Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

OKTOBER 2020

APPENDISITIS AKUT

OLEH
EKA AMANDA FARADILLAH

PEMBIMBING
dr. Eka Octarina

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


INTERNSIP
RUMAH SAKIT TINGKAT IV DR. M. YASIN
KABUPATEN BONE
2020
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Inisial nama : Tn. A
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 02-03-1998
Nomor RM : 049714
Ruangan : IGD
Tanggal pemeriksaan : 15-09-2020

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seeperti
tertusuk-tusuk, terus menerus dan tidak menjalar. Nyeri dirasakan semakin
bertambah pada saat pasien batuk dan saat menggerakkan badan. 4 hari
sebelumnya, pasien mengeluh nyeri dirasakan pada daerah sekitar ulu hati dan
pusar lalu berpindah ke perut kanan bawah. Pasien juga tidak nafus makan serta
mual dan muntah sebanyak 2x berisi makanan saat 4 hari yang lalu dan
mengeluh demam sepanjang hari sejak 3 hari terakhir. Pasien tidak BAB selama
2 hari. BAK normal. Pola makan pasien tidak teraktur dan jarang konsumsi
serat.
Riwayat trauma tidak ada
Riwayat pengobatan sebelumnya terkait keluhan ini belum pernah
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
Riwayat penyakit lainnya disangkal
Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan yang sama tidak diketahui

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status General
Sakit sedang / gizi cukup / composmentis
Status Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 37.7’C
VAS : 7-8
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil bulat, isokor
Bibir : sianosis (-)
Leher
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Trakea : Tidak ada deviasi
Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Paru
Inspeksi : Simteris kanan dan kiri
Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus simetri kanan dan kiri
Perkusi : Sonor kanan kiri
Auskultasi : BP vesikuler
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ1/2 reguler, murmur (-)
Abdomen (status lokalis)
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, warna kulit sama dengan sekitar
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan pada titik Mc Burney (+), Rovsing sign (+), Blumberg
sign (+), Dunphy sign (+)
Hepar/lien tidak teraba
Massa tumor (-)
Perkusi : Timpani, nyeri ketok pada titik Mc Burney (+)
Rectal Touche
Sphincter mencekik, mukosa licin, ampula kosong, massa tumor (-), nyeri tekan
pada arah jam 10.
Handschoen: Feces (-) darah (-) lendir (-)
Ekstremitas
Edema (-), massa tumor (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

WBC 34.16 4,00-10,0

RBC 4.97 4,00-6,00

HGB 13.5 12,0-16,0

HCT 34.52 37,0-48,0

PLT 345 150-400

LYMPH% 2.8 9.1-48.5

MONOSIT% 2.4 4.5-12.1

GDS 112 140

Skor Alvarado
Gejala Klinik Value
Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 0
Mual/muntah 1
Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Leukositosis 2
Shift to the left 1
JUMLAH 9

E. RESUME
Laki-laki, 22 tahun masuk RS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah dialami
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seeperti tertusuk-
tusuk, terus menerus dan tidak menjalar. Nyeri dirasakan semakin bertambah
pada saat pasien batuk dan saat menggerakkan badan. 4 hari sebelumnya, pasien
mengeluh nyeri dirasakan pada daerah sekitar ulu hati dan pusar lalu berpindah
ke perut kanan bawah. Pasien juga tidak nafus makan serta mual dan muntah
sebanyak 2x berisi makanan saat 4 hari yang lalu dan mengeluh demam
sepanjang hari sejak 3 hari terakhir. Pasien tidak BAB selama 2 hari. BAK
normal. Pola makan pasien tidak teraktur dan jarang konsumsi serat. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan, nyeri tekan ada pada titik Mc Burney , Rovsing
Sign dan Blumberg Sign positif. Nyeri Ketok pada titik Mc Burney positif.
Pemeriksaan lab, menunjukkan tanda-tanda leukositosis. Berdasarkan skor
Alvarado, diindikasikan pasien ini untuk dilakukan tindakan operasi.

F. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis Akut

G. TERAPI
 IVFD RL 28 tetes per menit
 Ketorolac 30mg/8jam/intravena
 Ranitidine 50mg/12jam/intravena
 Cefotaxime 1gram/12jam/intravena

H. RENCANA TINDAKAN
Appendektomi
BAB I
PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.


Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang
berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali
menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis
acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan
1.
tindakan bedah
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak
umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Appendicitis acuta
mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan
peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis
pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka
morbiditas yang signifikan. Diagnosis Appendicitis acuta pada anak kadang-kadang
sulit. Hanya 50-70% kasus yang bisa didiagnosis dengan tepat pada saat penilaian
awal. Angka appendectomy negatif pada pasien anak berkisar 10-50%. Riwayat
perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
2
penting dalam mendiagnosis Appendicitis .

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix


yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila
tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama
disebabkan karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang
pertama yang menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu
3.
penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta yang
terjadi bila Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus
4
oleh omentum dan/atau lekuk usus halus .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara


Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada
Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi
dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan
bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu,
1,2,3
lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.

4
Gambar 1. Appendix vermicularis

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.
1,3
Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa.
5
Gambar 2. Potongan transversa Appendix

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-
rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis
pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat
pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri
1,2
perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan.

1
Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
2
penyakit imunodefisiensi lainnya.

2.2 INSIDENSI

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak
2
kurang dari satu tahun.

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium
yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau
Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga
meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat
1
tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di /3 proksimal. Selama lebih dari
200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
6
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada
kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis
1,2,6,7
acuta gangrenosa dengan perforasi.
8
Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
2
tengah atau di bawah epigastrium.
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular.
Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks
mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri
yang khas ke RLQ. 2,6,7
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan
suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
1,2,6,7
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik.
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB,
dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis,
6
khususnya pada anak-anak.
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
13
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan
muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
6
mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan
iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri
melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada
kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang
berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan
penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul
di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat
ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK,
nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat
penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri
6
seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi
o
Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6 C, leukositosis > 14.000, dan
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,
sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.
Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan
untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada
6
palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.

14
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
6
pelvis.

Seperti yang dikatakan di atas tersebut, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid
merupakan penyebab tersering obstruksi lumen appendiks, hal ini menimbulkan ulserasi
mukosa sampai kerusakan lapisan dinding appendiks, terjadi perpindahan kuman dari
lumen masuk ke dalam submucosa maka terjadilah keadaan yang disebut appendiks
fokal (appendisits kataralis). Dengan adanya kuman di submucosa makan tubuh akan
bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus maka terjadilah keadaan
yang disebut appendicitis supuratif/plegmonosa. Keluarnya pus dari dinding yang
masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer meningkat,
sehingga desakan pada dinding apendiks bertambah besar menyebabkan gangguan pada
sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika,
kemudian vena dan terakhir arteri, akibatnya terjadi edema dan iskemia, infark, lalu
menjadi gangren didaerah antemesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren
biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut
apendisitis gangrenosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 – 24 jam pertama. Bila
keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi,
sehingga material intraluminer yang infeksius akan tercurah kedalam rongga
peritoneum. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut tergantung dari kemampuan
organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, apabila fungsi omentum baik,
tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum (“Walling off “), maka
terjadilah infiltrat periapendikular. Apabila terjadi pernanahan maka akan terbentuk
suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks, terjadilah abses periapendikular.
Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius akan menyebar di sekitar
apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Namun jika infeksi tidak bisa diatasi akan terjadi
peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna,
sering mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi. Apendisitis rekurens
adalah apendisitis secara klinis memberikan serangan berulang, durante operasi maupun
pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Apendisitis kronis adalah
apendisitis secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, penemuan durante operasi

15
maupun pemeriksaan histopatologis ditemukan inflamasi khronis berupa perlekatan,
tertekuk, terputar, kinking, stenosis partial, berisi mucus, atau fragmentasi oleh jaringan
parut.6

2.4 MANIFESTASI KLINIS


2.4.1 Gejala Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai


12,13
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12
jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ.
Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai
contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri
1,2,3,7,8
suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya
o
suhu naik hingga 38 C. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga
o
> 39 C. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai
muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh
stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah
anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka
diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen
2
mengarah pada diagnosis gastroenteritis.
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
2,3
Appendix.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan

16
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
5
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.

2
Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.
Gejala Klinik Value
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
 Skor 1-4
Bukan appendicitis akut, pada pasien ini diberikan terapi simptomatik,
diperbolehkan pulang dengan catatan kembali jika gejala menetap atau
semakin memburuk
 Skor 5-6
Curiga appendicitis akut, pada pasien ini dilakukan observasi selama
24jam di rumah sakit dengan re-evaluasi data klinis dan skor Alvarado.
Pasien dibolehkan pulang jika skor lebih rendah dari penilaian awal
dengan catatan kembali jika gejala menetap atau semakin memburuk
 Skor 7-10
Appendicitis akut, pada pasien ini harus segera dilakukan operasi
appendektomi cito

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik
Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat
konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi

17
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur
6
Appendix.
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu
tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga
Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala
7
muntah, demam, dan nyeri.
2.4.2 Tanda Klinis
Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan gerakan
yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya jarang
didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak
retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga
6
nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.

Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut
6
akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang.

7
Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
o
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360 mengelilingi pangkal
Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara
costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat
6
menyebabkan nyeri rectal.
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
18
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal
6
toucher tidak diperlukan lagi.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
 Rovsing sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum.
 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal
dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas
abdomen.
 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
 Blumberg sign
Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ
 Dunphy sign
Pertambahan nyeri pada RLQ dengan batuk
 Kocher sign
Nyeri yang awalnya pada daerah epigastrium atau paraumbilical kemudian
berpindah ke RLQ

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2,3,6,7
2.5.1 Laboratorium
3
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm , biasanya didapatkan
pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
19
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus
3
dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm pada
Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa absces.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara
6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥
11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran
kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra
atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada
Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
1,2,6,7
2.5.2.Ultrasonografi
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.
Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila
tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal,
yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran
5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian
dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau
massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan USG,
pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk
mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul
harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat
menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen.
Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar
78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak
dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.

20
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.
Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari
peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang
dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak
tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu banyak
lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya pada ujung
Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus
kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.
1,2,6,7
2.5.3. Pemeriksaan radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis
acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan
temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk
menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa
terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous
drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan
yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan
operasi segera saat ada indikasi klinis.
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut
di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama
2,6
seperti Appendicitis acuta.

21
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada
umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan. Diagnosis banding Appendicitis tergantung
dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari
2,6
yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien.
1. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut
self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual,
dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil
pemeriksaan laboratorium biasanya normal.
2. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis
acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk
membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2
tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur
2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa
berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila
tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi
pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.
4. Infeksi Saluran Kemih
Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai
Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan
terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

2.7 KOMPLIKASI
 Periappendikular infiltrate
 Peritonitis local
22
 Peritonitis generalisata
2.8 PENATALAKSANAAN
1,2,3,6,7
Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan
didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika
profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single
dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.
1,2,6,
Teknik operasi Appendectomy :
a. Open Appendectomy
1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
2. Dibuat sayatan kulit:
Horizontal Oblique

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:


a. Pararectal/ Paramedian
Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M.
rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu
penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi
hernia cicatricalis.

23
sayatan
M.rectus abd. M.rectus abd.
ditarik ke medial
2 lapis

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle


splitting Sayatan berubah-ubah sesuai
serabut otot.
1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas
ke medial bawah.

Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua
mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis
externus.
2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral
bawah.

Keterangan gambar:
Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah
dengan seratnya ke arah lateral.

24
3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal

25
Keterangan gambar:
Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak
terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus
dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di
antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras
akan merobek pembuluh dan membahayakan saraf.
4. Peritoneum dibuka.

Keterangan gambar:
Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar.
Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di
bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah
pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama
pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang
lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat.

5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk


mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan
klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke
jaringan sekitarnya).
Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:
Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya,
diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

26
Keterangan gambar:
Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem
Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium
seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas
mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak
diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi.
6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih
kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum).
Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat
dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk
rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).

27
7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:


a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan ke
dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.
b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko
kontaminasi dan adhesi.
c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh,
dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.
9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru
dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde).
10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

b. Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah.
Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut
1
ginekologi dari Appendicitis acuta.

28
1
Gambar 3.10. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy

1
2.9 KOMPLIKASI POST OPERASI
1. Fistel berfaeces; Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena
benda asing, tuberculosis
2. Adhesi/perlengketan organ dalam
3. Ileus obstruksi
4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah
Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli
retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

2
2.10 PROGNOSIS
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada
tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana
diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah
dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum
terjadi perforasi.
29
BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendix


merupakan derivate bagian dari midgut yang lokasi anatomisnya dapat berbeda tiap
individu. Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemui. Factor-faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya meliputi
fakotr abstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen adalah penyebab utama
terjadinya appendicitis akut.
Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri
berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang
tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik pada
kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign, Blumberg’s
sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare, nyeri pada
daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak
pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.
Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan
laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi. Diagnosis banding
Appendicitis antara lain; Adenitis Mesenterica Acuta, Gastroenteritis akut, penyakit
urogenital pada laki-laki, Diverticulitis Meckel, Intususseption, Chron’s enteritis,
perforasi ulkus peptikum, Epiploic appendagitis, infeksi saluran kencing, batu urethra,
peritonitis primer, Purpura Henoch–Schonlein, Yersiniosis, serta kelainan–kelainan
ginekologi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi, peritonitis,
Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial pyemia
dengan Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien Appendicitis
acuta meliputi; pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau
septikemia, puasakan pasien, analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah,
pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2.
8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
th
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendic itis1x. jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s
Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson
RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

31

Anda mungkin juga menyukai