisakarida yang terikat dengan suatu oligopeptida.
Bakteri gram negatif memiliki lapisan peptidoglycan serupa, tetapi
lebih tipis dan diselimuti lapisan luar berupa polisakarida dan
lipoprotein. Di samping itu, bakteri juga memiliki “kapsula”
yang menyerupai gel, dan ada juga yang memiliki flagella dan villi
(Darma, 1992).
Flagella bakteri dapat menyebar ke seluruh permukaan sel,
tipe demikian disebut “peritrichous”, atau hanya di bagian polar
(baik pada satu polar maupun di kedua polar). Adanya flagella
memungkinkan bakteri bergerak. Villi lebih pendek, tipis, dan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 197


lurus daripada flagella.
Pada ternak ruminansia, bakteri dalam rumen berperan
penting dalam pencernaan serat kasar, karena banyak di antaranya
yang memproduksi enzim selulase, amilase, dan polisakaridase
lainnya, sehingga membantu ternak inang dalam mencerna serat.
Bakteri rumen cenderung bersifat anaerob atau facultative aerob.
Bakteri asam laktat berperan dalam pembuatan silase, karena
kelompok bakteri inilah yang menghasilkan asam laktat dan
menurunkan pH bahan sehingga bahan pakan dapat diawetkan.
Purnomohadi (2006) melaporkan bahwa penggunaan bakteri
selulolitik yang diisolasi dari cairan rumen sapi dalam proses
fermentasi jerami padi ternyata secara nyata dapat meningkatkan
mutu jerami padi terlihat dari perubahan nutrisinya. Bahan
kering jerami padi menurun dari 91,29 % menjadi 81,53 % dan
kadar serat kasar dari 37,10 % menjadi 31,17 %. Sebaliknya, kadar
protein kasarnya meningkat dari 4,1 % menjadi 9,01 %.

9.6.3. Fungi (Jamur)


Fungi tersebar luas di alam dan dapat hidup pada lingkungan
dengan kelembaban yang relatif rendah jika dibandingkan dengan
yang disenangi oleh bakteri. Metabolismenya terutama secara
aerobik dan struktur vegetatifnya disebut miselium. Miselium
menyerupai sistem tube bercabang banyak; di dalamnya terdapat
massa sitoplasma yang bergerak mengandung banyak inti (Tarigan,
1989). Miselium dapat terdiri atas satu sel atau lebih dengan tipe
yang mirip. Sel yang panjang berbentuk seperti filamen atau pita
tipis pada miselium disebut hifa. Hifa bercabang banyak dan dapat
mempunyai dinding penyekat atau tidak. Lebarnya antara 4 – 20
mikrometer.
Fungi yang mempunyai kemampuan degradasi dan
sintesis yang luas telah dieksploatasi secara industri sebagai
sumber berbagai senyawa seperti asam organik (asam sitrat, asam
glukonat, giberilat), antibiotika (penicillin, griseovulfin), dan enzim
(selulase, protease, dan amylase).

198 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Strain Aspergillus niger pada keadaan normal membentuk
asam oksalat. Bila dilakukan pembatasan nutrien dan unsur
tertentu seperti tembaga, besi atau mangan, maka hasil utama
yang akan terbentuk adalah asam sitrat.
Fungi dapat berupa sel tunggal seperti misalnya khamir
atau berwujud koloni filamentous yang multiseluler, misalnya
kapang dan jamur yang memiliki badan buah (mushroom, supa).
Bentuk yang multiseluler tidak memiliki daun, batang, dan akar.
Fungi tidak bersifat saprofitik atau porasitik. Fungi mempunyai
hifa yang tumbuh ke dalam medium dan menyerap nutrien yang
keseluruhannya disebut miselium vegetatif, sedangkan yang
mencuat kepermukaan disebut miselium reproduktif.
Fungi (jamur) berperanan penting dalam proses bioteknologi
pakan ternak maupun pakan manusia (tempe dan oncom). Fungi
mampu menghasilkan enzim lignoselulase, amilase, protease, dan
polimerase lainnya. Enzim-enzim tersebut dapat diinklusikan ke
dalam pakan ternak untuk meningkatkan kecernaannya. Protein
sel tunggal (PST) jamur yang diproduksi dengan sistem kultur
cair lebih mudah dipanen bila dibandingkan dengan bakteri atau
khamir (Darma, 1992).
Miselium jamur yang menyebar memungkinkan fermentasi
substrat padat digunakan untuk memproduksi protein sel tunggal
jamur. Rumen pada ternak ruminansia banyak mengandung
jamur. Rhizoid jamur rumen ini melakukan penetrasi ke dalam
jaringan tanaman/pakan, sehingga struktur jaringan menjadi
rapuh dan hancur. Oleh karena itu, permukaan menjadi luas,
dan permukaan yang luas ini menguntungkan bakteri rumen
selulolitik dalam mencerna selulosa.

9.6.4.. Yeast
Yeast adalah fungi sel tunggal yang penting. Ukurannya
relatif kecil dan panjangnya sekitar 8 mikron dengan diameter
5 mikron. Pembiakan yeast berlangsung dengan cara aseksual
dan cara seksual. Pembuahan secara aseksual berlangsung

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 199


melalui pembentukan tunas dan melalui pembelahan sel. Tunas
sebagai sel anak tumbuh menempel di samping sel inang, setelah
dewasa melepaskan diri, tetapi mungkin tidak segera, sehingga
membentuk rumpun yang terdiri atas beberapa generasi.
Pembelahan dengan cara aseksual, yaitu sel membagi diri
menjadi dua bagian yang sama, sedangkan pembelahan secara
seksual berlangsung melalui penggabungan dua sel haploid
(yang masing-masing mempunyai kromoson tunggal) dengan
melebur dinding yang menempel untuk membentuk ascospora.
Yeast digunakan dalam industri alkohol dan minuman beralkohol
seperti anggur dan bir. Yeast sendiri diproduksi untuk ragi roti
dan suplemen protein pada pakan ternak.

9.6.5.. Protozoa dan Algae


Protozoa dan Algae termasuk eukariot yang mempunyai
struktur yang telah terorganisasi dan terdiferensiasi. Morfologinya
bervariasi dan terdapat baik uniselululer maupun multiseluler.
Atas dasar kemampuan fotosintesis, keduanya berbeda.
Algae adalah organisme fotosintetik sehingga menyerupai
tumbuhan primitif, sedangkan protozoa adalah organisme
nonfotosintetik sehingga menyerupai binatang sederhana. Algae
mengandung klorofil dan banyak pigmen lain yang terasosiasi
dengan klorofil seperti karotenoid, xantofil, dan fitosianin yang
menyebabkan algae berwarna warni. Protozoa merupakan
kelompok mikroorganisme yang bersifat nonfotosintetik, motil,
dan bersel tunggal. Protozoa mungkin berkembang dari algae
uniseluler yang kehilangan pigmennya (Darma, 1992).

9.7. Metode Fermentasi


Pada proses fermentasi yang menggunakan substrat
selulosa, terdapat beberapa hal yang mungkin menjadi faktor
pembatas. Selulosa merupakan polimer yang berukuran relatif
besar dengan berat molekul 106 dalton. Sejumlah molekul selulosa
berkelompok menjadi fibril. Molekul tersebut dipersatukan oleh

200 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


ikatan hidrogen menjadi struktur kristal yang lebih menyulitkan
dalam proses degradasi/penguraian. Selain daerah berkristal yang
sangat teratur, juga terdapat daerah yang tersusun secara tidak
teratur, dan daerah ini disebut daerah amorph. Struktur kristal ini
sangat dipengaruhi oleh tingkat polimerisasi molekul, bersama-
sama dengan lignin yang biasanya secara alamiah ada bersama-
sama dengan selulosa, menentukan kerapuhan keseluruhan
senyawa selulosa terhadap degradasi enzimatik.
Saat ini yang terkenal adalah teknik fermentasi (suhu, air,
substrat, dan waktu) sehingga mikroba dapat bekerja. Perlakuan
pendahuluan seperti pengukusan, alkali/asam kadang-kadang
harus dikerjakan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Penambahan Aspergillus niger ke dalam ransum ternyata dapat
meningkatkan kecernaan fosfor dan pada sorghum ternyata dapat
menurunkan kandungan taninnya.
Dalam pertumbuhan atau fermentasi mikroba untuk
menghasilkan produk metabolitnya, dikenal dua jenis metode,
yaitu fermentasi permukaan atau fermentasi padat dan fermentasi
terendam atau fermentasi cair (Suhartono, 1989).

9.7.1. Fermentasi Padat


Dalam sistem fermentasi padat, substrat fermentasi
dicampur dengan cairan, yaitu air atau air dengan kandungan
mineral tertentu yang dapat mencapai 50 %, sehingga diperoleh
substrat semi padat. Umumnya yang banyak digunakan sebagai
substrat adalah dedak gandum. Namun, akhir-akhir ini untuk
substrat padat sudah banyak digunakan limbah padat pertanian
lainnya seperti : ampas tapioka, dedak padi, ampas kedelai, ampas
jagung, jerami padi, jerami gandhum atau campuran limbah
tersebut.
Fermentasi padat berbeda dengan fermentasi cair dalam
banyak hal. Substrat pada sistem fermentasi cair terlarut dalam
media fermentasi, sehingga dapat dicapai oleh mikroba secara
merata. Pada sistem fermentasi padat, tidak semua substrat

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 201


dapat dicapai oleh mikroba. Mikroba tumbuh hanya pada
daerah tertentu saja dan umumnya di permukaan, sehingga
bagian substrat yang di tengah atau di bawah tidak ditumbuhi
mikroba. Sistem fermentasi padat ini sudah banyak diterapkan
pada pembuatan oncom, tauco, tempe, dan sebagainya. Dalam
memproduksi berbagai metabolit sekunder seperti : alkohol, asam
organik, enzim, dan protein sel tunggal (PST), maka metode yang
digunakan adalah metode fermentasi padat.
Pada proses pembuatan tempe, oncom, tape, dan berbagai
fermentasi padat jenis makanan tradisionil lainnya, biji kacang-
kacangan yang digunakan atau serealia terlebih dahulu
disterilkan dengan pemanas sebelum diinokulasi dengan ragi
atau starter masing-masing. Ragi yang digunakan umumnya
merupakan campuran spora kapang (fermentasi pada umumnya
menggunakan kapang) yang dicampur dengan pati dan nutrien
lain (sebagai pengaktif) dalam bentuk kering.
Metode fermentasi ini dapat dilakukan secara sederhana
dalam wadah panci, di atas napan, daun pisang, dan sebagainya.
Prinsip yang sama dilakukan pada fermentasi padat yang lebih
modern dalam menghasilkan enzim dengan teknologi yang lebih
modern.
Produksi enzim ekstraseluler memerlukan cukup banyak
substrat. Produksi selulase oleh Trichoderma reesei, misalnya,
melibatkan sampai 6 % nitrogen yang dikonsumsi. Substrat ini
tidak dilarutkan melainkan dibasahkan dengan kandungan air
yang bervariasi antara 30 – 80 % dan umumnya kadar air yang
digunakan 60 %.
Mikoroba penghasil selulase secara ekstraseluler tersebar
pada kapang dan bakteri (Aunstrup, 1979). Selulase dihasilkan
oleh beberapa jenis kapang dan bakteri sebagai respon terhadap
adanya selulosa pada lingkungan tempat hidupnya. Kemampuan
memproduksi selulase menjadikan mikroba mampu menghidrolisis
selulosa menjadi gula sederhana yang hasilnya dapat digunakan
sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya.

202 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Pada beberapa mikroba, produksi selulase terjadi dengan
berkaitan langsung dengan fungsi regulasi pertumbuhan sel,
germinasi spora, dan kemampuan penetrasi miselium mikroba ke
dalam media pertumbuhan. Kapang yang baik digunakan untuk
memproduksi selulase adalah Trichoderma reesei, T. viride, T. koningii,
A. niger, A. terreus, P. iriensis, P. verruculossum, dan Fusarium solani.
Aktivitas selulase sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu
seperti pH, suhu, dan adanya berbagai senyawa penghambat.

9.7.2. Fermentasi Cair


Teknik fermentasi terendam atau fermentasi cair berawal
dari proses fermentasi untuk menghasilkan antibiotika yang
sudah dimulai sejak Perang Dunia II. Dalam memproduksi enzim,
teknik ini telah digunakan secara luas. Teknik fermentasi cair
membutuhkan penguasaan alat fermentor yang lebih canggih,
tetapi dengan potensi produksi yang tinggi pula. Oksigen, pH,
dan nutrien serta faktor lingkungan lainnya dapat tersebar secara
lebih merata dalam bejana fermentasi, karena adanya mekanisme
pengadukan.
Keuntungan yang diperoleh dengan fermentasi terendam
atau cair ini adalah dapat dilangsungkannya proses secara
berkesinambungan, penghematan dalam hal tenaga kerja dan
energi, kemudahan menentukan waktu akhir proses fermentasi,
pencegahan kontaminasi, dan pengeluaran metabolit yang
diketahui bersifat represif terhadap biosintesis enzim yang
diinginkan.
Fermentasi cair juga memanfaatkan substrat bahan-bahan
pertanian seperti serialia, biji-bijian, pati, molasses, dan sebagainya,
tetapi pada konsentrasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
fermentasi padat. Mikroba yang ditumbuhkan dimasukkan
dalam bentuk inokulan dan umumnya dalam jumlah 10 % sudah
dianggap cukup baik untuk pertumbuhan.
Secara lebih rinci, dikenal metode fermentasi cair sistem
kelompok (batch) dan sistem sinambung (continue) serta modifikasi

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 203


di antara keduanya. Pada sistem “Batch”, inokulan ditumbuhkan
di dalam fermentor yang sebelumnya telah diisi dengan semua
keperluan nutrien. Nutrien tersebut akan dihabiskan dengan
berlangsungnya proses fermentasi sampai dihasilkan aktivitas
enzim secara maksimum. Selanjutnya, aktivitas dan produksi
enzim serta pertumbuhan mikroba akan menurun dengan
berkurangnya nutrien atau dihasilkannya metabolit yang bersifat
penghambat atau toksik bagi pertumbuhan dan produksi enzim.
Metode pemberian nutrien secara sinambung dimulai pada
fermentasi continue atau sinambung. Di sini medium segar yang
steril diberikan secara sinambung bersamaan dengan penarikan
atau pengambilan sejumlah medium fermentasi (pada volume
yang sama). Beberapa enzim telah dilaporkan menunjukkan
produktivitas lebih tinggi, apabila digunakan sistem sinambung,
misalnya Glukosa isomerase dari Galur Bacillus coagulans yang
secara genetik bersifat stabil dan tidak mudah berubah selama
fermentasi berlangsung.

9.8 Aplikasi Produk Fermentasi Pada Ternak


Ransum yang mengalami biofermentasi memiliki nilai gizi
yang lebih tinggi daripada bahan asalnya (Winarno, 1980). Hal ini
karena sifat katabolik mikroorganisme yang mampu memecah
komponen yang lebih kompleks menjadi komponen sederhana
sehingga mudah tercerna. Proses biofermentasi pada kulit
biji-bijian akan merombak struktur jaringan kimia dinding sel,
pemutusan ikatan lignoselulosa dan lignin. Menurut Pangestu
(1997), kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam bahan pakan
difermentasi menurun secara nyata, dan sebaliknya kandungan
protein dan energi meningkat. Dilaporkan juga oleh Widiyanto et
al. (l994) bahwa pada saat difermentasi oleh Trichoderma virideae,
kandungan serat kasar ransum dapat didegradasi sehingga dapat
dimanfaatkan oleh ternak unggas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cangkang coklat
yang difermentasi dengan inokulan EM-4, ternyata kandungan

204 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


fosfornya dapat ditingkatkan (Arsyad et al., 2001); demikian
juga halnya, kandungan protein dan koefisien cernanya dapat
ditingkatkan (Bidura et al., 2002).
Perombakan lignin oleh kapang melibatkan kerja enzim
ligninolitik yang akan menguraikan lignin menjadi karbondioksida
(CO2). Enzim tersebut adalah lignin peroksidase, mangan peroksidase,
likase, dan oksidase (Houghton et al., 1987). Penambahan molasses
atau tetes pada proses biofermentasi dapat mempercepat
mekanisme kerja tersebut. Kunci reaksi degradasi lignin oleh
kapang adalah biokatalis enzim lignase yang mengkatalis oksidasi
cincin aromatiknya dan membentuk radikal kation. Laju degradasi
lignin meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan
oksigen. Hidrogen peroksida (H2O2) berfungsi sebagai oksidan
ekstraseluler dan perangsang aktivitas lignolisis (Kennedy et al.,
1987).
Sistem kerja enzim peroksidase ekstraseluler adalah dengan
melunakkan dan memecahkan dinding-dinding serat dengan
melepaskan pita serat mikrofibrilnya (Totter, 1990). Dilaporkan
juga bahwa kunci reaksi degradasi lignin oleh kapang Phanerochaete
chrysosporium adalah biokatalis ligninase yang mengkatalis
oksidasi cincin aromatik lignin untuk membentuk radikal kation
dan selanjutnya, senyawa ini akan melepaskan ikatan inti pada
cincin aromatik.
Penggunaan produk pakan terfermentasi ternyata dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas karkas. Tanaka et al. (l992)
menyatakan bahwa penggunaan bahan pakan produk fermentasi
dapat menekan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA
reduktase yang berfungsi menekan sintesis kolesterol atau lipida di
dalam hati. Hasil yang sama dilaporkan oleh Santoso et al. (2001);
pemberian produk fermentasi pada ayam broiler secara nyata
menurunkan kandungan trigliserida dan kolesterol dalam hati.
Penggunaan Lactobacillus acidophilus, L. casei, Bifidobacterium
bifidum, Torulopsis, dan Aspergillus oryzae sebagai inokulan
dalam fermentasi ransum dapat meningkatkan pertumbuhan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 205


dan menurunkan kolesterol serum ayam (Mohan et al., l996),
serta dapat meningkatkan kualitas karkas (Owing et al., l990).
Penggunaan produk fermentasi dalam ransum ternyata dapat
menurunkan jumlah lemak tubuh ayam broiler (Ketaren et al.,
1999).
Pada Tabel 59, tersaji beberapa produk fermentasi dan jenis
mikroba penghasilnya yang sering digunakan dalam industri
makanan maupun industri pakan ternak.

Tabel 59. Berbagai mikroba dan produk fermentasi yang


dihasilkannya
Mikroba Jenis Jenis Produk
Ragi, roti, anggur, bir, sake,
Saccharomyces cereviseae Khamir
etanol
Streptococcus termophillus Bakteri Yoghurt
Lactobacillus bulgaricus Bateri Yoghurt
Rhizopus oligosporus Kapang Tempe
Aspergillus niger Kapang Asam sitrat, Glukoamilase
Eremothecium ashbyi Khamir Riboflavin
Propionibacterium Bakteri Vitamin B-12
Aspergillus oryzae Kapang Amilase
Trichoderma reesai Kapang Selulase
Bacillus sp. Bakteri Protease
Penicillium chrysogenum Kapang Penisilin
Streptomyces Bakteri Streptomisin, tetrasiklin
Rhizopus nigricans kapang Transformasi steroid
Insulin (teknologi DNA
Echerichia coli Bakteri
rekombinasi)

Menurut Bradley et al. (l994), suplementasi 0,02 %


Saccharomyces cereviseae dalam ransum secara nyata menurunkan
jumlah sel goblet. Berkurangnya jumlah sel goblet ini
menyebabkan jumlah lendir yang dihasilkannya pun berkurang,
sehingga penyerapan zat makanan oleh usus meningkat. Menurut
Basyir (l999), lendir yang dihasilkan oleh sel goblet tersebut di

206 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


dalam saluran pencernaan dapat menghambat proses penyerapan
nutrisi.
Hasil penelitian Erika (l998) menunjukkan bahwa pod
kakao yang sudah mengalami amoniasi dengan 1,5% urea
dan difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium,
menghasilkan koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan
koefisien bahan organik (KCBO) secara in vitro yang paling tinggi
dibandingkan dengan kontrol maupun perlakuan lainnya, seperti
amoniasi, silase, dan biofermentasi isi rumen (Tabel 60).

Tabel 60. Pengaruh perlakuan terhadap komposisi serat pod kakao


dan kecernaan in vitro
Fraksi Serat Perlakuan

(% BK) Kontrol Amoniasi Silase IsiRumen Kapang

Seratdeterjennetral 80,55a* 78,97a* 78,40b* 75,05c* 75,03c*


Seratdeterjenasam 74,64a 65,82c 66,25c 70,04b 69,11ab
Hemiselulosa 6,10b 13,16a 12,18a 5,01b 5,97b
Selulosa 35,33ab 33,95b 37,63a 37,02a 30,99b
Lignin 38,78a 33,21b 35,57b 33,86b 31,66b
KCBK (%) in vitro 40,52b 57,83a 48,50ab 46,54ab 51,70a
KCBO (%) in vitro 40,96c 55,73a 47,25bc 46,00bc 52,65ab
Sumber : Erika (l998)
* Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Piao et al. (l999) melaporkan bahwa suplementasi ragi (yeast)


ke dalam ransum ternyata dapat meningkatkan pertambahan
berat badan, pemanfaatan zat-zat makanan, serta meningkatkan
kecernaan nitrogen dan fosfor. Penggunaan ragi sebagai
inokulan dalam proses fermentasi juga dapat berfungsi sebagai
sumber probiotik, yaitu mampu meningkatkan aktivitas enzim
pencernaan, meningkatkan absorpsi zat makanan, dan menekan
bakteri yang merugikan.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 207


208 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
X. TEKNOLOGI SILASE

10.1 Pengertian Silase

S ilase merupakan pakan ternak yang dihasilkan melalui


proses fermentasi. Ensilase adalah prosesnya dan
tempatnya disebut dengan Silo. Silase yang baik diperoleh
dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam
pakan yang tidak dikehendaki, serta mendorong berkembangnya
bakteri penghasil asam laktat.
Pada saat pakan dimasukkan ke dalam silo terjadi dua
fase, yaitu fase respirasi dan proses proteolitik, akibat adanya
aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut. Respirasi
menguraikan gula tanaman menjadi CO2, air, dan panas. Suasana
aerob yang berlebihan akan meningkatkan suhu yang dapat
meningkatkan kecepatan penguraian protein menjadi Non
Protein Nitrogen (NPN) yang terlarut. Apabila suhu di dalam silo
berkisar antara 42 – 44 0C, maka akan timbul reaksi millard yang
menyebabkan silase menjadi berwarna coklat.
Bakteri penghasil asam laktat yang homofermentatif
menghasilkan asam laktat dari fermentasi gula dan gula lainnya

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 209


yang mempunyai 6 atom karbon. Namun bakteri heterofermentatif
selain menghasilkan asam laktat juga menghasilkan etanol, asam
asetat, dan CO2.

10.2 Prinsip Silase


Pada awal proses silase, enzim yang bekerja dalam proses
pernafasan pada tanaman mengoksidasi karbohidrat yang
terlarut dengan menghasilkan panas dan menggunakan gula yang
seyogianya siap pakai untuk berlangsungnya proses fermentasi.
Protease tanaman menghidrolisis protein menjadi nitrogen
yang bukan protein (NPN), asam amino, peptida, dan amonia.
Mikroorganisme yang tidak diinginkan seperti Enterobacteriaseae,
ragi, dan jamur bersaing menggunakan karbohidrat yang
terlarut dengan bakteri penghasil asam laktat, dan hasil akhir
metabolismenya bukan bahan yang bersifat pengawet.
Clostridia menyebabkan terjadinya proses fermentasi
kedua, yaitu perombakan asam laktat menjadi asam butirat dan
merombak asam amino menjadi amina dan amonia. Ragi dan
jamur, khususnya ragi yang berasimilasi dengan asam laktat juga
berkaitan dengan kerusakan yang bersifat aerob terutama pada
saat pengeluaran silase dari tempatnya (silo).
Dalam proses fermentasi pembuatan silase hijauan makanan
ternak, maka ada tiga fase yang akan terjadi. Ketiga fase tersebut
adalah sebagai berikut ini.
1. Fase I merupakan masa fermentasi aktif berlangsung selama 1
– 4 minggu (kadar air di atas 65 %). Apabila kadar air berkisar
antara 40 – 50 % maka proses fermentasi berlangsung lambat,
dan apabila kadar air antara 55 – 60 %, masa fermentasi aktif
akan berlangsung selama 1 – 5 minggu.
2. Fase II merupakan fase stabil; setelah masa aktif pertumbuhan
bakteri penghasil asam laktat berakhir, maka proses ensilase
memasuki fase stabil. Apabila silo tertutup rapat, maka
aktivitas mikroorganisme sangat rendah sehingga penguraian
hemiselulosa lambat. Fase ini sangat dipengaruhi oleh ada

210 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


tidaknya oksigen di dalam silo.
3. Fase III; merupakan fase pengeluaran silase. Pada saat
pengeluaran silase, oksigen akan masuk yang menyebabkan
terjadi kehilangan bahan kering dan nutrien, karena aktivitas
mikroorganisme aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir
fermentasi, dan nutrien terlarut lainnya. Ragi dan jamur
merupakan mirkoorganisme yang berperan dalam kerusakan
silase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada jamur yang
dapat memproduksi aflatoksin dan atau komponen toksik
lainnya. Kehilangan bahan kering dalam proses pembuatan
silase berkisar antara 1,5 – 3,0 %/hari untuk setiap 8 – 12 0C
kenaikan suhu silase di atas suhu kamar.

10.3. Metode Pembuatan Silase


Pada tahap awal dalam proses pembuatan silase, bahan
pakan, suasananya masih aerobik. Pada suasana aerob ini, sel-
sel tanaman yang dimasukkan ke dalam silo masih melakukan
respirasi sampai kadar oksigen di dalam silo habis. Pada saat, ini
jamur dan ragi masih dapat tumbuh dan berkembang.
Tahap selanjutnya adalah tahap anaerobik, yang mana
bakteri anaerob mulai berkembang pesat, khususnya bakteri
pembentuk asam, sedangkan jamur dan ragi mati. Pada tahap
ini, terjadi perombakan karbohidrat dan gula menjadi asam
laktat, asetat, dan ethanol, sedangkan protein menjadi NH3, asam
amino, dan amida. Dengan menurunnya pH, bakteri akan mati
dan proses silase berhenti (sekitar 2 – 3 minggu).
Cara dan langkah kerja dalam pembuatan silase hijauan
pakan ternak (HMT) termasuk jerami adalah sebagai berikut ini.
• Hijauan pakan ternak (jerami) yang akan dibuat silase
hendaknya dipilih pada fase pertumbuhan menjelang
berbunga.
• Hijauan makanan ternak tersebut kemudian dicacah menurut
ukuran ternak yang akan diberikan silase (umumnya dengan
ukuran panjang 2 – 5 cm),

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 211


• Hijauan hasil pencacahan tersebut kemudian dilayukan
selama 6 – 10 jam.
• Selanjutnya, sediakan bahan pengawet yang mudah tersedia
di daerah masing-masing, seperti dedak sebanyak 2 % dari
berat total hijauan atau tetes sebanyak 3 % dari total hijauan.
Namun, sebelum digunakan, terlebih dahulu tetes tersebut
diencerkan dengan air (1 : 3).
• Campuran bahan pengawet dengan hijauan kemudian
dimasukkan ke dalam silo atau kantung plastik sedikit
demi sedikit sampai padat dan usahakan udara di dalam
silo/plastik seminimal mungkin. Selanjutnya ditutup rapat-
rapat.
• Dilakukan pemeraman selama lebih kurang 21 hari. Pemberian
pada ternak dapat dilakukan setelah lama penyimpanan 8
minggu.

10.3.1. Silase Jerami


Penyimpanan hijauan dalam bentuk silase, misalnya silase
jerami, dapat diterapkan hingga ke tingkat petani kecil. Silase
jerami ialah jerami yang sudah difermentasikan sehingga lebih
mudah dicerna oleh binatang yang memakannya.
Mula-mula jerami yang sudah dijemur kering sebanyak
1.000 kg diperam dalam lubang berukuran 2 x 3 x 1 m3. Sebelum
dimasukkan ke dalam lubang, terlebih dahulu jerami itu
dipotong-potong pendek dengan ukuran yang seragam, agar
memudahkan penanganannya. Lubang yang sudah siap perlu
dilapisi lembaran plastik yang cukup tebal, agar nantinya dapat
membungkus seluruh kumpulan jerami yang ditaruh di atasnya.
Jerami disusun dengan letak yang searah di dasar lubang yang
sudah ada lembaran plastiknya itu. Hal Ini dimaksudkan untuk
memudahkan kita kalau membongkar jerami hasil pemeraman
nanti.
Sesudah tersusun setebal lebih kurang 10 cm, jerami tersebut
selanjutnya disiram dengan larutan urea (6 kg dalam 45 l air).

212 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Penyiraman dilakukan sedikit demi sedikit, sampai semua jerami
basah. Setiap menambahkan jerami lagi setebal kurang lebih
10 cm kepada tumpukan dalam lubang, perlu disiramkan lagi
larutan urea sampai basah. Begitu seterusnya, sampai jerami 1 ton
semua sudah masuk ke dalam lubang. Plastik pembungkusnya
kemudian ditutupkan di atas tumpukan jerami sampai rapat, lalu
semuanya ditimbuni tanah.
Dengan mengalami fermentasi itu, serat kasar dari jerami
yang semula tidak dapat dicerna, kini lebih mudah dicerna.
Proses silase dengan menambahkan unsur N dari urea itu juga
meningkatkan kadar protein dalam jerami yang kini sudah
lembek itu. Urea yang dibubuhkan tidak boleh terlalu banyak
melebihi takaran karena penguraian urea yang berlebihan dapat
menurunkan mutu daging sapi yang diberi pakan silase jerami
itu.

10.3.2. Silase Pakan Limbah Berserat


Proses lignifikasi struktur jaringan penyangga pakan limbah
berserat menyebabkan kecernaan serat kasarnya di dalam rumen
rendah. Berbagai teknik perlakuan (fisik, kimia, dan biologis)
dilaporkan dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan serat
(Doyle et al., 1986). Di samping itu, perlu disadari bahwa limbah
tanaman pangan berserat yang akan dimanfaatkan sebagai pakan
ternak harus segera mungkin diawetkan guna menghindari
kehilangan nilai nutrisinya.
Penambahan enzim dalam silase biji-bijian dapat
meningkatkan kecernaan, efektivitas energi termetabolis, efisiensi
penggunaan pakan, dan ketersediaan asam amino. Bahan lain
yang dapat ditambahkan dalam pembuatan silase adalah asam
formiat dan asam sulfat.
Tidak semua bahan pakan dapat dibikin silase. Bahan
pakan yang akan dibuat silase hendaknya memenuhi kriteria
berikut ini.
1. Kadar gula terlarutnya cukup tinggi. Hijauan makanan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 213


ternak tropis umumnya rendah kadar gulanya, sehingga
perlu penambahan gula seperti molases di atas 2 %.
2. Oksigen dikeluarkan secepat mungkin dengan cara
pemampatan.
3. Selain gula, juga perlu penambahan asam, dedak, atau dedak
gandum.
4. Kadar air yang baik pada proses ensilase adalah berkisar
antara 20 – 30 %. Ini dapat diperoleh dengan pelayuan
atau penambahan aditif yang kering. Dapat juga dilakukan
penambahan enzim selulase, tanin, dan glukonase.

10.4. Penilaian Kualitas Silase


Penilaian terhadap kualitas silase (pakan limbah atau non
limbah) yang dibuat silase sangat tergantung kepada tipe silase
yang diperoleh. Umumnya dalam pembuatan silase pakan limbah,
hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal
ini sangat tergantung kepada proses pembuatan dan inokulan
yang digunakan.
Dalam proses pembuatan silase, ada tiga tipe silase yang
akan diperoleh. Ketiga tipe silase tersebut adalah sebagai
berikut:
1. silase tipe laktat,
2. silase tipe asetat, dan
3. silase tipe butirat.

10.4.1. Silase Tipe Laktat


Dalam pembuatan silase tipe laktat, bakteri yang paling
dominan dijumpai adalah bakteri asam laktat. Komposisi kimia
silase laktat adalah sebagai berikut :
.TotalN………………………………………………………………… 23 g/kg
.NdariNH3…………………………………………………………….. 78 g/kg
.Ndaripropionat……………………………………………………….. 235 g/kg
.Asamasetat…………………………………………………………….. 36 g/kg
.Asampropionat……………………………………………………….. 2 g/kg

214 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


.Asambutirat…………………………………………………………… 1 g/kg
.Asamlaktat…………………………………………………………….. 102 g/kg
.Ethanol…………………………………………………………………. 12 g/kg
.Mannitol……………………………………………………………….. 2 g/kg
.PadaumumnyapH…………………………………………………….. 3,9
.Bahankering…………………………………………………………… 19 %

10.4.2. Silase Tipe Asetat


Silase tipe ini terjadi karena keadaan yang kurang baik, yaitu
karena bakteri pembentuk asam asetat lebih banyak daripada
bakteri pembentuk asam laktat. Umumnya, terjadi pada daerah
tropis, sedangkan di daerah subtropis jarang. Komposisi kimia
silase asetat adalah sebagai berikut :
.TotalN………………………………………………………………… 47 g/kg
.NdariNH3……………………………………………………………... 128 g/kg
.Ndaripropionat………………………………………………………. 440 g/kg
.Asamasetat…………………………………………………………….. :47 g/kg
.Asampropionat………………………………………………………... 7 g/kg
.Asambutirat…………………………………………………………… 2 g/kg
.Asamlaktat…………………………………………………………….. 34 g/kg
.Ethanol…………………………………………………………………. 8 g/kg
.Mannitol………………………………………………………………... 2 g/kg
.PadaumumnyapH……………………………………………………. 4,8
.Bahankering…………………………………………………………... 17,60 %

10.4.3. Silase Tipe Butirat


Umumnya silase tipe butirat terbentuk apabila pH yang
stabil tidak dapat dicapai dalam pembuatan silase. Akibatnya,
Clostridia saccharolytic yang terdapat dalam bentuk spora dalam
tanaman akan berproliferasi dan akan memfermentasi asam
laktat atau sisa-sisa karbohidrat yang larut dalam air menjadi
asam butirat dan pH meningkat. Komposisi kimia silase butirat
adalah sebagai berikut :

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 215


.TotalN………………………………………………………………… 16 g/kg
.NdariNH3…………………………………………………………….. 246 g/kg
.Ndaripropionat……………………………………………………….. 356 g/kg
.Asamasetat…………………………………………………………….. :24 g/kg
.Asampropionat……………………………………………………….. 0 g/kg
.Asambutirat…………………………………………………………… 35 g/kg
.Asamlaktat…………………………………………………………….. 1 g/kg
.PadaumumnyapH…………………………………………………… 5,2
.Bahankering…………………………………………………………... 17,00 %

Clostridia proteolitik yang kurang toleran terhadap asam


akan tumbuh aktif dan akan memecah protein sehingga NH3
meningkat. Pada kenyataannya di lapangan, proses pembuatan
silase bahan pakan untuk ternak khususnya untuk hijauan pakan
ternak, sering mengalami kegagalan. Untuk menilai keberhasilan
kualitas silase yang dibuat, maka ada empat kategori untuk itu.
1. Baik sekali : silase bersih dengan bau asam, tidak mengandung
asam butirat, tidak berjamur dan berlendir, tidak terjadi
proteolisis, N-amoniak < 10 % dari N-total, dan pH berkisar
antara 3,5 – 4,2.
2. Baik: silase sedikit berbau dengan rasa asam, terdapat sedikit
asam butirat, N-amonia antara 10 – 15 % dari N-total, dan pH
berkisar antara 4,2 – 4,5.
3. Sedang: silase sedikit berjamur, sedikit terjadi proteolisis,
sedikit asam butirat, N-amonia antara 15 – 20 % dari N-total,
dan pH berkisar antara 4,5 – 4,8.
4. Buruk: silase nampak berjamur dan berlendir, banyak asam
butirat, banyak terjadi proteolisis, N-amonia > 20 % dari N-
total, dan pH > 4,8.

10.5. Aditif dalam Pembuatan Silase


Dalam pembuatan silase, hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya penambahan karbohidrat yang mudah larut,
seperti dedak jagung, dedak gandum, dan onggok. Silase yang

216 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


menggunakan inokulan (starter bakteri) umumnya mempunyai
pH, etanol, dan amonia lebih rendah serta asam laktat lebih tinggi
daripada silase yang tidak menggunakan inokulan.
Aspergillus niger sebelum digunakan sebagai inokulan
fermentasi, terlebih dahulu perlu dilakukan proses aktivasi
dengan air masak atau air bersih sebanyak 10 liter dan ditambahi
100 g gula pasir dan 50 g pupuk NPK. Selanjutnya larutan tersebut
ditambahi 50 g kultur Aspergillus niger (kultur padat atau cair) dan
diaduk merata serta diaerasi selama 12 – 24 jam. Aspergillus niger
aktif tersebut siap digunakan untuk inokulan fermentasi pada
bahan pakan limbah yang rendah kandungan proteinnya. Proses
aktivasi inokulan fermentasi tersaji pada Gambar 27.

Gambar 27. Skema proses aktivasi Aspergillus niger

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 217


Penambahan inokulan (starter) bertujuan untuk dapat
meningkatkan aktivitas fermentasi, tercapainya pH rendah, ratio
asam laktat dengan asam asetat yang tinggi, dan kadar NH3 yang
rendah. Urea dan amonia cair dapat ditambahkan pada silase
yang mempunyai protein kasar rendah, yang bertujuan untuk
meningkatkan kandungan protein kasar serta meningkatkan
stabilitas aerob silase.
Beberapa macam aditif dapat ditambahkan dalam
pembuatan silase dengan maksud mempercepat terjadinya
proses pengawetan bahan pakan yang dijadikan silase atau
dengan maksud menambah kandungan zat makanan pada silase
yang akan dibuat. Untuk meningkatkan kadar protein silase
yang dibuat dari jerami jagung, sorghum, atau rumput, biasanya
digunakan urea sebagai aditif. Urea dapat dicampurkan ke dalam
silo sebelum maupun sesaat sebelum diberikan ternak sebanyak
0,50 % dari bahan.
Bahan-bahan aditif yang dapat digunakan untuk
mempercepat proses silase (pengawetan) adalah sebagai berikut
ini.
1. Molasses (tetes). Banyaknya molasses yang ditambahkan
ke dalam bahan pakan yang dibuat silase adalah 4 % untuk
bahan pakan dari leguminosa dan 2 % untuk bahan pakan
nonleguminosa (rumput-rumputan). Apabila tidak ada
molasses, dapat dipergunakan gula pasir atau gula aren.
2. Biji-bijian atau makanan kering yang lain. Biji-bijian yang
kandungan karbohidratnya tinggi (jagung) yang sudah
digiling dapat ditambahkan pada silase yang terbuat dari
leguminosa atau rumput. Penambahan biji-bijian akan
menyebabkan kualitas silase lebih baik, rasanya lebih enak,
dan kadar zat tepungnya menjadi lebih banyak. Jumlahnya
yang ditambahkan dalam silase adalah 7 % dari bahan silase
yang dibuat untuk leguminosa dan 3,5 % untuk rumput-
rumputan atau 5 – 6 % untuk campuran antara leguminosa
dengan rumput.

218 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


3. Asam mineral. Asam yang dipakai adalah asam fosfat,
asam sulfat, dan asam klorida, dan yang paling baik adalah
asam fosfat karena tidak menyebabkan karat pada alat yang
digunakan, dan sisanya dapat dipakai pupuk. Jumlahnya
yang dapat ditambahkan adalah 0,80 % untuk legominosa
dan 0,45 % untuk rumput.
4. Dedak padi dapat ditambahkan ke dalam silase yang dibuat
sebanyak 3 % dari berat silase. Selain dedak padi, maka
tongkol jagung juga dapat digunakan sebanyak 8 – 10 % dari
berat bahan silase.
5. Natrium sulfit. Pemakaian natrium bisulfit dapat
menyebabkan bau silase menjadi lebih baik dan pada waktu
yang sama dapat menghalangi hilangnya karoten. Jumlah
yang ditambahkan adalah 0,40 % dari berat bahan silase.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 219


220 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI
XI. PENUTUP

11.1 Limbah Pakan Ternak Alternatif

P enyediaan makanan ternak merupakan persyaratan


mutlak bagi pengembangan usaha peternakan. Makanan
ternak harus tersedia sepanjang musim untuk menjaga agar arus
pendanaan (cash flow) dalam usaha peternakan tetap stabil. Oleh
karena itu, limbah agroindustri pertanian, perkebunan, serta
peternakan dan perikanan harus dapat dimanfaatkan menjadi
makanan ternak. Pemanfaatan limbah untuk pakan ternak
sangat diperlukan untuk menjaga ketersediaan pakan bagi ternak
sepanjang waktu. Atas dasar pertimbangan itu, diperlukan
penggunaan teknologi dalam mengolah pakan limbah tersebut
menjadi pakan ternak berkualitas, sehingga dapat dimanfaatkan
secara maksimal oleh ternak.
Pemanfaatan limbah agro industri pertanian, perkebunan,
serta peternakan dan perikanan sebagai pakan bukan hal
baru bagi petani peternak. Akan tetapi, bila limbah tersebut
dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk ternak, maka tidak
akan tercukupi kebutuhan untuk hidup pokok ternak, baik untuk

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 221


ternak ruminansia maupun ternak nonruminansia. Jenis ternak
ruminansia mempunyai keunikan dan keistimewaan dalam
mengkonsumsi hijauan pakan dalam jumlah besar, sebagai sumber
energi utama jika dibandingkan dengan ternak nonruminansia.
Seiring dengan makin menyempitnya lahan untuk
menanam hijauan, maka pemanfaatan limbah untuk pakan akan
terus meningkat. Nilai pakan limbah sangat tergantung pada jenis
limbah, kandungan nutrisi limbah, dan ada tidaknya senyawa
antinutrisi pada limbah tersebut. Faktor pembatas pemanfaatan
limbah sebagai pakan ternak umumnya kandungan nutrisinya
rendah dan kurang disukai oleh ternak. Atas dasar pertimbangan
itu, perlu ditemukan upaya meningkatkan pendayagunaan limbah
untuk pakan ternak secara berkelanjutan.
Onggok yang difermentasi oleh Aspergillus niger
menghasilkan produk dengan kecernaan bahan kering dan protein
yang lebih tinggi. Produk yang dihasilkan memiliki kandungan
protein kasar berkisar antara 35 – 40 %. Karena itu, ubi kayu yang
semula sebagai sumber energi berubah menjadi sumber protein
bagi unggas.
Berdasarkan sumbernya, maka limbah untuk pakan ternak
dapat dikelompokkan menjadi enam sebagai berikut ini.
1. Limbah pertanian, antara lain jerami padi, jerami jagung,
jerami kacang-kacangan, jerami kacang kedelai, jerami
kacang tanah, daun singkong, pucuk tebu, dan sebagainya.
2. limbah industri pertanian atau “agro-industrial-by-product”,
seperti dedak padi, dedak jagung, bungkil kelapa, bungkil
kedelai, dan bungkil kacang tanah.
3. Limbah peternakan, seperti kotoran ayam, isi rumen, bulu
ayam, lemak telo, tulang, dan darah.
4. Limbah perikanan yang meliputi beberapa jenis ikan yang
merupakan hasil sampingan pada penangkapan udang dan
limbah pada unit pembekuan dan pengolahan/pengalengan
ikan seperti bagian kepala, sirip, ekor, dan isi perut ikan.
5. Limbah perkebunan, yaitu meliputi semua hasil ikutan dalam

222 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


usaha tanaman perkebunan tertentu yang menghasilkan
produk utama yang menjadi tujuan pengusaha, antara lain
tetes (molasis), ampas kelapa sawit, ampas tebu (bagase),
onggok, dan bagian sampah seperti kulit kopi, kulit coklat,
serta air buangan sawit.
6. Limbah tata boga yang meliputi limbah hasil restauran, hotel,
rumah tangga, dan pasar. Limbah ini berupa sisa dapur,
hotel, dan sisa sayuran di pasar yang merupakan limbah
pasar yang cukup banyak serta dapat dimanfaatkan untuk
makanan ternak babi dan ruminansia.

11.2 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis


Sebelum digunakan sebagai pakan ternak, sebaiknya perlu
dilakukan analisis teknis dan ekonomis terhadap pakan limbah
tersebut. Pakan limbah yang akan digunakan harus tersedia dalam
waktu yang cukup lama atau ketersediaannya harus kontinyu.
Bahan pakan yang sudah tersedia pada suatu saat, kemudian
hilang (tidak tersedia) harus dihindarkan penggunaannya.
Padi yang diproduksi secara masal dan nasional menyebabkan
ketersediaan dedak padi dan bekatul untuk ternak juga akan
berlimpah. Lain halnya dengan bahan pakan yang diproduksi
secara terbatas akan menghasilkan bahan pakan yang terbatas
pula ketersediaannya.
Produksi pertanian yang besar tentu akan menghasilkan
banyak bahan pakan untuk ternak. Indonesia yang mengutamakan
produksi padi akan banyak menghasilkan dedak dan bekatul.
Karena itu, dedak padi selalu digunakan dalam penyusunan
ransum ternak. Selanjutnya, buah kelapa dan kelapa sawit banyak
dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng, maka
hasil samping pembuatan minyak goreng itu dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak, seperti bungkil kelapa dan bungkil sawit.
Pertimbangan lainnya, yaitu bahan pakan untuk ternak
tidak boleh bersaing dengan manusia. Apabila manusia lebih
banyak membutuhkannya, maka bahan pakan tersebut tidak

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 223


boleh diberikan pada ternak, misalnya kacang kedelai. Namun
demikian, bungkil kacang kedelai dapat diberikan pada ternak.
Pertimbangan selanjutnya, yaitu harga bahan pakan itu
sendiri. Walaupun dapat digunakan sebagai bahan pakan, apabila
harganya mahal, maka penggunaan bahan atau peran bahan pakan
itu sebagai bahan pakan ternak akan tersisihkan. Murah ataupun
mahalnya suatu bahan pakan harus dinilai dari manfaat bahan
pakan itu sendiri, yang merupakan cermin dari kualitasnya dan
hasil yang diperoleh. Tepung ikan misalnya, harganya memang
mahal, tetapi bila dibandingkan dengan kandungan proteinnya
yang tinggi dan kelengkapan asam aminonya serta manfaat yang
diperoleh, maka penggunaan tepung ikan sebagai bahan pakan
sumber protein menjadi murah.
Kelengkapan asam amino, vitamin, mineral, dan energi yang
terkandung di dalam pakan limbah memegang peranan penting
untuk menentukan apakah bahan pakan tersebut berperan atau
tidak. Bahan pakan limbah yang mudah membentuk racun atau
mudah cemar juga tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan.
Bungkil kelapa misalnya, meskipun masih tetap digunakan,
karena kandungan minyaknya masih tinggi, maka ransum yang
mengandung bungkil kelapa dalam proporsi tinggi akan mudah
tengik. Karena itu, beberapa pabrik makanan ternak mulai
meninggalkan penggunaan bungkil kelapa dalam penyusunan
ransum.

11.3 Pengolahan Pakan


Pengolahan pakan limbah sebagai pakan ternak pada
prinsipnya ditujukan untuk memecah selulosa, hemiselulosa, dan
lignin, sehingga dapat dihasilkan pakan yang lebih mudah dicerna
serta meningkatkan kandungan nutrisinya. Pemanfaatan limbah
(jerami) yang difermentasi akan dapat memberikan beberapa
keuntungan antara lain :
1. mengurangi biaya pakan, khususnya dalam penyediaan
hijauan sebagai pakan utama ternak ruminansia,

224 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


2. meningkatkan daya dukung lahan pertanian, karena
pemeliharaan ternak ruminansia tidak harus menyediakan
lahan sebagai tempat tanaman hijauan makanan ternak,
3. dapat memberikan nilai tambah bagi petani, apabila suatu
saat nanti petani telah dapat melihat peluang tersebut, yang
artinya jerami tidak lagi sebagai limbah yang mengganggu
proses produksi, melainkan sebagai produk yang
menguntungkan, dan
4. memberikan peluang baru biro jasa lainnya apabila dikelola
secara professional, antara lain akan muncul suatu bisnis
atau usaha baru dalam pelayanan jasa seperti prosesing dan
pengangkutan jerami sebagai pakan ternak, sehingga sektor
pertanian akan memberikan peluang untuk menyerap tenaga
kerja yang lebih banyak.

Berbagai macam teknologi pengolahan pakan bisa


diterapkan dalam meningkatkan kualitas bahan pakan yang
tersedia. Pengolahan pakan pada umumnya dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu fisik, kimia, dan cara biologis. Metode fisik
antara lain perendaman (soaking), penggilingan (grinding), pellet
(pelleting), pemanasan dalam air (boiling), pemanasan dengan
tekanan uap (steaming), penyinaran dengan sinar radiasi, dan lain
sebagainya. Pengeringan pakan harus memperhatikan suhu serta
lama pengeringan. Dalam upaya menghindari terjadinya ikatan
antara protein dan karbohidrat, yang lebih dikenal dengan istilah
maillard browning yang menyebabkan solubilitas dan kecernaan
pakan menurun.
Proses memperluas permukaan (bentuk tepung) pada kulit
ari kacang kedelai sebelum difermentasi juga sangat membantu
meningkatkan nilai cerna dari kulit ari kacang kedelai tersebut.
Penghalusan ukuran melalui penggilingan atau penumbukan
tersebut menyebabkan molekul selulosa dapat lebih mudah
menerima penetrasi enzim ekstraseluler dari mikroba untuk
menguraikannya menjadi monomer glukosa yang dapat diangkut

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 225


melalui membran sel, dan digunakan sebagai sumber energi oleh
mikroba (Suharsono, 1989).
Proses yang memperbesar porositas molekul, seperti
pembengkakan molekul selulosa dengan perendaman juga dapat
meningkatkan kemudahan degradasi selulosa, sehingga tercapai
fermentasi yang efisien. Metode kimia umumnya menggunakan
zat yang bersifat basa kuat, seperti NaOH, KOH, CaOH, NH4OH,
dan sebagainya. Dilain pihak, metode biologis dilakukan dengan
menambahkan enzim, probiotik, jamur, dan lain sebagainya. Di
samping itu, dilakukan perlakuan pengolahan pakan dengan
menggabungkan antara beberapa metode yang ada karena adanya
kelemahan dan keterbatasan masing-masing metode.
Aplikasi bioteknologi pada ternak monogastrik adalah
melalui pemanfaatan mikroorganisme tertentu untuk memperbaiki
efisiensi penggunaan pakan, pemanfaatan enzim yang diproduksi
oleh mikroorganisme, penciptaan bahan kimia seperti zat gizi,
antibiotik, dan pemacu pertumbuhan yang ditambahkan ke dalam
pakan monogastrik, baik bahan tersebut dari hasil fermentasi
ataupun lainnya. Misalnya, cairan rumen yang diperoleh dari
rumah potong hewan kaya akan kandungan enzim pendegradasi
serat dan vitamin. Cairan rumen mengandung enzim α-amilase,
galaktosidase, hemiselulase, selulase, dan xilanase (Williams dan
Withers, 1992).
Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi
polisakarida. Polisakarida dihidrolisis dalam rumen disebabkan
karena pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks
mikroorganisme, terutama karena adanya selulase dan xilanase
( Trinci et al., 1994). Isi rumen yang merupakan limbah rumah
potong hewan apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mencemari lingkungan. Sebaliknya, isi rumen berpotensi sebagai
feed additive. Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber
inokulan dalam pengelolaan silase jerami padi. Lebih lanjut,
cairan rumen pada onggok sebagai bahan baku penyusun ransum
komplit dapat meningkatkan kandungan VFA (volatile fatty acids)

226 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


(Hardiyanto, 2001).
Hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa mikroba
rumen ternyata dapat berperan dalam menetralisir efek mimosin
terhadap ternak. Lamtoro mengandung mimosin yang dapat
menyebabkan keracunan pada ternak yang mengkonsumsinya.
Akan tetapi, dengan penambahan mikroba yang diinokulasi dari
rumen domba yang sudah diadaptasikan dengan daun lamtoro,
ternyata gejala keracunan yang ditimbulkan oleh efek momosin
tersebut menjadi hilang.
Pemberian enzim phitase pada ransum unggas nyata dapat
mengatasi problema yang disebabkan oleh senyawa fitat, yaitu
senyawa yang dapat mengikat fosfor. Dengan adanya phytase,
ternyata fosfor dapat dimanfaatkan lebih banyak. Penambahan
Aspergillus niger ke dalam ransum ternyata dapat meningkatkan
kecernaan fosfor, dan pada sorghum ternyata dapat menurunkan
kandungan tanninnya.

11.4 Aplikasi Produk Bioteknologi


Di Negara yang sudah maju, usaha peningkatan
kualitas ternak terus dilakukan. Beberapa penelitian terakhir
memperlihatkan bahwa suplemen enzim dalam pakan ternak
untuk hewan monogastrik, berpotensi meningkatkan nilai nutrisi
pakan limbah (Graham et al., 1988; Annison, 1992; Wenk et al.,
1993). Dalam saluran pencernaan ternak monogastrik, proses
pencernaan terjadi secara enzimatis. Oleh karena itu, beberapa
peneliti telah mencoba menambahkan enzim dalam pakan untuk
melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan. Menurut Sterling
et al. (1998), pemberian enzim dapat menurunkan kekenyalan
(viskositas) isi usus hingga 20 % dibandingkan dengan makanan
standarnya (biji-bijian tanpa enzim). Dengan demikian, proses
pencernaan makanan di usus menjadi lebih mudah. Penambahan
enzim protease ke dalam pakan dapat berperan dalam pemecahan
protein menjadi asam amino. Asam amino selanjutnya diserap
ke dalam tubuh dan selanjutnya diubah menjadi protein tubuh

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 227


(Wahju, 1992).
Penambahan enzim dapat menguraikan komponen
dinding sel tanaman yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa,
xylanosa, dan pektin. Enzim akan mengurangi kandungan
serat detergen netral (NDF) dan “acid detergent fibre” (ADF)
sehingga akan meningkatkan kecernaan pakan. Juga akan
meningkatkan pelepasan bagian karbohidrat yang terlarut yang
dapat dimanfaatkan oleh bakteri penghasil asam laktat untuk
menurunkan pH.
Guna mendapatkan enzim protease yang berpotensi dalam
meningkatkan nilai nutrisi pakan, maka enzim tersebut harus
memiliki aktivitas biologis saat mencapai saluran pencernaan
(Spring et al., 1995). Saluran pencernaan ternak unggas mempunyai
pH asam (4 - 5). Oleh karena itu, seleksi mikroorganisme yang
akan digunakan harus diisolasi dari mikroorganisme yang hidup
di dalam saluran pencernaan ternak unggas dengan menggunakan
medium yang bersifat asam.
Isolat mikroorganisme yang diperoleh diharapkan dapat
digunakan sebagai probiotik. Menurut Fuller (1992), probiotik
adalah suatu feed supplement mikroorganisme hidup yang secara
menguntungkan mempengaruhi inang melalui perbaikan
keseimbangan mikroorganisme. Penggunaan probiotik tersebut
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas produksi yang
ramah lingkungan. Sejumlah mikroorganisme ditemukan dalam
pencernaan ternak unggas (ayam), di antaranya Escherichia coli,
Clostridia, Enterococci, Lactobacilli, dan khamir. Mikroorganisme
tersebut merupakan mikroflora normal yang terdapat dalam alat
pencernaan ayam. Menurut Couch (1978), penambahan kultur
Lactobacillus dalam pakan ayam dapat meningkatkan berat ayam
broiler sampai 46 gram, menurunkan tingkat kematian sampai
0,4 %, dan meningkatkan konversi pakan sampai 0,81 unit. Di
samping itu, penambahan kultur L. acidophilus dalam pakan
dapat menghambat pertumbuhan Salmonella typhimurium dan
Staphylococcus aureus, karena kedua bakteri tersebut merupakan

228 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


bakteri patogen.
Substrat yang mengalami biofermentasi biasanya memiliki
nilai gizi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya. Hal ini
dikarenakan sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme
sehingga mampu memecah komponen yang lebih kompleks
menjadi senyawa yang sederhana dan mudah tercerna. Proses
fermentasi diharapkan akan merombak struktur jaringan kimia
dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa, dan penurunan kadar
lignin. Pakan serat yang mengalami fermentasi dengan kapang
akan meningkat kecernaan nutriennya (Puls dan Poutanen, 1989).
Lignin umumnya sangat sulit dirombak terutama pada pemecahan
cincin aromatiknya. Akan tetapi, sebagian lignin ada yang labil
terhadap perlakuan alkali, di antaranya dengan amoniasi urea.
Komponen lignin yang labil dengan perlakuan alkali adalah gugus
ester seperti residu feruli atau p-coumaril (Scalbert et al., 1985).
Senyawa pemacu pertumbuhan yang diperoleh dari limbah
pemotongan ternak adalah ekstrak hipofisa. Ekstrak hipofisa
sebagai sumber hormon diperoleh melalui pengambilan kelenjar
hipofisa ternak (sapi, kerbau, kambing, dan domba) dari kepala
ternak tersebut. Kelenjar hipofisa ini terletak di bawah dasar otak
dan terlindung dalam sebuah bentukan dari tulang di bawah
hipotalamus yang disebut dengan sella turcica (Djojosoebagio,
1990). Kelenjar hipofisa ini merupakan organ yang relatif kecil
ukurannya jika dibandingkan ukuran tubuh; misalnya, pada sapi
ukurannya 1.988 + 0,49 mg (Oka, 1992). Hormon yang dihasilkan
berpengaruh pada sejumlah proses vital dalam tubuh manusia
maupun hewan. Pengaruh yang luas dari kelenjar hipofisa di
dalam tubuh disebabkan oleh kerja hormon yang dihasilkannya.
Hasil penelitian Bidura dan Candrawati (2004) melaporkan
bahwa penyuntikan ekstrak hipofisa sapi secara intramuskuler
ternyata dapat memacu pertumbuhan, meningkatkan efisiensi
penggunaan ransum, serta menekan akumulasi lemak tubuh
ayam. Hasil penelitian yang sama dilaporkan oleh Bidura dan
Suranjaya (2002); menggunakan ekstrak hipofisa ayam melalui

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 229


mulut ternyata dapat meningkatkan pertambahan berat badan
dan efisiensi penggunaan ransum pada itik Bali jantan
Penyuntikan insuline like growth factor-1 (IGF-1) pada ayam
broiler umur lima minggu ternyata tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan, efisiensi penggunaan energi, dan komposisi karkas.
Akan tetapi, penyuntikan IGF-1 dan IGF-2 secara bersamaan
dapat meningkatkan pertambahan berat badan dan daging karkas
sedangkan jumlah lemak abdomen menurun (Spencer et al., 1997).
Dilaporkan juga bahwa pemberian insuline like growth factor-2 (IGF-
2) dapat menurunkan jumlah lemak abdomen sebesar 27 % jika
dibandingkan dengan kontrol serta tidak berpengaruh terhadap
pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum.
Hasil penelitian Maksudi (2000) mendapatkan bahwa
konversi lemak ransum menurun dari 24 % (kontrol) menjadi 8 %
dengan pemberian 1,0 ppm β-agonist via oral pada ayam broiler.
Dilaporkan juga bahwa penimbunan lemak tubuh menurun
dari 23,9 % (kontrol) menjadi 7,9 %, yang disebabkan karena
adanya kemampuan dari hormon β-agonist dalam meningkatkan
lipolisis.
Bahan pakan limbah yang mudah membentuk racun atau
mudah cemar tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan.
Bungkil kelapa misalnya, meskipun masih tetap digunakan,
karena kandungan minyaknya masih tinggi, maka ransum yang
mengandung bungkil kelapa dalam proporsi tinggi akan mudah
tengik. Karena itu, beberapa pabrik makanan ternak mulai
meninggalkan penggunaan bungkil kelapa dalam penyusunan
ransum. Kelengkapan asam amino, vitamin, mineral, dan energi
yang terkandung dalam pakan limbah memegang peran penting
untuk menentukan apakah bahan pakan tersebut dapat dipakai
atau tidak. Semua bahan pakan limbah dapat dihancurkan dan
dijadikan tepung yang untuk selanjutnya dapat dibentuk sesuai
yang diinginkan, seperti bentuk “crumble”, “pellet”, ataupun
bentuk tepung.

230 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


11.5 Ransum dan Zat Makanan
Ransum atau ration adalah sejumlah bahan pakan atau
campuran beberapa bahan pakan yang dijatahkan untuk
ternak dalam sehari yang disusun sedemikian rupa sesuai
dengan kebutuhan ternak yang bersangkutan berdasarkan fase
pertumbuhan, umur, berat badan, dan status fisiologis dari ternak
bersangkutan. Ransum biasanya berupa campuran beberapa jenis
bahan pakan.
Ransum umumnya mempunyai kepadatan (density) 0,58 g/
cm . Apabila energi ransum dikurangi sampai di bawah tingkat
3

keperluan pemeliharaan dan berfungsinya organ tubuh yang


penting, bobot badan ayam akan menurun dan akhirnya mati.
Dalam keadaan kekurangan energi, simpanan energi tubuh yang
digunakan untuk mempertahankan hidup berturut-turut: (1)
simpanan glikogen tubuh, (2) simpanan lemak tubuh, dan (3)
jaringan protein tubuh.
Menurut Parakkasi (l983), yang dimaksud dengan ransum
adalah makanan yang diberikan kepada ternak selama 24 jam di
mana pemberiannya dapat dilakukan sekali atau beberapa kali
selama 24 jam tersebut. Ada dua macam istilah tentang ransum,
yaitu “ransum sempurna” dan “ransum-sempurna-ekonomis”.
Ransum sempurna adalah kombinasi beberapa bahan pakan yang
bila dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat makanan
kepada ternak dalam perbandingan, jumlah, dan bentuk
sedemikian rupa sehingga berbagai fungsi fisiologis dalam tubuh
dapat berjalan normal.
Ransum seimbang adalah porsi makanan sehari-hari
dari ternak yang disusun sedemikian rupa agar mengandung
bagian zat makanan yang cocok untuk kesehatan, pertumbuhan,
reproduksi, dan produksi. Kandungan energi dalam ransum
mempengaruhi banyaknya ransum yang dikonsumsi oleh ayam.
Apabila ayam yang sedang tumbuh atau bertelur diberi ransum
dengan zat makanan yang seimbang, maka ayam tersebut akan
mengkonsumsi energi dalam jumlah yang tetap per harinya.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 231


Pakan penguat konsentrat yang berbentuk seperti tepung
adalah sejenis pakan komplet yang dibuat khusus untuk
meningkatkan produksi dan berperan sebagai penguat. Pakan itu
mudah dicerna, karena terbuat dari campuran beberapa bahan
pakan sumber energi (biji-bijian, sumber protein jenis bungkil,
kacang-kacangan, vitamin dan mineral). Bahan pakan yang sudah
berbentuk tepung tersebut selanjutnya dicampur sedemikian
rupa, yaitu mulai dari yang persentase bahan terbesar sampai
dengan persentase bahan terkecil, seperti tersaji pada Gambar 28.

Gambar 28. Cara pencampuran ransum

Khusus untuk penggunaan bahan pakan yang bersifat


aditif (penggunaannya di bawah 0,5 % dari total ransum),
sebelum dicampurkan dalam ransum, terlebih dahulu bahan
tersebut dicampurkan dengan bahan pakan lain seperti dedak
padi. Setelah semua bahan disebarkan sesuai dengan urutan
(lihat Gambar 28), selanjutnya lingkaran tersebut dibagi empat.

232 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Masing-masing bagian dicampur rata dan setelah rata betul
kemudian keempat bagian tersebut digabung menjadi satu dan
kembali diaduk sehomogen mungkin. Akhirnya ransum sudah
siap diberikan pada ternak.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pembuatan pakan
penguat. (1) Beberapa bahan pakan mudah diperoleh di suatu
daerah, dengan harga bervariasi, sedang di beberapa daerah lain
sulit didapat. Harga per unit bahan pakan sangat berbeda antara
satu daerah dan daerah lain, sehingga keseragaman harga per unit
nutrisi (bukan harga per unit berat) perlu dihitung terlebih dahulu.
(2) Kualitas pakan penguat dinyatakan dengan nilai nutrisi yang
dikandungnya terutama kandungan energi dan potein. Sebagai
pedoman, setiap kilogram pakan penguat harus mengandung
minimal 2500 kkal energi, 17 % protein, dan serat kasar 12 %.
Zat makanan adalah penyusun atau sekelompok penyusun
bahan makanan dan umumnya mempunyai komposisi kimia
yang serupa ataupun sama seperti yang diperlukan untuk hidup.
Protein, karbohidrat, lemak, mineral, dan vitamin adalah zat-zat
makanan yang telah umum diketahui. Komposisi zat makanan
dari beberapa macam bahan pakan tersaji pada Tabel 61.

Tabel 61. Beberapa komposisi nutrisi limbah pakan ternak


Bahan Pakan DM Persentase dari Bahan Kering (DM)
% CP SK EE BETN TDN/Energi
Daun jagung 21,0 9,9 1,8 50,7 -
Onggok 88,7 1,8 0,2 74,1 85
Bungkilkelapa 87,9 21,2 17,3 41,1 81
Ampas tahu 26,2 23,7 10,1 39,0 79
Jerami padi 87,5 4,2 1,5 - 43,2
Batangpisang 7,5 5,9 2,2 46,9 -
Sumber : Siregar (2005)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 233


Konsentrat adalah campuran pakan yang mengandung
serat kasar kurang dari 18 % dan biasanya kaya akan protein
atau energi. Konsentrat protein adalah campuran dari beberapa
macam bahan pakan dengan kandungan protein di atas 20 %.
Apabila kandungan proteinnya di bawah 20 %, maka disebut
dengan konsentrat energi.
Tidak ada sumber bahan pakan, baik itu murni dihasilkan
untuk pakan ternak maupun hasil sampingannya mengandung
semua unsur nutrisi. Kekurangan kandungan unsur nutrisi dapat
ditutupi/diatasi dengan penambahan berbagai sumber bahan
pakan yang lain ke dalam bahan pakan tersebut sehingga terjadi
substitusi (saling melengkapi).

11.6 Kandungan Nutrisi Pakan


Setiap bahan pakan atau pakan ternak, baik yang sengaja
kita berikan kepada ternak maupun yang diperolehnya sendiri,
mengandung unsur-unsur nutrisi yang konsentrasinya sangat
bervariasi, tergantung pada jenis, macam dan keadaan bahan
pakan tersebut yang secara kompak akan mempengaruhi tekstur
dan strukturnya.
Unsur nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan secara
umum terdiri atas air, mineral, protein, lemak, karbohidrat, dan
vitamin. Setelah dikonsumsi oleh ternak, setiap unsur nutrisi
berperan sesuai dengan fungsinya terhadap tubuh ternak untuk
mempertahankan hidup dan berproduksi secara normal. Unsur
nutrisi tersebut dapat diketahui melalui proses analisis terhadap
bahan pakan, yang dilakukan di laboratorium. Analisis itu dikenal
dengan istilah “analisis proksimat”.
Pengetahuan tentang komposisi kimia atau nutrien dari
berbagai bahan pakan yang akan digunakan dalam penyusunan
ransum juga mesti harus diketahui oleh para penyusunan
ransum. Komposisi kimia dari beberapa macam pakan yang
sering digunakan dalam penyusunan ransum unggas juga sudah
tersaji dalam bentuk tabel yang mudah digunakan. Oleh karena

234 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


itu, untuk dapat menyusun ransum, dibutuhkan tabel kebutuhan
akan zat makanan dari ternak beserta tabel komposisi bahan
pakan yang akan disusun menjadi sebuah ransum.
Pakan pemacu merupakan sejenis pakan yang berperan
sebagai pemacu pertumbuhan dan peningkat populasi mikroba di
dalam rumen, sehingga dapat merangsang penambahan jumlah
konsumsi serat kasar yang akan meningkatkan produksi.
Molases sebagai bahan dasar pakan pemacu merupakan
bahan pakan yang dapat difermentasi dan mengandung beberapa
mineral penting. Penambahannya dapat memperbaiki formula
ransum menjadi lebih kompak, mengandung energi cukup tinggi
sehingga dapat meningkatkan palatabilitas serta citarasa.
Urea merupakan bahan pakan sumber nitrogen yang dapat
difermentasi. Setiap kilogram urea mempunyai nilai yang setara
dengan 2,88 kg protein kasar (6,25 x 46 %). Dalam proporsi tertentu,
bahan itu mempunyai dampak positif terhadap peningkatan
konsumsi serat kasar dan daya cerna.

11.7 Ransum Berbasis Limbah


11.7.1. Ransum Limbah Pertanian
Alternatif untuk mengatasi masalah pakan dalam suatu
usaha peternakan adalah dengan memanfaatkan bahan pakan
berbasis limbah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ayam
yang diberi ransum tanpa penggunaan kulit ari kacang kedelai
sebagai kontrol menunjukkan penampilan yang sama dengan
ayam yang diberi 15 % kulit ari kacang kedelai yang terfermentasi,
dan penampilan ayam yang paling rendah terlihat pada ayam
yang diberi ransum dengan 15 % kulit ari kacang kedelai. Dari
hasil penelitian tersebut, diamati bahwa tingginya kandungan
serat kasar pada kulit ari kacang kedelai dapat diatasi dengan
proses fermentasi sebelum diberikan pada ayam. Melalui proses
fermentasi, ternyata nilai cerna ransum meningkat 3,15 % lebih
tinggi daripada tanpa terfermentasi (Bidura dan Sudiastra, 2002).
Uraian lebih rinci, hasil penelitian tersebut tersaji pada Tabel 62.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 235


Tabel 62. Respons ayam broiler umur 2 – 6 minggu terhadap
pemberian kulit ari kacang kedelai yang difermentasi
probiotik
Perlakuan
Variabel A B C

Konsumsi ransum (g/ekor/4 mg) 2393,00 2595,00 2469,00

Kons. serat kasar (g/ekor/4 mg) 121,07 356,56 339,01

Berat badan akhir (g/ekor) 1774,43 1679,14 1854,08

Pertamb.beratbadan(g/ekor/4mg) 1276,77 1184,14 1357,36

Feed Conversion Ratio (FCR) 1,87 2,16 1,82

Koefisien cerna bahan kering ( % ) 71,57 69,57 72,84

Koefisien cerna bahan organik (%) 74,81 74,00 76,33

Sumber : Bidura dan Sudiastra (2002)

Adanya proses fermentasi pada kulit kacang kedelai


tersebut ternyata dapat meningkatkan nilai guna dari kulit kacang
kedelai tersebut. Hal ini terlihat dari pertambahan berat badan
dan efisiensi penggunaan ransum yang nyata lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tanpa fermentasi.
Upaya untuk meningkatkan nilai guna dari pakan limbah
dapat dilakukan dengan penambahan enzim ke dalam ransum
yang menggunakan pakan limbah tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suplementasi 0,20 % enzim kompleks ke
dalam ransum yang mengandung 15 % kulit ari kacang kedelai
dapat memberikan hasil yang sama bila dibandingkan dengan
kontrol dan pertambahan berat badan yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tanpa enzim kompleks (Tirta, 2005).

236 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


11.7.2. Ransum Limbah Perkebunan
Penggunaan limbah perkebunan sebagai bahan pakan
alternatif mulai dilirik oleh para peternak. Hal ini disebabkankarena
sulitnya mendapatkan bahan pakan khususnya pada musim
kemarau panjang di mana pakan hijauan sulit didapat. Hasil
penelitian mengenai penggunaan limbah perkebunan sebagai
bahan pakan ternak monogastrik termasuk unggas dan ternak
ruminansia menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan.
Akan tetapi, penggunaannya dalam penyusunan ransum tentu
saja ada batasanya, yang disebabkan oleh adanya senyawa
antinutrisi pada limbah tersebut.
Fraksi serat kasar yang tidak dapat dicerna tersebut akan
secepatnya keluar dari saluran pencernaan dan sebagai akibatnya
peluang untuk penyerapan zat-zat makanan berkurang.
Dilaporkan oleh Lloyd et al. (l978) bahwa peningkatan serat kasar
ransum akan mengurangi efisiensi penggunaan energi metabolis
yang disebabkan oleh terjadinya pengalihan sebagian energi
netto untuk aktivitas tambahan energi muskuler dan aktivitas
tambahan gizard untuk mendorong sisa makanan sepanjang
usus. Hal inilah yang mungkin menyebabkan pertambahan berat
badan ayam menurun, sebagai akibat dari sedikitnya energi yang
tersedia untuk disimpan berupa lemak.
Hasil penelitian Erika (l998) melaporkan bahwa pemberian
pod kakao yang sudah mengalami amoniasi dengan 1,50 % urea
dan difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium
menghasilkan penampilan sapi FH yang lebih baik dibandingkan
dengan yang diberi pod kakao tanpa perlakuan. Hasil yang lebih
rinci tersaji pada Tabel 63.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 237


Tabel 63. Pengaruh biofermentasi pod kakao terhadap penampilan
sapi FH jantan
Variabel Ransum Perlakuan1)
A B C D E
Pertambahan berat
0,76b* 1,56a* 0,94b* 0,75b* 1,46a*
badan (kg/hari)
Air tubuh (%) 52,97a 53,10a 53,11a 53,05a 53,10a
Protein tubuh (%) 15,17a 15,20a 15,20a 15,19a 15,20a
Lemak tubuh (%) 27,16a 27,00a 26,99a 27,06a 27,00a
Deposisi protein (g/h) 115,77b 236,51a 142,47b 111,98b 222,58a
Deposisi lemak (g/h) 208,07b 420,21a 253,82b 200,28b 395,13a
RetensiN/Ntercerna(BV
97,03a 96,62a 96,59a 96,90a 96,11a
%)

Keterangan : Sumber : Erika (1998)


1. Sapi yang diberi konsentrat + pod kakao tanpa pengolahan
sebagai kontrol (A), konsentrat + pod kakao amoniasi (B),
konsentrat + silase pod kakao (C), konsentrat + biofermentasi
pod kakao dengan isi rumen (D), dan konsentrat +
biofermentasi pod kakao dengan P. chrysosporus (E).
* Nilai dengan hurup berbeda pada baris yang sama,
menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Penambahan 8 % serbuk gergaji kayu sebagai sumber


serat kasar dalam ransum meningkatkan kandungan serat
kasar ransum dan juga meningkatnya konsumsi serat kasar.
Peningkatan konsumsi ransum tersebut adalah sebagai akibat
makin cepatnya laju aliran ransum dalam saluran pencernaan
ayam. Akibatnya, saluran pencernaan ayam menjadi kosong
dan ayam akan mengkonsumsi lebih banyak dan pada giliran
selanjutnya peningkatan konsumsi tersebut akan diikuti oleh
peningkatan konsumsi zat makanan lainnya termasuk air (Tabel
64).

238 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tabel 64. Pengaruh penambahan gergaji kayu, ragi tape, dan
kombinasinya dalam ransum terhadap penampilan
ayam pedaging umur 2 - 7 minggu
Perlakuan1)
Variabel
A B C D
Konsumsi ransum (g) 3468,50b2) 3744,83a 3521,00b 4782,50a
Konsumsi serat kasar (g) 176,86c 408,94a 183,80b 411,54a
Berat badan akhir (g) 1904,50b 1712,50d 2101,83a 1814,50c
Pertambahanberatbadan(g) 1762,93b 1570,91d 1960,26a 1672,76c
Feed Conversion ratio 2,03d 2,55a 1,89c 2,41b

Keterangan :
1. Ransum basal tanpa penambahan gergaji kayu atau ragi tape
sebagai kontrol (A), ransum basal dengan penambahan 8 %
gergaji kayu (B), dengan penambahan 0,5 % ragi tape (C) dan
ransum dengan penambahan 8 % gergaji kayu + 0,5 % ragi
tape (D).
2. Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama,
menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Pertambahan berat badan itik selama penelitian pada


perlakuan B dan C secara nyata menurun jika dibandingkan
dengan perlakuan A (Tabel 65). Hal ini disebabkan karena
adanya sekam padi atau serbuk gergaji kayu dalam ransum akan
meningkatkan kandungan serat kasar dalam ransum. Ransum
yang kandungan serat kasarnya tinggi mempunyai nilai cerna
ransum yang rendah (Jorgensen et al., 1996). Akibatnya, itik akan
mengalami kekurangan zat makanan sehingga pertambahan
berat badannya menurun. Adanya probiotik Starbio dalam
pakan ternyata belum mampu menghidrolisis serat kasar secara
sempurna, sehingga zat makanan yang diserap oleh tubuh itik
tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 239


Tabel 65. Pengaruh penggantian dedak padi dengan sekam padi
atau gergaji kayu yang disuplementasi dengan Starbio
terhadap efisiensi penggunaan ransum dan kadar asam
urat darah itik

Variabel Perlakuan1) SEM2)


A B C
Konsumsi ransum
12771,68a3) 13545,18b 14520,98c 70,65
(g/ekor/17 minggu)
Pertambahan berat badan
1181,5a 1133,75b 1095,5c 70,65
(g/ekor/17 minggu)
Efisiensipenggunaanransum 0,090a 0,083ab 0,078b 0,002
Asamuratdarah(mg/100ml) 5,10a 5,70b 4,70c 0,071

Keterangan :
1. Ransum kontrol tanpa sekam padi atau gergaji kayu
(A), penggantian 50 % dedak dengan sekam padi yang
disuplementasi dengan 0,20 % Starbio (B), penggantian 50 %
dedak dengan gergaji kayu yang disuplementasi dengan 0,20
% Starbio (C).
2. SEM = Standard error of the treatment means
3. Nilai dengan hurup berbeda pada baris yang sama,
menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

11.7.3. Ransum Limbah Peternakan


Penggunaan 5 % tepung bulu ayam dalam ransum ternyata
menurunkan pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan
ransum pada ayam (Bidura dan Suasta, 2003). Akan tetapi, bila
bulu ayam difermentasi ternyata memberikan hasil (pertambahan
berat badan dan efisiensi penggunaan ransum) yang sama dengan
kontrol dan secara nyata memberikan penampilan yang lebih baik
jika dibandingkan dengan yang diberi tepung bulu ayam tanpa
fermentasi. Dilaporkan juga bahwa melalui proses fermentasi

240 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


tepung bulu ayam, pemberiannya ternyata dapat menurunkan
akumulai lemak tubuh ayam (Tabel 66).
Sebelum digunakan dalam penyusunan ransum, terlebih
dahulu tepung bulu ayam tersebut direbus dalam air panas selama
lebih kurang 30 menit dan selanjutnya direcah dan dikeringkan.
Setelah kering, tepung bulu ayam tersebut kemudian dijadikan
tepung dengan mesin penggiling. Pada Gambar 29, tersaji bentuk
fisik bulu ayam utuh dan bulu ayam yang sudah direbus dan
difermentasi.

Gambar 29. Bulu ayam broiler yang masih utuh (a) dan sesudah
direbus serta difermentasi (b)

Penggunaan tepung bulu ayam dalam ransum ternyata


sangat efektif untuk menekan penimbunan lemak tubuh. Dengan
sedikit sentuhan teknologi, yaitu teknologi fermentasi ternyata
dapat diperoleh hasil yang sama dengan kontrol. Hasil penelitian
Bidura dan Suasta (2003) yang memanfaatkan 5 % tepung bulu
ayam dalam ransum tersaji pada Tabel 66.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 241


Tabel 66. Pengaruh penggunaan tepung bulu ayam terfermentasi
dalam ransum terhadap penampilan ayam broiler umur 2 – 6
minggu
Level Tepung Bulu Ayam dalam Ransum

Variabel 0% 5% 5 % terfermentasi
Pertambahanberatbadan(g) 1699,83a 1539,50b 1711,33a
Konsumsi ransum (g) 2989,00b 3228,83a 3083,83b
Feed Conversion Ratio (FCR) 1,76b 2,10a 1,80b
Pad-fat(g/100gberatpotong) 1,60a 1,28b 1,24b
Abdominal-fat (g/100 g brt
2,66a 2,27b 2,18b
potong)
Sumber : Bidura dan Suasta (2003)
* Nilai dengan hurup berbeda pada baris yang sama, berbeda
nyata (P<0,05)

11.7.4. Ransum Limbah Terfermentasi


Tepung limbah pakan fermentasi merupakan pakan limbah
yang sebelum digunakan dalam pencampuran ransum, terlebih
dahulu difermentasi dengan memanfaatkan jasa mikroba tertentu.
Selanjutnya, produk limbah fermentasi tersebut dikeringkan dan
digiling halus.
Prinsip pembuatannya sangat sederhana, yaitu (i) pakan
limbah, seperti pod kakao, kulit kopi, onggok, kulit kedelai, dan
ampas tahu tersebut terlebih dahulu dihancurkan dan diperas
airnya, (ii) limbah yang sudah hancur kemudian dibasahi dengan
larutan Aspergillus niger, kemudian ditutup dengan karung goni
atau plastik, maka akan terbentuk limbah fermentasi, dan (iii)
limbah yang terfermentasi kemudian dikeringkan selama 2 – 3
hari, selanjutnya digiling agar terbentuk tepung (tepung limbah
terfermentasi).
Tepung limbah terfermentasi dapat langsung diberikan
kepada ternak atau disimpan dalam wadah yang bersih dan
kering. Untuk ternak ruminansia, tepung limbah terfermentasi
dapat digunakan sebagai pakan penguat, untuk mempercepat
pertumbuhan, dan meningkatkan produksi susu. Tepung limbah

242 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


terfermentasi ini dapat diberikan sebagai pengganti penggunaan
dedak padi, yaitu sebanyak 0,70 – 1,0 % dari berat hidup ternak
ruminansia.
Penggunaan tepung limbah terfermentasi untuk ternak
babi dapat digunakan sebagai pengganti penggunaan dedak
padi. Dalam ransum babi, dapat digunakan antara 20 – 40
%. Hasil penelitian pada ayam petelur menunjukkan bahwa
penggunaan tepung pod kakao terfermentasi sampai tingkat 36%
dapat meningkatkan produksi telur secara nyata. Pemberian
tepung limbah kopi terfermentasi sebanyak 100 – 200 g per ekor
per hari pada anak kambing yang sedang tumbuh secara nyata
meningkatkan pertambahan berat badan per harinya (Guntoro,
2004). Hasil yang sama juga diperoleh apabila diberikan antara
100 – 200 g/ekor/hari tepung pod kakao terfermentasi.
Hasil yang sama dilaporkan juga oleh beberapa peneliti
yang menggunakan produk fermentasi maupun ragi. Santoso
et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian produk fermentasi
pada ayam broiler secara nyata dapat menurunkan kandungan
trigliserida dan kolesterol dalam hati. Bidura dan Sudiastra
(2003) melaporkan bahwa pemberian ransum basal terfermentasi
dengan ragi tape pada tingkat 50 % dan 100 % dapat meningkatkan
pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum pada
broiler umur 2 – 6 minggu dan sebaliknya, terjadi penurunan
persentase lemak abdomen (Tabel 68).

Tabel 68. Pengaruh pemberian ransum terfermentasi dengan ragi


terhadap penampilan broiler umur 2 – 6 minggu
Variabel Perlakuan1)
A B C
Berat badan akhir (g) 1638,67 1904,00 1805,00
Pertambahan berat badan (g) 1437,00 1702,17 1603,33
Konsumsi ransum (g) 3045,33 3004,50 2967,33
Feed Conversion Ratio (FCR) 2,12 1,77 1,85
Lemakabdomen(g/100gberatbadan) 2,64 2,10 2,19
Sumber : Bidura dan Sudiastra (2003)

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 243


1. Ransum basal tanpa terfermentasi sebagai kontrol (A), 50 %
ransum basal + 50 % ransum terfermentasi (B), dan 100 %
ransum terfermentasi dengan ragi tape (C).
Penggunaan ransum terfermentasi ternyata dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi ternak. Seperti
dilaporkanTanaka et al. (l992), penggunaan bahan pakan
produk fermentasi dapat menekan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-
methylglutaryl-CoA reduktase yang berfungsi untuk menekan sintesis
kolesterol dalam hati. Menurut Hamid et al. (1999), penurunan
jumlah lemak dalam tubuh sebagai akibat mengkonsumsi ransum
terfermentasi disebabkan karena dalam proses fermentasi tersebut
terjadi penurunan kadar lemak ransum sebesar 52,3 %, sehingga
lemak yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh juga menurun. Hasil
penelitian Ketaren et al. (l999) menunjukkan bahwa pemberian
produk fermentasi dapat menekan perlemakan dalam tubuh
ayam pedaging.
Madrigal et al. (l993) melaporkan bahwa efisiensi
penggunaan ransum meningkat dengan adanya suplementasi
ragi (50, 100, dan 200 g/ton ransum) pada ayam broiler. Terjadinya
penurunan konsumsi ransum pada ayam yang diberi ransum
terfermentasi disebabkan karena adanya asam nukleat sebagai
akibat adanya proses fermentasi, yang dapat mengurangi nafsu
makan pada ayam (Supriyati et al., 1998).
Santoso et al. (2001) melaporkan bahwa fermentasi
dengan menggunakan kultur Lactobacillus acidophilus, L. casei,
Bifidobacterium bifidum, Torulopsis, dan Aspergilus oryzae sebagai
inokulan dalam fermentasi ransum dapat meningkatkan
kecernaan ransum yang disebabkan karena adanya proses
pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang
lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan ayam (Mohan et al.,
l996). Hasil peragian bahan organik adalah berupa pelepasan
asam amino dan sakarida dalam bentuk senyawa organik terlarut
yang mudah diserap (Higa dan Parr, l994). Widiyanto et al. (l994)
menyatakan bahwa pada saat difermentasi oleh T. virideae, maka

244 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


ikatan serat kasar pakan menjadi renggang, sehingga sehingga
lebih mudah dimanfaatkan oleh mikroba dalam sekum ternak
unggas.
Dari uraian buku ini, nampaknya limbah pertanian (jerami
padi, jerami jagung, jerami kacang kedelai, jerami kacang tanah,
daun singkong, pucuk tebu, dan sebagainya), limbah industri
pertanian atau “agro-industrial-by-product” (dedak padi, dedak
jagung, bungkil kelapa, ampas tahu, dan bungkil kedelai), limbah
peternakan (kotoran ayam, isi rumen, bulu ayam, dan sebagainya),
limbah perikanan, limbah perkebunan (molases, ampas kelapa
sawit, ampas tebu, onggok, dan bagian sampah seperti kulit
kopi, kulit coklat, serta air buangan sawit), dan limbah tata boga
(limbah hasil restauran, hotel, rumah tangga, dan pasar); perlu
penanganan khusus untuk menghindari munculnya dampak
pencemaran lingkungan yang sudah barang tentu akan berdampak
buruk pada usaha produksi ternak. Oleh karena itu, pemanfaatan
limbah itu sebagai pakan ternak akan sangat bermanfaat dan akan
dapat memberikan keuntungan ganda dalam usaha meningkatkan
produktivitas ternak yang efisien dan ramah lingkungan.
Keterbatasan nutrisi dan adanya senyawa antinutrisi
pada bahan pakan limbah tersebut, dapat diatasi dengan
teknologi pengolahan pakan. Pemanfaatan bioteknologi untuk
mengatasi masalah limbah tersebut ternyata dapat memberikan
beberapa keuntungan, antara lain : (1) mengurangi biaya
pakan, (2) meningkatkan daya dukung lahan pertanian, karena
pemeliharaan ternak tidak harus menyediakan lahan sebagai
tempat tanaman hijauan makanan ternak, (3) dapat memberikan
nilai tambah bagi petani, apabila suatu saat nanti petani telah
dapat melihat peluang tersebut, yang artinya limbah tidak lagi
sebagai limbah yang mengganggu proses produksi, melainkan
sebagai produk yang menguntungkan, (4) memberikan peluang
baru biro jasa lainnya apabila dikelola secara professional, antara
lain akan muncul suatu bisnis atau usaha baru dalam pelayanan
jasa seperti prosesing dan pengangkutan limbah sebagai pakan

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 245


ternak, sehingga sektor pertanian akan memberikan peluang
untuk menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, dan (5) dapat
mengatasi masalah pencemaran lingkungan.

246 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


DAFTAR PUSTAKA

Afwan. 1992. Pengaruh Sari Bawang Putih Terhadap Penurunan


Kadar Glukosa Darah Kelinci Dibandingkan Dengan
Metformin Hidroksida. Laporan Penelitian, Jurusan Farmasi,
FMIPA USU, Medan
Al-Batshan, H. A. and E. O. S. Hussein. l999. Performance and
Carcass Composition of Broiler under Heat Stress : 1. The
Effects of Dietary Energy and Protein. Asian-Aus. J. Anim.
Sci. 12 (6) : 914 – 922
Andajani, R. l997. Peran Probiotik dalam Meningkatkan Produksi
Unggas. Poultry Indonesia nomor 26/April l997 Hal : 19-20
Anderson, H. l994. Effect of Carbohydrates on The Exretion of
Biles Acids, Cholesterol and Fat From The Small Bowel. Am.
J. Clin. Nutr. 59 : 785
Anggorodi, R. l979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia,
Jakarta
Anggorodi, R. l985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan
Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press., Jakarta.
Annison, G. 1992. Commercial Enzyme Supplementation of

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 247


Wheat-based diets Raises Ileal Glycanase Activities and
Improves Apparent Metabolisable Energy, Starch and
Pentosan Digestible in Broiler Chickens. Anim. Feed Sci.
Technol. 38:105-212
Anonymous. 1988. Wonder Zeolit, Feed Additive, Penangkal
Nitrogen dan Amonia. Katalog Wonder Indonesia
Pharmaceutical. Jakarta Selatan.
Anonymous. 1990. Potensi Zeolit Dalam Agroindustri. Makalah
seminar Zeo Agroindustri 90. Kerjsama PPSKI - HKTI -
UNPA, Bandung.
Anonymous. 1997. Bawang Putih Lebih Baik. Harian Umum
Kompas, Minggu 20 Juli 1997, Hal. 15, PT. Gramedia,
Jakarta.
Anonymous. 2002. Amoniasi, Jerami Pakan Bermutu. http://A/
Harian Umum Suara Merdeka, 30 September 2002
Anonymus. 2004. Pelatihan Integrated Farming Sistem. Lembah
Hijau Multifarm.Solo. Indonesia.
Anonymous. 2005. The Use of Fibrous Residues in South East
Asia. http://www.edu/unu press/food/unu 06/cap 5.htm.
Anwar, K. P., Y. Nugraha dan M. Kurnia. 1985. Prospek Pemakaian
Zeolit Bayah Sebagai Penukar Kation. Laporan Teknik
Pengembangan no. 62. Pusat Pengembangan Teknologi
Mineral, Dirjen. Pertambangan Umum, Dep. Pertambangan
dan Energi, Bandung.
Arcana, I. N. 1992. Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih
Terhadap Profil Darah Kelinci. Laporan Penelitian Fakultas
Kedokteran, Univ. Udayana, Denpasar
Augusti, K.T. l977. Hypocolesterolemic Effect of Garlic (Allium
sativum). 211-214. Linn. Indian. J. Axp. Biol. l5 : 489-490
Badan Pusat Statistik, 1998. Bulletin Ringkas BPS. Agustus 1998.
BPS Jakarta-Indonesia (1) : 24 – 25)
Bakrie, B., T. Panggabean, T. Sitompul, M. Winogroho, dan N.
G. Yates. 1990. Analisa Kualitas Ampas Tempe Sebagai
Makanan ternak Ruminansia. Ilmu dan Peternakan 4 (3) : 319

248 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


– 321
Ballard, F. J., R. J. Johnson, P.C. Owens, G. L. Francis, F. M. Upton,
J. P. McMurtry and J. C. Wallace. 1990. Chicken Insuline Like
Growth Factor-1 : Amino Acid Squence, Radio Immunoassay,
and Plasma Levels Between Strains and During Growth. Gen.
Comp. Endocrinology 79 : 459 – 468.
Barrow, P. A. l992. Probiotics for Chickens. In. Probiotics The
Scientific Basis (By : R. Fuller). First Ed. Chapman and Hall,
London. Hal : 225 - 250.
Belawa, T. G. Y. 2005. pengaruh penggantian dedak padi dengan
sekam padi atau serbuk gergaji kayu yang disuplementasi
dengan probiotik terhadap efisiensi penggunaan ransum dan
kadar asam urat darah itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan
Vol 8 (2) : 35 – 40
Belawa, T. G. Y. dan N. M. S. Sukmawati. 2006. Pengaruh
penggantian dedak padi dengan sekam padi atau serbuk
gergaji kayu yang disuplementasi dengan probiotik terhadap
efisiensi penggunaan ransum dan kadar asam urat darah itik
Bali. Majalah Ilmiah Peternakan Vol. 9 (2) : 40 - 44
Bhattacharyya, B. N. 2000. Effect of Sex and Age on Mineral and
Thyroid Hormone Profiles in Goats. In. Animal Production for
a Consuming World, Vol. C. (Ed. G.M. Stone). A Supplement
of the Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 : 283 – 284
Bidura, I. G. N. G. 1993. Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam
Ransum Terhadap Pertambahan Berat Badan Ayam Umur
0 - 6 minggu. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan,
Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. 1998. Pengaruh Aras Protein Ransum terhadap
Nitrogen dan Energi Termetabolis pada itik Bali. Majalah
Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 1 (1) : 12-19
Bidura, I. G. N. G. 1998. Pengaruh Aras Serat Kasar Ransum
terhadap Produksi Telur Ayam Lohmann Brown. Majalah
Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 1 (2) : 23-27
Bidura, I. G. N. G. 1999. Penggunaan Tepung Jerami Bawang

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 249


Putih (Allium sativum) dalam ransum terhadap Penampilan
itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 2 (2) : 48
– 53
Bidura, I. G. N .G. 2002. Pengaruh Penggunaan Pod Kakao
dalam Ransum yang Disuplementasi Ragi Tape Terhadap
Penampilan Itik Bali Umur 2 – 8 Minggu. Laporan Penelitian
Dosen Muda, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. 2005. Bioteknologi Pakan dan Aplikasinya.
Buku Ajar. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. 2006. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun
Katuk (Saurupus androgynus) dan Daun Bawang Putih (Allium
sativum) dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Broiler.
Majalah Ilmiah Peternakan Vol 9 (3) : 76 – 84
Bidura, I. G. N. G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan
Ternak. UPT Penerbit Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan A. W. Puger. 2003. Pengaruh Penggunaan
Tepung Daun Duckweed dalam Ransum terhadap Penampilan
Itik Bali Jantan Umur 0 – 8 Minggu. Laporan Penelitian,
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan D. P. M. A. Candrawati. 2004. Pengaruh
Pemberian Ekstrak Hipofisa Sapi secara Itramuskuler
terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 2 – 6 Minggu.
Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G dan I. W. Wirawan. 2007. Pemanfaatan Pollard
yang Disuplementasi dengan Kultur Campuran sebagai
Upaya Tingkatkan Penampilan dan Turunkan Kolesterol
Tubuh Itik. Laporan Penelitian, fak. Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G., D. P. M. A. Candrawati, dan N. L. G. Sumardani.
2007. Pengaruh Penggunaan daun Katuk (Saurupus
androgynus) dan Daun Bawang Putih (Allium sativum) dalam

250 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Ransum terhadap Penampilan Ayam Broiler. Majalah Ilmiah
Peternakan, Fapet Unud (10) 1 : 17 – 21

Bidura, I. G. N. G., I.D. G. A. Udayana, I M. Suasta dan T. G.


B. Yadnya. l996. Pengaruh Tingkat Serat Kasar Ransum
Terhadap Produksi dan Kadar Kolesterol Telur Ayam.
Laporan Penelitian Fakultas Peternakan, Unud., Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I. G. Mahardika. 2000. Penggunaan Tepung
Jerami Bawang Putih (Allium Sativum) dalam Ransum
Terhadap Bobot potong dan Komposisi Fisik Karkas Itik.
Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 3 (3) : 67 – 71.
Bidura, I. G. N. G. dan I. G. P. B. Suastina. 2002. Pengaruh
Suplementasi Ragi Tape dalam Ransum terhadap Efisiensi
Penggunaan Ransum. Majalah Ilmiah Peternakan 5 (1) : 06
– 11.
Bidura, I G. N. G dan I. G. Suranjaya. 2002. Pengaruh Pemberian
Ekstrak Hipofisa Ayam Broiler terhadap penampilan Itik
Bali Jantan umur 0 – 8 minggu. Laporan Penelitian Dosen
Muda. Ditbinlitabmas, Dikti, Fakultas Peternakan, Unud,
Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I. M. Suasta. 2003. Pengaruh Penggunaan
Tepung Bulu Ayam Terfermentasi dalam Ransum terhadap
Penampilan Ayam Broiler Umur 2 – 6 Minggu. Laporan
Penelitian, Fakultas peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I. K. Ramia. 2004. Pengaruh Pemberian
Rumput Laut sebagai Sumber Serat terlarut dalam Ransum
terhadap Penampilan dan Akumulasi Lemak Tubuh Itik
Bali. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I. K. Ramia. 2004. Pengaruh penggunaan agar
dalam ransum terhadap penampilan, karkas, perlemakan,
dan kolesterol darah itik Bali jantan umur 2 – 8 minggu.
Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 251


Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G., dan I. N. Suwidjayana. l997. Pemanfaatan
Tepung Daun Bawang Putih (Allium sativum) dan Serbuk
Gergaji Kayu dalam Ransum Terhadap Produksi dan Kadar
Kolesterol Telur Ayam. Laporan Penelitian. Fapet. Unud.-
Ditbinlitabmas, Dikti., Jakarta.
Bidura, I. G. N. G. dan I. N. Suwidjayana. 1998. Khasiat Tepung
Jerami Bawang Putih (Allium sativum) Menurunkan
Kandungan Lemak dan Kolesterol Karkas Itik. Laporan
Penelitian BBI, Dirjen Dikti, Fapet. Unud., Denpasar
Bidura, I G. N. G. dan I. N. Suwidjayana. 2000. Pemanfaatan
Pod Kakao yang Disuplementasi Probiotik dalam Ransum
terhadap Produksi dan Kadar Kolesterol Telur Ayam.
Laporan Penelitian Dosen Muda. Ditbinlitabmas, Dikti,
Fakultas Peternakan, Unud, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I. W. Sudiastra. 2002. Suplementasi Ragi
Tape dalam Ransum yang Mengandung Kulit Kacang Kedelai
terhadap Penampilan dan Distribusi Lemak Tubuh Broiler.
Laporan Penelitian Fakultas Peternakan, Unud., Denpasar.
Bidura, I. G. N .G. dan I. W. Sudiastra. 2002. Pengaruh Penggunaan
Pod Kakao dalam Ransum yang Disuplementasi Ragi Tape
Terhadap Penampilan Itik Bali Umur 2 – 8 Minggu. Laporan
Penelitian Dosen Muda, Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G dan I. W. Sudiastra. 2003. Pengaruh Pemberian
Ransum Terfermentasi dengan Ragi terhadap Penampilan
Broiler Umur 2 – 6 Minggu. Laporan Penelitian, Fakultas
Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I.W. Wirawan. 2007. Pemanfaatan Pollard
yang Difermentasi dengan Kultur Campuran sebagai Upaya
Tingkatkan Penampilan dan Turunkan Kolesterol Tubuh
Itik. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar
Bidura, I. G. N. G., I. M. Suasta, dan F, Hildha. 2004. Pengaruh

252 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Suplementasi Enzim Kompleks dalam Ransum Berprotein
Rendah terhadap Penampilan Ayam Jantan Tipe Petelur.
Laporan Penelitian Program SP-4 Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar
Bidura, I. G. N. G., I. W. Sudiastra, I. K. Purna, I. K. Ramia, dan I.
D. G. Alit Udayana. 1993. Suplementasi Zeolit dalam Ransum
Komersial Terhadap Pertambahan Bobot Badan dan Efisiensi
Penggunaan Ransum Ayam Broiler. Laporan Penelitian
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Denpasar.
Budaarsa, I. K. 2004 Pengaruh rumput laut jenis Gracilaria sp
dalam ransum terhadap komponen karkas dan kolesterol
daging babi. Majalah Ilmiah Peternakan Vol (8) 1 :.12 – 18
Bumpuss, J. A. and S. D. Aust. 1987. Biodegradation of
Environmental Pollutans by The White Rot Fungus
Phanerochaete chrysosporium : Involvement of The Lignin
Degrading System. Biossyas 6 : 166 – 170
Buyukhatipoglu, S. and W. Holtz. 1984. Sperm Output in Rainbow
Trout (Salmo gairdneri) Effect of Age, Timing and Frequency
of Stripping and Presence of Females. Aquaculture 37 : 63
– 71
Candrawati, D. P. M. A. 1999. Pendugaan Kebutuhan Energi dan
protein Ayam Kampung Umur 0 – 8 Minggu. Tesis Program
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Candrawati, D. P. M. A. dan I. G. Mahardika. 1999. Pendugaan
Kebutuhan Energi dan protein Ayam Kampung Umur 0
– 8 Minggu. Penelitian dalam Rangka Program Magister,
Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Candrawati, D. P. M. A., N. M. Witariadi, I. G. N. G. Bidura, dan M.
Dewantari. 2006. Pengaruh Suplementasi Enzim Phylazim
dalam Ransum yang Menggunakan 30 % Dedak Padi
terhadap Penampilan Broiler. Majalah Ilmiah Peternakan (9)
3 : 73 - 77
Card, L. E. and M. C. Nesheim. l972. Poultry Production. 10th Ed.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 253


Lea and Febiger, Philadelphia.
Chen, C., A. M. Pearson, T. H. Coleman, J. J. Pestka and S. D. Aust.
1984. Tissue deposition and clearance of aflatoxin from
broiler chikens fed a contaminated diet. Food Chem. Toxic.
22 : 447 - 451.
Chiang, S. H. and W. M. Hsieh. l995. Effect of Direct Feed
Microorganisms on Broiler Growth Performance and Litter
Ammonia Level. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 8 : 159 – 162
Choct, M. 1997. Feed enzymes; current and future aplication. In
11th annual Asia Pacific Lecture Tour. 73-82.
Coombs, J. 1995. Dictionary of Biotechnology. Elsevier, New
York.
Couch, J.R. 1978. Poultry Reseachers Outline Benefits of Bacteria,
Fungistatic Compouns, Other Feed Additivies. Feedstuffs
50,6
Dean, W. F. 1978. Nutrient Requirement of Duck. Proc. Cornell
Nutrition Conf. pp. 132 – 140
Desiliyarni, T. 1999. Analisis Keragaman Genetik Bakteri
Termofilik dari Kawah Candradimuka, Pegunungan Dieng
dengan Teknik PCR-RFLP gen 16s-rRNA. Tesis Program
Pascasarjana. IPB. Bogor.
Djajanegara, A. 1983. Tinjauan Ulang Mengenai Evaluasi Suplement
pada Jerami Padi. Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah
Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. Ed.
A.T. Karoceri. LIPI, p. 192-197.
Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Vol. 1.
Depdikbud, Dikti. PAU Ilmu Hayati, IPB, Bogor.
Doyle, P. T., C. Davendra and G. R. Pearce. 1986. Rice straw as a Feed for
Ruminants. International Development Program of Australian
Universities and Colleges Ltd., Cambera, p.54-89.
Duldjaman, M. 2005. Kualitas Karkas Domba yang diberi
Pakan Rumput Kering dan Ditambah Ampas Tahu. Jurnal
Pengembangan Peternakan Tropis Vol. 30 No. 2 : 81 -87
Effendi, H. J. 1981. Fisiologi Sistem Hormonal dan Reproduksi

254 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


dengan Pathofisilogis. Penerbit Alumni, Bandung.
Evans, M. 1989. Zeolites-Do They Have a Role In Poultry Production
?. In Recent Advances In Animal Nutrition (Ed. Farel, D.J.).
University of England Armidale, NSW 2351 Australia.
Fahn, A. 1982. Anatomi Tumbuhan. Diterjemahkan oleh
Soediareta, A. Edisi Ke Tiga, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Ferket, P. R., and T. Middelton. 1999. Antinutritive in Feedstuffs.
Poultry International, March, 1999. 38 (3) : 46 – 55
Francis, C., D.M. Janky, A.S. Arafa and R.H. Harms. l978.
Interrelationship of Lactobacillus and Zinc Bacitracin in The
Diets of Turkey. Poultry Sci. 57 : 1687-1689
Fuller, R. l989. History and Development of Probiotics, in :
Probiotics the Scientific Basis. Ed. Fuller, R. First Ed.
Chapmann and Hall, London, Hal : 1 – 10
Fuller, R. 1992. Probiotics the Scientific Basis. Chapman and Hall.
London.
Golblatt, L. A. 1969. Aflatoxin : Scientific Background, Control
and Implications. Academic Press. New York.
Graham, H., W. Loewgren, D. Petterson, and P. Aman. 1988. Effect
of Enzyme Supplementation on Digestion of Barley Pollard-
Based Pig Diet. Nutr. Rep. Int. 38: 1073-1139
Guntoro, S. 2004. Pemanfaatan Limbah dalam Integrasi
Perkebunan dan ternak. Balai pengkajian Teknologi Pertanian
bali, Denpasar.
Hadioetomo, R. S. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek.
Penerbit PT Gramedia Jakarta.
Hagino, A., E. Inomata, K. Katoh, S. Oda, Y. Sasaki, and Y. Obara.
2000. Effects of Dietary Starch and Protein Supplement
on GH, IGF-1 and Insulin Secretion in Sheep. In. Animal
Production for a Consuming World, Vol. C. (Ed. G.M. Stone).
A Supplement of the Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 : 265
Ha, J. S. S., S. W. Lee, W. Kim, I. K. Han, K. Ushida and K. J.
Kang. 2001. Degradation of Rice Straw by Rumen Fungi and

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 255


Cellulolytic Bacteria through Mono, Co or Sequential Culture.
School of Agric. Biotech. Seoul National Univ. Korea.
Han, Y. and D. H. Baker. 1994. Digestible Lysine Requirement of
Male and Female Broiler Chicks During the Period Three to
Six Weeks Posthatching. Poult. Sci. 73 : 1739 – 1745
Hanafi, N. D. 2001. Enzim sebagai Alternatif baru dalam
Peningkatan Kualitas Pakan untuk Ternak. Program
pascasarjana, IPB, Bogor.
Handriani, H. 1992. Pemakaian Zeolit dalam Ransum Ayam
Petelur Tipe Medium Fase Produksi II terhadap Bobot
Telur dan Kualitas Telur. Skripsi Fakultas Peternakan, IPB.
Bogor.
Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi Kedua,
Diterjemahkan Oleh K. Padmawinata dan I. Soediro. Penerbit
ITB, Bandung.
Hardjamulia, A. dan S. Atmawinata. 1980. Teknik Hipofisasi
Beberapa Jenis Ikan Air Tawar. Prociding Lokakarya Nasional,
Balitkanwar, Bogor.
Harianto. l996. Manfaat Serat Makanan. Sadar Pangan dan Gizi
Vol. 5 (2) : 4-5
Harmiati, A.A.I. 2004. Pengaruh Suplementasi Zeolit dalam
Ransum Berprotein Rendah rterhadap Kualitas telur Ayam
Lohmann Brown. Majalah Ilmiah peternakan Vol 7 Vol 1 : 34
- 42
Hartanto, R. 1990 Pengaruh Jenis kapang dan Lama fermentasi
terhadap Mutu dan daya simpan tempe Limbah Jamur
Merang. Skripsi fak. Teknologi pertanian, IPB, Bogor.
Hatieganu, V., I. Puia, O. Popa and G. Baltan . 1974. Use of Natural
Zeolites In Animal Feeding Synthetis. Poultry Abstr. Vol.
8:110 .
Hidayatullah, Gunawan, Koeswardono, Mudikdjo, dan Erlisa,
2005. Pengelolaan Limbah Cair Usaha Peternakan Sapi
Perah Melalui Penerapan Konsep Produksi Bersih. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 8.

256 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


No.1 : 124-136
Hickling, D., W. Guenter, and M. E. Jackson. 1990. The Effect
of Dietary Methionine and Lysine on Broiler Chickens
Performance and Breast Meat Yield. Can. J. Anim. Sci. 70 :
673 – 678
Hillman, W.S. and D.D. Culley. 1978. The Use of Duckweed. In :
American Scientist 66 : 442 – 450
Islam, K.M.S., M. Shahjalal, A.M.M. Tareque, and M.A.R.
Howlider. 1997. Complete Replecement of Dietary Fish
Meal by Duckweed and Soybean Meal on The Performance of
Broiler. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 10 (6) : 629 – 634.
Jain, R. G., and D. B. Konar. l98l. Blood Sugar Lowering Activity of
Garlic (Allium sativum). Medikon l977, VI : 3-l5
Jhori, T. S., and P.N. Sharma. 1979. Studies on Utilization of Dried
Duckweed (Lemna minor) in Chicks. Indian Journal Poult. Sci.
14 : 14 – 18
Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah and S. Jalaludin. l997. Probiotics
in Poultry : Modes of Action. Worlds Poultry Sci. J. 53 (4) :
351-368
Journey, W.K., P. Skillicorn, and W. Spira. 1991. Duckweed
Aquaculture-A New Aquatic Farming System for Developing
Countries. The World Bank. 76 pp. Washington, DC.
Jufri, S.M. 1987. Pengaruh ekstrak Umbi Bawang Merah (Allium
cepa) Takaran 250 mg/kg Berat Badan Terhadap Penurunan
Kadar Gula Darah Normal Kelinci. Laporan Penelitian,
Jurusan Farmasi FMIPA, UNHAS, Ujung Pandang
Kamal, M. Dan M. Murdhika. 1983. Kemungkinan Pemanfaatan
Eceng Gondok sebagai Sumber konsentrat protein daun
(Leaf Protein Concentrate) untuk Pengganti kedelai dalam
Ransum Ayam. Laporan penelitian, fakultas Peternakan,
Universitas gadjah Mada, Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1998. departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI. Perum Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.
Karyadi, E. l997. Khasiat Fitokimia Bagi Kesehatan. Harian

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 257


Kompas, Minggu, 20 Juli l997. Hal : l5, Kol : 1-7, PT. Gramedia,
Jakarta.
Kataren, P. P., A. P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadarta, dan
I. P. Kompiang. 1999. Bungkil Inti Sawit dan Produk
Fermentasinya Sebagai Pakan Ayam Pedaging. Journal Ilmu
ternak dan Veteriner 4 (2) : 107 – 112
Kencana, H., H. Tahyan dan P.R. Maman. 1990. Pemanfaatan
Zeolit Sebagai Feed Additive dalam Meningkatkan Produksi
Ternak Kelinci Melalui Uji Biologis. Makalah, Seminar
zeo Agroindustri 90. Kerjasama PPSKI - HKTI - UNPAD,
Bandung.
Khomsan, A. 1999. Kiat Sehat Menurunkan Kolesterol. Harian
Swara No. 29 Hal. 7, Jakarta
Koh, W., A. Santto and R. Messing. 1963. Keratinolytic Enzymes
from Aspergillus flavus and A. niger. Bacteriol. Proc. 38 : 18
– 24.
Kriswiyanti, E., N.M. Puspawati, N.N. Darsini, N.W. Bogoriani,
dan I.G.M.O. Nurjaya. 1997. Identifikasi, Struktur Anatomi
dan Studi Pendahuluan Golongan Senyawa Kimia Daun
Pelengkap Bumbu Lawar dan Betutu. Laporan, FMIPA,
UNUD, Denpasar
Kubena, L.F., J.W. Deaton, F.C. Chen and F.N. Reece. l974. Factors
Influencing The Quality af Abdominal Fat in Broilers. 2. Cage
Versus Floor Rearing. Poultry Sci. 53 : 574 – 576
Leng, R.A., J.H. Stambolie and R. Bell. 1995. Duckweed a Potential
High Protein Feed Resource for Domestic Animals and Fish.
In: Livestock Research For Rural Development Vol. 7 No. 1.
Linder, M.C. 1985. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Ed. II.
Penterjemah A. Parakkasi. Penerbit UI., Jakarta.
Lin, X., Soo-Won Lee, H.D. Bae, J.A. Shelford, and K.J. Cheng. 2001.
Comparison of Two Feather-Degrading Bacillus licheniformis
Strains. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14 (12) : 1769 – 1744
Lloyd, L.E., B.E. McDonald and E.W. Crampton. l978. The
Carbohidrates and Their Metabolism. In : Fundamental of

258 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Nutrition. 2 nd Ed. W.H. Freman and Co., San Francisco.
Lon-Wo, E., and C. Rodriquez. 1986 A Note of Utilization of Zeolite
or Lime on Hay Litters for Broiler. Cuban Journal Agric. Sci.
25 : 259 - 262.
Mahardika, I. G. 1990. Penggunaan Lemak Sapi atau Minyak
Kelapa Sebagai Sumber Energi Pengganti Jagung Untuk
Ayam Broiler. Thesis Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Mahayani, N. N. S. l994. Pengaruh Penambahan Limbah Roti pada
Ransum terhadap Kualitas Daging paha Kambing Peternakan
Etawah. Skripsi Sarjana Peternakan, Fak. Pertanian, Univ.
Marwadewa, Denpasar.
Mahfudz, L. D. 2006. Efektifitas Oncom Ampas Tahu sebagai
Bahan Pakan Ayam. Jurnal Produksi Ternak Vol. 8 (2) : 108
– 114
Mahfudz, L. D., K. Hayashi, M. Hamada, A. Ohtsuka, and Y.
Tomita. 1996. The Effective Use of Shochu Ditellery By-
Product as Growth Promoting Factor for Broiler Chicken.
Japanese Poult. Sci. 33 (1) : 1 – 7
Mahfudz, L. D., K. Hayashi, K. Nakashima, A. Ohtsuka, and Y.
Tomita. 1997. A Growth Promoting Factor for Primary Chicks
Muscle Cell Culture From Shochu Distillery By-Product.
Biosecience, Biotechnology and Biochemistry, December 58
: 715 – 720
Mahfudz, L. D. 2006. Ampas Tahu Fermentasi sebagai Bahan
Pakan Ayam Pedaging. Caraka Tani, Jurnal Ilmu-Ilmu
pertanian Vol 21 (1) : 39 – 45.
Maksudi. 2000. Quantitative Oxidation on Nutrients In Broiler
Treated with β-agonist L-644,969. Bulletin of Animal Sci. 24
(3) : 94 – 102
Malik, Z. A. and S. Siddique. l98l. Hypotensive effect of Freeze
Dried Garlic (Allium sativum). SAP. In : Dog. JPMA. 31 : 12-
13
Mariani, N. P. dan N. N. Suryani. 2004. Pengaruh penggunaan pod

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 259


kakao yang disuplementasi ragi tape dalam ransum terhadap
jumlah pad-fat dan kadar kolesterol daging itik Bali. Majalah
Ilmiah peternakan Vol 7 (2) : 87 – 93
Mastika, I. M. 2001. Ilmu Gizi Ternak Unggas. Buku Ajar. UPT
Penerbit, Universitas Udayana, Denpasar
Mastika, I. M. 1991. Potensi Limbah Pertanian dan Industri
Pertanian serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak.
Pidato Pengukuhan GuruBesar Tetap dalam Ilmu Nutrisi
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar.
McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A.
Morgan. 1995. Animal Nutrition. Jhon Wiley and Sons,
New York.
Men, B. X., B. Ogle, and J. E. Linberg. 2001. Use of Duckweed as
a Protein Supplement for Growing Ducks. Asian-Aust. J.
Anim. Sci. 14 (12) : 1741 – 1746
Menge, H., L.H. Littlefield, L.T. Frobish and B.T. Weinland. 1974.
Effect of Cellulose and Cholesterol on Blood and Yolk Lipids
and Reproductive Effiency of The Hen. J. Nutr. 104 : 1554
– 1566
Mohan, B., R. Kadirvel, M. Bhaskaran and A. Natarajan. l995.
Effect of Probiotic Suplementation on Serum and Yolk
Kolesterol and Egg Shell Thicness In Layers. British Poultry
Sci. 36 : 799 – 803
Mumpton, F. A. and P. H. Fishman. 1977. The Aplication of Natural
Zeolite In Animal Science and Aquaculture. J. Anim. Sci. 45
: 1198 - 1203.
North, M. O. 1984. Commercial Chicken Production Manual.
The Avi Publishing Inc. Westport, Connecticut.
Nuraini, E., Koentjoko, dan Soehardjono. 2002. Pengaruh
Penggunaan Tepung Bulu Ayam dan Papain dalam Pakan
terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Biosain Vol. 2 (1) : 14
– 19.
Nuryani, A. 1998. Pengaruh Penggunaan Berbagai Tingkat Bio

260 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


H+ dalam Ransum terhadap Bobot dan Presentase Karkas,
giblet, serta Lemak Abdominal Broiler. Fak. Pertanian Unila.
Bandar Lampung.
Ochetim, S. 1993. The Effects of Partial Replacement of Soybean
Meal with Boiled Fether Meal on The Performance of Broiler
Chickens. AJAS. 6 (4) : 597 – 600
Oka, A. A. 1992. Studi Anatomi Perbandingan Letak Kelenjar
Hipofisa Ternak Sapi, Kerbau dan Domba Serta Pengaruh
Ekstraknya Terhadap Spermiasi dan Mani Ikan Mas (Cyprinus
carpio L.). Thesis, Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Owing, W. J., D. L. Reynolds, R. J. Hasiak and P. R. Ferket. l990.
Influence of Dietary Suplementation with Streptococcus
faecium M-74 on Broiler Body Weight, Feed Conversion,
Carcass Characteristics and Intestinal Microbial Colonization.
Poultry Sci. 69 : 1257 – 1264
Pantaya, D. 2005. Penambahan Enzim CairanRumen untuk
Terhadap kandungan Energi Metabolis Wheat Pollard.
Majalah Ilmiah Peternakan Vol. 8 (1) : 12 – 18
Pantaya, D. 2005. Penambahan Enzim dari Cairan Rumen untuk
Peningkatan kandungan Energi metabolis Wheat Pollard.
Majalah Ilmiah Peternakan 8 (1) : 14 – 19
Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik.
Penerbit Angkasa, Bandung.
Park, H. Y., I. K. Han and K. N. Heo. l994. Effects of Suplemention of
Single Cell Protein and Yeast Culture on Growth Performance
in Broiler Chicks. Kor. J. Anim. Nutr. Feed 18 (5) : 346-351
Partama, I. B. G., I. G. N. G., Bidura dan N. N. Candraasih. 2005.
Pengaruh penggunaan campuran limbah roti dan tepung
daun duckweed sebagai pengganti penggunaan jagung
kuning dalam ransum basal terhadap penampilan ayam
buras. Majalah Ilmiah Peternakan Vol 8 (2) : 53 - 61
Phung, L. T., A. Sasaki, H. G. Lee, R. A. Vega, N. Matsunaga, S.
Hidaka, H. Kuwayama, and H. Hidari. 2001. Effect of the
Administration of Growth Hormone-Releasing Peptide-2

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 261


(GHRP-2) Orally by Gavage and in Feed on Growth Hormone
Release in Swine. Domest. Anim. Endocrinol. 20 : 9 – 19
Phung, L. T., H. Inoue, V. Nou, H. G. Lee, R. A. Vega, N. Matsunaga,
S. Hidaka, H. Kuwayama and H. Hidari. 2000. The Effects
on Growth Hormone-Releasing Peptide-2 (GHRP-2) on The
Release of Growth Hormone and Growth Performance in
Swine. Domestic Animal Endocrinol. 18 : 279 – 291.
Piao, X.S ., I. K. Han, J. H. Kim, W. T. Cho, Y. H. Kim and C. Liang.
l999. Effects of Kemzyme, Phytase and Yeast Suplementation
on The Growth Performance and Pollution Reduction of
Broiler Chicks. AJAS 12 (1) : 36-41
Piliang, W. G. 1997. Strategi Penyediaan Pakan Ternak Berkelanjutan
Melalui Pemanfaatan Energi Alternatif. Orasi Ilmiah Guru
Besar Tetap Ilmu Nutrisi, Fapet IPB, Bogor
Plummer, D.T. l977. An Introduction to Practical Biochemestry.
McGraw-Hill Book Co., Ltd. New Delhi.
Pluske, J. R. 1997. Defining the future role of enzymes within the
Asia Pacific region. . In 11th annual Asia Pacific Lecture
Tour. 45-64.
Prawirodigdo, S. dan D. Andayani. 2004. Kondisi Kesehatan Kelinci
Rex yang Diberi pakan Hasil fermentasi sampah sayuran
dan sampah Buah-Buahan Menggunakan Aspergillus niger.
Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol. 30 No. 2 : 75
– 80.
Prawirodigdo, S., D. M. Yuwono, dan Muryanto. 1992. Potensi
Limbah Pasar Sebagai Pakan Ternak Kelinci. Laporan
Penelitian, Stasiun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Klepu. Hal : 18 – 20.
Purnomohadi, M. 2006. Peranan Bakteri Selulolitik Cairan
Rumen pada Fermentasi Jerami Padi terhadap Mutu Pakan.
Protein. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan dan Perikanan
Vol 13 (2) : 108 – 112
Radjiman, D. A., T. Sutardi, dan L. E. Aboenawan. 1999. Efek
Substitusi Rumput Gadjah dengan Eceng Gondok dalam

262 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Ransum Domba terhadap Kinerja proses Nutrisi dan
Pertumbuhan. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, K., Kuswanto, dan S. Sudarmadji. 1989. Mikrobiologi
Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rasyaf, M. l994. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke 8 PT.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Rasyaf, M. 2002. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Cetakan
ke 9, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Riana, I W. Dan I. G. N. G. Bidura. 2002. Pengaruh Tingkat
Penggunaan Eceng Gondok (Eichornis crassipes) sebagai
Sumber Serat dalam ransum terhadap Penampilan Ayam
Buras Umur 0 – 12 Minggu. Laporan penelitian, Fakultas
peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Rianto, E., E. Lindasari, dan E. Purbowati. 2006. Pertumbuhan
dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan
yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda. Animal
Production. Jurnal Produksi Ternak Vo.8 (1) : 28-33
Said, C. 1996. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kelapa sawit.
Trubus Agriwidya, Ungaran.
Santoso. 1993. Fisiologi Tumbuhan. Fakultas Biologi. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Santoso, U. 2000. Mengenal Daun Katuk Sebagai Feed Additive
pada Broiler. Poultry Indonesia, Juni/Nomor 242 : 59 – 60
Santoso, U. 2000. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Keji Beling
(Strobilanthes crispus BL.) terhadap Performans dan Akumulasi
Lemak pada Broiler. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 6 (2)
: 10 – 14
Santoso, U., D. Kurniawati, dan J. Setianto. Perubahan Komposisi
Nutrisi Kotoran Ayam Petelur yang Difermentasi dengan
Mikroorganisme Efektif. Majalah Ilmiah peternakan Vol. 7
(3) : 145 – 151
Santoso, U., K. Tanaka, S. Ohtani, and B.S. Youn. 1993. Effects of

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 263


Early Feed Restriction on Growth Performance and Body
Composition. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 6 : 401 409
Schute, J.B., and J. de Jong . 1996. Effect of a dietary protease
enzyme preparation (vegpro) supplementation on broiler
chick performance. In Lyons, T.P. and K.A. Jacques.
Biotechnology in the feed Industry. Proc. Alltech’s Twelfth
Annual Symposium. 233-240.
Scott, M. L., M. C. Neisheim and R. J. Young. l982. Nutrition of
The Chickens. 2nd Ed. Publishing by : M.L. Scott and Assoc.
Ithaca, New York.
Seaton, K. W., O. P. Thomas, R. M. Gous and E. H. Bossard. l978.
The Effect of Diet on Liver Glycogen and Body Composition
in The Chick. Poult. Sci. 57 : 692-697
Shin, H. Y., I. K. Han, and Y. J. Choi. 1992. Studies on Potassium-
Lysine Interrelationship in Broiler Chiks. I. Effect of
Potassium-Lysine Interrelationships on Growth Performance
and Nutrient Utilizability. AJAS 5 (1) : 139 – 144
Sibbald, I. R., and M. S. Wolynetz. l986. Effects of Dietary Lysine
and Feed Intake on Energy Utilization and Tissue Synthesis
by Broiler Chicks. Poult. Sci. 65 : 98 – 105
Sillence, M. N., Q. Liu, G. Chen, and G. H. Zhou. 2000. Effects
of Combined Somatotropin and Clenbuterol Treatment on
Growth and Body Composition in Pigs. In. Animal Production
for a Consuming World, Vol. C. (Ed. G.M. Stone). A
Siregar, S. B. 2005. Penggemukkan Sapi. Penebar Swadaya.
Cetakan XI, Jakarta
Soehadji, 1992. Kebijaksanaan Pemerintah dalam Pengembangan
Industri Peternakan dan Penanganan Limbah Peternakan.
Makalah Seminar. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Soejono, M. dan K. A. Santoso. 1990. Pemanfaatan Zeolit di Bidang
Peternakan (Revew). Makalah Seminar Zeo-Agroindustri 90.

264 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Kerjasama PPSKI - HKTI - UNPAD, Bandung.
Spencer, G. S. G., E. Decuypere and J. Buyse. 1997. Growth and
Carcass Composition in Broiler Type Chickens Following
Passive Immunization of Insuline-Like Growth Factor-2 (IGF-
2) Between 2 and 4 Weeks of Age. Comp. Biochem. Physiol.
116 C : 239 243
Spencer, G. S. G., E. Decuypere, J. Buyse, S. C. Hodgkinson, J. J.
Bass, and M. Zeman. 1995. Passive Immunization of Insuline-
Like Growth Factor (IGF)-1 and of IGF-1 and IGF-2 in
Chicken. Comp. Biochem. Phsiol. 110C : 29 – 33.
Sterling, K. G., J. M. Harter-Dennis, M. J. Estienne, and K.V.
McElwain. 1998. Effect of Enzyme Addition in Pelleted vs.
Mash Barley Based Diets for Broilers. Abstract American
Society of Animal Science Northeast Section. 76: 81
Suasta, I. M. 2004. Pengaruh Penggunaan Tepung bulu ayam
terfermentasi dalam ransum terhadap penampilan ayam
broiler umur 2 – 6 minggu. Majalah Ilmiah Peternakan Vol.
7 (3) : 238 – 145
Suasta, I. M. Dan I G. N. G. Bidura. 2001. Pengaruh Penggantian
Jagung Kuning dengan Campuran Limbah Roti dan Tepung
Jerami Bawang Putih terhadap Produksi Telur Ayam
Lohmann Brown Umur 42 – 50 Minggu. Laporan Penelitian,
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Subekti. 1982. Meningkatkan Citra Tempe sebagai makanan hari
Depan. Harian Sinar harapan 25 Maret 1982, Jakarta.
Sudiastra, I W. dan I M. Suasta. l997. Pemanfaatan Limbah
Roti untuk Makanan Ternak Babi. Laporan Penelitian
Dosen Muda, Ditbinlitabmas, Dirjen Dikti., Fapet. Unud.,
Denpasar.
Sudibia, I M. l997. Kandungan Zat Kimia Pada Bawang Merah
(Allium cepa) dan bawang Putih (Allium sativum). Majalah
Ilmiah UNUD. No. l5l/September : 15-16
Suharsono, 1991. Probiotik Alternatif Pengganti Antibiotik dalam
Bidang Peternakan. Fak. Peternakan UNPAD. Bandung.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 265


Suhendra, P. l992. Menurunkan Kolesterol Telur Melalui Ransum.
Poultry Indonesia Nomor 151/September l992 Hal : 15 – 17
Sukada, I. K., I. G. N. G. Bidura, dan D. A. Warmadewi. 2007.
Pengaruh Penggunaan Pollard, Kulit Kacang Kedelai, dan
Pod Kakao Terfermentasi dengan Ragi Tape terhadap Karkas
dan Kadar Kolesterol Daging Itik Bali Jantan. Majalah Ilmiah
peternakan (10) 2 : 53 – 59
Suryanto, E., N. L. P. Sriyani, dan M. I. Harris. 2006. Pengaruh
Penggunaan daun papaya sebagai bahan Pakan dan Lama
Penghentiannya terhadap Perormans dan Kualitas daging
Kambing Bligon. Caraka tani, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Vol. 21 (1) : 25 – 30.
Susila, T. G. O. Dan I. B. G. Partama. 2005. Penggunaan Nitrogen
pada sapi bali Penggemukkan yang Diberi Ransum Berbasis
jerami Padi dengan Amoniasi Urea dan Suplementasi
Mineral. Majalah Ilmiah Peternakan Vol 8 (1) : 24 – 30.
Sutrisno, C. I., B. W. H. F. Prasetyono, dan E. Ali. 2006. Pemanfaatan
Kotoran Ayam untuk Meningkatkan Kualitas Pucuk tebu
sebagai pakan Ruminansia. Caraka Tani, Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Vol. 21 (1) : 33 – 38
Suwanto, A.1993. Teknik Percobaan dalam Genetika Molekuler.
Jur. Biologi. FMIPA IPB. Bogor
Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan Duckweed (Family Lemnaceae)
sebagai Pakan Serat Sumber Protein dalam Ransum Ayam
Pedaging. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Syandri, H. 1992. Dosis Optimal Ekstrak Hipofisa Sapi untuk
Menghasilkan Mani dan daya Tetas Telur Ikan Mas. Tesis
Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Tanaka, K., B. S. Youn, U. Santoso, S. Ohtani, and M. Sakaida. 1992.
Effects of Fermented Feed Products From Chub Mackerel
Extract on Growth and Carcass Composition, Hepatic
Lipogenesis and on Contents of Various Lipid Fraction in The
Liver and The Thigh Muscle of Broiler. Anim. Sci. Technol. 63
: 32 – 37

266 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Tarwiyah, Kemal. 2001. Konsentrat Papain. Teknologi Tepat Guna
Agroindustri Kecil, Sumatera Barat, Hasbullah. Dewan Ilmu
Pengetahuan, Tekonologi dan Industri Sumatera Barat.
Tie Tze. 2002. Terapi Pepaya. PT. Prestasi Pustaka raya, Jakarta
Sudjatinah, C. H., Wibowo, dan P. Widiyaningrum. 2005.
Pengaruh Pemberian Ekstrak daun Pepaya terhadap
Tampilan Produksi Ayam Broiler. J. Indon. Trop. Agric. 30 (4)
: 224 -229
Tjotrosoepomo, G. 1991. Taksonomi Spermatophyta. Gadjahmada
University Press, Yogyakarta
Tortuero, F. and E. Fernandez. l995. Effects of Inclusion of
Microbial Cultures in Barley Based Diets Feed to Laying Hens.
Anima
Trotter, D. C. 1990. Biotechnology in The Pulp Paper Industry. A
Review Part 1. J. Tappi. 198 – 202
Udayana, I. D. G. A. 2005. Pengaruh penggunaan lemak sapi
sebagai pengganti sebagian energi jagung terhadap berat
badan akhir dan prosentase karkas pada itik bali. Majalah
Ilmiah peternakan Vol 8 (1) : 12 – 19
Utama, C. S., I. Estiningdriati, V. D. Yunianto, dan W. Murningsih.
2006. Pengaruh Penambahan Aras Mineral pada fermentasi
Sorghum dengan Ragi Tempe terhadap Kecernaan Zat
Pakan pada Ayam Petelur. Protein, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan dan Perikanan Vol 13 (2) : 103 – 109
Vallie, K., J. Barry, Brock, K. Dinesh, and J. H. Michael. 1992.
Degradation of 2.4 toluen by the Lignin-Degrading Fungi
Phanerochaete chrysosporium. J. Appl. And Env. Microbiol.
8 : 221 - 228
Van-der-Heiden, D. 1994. The Hormonal Regulation of Energy
Metabolism. In. Energy Metabolism of Farm Animals (J.F.
Aquilera, Ed.) Proc. Of the 13th Symposium Mojocar, Spain
18 – 24 Sept 1994. EAAP Publication No. 76, 1994. P. 11 – 15.
Via, S. and R. Lande. 1985. Genotype-environment interaction
and the evolution of phenotypic plasticity. Evolution 391:505-

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 267


522.
Vranjes, V. And C. Wenk. 1995. The Influences of Extruded vs
Untreated Barley in The Feed with and without dietary
Enzyme Supplement on Broiler Performance. Anim. Feed
Sci. And tech. 54 : 21 – 32.
Wahju, 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Wawan, M. I. W. 2003. Membuat Pakan Ayam ras Pedaging.
Cetakan Pertama, Penerbit PT. AgroMedia Pustaka,Jakarta.
Wenk, C., R. Koelliker, and R. Messikommer. 1993. Whole Maize
Plants in Diets for Growing Pig: Effects of Three Different
Enzymes on the Feet Utilization. Pages 165-169 in : Prosiding
of The First Symposium of Enzymes in Animal Nutrition.
Kartause Ittingen, Switzerland.
Wibowo, S. 1990. Budidaya Bawang. Bawang Putih, Bawang
Merah, Bawang Bombay. Cetakan III. Penebar Swadaya,
Anggota IKAPI, Jakarta.
Widiyaningrum, P. 2000. Pengaruh Padat Penebaran dan Jenis
pakan terhadap Produktivitas Tiga Species Jangkrik Lokal
yang Dibudidayakan
Wihandoyo. 1985. Memanfaatkan Ubi Jalar Buangan sebagai
Sumber Energi dalam Pakan Ayam Pedaging. Lembaga
Penelitian UGM, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Wijaya, C. H. l997. Mengoptimalkan Khasiat Bawang. Harian
Kompas, Minggu, 25 Mei l997, Ha : l5, Kol : 6-9. PT. Gramedia,
Jakarta.
William, C. M., C. G. Lee, J. D. Garlich, and J. C. H. Shih. 1991.
Evaluation of a Bacterial Feather Fermentation Product,
Feather Lysate, as a Feed Protein. Poult. Sci. 70 : 85 - 93).
Winarno, F. G. 1985. Penggunaan limbah Tanaman Pangan dalam
Monografi Pertanian. Limbah Hasil Pertanian. Ed.: Winarno,
F. G. et al. 1985. Kantor MenteriMuda Urusan Peningkatan
Produksi Pangan, Jakarta.
Winarno, F. G. 1979. Fermented Vegetable Protein and Related

268 | LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI


Foods of South-East Asia with Special reference to Indonesia.
J.Anim. Oil. Chem. 56 : 363 – 366
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta.
Wirtha, I. W. 2002. Pengaruh Hormon Kortison terhadap
Pertambahan Bobot Badan, Bobot Karkas, Bobot Lemak
Abdominal, Konsumsi Ransum, dan Konversi Ransum pada
Ayam Pedaging. Majalah Ilmiah Peternakan 5 (3) : 95 – 98
Wessels, J. P. N. 1992. A Study of The Protein Quality of Different
Feather Meals. Poult. Sci. 51 : 537 – 541
Whitty, J. P. and L. F. Bjeldanes. 1987. The effect of dietary cabbage
on xenobiotic metabolizing enzymes and the binding of
aflatoxin B1 to hepatic DNA in rats. Food Chem. Toxic. 25:
581-587.

LIMBAH PAKAN TERNAK ALTERNATIF DAN APLIKASI TEKNOLOGI | 269

Anda mungkin juga menyukai