Anda di halaman 1dari 10

Laporan Kasus

Variasi Klinis Infeksi Streptococcus suis : Bakteremia, Meningitis dan Tuli Sensorineural
Pramaswari AAAA *, Susilawathi NM**, Laksmidewi AAAP**, Sudewi AAR**
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar, Bali

Abstrak

Pendahuluan: Infeksi Streptococcus suis (S. suis) merupakan infeksi sistemik dengan manifestasi
klinis beragam. Beberapa manifestasi klinis yang sering didapatkan adalah meningitis, labirinitis,
septisemia, trombositopenia, toxic shock like syndrome, dan endokarditis. S. suis sendiri
merupakan patogen zoonosis yang sering dikaitkan dengan pasien yang mengkonsumsi daging
babi atau seseorang yang sering kontak dengan babi yang terinfeksi. Angka kejadian infeksi S. suis
tinggi di daerah Asia Tenggara dimana populasi babi tinggi, termasuk Bali. Dokter maupun
praktisi kesehatan yang tidak familiar dengan manifestasi klinis infeksi S. suis yang bervariasi ini
sering menyebabkan suatu kekeliruan dan berakibat pada terapi yang inadekuat.

Laporan Kasus: Laki-laki 54 tahun, sebelumnya dirawat di rumah sakit daerah dengan demam
dengue, datang dengan keluhan utama demam fluktuatif dan kelemahan umum sejak 20 hari
sebelum masuk rumah sakit, disertai dengan tuli pada kedua telinga, mual muntah, dan riwayat
penurunan kesadaran pada minggu pertama demam. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku pada
leher dan tuli sensorineural bilateral. Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis, trombositopenia,
transaminitis, analisa cairan serebrospinal menggambarkan infeksi bakteri. Hasil kultur cairan
serebrospinal didapatkan infeksi Streptococcus Suis serotipe II yang sensitif terhadap Seftriakson.
Setelah 3 minggu pemberian antibiotika dan steroid didapatkan perbaikan klinis meningitis dengan
sekuele tuli sensorineural.

Kesimpulan: Infeksi S. suis pada manusia dapat memberikan manifestasi klinis yang bervariasi
dari gejala bakteremia hingga meningitis, dan seringkali menimbulkan lambatnya diagnosis
sehingga perlu kepekaan dari dokter di daerah endemis untuk menegakkan diagnosis secara tepat
dan pemberian terapi adekuat sedini mungkin.

Kata Kunci: Infeksi Streptococcus suis, bakteremia, meningitis, tuli sensorineural,


trombositopenia

*Peserta PPDS Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar


** Staf Pengajar Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
A Case Report
Various Clinical Manifestation of Streptococcus Suis Infection : Bacteremia, Meningitis,
and Sensoryneural Hearing Loss
Pramaswari AAAA *, Susilawathi NM**, Laksmidewi AAAP**, Sudewi AAR**
Neurology Department, Faculty of Medicine, Udayana University / Sanglah General Hospital,
Denpasar, Bali

Abstract

Introduction: Streptococcus suis (S. suis) infection is a systemic infection with various clinical
manifestation. The most common clinical picture are meningitis, labyrinitis, septicemia,
trombocitopenia, toxic shock-like syndrome, and endocarditis. S. suis is a zoonotic pathogen that
often related with invasive infections in persons who are consumed contaminated pork derived
products or in close contact with infected pigs. Most of the cases concentrated in Southeast Asia
where swine quantity is high, included Bali. Clinical practioner that unfamiliar with S. suis
infections often causes misdiagnosis and lead to inadequate treatment because of this various
manifestation.

Case Report: A 54 years old man, before treated in rural hospital with dengue fever, come with
chief complain fluctuative fever and general weakness since 20 days before admission, with
deafness in both ears, nausea and vomiting, history of decreased of consciousness in first week
fever. Neurologic examination was found neck stiffness with bilateral sensorineural hearing loss
(SNHL). Blood examination reveal leucocytosis, trombocitopenia, transaminitis, cerebrospinal
fluid examination reveal bacterial infection. Streptococcus Suis serotype II was isolated from the
cerebrospinal fluid and sensitive with Ceftriaxon. After 3 weeks of antibiotics and steroid, clinical
improvement was achieved with SNHL as sequele.

Conclusion: S. suis infection in humans can show various clinical manifestation, from bacteremia
until meningitis manifestation, and often leads to misdiagnosis so we need to increased clinical
practioner’s awareness in endemic area to create a right diagnose and give an early adequate
treatment.

Keywords: Streptococcus suis infection, bacteremia, meningitis, sensorineural hearing loss,


trombocitopenia.

* Resident Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University / Sanglah General


Hospital, Denpasar, Bali
** Staff Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University / Sanglah General
Hospital, Denpasar, Bali
Latar Belakang:
Infeksi Streptococcus suis (S. suis) merupakan infeksi bakterial zoonosis yang bersifat
sistemik dengan manifestasi klinis beragam. S. suis merupakan patogen utama pada babi dan dapat
menular ke manusia melalui kontak langsung dengan babi dan produk olahan babi1. Kasus infeksi
S. suis pertama kali diperkenalkan sebagai penyebab septisemia pada babi di sekitar tahun 1954
dan infeksi S. suis pertama kali ditemukan pada manusia menyebabkan meningitis dan septisemia
pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Denmark2. Infeksi S. suis tinggi di negara dengan
peternakan babi dan konsumsi daging yang tinggi, salah satunya daerah Asia Tenggara3.
S. suis memiliki beberapa serotipe, dan serotipe 2 menjadi penyebab tersering meningitis
pada manusia. Angka kejadian infeksi S. suis tersering pada kelompok usia 47-55 tahun, 76,6%
adalah laki-laki4. Resiko kejadian meningitis S. suis pada pekerja di tempat pemotongan hewan
atau peternak babi diperkirakan 3 kasus per 100.000 penduduk4,5. Jumlah peternakan babi dan
budaya mengkonsumsi daging babi sangat umum di Bali. Masyarakat Bali memiliki kegemaran
mengkonsumsi daging babi, terkadang daging yang dikonsumsi merupakan daging mentah atau
setengah matang yang diolah dengan darah babi. Peternakan babi di Bali sulit untuk dikontrol,
sehingga daging babi yang terkontaminasi S. suis tanpa diketahui langsung dipotong dan dijual
untuk dikonsumsi. Hal ini menunjukkan jika kontak masyarakat Bali dengan babi sangat tinggi,
dan hal ini menjadi salah satu faktor risiko meningkatnya risiko penularan infeksi S. suis. Kasus
pertama meningitis S. suis di Bali terjadi pada bulan Agustus 20146.
Manifestasi klinis yang sering didapatkan dari suatu infeksi sistemik S. suis adalah gejala
meningitis, labirinitis, septisemia, trombositopenia, toxic shock like syndrome, dan endocarditis.
Secara umum gejala klinis infeksi S. suis memiliki beberapa gejala spesifik dan didukung dengan
adanya riwayat kontak langsung dengan babi dan produk olahannya, namun gejala sistemik lain
sebelum munculnya gejala spesifik sering menyebabkan kalangan dokter dan paramedis yang tidak
mengenali dengan baik infeksi ini akan menimbulkan kekeliruan terhadap diagnosis dan berujung
pada tidak adekuatnya terapi7,8.

Laporan Kasus:
Seorang laki-laki 54 tahun, suku Bali, cekat kanan, sehari-hari bekerja membantu
menyiapkan olahan makanan di warung makan babi dan riwayat sesekali mengkonsumsi daging
babi, awalnya mengeluhkan demam yang hilang timbul disertai kelemahan umum. Demam
dikatakan sumer-sumer dengan suhu sekitar 37-38oC. Demam juga disertai dengan mual, muntah,
nafsu makan menurun, ngilu persendian di seluruh tubuh, mudah lelah, nyeri kepala yang terasa
berdenyut di seluruh kepala.
Pada hari ketiga dikatakan suhu semakin meningkat sekitar 39-40oC, disertai dengan
keluhan mual muntah yang memberat dan nyeri kepala yang semakin hebat. Keluhan juga disertai
dengan penurunan kesadaran yang semakin lama semakin memberat, dikatakan pasien tampak
gelisah dan bicara meracau. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit daerah, dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan didapatkan gambaran peningkatan leukosit 13 x 103/µL dan
penurunan trombosit 110 x 103/mL. Kesadaran perlahan membaik setelah hari kelima seiring
dengan suhu tubuh yang semakin stabil, namun penurunan trombosit terjadi hingga hari keenam
yaitu 43 x 103/mL, setelah itu perlahan naik kembali hingga normal. Pasien dirawat oleh dokter
penyakit dalam dan didiagnosis dengan demam dengue, mendapatkan antibiotik empiris selama 7
hari kemudian pasien dipulangkan.
Pasien juga menyadari adanya penurunan pendengaran pada kedua telinga sejak hari
kelima onset demam, setelah kesadaran pasien membaik. Awalnya pasien masih bisa mendengar
namun semakin lama keluhan pendengaran semakin menurun setelah pasien selesai perawatan dan
saat ini pasien tidak mendengar sama sekali di kedua telinga. Tidak ada riwayat nyeri pada telinga
sebelumnya maupun trauma, riwayat infeksi pada telinga disangkal. Keluhan juga disertai dengan
nyeri kepala yang hilang timbul dan rasa kaku pada leher terutama pada posisi menunduk.
Tiga hari sebelum dibawa ke RSUP Sanglah, keluhan demam dirasakan muncul kembali
disertai kelemahan umum, mual, muntah, nafsu makan menurun, ngilu seluruh tubuh, nyeri kepala
yang terasa berdenyut di seluruh kepala yang semakin lama semakin memberat sehingga pasien
dibawa ke RSUP Sanglah. Saat tiba pasien dengan kondisi takikardia, takipnea, dan pada
pemeriksaan neurologis didapatkan adanya kaku kuduk serta tuli sensorineural bilateral.
Hasil pemeriksaan laboratorium di rumah sakit kami menunjukkan peningkatan leukosit
24.60 x 103/mL (dominan neutrophil 89.98%), dengan trombosit yang sudah meningkat 295.50 x
103/mL, transaminitis dengan SGOT 119 U/L, SGPT 512.1 U/L, peningkatan penanda inflamasi
c-reactive protein 92.29 mg/L, dan kondisi hiponatremia 127 mmol/L. Pemeriksaan serologi HIV
negatif. Hasil pemeriksaan urine lengkap dan pemeriksaan rontgen dada pada awal masuk tidak
didapatkan gambaran infeksi. Hasil pencitraan ct-sken kepala menunjukkan gambaran udem
serebri disertai gambaran leptomeningeal enhancement. Pasien kemudian dilakukan lumbal pungsi
dengan hasil warna kekuningan, none +3, pandy +3, sel 11 sel/uL (dominan monosit 70%), glukosa
1g/dL, dan MTP 584 mg/dL yang menunjang gambaran infeksi bakteri yang belum tertangani
sempurna (bacterial partially treated). Diagnosis kemudian diperkuat dengan hasil kultur cairan
serebrospinal yaitu terisolasinya Streptococcus Suis serotipe II yang signifikan sebagai agen
penyebab infeksi dan sensitif dengan pemberian seftriakson.
Pasien kemudian diberikan terapi antibiotik dengan dosis sesuai meningitis selama 21 hari
sebagai terapi empiris infeksi S. suis. Terapi kortikosteroid dosis meningitis bakteri juga diberikan
selama 5 hari, gastroprotektor, analgetik dan antipiretik, mekobalamin, dan pentoxifilin. Selama
perawatan minggu kedua pasien sempat mengeluhkan sesak, batuk berdahak, dan saturasi
cenderung menurun. Dilakukan rontgen dada dan menunjukkan gambaran suatu pneumonia.
Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian paru dan diberikan tambahan terapi antibiotik empiris
pneumonia selama 7 hari. Setelah perawatan selama 21 hari, didapatkan perbaikan klinis
meningitis namun keluhan tuli sensorineural bilateral menetap.

Pembahasan:
Kasus ini merupakan salah satu kasus infeksi S. suis pada manusia terkait budaya yang
ditemukan di salah satu daerah endemis yaitu Bali, yang memiliki jumlah peternakan babi dan
budaya mengkonsumsi daging babi sangat umum. Sejak pertama kali kasus infeksi S. suis
ditemukan pada manusia di Denmark tahun 19689, laporan tentang infeksi S. suis terus meningkat.
Hingga tahun 2012, angka kejadian infeksi S. suis tercatat mencapai 1.584 kasus, dimana lebih
dari setengah (53%) berada di wilayah Pasifik Barat, 36% berada di kawasan Asia Tenggara,
10,5% di kawasan Eropa, dan 0,5% di Amerika. Prevalensi kumulatif tertinggi di Thailand (8,21
kasus / juta penduduk), diikuti oleh Vietnam (5.40 kasus / juta penduduk) dan Belanda (2.52 kasus
/ juta penduduk)4. Infeksi S. suis diidentifikasi menjadi penyebab meningitis terkait budaya
tersering ketiga di Hongkong setelah infeksi Streptococcus pneumoniae dan Mycobacterium
tuberculosis10. Usia rata-rata penderita berkisar 51,4 tahun, dan dominan laki-laki (76.6%). Kontak
dengan babi atau daging babi dilaporkan sebanyak 15,5% dan riwayat makan makanan yang
mengandung daging babi sekitar 33,9%4. Hal ini sesuai dengan karakteristik pasien yang kami
temui yaitu laki-laki dewasa usia 54 tahun dengan latar belakang bekerja membantu mengolah
makanan di rumah makan olahan babi dan memiliki riwayat sesekali mengkonsumsi daging babi.
Hal ini menunjukkan pasien memiliki risiko tinggi terpapar dan terinfeksi S. suis.
Gejala klinis infeksi S. suis pada umumnya menyerupai infeksi yang disebabkan oleh
bakteri piogenik lain, dimana akan muncul gejala bakteremia berupa demam, malaise, nyeri
kepala, mual muntah, dan kemudian diikuti kaku kuduk, fotofobia, fonofobia5. Manifestasi klinis
lain yang dapat ditemukan seperti endokarditis akut dan subakut, artritis piogenik akut,
endoftalmitis, uveitis, spondilodisiitis, oftalmoplegia, dan abses epidural. Pada penderita juga
dapat ditemukan adanya gangguan hati, gangguan ginjal akut, gangguan pernafasan akut, dan
gangguan koagulopati5,7,8.
Penanda khas yang paling sering ditemukan pada infeksi S. suis adalah lebih dari setengah
pasien menunjukkan menurunnya pendengaran beberapa hari setelah gejala bakteremia.
Menurunnya pendengaran akibat meningitis S. suis ini merupakan tuli sensorineural dan terjadi
pada nada tinggi, dimana pada pemeriksaan audiometri ditemukan kelaian pada frekuensi > 80
dB5,11. Manifestasi klinis kedua yang juga sering ditemukan adalah terjadinya kondisi sepsis, dan
hal ini menjadi penyebab utama kematian terkait infeksi S. suis12. Pada kasus ini didapatkan klinis
bakteremia yang umum terjadi yaitu demam fluktuatif yang berlangsung lebih dari dua minggu,
disertai keluhan malaise, nyeri persendian seluruh tubuh, nyeri kepala, mual muntah. Namun
adanya perjalanan klinis yang memberat yaitu riwayat penurunan kesadaran diikuti rasa kaku pada
leher dan penurunan pendengaran di kedua telinga meningkatkan kecurigaan suatu infeksi S. suis.
Pada pasien juga ditemukan kondisi sepsis. Selain itu pada pasien ini didapatkan adanya
transaminitis, trombositopenia, dan gangguan pernapasan akibat pneumonia yang terjadi selama
perjalanan penyakit. Klinis bakteremia umum di awal perjalanan penyakit yang belum
menunjukkan tanda khas dari suatu infeksi S. suis dan ditemukannya trombositopenia pada
pemeriksaan penunjang sering menyebabkan dokter dan praktisi klinis membuat kekeliruan dalam
penegakan diagnosis dan berujung pada keterlambatan penegakan diagnosis.
Penegakan diagnosis meningitis S. suis diperkuat berdasarkan hasil kultur dari cairan
serebrospinalis. S. suis termasuk coccus gram positif yang sering terlihat berpasangan tetapi juga
dapat tunggal dan mempunyai siklus rantai pendek. Gambaran analisa cairan serebrospinalis
menyerupai gambaran meningitis akibat infeksi bakteri pada umumnya, dan riwayat pemberian
antibiotika sebelum pemeriksaan perlu diperhatikan karena dapat mengaburkan hasil analisa5.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis pada pasien ini yang dilakukan pada onset hari ke-20 sejak
awal demam dan memberikan gambaran infeksi bakteri yang belum tertangani sempurna
(bacterial partially treated), hal ini diduga terkait dengan riwayat pemberian antibiotik di rumah
sakit sebelumnya. Diagnosis infeksi S. suis kemudian diperkuat dengan hasil kultur cairan
serebrospinal yaitu terisolasinya Streptococcus Suis serotipe II yang signifikan sebagai agen
penyebab infeksi, namun tidak ditemukan pada pemeriksaan kultur darah. Pada sebuah studi
menunjukkan jika pathogen S.suis dapat ditemukan di cairan serebrospinal (66.7%), darah (50%),
serta pada cairan serebrospinal dan darah (25%)13.
Pemberian antibiotika harus diberikan ketika diagnosis infeksi S. suis ditegakkan.
Pemberian terapi antibiotika seftriakson tunggal atau kombinasi dari seftriakson dengan
vankomisin merupakan pilihan yang sering digunakan14. Pada suatu studi prospektif, sekitar 151
pasien dengan meningitis S. suis diikuti dan 97% membaik dengan pemberian seftriakson selama
2 minggu. Sekitar 40% dari pasien tersebut membaik dan tidak pernah kontrol5. Tidak adekuatnya
terapi yang diberikan diawal dapat menyebabkan klinis bakteremia yang menetap dan berulang
serta berujung pada kebutuhan waktu pemberian antibiotik yang memanjang. Pasien ini memiliki
riwayat pemberian antibiotik seftriakson 1 gram tiap 12 jam selama 7 hari di rumah sakit
sebelumnya dan terdapat klinis bakteremia yang berulang pada minggu ketiga perjalanan penyakit
menunjukkan tidak adekuatnya terapi sebelumnya. Pasien kemudian diberikan terapi antibiotika
seftriakson sesuai dosis meningitis bakteri selama 21 hari disertai pemberian kortikosteroid sesuai
dosis meningitis bakteri. Pemberian kortikosteroid merupakan terapi adjuvan untuk mengurangi
mortalitas dan meningkatkan luaran dari suatu meningitis bakteri15. Pasien ini memberikan luaran
perbaikan klinis bakteremia sempurna namun dengan sekuele tuli sensorineural bilateral yang
menetap.

Kesimpulan:
Infeksi S. suis pada manusia dapat memberikan manifestasi klinis menyerupai gejala bakteremia
pada umumnya sebelum menunjukkan gejala meningitis dan tuli sensorineural yang khas
didapatkan pada meningitis S. suis. Hal inilah yang seringkali menimbulkan lambatnya penegakan
diagnosis sehingga perlu kepekaan dari dokter di daerah endemis untuk menegakkan diagnosis
secara tepat dan pemberian terapi adekuat sedini mungkin.

Daftar Pustaka
1.   Samkar A, Brouwer M, Schultsz C, Van de Ende A, Van de Beek D. Streptococcus suis
Meningitis: A Systematic Review and Meta-analysis. PLos Negl Trop Dis 2015; 9 (10).
2.   Zanen HC, Engel HWB. Porcine streptococci causing meningitis and septicaemia in man.
Lancet 1975; i:1286-8.
3.   Donsakul K, Dejthevaporn C, Witoonpanich R. Streptococcus suis infection : clinical
features and diagnostic pitfalls. Division of Neurology Mahidol University. Thailand.
2003; Vol 34(1): 154-8.
4.   Huong V, Huy N, Horby P, Nghaia H, Thiem V, Zhu X, et al. Epidemiology, Clinical
Manifestation, and outcome of Streptococcus suis Infection in Humans. Emerging
Infectious Diseases.ww.cdc.gov/eid 2014; 20(7): 1105-14.
5.   Wertheim H, Nghia H, Taylor W, Schultsz C. Streptococcus suis: An emerging Human
Pathogen. Clinical Infectious Diseases 2009; 48: 617-25.
6.   Susilawathi NM, Raka Sudewi AA. Laporan Kasus Meningitis Streptococcus suis : Kasus
Pertama di Bali. Presentasi Poster pada Acara Ilmiah Pekan Nasional Perdossi Solo.
November 2014.
7.   Horby P, Wertheim H, Ha NH, Trung NV, Trinh DT, Taylor W, Ha NM, Lien TTM, Farrar
J, Van Kinhb N. Stimulating the Development of national Streptococcus suis guidelines in
Vietnam through a strategic research partnership. Bull World Health Org 2010; 88: 458-
461.
8.   Salasia SIO, Artdita CA, Slipranata M, Artanto S. Diagnosis infeksi Streptococcus suis
serotipe-2 pada Babi secara Serologi dengan Muramidase Released Protein. Jurnal
Veteriner 2015; 16 (4): 489-496.
9.   Perch B, Kristjansen P and Skadhauge K. Group R streptococci pathogenic for man: two
cases of meningitis and one fatal case of sepsis. Acta Pathologica et Microbiologica
Scandinavica 1968; 74: 69–76.
10.  Hui AC, Ng KC, Tong PY, Mok V, Chow KM, Wu A and Wong LK. Bacterial meningitis
in Hong Kong: 10-years’ experience. Clinical Neurology and Neurosurgery 2005; 107:
366–70.
11.  Huang YT, Teng LJ, Ho SW, Hsueh PR. Streptococcus suis infection. J Microbiol
Immunol Infect 2005; 38: 306-13.
12.  World Health Organization. Outbreak associated with Streptococcus suis in pigs, China.
Wkly Epidemiol Rec 2005; 80: 269-70.
13.  Suankratay C, Intalapaporn P, Nunthapisud P, Arunyingmongkol K, Wilde H.
Streptococcus suis meningitis in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2004; 35: 868-76
14.  Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL, Scheld WM, Whitley RJ.
Practice guidelines for the management of bacterial meningitis. Clin Infect Dis. 2004;
39(9):1267-84.
15.  Greenwood BM. Corticosteroids for acute bacterial meningitis. N Engl J Med 2007; 357:
2507-9.

Anda mungkin juga menyukai