Anda di halaman 1dari 4

Idealnya proses pembelajaran dalam kurikulum 2013 harus menampakkan proses pembelajaran

yang memungkinkan siswa berlatih mengembangkan pendekatan saintifik, yang akan berdampak
pada meningkatnya cara berpikir siswa. Namun dalam kenyataannya di SMP Negeri 1
Dukupuntang pembelajaran matematika yang dilaksanakan masih konvensional belum
menerapkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Hal ini membuat rendahnya kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa dalam pembelajaran yang berdampak pada kemampuan
berpikir siswa juga. Sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai penerapan pembelajaran
dengan pendekatan saintifik untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis
dan berpikir kreatif siswa siswa.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan berpikir kreatif siswa
dalam proses pembelajaran matematika yang belum menerapkan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik.

Bagaimanakah implementasi pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik dalam


meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan berpikir kreatif
siswa di SMP Negeri 1 Dukupuntang ?

Konsep pembelajaran dengan pendekatan saintifik; konsep kemampuan pemecahan masalah


matematis siswa; konsep kemampuan berpikir kreatif siswa

Dijelaskan dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ahkam Zubair bahwa “pendekatan saintifik
sangat relevan dengan tiga teori belajar, teori Burner, teori Piaget, dan teori Vygotsky”.
1. Teori Belajar Bruner

Ahmad Johari Sihes menjelaskan:


Menurut Bruner, pembelajaran penemuan tidak terhad pada benda atau objek yang belum
diketahui oleh manusia, tetapi meliputi sebarang aktiviti yang menggunakan otak dan usaha
sendiri untuk mendapatkan suatu ilmu. Sungguhpun ilmu pengetahuan yang diperoleh bukan
merupakan suatu yang baru dan belum diketahui, asalkan ia diperoleh melalui daya usaha pelajar
sendiri boleh dikategorikan sebagai satu “penemuan” ... Dalam pengajaran penemuan, guru
bertindak sebagai pereka bentuk, permuda cara dan pembekal bahan serta menggalakkan pelajar
melibatkan diri secara aktif untuk menemui teori atau kesimpulan tertentu. Guru tidak
membekalkan jawapan sebaliknya memberi peluang kepada pelajar memikir dan ‘menemui’
ilmu sendiri ... Menurut bukunya The Act of Discovery (1961), kaedah pembelajaran penemuan
sememangnya dapat meningkatkan motivasi intrinsik dan minat pelajar dalam pembelajaran serta
membantu perkembangan potensi intelek, pemikiran kritis dan kreatif individu sekiranya
dirancang dan dilaksanakan dengan baik.

2. Teori Belajar Piaget


Piaget memperkenalkan sebuah ide pembelajaran yang menjelaskan berubahnya pemikiran logis
seseorang karena mereka mengkonstruk pengetahuan berdasarkan pengalaman yang didapat
sehingga, bisa terbentuk sebuah keyakinan dan pemahaman yang kuat. Selain itu, dalam
terminologi Piaget, hal-hal yang dipelajari dan dilakukan oleh seseorang akan diorganisasikan
sebagai skema (schemes).
Skema seorang anak tidak akan berhenti berubah dan justru akan terus berkembang menjadi
skemata dewasa. Adapun berkembangnya skema tersebut bisa terjadi karena hasil dari dua
proses yang komplementer (saling melengkapi) yakni asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
merupakan proses merespon suatu peristiwa baru secara konsisten dengan skema yang dimiliki.
Sedangkan akomodasi merupakan proses merespon suatu peristiwa baru dengan memodifikasi
skema yang telah ada atau membentuk skema baru.

3. Teori Belajar Vygotsky


Vygotsky meyakini bahwa orang dewasa sangat membantu dalam mendorong perkembangan
kognitif seorang anak secara sengaja dan sistematis. Vygotsky mengemukakan bahwa saat
berinteraksi dengan seorang anak, orang yang dewasa atau orang yang lebih mampu memberikan
makna yang dilekatkan dengan objek atau peristiwa kepada sebuah pengalaman. Sehingga, dari
sinilah seorang anak dapat menangani tugas yang belum didapat dengan sedikit stimulus dari
orang dewasa.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ahkam Zubair, bahwa:
Vygotsky, menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar
menangani tugas‐tugas yang belum dipelajari namun tugas‐tugas itu masih berada dalam
jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development, daerah yang
terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefenisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Vygotsky tidak jauh berbeda dengan Piaget yang mengakui
adanya manfaat membiarkan peserta didik membuat penemuannya untuk memecahkan
permasalahannya sendiri. Dan Vygotsky juga memandang adanya manfaat meminta orang
dewasa menjelaskan penemuan-penemuan yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Dan
dari sinilah dapat dilihat jika teori Vygotsky sesuai dengan esensi pendekatan saintifik.

Menurut Polya (1957) ada 4 langkah di dalam memecahkan masalah yaitu :


a. Tahap memahami masalah, pelajar sering gagal dalam menyelesaikan masalah karena semata-
mata mereka tidak memahami masalah yang dihadapinya. Untuk dapat memahami suatu masalah
yang harus dilakukan adalah pahami bahasa atau istilah yang digunakan dalam masalah tersebut,
merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi yang diperoleh cukup,
kondisi/syarat apa yang harus terpenuhi, nyatakan atau tuliskan masalah dalam bentuk yang lebih
operasional sehingga mempermudah untuk dipecahkan. Kemampuan dalam menyelesaikan
maslah dapat diperoleh dengan rutin menyelesaikan masalah. Selain itu, ketertarikan dalam
menghadapi tantangan dan kemauan untuk menyelesaikan masalah merupakan modal utama
dalam pemecahan masalah.

b. Tahap kedua membuat perencanaan yakni memilih rencana pemecahan masalah yang sesuai
dan bergantung dari seberapa sering pengalaman siswa menyelesaikan masalah sebelumnya.
Untuk merencanakan pemecahan masalah siswa dapat mencari kemungkinan- kemungkinan
yang dapat terjadi atau mengingat kembali masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki
kemiripan sifat/pola dengan masalah yang akan dipecahkan. Kemudian baru siswa menyusun
prosedur penyelesaiannya.
c. Tahap melaksanakan pererencanaan dimana langkah ini lebih mudah daripada merencanakan
pemecahan masalah, yang harus dilakukan hanyalah menjalankan strategi yang telah dibuat
dengan ketekunan dan ketelitian untuk mendapat penyelesaian.

d. Tahap memeriksa kembali, pada kegiatan ini adalah menganalisis dan mengevaluasi apakah
strategi yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada strategi lain yang lebih
efektif , apakah yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan maslah sejenis, atau strategi
dapat dibuat generalisasinya. Ini bertujuan untuk menetapkan keyakinan dan memantapkan
pengalaman untuk mencoba masalah baru yang akan datang.

Cooney megemukakan bahwa pemilikan kemampuan pemecahan masalah membantu siswa


berpikir analitik dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari dan membantu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi situasi baru.

Halper menjelaskan bahwa berpikir kreatif sering pula disebut berpikir divergen, artinya adalah
memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang sama. Menurut
Langrehr, terdapat tiga jenis informasi yang disimpan atau diingat dalam otak. Ketiga jenis
informasi itu adalah : (1) Isi (content) yaitu apa yang dipikirkan tentang berbagai simbol, angka,
kata, kalimat, fakta, aturan, metode, dan sebagainya; (2) Perasaan (feelings) tentang isi; (3)
Pertanyaan (questions) yang digunakan untuk memproses atau untuk mempergunakan isi. Oleh
karena itu seorang anak dapat memiliki tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan isi, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan memproses. Manurut Silver 1997 menjelaskan bahwa untuk menilai
berpikir kratif anak-anak dan orang dewasa sering digunakan “The Torance Tests of Creative
Thinking (TTCT)”. Tiga komponen kunci yang dinilai dalam kreativitas menggunakan TTCT
adalah kefasihan (Fluency), fleksibilitas dan kebaruan (Novelty). Kefasihan mengacu pada
banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespon sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada
perubahan-perubahan pendekatan ketika merespon perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide
yang dibuat dalam merespon perintah. Gagasan ketiga aspek berpikir kreatif tersebut diadaptasi
oleh beberapa ahli dalam matematik.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuralam dan Eliyana (2017) dapat
disimpulkan bahwa:1) kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi yang diajarkan melalui
pendekatan saintifik daripada kemampuan pemecahan masalah yang diajarkan dengan
Pendekatan Matematika Realistik pada materi trigonometri, dan 2) respon siswa terhadap
pembelajaran matematika setelah diajarkan dengan pendekatan saintifik sangat positif dengan
skor rata-rata 3,21.Disarankan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu
dikemukakan beberapa saran yaitu: 1) diharapkan kesadaran setiap guru matematika agar
dapat menggunakan berbagai macam pendekatan pembelajaran yang sesuai dalam
pembelajaran matematika, sehingga minat siswa untuk belajar matematika semakin meningkat
dan 2) bagi peneliti lainnya yang berniat melakukan penelitian ini lebih lanjut agar dapat
memvariasikan Pendekatan Saintifik dengan pendekatan lainnya sehingga dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Erny, Saleh Haji, Wahyu Widada (2017) dapat
disimpulkan bahwa: 1. Terdapat pengaruh positif pembelajaran dengan pendekatan saintifik
terhadap kemaampuan pemecahan masalah siswa pada materi persamaan linear tiga variabel
di kelas X IPA SMA Negeri 1 Kepahiang. Kemampuan pemecahan masalah siswa yang
pembelajarannya menerapkan pendekatan saintifik lebih tinggi dari pada kemampuan
pemecahan masalah siswa yang menerapkan pembelajaran kontekstual, dengan nilai rata-rata
posttest pada kelas eksperimen diperoleh sbesar 85,0270 dan kelas kontrol sebesar
79,6944.Pembelajaran dengan pendekatan saintifik dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah siswa pada materi persamaan linear tiga variabel di kelas X SMA Negeri 1
Kepahiang sebesar 97,5% sedang pada kelas kontrol sebesar 96,9%. 2. Terdapat pengaruh
positif pembelajaran dengan pendekatan saintifik terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa pada materi persamaan linear tiga variabel di kelas X IPA SMA Negeri 1 Kepahiang.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang pembelajarannya menerapkan pendekatan
saintifik lebih tinggi dari pada kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang menerapkan Jurnal
Pendidikan Matematika Raflesia Vol. 2 No. 1 Tahun 2017 pembelajaran kontekstual, dengan
nilai rata-rata posttest pada kelas eksperimen diperoleh sbesar 84,4595 dan kelas kontrol
sebesar 79,1667. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik dapat meningkatkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa pada materi persamaan linear tiga variabel di kelas X SMA Negeri 1
Kepahiang sebesar 97,4% sedang pada kelas kontrol sebesar 96,7%. 3. Terdapat hubungan
timbal balik antara kemampuan pemecahan masalah matematika dengan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Korelasi antara kemampuan pemecahan masalah dan berpikir tingkat tinggi pada
materi persamaan linear tiga variabel di kelas X SMA Negeri 1 Kepahiang yaitu sebesar 0,588.
Interprestasi tingkat hubungan ini termasuk kategori cukup kuat. Hal ini berarti semakin tinggi
tingkat kemampuan pemecahan maslah yang dimiliki siswa maka akan semakin tinggi pula
tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Dan sebaliknya semakin tinggi tingkat
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki siswa maka akan semakin tinggi pula tingkat
kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X IPA SMA Negeri 1 Kepahiang pada materi
persamaan linear tiga variabel.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yurniawati (2015) dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendekatan Saintifik berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan pemecahan
masalah dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. 2. Pendekatan Saintifik
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan koneksi matematis dibandingkan dengan
pembelajaran secara konvensional. 3. Terdapat hubungan positif antara kemampuan koneksi
matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis.

Anda mungkin juga menyukai