Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

melihat keberhasilan upaya kesehatan ibu. AKI adalah rasio kematian ibu

selama masa kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh

kehamilan, persalinan, dan nifas di setiap 100.000 kelahiran hidup. Selain

untuk menilai program kesehatan ibu, indikator ini mampu menilai derajat

kesehatan masyarakat, karena sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan

kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas maupun kualitas. Secara umum

terjadi penurunan angka kematian ibu selama periode 1991-2015 dari 390

menjad 305 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun terjadi kecenderungan

penurunan angka kematian ibu, namun tidak berhasil mencapai target

MDGs yang harus dicapai yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup

pada tahun 2015. Hasil supas tahun 2015 memperlihatkan angka kematian

ibu tiga kali lipat dibandingkan target MDGs. (Kementrian Kesehatan RI ,

2019)

Preeklampsia merupakan permasalahan yang penting di bidang

obstetrik karena masih menjadi penyebab utama kematian ibu jika

dibandingkan dengan perdarahan dan infeksi. Preeklampsia adalah

sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat


vasospasme dan aktivasi endotel yang terjadi setelah umur kehamilan 20

minggu (Cunningham, 2014).

Preeklampsia adalah penyakit multisistemik yang ditandai dengan

perkembangan hipertensi setelah 20 minggu kehamilan pada wanita

normotensi sebelumnya, dengan adanya proteinuria atau jika tidak ada,

tanda atau gejala yang menunjukkan cedera organ target.(peres, miguel,

2018). Tanda klinis melibatkan banyak organ, termasuk hati, ginjal,

jantung, paru-paru, otak, dan pankreas. Komplikasi ini dapat

mengakibatkan hasil yang merugikan ibu dan janin yang dapat

menyebabkan hambatan pertumbuhan intrauterin, hipoperfusi plasenta,

gangguan plasenta prematur atau dalam situasi yang paling serius,

penghentian kehamilan dan kematian janin dan ibu. (peres, miguel,2018)

Preeklampsia dapat dibedakan menjadi ringan dan berat, sesuai

dengan tingkat keparahan dan jenis gejala yang ada. Preeklampsia ringan

ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik ≥ 90 mmHg, proteinuria > 300 mg/24jam. Preeklampsia berat

ditandai dengan tekanan darah sistolik >160mmHg, tekanan darah

diastolik >110mmHg, proteinuria berat > 2g/24jam atau tanda dn gejala

kerusakan organ target. Wanita pada preeklampsia berat ini dapat

mengalami sakit kepala, gangguan penglihatan (termasuk kebutaan, nyeri

epigastrium, mual dan muntah, insufisiensi hati dan ginjal,serta edema

paru. (peres, migeul, 2018)


Preeklampsia menunjukkan tanda-tanda saat sistolik pada tekanan

darah lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tingkat tekanan darah diastolik

lebih besar dari 110mmHg. Preeklampsia ditandai dengan (1) proteinuria

dengan rasio proteinuria / creatininuria di atas 0,3 mg, atau tes dipstick

urin atau di atas 1+, atau proteinuria di atas 300 mg / 24 jam. (2) Disfungsi

organ ibu yang bisa menjadi insufisiensi ginjal, ditandai oleh kreatinin di

atas 1,02 mg / dL terjadinya gangguan hati, yang ditandai dengan

peningkatan transaminase dua kali di atas tingkat normal, atau rasa sakit di

hipokondrium kanan, atau epigastralgia, komplikasi neurologis, ditandai

dengan skotoma atau sefalgia persisten disertai oleh hyperreflexia atau

eklampsia atau kecelakaan serebrovaskular atau amaurosis; dan komplikasi

hematologis yang terdiri dari trombositopenia atau hemolisis.(3) Disfungsi

uterus: pertumbuhan pada janin (Mayrink, et al., 2018 ).

Kekurangan vitamin D mempengaruhi lebih dari satu miliar orang

(Holick, 2011) dan sekarang diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat

utama (Mithal, 2009). Kekurangan vitamin D ditemukan di Asia Selatan

dan Asia Tenggara. Prevalensi defisiensi vitamin D sekitar 70% atau lebih

tinggi di Asia Selatan dan bervariasi dari 6-70% di Asia Tenggara

(Nimitphong & Holick, 2013).

PE merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab

utama kematian serta kesakitan maternal maupun perinatal.

PE merupakan penyakit yang angka kejadiannya di setiap negara

berbeda-beda. Angka kejadian lebih banyak terjadi di negara yang sedang

berkembang daripada di negara maju. Hal ini disebabkan oleh karena di


negara maju perawatan prenatalnya lebih baik. Kejadian PE dipengaruhi

oleh paritas, ras, faktor genetik dan lingkungan. Kehamilan dengan PE

lebih umum terjadi pada primigravida, sedangkan pada multi gravida

berhubungan dengan penyakit hipertensi kronis, diabetes melitus dan

penyakit ginjal.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada hubungan kadar kortisol dan serum 25 hydroxyvitamin

D terhadap ibu Preeklampsia ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya hubungan kadar kortisol dan serum 25

hydroxyvitamin D terhadap ibu preeklampsia di RSUP M Djamil Padang.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kejadian preeklampsia di RSUP M Djamil Padang

b. Mengetahui hubungan kadar kortisol terhadap ibu preeklampsia di RSUP

M. Djamil Padang

c. Mengetahui hubungan serum 25 Hydrovitamin D terhadap ibu

preeclampsia RSUP M. Djamil Padang

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1.5. HIPOTESIS PENELITIAN


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsia

2.1.1 Pengertian

Preeklampsia didefinisikan hipertensi dalam kehamilan yang dicirikan dengan

tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥90 mmHg yang diukur dua

kali dengan selang waktu 4-6 jam, disertai proteinuria (kadar protein ≥ 300 mg/24 jan atau ≥

± 1) yang di dapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu dan semua kelainan ini akan

menghilang sebelum 6 minggu pasca persalinan (Cunningham et al, 2014; Gibbs et al, 2008).

2.1.2 Klasifikasi

Preeklampsia dibagi menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.

Preeklampsia ringan didefinisikan dengan terdapatnya hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90

mmHg) yang terjadi dua kali dalam rentang waktu paling sedikit 6 jam dan terdapatnya

proteinuria 1+ atau lebih (paling sedikit 300 mg protein dalam urin selama 24 jM. Edema dan

hiperrefleksia sekarang bukan merupakan pertimbangan utama dalam kriteria diagnosis

preeklampsia ringan. Walaupun proteinuria sekarang diketahui tidak selalu muncul pada

kasus preeklampsia, proteinuria tetap dipakai sebagai marker objektif yang mencerminkan

terjadinya kebocoran endotel secara luas yang menjadi ciri khas preeklampsia (cunningham

et al, 2014).

Kriteria dignosa preeklampsia berat adalah apabila terdapat gejaladan tanda sebagai

berikut (saifuddin, 2008) :

a. Sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg yang terjadi dua kali dalam waktu

paling sedikit 6 jam

b. Proteinuria lebih dari 5 gram dalam urin 24 jam


c. Edema pulmonal

d. Oligouria ( < 400 ml dalam 24 jam)

e. Sakit kepala yang menetap

f. Nyeri epigastrium dan atau kerusakan fungsi hati

g. Trombositopenia

h. Keterbatasan perkembangan intrauterus

i. Peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus

j. Skotoma dan gangguan visus lain

k. Perdarahan retina

l. Koma

2.1.3 Faktor Risiko

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya

preeklampsia :

1. Nulipara

2. Penyakit kronik atau vaskular (diabetes pregestasional, penyakit ginjal, hipertensi kronik,

penyakit rematik, penyakit jaringan ikat)

3. Kehamilan mola hidatidosa

4. Hidrops fetalis

5. Gestasi multifetal

6. Obesitas dan resistensi insulin

7. Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

8. Trombofilia

9. Riwayat keluarga preeklampsia atau eklampsia

10. Aneuploid pada fetal


11. Infeksi maternal

12. Usia ibu yang ekstrim (< 20 tahun atau > 35 tahun) (Cunningham et al 2014, Gibbs et al,

2008).

Selain itu, faktor risiko lain yang diduga berhubungan dengan terjadinya preeklampsia

adalah faktor lingkungan, sosial ekonomi dan bahkan pengaruh musim. Walaupun merokok

umumnya menimbulkan efek samping yang buruk pada kehamilan, tetapi pada kasus

preeklampsia ditemukan bahwa merokok dihubungkan dengan penurunan risiko terjadinya

hipertensi pada kehamilan. Mekanisme ini belum secara jelas diketahui, diduga mengatur

ekspresi adrenomedullin plasenta yang mengatur volum homeostasis (kraus et al, 2014).

2.1.4 Etiologi

Penyebab preeklampsia/eklampsia sampai sekarang belum diketahui secara pasti.

Banyak teori yang menerangkan namun belum dapat memberi jawaban yang memuaskan.

Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan adalah iskemia plasenta. Namun teori ini tidak

dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan kondisi ini. Hal ini disebabkan karena

banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya preeklampsia/eklampsia (Cunningham et al,

2014).

2.2 Kortisol

2.2.1 Pengertian

2.3 Vitamin D

2.3.1 Pengertian

Vitamin D adalah senyawa mirip steroid yang penting untuk penyerapan kalsium di

usus. Vitamin D sesungguhnya layak dianggap sebagai suatu hormon karena zat ini dapat

diproduksi di kulit dari prekursor yang berkaitan dengan kolesterol (7 dehidrokolesterol) oleh

kerja sinar matahari. Akan tetapi secara tradisional zat perantara kimiawi ini dianggap

sebagai vitamin karena dua alasan.


Pertama, zat ini mula-mula ditemukan dan diisolasi dari makanan dan diberi label

vitamin. Kedua, walaupun kulit dapat menjadi sumber vitamin D yang cukup jika terpapar

cukup sinar matahari, tetapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar

beraktivitas di dalam ruangan dan pemakaian baju sebagai respons terhadap cuaca dingin dan

kebiasaan sosial tidak memungkinkan kulit terpapar sinar matahari secara terus menerus.

Dengan demikian, sebagian besar vitamin D yang esensial ini harus diperoleh dari makanan

(Guyton dan Hall, 2007).

Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang dapat bertindak sebagai hormon.

Vitamin D diproduksi secara endogen dalam kulit dari paparan sinar matahari atau diperoleh

dari makanan yang secara alami mengandung vitamin D (misalnya minyak ikan cod, salmon,

mackerel dan tuna), makanan yang diperkaya vitamin D dan suplemen yang mengandung

vitamin D (Nezhad dan Holick, 2013).

2.3.2 Nomenklatur dan Struktur Kimia

Vitamin D adalah nama generik dari dua molekul yaitu ergokalsiferol (vitamin D2)

dan kolekalsiferol (vitamin D3). Prekursor vitamin D hadir dalam fraksi sterol dalam jaringan

hewan (dibawah kulit) dan tumbuh-tumbuhan berturut-turut dalam bentuk 7

dehidrokolesterol dan ergosterol. Keduanya membutuhkan radiasi sinar ultraviolet untuk

mengubahnya ke dalam bentuk provitamin D3 (kolekalsiferol) dan D2 (ergokalsiferol).

Kedua provitamin membutuhkan konversi menjadi bentuk aktifnya melalui penambahan dua

gugus hidroksil. Gugus hidroksil pertama ditambahkan di dalam hati pada posisi 25 sehingga

membentuk 25 hidroksi vitamin D. Gugus hidroxyl kedua ditambahkan di dalam ginjal

sehingga membentuk 1,25 dihidroksi vitamin D. Provitamin D berasal dari hewan

membentuk 1,25 dihidroksikolekalsiferol dikenal dengan kalsitriol, sedangkan yang berasal

dari tumbuh-tumbuhan membentuk 1,25 dihidroksi ergokalsiferol dikenal dengan erkasitriol.


Kedua bentuk vitamin D efektif untuk manusia. Bentuk tumbuh-tumbuhan terutama

digunakan sebagai bahan tambahan makanan (Almatsier, 2009).

Vitamin D3 dan turunan hidroksilnya ditranspor dalam plasma berikatan dengan suatu

globulin spesifik yaitu protein pengikat vitamin D (DPB) yang juga dikenal dengan protein

Gc dan mengikat G-aktin. Vitamin D3 meningkatkan aktivitas kemostatik neutrofil yang

terinduksi oleh komplemen. Afinitas DPB terhadap provitamin D3 rendah, tetapi afinitas

terhadap vitamin D3 tinggi sehingga DPB memindahkan vitamin D3 dari kulit ke dalam

sirkulasi. Vitamin D3 mengalami metabolisme oleh enzim-enzim yang merupakan anggota

superfamili enzim sitokrom P450 (CYP). Vitamin D3 dan turunannya berupa sekosteroid

yang merupakan steroid yang salah satu cincinnya telah terbuka. Dalam hal ini yang terbuka

adalah cincin B (Ganong, 2003).

Vitamin D harus diubah melalui srangkaian reaksi dalam hati dan ginjal menjadi

bahan aktif yaitu 1,25 dihidroksi vitamin D. Beberapa senyawa yang berasal dari sterol

termasuk dalam kelompok vitamin D dan memiliki fungsi yang kurang lebih sama. Dari

kelompok ini yang paling penting adalah vitamin D3 yaitu kolekalsiferol. Sebagian besar

bahan ini dibentuk didalam kulit sebagai akibat dari radiasi sinar matahari pada 7

dehidrokolesterol. Senyawa vitamin D tambahan yang terdapat dalam makanan yang kita

konsumsi identik dengan kolekalsiferol yang dibentuk pada kulit kecuali penggantian pada

salah satu atau lebih atomnya yang tidak mempengaruhi fungsinya. 1,25 dihidroksi vitamin D

adalah suatu hormon karena dihasilkan di dalam tubuh dan mengalir dalam darah untuk

menimbulkan efek di sel-sel sasaran (Ganong, 2003).

2.3.3 Mekanisme Kerja

1,25 dihidroksi vitamin D bekerja melalui suatu reseptor yang merupakan salah satu

dari superfamili reseptor yang dengannya steroid, hormon tiroid dan sejumlah bahan lain
mencetuskan perubahan dalam ekspresi gen. Pengikatan steroid ke reseptor menyebabkan

regio pengikat DNA terpajan, dan dalam hal ini akibatnya adalah peningkatan transkripsi

sebagian mRNA dan menghambat transkripsi sebagian lainnya, mRNA yang terbentuk

sebagai respon terhadap 1,25 dihidroksi vitamin D menentukan pembentukan suatu famili

protein kalbindin-D. Protein-protein ini merupakan anggota dari superfamili protein pengikat

Ca2+ troponin C yang juga mencakup kalmodulin. Kalbindin-D ditentukan pada usus,otak dan

ginjal manusia dan pada berbagai jaringan tikus.

Di epitel usus dan di banyak jaringan lain terbentuk dua kalbindin, kalbindin D 9K yang

memiliki berat molekul 9000 dan mengikat 2 Ca2+ dan kalbindin-D28K yang memiliki berat

molekul 28.000 dan secara normal mengikat 4 Ca2+, walaupun memiliki 6 tempat pengikatan

Ca2+. di usus, peningkatan kadar kalbindin-D9K dan kalbindin-D28K berkaitan dengan

peningkatan transpor Ca2+, tetapi bagaimana keduanya mempermudah pergerakan Ca2+

melintasi epitel usus masih belum jelas. Terdapat juga bukti 1,25 dihidroksi vitamin D

meningkatkan jumlah molekul Ca2+ -H+ ATPase disel-sel usus yang dibutuhkan untuk

memompakan kalasium ke dalam interstinum.

Selain meningkatkan penyerapan Ca2+ dari usus, 1,25 dihidroksi vitamin D

mempermudah reabsorbsi Ca2+ di ginjal. Bahan ini bekerja pada tulang yang di dalamnya

memobilisasi Ca2+ dan PO43- dengan meningkatkan jumlah osteoklas matang. Ia juga

merangsang osteoblas tetapi efek akhir tetap mobilisasi Ca2+. Reseptor 1,25 dihidroksi

vitamin D di temukan di berbagai jaringan selain di usus, ginjal dan tulang. Diantaranya

adalah kulit, limfosit, monosit, otot rangka, otot jantung, payudara dan kelenjer hipofisis

anterior. Semakin banyak bukti bahwa 1,25 dihidroksi vitamin D merangsang diferensiasi

sel-sel imun dan keratinosis di kulit. Dalam hal ini sangatlah menarik bahwa peningkatan

insiden infeksi pada penderita defisiensi vitamin D dan 1,25 dihidroksi vitamin D tampaknya
berperan dalam pengaturan pertumbuhan dan produksi faktor-faktor pertumbuhan (Ganong,

2003).

2.3.4 Pengaturan Sintesis

Pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin D di ginjal dikatalisis oleh 1 α hidroksilase

diatur secara umpan balik oleh Ca2+ dan PO43- plasma. Pembentukan di permudah oleh PTH

(hormon paratiroid) dan bila kadar Ca2+ plasma rendah sekresi PTH meningkat. Apabila

kadar Ca2+ plasma tinggi hanya sedikit 1,25 dihidroksi vitamin D yang dibentuk dan di ginjal

menghasilkan metabolit 24,25 dihidroksi vitamin D yang relatif inaktif. Efek Ca2+ pada

pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin D ini adalah mekanisme yang mengatur adaptasi

penyerapan Ca2+ dari usus. Pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin D juga meningkat oleh

kadar PO43- yang rendah dan terhambat pada kadar yang tinggi, melalui efek inhibisi

langsung PO43- pada 1 α hidroksilase. Pengendalian lain atas pembentukan 1,25 dihidroksi

vitamin D datang dari efek umpan balik negatif metabolit pada 1 α hidroksilase, efek umpan

balik positif pada pembentukan 24,25 dihidroksi vitamin D dan efek langsung pada kelenjer

paratiroid untuk menghentikan pembentukan mRNA PTH. Estrogen meningkatkan 1,25

dihidroksi vitamin D total dalam darah, tetapi hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan

sekresi protein pengikatnya tanpa adanya perubahan pada 1,25 dihidroksi vitamin D total

dalam darah, tetapi hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan sekresi protein pengikatnya

tanpa adanya perubahan pada 1,25 dihidroksi vitamin D bebas. Hiperparatiroidisme berkaitan

dengan penurunan 1,25 dihidroksi vitamin D dalam darah dan peningkatan insiden

osteoporosis. Pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin D tertekan oleh asidosis metabolik.

Hormon pertumbuhan, hCS dan kalsitonin merangsang pembentukan 1,25 dihidroksi vitamin

D (Ganong, 2003).

2.3.5 Metabolisme Vitamin D


Vitamin D (D mewakili D2 dan D3 atau keduanya) adalah secosterol yang diproduksi

secara endogen dikulit dari paparan sinar matahari atau dari makanan yang secara alami

mengandung vitamin D, termasuk minyak ikan cod dan ikan berlemak (misal ikan salmon,

makarel, tuna). Jamur yang terkena sinar UV, makanan yang diperkaya vitamin D serta

suplemen vitamin D. Selama paparan sinar matahari ultraviolet B (UVB), 7 dehidrokolesterol

(7-DHC) dikulit dirubah menjadi previtamin D3. 7-DHC terdapat di semua lapisan kulit

manusia. Sekitar 65 % 7-DHC ditemukan dalam epidermis dan lebih dari 95 % previtamin

D3 yang dihasilkan di epidermis. Oleh karena itu, tidak dapat dihapus dari kulit ketika dicuci.

Setelah previtamin D3 disintesis dikulit juga mengalami photokonversi ke lumisterol,

tachysterol dan 7-DHC atau panas yang disebabkan oleh peningkatan isomerasi membran

menjadi vitamin D3. Produksi previtamin D3 dikulit telah diatur. Photoproduk matahari

(tachysterol dan lumisterol) tidak aktif pada metabolisme kalsium yang dihasilkan pada saat

kontak terlalu lama dengan sinar UVB, sehingga matahari mencegah keracunan vitamin D.

Vitamin D3 juga sensitif terhadap radiasi mataharidan demikian menjadi tidak aktif

suprasterol 1 dan 2 dan 5,6 transvitamin D. Produksi vitamn D 3 dikulit dipengaruhi oleh

pigmentasi kulit, tabir surya yang digunakan sepanjang hari, musim, lintang, ketinggian dan

polusi udara. Demikian juga karena kaca penyerap semua radiasi UVB, tidak ada vitamin D 3

diproduksi di kulit saat kulit terkena sinar matahari yang melewati kaca.

Setelah terbentuk vitamin D3 dikeluarkan dari membran keratinosit plasma dan ditarik

ke dalam kapiler kulit oleh vitamin D binding protein (DBP). Vitaamin D yang dicerna di

masukkan ke dalam kilomikron yang di lepaskan ke sistem limfatik dan memasuki sirkulasi

darah vena yang berikatan dengan DBP dan lipoprotein diangkut ke hati.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross

sectional yaitu kadar kortisol dan serum 25 Hydroxyvitamin D terhadap ibu

preeclampsia diperiksa dalam waktu yang bersamaan (Riyanto,agus,2019).

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit RSUP M. Djamil Padang dengan

pengumpulan sampel di mulai pada bulan Oktober sampai November tahun 2020.

Pemeriksaan kadar kortisol dan serum 25 hydroxyvitamin D dilakukan di

Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu hamil dengan usia kehamilan di

atas 20 minggu terdiagnosa preeclampsia yang dirawat di ruang bersalin RSUP M.

Djamil Padang.

4.3.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili

populasi. Sampel pada penelitian ini adalah ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi.

1. Kriteria Inklusi

a. Ibu hamil yang terdiagnosa preeklampsia berdasarkan gejala klinis dan di

dukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium.

b. Ibu hamil preeklampsia yang di rawat di ruang bersalin RSUP M.Djamil

Padang.
c. Usia kehamilan di atas 20 minggu yang ditentukan dari penggunaan rumus

maegel dengan mengingat HPHT atau melalui pemeriksaan ultrasonografi

(USG).

d. Kehamilan tunggal yang ditentukan dari pemeriksaan USG oleh dokter yang

dilihat pada rekam medis pasien.

e. Bersedia menjadi responden penelitian dan telah menandatangani lembar

informed consent.

2. Kriteria Ekslusi

a.

3. Teknik pengambilan sampel

4.4. Variabel Penelitian

4.4.1. Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini adalah kadar kortisol dan serum

Hydroxyvitamin D.

4.4.2. Variabel Dependen

Variabel dependen pada penelitian ini adalah preeklampsia.

4.5. Definisi Operasional

4.6. Alat dan Bahan Penelitian

4.7. Prosedur Kerja Penelitian

Anda mungkin juga menyukai