Anda di halaman 1dari 3

Khutbah Pertama

‫ق َونُو ُدوا أَ ْن تِ ْل ُك ُم‬


ِّ ‫ت ُر ُس ُل َربِّنَا بِ ْال َح‬
ْ ‫ي لَ ْواَل أَ ْن هَ َدانَا هَّللا ُ لَقَ ْد َجا َء‬ َ ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّ ِذي هَ َدانَا لِهَ َذا َو َما ُكنَّا لِنَ ْهتَ ِد‬
َ ُ‫ور ْثتُ ُموهَا بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َمل‬ ُ
‫ون‬ ِ ‫ْال َجنَّةُ أ‬
.ُ‫ك لَهُ َوأَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمداً َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُه‬
َ ‫أَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّهللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْي‬

ٍ ‫صلِّ َو َسلِّ ْم َعلى ُم َح ّم ٍد َو َعلى آلِ ِه ِوأَصْ َحابِ ِه َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم ِبإِحْ َس‬
‫ان إِلَى يَ ْو ِم ال ّديْن‬ َ ‫اَللَّهُ ّم‬
َّ َ‫ق ِم ْنهَا َز ْو َجهَا َوب‬
‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجااًل َكثِيرًا َونِ َسا ًء‬ َ َ‫اح َد ٍة َو َخل‬
ِ ‫س َو‬ ٍ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
َ ‫ون بِ ِه َواأْل َرْ َحا َم إِ َّن هَّللا َ َك‬
‫ان َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬ َ ُ‫َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي تَ َسا َءل‬

ِ َ‫ َوأَ َرنَا الب‬،ُ‫ق َحقّا ً َوارْ ُز ْقنَا اتِّبَا َعه‬


‫اط َل‬ َّ ‫ َوأَ َرنَا ال َح‬،ً‫ َو ِز ْدنَا ِع ْلما‬،‫ َوا ْنفَ َعنَا بِ َما َعلَّ ْمتَنَا‬،‫اللّهُ َّم َعلِّ ْمنَا َما يَ ْنفَ ُعنَا‬
ُ‫اطالً َوارْ ُز ْقنَا اجْ تِنَابَه‬
ِ َ‫ب‬
Amma ba’du …

Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Segala puji kita panjatkan pada Allah atas berbagai macam nikmat yang telah Allah anugerahkan pada kita
sekalian. Di antara nikmat yang Allah anugerahkan adalah kita berada di bulan yang mulia, yaitu bulan Suro
atau bulan Muharram. Bulan ini bukanlah bulan yang penuh dengan musibah atau penuh sial sebagaimana
anggapan sebagian orang. Bulan Muharram ini disebut sebagai Syahrullah yaitu bulan yang benar-benar
dimuliakan oleh Allah.

Dalam hadits disebutkan,

‫صالَةُ اللَّي ِْل‬ َ ‫صالَ ِة بَ ْع َد ْالفَ ِري‬


َ ‫ض ِة‬ َ ‫ان َش ْه ُر هَّللا ِ ْال ُم َح َّر ُم َوأَ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬ َ ‫ض‬ َ ‫أَ ْف‬
َ ‫ض ُل الصِّ يَ ِام بَ ْع َد َر َم‬
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Sementara
shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim, no. 1163, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi akhir zaman dan penutup para Nabi yang juga menjadi
pembukan pintu surga pertama kali, yaitu nabi besar kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula
kepada para sahabat, para tabi’in, serta kepada setiap orang yang mengikuti para salafush shalih dengan baik
hingga akhir zaman.

Di antara contoh yang baik yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan pada kita adalah beliau
menganjurkan (menyunnahkan) puasa Asyura (10 Muharram). Namun beliau memerintahkan untuk berpuasa
pula pada tanggal sembilannya dengan tujuan agar puasa Asyura tidak mirip dengan yang dilakukan oleh
Yahudi dan Nashrani.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa
hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

َ َّ‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ إِنَّهُ يَ ْو ٌم تُ َعظِّ ُمهُ ْاليَهُو ُد َوالن‬


‫صا َرى‬
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau
mengatakan,

ِ َّ‫ص ْمنَا ْاليَ ْو َم الت‬


‫اس َع‬ ُ – ُ ‫ان ْال َعا ُم ْال ُم ْقبِ ُل – إِ ْن َشا َء هَّللا‬
َ ‫فَإِ َذا َك‬
“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari
kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

ِ ْ‫فَلَ ْم يَأ‬
.-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ت ْال َعا ُم ْال ُم ْقبِ ُل َحتَّى تُ ُوفِّ َى َرسُو ُل هَّللا‬
“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim,
no. 1134)

Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Para jama’ah shalat Jumat yang moga dirahmati oleh Allah. Tadi telah disinggung mengenai puasa Tasu’a (9
Muharram) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukannya berbarengan dengan puasa Asyura.
Adapun keutamaan dari puasa Asyura (10 Muharram) disebutkan haditsnya dalam kitab Shahih Muslim sebagai
berikut.

Dari Abu Qatadah Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

َ ‫ قَا َل َو ُسئِ َل َع ْن‬.» َ‫اضيَةَ َو ْالبَاقِيَة‬


‫ص ْو ِم يَ ْو ِم َعا ُشو َرا َء‬ ِ ‫ص ْو ِم يَ ْو ِم َع َرفَةَ فَقَا َل « يُ َكفِّ ُر ال َّسنَةَ ْال َم‬
َ ‫َو ُسئِ َل َع ْن‬
ِ ‫فَقَا َل « يُ َكفِّ ُر ال َّسنَةَ ْال َم‬
َ‫اضيَة‬
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa
Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai
keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”
(HR. Muslim, no. 1162).

Pelajaran pertama, puasa sunnah berarti bisa menghapus dosa

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar yang
diperingan. Jika tidak, moga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim, 8:46)

Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni,
dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 7:498-500)

Pelajaran kedua, dari puasa Asyura, umat Islam diajarkan untuk tidak menyerupai non-muslim
(tasyabbuh)

Karena lihat saja dalam hadits di atas disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menambah
berpuasa pada hari kesembilan agar tidak mirip dengan ahli kitab yang berpuasa pada hari kesepuluh (hari
Asyura). Ahli kitab mengagungkan hari Asyura untuk memperingati hari kemenangan Nabi Musa ‘alaihis
salam atas Fir’aun sebagaimana cerita yang disebutkan dalam hadits berikut.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,

ِ ‫صيَا ًما يَ ْو َم َعا ُشو َرا َء فَقَا َل لَهُ ْم َرسُو ُل هَّللا‬ِ ‫ قَ ِد َم ْال َم ِدينَةَ فَ َو َج َد ْاليَهُو َد‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
‫ فَقَالُوا هَ َذا يَ ْو ٌم َع ِظي ٌم أَ ْن َجى هَّللا ُ فِي ِه ُمو َسى‬.» ُ‫ « َما هَ َذا ْاليَ ْو ُم الَّ ِذى تَصُو ُمونَه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬-
‫صلى هللا عليه‬- ِ ‫ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬.ُ‫صا َمهُ ُمو َسى ُش ْكرًا فَنَحْ ُن نَصُو ُمه‬ َ َ‫ق فِرْ َع ْو َن َوقَ ْو َمهُ ف‬ َ ‫َوقَ ْو َمهُ َو َغ َّر‬
ِ ‫ َوأَ َم َر ِب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫صا َمهُ َرسُو ُل هَّللا‬
.‫صيَا ِم ِه‬ َ َ‫ ف‬.» ‫ق َوأَ ْولَى بِ ُمو َسى ِم ْن ُك ْم‬ ُّ ‫ « فَنَحْ ُن أَ َح‬-‫وسلم‬
“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan
puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini
adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di
mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa
berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama
mengikuti Musa daripada kalian.” Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan
kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1130)

Di antara maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesembilan Muharram adalah agar
puasanya tidak menyerupai non-muslim. Point penting yang bisa dipetik adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajarkan agar kita tidak tasyabbuh dengan non-muslim.

Lihat saja keadaan kaum muslimin, yang nyata terlihat pada anak-anak mudanya, ingin terus meniru non-
muslim dalam penampilan, model baju, gaya rambut dan segala yang menjadi ciri khas mereka. Itulah namanya
tasyabbuh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita agar tidak tasyabbuh, meniru-niru non-muslim pada
sesuatu yang menjadi ciri khas mereka.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن تَ َشبَّهَ بِقَ ْو ٍم فَهُ َو ِم ْنهُ ْم‬


“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2:50,92 dan
Abu Daud, no. 4031. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ Al-
Ghalil, no. 1269)

Benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ قُ ْلنَا يَا‬, ‫ضبٍّ الَتَّبَ ْعتُ ُموهُ ْم‬


َ ‫اع َحتَّى لَ ْو َد َخلُوا فِى جُحْ ِر‬ َ ‫لَتَتَّبِع َُّن َسنَ َن الَّ ِذ‬
ٍ ‫ين ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ِش ْبرًا بِ ِشب ٍْر َو ِذ َراعًا بِ ِذ َر‬
‫ فَ َم ْن‬: ‫صا َرى قَا َل‬ َ َّ‫َرسُو َل هَّللا ِ ْآليَهُو َد َوالن‬
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi
sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen),
pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti
itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).

Lihat saja model rambut anak muda saat ini sama seperti yang diingatkan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi wa
sallam dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang model rambut qaza’ seperti potongan mohawk
yang ada pada anak-anak punk.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

ْ ُ ‫ت لِنَافِ ٍع َو َما ْالقَ َز‬


ُ ‫ قَا َل قُ ْل‬.‫ع‬ ْ َ
‫س‬ ُ َ‫ع قَا َل يُحْ ل‬
ِ ‫ق بَعْضُ َرأ‬ ِ ‫ نَهَى َع ِن القَ َز‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أ َّن َرسُو َل هَّللا‬
.ٌ‫ك بَعْض‬ ُ ‫صبِ ِّى َويُ ْت َر‬
َّ ‫ال‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qaza’.” Aku (Umar bin Nafi’) berkata pada Nafi’, “Apa itu
qaza’?” Nafi’ menjawab, “Qaza’ adalah menggundul sebagian kepala anak kecil dan meninggalkan sebagian
lainnya.” (HR. Muslim, no. 2120)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama berijmak (bersepakat) bahwa qaza’ itu
dimakruhkan jika rambut yang digundul tempatnya berbeda-beda (misalnya: depan dan belakang gundul,
bagian samping tidak gundul, -pen) kecuali jika dalam kondisi penyembuhan penyakit dan semacamnya. Yang
dimaksud makruh di sini adalah makruh tanzih (artinya: sebaiknya ditinggalkan). … Ulama madzhab Syafi’iyah
melarang qaza’ secara mutlak termasuk laki-laki dan perempuan. Lihat Syarh Shahih Muslim, 14:90-91.

Anda mungkin juga menyukai