Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya
dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak, merupakan suatu penyakit yang
biasa terjadi. BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau
hipertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang kearh depan ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat
menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah benigna prostat hipertropi
sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar, tetapi
kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami hipeplasia (sel-selnya
bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi
gepeng dan disebut kapsul surgical.
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh karena hyperplasia beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar ataun jaringan fibromuskuler yang
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah
RSUD dr.Sutomo, 1994: 193).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra
pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-
buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna
prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada
orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan.
2. Klasifikasi
Menurut Rumahorbo (2000) terdapat empat derajat pembesaran kelenjar
prostat yaitu sebagai berikut:
a). Derajat rectal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar
prostat kearah rectum. Rektal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba
konsistensi elastic, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan
permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan
batas atas teraba menonjol lebih dari 1cm dan berat prostat diatas 35 gram.
Ukuran pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu
sebagai berikut:
 Derajat 0: ukuran pembesaran prostat 0-1cm
 Derajat I: ukuran pembesaran prostat 1-2cm
 Derajat II: ukuran pembesaran prostat 2-3cm
 Derajat III: ukuran pembesaran prostat3-4cm
 Derajat IV: ukuran pembesaran prostat 4cm
b). Derajat klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien
disuruh BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan kateterisasi. Urin
yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urin. Residual urin
dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut:
 Normal sisa urin adalah nol
 Derajat I sisa urine 0-50 ml
 Derajat II sisa urine 50-100 ml
 Derajat III sisa urine 100-150 ml
 Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama
sekali. Bila kandung kemih telah penuh dan klienmerasa kesakitan,
maka urine akan keluar secara menetes dan periodic, hal ini disebut
over flow incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine
sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin
bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuri.
c). Derajat intra vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rongen atau
cystogram, penendoscopy. Bila lobus medalis melewati muara uretra, berarti
telah sampai pada stadium tiga derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada
stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi
infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggil dan
nyeri didaerah pingguang serta kemungkinan telah terjadi pylitis dan
trabekulasi bertambah.
d). Derajat intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk
melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra.
Pada stadium ini telah terjadi retensi urine total.
Tahapan perkembangan penyakit BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De Jong
(2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi:
(1). Derajat I
a. apabila ditemukan keluham prostatismus
b. pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat batas atas mudah teraba
c. sisa urin kurang dari 50ml
(2). Derajat II
a. Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai
b. Sisa urin 50-100 ml
(3). Derajat III
a. Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba
b. Sisa urin lebih dari 100 ml
(4). Derajat IV
a. Apabila sudah terjadi retensi urine

3. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesa menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron ( DHT )
dan proses aging ( menjadi tua ). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
(1). Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
pada usia lanjut.
(2). Peranan dari growth factor ( faktor pertumbuhan ) sebagai pemacu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
(3). Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati
(4). Teori sel stem menerangkan bahwa terjadinya proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan se epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.

4. Anatomi Fisiologi
(1). Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah
kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya
berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini
menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar
panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1
Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos
Prostat dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat
dibungkus oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica
yang tebal. Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang
berisi anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal
dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic
urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum
puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar
dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari
fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat
( Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50
kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus
anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra
dan dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang10 terletak dikanan
uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan
menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak
mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus medial
yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung
kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula
vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini
membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu
berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut
atau buah kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm,
dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian-
bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah
jaringan stroma (penyangga) dan kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di
gambar 2.2.
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari
pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut
parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus.
Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat
kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik
memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-
buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik
menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria
akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga
dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih (Purnomo, 2011).
(2). Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin
ini masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian
tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada
orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi
androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel
kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif
bekerja pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu
dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase,
kalsium dan koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat,
kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas
deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan semen yang lainnya.
Cairan prostat merupakan 70% volume12 cairan ejakulat dan berfungsi
memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar spermatozon tidak cepat
mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4).
Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior
untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume
ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat
melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan,
sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6
sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman
cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan
dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).

5. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal
setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi.
Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio
urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
- Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah
gambaran awal dan menetap dari BPH.
- Hesistancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
melawan resistensi uretra.
- Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra
sanpai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi
karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
- Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap
miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
- Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal
dari korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra berkurang selama tidur.
- Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
- Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit, urine keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli
mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik
melebihi tekanan sping.
6. Gejala Klinik
Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower
Urinary Tract Symptom ( LUTS ), dibedakan menjadi gejala iritatif dan
obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi ( frekuensi ), terbangun untuk miksi pada
malam hari ( nokturia ), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi),
dan nyeri pada saat miksi ( disuria ). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran
melemah, rasa tidak lampias atau puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama ( hesitancy ), harus mengedan ( training ), kencing terputus-putus
( intermittency ), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio
urine dan inkontinen karena overflow.
Gejala lain diluar saluran kemih, yaitu tidak jarang klien berobat ke dokter
karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua
penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan dari tekanan intraobdominal. Untuk menilai tingkat keparahan dari
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli/orgnisasi urologi
membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri
oleh klien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah skor Internasional
gejala prostat atau Internaional Prostatic Symptom Score ( I-PSS ).
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35

Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi berdasarkan penemuan pada
colok dubur dan sisa volume urine , seperti bagan dibawah Tabel 1
meneurut Siamsuhidajat & de jong (2005)
Gejala dan tanda pada klien yang lebih lanjut penyakitnya, misalnya gagal
ginjal, dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi,
foetor uremik, peri karditis, ujung kaki yang pucat, tanda-tanda penurunan mental
serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal
teraba dan ada nyeri di CVA ( Costa Vertebrae Angularis ).
6. Komplikasi
Pembesaran prostat jinak (BPH) kadang-kadang dapat mengarah pada
komplikasi akibat ketidakmampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin.
Beberapa komplikasi yang mungkin dapat timbul antara lain: seiring dengan
semakin beratnya BPH , dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 20002)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesika urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuri. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada penderita BPH yaitu: infeksi saluran
kemih, penyakit batu kandung kemih, retensi urin akut atau ketidakmampuan
berkemih, kerusakan kandung kemih dan ginjal.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun
prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf
pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual
dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik
telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung
kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth, 2002).
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin.
Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu
lagi menampung urin sehinnga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal (Mansjoer, 2000)

7.
Pathway
8. Pemeriksaan Diagnostik
(1) a. Inspeksi buli-buli:
ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik ( buli-buli penuh / kosong )
b. Palpasi buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik menimbulkan rangsangan
ingin kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa massa yang kontraktil dan
“Ballottement”.
c. Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.

(2). Colok dubur.


Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur harus di perhatikan konsistensi prostat (pada
pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris adakah nodul
pada prostat , apa batas atas dapat diraba . Dengan colok dubur besarnya prostat
dibedakan :
- Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
- Grade 2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
- Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.

(3). Laboratorium.
- Darah lengkap sebagai data dasar keadaan umum penderita.
- Gula darah dimak sudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetus
militus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
nerogen).
- Faal ginjal (BUN, kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui kemungkinan
adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
- Analisis urine diperiksa untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi
atau inflamasi pada saluran kemih.
- Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebadkan infeksi dan sekligus menentukan sensitifitas kuman terhadap
beberapa anti mikroba yang diujikan.

(4). Flowmetri
Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan
ml/detik. Penderita dengan sindroma protalisme perlu di periksa dengan flowmetri
sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian :
Fmak <10ml/detik --------obstruktif
Fmak 10-15 ml/detik-----borderline
Fmak >15 ml/detik-------nonobstruktif

(5). Radiologi.
- Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan
kadang kadang dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi
urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
- Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis, dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter
berkelok kelok di vesikula) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel,
residu urine atau filling defect divesikula.
- Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau
trasrektal (trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui
pembesaran prostat < pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume
buli-buli, meng ukur sisa urine dan keadaan patologi lain seperti
divertikel, tumor dan batu. Dengan TRUS dapat diukur besar prostat untuk
menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula
dilakukan dengan USG suprapubik.
- Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan
cystoscop. Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor
dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang
dari muara ureter, atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat
juga memberi keterangan mengenahi besarprostat dengan mengukur
panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjalan prostat kedalam
uretra.
(6). Kateterisasi:
Mengukur “rest urine “ Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi sepontan
dengan cara kateterisasi . Sisa urine lebih dari24 100 cc biasanya dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat.
B. Konsep Dasar Pengobatan
1. Anestesi Spinal
(1). Pengertian Spinal Anestesi
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal,
secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di
bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013).
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang
masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada
ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk,
2011).
(2). Tujuan Spinal Anestesi
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 Spinal anestesi dapat
digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut
maupun kronik.
(3). Indikasi Spinal Anestesi
Menurut Keat, dkk tahun 2013, indikasi pemberian spinal anestesi ialah
untuk prosedur bedah di bawah umbilicus.
(4). Kontraindikasi Spinal Anestesi
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang luas
seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia
yang belum terkorelasi karena dapat mengakibatkan hipotensi berat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut Sjamsuhidayat
& De Jong tahun 2010, ialah :
(a). Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup
(b). Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera.
(c). Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada
besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan.
(5). Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang utama
digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan
bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder, S.,
2011). Berikut ini uraian obat spinal anestesi :
1. Lidokain
a. Onset kerja : cepat
b. Dosis maksimum : 3-5mg/kg
c. Durasi kerja ; Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan
d. Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan
bupivakain
e. Metabolisme : di hati, n-dealkylation yang diikuti dengan
hidrolisis untuk menghasilkan metablit yang dieksresikan di
urin .Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf,
infitrasi dan anestesi regional intravena begitu juga topical,
epidural dan itratekal. Bagaimanapun juga ini termasuk antiaritmik
kelas 1B dan dapat digunakan untuk terapi takikardi.
2. Bupivakain
a. Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit,
intratekal 30 detik
b. Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; pidural 3-4 jam;
intrakardial 2-3 jam
c. Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas
kardiak berupa penurunan tekanan darah dibandingkan obat
anestesi lokal lainnya
d. Eliminasi : N-dealkylation menjadi pipecolyoxylidine dan
metabolit lainnya yang diekskresikan di urin Bupivakain lazim
digunakan untuk spinal anestesi. Menggunakan plain bupivacaine
membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke bawah, yang dapat
mengakibatkan peningkatan blok yang membahayakan fungsi
respirasi dan kardio. Jika dekstrosa ditambahkan akan menjadi
berat (heavy) dan akan mengalir lebih dapat diprediksi turun ke
tulang belakang, hanya memengaruhi saraf yang non esensial.
Larutan plain dapat menyebabkan hipotensi yang lebih sedikit tapi
pasien harus tidur terlentang (Keat, dkk., 2013).
3. Tetrakain Tetrakain (pantocaine),
suatu ester amino kerja – panjang, secara signifikan lebih paten
dan mempunyai durasi kerja lebih panjang daripada anestetik lokal
jenis ester lain yang umum digunakan. Obat ini banyak digunakan
pada spinal anestesi ketika durasi kerja obat yang panjang
diperlukan. Tetrakain juga ditambahkan pada beberapa sediaan
anestetik topikal. Tetrakain jarang digunakan pada blokade saraf
perifer karena sering diperlukan dosis yang besar, onsetnya yang
lambat, dan berpotensi menimbulkan toksisitas (Brunton, dkk,
2011).
(6). Teknik Pemberian Spinal Anestesi
Teknik pemberian spinal anestesi menurut Gruendemann & fernsebner, tahun
2006 ialah :
(a). Klien diletakkan pada satu dari beberapa posisi yang memaksimalkan
kemungkinan pungsi dicelah antara vertebra lumbal kedua dan sakral
pertama. Posisi paling sering diambil adalah decubitus lateral, yang baik
bagi klien yang mendapat sedasi. Selain itu, posisi duduk diindikasikan
untuk klien gemuk apabila tanda – tanda patokan anatomis sulit
diidentifikasi. Kadang – kadang posisi ‘pisau lipat’ telungkup digunakan
untuk klien yang menjalani pembedahan rektum.
(b). Sewaktu klien diletakkan dalam posisi decubitus lateral, klien akan
berbaring pada salah satu sisinya, sangat dekat dengan tepi tempat tidur.
Panggul, punggung, dan bahu harus sejajar dengan tepi tempat tidur.
Apabila klien ditempatkan dengan benar, sebuah garis imajiner anatar
bagian atas kedua krista iliaka akan berjalan melalui vertebra L4 atau 12
antar – ruang L4-5. Tanda petunjuk ini digunakan untuk menentukan
lokasi antar – ruang lumbal tempat pungsi dilakukan.
(c). Sebelum dilakukan pungsi, klien dibantu untuk menarik kedua
lututnya kearah dada dan menekuk kepala dan leher kearah dada. Dengan
demikian, punggung akan melengkung, sehingga prosesus spinalis terbuka
secara maksimum.
(d). Prosedur pungsi spinal pada dasarnya sama dengan berbagai posisi
klien, baik posisi duduk atau ‘pisau lipat’. Klien dalam posisi duduk
memerlukan penopang yang kuat dibawah kaki mereka dan harus dibantu
untuk condong ke depan dengan lengan ditekuk agar punggung
melengkung. Dalam posisi ini, klien dapat ditopang oleh perawat atau oleh
sebuah cantelan mayo yang terpasang kuat.
(e). Setelah pungsi dilakukan dan cairan serebrospinalis mengalir melalui
aspirasi lembut alat suntik yang dihubungkan dengan jarum spinal, obat
anestetik lokal dapat disuntikan dengan kecepatan sekitar 1 ml sampai 5
sampai 10 detik. Penyebaran anestetik lokal melalui cairan serebrospinalis
dipengaruhi oleh dosis total yang disuntidkkan, konsentrasi larutan,
keadaan kanalis spinalis, dan posisi klien selama dan segera, setelah
suntikan anestetik lokal.
(f). Setelah obat disuntikkan di klien perlu diposisikan dengan ketinggian
anestesi yang dapat dicapai sehingga memblok serabut yang menpersarafi
kulit dan organ internal yang akan dikenal oleh prosedur operasi.
2. Penatalaksanaan
(1). Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
akut (100 ml).
b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung
kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml.
c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem
perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowcytometri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
(1) Prostatektomi Suprapubis
a) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung
kemih.
b) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter
suprapubis setelah operasi.
(2) Prostatektomi Neuropubis
a) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
b) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
(3) Prostatektomi Perineal
a) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c) Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan
epididimistis.
d) Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan
perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).
e) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase)
diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
Pada prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat
meliputi:
1. Inkotenensi urinarius temporer
2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan
kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh
ejakulasi dini kedalam kandung kemih.
C. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Nursalam (2008), menyatakan fokus pengkajian data hipertropi
prostat berdasarkan dari kaji riwayat adanya gejala meliputi serangan , frekuensi
urinaria setiap hari, berkemih pada malam hari, sering berkemih, perasaan tidak
dapat mengosongkan vasika urinaria, dan menurunnya pacaran urine. Kemudian
gunakan indeks gejala untuk menentukan gejala berat dan dampak terhadap gaya
hidup pasien. Lakukan pemeriksaan rektal (palpasi ukuran, bentuk, dan
konsistensi) dan pemeriksaan abdomen untuk mendetaksi distensi kandung kemih
serta derajat pembesaran prostat dan lakukan pengukuran erodinamik yang
sederhana, uroflowmetry, dan pengukuran residual prostat, jika indikasikan.
2. Diagnosa
(1). Pre Anestesi
a. Cemas
berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah pembiusan dan operasi
ditandai dengan pasien mengatakan belum pernah dilakukan tindakan operasi
sebelumnya, pasien merasa cemas dan takut menjalani operasi. Pasien tampak
gelisah, Pasien tampak gelisah, TD : 150/70 mmHg; N :100 x/mnt; SpO2 : 100%;
RR : 20 x/mnt
b. Retensi urine
berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat dengan urine bag
<50mL
(2). Intra Anestesi
Terjadi penurunan tekanan darah berhubungan dengan disfungsi neuromuscular
dampak sekunder obat spinal anestesi ditandai dengan TD: 100/50 N :60 x/mnt;
(3). Post Anestesi
a. Resiko kecelakaan cidera berhubungan dengan efek anestesi spinal ditandai
dengan pasien mengatakan lemas terasa berat saat menggerakan kedua kaki,
merasa mual dan pusing
b. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah
vaskuler
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah realisasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan
klien, baik sebelum operasi dan sesudah operasi. Beberapa petunjuk pada implementasi
adalah sebagai berikut:
(a) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah divalidasi;
(b) Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal, dilakukan dengan
cermat dan efisien pada situasi yang tepat;
(c) Keamanan fisik dan psikologis dilindungi;
(d) Dokumentasi intervensi dan respon klien.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah bagian akhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses
keperawatan ( diagnosis, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi. Tujuan evaluasi adalah
untuk apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang . Ada tiga alternatif yang dapat dipakai perawat dalam memutuskan,
sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai, yaitu tujuan tercapai, tujuan
tercapai sebagian dan tujuan tidak tercapai.
Untuk dapat menilai maka dilihat dari perilaku klien sebagai berikut:
(a). Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan perilaku pada waktu atau
tanggal yang telah ditentukan, sesuai dengan pernyataan tujuan.
(b). Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan perilaku,
tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan .
(c). Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali
menunjukkan perilaku yang diharapkan, sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif Dan Kumala Sari. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan System
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Long, B C, 1996. Erawatan Medical Bedah: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.


Jakarta, Penerbit Buku Kedoteran EGC.

Hardjowidjoto. S (1999). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press.


Surabaya.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid kedua. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Hardjowijoto, Sunaryo. 1999. Benign Prostat Hiperplasia. Surabaya: FK UNAIR / RSUD
Dr. Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai