Oleh :
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
"
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
penulisan Karya Tulis ini dapat terwujudkan. Terimakasih kepada Dinas Peternakan,
perikanan, dan Kelautan Kabupaten Tabanan atas kerjasamanya yang baik selama ini.
Semoga segala pemikiran yang baik dalam tulisan ini dapat menumbuhkan semangat
dalam kinerja di lapangan.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
demi penyempurnaan Karya Tulis ini. Penulis berharap semoga Karya Tulis ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
kedokteran hewan.
Penulis
""
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
2.5 Sumber Penularan dan Cara Penularan Streptococcosis pada Babi ......... 6
BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
"""
DAFTAR TABEL
Hal
"-
DAFTAR GAMBAR
Hal
-
BAB I
PENDAHULUAN
dan ras. Tingkat morbiditas dan mortalitas pada babi berkisar 51% dan 38%
sedangkan case fatality rate mencapai 75% (Suarjana, 2012).
Streptococcus suis merupakan bakteri yang sumber penularannya adalah
hewan babi (Soedarto, 2003). Streptococcus suis pada hewan dapat ditemukan pada
tonsil palatina babi dalam bentuk komensal atau pathogen oportunis (Salasia dan
Lämmler, 1994). Klasifikasi menurut Lancefield, Streptococcus suis termasuk
kedalam grup D (Quinn, 2002).
Streptococcus suis pada ternak sering menimbulkan angka kematian yang
tinggi yang berakibat fatal pada babi, hal ini nampak dengan terjadinya meningitis
yang ditandai dengan demam, depresi, gangguan koordinasi dan kelumpuhan.
Dari beberapa dampak yang ditimbulkan oleh infeksi bakteri streptococcus sp.
Diatas, akan sangat merugikan dan mempengaruhi kesejahteraan para peternak-
peternak babi sehingga menghambat peternakan babi yang ada di Bali khususnya di
Kabupaten Tabanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kasus streptococosis yang terjadi pada babi bulan mei sampai juni tahun 1994
di Bali disebabkan oleh agen penyakit Streptococcus beta hemolitik yang
diidentifikasi sebagai Streptococcus equi subspecies zooepidemicus dan dikenal
sebagai Streptococcal meningitis (Dharma, et.al.,1994).
memiliki koloni yang bersifat seperti lendir atau mukoid, dengan permukaan kasar,
disertai zona betahemolitik yang timbul setelah 24 jam masa inkubasi.
Wabah Streptococcus sp. pertama pada babi dilaporkan terjadi di Inggris pada
1951 dengan angka kematian yang tinggi serta gejala meningitis dan artritis. Setelah
itu dilaporkan terjadi di Belanda pada 1954, sampai akhirnya dilaporkan muncul juga
di Amerika utara pada 1969. Gejala pada hewan pada umumnya ditandai dengan
septikemia, meningitis, endokarditis, artritis, dan kadang-kadang infeksi lainnya.
Kasus manusia pertama terinfeksi Streptococcus sp. dilaporkan di Denmark pada
1968, dan sejak itu Eropa utara dan Asia Tenggara mengalami sejumlah wabah kasus
meningitis pada manusia yang disebabkan oleh Streptococcus sp tipe 2. Di China
terjadi wabah pada 1998 dengan 25 kasus manusia dan 14 meninggal. Gejala pada
manusia berupa demam tinggi, tidak enak badan, mual dan muntah, diikuti dengan
gejala syaraf, bercak kemerahan subkutaneus, syok septik dan koma pada kasus
parah. (Ramirez 2011).
Pada 2004, jumlah kasus menginfeksi manusia mencapai lebih dari 200 orang
di seluruh dunia. Kemudian pada 2005, China mengalami wabah untuk kedua kalinya
yang mendapatkan perhatian dunia akan potensi zoonosis dari Streptococcus sp. ini.
Antara bulan Juni dan Agustus tahun tersebut, di Ziyang County, Provinsi Sichuan,
terjadi wabah dengan 204 kasus dan 38 meninggal (angka fatalitas kasus 18,6%).
Sampai saat ini, relatif hanya sekitar 700 kasus Streptococcus sp. dilaporkan di
seluruh dunia, kebanyakan terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Di negara maju
kebanyakan dikaitkan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan babi, seperti pekerja
peternakan babi dan pekerja rumah pemotongan hewan. Di negara berkembang
dengan sistem produksi babi yang intensif seperti di Asia Tenggara, risiko untuk
terinfeksi Streptococcus sp tidak diketahui pasti mengingat penyakit ini bukan
merupakan penyakit yang wajib dilaporkan (notifiable disease) dan umumnya kurang
berhasil didiagnosa secara tepat (Wertheim et al; 2009).
Streptococcosis pernah mewabah di Bali pada bulan april tahun 1994 dan
telah menimbulkan kematian sekitar 2.200 babi di peternakan rakyat Bali. Secara
bersamaan streptokosis juga menimbulkan kematian pada ratusan monyet di kawasan
Hutan Wisata Alam Bali, antara lain di Sangeh, Ubud, dan Alas Kedaton. Penyebab
wabah tersebut telah diidentifikasi oleh Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah
VI Denpasar Bali yaitu bakteri Streptococcus sp zooepidemicus (Dibia et al, 1995).
Penyakit ini menyerang babi segala umur, jenis kelamin dan ras. Tingkat morbiditas
dan mortalitas pada babi berkisar 51% dan 38% sedangkan case fatality rate
mencapai 75%. Disamping itu penyakit ini juga menyerang monyet yang ada
dibeberapa Hutan Wisata Alam (HWA) di Bali. Angka mortalitas streptococcosis
pada kera di HWA Sangeh, Padang tegal dan Alas Kedaton berturut-turut 15%, 9%
dan 5,6% dan jumlah populasi kera yang diperkirakan berturut-turut : 500 ekor,200
ekor dan 500 ekor. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bakteri tersebut diidentifikasi
sebagai Streptococcus sp equi subspesies zooepidemicus yang diidentifikasi grup C
menurut klasifikasi Lancefield (Soedarmanto et al., 1996).
Gejala klinis Streptococcosis yang muncul pada babi lebih beragam dan organ
atau jaringan yang mengalami lesi lebih banyak dari pada monyet. Hal ini dapat
dikaitkan dengan sistem kekebalan tubuh atau respon tubuh babi dan monyet
terhadap infeksi Streptococcus sp zooepidemicus. Faktor ini dapat menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya perbedaan gambaran histopatologi streptokokosis antara
babi dan monyet. Faktor genetik diketahui berperan terhadap kekebalan atau
kerentanan suatu spesies terhadap penyakit (Suradhat, 2005). Meskipun babi dan
monyet sama-sama tergolong sebagai hewan mamalia, namun aspek genetik yang
berbeda antara kedua spesies ini harus tetap dipertimbangkan. Tingkah laku,
fisiologis dan respon metabolik hewan terhadap tantangan dari luar tergantung pada
latar belakang genetic (Terlouw, 2005). Genotip babi memiliki sensitivitas yang lebih
tinggi terhadap patogen dan non patogen, yang diperlihatkan melalui produktivitas
yang menurun dan mortalitas yang meningkat, selama tekanan atau stres penyakit
atau dalam lingkungan sub-optimal (Leininger et al., 2000).
Pada babi masa inkubasi penyakit berlangsung 1-2 hari. Gejala klinik yang
ditemukan mula-mula adalah demam tinggi, kemudian diikuti oleh nafsu makan
menurun sampai anoreksia dan lesu. Babi yang terserang penyakit ini tidak banyak
bergerak dan bergerombol pada satu sudut. Keesokan harinya terlihat pincang pada
salah satu atau lebih dari satu kakinya. Persendiaan membengkak unilateral ataupun
bilateral. Kulit di bagian pinggir daun telinga dan di bawah perut berwarna merah
keungu-unguan. Beberapa kasus menunjukkan gejala saraf seperti tremor,
opistotonus, gerakan mengayuh (paddling movement), meningitis, arthritis,
pneumonia, endokarditis, serositis, keguguran, dan abses lokal. Menjelang kematian
dapat ditemukan darah keluar dari mulut dan hidung (Cole, 1990).
babi oleh karena bakteri bersifat intraseluler dalam monosit atau makrofag kemudian
mengikuti aliran darah sampai ke cairan cerebrospinalis melewati pleksus koroideus.
Bakteri streptococcus memiliki hemaglutinin dan sebagai adhesin untuk perlekatan
bakteri pada sel hospes. Selanjutnya monosit diperkirakan memproduksi sitokin yang
dapat merangsang terjadinya reaksi peradangan.
BAB III
3.1 Hasil
'(,$*""
)".,$& )".,$& )".,$&
*,*
+)(+'',*
)".,$& )".,$& )".,$&
Tabel 2. Kasus Streptococcosis pada Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada
Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tabanan (Triwulan I,II
dan III).
Keterangan:
1. Populasi ternak
2. Kasus Streptococcosis
3. Prevalensi Streptococcosis
*,*+)(+'''*"*
)".,$&
*,*+)(+'''*"*
)".,$&
)-$&*"*,*
+)(+'''*"*)".,$&
)-$&*"*,*
+)(+'''*"*)".,$&
)-$&*"*,*
+)(+'''*"*)".,$&
3.2 PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan pada tahun
2015 triwulan I telah ditemukan kasus Streptococcosis sebanyak 199 ekor dari 91.670
dengan prevalensi 0,21%, triwulan II ditemukan sebanyak 143 ekor dari 91.720
dengan prevalensi 0,15%, dan triwulan III ditemukan sebanyak 307 ekor dai 91.770
dengan prevalensi 0,33% populasi babi yang ada di Kabupaten Tabanan. Ratio
prevalensinya mengalami penurunan pada triwulan II (0,15%) dan mengalami
kenaikan lagi pada triwulan III (0,33%) sehingga kasus Streptococcus sp. mempunyai
sifat endemik di Kabupaten Tabanan.
Endemik merupakan kejadian penyakit pada suatu tempat tertentu yang terjadi
dengan frekuensi menetap sepanjang tahun (Suparyanto, 2012). Dinas Peternakan
Kabupaten Tabanan perlu melakukan tindakan upaya pencegahan, pengamanan, dan
terapi terhadap ternak babi pada kecamatan terancam. Upaya pencegahan yang telah
dilakukan Dinas Peternakan Tabanan terhadap penyakit hewan strategis yang terjadi
di Kabupaten Tabanan meliputi sosialisasi, vaksinasi, eliminasi, pengawasan lalu
lintas ternak, kontrol populasi, dan surveilans.
Prevalensi =
• Prevalensi Streptococcosis
= 0,21%
• Prevalensi Streptococcosis Triwulan II = 0.15%
• Prevalensi Streptococcosis
= 0,33 %
• Ratio kejadian penyakit Streptococcosis yang terjadi pada Triwulan I, Triwulan II,
dan Triwulan III di kecamatan dengan kasus tetinggi dan terendah yang ada di
Kabupaten Tabanan.
a. Triwulan I
*,*'*"+"
*,* +"
$% )+ ,(,&
Interpretasi :
menunjukkan perbedaan yang nyata antara dua kecamatan tertinggi dan terendah
jumlah kasus positif sebanyak 38 ekor, sedangkan yang terendah terjadi di kecamatan
Pupuan dengan kasus positif hanya 1 ekor. Setelah diuji menggunakan program SPSS
Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda nyata (P<0,05) antara kejadian
penyakit Streptococcosis pada Triwulan I di Kecamatan Selemadeg Barat dengan
b. Triwulan II
*,*'*"+"
*,* +"
+,)"+" &$
Interpretasi :
Baturiti dengan jumlah kasus positif sebanyak 34 ekor, sedangkan yang terendah
terjadi di kecamatan Penebel dengan kasus positif hanya 4 ekor. Setelah diuji
Kecamatan Penebel.
c. Triwulan III
Kecamatan Kasus Positif Kasus Negatif
Tabanan 54 6061
Selemadeg Barat 18 8621
*,*'*"+"
*,* +"
&& $% )+
Interpretasi:
Barat dengan kasus positif sebanyak 18 ekor. Setelah diuji menggunakan program
SPSS Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda nyata (P<0,05) antara
jauh dari Dinas Kabupaten Tabanan. Dan faktor lain seperti sanitasi dan sistem
(PPC) dan multivitamin. Selain itu perlu diadakan pula pengawasan terhadap produk
sosialisasi kepada peternak dan disarankan kepada peternak agar segera melapor
kepada Dinas Peternakan atau Dokter Hewan setempat jika pada ternaknya
BAB IV
PENUTUP
4.1. SIMPULAN
Dari data yang didapat di Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan dapat
disimpulkan adalah : Pada tahun 2015 kasus Streptococcosis mengalami pluktuasi di
setiap Kecamatan. Pada triwulan I kasus Streptococcosis dengan prevalensi tertinggi
terdapat di Kecamatan Kediri, pada triwulan II kasus Streptococcosis dengan
prevalensi tertinggi terdapat di Kecamatan Kediri dan pada triwulan III tinggi
prevalensi kasus Streptococcosis pada Kecamatan Kediri sama dengan Kecamatan
Selemadeg.
4.2. Saran
Perlu adanya kerjasama dari masyarakat dan pemerintah dalam menangani
kasus Streptococcosis agar terjadi penurunan kasus setiap bulannya, sehingga kasus
Streptococcosis di Bali khususnya Kabupaten Tabanan dapat diminimalisir. Serta
perlu dilakukan pengawasan dan penanganan yang lebih intensif terhadap Kecamatan
Kediri yang hampir setiap bulan mempunyai tingkat prevalensi penyakit
Streptococcosis yang cukup tinggi. Usaha dinas peternakan dalam melakukan
sosialisasi terhadap peternak babi dan melakukan pemantauan lalu lintas ternak babi
yang ketat pada Kabupaten Tabanan dirasa perlu ditingkatkan karena berdasarkan
data yang ada, Kabupaten Tabanan merupakan daerah endemik Streptococcosis.
DAFTAR PUSTAKA
!++(...%)#%&,$*'%-+ &)$"/'&"+"'&**+)(+''$"&+"'
&*"&(" **+)(+'',**,"*"&+"'&!+%$ (diakses pada tanggal 17
Januari 2014
Jawetz, Melnick, dan Adelberg's. (2007). Medical Microbiology. Mc Graw Hill.
Naipospos, Tri Satya Putri. (2011). Munculnya Penyakit Porcine Reproductive And
Respiratory Syndrome (PRRS) Baru Dan Keterkaitannya Dengan Patogen
Zoonosis Streptococcus suis. Jakarta, Indonesia.
Suarjana, IGK, Widya,A. 2012. Karakterisasi Molekuler dan Uji Patogenesitas
Streptococcus Patogen Isolat Asal Bali. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 4
No.1. :1-8. ISSN : 2085-2495
Reams, R.Y, Lawrence, T.G, Daniel, D.H, Terry, L.B, Leon, T. 1993. Streptococcus
suis infection in swine: a retrospective study of 256 cases. Part I.
Epidemiologic factors and antibiotic susceptibility patterns. J Vet Diagn
Invest 5:363-367
Zamzam. (2014). Identifikasi Streptococcus. (diakses pada tanggal 10 Januari
2014).!++(+$(')+)*$' *('+'% "&+""#*"
*+)(+'',*!+%$