Anda di halaman 1dari 48

Kerajaan Daya

Sebuah Kerajaan Berpengaruh di Aceh

Muliadi Kurdi

NASKAH ACEH
2014

i
Kerajaan Daya: Sebuah Kerajaan Berpengaruh di Aceh

Edisi Pertama, Cet. 1 Tahun 2014


Lembaga Naskah Aceh (NASA)
iv + 44 hlm. 15 x 21 cm
ISBN : 978-602-7837-78-2
Anggota IKAPI No. 014.DIA/2013

Hak Cipta Pada Penulis


All rights Reserved
Cetakan Pertama, Maret 2014
Pengarang : Muliadi Kurdi
Editor : Dr. Fauzi Saleh, Lc. MA u Khairina, S.Pd.I u Drs.
Zulkarnaini, M.Ag. u Ruslan, M.Si., MLIS u
Jamaluddin Taib, MA.

Tim Koreksi Aksara : Muhammad Amirza, S.Pd.I.


Desain Kulit & Tata Letak : LKAS-Group
Sumber Gambar : Humas Pemkab Aceh Jaya
Ruslan, M.Si, M.Lis, Marhaban dan internet.
Penerbit Lembaga Naskah Aceh (NASA)
JL. Ulee Kareng - Lamreung, Desa Ie Masen, No. 9A
Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh 23117
Telp./Fax. : 0651-635016 E-mail: nasapublisher@yahoo.com

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002


TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA SANKSI PELANGGARAN

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu Ciptaan
atau memberikan izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan/
atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuah) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
ii lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pengantar Penerbit

P uji dan syukur kita panjatkan ke hadhirat Allah Swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita. Shalawat
dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Alhamdulillah. Setelah sukses menerbitkan 33 judul buku
ilmiah karya dosen IAIN Ar-Raniry di tahun 2012, 25 judul pada
tahun 2013 kemudian dilanjutkan penerbitan buku, “Rekonstruksi
Fikih Kewarisan: Reposisi Hak-hak Perempuan” karya Prof. Dr.
Al-Yasa’ Abubakar, MA.; buku “Miratuth Thullab” karya Syekh
‘Abdurrauf As-Singkily, versi alih aksara; buku “Falsafah Peusijuek
dalam Masyarakat Aceh”; buku pelajaran, “Belajar Bahasa Arab
Untuk Taman Kanak-kanak Sederajat Vol. 1 & 2”; Buku, “English
for Kindergarten”, buku pelajaran bahasa Inggris untuk murid TK/
RA/TKA/TKQ/Diniah/Sederajat Vol. 1 & 2; serta buku, “Revitalisasi
Pembangunan Hukum di Aceh: Refleksi Pemikiran dan Ancangan
Kebijakan” karya Prof. Dr. H. Syahrizal Abbas, MA. Kini, di awal
tahun 2014, NASA kembali menerbitkan buku, “Kerajaan Daya:
Sebuah Kerajaan Berpengaruh di Aceh.” Secara umum buku ini
menerangkan tentang riwayat hidup Sultan Salatin Alau’ddin
Ri’ayat Syah putra Sultan Inayat Syah dan kontribusinya terhadap
masyarakat Aceh dan Nusantara. Mudah-mudahan uraian singkat
ini akan menambah referensi sejarah Aceh bagi pembaca.
Akhirnya, ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan
kepada para penulis sejarah Aceh, informan tentang Aceh yang
telah berkontribusi baik secara lisan maupun tulisan hingga karya
dapat dipublikasikan.
Banda Aceh, Juni 2014
Penerbit NASA

iii
DAFTAR ISI
Pengantar Penerbit ~ iii
Daftar Isi ~ iv
Pendahuluan ~ 1
Kerajaan Daya Berdiri ~ 3
Asal mula Kerajaan Daya ~9
Lamno ~ 13
Kronik Penaklukan Indra Jaya ~ 17
Sistem Pemerintahan Daya ~ 23
Kemajuan Kerajaan Daya ~ 27
Raja Daya Wafat ~ 29
Daya Menjadi Kerajaan Aceh Darussalam ~ 31
Tradisi Kerajaan Negeri Daya ~ 35
Pelengkapan Upacara ~ 37
Daftar Pustaka ~ 42
Biografi Singkat Penulis ~ 44

iv
1

PENDAHULUAN

P oteumeureuhom sebutan untuk raja Daya. Sebutan lain


adalah Chik Po Kandang. Semasa hidup raja Daya ini
bernama Sultan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah. Dan, setelah wafat
ia lebih dikenal dengan Poteumeureuhom.
Dalam adat Aceh ada dua sebutan untuk orang yang meninggal
dunia, yaitu mati atau wafat. Jika disebutkan mati seakan
tersimpan makna yang mati itu adalah orang jahat. Sebaliknya,
jika disebutkan wafat
berarti orang itu orang
baik, orang shalih atau
orang mulia. Begitu juga
sebutan, al-marhum
bagi seseorang. Hal itu
menjadi ma’ruf bahwa
orang mulia itu sudah
meninggal dunia. Gambar 1. Bupati Aceh Jaya, Ir. Azhar Abdurrahman,
saat memberikan sambutan pada acara Seumeuleung di
Adapun sebutan
komplek makam Poteumeureuhom
Poteumeureuhom itu di Glee Jong, Kuala Daya.

1
dapat ditafsirkan, Poteu pada kata itu bermakna “tuan kita” dan
Meureuhom bermakna yang mulia yang telah mendahului kita.
1
Maksudnya. Sultan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah yang makamnya
terletak di Kuala Daya (Kandang).

Gambar 2. Suasana keberlangsungan upacara Seumeuleung


di komplek makam Poteumeureuhom di Glee Jong, Kuala Daya.

Untuk menelusuri lebih jauh 2 tentang Sultan Salatin Alaidin


Ri’ayat Syah ini dapat diamati dari tulisan yang tertera pada batu
nisan di atas pusara sultan, “Sultan Salatin Alau’ddin Ri’ayat Syah
3
putra Sultan Inayat Syah, meninggal 7 Rajab 913 Hijriah (12
Nopember 1508 Masehi)” (Mohammad Said jilid 1, 2007: 133).

2
2

KERAJAAN DAYA BERDIRI

K erajaan Daya diperkirakan berdiri menjelang akhir abad XV


hingga abad XVI M.. Keterangan ini didasarkan pada sumber
Portugis dan Hikayat Aceh yang menyebutkan bahwa kerajaan
Daya terletak di sebelah barat Aceh Besar tersebut berdiri sekitar
penghujung abad XV M.. Dalam kaitan itu, William Marsden
dalam buku, The History of Sumatra, pernah menyinggung tentang
Daya sekitar tahun 1511 M. Marsden berkata, “Pada periode
ketika Malacca jatuh ke tangan Portugis, para sejarawannya
sendiri mengatakan bahwa Achin dan Daya merupakan provinsi-
provinsi di bawah kekuasaan Pedir dan diperintahkan oleh 2
(dua) orang budak milik Sultan Pedir. Masing-masing budak itu
telah dinikahkan dengan seorang keponakan sultan.”Marsden
menambahkan, “perlu dipahami bahwa budak di negeri ini
memiliki kedudukan berbeda dengan sebagian besar wilayah
lainnya di dunia dan biasanya diperlakukan seperti anak dalam
keluarga.”
Kemudian dalam buku, “Kesultanan Aceh” karya Raden
Hoesein Djadjadininggrat menerangkan, pada waktu kedatangan
Portugis ke kepulauan Nusantara, Aceh merupakan negeri

3
Gambar 3. Keelokan panorama wilayah Aceh Jaya,
dari puncak Gunung Geurutee.

jajahan Pedir dan dipimpin oleh ayah Raja Ibrahim, seorang


budak Sultan Pedir yang telah dimerdekakan. Raja Ibrahim
menggantikan ayahnya yang telah tua itu sejak turun tahta. Di
bawah pemerintahan Ibrahim, Aceh memerdekakan diri dari
Pedir dan mulai memperluas kekuasaannya. Kira-kira pada tahun
1520, Raja Ibrahim menguasai Daya, kemudian menaklukkan
Pedir, yang menyebabkan Sultan lari ke Pasai. Dan, kemudian
Raja Ibrahim menguasai pula kota tersebut (1524); lalu ia
mengusir orang-orang Portugis yang berada di sana. Sultan Pasai
lari ke Malaka sementara Sultan Pedir dan Daya lari ke daerah
kekuasaan raja Aru (Raden Hoesein Djadjadininggrat, 1982: 14).

4
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa hampir semua
sejarawan tak pernah mengalpakan menulis tentang Kerajaan
Daya. Berarti kerajaan itu termasuk kerajaan yang diperhitungkan
di masa sebelum berdiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Sejarah menerangkan bahwa raja pertama dari kerajaan daya
adalah Ala’uddin Ri’ayat Syah. Dia itu memiliki hubungan sauda-
ra dengan raja Aceh. Keterangan yang sama juga dikemukakan
oleh HM Zainuddin, Mohammad Said dan lainnya. Setelah diteli-
ti dan diamati dari catatan yang tertulis di batu nisan Raja Daya,
ternyata memang benar ia memiliki hubungan saudara dengan
raja-raja Aceh sekitar tahun menjelang akhir abad XV hingga
abad XVI. Untuk memperkuat data itu, Mohammad Said men-
gutip Hikayat Aceh yang menerangkan bahwa Muzaffar Syah
menjadi Raja Makuta Alam, bersaudara dengan Inayat Syah yang
menjadi Raja Darul Kamal. Keduanya terus berperang yang be-
rakhir dengan kemenangan Sultan Muzaffar Syah. Tidak lanjut
dari kemenangan itu,
Sultan Muzaffar Syah
menyatukan negeri
tersebut dalam satu
kerajaan yang diberi
nama dengan Aceh
Darussalam (Moham-
mad Said, 2007: 134).
B e r d a s a r k a n Gambar 4. Salah seorang keturunan Raja Daya, saat
melangsungkan upacara Seumeuleung.

5
Gambar 5. Bupati Aceh Jaya, Ir. Azhar Abdurrahman bersama Wali Nanggroe
Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, saat menghadiri upacara Seumeuleung.

perkiraan itulah Mohammad Said yakin bahwa Raja Daya


itu adalah anak dari Sultan Inayat Syah putra dari Abdullah
Malik al-Mubin yang hidup pada pertengahan abad XV.
Mohammad Said meyakini, Inayat Syah memiliki 3 (tiga)
orang putra: Pertama. Sultan Muzaffar Syah, Raja Meukuta
Alam (w. 902 H./1497 M.). Kedua. Sultan Ala’uddin Ri’ayat
Syah (Poeteumeureuhom w. 7 Rajab 913 H./12 November 1508
M. Ia menjadi Raja Kerajaan Daya sekitar penghujung abad XV.
Ketiga. Syamsu Syah pada makamnya dikenal dengan nama
Kubeu Poteumeureuhom (w. 14 Muharram 937 H./7 September

6
1330 M.). Sebelum wafat ia dipercayakan menggantikan ayahnya
menjadi Sultan Lamuri. Lalu, Syamsu Syah itu dikarunia 2 (dua)
orang putra. Pertama. Raja Ibrahim yang makamnya terdapat
di Kuta Alam (w. 21 Muharram 930 H./30 November 1523 M..
Kedua. Sultan Ali Mughayat Syah, Sulthan Aceh ke-1 (919-936
H./7 Agustus 1536 M.).
Veltman pernah menyebut
tentang era pemerintahan
Muzaffar Syah. Sultan
Ma’ruf Syah dari Pedir telah
menaklukkan penyerangan
hebat pada tahun 1497 M..
Dari penyerangan itu Muzaffar
Syah kalah dan melarikan
diri. Tidak lama kemudian ia
mangkat di desa Bilui (Pekan
Bilui), Aceh Besar. Setelah
Ma’ruf Syah menguasai Aceh,
ia menempatkan wakilnya
di sana. Mungkin saja istri
Munawar Syah adalah kakak
Ma’ruf Syah. Karena itu, ia
mengizinkan kakaknya itu
menjadi raja sebagai simbol Gambar 6. Pedang Aceh, salah satu senjata
saja. Karena sesungguhnya raja penting masa Kerajaan Aceh.

7
yang menjalankan roda pemerintahan harian adalah Syamsu
Syah. Sejak itu pula Syamsu Syah menjadi raja (Mohammad Said,
2007: 137).

Abdullah Al-Malik Al-Mubin

Sultan Inayat Syah

Sultan Salathin Alauddin Ri’ayat Sultan Muzaffar Syah Raja Sultan Syamsu Syah,
Syah (Poteu Meureuhom Daya), Meukuta Alam, wafat tahun makamnya dikenal dengan
wafat 7 Rajab 913 H./12 Nov. 902 H./1497 M.. nama Kubeu Poteu
1508 M.. Meureuhom, wafat 14
Muharram 937 H./ 7 Sept.
1530 M..

Raja Ibrahim, makamnya di Kuta Sultan Ali Mughayat Syah, sulthan


Alam, wafat 21 Muharram 930 H./ Aceh ke-1 (919 H.-936 H.), wafat 12
Zulhijjah 936 H./7 Agust. 1536 M..
30 Nov. 1523 M..

Gambar 7. Skema keturunan Poteumeureuhom.

8
3

ASAL MULA KERAJAAN DAYA

K erajaan Daya, sebelum ditaklukan, terkenal dengan


Kerajaan Indra Jaya. Dalam sejarah, seperti ditulis oleh
HM. Zainuddin bahwa abad ke-11 Masehi Negeri Indra Jaya
kedatangan serombongan bangsawan dari Samudera Pasai
yaitu rombongan, Datuk Paghu Putra Maha Raja Bakoi Ahmad
Permala Syah yang berkuasa di Samudera Pasai tahun 801-831
M. Datuk Paghu dianugerahi 3 (tiga) orang putra. Pertama.
Johan Pahlawan (Syeh Johan). Kedua. Datuk Pahlawan Syah.
Ketiga. Muda Perkasa. Mereka berdomisili dan membuka desa-
desa untuk dijadikan negeri
baru. Setelah pekerjaan itu
selesai maka dibagikanlah
desa-desa itu kepada 3 (tiga)
putranya itu. Masing-masing:
1. Kuala Daya meliputi
Lambeusoe diberikan
kuasa kepada Johan
Pahlawan (Syeh Jo- Gambar 8. Lampu tujuh sumbu yang
terkenal dengan lampu Poeteumeureuhom.
han). 

9
Gambar 9. Perkebunan Lada di Aceh yang pernah menjadi salah satu komoditi
unggulan yang paling diminati oleh bangsa Eropa dalam sejarah.

2. Keuluang diberikan kuasa kepada Datuk Pahlawan Syah. 


3. Lamno diberikan kuasa kepada Datuk Paghu yang dibantu
oleh putra bungsunya yaitu Muda Perkasa.
Kegigihan dan ketekunan ketiga anak Datuk itu telah
mampu merubah wajah wilayah tersebut menjadi subur
dan makmur, terutama dalam menghasilkan pertanian dan
perkebunan. Misalnya. Keuluang yang pada saat itu sudah
dikenal sebagai wilayah penghasil lada. Penghasilan lada yang
tergolong besar membuat kawasan itu menjadi pusat perhatian
Portugis untuk tujuan dagang. Sejarah itu diperkirakan terjadi
pertengahan abad ke-13 M. Setelah beberapa lamanya Portugis

10
menjalin hubungan dengan Keuluang maka Portugis tidak lagi
semata-mata murni berdagang. Tapi, mereka memiliki tujuan
lain yaitu hendak menyusup pengaruh terhadap Kerajaan
Keuluang. Akibat pengaruh itu, menurut sejarah, tingkah laku
Pahlawan Syah sebagai Raja Keuluang berubah. Ia lebih besar
mencurahkan perhatian kepada Portugis. Bahkan dia sendiri
telah memposisikan diri sebagai Portugis.

Gambar 10. Lada hitam dan putih, pernah menjadi salah satu pendapatan
negara terbesar dalam sejarah Aceh.

11
Gambar 11. Bupati Aceh Jaya, Ir. Azhar Abdurrahman, bersama Wali Nanggroe
Aceh, keturunan Raja Daya dan pengawal raja, saat upacara Seumeuleung berlang-
sung di Kuala Daya, Aceh Jaya.

Besar kemungkinan waktu itu Portugis berpeluang


melakukan asimisasi budaya melalui jalur perkawinan dengan
penduduk pribumi. Walaupun sejarah telah berselang masa
ratusan tahun silam namun pengaruh perkawinan itu masih
dapat dibuktikan hingga hari ini. Masyarakat Lamno menyimpan
banyak keunikan yang berbeda dengan masyarakat Aceh pada
umumnya. Keunikan itu dapat diamati dari tingkah laku, alat
budaya yang dipakai dan adat istiadat yang sering dipraktikkan.
Selain itu, mereka memiliki dialek bahasa yang unik dan juga
memiliki fostur tubuh, sekilas kelihatannya mereka adalah
Partugis.

12
4

LAMNO

A da anekdot rakyat yang berkembang seputar Lamno. Dulu


katanya, di wilayah itu pernah didatangi 2 (dua) orang
asing. Yang satu orang Arab dan yang satu lagi adalah Barat.
Kedua mereka tidak dapat berkomunikasi baik karena berbeda
bahasa, tapi terlihat akrab dan saling berteman. Tiba-tiba di
antara mereka terjadi perbedaan pendapat. Yang Arab berkata,
“Lam”, dan yang Barat berkata, “No.” Maka bila digabungkan
kedua kata itu menjadi Lamno. Jika benar, itulah nama Lamno
yang diabadikan sejarah menjadi sebuah nama kawasan di Aceh
Jaya hingga hari ini.
Benar ataukah salah anekdot itu tidak begitu penting untuk
dilanjutkan. Tapi, Lamno menjadi penting dikarenakan wilayah
itu dan sekitarnya menjadi salah satu obyek penelitian sejarah.
HM. Zainuddin dalam karyanya, “Tarich Aceh dan Nusantara”
menerangkan berdasarkan informasi yang ia himpun dari
Uleebalang Lamno, Teuku Durahman kepada Belanda tahun
1917 M.. Ketika Belanda menanyakan kepadanya asal-usul negeri
Daya kemudian dimuat dalam sebuah laporan berikut: “Sebelum

13
Kerajaan Daya berdiri, ada 2
(dua) orang raja memerintah,
seorang di Kluang bernama
Raja Pahlawan Syah dan
seorang lagi di Lamno
bernama Datuk Pagu. Mereka
berdualah penduduk pertama
Daya. Masa itu, datanglah
Poteumeureuhom dari Pedir
Gambar 12. Khas masyarakat Lamno, Aceh Jaya.
melalui Sungai Daya, lalu
ke Gapa. Dari situ Poteumeureuhom meneruskan perjalanan
ke gampong Lam Deurian. Masa itu galah perahu tertancap
terus di tanah. Sejak hari itu hingga sekarang ini tempat itu
dikenal dengan, Trienggalah. Dari penjelasan itu menandakan
bahwa perjalanan Poteumeureuhom dari Gapa ke Lam Deurian
melalui sungai, rakit atau perahu. Galah (alat dayung rakit) yang
tertancap di tanah seperti dikisahkan itu menjadi bukti sejarah
perjalanannya ke Lamno kawasan Daya.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, bambu yang
pernah ditancapkan oleh Poteumeureuhom hingga tumbuh
di sana pantang diambil baik untuk membuat rumah apalagi
untuk kandang kerbau. Sebab, kalau juga diambil maka rumah
atau kandang yang dibuat itu diyakini akan terbakar. Namun,
bambu yang bekas tongkat (galah) Poteumeureuhom itu hanya
diizinkan untuk membangun Meunasah atau Mesjid.

14
Beberapa hari kemudian, sejak Poteumeureuhom tiba di
Lamno, menurut riwayat, Datuk Pagu datang menyerahkan diri
dan mau menyatakan Islam dengan catatan jangan dulu diberi-
tahu kepada saudaranya, Pahlawan Syah. Poteumeureuhom ber-
sama Datuk Pagu dalam riwayat terus melanjutkan perjalanan
mereka hingga ke Kuala Daya. Setibanya di sana Datuk Pagu
meminta izin untuk kembali ke desanya. Sementara Poteumeu-
reuhom melanjutkan perjalanannya ke Gampong Mukhan dan
ke Gampong Nusa. Asal kata Nusa sendiri, menurut riwayat,
berkisar (kisa atau Gisa). Seterusnya perjalanan dilanjutkan ke
Glee Jong. Di sini Poteumeureuhom membangun kota perta-
hanan hingga akhirnya tempat tersebut dikenal dengan sebutan
Lam Kuta.
Mendengar Po-
teumeureuhom telah
membuat kota per-
tahanan di Lam Kuta,
Pahlawan Syah gusar,
marah dan menyerang.
Tapi, serangan itu
segera dapat dipatah-
kan oleh Poteumeu-
reuhom. Akhirnya.
Pahlawan Syah kalah
Gambar 13. Jamaluddin (Bang Puteh), salah seorang
dan melarikan diri warga Kuala, Lambeusoe, Lamno Aceh Jaya.

15
Gambar 14. Glee Kapai (Glee Kapai Lem Huda Nai), terletak di desa Kuala,
Lambeuso (Lamno), Aceh Jaya, yang menyimpan legenda sejarah zaman batu.

ke Ansu Panaih. Dan, dalam satu riwayat ia meninggal di sana.


Tapi ada juga yang meriwayatkan bahwa sebelum meninggal ia
sempat mengucap kalimah syahadat (masuk Islam) di hadapan
Poteumeureuhom. Di kaki bukit itulah ia meninggal. Kemudian
bukit tersebut dikenal dengan Glee Syuruga. Sepeninggal Pahla-
wan Syah Poeteumeureuhom mengangkat seorang waris Pahla-
wan Syah menjadi raja Kluang. Sementara Datuk Pagu tetap
menjadi Raja Lamno.
Seorang peneliti batu nisan bernama Suwandi Montana
menulis, Pahlawan Syah musuh dari Meureuhom Daya karena
mulanya ia menolak masuk Islam. Pahlawan Syah disebut juga
dengan sebutan Datuk Pegu, atau Husein. Cerita itu sangat
berkembang di masyarakat. Pada nisan Pahlawan Syah terdapat
pertulisan/kaligrafi yang menyebutkan nama Husein serta angka
tahun kata, ” Tis’in wasab’u mi’ah” atau sembilan puluh dan tujuh
ratus (790 H./1388). Pada nisan tersebut juga terdapat medali yang
mirip dengan soleil de Majapahit (Suwedi Montana ,1997:90).

16
5

KRONIK PENAKLUKAN
INDRA JAYA

P enaklukan Indra Jaya oleh Kerajaan Daya, sebenarnya telah


pernah disinggung dalam buku, “Tarich Atjeh dan Nusantara”
oleh HM Zainuddin dan “Aceh Sepanjang Abad” oleh Mohammad
Said. Tapi, kelihatannya tulisan ini oleh penulis buku lebih banyak
merujuk pada cerita rakyat ketika melakukan penelitian sejarah
Daya. Boleh jadi sejarah itu memiliki pandangan yang berbeda
di antara para peneliti yang datang kemudian. Karena itu, kisah
penaklukan Daya atas Indra Jaya perlu diangkat berulang kali ke
hadapan sidang pembaca.
HM. Zainuddin dan Mohammad Said berpendapat, sebe-
narnya Negeri Daya itu dirintis oleh Raja Abdullah Malikul Mu-
bin, yakni ayah dari Inayat Syah dan kakek daripada Poteumeu-
reuhom. Awalnya ia bertujuan hendak menciptakan keamanan
dan menghalangi penjajahan Portugis di sebelah barat Aceh Be-
sar. Raja Abdullah Malikul Mubin waktu itu dalam usia tua tapi
keberadaannya masih sangat dibutuhkan pada pusat pemerin-
tahan Aceh dan Pidie. Karena Inayat Syah masih butuh nasehat-
nasehat beliau dalam menghadapi ancaman Portugis di wilayah

17
Gambar 15. Perisai dan pedang Aceh yang digunakan pada masa perang Aceh.

utara. Maka karena alasan itulah Raja Abdullah Malikul Mubin


bersedia meninggalkan Negeri Daya kembali ke Aceh dan Pidie.
Sultan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah yang waktu itu
berkedudukan di Kota Madat diberi tugas untuk pergi ke Negeri
Indra Jaya (Negeri Daya) bersama 300 bala tentaranya. Tugas
yang diberikan kepadanya adalah untuk menyatukan kembali
raja-raja di Negeri Indra Jaya, yang diadu domba oleh Portugis.
Di samping mengemban amanah penyatuan ia juga melakukan
dakwah Islam yang dalam riwayat kondisi pengamalan keislaman
masyarakat Indra Jaya waktu itu tidak lagi murni.
Menurut HM Zainuddin, sebelum sampai di Indra Jaya, Sul-
tan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah terlebih dahulu singgah di Pante
Cermen (Beureuha). Wilayah ini waktu itu dikuasai oleh Imuem

18
Beureuha dan Imuem Katong. Setelah kedua wilayah kekuasaan
Imeum ini dapat ditundukkan oleh Alaiddin maka ia dan pasu-
kannya bermukim selama 3 (tiga) musim panen di wilayah ini.
Ini dilakukannya untuk mempersiap-
kan perbekalan sebelum melancar-
kan serangan ke Indra Jaya. Setelah
tiga musim itu berlalu maka selanjut-
nya Alaiddin meneruskan perjalanan
dengan menggunakan rakit bambu
sebagai sarana transportasi untuk
melewati sungai. Zainuddin menye-
butkan, air sungai itu sangat deras
menuju kewilayah pesisir Negeri In-
dra Jaya.
Tatkala sampai di Lamno maka
terjadilah ketegangan antara Alaiddin
dan Datuk Paghu serta putranya
Muda Perkasa yang waktu itu
berkuasa wilayah ini. Ketengangan
itu tanpa berarti sehingga Sultan
Salatin Alaidin Ri’ayat Syah dengan
mudah dapat mengatasinya.
Akhirnya  Datuk Paghu bersama
Gambar 16. Rencong Aceh,
putranya Muda Perkasa takluk salah satu senjata andalan
masa perang Aceh.
kepada Alaiddin.

19
Setelah melewati
Lamno Alaiddin bersama
pasukannya melanjut-
kan perjalanan sampai
mendekati muara sun-
gai, dan beliau mendarat
di gampong Darat yang
waktu itu gampong ini
berada dalam kekuasaan
Raja Johan Pahlawan
(Syeh Johan) sebagai pen-
guasa Kuala Daya. Menu-
rut riwayat setibanya
Alaiddin di wilayah itu
tidak terjadi peperangan
karena persoalan dapat
diselesaikan dengan jalan
Gambar 17. Orang Aceh tempo dulu dengan diplomasi. Akhirnya, Raja
senjata khas di pinggang.
Kuala Daya ini pun tun-
duk di bawah kuasa Alaiddin.
Setelah melakukan penaklukan terhadap 2 (dua) wilayah
kekuasaan itu, posisi Alaiddin semakin kuat, dan ia bersama
pasukan melanjutkan perjalanan ke Keuluang yang pada saat
itu wilayah ini disokong Portugis. Dia mencoba membebaskan
Raja Keuluang dari pengaruh Portugis. Tapi sayang, pikiran

20
raja Keuluang (Datuk Pahlawan Syah) telah terlebih dahulu
dikuasai Portugis. Apalagi konon kabarnya ia telah memilih gaya
hidup seperti Portugis. Namun demikian, Alaiddin senantiasa
mengedepankan komunikasi dan diplomasi sebelum melakukan
penyerangan walau akhirnya diplomasi yang dibangun itu
menjadi sia-sia.
Setelah terjadi kebuntuan diplomasi maka jalan akhir yang
ditempuh oleh Alaiddin adalah melakukan penyerangan terhadap
kubu pertahanan Keuluang maka terjadilah pertempuran. Pada
gelombang pertama pertempuran itu, Kluang mendapat bantuan
Portugis. Portugis dengan segenap pasukannya mendukung
penuh angkatan perang Kluang. Namun, tatkala mereka melihat
pertahanan Kluang mulai melemah akibat dari pukulan pasukan
Sultan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah maka Portugis mulai ingkar
janji dan menarik diri. Akhirnya, Portugis melarikan diri
Keuluang kembali ke pangkalan besar di Goa. Sementara Raja
Keuluang, Datuk Pahlawan Syah gugur. Menurut ketarangan
sejarah, sebelum gugur ia sempai menyatakan diri masuk Islam
di hadapan sultan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah.
Sebelumnya pernah disinggung, walaupun Kluang harus
menerima kekalahan, namun Sultan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah
tetap memperioritaskan Kluang sebagai sebuah kerajaan. Sebagai
pengganti Pahlawan Syah maka Alaiddin mengangkat seorang
waris raja Johan Syah untuk mengatur kembali tata kerajaan
Kluang. Dan, ketentuan ini menurut riwayat juga berlaku bagi 2

21
Gambar 18. Peralatan perang Aceh yang kini masih tersimpan rapi
di Museum Bronbeek, Belanda.

(dua) wilayah sebelumnya yaitu Kuala Daya meliputi Lam Beusoe


(Johan Pahlawan) dan Lamno (Datuk Paghu dan putranya Muda
Perkasa).
Dengan demikian, setelah 3 (tiga) wilayah kekuasaan Indra
Jaya dapat ditaklukkan dan disatukan oleh Sultan Salathin
Alaidin Ri’ayat Syah maka mulai saat itu Dinasti Indra Jaya
Daya berganti nama dengan Negeri Daya atau Kerajaan Daya.
Kemudian setelah kerajaan ini berdiri, sebagai upaya peningkatan
sumber daya kerajaan maka dilakukanlah penaklukan secara
diplomasi oleh Alaiddin terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya
yang meliputi Kuala Unga, Glee Geurutee dan Krueng No.

22
6

SISTEM
PEMERINTAHAN DAYA

K erajaan Daya ibukotanya Lamkuta (Kuta Dalam). Wilayah


ini dijadikan pusat pemerintahan kerajaan Daya era
Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah. Dalam menjalankan roda
pemerintahan, Kerajaan Daya dalam sejarah dipimpin oleh
seorang raja, maka sistem pemerintahannya dilaksanakan secara
turun-temurun (monarki). Sistem monarki termasuk sistem
Negara kerajaan yang tertua dalam sejarah kerajaan dunia. Tentu
saja sistem ini berbeda dengan sistem pemerintahan presidesial
atau parlementer.
Pada sistem pemerintahan presidensial kepala negara
dan kepala pemerintahan adalah presiden. Masa jabatan
pemerintahan ditentukan dalam jangka waktu tertentu,
hak prerogatif eksekutif, hak prerogative, legislatif dan hak
pendapat menurut UUD/diberlakukan/dicabut oleh presiden
termasuk pengusulan/pengubah/pengganti/perbaikan UUD/
UU/peraturan bersama dengan legislatif harus mendapatkan
persetujuan presiden. Sementara pada sistem Negara
parlementer dimana kepala Negara adalah presiden dan kepada

23
Gambar 19. Peta Kabupaten Aceh Jaya.

pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri. Di sini perdana


menteri lebih besar peranan ketimbang presiden. Pada sistem
ini parlemen memilik hak untuk mengangkat perdana menteri
(kepala pemerintahan) dan juga punya hak memberhentikan
perdana menteri yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi
tidak percaya. Masa jabatan pada sistem ini tidak ditentukan
jangka waktu.
Telah disinggung sebelumnya bahwa setelah Sultan Salatin

24
Alaidin Ri’ayat Syah meleburkan
kerajaan Indra Jaya menjadi
kerajaan Daya maka kini Daya
bertambah kuat. Walaupun
nantinya ia membiarkan kembali
raja-raja yang pernah memipin
dinasti Indra Jaya dulu mengatur
kembali wilayah kekuasaan
mereka masing-masing. Tetapi
dalam bidang upeti (pajak)
maupun persoalan-persoalan
negara yang dianggap penting,
misalnya, itu harus tunduk
dan dilaksanakan atas perintah
dan persetujuan kerajaan Daya.
Misalnya, wilayah Kuala Daya
meliputi Lambeusoe tetap
dikuasai dan diperintahkan
oleh Johan Pahlawan atau Syeh
Johan, wilayah Negeri Kluang
Lamno tetap di kuasai dan Gambar 20. Bendera zaman Kerajaan
diperintahkan oleh waris dari Aceh Darussalam.

Datok Pahlawan Syah, wilayah


Negeri Lamno tetap dikuasai dan diperintahkan oleh Muda
Perkasa dan wilayah Negeri Unga diperintahkan oleh keturunan

25
Gambar 21. Bupati Aceh Jaya, Ir. Azhar Abdurrahman bersama Wali Nanggroe
Aceh, Malik Mahmud al-Haytar dan sejumlah tokoh Aceh Jaya memakai baju adat
Aceh, saat menghadiri upacara Seumeuleung di Kuala Daya, Aceh Jaya.

Meurah Pupok atau Teungku Disagob. Tetapi, dalam hal-hal


tertentu tetap tunduk kepada pusat pemerintahan Daya.
Adapun, dalam mengatur kestabilan dan kelancaran roda
pemerintahan Kerajaan Daya, Sultan Salatin Alaidin Ri’ayat
Syah telah menetapkan tugas menduduki jabatan pada lembaga
kerajan itu antara lain: Wazir merangkap Katibul Muluk, Hakim
Tinggi, Mufti Besar, Panglima, Menteri Negeri, Staf Sultan
dalam setiap sidang penting yaitu masing-masing dijabat oleh
raja Negeri.

26
7

KEMAJUAN KERAJAAN DAYA

M asa pemerintahan Sultan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah


dianggap telah mengukir sejarah kemajuan dalam
berbagai bidang. Sejarawan baik luar maupun dalam negeri
ketika membicarakan sejarah kesultanan Aceh sudah pasti
menyebut salah satu kerajaan penting di Aceh adalah daya. Ambil
Contoh. Dalam buku, Aceh Sepanjang Abad” karya Mohammad
Said dijelaskan, John Davis (seorang Kapten Inggeris yang
pernah mengunjungi Aceh) menulis bahwa waktu itu di Sumatra
terdapat empat kerajaan yitu Aceh, Pedir, Minangkabau dan Aru.
tiga kerajaan tersebut kemudian membayar upeti kepada Aceh.
Atas bantuan Johor, Aru telah bebas dari Aceh. Negeri-negeri
yang diperkenalkan kepada Davis waktu itu hanyalah Aceh,
Pedir, Pasem (Pasai), Daya dan Minangkabau (Mohammad Said,
2007: 190).
Kemudian sejarah juga menerangkan masa Sultan Salatin
Alaidin Ri’ayat Syah, rakyat Negeri Daya berada dalam
kemakmuran dan kesejahteraan. Sultan mampu mengembang

27
sektor perekonomian rakyat. Misalnya, mengembangkan usaha
pertanian; membangun irigasi, percetakan sawah baru dan
membuka usaha-usaha perkebunan dengan memfasilitasi modal
usaha yang cukup kepada rakyatnya di sektor perkebunan.
Sebagian program ini, menurut riwayat, telah dirintisnya sejak
baginda mendarat di Beureuha sebelumnya.
Di samping pengembangan bidang pertanian seperti
tersebut di atas, hal lain yang dilakukan sultan adalah berusaha
menumbuh kembangkan sikap solidaritas masyarakat di Negeri
Daya, mendidik generasi muda sebagai tentara dan tenaga pro-
fessional dalam rangka menjaga kedaulatan Negeri dan mendiri-
kan pondok pendidikan Islam rakyat (dayah) agar mereka dapat
kembali belajar mendalami ilmu-ilmu pengetahuan agama.

Gambar 22. Selain lada, kopi Aceh bagian yang paling digemari oleh
bangsa Eropa di masa lampau.

28
8
RAJA DAYA WAFAT

D i tengah kegemilangan itu, rakyat Negeri Daya kembali


berduka karena tepatnya pada 7 hari bulan Ra’jab 913
Hijriah baginda, Sultan Salatin Alaidin Ri’ayat Syah wafat, dan
dimakamkan di puncak bukit di Gampong Glee Jong yang sejak
saat itu diabadikan namanya yaitu Glee Kandang.

Gambar 23. Makam Raja Daya terlihat dari dalam.

29
Gambar 24. Para penziarah sedang berdoa di Makam Raja Daya.

Baginda meninggalkan 2 (dua) orang anak, yaitu Raja Unzir dan


Putri Nurul Huda atau Siti Hur.
Raja Unzir menggantikan posisi ayahnya memerintah Negeri
Daya dalam beberapa waktu  (hanya beberapa tahun saja),
sedangkan Putri Nurul Huda atau Siti Hur menikah dengan, Raja
Ali Mughayat Syah putra raja Aceh Darussalam, Sultan Syamsu
Syah yang berkuasa pada tahun 902-916 Hijriah.

30
9
DAYA MENJADI KERAJAAN
ACEH DARUSSALAM

S ejarah menyebutkan bahwa Sultan Syamsu Syah digantikan


oleh putranya, Sultan Ali Mughayat Syah yang berkuasa
pada tahun 916-936 M/ 1511-1530 M. Era pemerintahannya ini
senantiasa disibukkan oleh berbagai kegiatan untuk memerangi
rongrongan Portugis di hampir seluruh perairan wilayah kerajaan
Aceh. Sementara adiknya, Raja Ibrahim (Raja Muda) ditugaskan
ke wilayah Aru, guna membendung armada Portugis di bagian
pesisir timur wilayah kekuasaan kerajaan Aceh. Akhirnya, Raja
Ibrahim pun wafat di Aru pada tahun 930 H..
Sebagai penganti Raja Ibrahim untuk memimpin Aru maka
baginda Sultan Ali Mughayat Syah mengutus Raja Unzir. Akibatnya,
Kerajaan Daya kekosongan pemimpin. Untuk menaggulangi
kekosongan negeri itu maka sejak saat itulah kedaulatan Negeri
Daya menjadi kerajaan inti Aceh Darussalam dan begitu juga
halnya dengan Pidie. Kedua wilayah tersebut dipimpin dan
dikendalikan langsung oleh baginda, Sultan Ali Mughayat Syah.
Untuk Negeri Daya maka baginda, Sultan Ali Mughayat Syah
memutuskan Putri Nurul Huda atau Siti Hur istrinya sendiri

31
Gambar 25. Ilustrasi Istana Daruddunia Kerajaan Aceh Darussalam karya
Sayed Dahlan al-Habsyi.

menjalankan roda pemerintahan Daya. Tak lama kemudian


tepatnya pada bulan Jumadil Awal tahun 931 H/1526 M. Daya
kembali mendapat berita duka tentang wafatnya Raja Unzir di
Aru.
Setelah Raja Uzir wafat, menurut sejarah, baginda Sultan
Ali Mughayat Syah kembali mengukuhkan Putri Nurul Huda
(Siti Hur).” Maka sejak itu pula Putri Nurul Huda telah berkuasa
penuh atas Kerajaan Daya. Sejarah menyebutkan Putri Nurul
Huda mulai berkuasa penuh atas Daya sejak tahun 93-960
H/1530 – 1554 M.. Akhirnya, bertepatan hari Kamis tanggal 11
Muharram tahun 960 H/1554 M. Putri Nurul pun mangkat.
Diberitakan dalam sejarah bahwa setelah kemangkatan
Putri Nurul Huda, Negeri Daya mengalami kemunduran. Semua

32
Gambar 26. Salah satu bentuk mata uang yang pernah beredar di Kerajaan Aceh.

itu disebabkan jauhnya hubungan dengan pemerintahan pusat,


dan sering kali timbul peperangan antara empat raja di Negeri
Daya, karena memperebutkan pajak lada. Peperangan itu
diperkirakan terjadi selama kurun waktu 2 (dua) abad lamanya.
Menurut riwayat, Negeri Daya kembali mendapat perhatian
khusus setelah muncul Kerajaan Aceh Darussalam di bawah
pemerintahan keturunan Syarif Mekkah, yakni Sultan Jamalul
Alam Badrul Munir (Poteujamaloy).

33
Gambar 27. Makam Jamalul Alam Badrul Munir (Jamalullail) putra Sultan Badrul
Alam Syarif Hasyim Jamaluddin, keturunan Arab di jalan Mohammad Jam Banda
Aceh naik tahta 1703-1726 M.. Sultan inilah dalam sejarah yang menghidupkan
kembali tradisi Seumeuleung di Daya.

Gambar 28. Guci (tempat air) dan Cinu (gayung air dari tempurung kelapa)
terletak di depan pintu gerbang makam Raja Daya, Aceh Jaya.

34
10

TRADISI KERAJAAN
NEGERI DAYA

D alam menjalankan roda pemerintahan menurut sejarah,


Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1711–1735 M) kurang
disenangi oleh bawahannya dan pembesar kerajaan Aceh waktu
itu. Dia seorang raja yang kurang mendapatkan dukungan politik
untuk memperkuat posisinya dalam kerajaan. Karena itu baginda
sering melakukan lawatan ke wilayah-wilayah kerajaan kecil di
bawah kekuasaan kerajaan Aceh untuk mencari dukungan.
Dikisahkan jig dalam sejarah, bertepatan waktu itu pula
baginda Sultan Jamalul Alam Badrul Munir berkesempatan
melakukan lawatan ke Negeri Daya. Di tempat itu ia tidak
sekedar melakukan lawatan biasa, tapi juga menertibkan
sistem pemerintahan yang lama kelihatannya tidak terurus.
Dia mulai menghimpun semua tokoh-tokoh dan pemimpin-
pemimpin yang masih loyal (setia) kepada Daya. Kemudian
baginda membangkitkan kembali semangat negeri Daya dengan
mengeluarkan beberapa maklumat berikut:

35
Gambar 29. Tradisi Seumeuleung di Aceh Jaya.

1. Kedaulatan Raja-raja di Negeri Daya tetap berjalan seperti


mestinya. Hanya pajak usaha yang tetap disetor kepada Raja
Aceh.
2. Keturunan hakim tinggi pada masa Raja Daya ditunjuk
sebagai koordinator urusan kehakiman serta melakukan
perdamaian. Jika terjadi perselisihan di antara Raja-raja di
Negeri Daya.
3. Untuk mengenang jasa Raja Daya menetapkan upacara
agung yang diselenggarakan pada setiap 10 Zulhijjah seperti
yang telah menjadi rutinitas Raja Daya semasa hidup, yakni
upacara Seumuleng dan Peumeunab. Ini merupakan upacara
kenegaraan setiap tahunnya. Dan, ditentukan pula tata cara
pelaksanaannya serta badan pelaksana secara turun temurun.

36
11
PELENGKAPAN UPACARA

1. Sebidang tanah lapang sebagai alun-alun yang di tengahnya


dibangun, Balee Astaka di Raja. Balai ini dipakai sebagai tem-
pat pelaksanaan upacara. Dan, di sekelilingnya dipakai untuk
para pengunjung upacara.
2. Tidak jauh dari Balee Astaka di Raja dibangun Balee Peuniyoh.
Balai ini dipakai untuk para tamu dan pembesar Negeri yang
diundang untuk menyaksikan upacara.
3. Jauh sedikit dengan Astaka di Raja terdapat Balee Meunaroi
dan Jambo Dabeuh (Balai persiapan santapan hidangan
kenduri (makanan) dan tempat menyimpanan benda-benda
Poteumeureuhom sebelum dipakai dalam upacara.
4. Sebuah badan pelaksana yang dijabat secara turun temurun
yang terdiri dari pemuka-pemuka gampong Glee Jong dan
masyarakat sekitar.
5. Para pelaku upacara berlakon sebagai raja, Wazir, Khatib,
masing-masing 1 (satu) orang serta 2 (dua) orang Khadam
yang melayani Raja dan pembesar-pembesarnya.
6. Di sebelah kiri pentas di Raja duduk para pemimpin peut

37
sagoe Daya yaitu Teuku Alue Encek, Teuku Muda Kuala, Teuku
Datok Johan Syah Banda Meunaga (Kuala Daya), Teuku
Datok Perkasa Lamno, dan Keturunan Datok Pahlawan Syah
Keuluang.
7. Pelaksana qurban dilaksanakan oleh pejabat gampong (desa)
Meunaga (Glee Jong).
Adapun tata tertib upacara, Seumuleng dan Peumeunab yang
merupakan upacara kenegaraan, dilaksanakan sebagai berikut:
1. Raja memasuki Balee Rung (Astaka) dengan diiringi Wazir
serta pembantunya yang dikawal oleh panglima.
2. Semua hadirin berdiri menyambut kedatangan Raja dengan
meneriakkan “Daulad Tuanku.”
3. Raja mengambil tempat dan dua Khadam duduk mengipas
raja.
4. Acara pembukaan oleh Wazir dan mempersilahkan raja
untuk menyampaikan amanat kepada rakyatnya dan kepada
para hadirin.
5. Pembacaan Do’a atau Khatam Payang yang dibacakan oleh
Mufti Besar Negeri Daya atau Mahdum Syah Babah Dua, atau
oleh Petua Mahkamah Agama Rantoe XII Keuluang Teunom
yaitu Teungku Chik Rumpet (Sumber: Nuri Angkasa: 1980).

Untuk catatan bahwa upacara Seumuleng di atas telah


dilaksanakan secara turun temurun dengan megah oleh
keturunan Poteumeureuhom. Upacara ini telah dihadiri oleh

38
Gambar 30. Suasana kemeriahan upacara Seumeuleung di kompleks makam
Raja Daya, Aceh Jaya.

ribuan pengunjung baik dalam maupun luar negeri. Di samping


pelestarian nilai-nilai kearifan sebagai khazanah kekayaan,
tradisi ini bertujuan mengenang era kejayaan kerajaan Daya
sebagai salah satu kerajaan berpengaruh di Aceh di masa silam.

39
DINASTI MEUKUTA ALAM DINASTI DARUL KAMAL

Munawar Syah (raja Meukuta Alam Inayat Syah (raja Darul Kamal
pertama) Dalam Hikayat Aceh pertama) 1480-1490 M.
dinamakan Muzaffar Syah

Muzaffar Syah (nama yg disebut dlm


Syamsu Syah (w. 7 September 1530)
Hikayat Aceh)

Firman Syah
I. Ali Mughayat Syah Sultan Ibrahim
(w. 7 Agustus 1530)
X. ‘Alauddin Ri’ayat Syah
Sayyidil Mukammil (1589-
1604)
II. Sultan III. Sultan Alauddin
Salahuddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar
(kira-kira 1539-28
Sept. 1571)

Raja Putri Maharaja XI. Sultan Sultan Husein Abangta


Diraja (w. Muda Ali Syah (wakil Upah (w.
Muda) Ri’ayat Syah Raja Aceh di di Johor)
(1604-1607) Pidie)

Sultan Sultan IV. Sultan VI. Sultan Sultan


Mughul (raja Abdullah Husein Ali Sri ‘Alam Abdul Djalil
Pariaman) (raja Aru) Ri’ayat Syah (1579)
(1571-8 Juni
1579)
Putri Indra Wangsa
Sultan Mansyur
VII. sultan anak dari Sultan
Syah (gugur dalam
Zainal Abidin V. Sultan
pengepungan Alauddin Riayat Syah,
(1579) Muda (1579)
Ghuri) Sultan Aceh ke-10

XII. Iskandar Muda (1607-1636)

XIV. Sultan Putri Tajul ‘Alam


Safiatuddin Syah (1641-1675)

Gambar 31. Silsilah keturunan Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda yang
bersumber dari Denys Lombard.

40
Gambar 32. Makam Kandang XII di Banda Aceh. Di komplek inilah sebagian besar
raja-raja Aceh dimakamkan termasuk Sultan Ali Mughayat Syah (pendiri kerajaan
Aceh Darussalam). Dalam kaitan dengan sejarah Daya Sultan Ali ini penah kawin
dengan putri Raja Daya, yakni Siti Hur (Putri Nurul Huda).

Gambar 33. Singgasana peninggalan sejarah Kesultanan Aceh.

41
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

A. Hasjmy. 1976. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah


Kepemimpinan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang.
------------. 1983. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Jakarta:
Beuna.
HM. Zainuddin. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Cetakan
pertama. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Mohammad Said. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Jil. 1. Banda
Aceh: Pemerintah Aceh.
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi. 1989. “Proses Islamisasi
dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” dalam A.
Hasjmy (ed.) Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif.
Muliadi Kurdi. 2009. Aceh di Mata Sejarawan: Rekonstruksi
Sejarah Sosial Budaya. Cet. 1. Banda Aceh: LKAS.
Nuruddin Ar-Raniry. 1966. Bustanul Salathin, bab 2 pasal 13
disusun oleh Dr. T. Iskandar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Raden Hoesein Djadjadininggrat. 1982. Kesultanan Aceh.

42
Banda Aceh. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Suwedi Montana. 1996/1997. Pandangan Lain Tentang
Letak Lamuri Dan Barat (Batu Nisan Abad Ke VII –
VIII Hijriyah di Lamreh dan Lamno, Aceh), dalam
Kebudayaan No 12 th VI. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Teuku Iskandar. 1966. Kesusastraan Klasik Melayu
Sepanjang Abad.
William Marsden. 2013. The History of Sumatra, terj. Tim
Komunitas Bambu, “Sejarah Sumatra” cet. 1. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Zakaria Ahmad. 1972. Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam tahun
1520-1675. Medan: Monora.

INTERNET
http://acehprov.go.id
http://acehpedia.org
http://id.wikipedia.org
http://seuramoe.acehprov.go.id
www.atjehcyber.net
www.melayuonline.com

43
Biografi Singkat Penulis

MULIADI KURDI. Peneliti dan penulis.


Penelitian dan tulisannya mencakup ilmu-
ilmu keislaman dan kemasyarakatan.
Bersama anda hari ini, telah hadir salah
satu karya di antara karya-karya penulis
yang diberi judul, Kerajaan Daya Sebuah
Kerajaan Berpengaruh di Aceh. Buku
ini menerangkan tentang sejarah dan
perjuangan Teuku Umar dalam upaya
mengangkat harkat-martabat Aceh dan
Nusantara. Penulis lahir di Lamno, Aceh
Jaya, 15 Oktober 1972. Saat ini bekerja
sebagai Dosen Hukum Islam Pada Fakultas
Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

44

Anda mungkin juga menyukai