1 Barda Nawawi Arief, 2012, RUU KUHP BARU, Semarang, Badan Penerbit
UNDIP.hlm.5
Undang Pidana di luar KUHP itu, sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 103 KUHP.
Pasal 103 KUHP mengatakan, ketentuan umum KUHP, kecuali Bab IX
(interpretasi istilah) berlaku juga terhadap perbuatan yang menurut undang-undang dan
peraturan lain diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Maksudnya, Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 Buku I KUHP tentang Ketentuan
Umum/Asas-asas Umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana
berdasarkan undang-undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang atau
peraturan itu menyimpang.3
Bertitik tolak dari hal itu, Andi Hamzah berpendapat, di Indonesia dapat timbul
undang-undang tersendiri di luar KUHP karena 2 (dua) faktor yaitu :
1. Adanya ketentuan lain di luar KUHP : Pasal 103 KUHP yang memungkinkan
pemberlakuan ketentuan pidana dan sanksinya terhadap suatu perbuatan
pidana yang menurut undang-undang dan peraturan-peraturan lain di luar
KUHP diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang,
3 Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.10
4 Andi Hamzah, 2005,Pemberantasan Korupsi : Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional Edisi Revisi, Jakarta, Radja Grafindo Persada.
5 Ibid,hlm.11
tetap dan tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana
formil dan materil.
Kendati demikian, ada pengecualian terhadap berlakuya Pasal 103 KUHP, yaitu
:Undang-undang yang lain itu menentukan dengan tegas pengecualian berlakunya
artikel 91 (=Pasal 103 KUHP).
1. Undang-undang lain itu menentukan secara diam-diam pengecualian seluruh
atau sebahagian dari artikel 91 WvS Ned itu. Hal ini sesuai dengan asas lex
specialis derogate lex generalis (aturan khusus menyingkirkan aturan umum).
Dengan kata lain, penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan
berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis, yang mengisyaratkan bahwa
ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang bersifat
umum.
Terkait tindak pidana korupsi sebagai Tindak pidana khusus dalam RKUHP
Nasional, dirumuskan agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan
keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka
9 Ibid,hlm.86
10 Kompas.com, Pasal Korupsi dalam Rancangan KUHP Dinilai Masih Rawan
Masalah, Jakarta, Rabu 01 Februari 2018. Diakses tanggal 24 Januari 2019.
Di dalam RUU KUHP Nasional, DPR membuat Bab Baru yakni Tindak Pidana
Khusus, bab yang menjadi Brigding elemen antara KUHP dengan UU Sektoral,
Rancangan UU hanya mengambil 2 (dua) atau 3 (tiga) Pasal setiap UU yang terkait
dengan tindak pidana khusus, termasuk UU Tipikor. Pasal-pasal tindak pidana khusus
yang masuk ke RKUHP yaitu pasal-pasal yang dianggap “core crime” inti dari tindak
pidana tersebut.
Korupsi misalnya, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, hal tersebut tidak hanya terjadi di
UU Tipikor, UU Narkotika dan UU Sektoral lainnya diperlakukan serupa.11
Penempatan dalam Bab tersendiri sebagai Tindak Pidana Khusus didasarkan
pada karakteristik khusus yang melekat, yaitu :
a. Dampak viktimisasinya besar
b. Sering bersifat transnasional terorganisasi
c. Pengaturan acara pidananya bersifat khusus
d. Sering menyimpang dari asas-asas umum hukum pidana
materiel
11 Ibid.
12 Detik.com.ini Pasal soal korupsi di Naskah Akademik RKUHP yang Konteroversial,
05 Juni 2018. Diakses tanggal 25 Januari 2019.
dapat menangani kasus korupsi. Pada akhrinya KPK hanya akan menjadi Komisi
Pencegahan Korupsi (ICW).
Menangani hal tersebut Pemerintah menegaskan bahwa kewenangan KPK tidak
berkurang meski RKUHP disahkan. Ada Pasal yang menegaskan hal tersebut.
RKUHP menegaskan dalam Pasal 729 bahwa pada saat UU ini mulai berlaku,
ketentuan bab tindak pidana khusus dalam UU ini tetap dilaksanakan berdasarkan
kewenangan Lembaga yang telah diatur dalam Undang-undang masing-masing.
Artinya, semua UU Tindak Pidana Khusus masih berlaku, termasuk kewenangan
lembaganya.13
Di sisi lain, KPK berpendapat bahwa: Memasukkan Pasal Tipikor di RUU KUHP
adalah langkah mundur. Karena di KUHP ancaman pidana (korupsi) lebih ringan dan
ada keringanan hukuman untuk perbuatan-perbuatan percobaan sehingga dapat
membawa Indonesia berjalan mundur dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.14
Lebih lanjut KPK mengirimkan sejumlah surat kepada Presiden meminta untuk
mengeluarkan delik korupsi dari RKUHP, KPK menganggap masuknya delik itu akan
atau korupsi dagang pasal, hal itu terjadi karena terdapat perbedaan ancaman pidana
dan sanksi denda kasus korupsi dalam Rancangan KUHP dengan ketentuan yang diatur
di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Ada perbedaan dalam ancaman hukumannnya, secara hukum implementasinya pasal-
pasal itu berpotensi transaksional.19
Dalam Pasal 687 Rancangan KUHP, “Seseorang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
merugikan keuangan negara diancam pidana minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 20
(dua puluh) tahun dengan denda minimal 10 (sepuluh) juta hingga maksimal 2 (dua)
miliar rupiah”.
Sedangkan delik yang sama dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor ancaman
pidana penjaranya minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun selain
itu diatur pidana denda minimal 200 (dua ratus juta) dan maksimal 1 (satu) miliar
rupiah.
Perbedaan pidana dan denda juga terdapat dalam Pasal 688 Rancangan KUHP
pasal-pasal Tipikor, karena kejahatan yang di atur dalam KUHP juga di atur dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam praktek
selama ini, tidak pernah menimbulkan kebingungan.20
Pakar hukum UGM Eddy Hiariej mencatat Undang-Undang Tipikor memuat 30 (tiga
puluh) perbuatan yang masuk kategori tindak pidana korupsi. Eddy Hiariej berpendapat
30 (tiga puluh) perbuatan itu bisa dikelompokkan dalam 7 (tujuh) jenis yang termasuk
core crime atau pidana pokok, sedangkan Rancangan KUHP hanya memuat 7 (tujuh)
pidana pokok itu.
Lebih lanjut dikatakan Eddy Hiariej, “Tidak mungkin ada specialis kalau tidak
ada generalis, jadi generalisnya itu ada di dalam core crimenya itu, ada specialis itu
Undang-Undang yang sudah ada (UU Tipikor)”. Jadi tidak akan mengganggu dan tidak
akan mengurangi kewenangan KPK.21
Pakar Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo berpendapat :
adanya Pasal 211 RUU KUHP, maka terbuka peluang untuk mengatur lex specialis di
luar KUHP. Pasal ini mematahkan argumentasi bahwa kelak dengan berlakunya UU ini,
20 Eddy Hiariej, “Tidak Ada Masalah Serius Akibat RKUHP Memuat Pasal-pasal
Tipikor”, Antara, Rabu, 06 Juni 2018
21 Ibid.
22 Harkristuti Harkrisnowo, 2014, “KPK tidak usah Galau’ dalam Buku Seminar
RKUHP Bidang Studi Hukum Pidana, FH-UI, hlm.58
Apalagi ada beberapa Pasal KUHP yang tetap diadopsi dalam RUU KUHP
harus diperbaiki karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, yakni
dengan melakukan beberapa pendekatan pembaruan hukum pidana antara lain :
1. Pendekatan Evolusioner : melalui amandemen pasal
2. Pendekatan Semi-Global : melalui pengaturan tindak pidana khusus di luar
KUHP, sebagai alternatif pengaturan kejahatan luar biasa. Alternatif lain
dilakukan secara partial, dan hukum materielnya di atur dalam struktur
kodifikasi, sedangkan hal-hal yang bersifat kekhususan berdasarkan asas
“Lex Specialis Derogar Lex Generali” di atur di luar KUHP dengan Undang-
undang pemberlakuan KUHP sebagai Aturan Peralihan yang komperhensif.
3. Pendekatan Kompromi, dengan memasukkan suatu Bab Baru dalam KUHP
akibat Ratifikasi Konvensi Internasional, atau karena keharusan dilakukannya
restrukturisasi KUHP akibat perkembangan baru dalam masalah kepentingan
hukum baru yang aktual atau sensitif atau atas dasar evaluasi doktrin.
Contoh: Pemilahan antara Tindak Pidana Jabatan dan Tindak Pidana
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Jakarta Radja Grafindo Persada.
Aziz Syamsudin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta, Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief, 2012, RUU KUHP Baru, Semarang, Badan Penerbit UNDIP.
Muladi dan Diah Sulistyani, RS, 2006, Kompeksitas Perkembangan Tindak Pidana dan
Kebijakan Kriminal
--------, 2006, Pengaturan Tindak Pidana Adminstrasi dalam RKUHP Nasional
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
Perundang-undangan :