Anda di halaman 1dari 18

AKUNTANSI FORENSIK

RESUME

GATHERING EVIDENCE

OLEH :

1) Eka Putri Anggraeni (12030118420043) 33%


2) Fathurrohmah (12030118420059) 33%
3) Hanna Trusty Satila (12030118420067) 33%

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI

PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
GATHERING EVIDENCE

(PENGUMPULAN BUKTI)

A. WHAT IS EVIDENCE – APA ITU BUKTI


Pengetahuan mengenai peraturan persidangan, sistem hukum dan khususnya
bukti-bukti sangat penting untuk penyelesaian investigasi fraud yang efektif oleh
akuntan forensik atau auditor fraud. Akuntan forensik secara umum terlibat secara
normal dengan tahap akhir investigas fraud, yaitu penuntutan hukum. forensik
akuntan harus mengetahui aturan-aturan dasar sistem yurisdiksi yang berkaitan
dengan bukti-bukti.
Bukti (evidence) adalah segala sesuatu yang dapat diterima oleh kelima indera
dan berbagai jenis bukti—seperti kesaksian dari saksi, rekaman, dokumen, fakta-
fakta, data atau objek konkret—yang disajikan secara legal pada persidangan untuk
membuktikan sebuah anggapan atau pernyataan mendorong kepercayaan di benak
para hakim. Bukti dapat berupa pernyataan (testimoni), tidak langsung, petunjuk,
kesimpulan, dan bahkan teori yang diberikan leh saksi ahli.
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara
pidana yang menganut stelsel  negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman
Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti
bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang
sah.
Sedangkan pengertian barang bukti tidak disebutkan secara jelas dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana. Namun dalam Pasal 39 ayat (1)
KUHAP disebutkan mengenai apa saja yang dapat disita, yaitu:
1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
3. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan, atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang
disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti
(Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14)

Pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh


beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam
perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek
delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan
delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah,
Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254).

Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti antara lain:

1. Merupakan objek materiil


2. Berbicara untuk diri sendiri
3. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
4. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa

Kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena
ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan
barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1]
KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara


barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk
menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan
adalah sebagai berikut:

1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);

2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;

3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti
tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan
JPU.

Pada tahap awal pemeriksaan, sangat sulit untuk menentukan relevansi suatu
dokumen. Untuk itu, di tahap awal semua dokumen yang mungkin relevan harus
diperoleh. Jika ternyata dalam perkembangan selanjutnya ada yang tidak relevan,
maka akan lebih mudah untuk menyisihkan dokumen tersebut daripada harus mencari
tambahan dokumen yang ternyata relevan namun terlewatkan dalam proses
pengumpulan dokumen.

Hal-hal yang menjadi standar umum pada saat pengumpulan bukti atau
dokumen di antaranya adalah: (1) usahakan untuk mendapatkan dokumen asli.
selanjutnya dicopy guna kepentingan pemeriksaan selanjutnya, dokumen copy dan
asli harus ditempatkan terpisah; (2) dokumen asli hanya boleh digunakan apabila
sangat diperlukan, pada banyak kasus untuk pembuktian lebih lanjut kadang
diperlukan analisa forensik terhadap dokumen asli; dan (3) investigator harus bisa
menyiapkan sistem penyimpanan untuk dokumen. terutama apabila dokumen terkait
dalam jumlah yang banyak.

Secara garis besar terdapat tiga cara untuk memperoleh alat bukti yaitu:

1. Subpoena. Subpoena merupakan cara perolehan dokumen melalui perintah


pengadilan (atau grand jury dalam sistem pengadilan Amerika).

2. Search warrant. Search warrant merupakan suatu perintah yang memberi


wewenang kepada pemegangnya untuk melakukan pemeriksaan dan
penggeledahan. Biasanya search warrant diterbitkan untuk penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya.

3. Voluntary atau sukarela. Sebaiknya alat bukti yang diperoleh pada saat
investigasi harus diserahkan secara sukarela, ijin untuk mendapatkan dokumen
atau alat bukti tersebut bisa berupa izin lisan maupun tertulis, namun untuk
menghindari tuntutan dikemudian hari, sebaiknya izin perolehan dokumen harus
secara tertulis.

Jenis dokumen secara garis besar dibagi dua yaitu:

1. Direct evidence atau bukti langsung, adalah bukti yang bisa membuktikan kasus
secara langsung, misalnya pernyataan dari saksi mata. Pada kasus pemberian fee
atau komisi, maka bukti langsungnya berupa cek yang diserahkan oleh vendor
untuk karyawan bagian pembelian sebagai fee atas pembelian sesuatu barang
pengakuan dari subjek pemeriksaan dll.
2. Circumstantial Evidence atau bukti tidak langsung, adaah bukti atau dokumen
yang bisa memperjelas fakta secara tidak langsung misalnya setoran tunai dalam
jumlah yang tidak biasa. Sumber yang tidak jelas di rekening milik karyawan
bagian pembelian pada sekitar tanggal pembelian aktiva perusahaan.

Pada kebanyakan kasus fraud atau korupsi, kombinasi dari alat bukti langsung
dan bukti tidak langsung adalah yang paling persuasif dan dapat diterima, misalnya
pada sebuah kasus yang menyebutkan bahwa saksi telah menyerahkan uang
komisi/fee yang berupa uang tunai kepada pemerintah dan tidak ada bukti langsung
lainnya, maka "step" pembuktian termasuk bukti tidak langsung dapat menjadi satu
kesatuan untuk mendukung bukti langsung dalam hal ini seorang investigator atau
penyidik dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 

1. Catat secara detail (kapan, dimana, mengapa, bagaimana/ 5W+1H) pernyataan


dari saksi yang menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah menyerahkan uang
tunai kepada pejabat pemerintah, pernyataan tersebut akan menjadi sebuah bukti
langsung.

2. Buktikan bahwa pejabat pemerintah terkait telah menghabiskan atau menyimpan


sejumlah uang dalam jumlah besar/tidak wajar, setelah waktu penyerahan /waktu
kejadian yang disebutkan oleh saksi.
3. Hilangkan sejauh mungkin semua sumber pendapatkan kas resmi lainnya atau
deposito.

4. Lakukan wawancara subjek secara resmi, dan "buat" pejabat tersebut tidak dapat
menjelaskan sumber dari biaya tunai, atau deposito atau bahkan berbohong
tentang hal tersebut (ketiga hal ini akan menjadi bukti tidak langsung). Dokumen
atau bukti yang baik akan mengarahkan kegiatan investigasi pada jalur yang
benar.

B. RULES OF EVIDENCE – ATURAN BUKTI

Dalam kasus kriminal, masalah yang diajukan adalah orang yang dituduh
bersalah atau tidak. Bukti-bukti yang diberikan dan diterima oleh pengadilan harus
berada di atas keraguan yang beralasan (reasonable doubt)—tidak selalu karena
keyakinan moral— kualitas dan kuantitas bukti harus dapat meyakinkan warga (para
hadirin) dan hakim yang jujur dan dan berakal sehat (reasonable) bahwa terdakwa
bersalah setelah semua dipertimbangkan dan ditimbang secara adil.
Agar bukti-bukti dapat diterima secara legal, maka testimonial, dokumen,
objek atau fakta-fakta harus relevan, penting atau material, dan kompeten terhadap
masalah yang sedang diperkarakan. Jika tidak, bukti tersebut tidak akan diterima.
Berikut adalah aturan-aturan bukti sehingga dapat membantu seseorang dalam
memahami cara mengumpulkan bukti-bukti forensik dalam investigasi fraud.
1. Relevan
Relevansi bukti fraud tidak bergantung pada keunikan testimoni yang diberikan,
tapi kepada kecenderungan keabsahannya untuk menetapkan fakta yang
dipertentangkan. Berbagai hal yang dirasa relevan dan dapat diterima
diantaranya:
a. Motif kejahatan
b. Kemampuan terdakwa untuk melakukan kejahatan
c. Kesempatan terdakwa untuk melakukan kejahatan
d. Ancaman atau ekspresi dari niat buruk terdakwa
e. Cara-cara melakukan kejahatan (kepemilikan senjata, alat, atau kemampuan
yang digunakan dalam melakukan tindak kriminal)
f. Bukti fisik di tempat kejadian perkara (TKP) yang mengaitkan antara
terdakwa dengan tindak kejahatannya
g. Perilaku (etika) dan komentar tersangka ketika ditangkap
h. Upaya untuk menyembunyikan identitas
i. Upaya untuk menghancurkan bukti
j. Pengakuan yang valid

2. Material
Aturan materialitas mengharuskan bukti memiliki nilai penting terhadap
kasus atau membuktikan suatu permasalahan. Detail-detail yang tidak penting
hanya akan memperpanjang waktu pengadilan. Dengan demikian, hakim dalam
persidangan harus membuat aturan tentang penyajian bukti yang berulang atau
penambahan (yang sesungguhnya hanya membuktikan poin yang sama dengan
cara yang berbeda), atau bukti yang cenderung jauh atau tidak terjangkau meski
bukti tersebut relevan. Sebagai contoh, kehadiran secara fisik dari tersangka di
dalam ruang komputer atau rekaman perpustakaan atau dekat dengan terminal
komputer pada hari transaksi yang mencurigakan itu terjadi mungkin relevan dan
material. Namun kehadiran seseorang dalam area tanpa komputer dari bangunan
tersebut mungkin relevan, tapi tidak material.

3. Kompeten

Kompetensi bukti berarti bahwa bukti tersebut cukup, memadai, dapat


dipercaya dan relevan terhadap kasus, serta disajikan oleh saksi yang berkualitas,
mampu (dan waras). Adanya karaktersitik yang membuat saksi layak secara
hukum untuk memberikan testimoni atau kesaksian di pengadilan memiliki arti
yang sama dengan dokumen atau bukti tertulis lainnya. Namun kompetensi
berbeda dengan kredibilitas. Kompetensi adalah pertanyaan-pertanyaan yang
muncul sebelum kesaksian dari saksi dapat dipertimbangkan, sedangkan
kredibilitas adalah kejujuran dari saksi tersebut. Kompetensi berkaitan dengan
penilaian hakim, sedangkan kredibilitas adalah berkaitan dengan keputusan
hakim.
Aturan kompetensi juga memerintahkan bahwa kesimpulan atau opini dari
saksi non-ahli dalam hal yang membutuhkan keahlian teknis dapat dikecualikan.
Sebagai contoh, kesaksian dari petugas yang melakukan investigasi pada
penyebab kematian mungkin tidak layak atau kompeten dalam pengadilan
pembunuhan, karena petugas tersebut tidak memiliki kemampuan pendidikan,
pembelajaran atau pengalaman untuk membuat penilaian tersebut. Namun
kesaksian petugas bahwa “tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat” ketika
mayat tersebut ditemukan mungkin dapat diterima.
Contoh tersebut menunjukkan perbedaan antara CPA atau akuntan
forensik yang berperan sebagai “saksi fakta” dengan “saksi ahli”. Ketika
memberikan kesaksian tentang fakta-fakta yang diamati, seorang saksi mata atau
saksi lainnya dapat bersaksi sesuai dengan fakta yang ada. Namun jika seseorang
memberikan opini (misalnya penyebab kematian), maka orang tersebut sedang
berperan sebagai saksi ahli. Peran saksi ahli mengandung lebih banyak ketelitian
(detail), kriteria, dan kredensial daripada saksi fakta.
Ketika seorang saksi ahli dipanggil untuk bersaksi, suatu dasar atau
fondasi harus ditetapkan sebelum kesaksian diterima atau dipersilakan.
Melandaskan fondasi berarti bahwa keahlian saksi harus ditetapkan sebelum opini
profesional diberikan. Memutuskan bahwa saksi merupakan ahli berarti
menunjukkan pada hakim bahwa dengan pendidikan formal, pembelajaran
lanjutan, dan pengalaman, saksi memiliki pengetahuan yang luas mengenai topik
yang akan diusung oleh kesaksiannya. Kesaksian ahli adalah pengecualian untuk
aturan hearsay.

4. Aturan Hearsay atau Kesaksian yang Didengar dari Orang lain

Aturan hearsay (desas-desus) didasarkan pada teori bahwa kesaksian yang


hanya mengulang apa yang dikatakan orang lain tidak boleh diterima karena
adanya kemungkinan penyimpangan atau kesalahpahaman. Apalagi, orang yang
sebenarnya membuat pernyataan tidak dapat dilakukan pemeriksaan silang dan
tidak disumpah sebagai saksi. Secara umum, saksi dapat bersaksi hanya ketika ia
memiliki pengetahuan pribadi dan langsung terhadap hal yang dikatakan, dan
tidak memberikan kesimpulan atau pendapat. Tetapi ada beberapa kesempatan
atau pengecualian ketika bukti hearsay diterima. Beberapa contoh adalah:
a. Deklarasi kematian, baik lisan maupun tulisan
b. Pengakuan yang valid
c. Pengakuan yang dilakukan secara diam-diam
d. Catatan publik yang tidak membutuhkan pendapat tetapi sudah jelas sesuai
fakta
e. Pernyataan res gestae—penjelasan spontan, jika diucapkan sebagai bagian
dari tindakan kriminal atau diikuti langsung oleh tindakan kriminal
setelahnya
f. Kesaksian sebelumnya yang diberikan di bawah sumpah
g. Entri bisnis yang dibuat dalam bisnis normal
Aturan bukti hearsay (kabar angin) memberikan pernyataan yang tidak
dapat diterima yang dibuat seseorang, selain saksi ahli, untuk membuktikan
kebenaran suatu masalah. Bukti yang didengar dari orang lain umumnya tidak
dapat diterima karena salah satu cara terbaik untuk membuktikan kebenaran atau
kesalahan sebuah pernyataan adalah dengan mendengar keterangan dari saksi ahli
dibawah sumpah dan memeriksa silang dengan apa yang benar-benar dilihat atau
didengar.
Pemeriksaan silang merupakan cara untuk menemukan ketidakjujuran dan
kecurangan, penindasan, dan sumber kesalahan yang terkandung dalam
pernyataan seorang saksi atau ahli. Auditor harus menempatkan diri mereka
sendiri pada posisi layaknya seorang hakim di pengadilan pada saat mengajukan
pertanyaan dan memeriksa catatan. Sebagai contoh, apabila Soni mengatakan
kepada auditor secara pribadi bahwa ia melihat Jono menandatangani memo
penerimaan, maka hal ini merupakan bukti sekunder, bukan kabar angin. Soni
menyajikan fakta tersebut kepada auditor yang bisa memeriksa silang dengan
menunjukkan pertanyaan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan
pertanyaanya. Auditor bisa bertanya, apakah Soni dapat melihat Jono
menandatangi memo penerimaan yang sama, bagaimana cara Soni mngetahui
bahwa itu merupakan memo penerimaan yang sama, kapan Soni
menandatanginya, dan lain-lain.
5. Bukti Primer

Bukti primer seringkali disebut sebagai bukti terbaik karena merupakan


bukti yang paling alami, dan bukti yang paling memuaskan mengenai fakta-fakta
yang sedang diselidiki. Bukti tersebut merniliki hubungan yang kuat dengan
kriteria keandalan suatu bukti. Umumnya bukti tersebut terbatas pada bukti
dokumen dan kebanyakan diterapkan untuk membuktikan isi pernyataan tertulis.
Jika tersedia pernyataan tertulis yang asli dan valid maka konsep “bukti terbaik"
ini dapat mencegah salah satu pihak membantah isi pernyataan tertulis melalui
keterangan lisan. Bukti terbaik ditujukan untuk menutup kemungkinan terjadinya
interpretasi yang salah atas pernyataan tertulis karena mengharuskan tersedianya
dokumen asli bila tersedia. Bukti lisan yang didapat semestinya tidak digunakan
untuk memperselisihkan instrumen tertulis seperti kontrak atau akta; tetapi, bukti
lisan digunakan untuk menjelaskan makna instrumen tersebut jika instrumen
seperti ini memungkinkan terjadinya lebih dari satu interpretasi.
Fotokopi dokumen bisnis asli dan tulisan lain serta cetakan lainnya sering
dibuat untuk menyimpan bukti. Penyelidik menggunakan barang-barang cetakan
tersebut sehingga catatan asli yang diperlukan untuk menjalankan bisnis tidak
dihapus, dan untuk memastikan bahwa jika terjadi kerusakan yang tidak disengaja
pada dokumen asli, maka salinan asli yang sah dari dokumen tersebut masih
tersedia sebagai bukti. Penyelidik juga dapat menggunakan salinan resmi untuk
mendokumentasikan laporan kasus mereka. Namun, di persidangan, dokumen asli
—jika masih tersedia—adalah bukti terbaik dan harus disajikan. Bukti terbaik
dalam konteks ini berarti bukti utama, bukan sekunder (bukti asli, bukan
substitusi), bukti tertinggi dari suatu kasus. Instrumen tertulis selalu dianggap
sebagai bukti utama atau terbaik dari keberadaan dan isinya; sedangkan salinan,
atau mengumpulkan saksi, akan menjadi bukti sekunder. Selanjutnya, isi
dokumen harus dibuktikan dengan dokumen itu sendiri.

6. Bukti Sekunder

Untuk menyajikan bukti sekunder di pengadilan, seseorang harus


memberikan penjelasan yang memuaskan dan tidak ada jalan lain untuk
mendapatkan dokumen asli. Bukti sekunder tidak terbatas pada fotokopi
dokumen, tapi juga kesaksian saksi atau transkrip isi dokumen. Meski pengadilan
federal tidak memberikan preferensi untuk jenis bukti sekunder, sebagian besar
yurisdiksi tidak memberikan pilihan. Karena mayoritas berkuasa, maka kesaksian
(bukti parol [kata-dari-mulut]) tidak akan diizinkan untuk membuktikan isi
dokumen jika ada bukti dokumenter sekunder yang tersedia untuk membuktikan
isinya. Namun, sebelum bukti sekunder dari dokumen asli dapat disajikan di
pengadilan, pihak yang akan menyajikannya harus telah menggunakan semua
cara yang masuk akal untuk mendapatkan bukti yang asli. Sekali lagi, opsi ini
adalah masalah yang harus diputuskan oleh pengadilan. Ketika dokumen asli
telah dihancurkan oleh pihak yang berusaha membuktikan isinya, bukti sekunder
akan diterima jika penghancuran itu dalam kegiatan bisnis biasa, atau karena
kesalahan, atau bahkan disengaja, asalkan itu tidak dilakukan untuk tujuan
penipuan.
Bukti ini berada di bawah bukti primer dan tidak disamakan
keandalannya. Bukti sekunder bisa mencakup salinan bukti tertulis atau lisan.
Sebuah salinan tertulis umumnya dapat diterima, jika:
a. dokumen asli hilang atau telah dimusnahkan tanpa niat melakukan
kecurangan terhadap dokumen tersebut.
b. bukti tertulis sulit diperoleh oleh salinan tersebut, misal bukti tertulis asli
berada di negara lain
c. bukti tertulis dikendalikan oleh entitas publik.
Harus ditunjukkan bahwa salinan tersebut merupakan representasi yang
layak dari dokumen asli. Pengakuan lisan atau risalah tertulis umumnya dianggap
berada di bawah salinan dokumen tertulis. Untuk pengakuan berupa opini telah
dibuat beberapa pengamanan dengan mensyaratkan adanya dua elemen. Pertama,
subjek yang dinyatakan opininya harus jelas terkait dengan pengetahuan, profesi,
bisnis, atau jabatan yang berada di luar pemahaman orang awam, dan kedua,
saksi ahli harus memiliki keahlian, pengetahuan, atau pengalaman dalam bidang
tersebut sehingga bisa membantu anggota juri atau pengadilan dalam mencari
kebenaran.

C. Hearsay Exceptions—Pengecualian Pernyataan yang Didengar dari Orang Lain

Dalam makna yang ideal, persidangan merupakan upaya untuk menemukan


kebenaran. Namun, dalam memperoleh bukti tersebut dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda. Beberapa cara tersebut dapat dilakukan secara legal sedangkan cara
yang lainnya dilakukan secara ilegal. Cara ilegal misalnya penyelidik melanggar
jaminan konstitusional ketika melakukan pencarian dan penyitaan, melakukan
pemaksaaan pengakuan, atau kegagalan di wakili oleh pengacara. Oleh karena itu,
secara realistis proses pengadilan menghasilkan kebenaran namun bukan kebenaran
yang absolut dalam arti filosofis.
Namun dalam tradisi Anglo-Amerika, saksi selain ahli, umumnya tidak dapat
memberikan kesaksian tentang probabilitas, pendapat, asumsi, kesan, generalisasi,
atau kesimpulan (hal-hal yang terbatas pada saksi ahli). Saksi hanya dapat
memberikan kesaksiannya mengenai hal-hal, orang, dan peristiwa yang telah mereka
lihat, rasakan, cium, atau dengar secara langsung (contoh : saksi fakta).
Hal-hal itu harus relevan secara hukum dan logis. Relevansi logis berarti
bahwa bukti yang ditawarkan harus cenderung membuktikan atau menyangkal fakta
konsekuensi. Bahkan jika secara logis relevan, pengadilan dapat mengecualikan bukti
jika bukti itu akan membingungkan juri atau menghabiskan terlalu banyak waktu.
Kesaksian mengenai kemungkinan kesalahan secara statistik dianggap terlalu
merugikan dan tidak dapat diandalkan untuk diterima sebagai bukti.
Kesaksian mengenai karakter dan reputasi terdakwa dapat diterima dalam
kondisi tertentu, meskipun mungkin melanggar aturan hearsay. Kesaksian seperti itu
dapat diterima ketika terdakwa mengalami kondisi mental atau kompetensi hukum
terdakwa dipertanyakan.
Bukti kejahatan lain yang dilakukan oleh terdakwa secara umum tidak dapat
digunakan sebagai bukti. Bukti itu mungkin dapat diterima untuk tujuan lain, , seperti
bukti motif, peluang, atau niat untuk melakukan suatu tindakan.
Kredibilitas saksi juga dapat dipertanyakan ketika saksi dinyatakan bersalah
atas kejahatan serius (dapat dihukum mati atau dipenjara selama lebih dari setahun)
atau karena kejahatan seperti pencurian, ketidakjujuran, atau pernyataan palsu.
Keyakinan seperti itu seharusnya terjadi dalam beberapa tahun terakhir—biasanya
dalam 10 tahun terakhir.
Bukti bisa berupa bukti langsung atau tidak langsung. Bukti langsung
membuktikan fakta secara langsung; jika bukti itu diyakini, maka sudah dapat
dibentuk suatu fakta dari bukti tersebut. Bukti tidak langsung membuktikan fakta
yang diinginkan secara tidak langsung dan bergantung pada kekuatan kesimpulan
yang ditimbulkan oleh bukti itu. Misalnya, surat yang ditujukan, dicap, dan dikirim
dengan benar diasumsikan (disimpulkan) telah diterima oleh penerima. Kesaksian
bahwa surat itu ditujukan, dicap, dan dikirim menimbulkan kesimpulan bahwa surat
itu diterima. Tetapi, kesimpulan tersebut dapat dibantah oleh kesaksian seperti
mengatakan bahwa itu tidak benar-benar diterima.
Aturan bukti terbaik berkaitan dengan dokumen tertulis yang disodorkan
sebagai bukti. Aturan tersebut mensyaratkan bahwa dokumen harus asli jika tersedia,
dan bukan salinannya, dan disajikan saat persidangan. Jika dokumen asli dihancurkan
atau berada di tangan pihak lawan dan tidak tunduk pada proses hukum oleh surat
perintah penggeledahan atau panggilan pengadilan, salinan yang terautentikasi dapat
diganti. Catatan dan documents bisnis yang disimpan dalam kegiatan bisnis biasa
dapat disajikan sebagai bukti juga, bahkan jika orang yang membuat entri atau
menyiapkan dokumen tidak tersedia
D. Aturan Bukti Lainnya

Selain memperoleh bukti forensik, aspek bukti yang paling penting adalah
upaya untuk mengemukakan bukti itu di pengadilan dengan baik. Hal ini dapat
dibantu atau diberatkan oleh chain of custody (CoC). Barang bukti lainnya juga
mempengaruhi kualitas bukti dalam investigasi kecurangan agar efektif, yaitu
forensik.
1. Chain of Custody (CoC)—Pengelolaan Barang Bukti Yang Sudah Diperoleh
Ketika bukti dalam bentuk dokumen atau objek di sita di TKP, atau sebagai
akibat dari surat perintah pemeriksaan (untuk dokumen), atau ditemukan dalam proses
audit dan investigasi, bukti tersebut harus ditandai,diidentifikasi, diinventarisasi, dan
dilestarikan untuk mempertahankan bukti itu dalam kondisi aslinya sehingga
terciptalah CoC yang jelas sampai proses persidangan. Jika ada ketidakjelasan
kepemilikan atas bukti tersebut maka dapat dipertanyakan kembali di persidangan
bahwa tulisan atau objek yang ditunjukkan bukan yang asli sehingga dapat diragukan
keasliannya.
Agar dokumen yang disita dapat diterima sebagai bukti, perlu untuk
membuktikan bahwa dokumen itu sama dengan dokumen yang disita dan berada
dalam kondisi yang sama seperti saat disita. Karena beberapa orang dapat
memanipulasinya dalam jangka waktu antara pada saat penyitaan dan pemeriksaan
bukti dipersidangan, harus cukup ditandai pada saat penyitaan untuk identifikasi
kemudian, dan pemeliharaannya harus ditunjukkan sejak saat itu sampai
diperkenalkan di pengadilan.
Investigator atau auditor yang menyita atau mengamankan dokumen harus
dengan cepat mengidentifikasinya dengan menandainya, sehingga mereka dapat
bersaksi bahwa dokumen tersebut adalah dokumen yang disita dan dalam kondisi
yang sama seperti ketika disita. Penyelidik dapat memberikan tanda misalnya dengan
menulis inisial merekaatau tanggal penyitaan pada tepi, sudut, atau di tempat lain
yang tidak terlalu mencolok di setiap dokumen. Jika kegiatan penandaan dapat
menyebabkan dokumen menjadi alasan bahwa dokumen tersebut dirusak atau tidak
dalam kondisi yang sama seperti ketika disita, penyelidik atau auditor dapat membuat
salinan untuk memperbandingkan dokumen itu sebelum dan sesudah ditandai
kemudian memasukkannya ke dalam amplop, menulis deskripsi dan informasi lainnya
di bagian depan amplop dan menyegelnya.
Teknik-teknik ini harus diterapkan kapan saja ketika penyidik atau auditor
memiliki dokumen asli yang dapat digunakan sebagai bukti dalam persidangan. Jika
auditor membuat salinan bukti dokumenter, mereka harus mengambil langkah-
langkah untuk menjaga keasliannya jika mereka diperlukan sebagai bukti sekunder
jika dokumen asli tidak tersedia untuk persidangan.
2. Komunikasi Istimewa
Aturan yang mendukung komunikasi istimewa didasarkan pada keyakinan
bahwa perlu menjaga kerahasiaan komunikasi tertentu. Ini hanya mencakup
komunikasi yang merupakan hasil dari hubungan khusus yang harus dilindungi.
Alasan dasar dibalik perlindungan komunikasi ini adalah keyakinan bahwa
perlindungan hubungan tertentu lebih penting daripada harus kehilangan bukti
tersebut. Yurisdiksi hukum berbeda-beda mengenai komunikasi apa yang dilindungi.
Beberapa hubungan istimewa itu adalah :
- Pengacara-Klien
- Suami-Istri
- Dokter-Pasien
- Pendeta-Jemaat
- Petugas penegak hukum-Informan
Saat berhadapan dengan komunikasi istimewa, perhatikan prinsip-prinsip
dasar berikut ini :
a. Hanya pemegang hak istimewa, atau seseorang yang diberi wewenang oleh
pemegangnya, dapat menyatakan hak istimewa tersebut.
b. Jika pemegangnya tidak menyatakannya setelah mendapat pemberitahuan dan
kesempatan untuk menyatakannya, hak istimewa tersebut akan dihapuskan.
c. Hak istimewa juga dapat diabaikan jika pemegangnya mengungkapkan bagian
penting dari komunikasi kepada pihak yang tidak berada dalam hubungan yang
dilindungi.
d. Komunikasi, agar berada dalam hak istimewa, harus cukup terkait dengan
hubungan yang dilindungi (misalnya, komunikasi antara pengacara dan klien harus
terkait dengan konsultasi hukum.

Di bawah common law seseorang tidak dapat bersaksi melawan pasangannya


dalam pengadilan pidana. Ketika mereka sudah menikah, tidak dapat melepaskan
ketidakmampuan testimonial ini. Komunikasi terlindungi adalah kenyataan yang
sebenarnya bersifat rahasia atau disebabkan oleh pernikahan atau hubungan lainnya.
Percakapan biasa yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak dianggap sebagai rahasia
jika tidak berada dalam lingkup hak istimewa

Hukum negara yang berbeda sangat bervariasi dalam penerapan prinsip-


prinsip komunikasi istimewa. Bergantung pada hubungan yang dilindungi, peraturan
yang berbeda mungkin berlaku mengenai komunikasi apa yang dilindungi, metode
pengabaian, dan durasi hak istimewa.

Kapan pun seorang auditor atau penyidik dihadapkan pada kebutuhan untuk
menggunakan bukti yang terdiri dari komunikasi antara pihak-pihak dalam salah satu
hubungan ini, dia harus berkonsultasi dengan seorang pengacara, terutama jika bukti
tersebut sangat penting untuk kasus ini.

3. Interogasi atau Wawancara


Rasionalisasi adalah apa yang dimaksudkan dalam kegiatan interogasi polisi
untuk dipilah. Di sini sekali lagi, intuisi mungkin memainkan peran penting. Penjahat
biasanya memberikan alasan atau pembenaran atas apa yang mereka lakukan.
Terkadang mereka berpura-pura tidak tahu atau sakit. Terkadang mereka bahkan
berpura-pura amnesia. Interogasi dapat terpotong melalui pertahanan, alasan, dan
rasionalisasi ini.
Selama interogasi, penting untuk tetap sensitif tidak hanya curiga terhadap apa
yang dikatakan, namun juga mengenai cara mengatakannya, dan untuk mengamati
ekspresi wajah, gerakan tubuh dan mata, pilihan kata, dan postur tubuh. Menyangkal
komentar tersangka berdasarkan logika murni dan rasionalitas tidak membujuk
sebagian besar penjahat untuk mengakuinya. Tersangka bisa tinggal dengan alasan
yang lemah selamanya dan hampir percaya setelah beberapa saat. Alasan mereka
bertahan dalam berbohong adalah bahwa kejahatan mereka tidak dilakukan karena
logika, tapi terutama karena alasan emosional, seperti nafsu, keserakahan, kemarahan,
atau rasa iri. Jadi saat menginterogasi tersangka, seseorang harus siap menghadapi
emosi mereka. '' Mengapa Anda melakukannya? '' Bukan pertanyaan yang sangat
bagus sejak awal.
Pilihan yang lebih baik adalah dengan memulai mengajukan pertanyaan basa-
basi sebelum masuk ke masalah utama kejahatan mereka seperti :

“Bagaimana Perasaanmu ?”
“Bolehkan saya memberikan sesuatu untuk anda ?”

“Apakah anda merasa ingin berbicara sesuatu ?”

“Dapatkah saya memanggil seseorang untuk anda ?”

Tujuan dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak berbahaya ini adalah untuk


membangun hubungan baik, pertama pada tingkat emosional dan kemudian pada
tingkat rasional. Tidak semua tersangka kriminal merasa terdorong untuk
membicarakan kejahatan mereka, tapi kebanyakan, jika seorang interogator dapat
menjalin hubungan baik dengan mereka. Dan hubungan baik bisa terjalin bahkan
setelah mereka diberi tahu hak mereka untuk tetap diam.
Tersangka yang ditangkap, atau yang hanya diwawancarai secara informal
sebelum ditangkap, berada dalam tekanan emosional yang hebat. Ketakutan akan
hukuman dan kurungan penjara semakin parah. Ketakutan ini harus diatasi sebelum
percakapan yang bagus bisa tercapai. Nada dan sikap interogator / pewawancara harus
meyakinkan. Intuisi memasuki proses ini hanya jika penyidik tetap tenang, tidak
memihak, dan peka terhadap kebutuhan emosional dan kekhawatiran tersangka atau
saksi. Intuisi tidak bekerja ketika pikiran penyidik itu berantakan dengan fakta-fakta
yang terisolasi atau daftar pertanyaan tentang rincian kejahatan.
Begitu peneliti telah mengetahui sesuatu tentang sejarah, keluarga, teman, dan
perasaan tersangka, mereka dapat memahami teknik interogasi yang paling tepat. Jika
tersangka tetap dingin, menyendiri, dan tidak komunikatif sementara pertanyaan tidak
berbahaya diajukan, dia akan menjadi sama saat pertanyaan menjadi lebih serius.
Dalam kasus seperti itu, penyidik membutuhkan perintah dari semua fakta kejahatan
yang diketahui untuk mendapatkan pengakuan.
Jika tersangka menanggapi secara terbuka tawaran penyidik tentang kebaikan
dan kesopanan, yang terakhir dapat dipimpin oleh pertanyaan umum. Penyidik akan
membiarkan tersangka menggambarkan kejahatan tersebut dan tidak menghalangi
pembalasan, tuduhan, atau pertengkaran lisan. Tersangka harus diijinkan
menceritakan kisahnya dengan caranya sendiri, bahkan jika penyidik mengetahui
bahwa beberapa fakta adalah tidak benar. Penyidik selalu bisa kembali dan meminta
klarifikasi dan kemudian membandingkan fakta dengan kesaksian saksi atau
konfederasi.
Pentingnya pengakuan dan penerimaan dalam menyelesaikan kejahatan
seharusnya tidak terlalu penting. Tanpa pengakuan dan penerimaan semacam itu,
banyak kejahatan tidak akan pernah bisa dipecahkan. Dalam beberapa kasus
penipuan, buku dan catatan akuntansi tidak memberikan cukup bukti untuk
menghukum tersangka. Jadi pengakuan dari pencuri membuat penuntutan penipuan
menjadi lebih mudah. Pengakuan yang diberikan secara bebas sering merinci skema
ini, akun-akun tersebut dimanipulasi, dan kegunaan yang digunakan dana yang
diambil tanpa izin tersebut. Bukti yang dikumpulkan setelah sebuah pengakuan dapat
menguatkan kejahatan tersebut. Sebuah pengakuan saja tidak akan mendukung sebuah
keputusan kriminal, jadi auditor harus mengambil dari data yang tersedia di dalam
sistem akuntansi dan dari sumber pihak ketiga untuk menguatkan bukti dan
mendukung pengakuan tersebut.
Interogasi pada dasarnya adalah usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan
dan informasi dari orang yang memiliki atau diduga memiliki keterangan dimana
orang tersebut secara sukarela memberikannya. Sedangkan interogasi pada dasarnya
adalah usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan dan informasi dari orang (saksi
atau tersangka) yang memiliki atau diduga memiliki keterangan bersifat direct
evidence. Dalam hal tertentu, interogasi terhadap tersangka bertujuan untuk
mendapatkan pengakuan. Dalam melakukan interogasi hendaknya memperhatikan :
- Dilakukan pendekatan yang tepat
- Tujuan yang akan diperoleh dalam wawancara sudah harus dimiliki oleh
penyelidik
- Mengajukan pertanyaan secara sistematis
- Sasaran (pemilik informasi) dibiarkan untuk berbicara bebas dan leluasa serta
menghargai pendapat dan apa yang dikemukakan
- Dilakukan perekaman dengan tidak diketahui oleh pelaku
4. Penyerahan Diri dan Pengakuan
Tujuan seorang akuntan forensik dalam penyelidikan fraud pada akhirnya
untuk mendapatkan pengakuan tertulis oleh fraudster, jika terjadi fraud. Fase terakhir
mungkin termasuk wawancara, namun proses terakhir dalam penyelidikan adalah
mewawancarai fraudster. Pada saat itu, akuntan forensik telah mengumpulkan bukti
forensik yang cukup untuk mengidentifikasi fraudster tersebut dan berhasil
menyelesaikan kasus tersebut. Wawancara mulai jauh dari “target”, kemudian secara
bertahap akuntan forensik mewawancarai orang-orang yang dekat dengan tersangka.
Ketika akhirnya tiba saatnya untuk mewawancarai target, tujuan dari wawancara
tersebut adalah untuk mendapatkan pengakuan yang ditandatangani dan dengan
demikian disebut sebagai wawancara.

E. Analisis Kasus Hambalang

 Hasil Audit Forensik Kasus Hambalang


Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  Hadi Purnomo memaparkan
sejumlah hasil audit terhadap kasus Hambalang ke DPR.  Menurutnya laporan
audit investigasi kasus Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I dilakukan pada 30 Oktober 2012. 
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan
ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan atau
penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak, proses
pelelangan, proses pelaksanaan konstruksi, dan dalam proses pencarian uang
muka yang dilakukan pihak terkait dalam pembangunan Hambalang yang
mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp
263,66 miliar.
Artinya, LHP tahap I dan II merupakan satu satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya secara komprehensif menyajikan berbagai dugaan
penyimbangan dan/atau penyalahgunaan wewenang dalam pembangunan
Hambalang.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi
penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung
penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan proyek
hambalang. Penyimpangan wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas
tanah, proses izin pembangunan, proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L
dan persetujuan tahun jamak, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan
aliran dana yang di ikuti dengan rekayasa akuntasi dalam proyek Pusat Pendidiakn
Pelatihan dan Sekolah Olah raga Nasional (P3 SON), Hambalang.. Dalam LHP
tahap II ini BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam proses
pengajuan dan kerugian negara mencapai Rp471 miliar. Berikut kesimpulan LHP
tahap II BPK soal Hambalang:
1. Bahwa permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada
Menteri Keuangan atas proyek pembangunan P3 SON Hambalang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang
berlaku, sehingga selayaknya permohonan tersebut tidak dapat disetujui
Menteri Keuangan.
2. Bahwa pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan
rekayasa pelelangan untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses
pemilihan rekanan pelaksana proyek pembangunan P3 SON Hambalang.
3. Bahwa pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi
amdal maupun menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup)
terhadap proyek pembangunan P3 SON Hambalang sebagaimana yang
diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan adanya studi amdal terlebih
dahulu sebelum mengajukan izin lokasi, site plan, dan IMB kepada Pemkab
Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.
Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, BPK juga
menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang
diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 tentang Tata Cara
Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. 
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan
Pasal 14 UU No 1/2004. Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan
penyimpangan yang telah terjadi. Pencabutan Permenkeu No 56/2010,
mengindikasikan adanya pembenaran atas ketidakbenaran atau penyimpangan atas
Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi penyimpangan yang dimuat dalam LHP
tahap I dan II mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 463,67 miliar. Yaitu
senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk pembayaran proyek
pada 2010 dan 2011 sebesar Rp  471, 71 miliar. Dikurangi dengan nilai uang yang
masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut, didasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora
tidak pernah memenuhi persyaratan untuk melakukan studi amdal sebelum
mengajukan izin lokasi. Kemudian, setplant dan izin mendirikan bangunan kepada
pemkab Bogor atau menyusun dokumen evalusi lingkungan hidup mengenai
proyek Hambalang. 
Permohonan persetujuan tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri
Keuangan atas proyek Pembangunan Hambalang, kata Hadi, tidak memenuhi
persyaratan sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Sehingga
sudah seharusnya  permohonan tersebut ditolak.

 Pengumpulan Bukti Kasus Hambalang

a. Bukti Primer
- Terkait surat keputusan hak pakai
- Terkait lokasi dan site plan
- Terkait izin mendirikan bangunan
- Tentang teknis
- Terkait revisi Rencana Kerja Anggaran Kementrian/Lembaga (RKA-KL)
- Terkait permohonan kontrak tahun jamak
- Terkait kontrak tahun jamak
- Terkait persetujuan RKA-KL 2011
- Terkait pelelangan
- Terkait pencairan anggaran 2010
- Terkait pelaksanaan pekerjaan konstruksi
- Hasil audit Investigasi BPK tahap II

b. Bukti Sekunder
Kasus ini menyeruak ke permukaan setelah mantan bendahara umum partai
Demokrat (Muhammad Nazaruddin) ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus-
kasus pembangunan wisma atlet di Jaka Baring Palembang

c. Bukti Hearsay.
- Yulianis (anak buah Nazaruddin)
- Wahid Muharam (Sekertaris Menpora)

Anda mungkin juga menyukai