Hubungan baik antar manusia dengan berbagai macam keberagaman ras adalah hal
pokok dalam kehidupan. Allah Swt. menyatakan:
ِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوأُ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َعا َرفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا
أَ ْتقَا ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم خَ بِي ٌر
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui
lagi Mahamengenal.” (QS. al-Hujurat ayat 13).
Dengan mengingat kesatuan asal-muasal manusia, maka ikatan psikologis telah dijalin
demi persatuan sosial. Serta mengurangi sebisa mungkin kebanggaan-kebanggan individu
yang saling merendahkan satu sama lain. Hal ini berdasarkan pada ayat suci:
َِّين هَّلِل ِ ۖ فَإ ِ ِن ا ْنتَهَوْ ا فَاَل ُع ْد َوانَ إِاَّل َعلَى الظَّالِ ِمين
ُ َوقَاتِلُوهُ ْم َحتَّ ٰى اَل تَ ُكونَ ِف ْتنَةٌ َويَ ُكونَ الد
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Baqarah ayat
193).
Namun tentu saja, sikap perlawanan ini tidak boleh bertentangan dengan ayat
sebelumnya, bahwa “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”
ض فَ َكأَنَّ َم ا
ِ ْس أَوْ فَ َس ا ٍد فِي األر
ٍ ِم ْن أَجْ ِل َذلِكَ َكتَ ْبنَا َعلَى بَنِي إِ ْس َرائِي َل أَنَّهُ َم ْن قَتَ َل نَ ْفسًا بِ َغ ْي ِر نَ ْف
اس َج ِميعًا َ َّقَتَ َل الن
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
‘Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya’.” (QS. al-
Maidah ayat 32).
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
3. Keadilan dalam Setiap Kebijakan Pemerintah terhadap Semua Elemen Masyarakat
َ اس أَ ْن تَحْ ُك ُم وا بِ ْال َع ْد ِل ۚ إِ َّن هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُؤَ ُّدوا اأْل َ َمانَا
ِ َّت إِلَ ٰى أَ ْهلِهَ ا َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن
صيرًا ِ َنِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS.
an-Nisa’ ayat 58).
Sejarah kejayaan Islam menyebutkan kisah menarik, yakni tentang suatu balapan
kuda antara putra ‘Amr bin Ash (gubernur Mesir saat itu) dengan seorang warga Mesir biasa.
Karena kalah, putra ‘Amr ini emosi kemudian memukul orang Mesir itu tanpa kendali.
Kemudian orang Mesir tersebut melaporkan hal ini kepada Khalifah Umar bin Khattab.
Beliau pun memanggil putra ‘Amr dan ayahnya, lalu mempersilakan si orang Mesir untuk
membalas sesuai dengan perlakuan yang dialaminya. Lalu Khalifah menegur si pelaku;
“Sejak kapan engkau mulai memiliki orang yang terlahir merdeka ke dunia ini?” Lihatlah,
kejadian ini menjadi salah satu cerminan prinsip keadilan dan kesetaraan di dalam Islam.
Meskipun cinta dan kasih mendalam tidak diperkenankan untuk ditunjukkan kepada
mereka yang mengingkari Allah dan RasulNya, namun nilai-nilai kebaikan dan keadilan
harus tetap ditegakkan, sebagaimana diajarkan oleh Islam dan merupakan warisan dari
Rasulullah Saw. Penjelasan tentang ini nampak jelas di dalam al-Quran:
ار ُك ْم أَ ْن تَبَ رُّ وهُ ْم َوتُ ْق ِس طُوا ِ اَل يَ ْنهَا ُك ُم هَّللا ُ ع َِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد
ِ َِّين َولَ ْم ي ُْخ ِر ُج و ُك ْم ِم ْن ِدي
َإِلَ ْي ِه ْم إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-
Mumtahanah ayat 8).
Larangan di dalam ayat ini terkecualikan bagi segelintir orang, yakni mereka yang
memobilisasi kekuatan untuk menyerang, menekan dan menjajah, sebagaimana ditekankan
dalam ayat al-Quran:
Jika ayat-ayat al-Quran kita lihat secara keseluruhan, maka ayat-ayat semacam ini:
“Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, dari Abu Imran al-Jauni, bahwa Abu Bakar ash-
Shiddiq Ra. suatu kali mengirimkan Yazid bin Abi Sufyan ke Syam (hari ini Suriah dan
sekitarnya). Kala itu, Yazid berkata, “Aku tak suka melihat keadaan ini; aku berkendara
sedangkan engkau jalan kaki.” Kemudian Abu Bakar menyahut, “Engkau telah keluar
sebagai orang yang berperang di jalan Allah, maka aku mengharapkan pahala dari jalan
kakiku ini.” Lalu beliau menasehati Yazid, “Jangan membunuh anak-anak, wanita, orang
tua, jangan pula menyerang orang terluka dan sakit, maupun para rahib. Pastikan jangan
sampai menebang pohon-pohon berbuah, atau merusak wilayah berpenghuni. Jangan bunuh
unta-unta atau hewan ternak melainkan sekedar untuk makan, jangan pula tenggelamkan
pohon-pohon kurma ke laut atau membakarnya.”
Jika demikian halnya etika yang diteladankan oleh Rasulullah melalui para sahabat
terhadap para penyerang dan penjajah, maka bagaimana kiranya akhlaq beliau terhadap
mereka yang tidak menyerang?
ص و ُك ْم َش ْيئًا َولَ ْم يُظَ ا ِهرُوا َعلَ ْي ُك ْم أَ َح دًا فَ أَتِ ُّموا إِلَ ْي ِه ْم
ُ ُإِاَّل الَّ ِذينَ عَاهَ ْدتُ ْم ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ثُ َّم لَ ْم يَ ْنق
ََع ْه َدهُ ْم إِلَ ٰى ُم َّدتِ ِه ْم ۚ إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمتَّقِين
“Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaqwa.” (QS. at-Taubah ayat 4).
Di dalam kiab sirahnya, Ibnu Hisyam menuliskan bahwa: “Ketika Abu Jandal
mendatangi Rasulullah Saw. pada saat perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah Saw.
berkata kepadanya; “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan harapkanlah pahala, sebab Allah
akan menyediakan jalan keluar bagimu dan kaum Muslimin yang bersamamu. Kita telah
mengikat kepercayaan dengan mereka, kita telah berjanji tidak akan mencederai perjanjian
ini dan merekapun demikian atas nama Allah. Maka kita tidak akan mengkhianati perjanjian
ini.”
Stabilitas dan keseimbangan jangka panjang hanya bisa diharapkan jika seluruh unsur
masyarakat mau berkomitmen terhadap persetujuan bersama. Hal ini kemudian akan
menciptakan situasi yang aman, suasana yang nyaman dalam keberagaman, dimana
pelaksanaan dan pertukaran kepentingan bersama bisa berlangsung.
Ketika Rasulullah Saw. meninggalkan Mekkah bersama Abu Bakar Ra., beliau
menyewa seorang musyrik yang bisa dipercaya untuk memandu jalan. Bahkan pada saat
hendak Perang Badar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berpesan kepada para sahabat;
“Aku kenal banyak diantara Bani Hasyim dan lainnya yang dipaksa untuk berperang dalam
medan ini. Maka jika kalian berhadapan dengan orang-orang dari Bani Hasyim, jangan
serang mereka, dan siapapun yang berhadapan dengan Abbas bin Abdul Mutthalib maka
jangan sampai membunuhnya karena ia pun telah dipaksa berperang dan tidak atas
kemauannya.”
Lebih jauh lagi, saat Rasulullah Saw. kembali dari Tha’if menuju Mekkah, sambil
memperkirakan akan muncul banyak serangan sepeninggal Abu Thalib, maka beliau
bernaung di bawah perlindungan Muth’im bin ‘Adi, sedangkan Abu Bakar kepada Ibnu
Dughunnah.
7. Membuat Pembedaan antara Ilmu-ilmu Materi dengan Ilmu-ilmu Akidah dan Syari’ah
Dalam ilmu-ilmu materi, semisal bahasa, permesinan, sosiologi matematika, teknik,
industri, profesi, dan sebagainya, bisa dipelajari dari siapapun yang memang ahli dalam
bidang masing-masing, tentu saja tanpa melalaikan kewajiban syari’ah. Namun dalam ilmu-
ilmu akidah dan syari’ah, harus dipelajari melalui sumber-sumber otentik, dengan belajar
bersama guru yang bersambung rantai keilmuannya (sanad) kepada Rasulullah Saw. Hal ini
diterapkan bagi ilmu-ilmu akidah dan syari’ah, tidak demikian dengan ilmu-ilmu material
karena tentu akan sangat menghambat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menorehkan di dalam Fathul Bari: “Ahmad dan Ibnu Abi al-
Bazzar menyampaikan dari riwayat Jabir, bahwa Umar Ra. suatu kali datang kepada Nabi
Saw. dengan membawa sebuah buku yang ia dapatkan dari beberapa Ahlul Kitab. Saat ia
membacakannya di hadapan Nabi, beliau Saw. pun nampak marah dan berujar, “Telah
kubawakan padamu yang suci dan murni. Maka jangan kau minta kepada mereka sesuatu
yang tidak jelas, yang mana bisa berupa kebenaran namun kau mengingkarinya, atau berupa
kesalahan namun kau mengiyakannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, jika Musa
masih hidup tentu dia tak punya pilihan lain selain mengikutiku.”
Rasulullah Saw., sebagai bentuk penghormatan terhadap para tawanan Perang Badar,
mengatakan: “Perlakukan Ibnu ‘Adi dengan baik di antara para tawanan ini, pasti aku akan
bebaskan mereka semua sebab dia.” Hal ini dikarenakan Ibnu ‘Adi adalah sosok yang sangat
menentang pemboikotan kaum Quraisy terhadap Nabi, serta dialah yang merobek surat
kesepakatan yang memutuskan pengasingan Bani Hasyim di Syi’b Abu Thalib selama
beberapa tahun, serta dia pulalah yang memberikan perlindungan kepada Nabi ketika kembali
dari Tha’if.
Juga harus dicatat, bahwa penolakan segala bentuk rasisme dan kesukuan akan sangat
memperkuat kebaikan di antara unsur dalam masyarakat. Abu Dawud meriwayatkan dari
Jubair ibn Muth’im, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa mengajak kepada
ashabiyyah (fanatisme kesukuan) maka ia bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang
bertempur sebab ashabiyyah, maka ia bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang mati
dalam ashabiyyah, maka dia bukan dari golongan kami.”
َ َّع اِ ٰلى َسبِ ْي ِل َربِّكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َس نَ ِة َو َج ا ِد ْلهُ ْم بِ الَّتِ ْي ِه َي اَحْ َس ُن قلى اِ َّن َرب
ك هُ َو ُ اُ ْد
َض َّل ع َْن َسبِ ْيلِه َوهُ َو اَ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِد ْين
َ اَ ْعلَ ُم بِ َم ْن
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl ayat 125).
Salah satu cara yang juga bisa menjaga dari perdebatan adalah dengan menyadari
bahwa kewajiban dalam dakwah ialah menyampaikan dengan lemah lembut dan luwes,
bukan dengan sikap agresif dan dominasi. Kita juga jangan sampai memaksakan kehendak
kepada orang-orang, mengukur tingkat keimanan orang lain dan menghakimi apa yang
mereka lakukan. Sayangnya perilaku semacam ini kadang kita temukan pada mereka yang
mengaku berdakwah, dan menganggapnya sebagai bentuk ghirah dalam beragama.
َ َِوإِ ْن أَ َح ٌد ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ا ْستَ َجا َركَ فَأ َ ِجرْ هُ َحتَّى يَ ْس َم َع َكال َم هَّللا ِ ثُ َّم أَ ْبلِ ْغهُ َمأْ َمنَهُ َذل
ك بِ أَنَّهُ ْم قَ وْ ٌم ال
َيَ ْعلَ ُمون
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang
tidak mengetahui.” (QS. at-Taubah ayat 6).
Sebagai komentar bagi ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya:
“Maksudnya; Allah menitahkan kepada NabiNya; jika orang-orang musyrik yang halal
darahnya (sebab penganiayaan yang telah mereka lakukan) itu datang kepadamu untuk
meminta perlindungan, maka berilah mereka perlindungan hingga mereka bisa mendengarkan
al-Quran. Hal ini memungkinkan bagi mereka untuk menerima kebenaran Islam, serta
mengimani Allah Swt. Setelah itu, mereka bisa menetap di tempat yang aman sampai tiba
masanya mereka bisa kembali ke kampung halaman. Dan Allah menyatakan hal ini untuk
menunjukkan bahwa ada kesempatan bagi mereka untuk memahami pesan-pesan Ilahi dan
kemuliaan aturan Islam.”
Inilah sepuluh prinsip hidup dalam keberagaman (pluralitas) yang disampaikan oleh
al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abi Bakr bin Salim,
pengasuh Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman. (Sumber: Naseem al Sham,
diterjemahkan oleh Zia Ul Haq dari catatan Dr. Muhammad Yasir al-Qadmani atas
transkrip ceramah al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz, via www.santrijagad.org).