Anda di halaman 1dari 23

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM

DI NUSANTARA

ALBERTO Y. T. PAYONG
X MIPA 1
Kata Pengantar

Puji syukur patut kita panjatkan kehadirat Tuhan karena hanya berkat dan
anugerahNya sajalah makalah ini dapat hadir di tangan anda.
Sejarah merupakan peristiwa penting yang terjadi pada masa lalu. Sebagai seorang
manusia, hidup kita tak pernah lepas dari kata ‘sejarah’. Sejarah adalah memiliki
kesinambungan antara masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Masa Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara merupakan masa yang tak dapat
dilepaskan bagi perkembangan Nusantara. Kita patut bersyukur, karena sejarah kita
begitu kaya dan beragam.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua orang, yang dengan caranya masing-
masing dapat membantu saya dalam membuat makalah ini. Terlepas dari semuanya,
saya berharap agar makalah ini dapat membantu kita dalam proses belajar mengajar
kedepannya.
Akhir kata, selamat membaca.
Salam Jas Merah.

Lembata, Mei 2021


Penulis
Bab 1
Pembuka

A. Latar Belakang
Sejarah merupakan hal yang tak terpisahkan dari manusia. Manusia selalu
berhubungan dengan sejarah. Masa Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
merupakan bagian dari sejarah. Masa ini memiliki dampak bagi keberadaan
bangsa Indonesia saat ini. Dari kerajaan-kerajaan ini pulalah agama dan
kebudayaan Islam dapat masuk dan menyebar di Nusantara hingga menjadi
agama mayoritas di Indonesia sekarang.

B. Tujuan
Tujuan dari hadirnya makalah ini adalah untuk mengetahui kerajaan-kerajaan
Islam yang pernah ada di Nusantara.
Bab 2
Pembahasan

A. Kerajaan Islam di Sumatera.


1. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Pantai Utara Aceh, di muara
Sungai Pasangan (Pasai). Di Muara sungai itu terletak dua kota, yaitu
Samudera (agak jauh dari laut) dan Pasai (kota pesisir). Kerajaan Islam
Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan yang
ramai dan pusat studi Islam. Pedagang dari India, Benggala, Gujarat,
Arab, Cina serta, daerah di sekitarnya banyak berdatangan ke Samudera
Pasai.

Gambar 1.1 kerajaan Samudera Pasai

Berikut ini adalah urutan raja yang memerintah di Samudera Pasai :


a. Sultan Malik as Saleh (Malikulsaleh)
b. Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326.
c. Sultan Muhammad, wafat tahun 1354.
d. Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal
tahun 1383
e. Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405.
f. Sulatanah Bahiah (Puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada
tahun 1428.
Negara Mesir pada saat itu sedang terjadi pergantian kekuasaan dari
Dinasti Fatimah yang beraliran Syiah diganti Dinasti Mameluk yang
beraliran Syafi’i. Aliran Syafi’i dalam perkembangannya di Pasai
menyesuaikan dengan adat istiadat setempat sehingga kehidupan sosial
masyarakatnya merupakan campuran Islam dengan adat istiadat
setempat. Kerajaan Samudera Pasai mengalami perkembangan yang
pesat karena didukung oleh hal-hal berikut ini.
a. Letak kerajaan yang strategis.
b. Pelabuhannya memenuhi persyaratan sebagai pelabuhan yang
baik.
c. Menjadi pelabuhan transit tempat bongkar muat barang
dagangan.

2. Kerajaan Aceh Darussalam


Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus pendiri Kerajaan
Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Ia melakukan
usaha perluasan wilayah ke pedalaman, menyerang Portugis di Malaka,
dan menyerang Kerajaan Aru. Pengganti Ali Mughayat Syah adalah

Sultan Salahuddin (1528-1547). Masa pemerintahannya tidak ada


perkembangan sama sekali di Aceh. Pengganti Sultan Hasanudin adalah
saudara laki-lakinya, yaitu Alaudin Riayat Syah Kahar (1537-1568). Raja
ini melanjutkan usaha ayahnya dengan meluaskan wilayah, menguasai
Kerajaan Aru, dan menyerang Malaka meskipun gagal. Setelah
pemerintahannya, Kerajaan Aceh banyak mengalami perebutan
kekuasaan. Sampai akhirnya Sultan Iskandar Muda berhasil menjadi
Sultan di Aceh.

gambar 1.2 Kerajaan Aceh Darussalam

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, kerajaan Aceh


mencapai puncak kejayaan dan mengalami perkembangan yang pesat.
Kerajaan Aceh berhasil menyaingi monopoli Portugis di Malaka. Wilayah
kekuasaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda sampai ke daerah-
daerah di Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Struktur
pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam pada masa itu terbagi menjadi
dua wilayah, yaitu kekuasaan oleh kaum bangsawan dan kekuasaan
oleh alim ulama. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kemunduran Kerajaan Aceh, antara lain sebagai berikut.
a. Kekalahan perang Aceh melawan Portugis di Malaka pada tahun
1629.
b. Raja-raja pengganti Sultan Iskandar Muda tidak secakap
pendahulunya.
c. Permusuhan antara penganut Syamsudin as Sumaterani dan
penganut ajaran Naruddin Ar Raniri.
d. Banyak daerah yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat Aceh.
e. Pertahanan Aceh lemah sehingga perekonomian Aceh juga menjadi
lemah.

3. Kesultanan Jambi
Kesultanan Jambi adalah Kerajaan Islam yang berkedudukan di
Provinsi Jambi. Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan
kerajaan-kerajaan lain di Minangkabau, seperti Siguntur dan Lima Kota
di utara. Di selatan, kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan
Palembang.
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar Sultan. Kediaman
Sultan Jambi berada di Dusun Tengah, Kabupaten Batanghari. Raja ini
dipilih dari empat perwakilan (suku), yaitu suku Keraton, Kedipan,
Perban, dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja, keempat suku
tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalannya roda
pemerintahan sehari-hari. Dalam menjalankan pemerintahan, pangeran
ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasehat yang anggotanya
berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu
dan mewakili negara di dunia luar.

Gambar 1.3 Kesultanan Jambi

Berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di


wilayah itu. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di
Sumatera setelah Aceh. Tahun 1670 kerajaan ini sebanding dengan
tetangga-tetangganya, seperti Johor dan Palembang. Namun, kejayaan
Jambi tidak berumur panjang. Pada 1680-an Jambi kehilangan
kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah perang dengan Johor
dan konflik internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha,
Sultan yang terkahir, menyerah kepada Belanda. Akibatnya, Jambi
digabungkan dengan Keresidenan Palembang. Tahun 1906 Kesultanan
Jambi resmi dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

4. Kesultanan Palembang
Kesultanan Palembang berdiri sekitar abad ke-15 M. Palembang pada
awalnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Pendiri
Kerajaan Islam Palembang adalah putra dari Prabu Brawijaya dan Sri
Kertabumi, yang bernama Raden Fatah. Setelah Majapahit runtuh,
Palembang berada di bawah Kerajaan Demak dan Pajang, kemudian
berada di bawah Kerajaan Mataram selama 71 tahun. Penguasa Demak
di Palembang adalah Pangeran Sedo Ing Lautan, keturunan Raden
Fatah. Pangeran Sedo Ing Lautan wafat di Jawa saat mengantarkan
upeti ke Demak.
Ketika pertikaian antara Demak dan Pajang terjadi, rombongan
berjumlah 24 orang meninggalkan tanah Jawa. Kepala rombongan
tersebut adalah Kiai Gedeh Ing Suro. Beliau adalah putra dari Pangeran
Sedo Ing Lautan. Kiai Gedeh Ing Suro Tuo tidak mempunyai anak.
Saudarinya, Nyai Gedeh Ilir, mempunyai seorang Putra yang bernama
Kiai Mas Anom Adipati Ing Suro, yang biasa disebut Kiai Gedeh Ing Suro
Mudo.
Penguasa Demak di Palembang berjumlah 4 orang yaitu :
a. Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552)
b. Kiai Gedeh Ing Suro Tuo (1552-1573)
c. Kiai Gedeh Ing Suro Mudo (1573-1590)
d. Kiai Mas Adipati (1590-1595)
Sementara itu, Penguasa Mataram di Palembang berjumlah 6 orang :
a. Pangeran Madi Ing Angkoso (1595-1630)
b. Pangeran Madu Ali (1629-1633)
c. Pangeran Sedo Ing Puro (1630-1639)
d. Pangeran Sedo Ing Kenanyan (1639-1650)
e. Pangeran Sedo Ing Pasarean (1651-1652)
f. Pengaran Sedo Ing Rajek (1652-1659)
Pada masa pemerintahan Pangeran Ario Kesumo, Palembang
memutuskan hubungan dengan Mataram. Pangeran Ario Kesumo
mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam. Sebagai Sultan
pertama, beliau bergelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin
Sayyidul Iman, yang memerintah dari tahun 1659-1706. Pengganti raja
selanjutnya adalah sebagai berikut.
a. Sultan Muhammad Mansur Jayo Ing Lago (1706-1714)
b. Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714-1724)
c. Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wirokramo (1724-1758)
d. Sultan Ahmad Najamuddin I (1758-1776)
e. Sultan Muhammad Bahaudin (1776-1803)
f. Sultan Badaruddin II (1803-1821)
Baru sewindu memegang tampuk pemerintahan, datanglah Inggris
menyerbu Palembang (1811). Sultan Mahmud Badaruddin II hijrah ke
pedalaman meneruskan perang gerilya, setelah mewakilkan
pemerintahan kesultanan kepada adiknya, Pangeran Adipati, dengan
gelar Sultan Mudo. Inggris mengakuinya sebagai raja Palembang dengan
gelar Sultan Ahmad Najamuddin II, memerintah dari tahun 1812-1813.
Pada 1813, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke Palembang.
Beliau memegang tampuk pemerintahan kesultanan pada 1813-1821.
Saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin II menobatkan putra sulungnya
menjadi raja dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu
(1819-1821), kemudian Sultan Mahmud Badaruddin bergelar susuhan.
Setelah Sultan Ahmad Badaruddin II diasingkan (1821), beliau
digantikan putra sulung Sultan Ahmad Najamuddin II yang bernama
Raden Ahmad, dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom
(1821-1823).
Sultan ini juga melakukan perlawanan terhadap Belanda. Beliau
ditangkap, kemudian dibuang ke Banda, lalu ke Manado. Sampai saat
ini, makamnya belum ditemukan. Dengan adanya perlawanan para
Sultan Palembang terhadap Belanda, tahun 1825 Belanda
membubarkan Kesultanan Palembang Darussalam.
Gambar 1.4 Kesultanan Palembang

B. Kerajaan Islam di Jawa


1. Kerajaan Demak

Kerajaan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.


Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah. Raden Patah pernah
mengirimkan pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka. Serangan
dipimpin oleh putra raja sendiri yaitu Dipati Unus. Dipati Unus diberi
gelar “Pangeran Sabrang Lor”, artinya pangeran yang memimpin
penyebrangan (serangan) ke utara. Pada 1518, Raden Patah meninggal
dan digantikan oleh Dipati Unus.
Masa pemerintahan Dipati Unus sangat pendek, yaitu tahun 1518-
1521. Dipati Unus meninggal tahun 1521. Beliau digantikan oleh Sultan
Trenggono, yang memerintah tahun 1521-1546. Sultan Trenggono
melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah kerajaan Hindu yang

mengadakan hubungan dengan Portugis, seperti Sunda Kelapa dan


Blambangan.

Gambar 2.1 Kerajaan Demak


Pada 1526, kerajaan Demak menyerang Sunda Kelapa yang dikuasai
oleh Portugis. Serangan dipimpin oleh Fatahilah. Nama Sunda Kelapa
kemudian diganti menjadi Jayakarta, yang berarti kemenangan abadi.
Kerajaan Demak saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono. Namun,
setelah wafatnya Sultan Trenggono timbul konflik perebutan kekuasaan
antarsaudara. Pengganti Sultan Trenggono, Pangeran Sido Lapen, yang
merupakan saudara Sultan Trenggono dibunuh oleh Pangeran Prawoto
yang merupakan saudaranya. Selanjutnya, anak dari Pangeran Sido
Lapen, Arya Penangsang, membunuh Pangeran Prawoto dan mengambil
alih kekuasaan. Tidak hanya berhenti di situ, Arya Panangsang akhirnya
dibunuh oleh anak angkat Joko Tingkir, yaitu Sutawijaya. Pada
akhirnya, tahun 1568 tahta kerajaan Demak jatuh ke Joko Tingkir.
Ibukota Demak dipindahkan ke Pajang.

2. Kerajaan Mataram Islam


Kerajaan Mataram Islam berawal dari sebuah kadipaten di bawah
kekuasaan Kerajaan Pajang. Kadipaten ini yang berada di Bumi
Mentaok, diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh Raja Pajang, Jaka
Tingkir, sebagai hadiah atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang. Ki
Ageng Pemanahan memiliki seorang anak yang bernama Sutawijaya.
Sutawijaya merupakan orang yang membunuh Arya Penangsang. Ia
kemudian diangkat menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir)
dan dijadikan saudara dengan putra mahkota, yaitu pangeran Benawa.
Pada 1575, Ki Ageng Pemanahan wafat. Raja Pajang kemudian
mengangkat Sutawijaya menjadi Bupati Mataram menggantikan
ayahnya. Di bawah kepemimpinannya Mataram berkembang pesat.
Mataram mencapai masa kejayaan saat dipimpin oleh Mas Rangsang
yang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusmo. Beliau lebih dikenal
dengan nama Sultan Agung. Sultan Agung dikenal sebagai pribadi yang
ulet, kuat, dan berani. Beliau mempunyai cita-cita menyatukan Pulau
Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pada 1615, sultan Agung memulai
ekspedisinya dengan menyerang pada bupati di daerah pesisir utara
yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Mataram.

Gambar 2.2 Kerajaan Mataram Islam

Hal-hal penting yang dicapai oleh Sultan Agung adalah sebagai


berikut.
a. Mempersatukan tanah Jawa dan Madura (kecuali Batavia dan
Banten), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
b. Mempertahankan Mataram sebagai negara agraris.
c. Mengadakan ekspansi secara besar-besaran hingga mampu
menguasai daerah-daerah di sepanjang Pantai Utara Jawa dan
Mempu menyerang VOC di Batavia dua kali (1628 dan 1629), tetapi
gagal.
d. Mengubah perhitungan tahun Jawa dari Hindi (Saka) ke Islam
(hijrah).
e. Menulis kitab Sastra Gending, Kitab Mutu Sruti, dan Kitab Niti Sastra
Asthabrata, yang berisi ajaran tabiat baik bersumber pada kitab
Ramayana.
f. Mengadakan upacara Gebreg Maulud dan Gebreg Syawal.

3. Kesultanan Banten
Kesultanan Banten merupakan Kerajaan Islam yang terletak di
provinsi Banten. Awalnya, Kesultanan Banten berada di bawah
kekuasaan Demak. Namun, Kesultanan Banten berhasil melepaskan diri
ketika Kerajaan Demak mengakmi kemunduran. Pemimpin Kesultanan
Banten pertama adalah Sultan Hasanuddin, memerintah tahun 1522-
1570. Sultan Hasanuddin berhasil membuat Banten sebagai pusat
perdagangan dengan memperluas sampai ke daerah Lampung, sebagai
penghasil lada di Sumatera Selatan. Tahun 1570 Sultan Hasanuddin
meninggal, kemudian dilanjutkan anaknya, Maulana Yusuf (1570-1580),
yang berhasil menaklukkan Kerajaan Pajajaran tahun 1579. Setelah itu,
dilanjutkan oleh Maulana Muhammad (1585-1596) yang meninggal
akibat penaklukan Palembang sehingga tidak berhasil mempersempit
gerakan Portugis di Nusantara.
Kesultanan Banten mengalami kemunduran akibat perselisihan
antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya, Sultan Haji, atas dasar
perebutan kekuasaan. Situasi ini dimanfaatkan oleh VOC dengan
berpihak pada Sultan Haji. Sultan Ageng bersama dua putranya yang
lain, yaitu Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf, terpaksa mundur dan
pergi ke arah pedalaman Sunda. Tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditahan di Batavia. Selanjutnya,
tanggal 14 Desember 1683 Syekh Yusuf berhasil ditawan oleh VOC dan
pangeran Purbaya menyerahkan diri.

Gambar 2.3 Kesultanan Banten

Atas kemenangannya itu, Sultan Haji memberikan balasan kepada


VOC berupa penyerahan Lampung tahun 1682. Pada 22 Agustus 1682
terdapat surat perjanjian bahwa hak monopoli perdagangan lada di
Lampung jatuh ke tangan VOC. Sultan haji meninggal pada tahun 1687.
Setelah itu, VOC menguasai Banten hingga pengangkatan Sultan Banten
harus mendapat persetujuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Batavia.

4. Kesultanan Cirebon
Kerajaan Cirebon didirikan oleh Fatahilah. Beliau adalah seorang
penyebar agama Islam, ahli perang, politikus, dan dan negarawan yang
sebelumnya pernah mengabdi di Kerajaan Demak. Berkat kegigihannya,
agama Islam dapat menyebar ke sebagian besar wilayah Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Fatahillah, Cirebon menjalin hubungan baik
dengan Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan Mataram menghormati
Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang didirikan oleh Walisongo. Berkat
kecakapan Fatahilah, Cirebon berkembang menjadi kerajaan besar.
Daerah ibukota kerajaan dibangun jalan-jalan yang lebar, luas, dan
bersih. Pemerintah Fatahilah tidak berlangsung lama karena beliau lebih
menekuni bidang keagamaan. Fatahilah kemudian menyerahkan takhta
kerajaan kepada cucunya, yaitu Panembahan Ratu. Fatahillah lalu
menyingkir ke Gunung Jati, kemudian lebih dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati.

Gambar 2.4 Kesultanan Cirebon

Keberadaan Kesultanan Cirebon menjelang akhir abad ke-17


diwarnai dengan perjanjian VOC, antara lain perjanjian tanggal 7
Januari 1681. Melalui perjanjian tersebut, Kesultanan Cirebon mulai
dicampuri politik kolonial VOC. Ini merupakan babak baru bagi
kesultanan Cirebon, kesultanan terpecah menjadi tiga.
Para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah sebagai berikut.
a. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar
Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin.
b. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom
Abil Makarimi Muhammad Badrudin.
c. Pangeran Wangsekerta, sebagai Panembahan Cirebon, dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasrudin atau Panembahan
Tohpati.

C. Kerajaan Islam di Kalimantan


1. Kesultanan Pontianak
Kesultanan Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Al Qadrie
pada 23 Oktober 1772 bertepatan 12 Rajab 1185 Hijriyah, yakni pada
kekuasaan Van Der Carra (1761-1775). Kesultanan Pontianak
merupakan kesultanan termuda di Kalimantan Barat maupun di
kawasan Nusantara. Abdurrahman diberi gelar Syarif Abdurrahman Nur
Alam. Sebelumnya, di Sebukit Rama ia telah menikahi Utin Tjandramidi,
putri Opu Daeng Menambun.
Tanggal 8 bulan Sya’ban tahun 1192 H, Syarif Abdurrahman Al
Qadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak. Penobatannya sebagai
Sultan Pontianak dilakukan oleh Raja Haji dari Kerajaan Riau, dihadiri
para raja di Kalimantan Barat.
Kesultanan Pontianak dipimpin oleh tujuh Sultan :
a. Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie (1771-1808)
b. Sultan Syarif Kasim Al Qadrie (1808-1819)
c. Sultan Syarif Usman Al Qadrie (1819-1855)
d. Sultan Syarif Hamid Al Qadrie (1855-1872)
e. Sultan Syarif Yusuf Al Qadrie (1872-1895)
f. Sultan Syarif Muhammad Al Qadrie (1895-1944)
g. Sultan Syarif Hamid II Al Qadrie (1945-1960).
VOC datang ke Kalimantan Barat pada 1778. Hal ini mengganggu
kestabilan Kesultanan Pontianak. Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus
dihasut supaya menguasai kerajaan-kerajaan yang selama ini menjadi
sekutu Kesultanan Pontianak. Atas bantuan VOC, pada 1787 Kerajaan
Pontianak berhasil menguasai Kesultanan Tanjungpura dan Mempawah.
Tahun 1808, Syarif Idrus Abdurahman al-Alydrus meninggal. Terjadilah
perebutan kekuasaan antara kedua putranya, yaitu Syarif Kasim dan
Syarif Usman. Akhirnya, Syarif Kasim terpilih menjadi sultan Pontianak
akibat pengaruh VOC, walaupun sebenarnya ayah mereka sudah
menunjuk Syarif Usman Sebagai Sultan Pontianak.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim Al Qadrie (1808-1819),
Kesultanan Pontianak semakin bergantung pada pihak-pihak asing,
yaitu Belanda dan Inggris. Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25
Februari 1819, Syarif Usman Al Qadrie (1819-1855) naik takhta sebagai
sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak
kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan
meneruskan proyek pembangunan Jami’ pada 1821 dan perluasan
istana Qadriah pada 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif meletakkan
jabatannya sebagai Sultan dan kemudian wafat pada 1860.

Gambar 3.1 Kesultanan Pontianak


Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak
tahun 1771 hingga tahun 1950. Ketika kesultanan ini berakhir pada
1950, seiring dengan bergabungnya banyak daerah dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga
berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak.
Ketika Sultan Syarif Hamid II Al Qadrie memerintah antara tahun
1945 sampai 1950, banyak kontribusi yang diberikannya kepada
Indonesia antara lain sebagai berikut.
a. Sebagai ketua Bijeenkomst voor Federale Orvleg (BFO) atau Majelis
Musyawarah Negara Federal pada tahun 1948.
b. Ikut menyerahkan kedaulatan dan pengakuan kemerdekaan NKRI
dari pemerintah kolonial Belanda
c. Dalam pembentukan Negara Indonesia Serikat, Sultan Hamid II
ditunjuk sebagai anggota penyusunan kabinet
d. Dalam kabinet RIS pimpinan Muhammad Hatta, Sultan Hamid II
diangkat sebagai menteri negara Zonder Fortofolio.
e. Sultan Hamid II adalah perancang dan pembuat lambang negara
Republik Indonesia, yaitu Burung Garuda Pancasila.

2. Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam di Pulau Kalimantan,
tepatnya di Kalimantan Selatan. Kerajaan Banjar sudah muncul sejak
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu, yaitu Negara Dipa, Daha, dan
Kahuripan yang pusatnya di hulu Sungai Nagara. Kerajaan Dipa pernah
menjalin hubungan dengan Kerajaan Majapahit, sebagaimana tercatat
dalam Kitab Negarakertagama.
Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudera
minta bantuan Kerajaan Demak, sehingga mendapatkan kemenangan.
Sejak itulah Raja Samudera menjadi pemeluk Islam dengan gelar Sultan
Suryanullah dari kata Surya (matahari) dan Syah (raja). Sementara itu,
yang mengajarkan ajaran Islam kepada Raden Samudera, Patih, dan
rakyatnya adalah seorang penghulu Demak. Menurut sumber lain,
ternyata A.A Cense, Islamisasi terjadi tahun 1550. Sultan Suryanullah
meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai, Sukadana,
Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan.
Pada 1546 Sultan Suryanullah wafat dan digantikan oleh anak
tertuanya yaitu Sultan Rahmatullah. Sultan Rahmatullah digantikan
oleh putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pada tahun 1595
Raden Hidayatullah meninggal dan digantikan oleh Sultan Marhum yang
bergelar Sultan Mustain Billah. Sultan inilah yang memindahkan
ibukota kerajaan ke Amuntai. Pemerintahan Sultan Mustain Billah
sangat ditakuti oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Begitu kuatnya
Kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh politik dari
Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping itu menguasai daerah-
daerah di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah.
Gambar 3.2 kesultanan Banjar.

Sejak pengaruh Belanda dan Politik monopoli perdagangan masuk ke


Kalimantan Selatan, terjadi perselisihan dengan pihak Belanda dan di
lingkungan Banjar sendiri. Pada abad ke-18 Belanda membuat benteng
di Pulau Tatas, tahun 1747. Pada abad ke-19, tepatnya tanggal 4 Mei
1826, Pulau Tatas diserahkan kepada Belanda. Abad ke-18 (1710-1812)
ulama besar lahir di Martapura yang bernama Muhammad Arsyad
b’abdullah. Sultan Tahlil Allah (1700-1745) membiayai Arsyad belajar di
Haramayn selama beberapa tahun. Setelah pulang, beliau mengajar fiqih
dengan kitabnya Sabil Al-Muhtadin. Beliau juga ahli tasawuf dengan
karyanya Khaz Al-Ma’rifah.
Pergantian Sultan dengan campur tangan politik Belanda mulai
menimbulkan pertentangan-pertentangan antarkeluarga sultan. Hal ini
lebih sering terjadi, setelah dihapuskannya kesultanan Banjar oleh
Belanda pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Seman. Perlawanan-
perlawanan terhadap Belanda terus terjadi sebagai perjuangan dari
rakyat dan pahlawan, seperti Pangeran Antasari, Pangeran Demang
Leman, dan Haji Nasrun.

D. Kerajaan Islam di Sulawesi


1. Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar)
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal sebagai Kerjaan Makassar.
Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis,
Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting karena dekat dengan jalur
perdagangan Nusantara. Makassar menjadi pusat persinggahan para
pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para
pedagang yang berasal dari Indonesia bagian barat.
Agama Islam mulai masuk ke daerah Sulawesi Selatan sekitar abad
ke-15. Pada 1605, raja Gowa menyatakan diri sebagai pemeluk agama
Islam. Raja Takko juga menyatakan diri sebagai pemeluk agama Islam
dengan gelar Abdullah Awalul Islam, sedangkan Raja Gowa bergelar
Sultan Alauddin. Sejak saat itulah raja-raja Gowa-Tallo mulai
menggunakan gelar Sultan. Pada 1607, seluruh penduduk Kerajaan
Gowa-Tallo telah memeluk agama Islam.
Setelah agama Islam dinyatakan sebagai agama kerajaan, ekspansi
dimulai dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.
Penaklukan yang dilakukan bukan semata-mata untuk penyebaran
agama, tetapi juga perluasan wilayah kekuasaan dan pertimbangan
perekonomian. Sebagai bandar dagang, Kerajaan Gowa-Tallo
mengadakan hubungan dengan berbagai negara. Bentuk hubungan
seperti itu mereka sebut “Passaribattangngang”. Pedagang-pedagang
yang datang ke bandar Makassar tidak diharuskan membayar upeti,
tetapi diikat oleh suatu perjanjian persahabatan. Perjanjian
persahabatan itu sering diwujudkan dalam bentuk tukar-menukar
barang dan perkawinan.
Perkembangan Kerajaan Makassar tidak terlepas dari raja-raja yang
pernah memerintah. Raja Makassar yang pertama memeluk agama Islam
bernama Sultan Alauddin, memerintah Makassar dari tahun 1591-1638.
Di bawah pemerintahannya, kerajaan Makassar mulai terjun dalam
perdagangan dan pelayaran. Perkembangan ini menyebabkan
meningkatnya kesejahteraan rakyat kerajaan Makassar.
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Makassar
mencapai masa kejayaan. Dalam waktu yang cukup singkat Kerajaan
Makassar hampir menguasai seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Cita-cita
Sultan Hasanuddin untuk menguasai jalur perdagangan Nusantara,
mendorong perluasan kekuasaan ke Kepulauan Nusa Tenggara, seperti
Sumbawa dan Flores. Dengan demikian, seluruh aktivitas pelayaran dan
perdagangan yang melalui Laut Flores harus singgah lebih dulu di
ibukota Kerajaan Makassar.
Gambar 4.1 Kerajaan Gowa-
Tallo
Keadaan tersebut ditentang oleh Belanda yang memiliki daerah
kekuasaan di Maluku, dengan pusatnya Ambon. Hubungan Batavia dan
Ambon terhalang oleh kekuasaan Kerajaan Makassar. Pertentangan
antara Makassudan Belanda sering menimbulkan peperangan.
Keberanian Sultan Hasanuddin memimpin pasukan Kerajaan Makassar

untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku,


mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Atas keberaniannya, Belanda
memberi julukan kepada sultan Hasanuddin dengan sebutan “Ayam
Jantan dari Timur”. Dalam upaya menguasai kerajaan Makassar,
Belanda menjalin hubungan dengan Kerajaan Bone, dengan rajanya Aru
Palaka. Dengan bantuan Aru Palaka, pasukan Belanda berhasil
mendesak Kerajaan Makassar dan menguasai ibukota kerajaan.
Akhirnya terjadilah Perjanjian Bongaya pada 1677. Isi perjanjian
tersebut adalah.
a. VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara.
b. Makassar harus melepaskan seluruh daerah bawahannya, seperti
Sopeng, Luwu, Wajo, dan Bone.
c. Aru Palaka dikukuhkan sebagai Raja Bone
d. Makassar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya
e. Makassar harus membayar biaya perang dalam bentuk hasil bumi
kepada VOC setiap tahun.
Setelah Sultan Hasanuddin turun takhta, beliau digantikan oleh
putranya yang bernama Mapasomba. Sultan Hasanuddin sangat
berharap agar Mapasomba dapat bekerjasama dengan Belanda.
Tujuannya agar Kerajaan Makassar tetap bertahan. Ternyata
Mapasomba jauh lebih kerjas dari ayahnya, sehingga Belanda
mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menghadapi
Mapasomba. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan
Mapasomba gugur. Dengan kemenangan itu, akhirnya Belanda berkuasa
penuh atas Kerajaan Makassar.

2. Kerajaan Bone
Sebelum masuk wilayah Kerajaan Bone, para ulama Islam lebih awal
mengislamkan Kerajaan Gowa. Khatib Tunggal merupakan ulama yang
dikenal sebagai ulama pertama yang datang ke Makassar dan menyebar
Islam. Kerajaan Bone di bawah pemerintahan Raja Bone XII dikenal
sebagai kerajaan paling besar di antara kerajaan-kerajaan lainnya dalam
wilayah suku Bugis. Raja Gowa yang lebih dulu masuk Islam dikenal
sangat bersemangat dalam memperjuangkan Islam, begitu pula dengan
rakyatnya. Beliau berniat untuk menyampaikan dakwah kepada
kerajaan-kerajaan di sekitarnya, termasuk raja Bone. Raja Gowa
menyampaikan pesan kepada Raja Bone bahwa ia akan dipandang dan
dihormati sebagai raja yang setara, apabila Raja Bone menganut ajaran
agama Islam
Gambar 4.2 kerajaan Bone

Kerajaan Bone secara resmi memeluk Islam pada masa pemerintahan


Raja Bone XIII, yaitu La Madderemueng (1641-1644). Kerajaan Bone
mulai berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam ke dalam
lembaga tradisi Bone. Selain itu, Raja Bone juga mencanangkan
pembaharuan keagamaan, serta memerintahkan kawulanya untuk
mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.
Proses islamisasi di Bone oleh Arungpone dibantu oleh seorang
Qadhi yang bernama Syekh Ismail, beliau adalah qadhi kedua di
Kerajaan Bone sekaligus merangkap menjadi qadhi di Soppeng. Sheikh
Ismail adalah guru di tengah-tengah masyarakat di Kerajaan Bone dalam
upaya menyebarkan agama Islam.

E. Kerajaan Islam di Maluku


1. Kerjaan Ternate
Kerjaan Ternate adalah Kerjaan Islam yang ada di bagian Timur
Indonesia. Kerajaan ini telah berdiri pada abad ke-13, dipimpin oleh
Zainal Abidin pada 1486-1500. Silsilah Raja Zainal Abidin berasal dari
Demak, yakni seorang murid dari Sunan Giri.
Kerajaan Ternate terdiri atas lima daerah, yakni Ternate, Oni, Bacan,
Seram, dan Ambon. Di daerah tersebut banyak tumbuhan rempah-
rempah sehingga tidak mengherankan jika mendapat juluka The Spicy
Island. Dengan rempah-rempah sebagai bahan utama dalam
perdagangan dunia, maka banyak sekali pendatang yang masuk wilayah
Ternate. Selain itu, dengan perdagangan yang lancar mengakibatkan
adanya sebuah persekutuan dagang di Kerajaan Ternate. Komoditas
rempah-rempah, terutama cengkeh, memberikan banyak kontribusi
penting bagi ekonomi rakyat Ternate.
Tahun 1512 pasukan Portugis datang ke Maluku. Portugis
melakukan politik adu domba sehingga terjadi persaingan di Ternate.
Hal ini ditandai dengan dibangunnya benteng Sao Paulo. Konflik yang
terjadi di Ternate dimanfaatkan oleh Portugis untuk mendapatkan hasil
bumi. Tidak hanya itu saja, ternyata maksud kedatangan Portugis juga
untuk menyebarkan agama.
Gambar 5.1 Kerajaan Ternate
Sebenarnya, Islam sudah masuk ke Maluku jauh sebelum bangsa
barat datang ke Maluku. Raja Maluku pertama yang memeluk agama
Islam adalah Raja Ternate, Sultan Mahrum, setelah menerima dakwah
dari Datuk Maulana Husin. Sultan Mahrum memerintah Ternate tahun

1465-1485. Setelah mangkat, beliau digantikan oleh putranya, Zainal


Abidin. Pada tahun 1495, Zainal Abidin memperdalam agama Islam
kepada Sunan Giri. Setelah kembali ke Ternate, Zainal Abidin
menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di sekitarnya, bahkan sampai
ke Filipina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500.
Setelah Sultan Zainal Abidin mangkat, pemerintahan di Ternate
berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan
Babullah. Pada masa pemerintahan Sultan Hairun, Portugis masuk ke
Maluku dan memaksa raja untuk melakukan monopoli perdagangan.
Rakyat Ternate menentangnya sehingga terjadilah perang terbuka. Pada
tahun 1575, Sultan Babullah berhasil mengusir Portugis dari Ternate.
Pada zaman Baabullah, Kerajaan Ternate mencapai zaman keemasan.

2. Kesultanan Tidore
Kesultanan Tidore merupakan salah satu kerajaan Islam yang ada di
kepulauan Maluku. Kesultanan ini berpusat di wilayah kota Tidore,
Maluku Utara. Masa kejayaan kesultanan Tidore terjadi sekitar abad ke-
16 sampai abad ke-18. Pada masa kejayaannya, kerajaan ini menguasai
sebagian besar Halmahera Selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak
pulau di pesisir Papua Barat. Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari
Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan
Ternate. Kesultanan Ternate adalah saingannya kesultanan Tidore dan
telah bersekutu dengan Portugis. Spanyol mundur dari wilayah Tidore
tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran
terhadap Perjanjian Tordesillas 1494. Tidore menjadi salah satu kerajaan
paling independen di wilayah Maluku. Di bawah kepemimpinan Sultan
Saifuddin (1657-1689), Kesultanan Tidore berhasil menolak penguasaan
VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga
akhir abad ke-18.
Kesultanan Tidore adalah kerajaan yang bercorak Islam sehingga
masyarakatnya menggunakan hukum Islam dalam kehidupan. Hal itu
dapat dilihat saat Sultan Nuku dari Tidore dan De Mesquita dari
Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah
kitab suci Al-Qur’an. Sultan kedua Tidore adalah Almansur, yang naik
takhta pada 1512. Beliau menetapkan Marauke sebagai pusat
pemerintahan. Beliau adalah Sultan yang menerima kedatangan bangsa
Spanyol di Kesultanan Tidore untuk bersekutu. Spanyol tiba di Tidore
tanggal 8 November 1521, turut serta dalam armada Magellan dan
Pigafetta.

Gambar 5.2 Kesultanan Tidore


Pada 1524, didasari persaingan ekonomi penguasaan wilayah
perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis
berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota
Marauke. Meskipun serangan gabungan tersebut mencapai ibukota
kesultanan Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya.
Pasukan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua
tahun berikutnya, yaitu tahun 1526, Sultan Almansur wafat tanpa
meninggalkan pengganti. Kegagalan serangan tersebut berujung
dilakukannya perjanjian Saragosa. Isi perjanjian tersebut adalah.
a. Pedagang Portugis menguasai daerah perdagangan dari Maluku
sampai ke Tanjunh Harapan
b. Pedagang Spanyol menguasai daerah perdagangan di Filipina.
Mundurnya Kerajaan Tidore disebabkan karena adu domba dengan
kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa Spanyol dan Portugis.
Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah
diadu domba, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis
dan Spanyol ke luar kepulauan Maluku. Namun, kemenangan tersebut
tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda berhasil
menaklukkan Maluku. VOC menerapkan strategi dan tata kerja yang
teratur, rapi, dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
Bab 3
Penutup

• Kesimpulan
Setelah mengetahui Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di Indonesia,
maka kita dapat mengerti bahwa sejarah sangat penting dan ada dampak nyata
dalam kehidupan kita. Kerajaan-kerajaan tersebut menyebar di hampir seluruh
wilayah di Nusantara. Ada banyak pengaruh yang dapat kita rasakan dari
hadirnya Kerajaan-kerajaan tersebut. Salah satunya adalah perkembangan
agama dan budaya Islam yang berkembang pesat di Indonesia.

• Saran
Sebagai seorang manusia, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu saya memohon saudara-saudari untuk
memberikan saran dan masukan yang berguna bagi saya.
Daftar Pustaka

• Rosmawati I Made Ratih.2016.Solatif Sejarah Indonesia. Jakarta : CV Media


Prestasi.

Anda mungkin juga menyukai