Disusun oleh :
Kelompok 7
Lolita Dwi Plantika (2002110154)
Sarah Andini (2002112668)
Selfi Riani (2002110902)
Universitas Riau
2020
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan
judul "PERNIKAHAN DAN KEWARISAN" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil
manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Penulis
Kelompok 7
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN.............................................................2
A Pernikahan...................................................................................................2
2.1 Pengertian pernikahan..........................................................................2
2.2 Tujuan Pernikahan.................................................................................3
2.3 Rukun Pernikahan..................................................................................3
2.4 Syarat Syarat Pernikahan........................................................................4
2.5 Akad Pernikahan....................................................................................4
2.6 Dasar Hukum Akad Nikah.......................................................................5
2.7 Hikmah Pernikahan.................................................................................6
B Hukum Waris...............................................................................................7
2.1 Pengertian.............................................................................................7
2.2 Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan...............................................7
2.3 Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan..................................................8
2.4 Hak-Hak yang Dapat Dikeluarkan Sebelum Harta Waris Dibagikan Kepada Ahli
Waris....................................................................................................10
2.5 Rukun Warisan.....................................................................................12
iii
2.6 Syarat Mewarisi.....................................................................................13
2.7 Penggolongan Ahli Waris......................................................................13
A. Kesimpulan …………………………………………………….............25
3.1 Pernikahan.............................................................................................25
3.2 Warisan..................................................................................................25
B. Saran …………………………………………………………................26
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan ini
dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia secara sederhana
adalah syariah atau hukum syara’ yang sekarang ini disebut hukum Islam.
Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik untuk mewujudkan
kebahagiaan di atas dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam hukum perdata Islam banyak sekali aturan yang mengatur beberapa hal, diantaranya
yaitu tentang pernikahan dan kewarisan. Adanya hukum yang mengatur hukum pernikahan
dan kewarisan ialah untuk mendapatkan hukum yang relavansi dengan kehidupan.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis memandang perlu adanya rumusan masalah,
yaitu diantaranya sebagai berikut.
1.3 Tujuan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis memiliki bebarapa tujuan yang hendak dicapai yakni
sebagai berikut.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERNIKAHAN
Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa
Arab yaitu kata nikkah (bahasa Arab: ) النكاحyang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya
kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: )نكاحyang
berarti persetubuhan (http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan).
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak
dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram (Beni
Ahmad Saebani, 2009:9).
Para fuqaha dan madzhab empat sepakat bahwa makna nikah atau zawaj adalah suatu akad
atau suatu perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin. Perkawinan
adalah suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan
keturunan.
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Definisi itu
memperjelas pengertian bahwa perkawinan adalah perjanjian. Sebagai perjanjian, ia
mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling berjanji,
berdasarkan prinsip suka sama suka. Jadi, ia jauh sekali dari segala yang diartikan sebagai
paksaan. Oleh karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita yang mau mengikat janji
dalam perkawinan mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan, apakah mereka
bersedia atau tidak untuk melakukan pernikahan (Beni Ahmad Saebani, 2009:14).
Subtansi yang terkandung dalam syariat perkawinan adalah menaati perintah Allah serta
sunnah Rasul-Nya, yaitu menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang mendatangkan
kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak turunan, kerabat maupun
masyarakat.
Menurut UU No 1 Tahun 1974 pasal 1 tentang Perkawinan, yang berisi sebagai berikut,
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
2
Pengertian tersebut lebih dipertegas oleh KHI Pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan, untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah menjaga dan memelihara perempuan yang
bersifat lemah dari kebinasaan. Perkawinan adalah pranata yang menyebabkan seorang
perempuan mendapatkan perlindungan dari suaminya. Keperluan hidupnya wajib
ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak
cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, anak yang dilahirkan tidak diketahui siapa
yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab menjaga dan mendidiknya.
Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan,
manusia akan mengikuti hawa nafsunya sebagaimana layaknya binatang, dan dengan sifat
itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antara manusia, yang mungkin juga
dapat menimbulkan pembunuhan yang mendahsyat (Beni Ahmad Saebani, 2009:19).
Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan
memanusiakan manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda
dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural. Hubungan dalam bangunan
tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia
yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat dan Negara.
Perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut
Mahmud Yunus merupakan bagian dari segala hal yang terdapat dalam perkawinan yang
wajib dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi pada saat berlangsung, perkawinan tersebut dianggap
batal (Beni Ahmad Saebani, 2009:107).
Dalam Komplikasi Hukum Islam (Pasal 14), rukun nikah terdiri atas lima macam, yaitu
adanya:
a. Calon suami;
b. Calon istri
c. Wali nikah;
3
2.4 Syarat-Syarat Pernikahan
a. Masing-masing kedua mempelai telah ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau sifat
atau semacamnya.
c. Yang melakukan akad bagi pihak wanita adalah walinya. Karena dalam masalah nikah
Allah mengarahkan perintahnya kepada para wali.
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak
kecuali saksi dari orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Adil
“Suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sessuatu dengan adanya ijab dan
kabul.”
b. Menurut Ibn Abidin yang yang dikutip Rachmat Syafe’i, akad adalah:
4
Akad adalah suatu ikatan yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak yang terbentuk
(wujud) perkataan ijab dan Kabul.
Pernikahan adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasullah SAW. dan akadnya
merupakan suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh dianggap main-main. Oleh karena
itu, akad nikah harus didasarkan pada landasan dan pondasi yang kuat, ibarat suatu
bangunan yang kokoh dan kuat karena pndasinya.
Secara umum, landasan akad nikah harus didasarkan pada tiga hal, berikut:
b. Al-Islam
c. Al-Ihsan
Adapun dasar hukum secara khusus, dan lebih spesifik dalam pelaksanaan akad nikah
adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. sebagai dasar hukum akad nikah, antara lain
sebagai berikut:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
5
2.7 Hikmah Pernikahan
Pernikahan dapat dikatakan sebagai perjanjian pertalian antara manusia laki-laki dan
perempuan yang berisi persetujuan secara bersama-sama menyelenggarakan kehidupan
yang lebih akrab menurut syarat-syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan Pencipta
Alam (Beni Ahmad Saebani, 2009:127).
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini berlanjut, dari
generasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami
istri serta menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi
untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong
dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban untuk mengerjakan
tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan
suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik
untuk kepentingan dunia dan akhirat (http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-
page_27.html).
a. Menyambung silaturahmi
e. Estetika kehidupankehidupano
6
B. HUKUM WARIS
2.1 Pengertian waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-
irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan
harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik
yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara syar'i.
Para ulama menetapkan bahwa mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya
kalau dalam suatu masyarakat atau perkampungan tidak ada yang mempelajari ilmu faraidh
maka berdosalah orang-orang di kampung itu. Akan tetapi, jika ada yang mempelajari,
walau hanya satu atau dua orang saja, maka terlepaslah semuanya dari dosa.
Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar kita dapat
menyelesaikan maslah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai
ada yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain (Moh. Muhibbin dan
Abdul wahid, 2009:10).
Di samping itu, apabila hukum waris dipelajari dengan benar akan bermanfaat baik bagi
dirinya maupun untuk masyarakat, yang jelas akan dapat dimanfaatkan dalam kasus
penyelesaian pembagian harta waris di lingkungan keluarga, lebih lanjut dapat membantu
kasus pembagian waris dimasyarakat.
Tidak jarang terjadi problem keluarga karena persoalan membagi waris, karena salah satu di
antara keluarga itu tidak mengerti tentang pembagian waris dalam agama, sehingga
kadangkala sampai terangkat ke sidang Pengadilan. Oleh karena itu, jika di antara anggota
keluarga ada yang memahami tentang hukum waris, kasus-kasus tersebut kiranya tidak
sampai terangkat ke pengadilan. Dengan demikian, tepatlah bila para ulama berpendapat
bahwa mempelajari hukum waris adalah fardhu kifayah (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,
2009:11).
7
2.3 Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau
teks yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah
Nabi yang secara langgung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut (Moh.
Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:12).
a. Ayat-Ayat Al-Qur’an
”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisaa’ ayat 7)
Ketentuan dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan, bahwa dalam
Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus
merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban.
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai subjek hukum,
dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan
dalam beberapa ayat Al-Qur’an (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:13).
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (kerabat yang tidak mempunyai hak
warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari
harta itu (pemberian sekadarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan atau
sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisaa’ ayat 8)
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’ ayat 9)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisaa’ ayat 10)
8
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. An-Nisaa’ ayat 11)
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
(QS. AN-Nisaa’ ayat 12)
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki dan
perempuan maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa’ ayat 176)
b. Al-Hadis
Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisa adalah sebagai
berikut (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:17).
9
a. Hadis nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya
berikanlah kepada laki-laki deri keturunan laki-laki yang terdekat.
b. Hadis Nabi yang diriwayatkan dari ‘Imron bin Husein menurut riwayat Imam Abu Daud:
Dari ‘Umron bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. sambil berkata:
“Bahwa anak laki-laki dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari
harta warisanya”. Nabi berkata: “Kamu mendapat seperenam.”
c. Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam ibnu Majah:
Dari Abu Hurairah dari nabi saw. Bersabda: “orang yang membunuh tidak bisa menjadi ahli
waris.
Dari ‘Amr bin Muslim dari Thawus, dari Aisyah yang berkata: “Bersabda Rasulullah saw.:
“Saudara laki-laki ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya.”
2.4 Hak-Hak yang Dapat Dikeluarkan Sebelum Harta Waris Dibagikan Kepada Ahli
Waris
Ada beberapa hak yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus dipenuhi secara
tertib, sehingga apabila hak yang pertama atau yang kedua menghabiskan semua harta
waris maka tidak lagi pindah kepada hak-hak yang lain (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,
2009:51).
10
Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai yang utama dari harta
peninggalan itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan untuk kepentingan-
kepentingan berikut.
Tajhid ialah segala yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia mulai dari
wafatnya sampai kepada penguburannya. Di antara kebutuhan tersebut antara lain biaya
memandikan, mengkafankan, menguburkan, dan segala yang diperlukan sampai
diletakkannya ke tempat yang terakhir.
Dalam mengeluarkan belanja-belanja itu, harus dituruti apa yang dipandang ma’ruf (baik)
oleh agama, yakni tanpa berlebih-lebihan dan tanpa terlalu menyedikitkan (menurut ukuran
yang wajar). Sebab jika berlebihan akan mengurangi hak ahli waris dan jika sangat kurang
akan mengurangi hak si mayit.
Kewajaran dalam membelanjakan harta benda dianjurkan oleh Allah SWT, sebagaimana
firman-Nya dalam Surah Al-Furqaan ayat 67:
ً ك َق َواما َ ِين إِ َذا أَن َفقُوا لَ ْم يُسْ ِرفُوا َولَ ْم َي ْق ُترُوا َو َك
َ ِان َبي َْن َذل َ َوالَّذ.٦٧
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
b. Melunasi Hutang
Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal, apabila si mayit
mempunyai utang atau tanggungan belum dibayar ketika masih hidup di dunianya, baik
yang berkaitan dengan sesama manusia maupun kapada Allah yang wajib diambilkan dari
harta peninggalannya setelah diambil keperluan tajhid (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,
2009:52).
Utang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah
diterima oleh seseorang.
11
2. Utang kepada sesama
Utang-utang tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan si mati setelah dikeluarkan
untuk membiayai perawatannya. Melunasi utang adalah termasuk kewajiban yang utama,
demi untuk membebaskan pertanggungjawabannya dengan seeorang di akhirat nanti dan
untuk menyingkap tabir yang membatasi dia dengan surga.
Wasiat ialah pesan seseorang untu memberikan sesuatu kapada orang lain setelah ia
meninggal dunia.
Dasar ketentuan pengeluaran wasiat ialah firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Jika sebelum meninggal dunia seseorang telah berwasiat, maka dipenuhilah wasiat itu dari
harta peninggalannya dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta bila dia mempunyai ahli waris
dan jika dia akan berwasiat lebih dari 1/3 harus mendapat persetujuan ahli warisnya.
Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris mewarisi, tiap-tiap unsure tersebut
harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun,
dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun (Moh. Muhibbin dan Abdul
Wahid, 2009:56).
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan. Pembahasan ini
tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali dalam salah satu rukun
perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa wali, perkawinan menjadi kurang
sempurna, bahkan menurut pendapat Imam Maliki dan Iman Syafi’i perkawinan itu tidak
sah. Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-mewarisi
ada tiga (tiga), yaitu sebagi berikut.
12
2.6 Syarat-Syarat Mewarisi
Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara
orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya
(ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni
meninggalnya muwarrits (orang yang mewariskan).
Kematian seseorang muwarrist itu menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut.
a. Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu
sudah berujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh pancaindra dan dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian disebabkan adanya
putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam
dua kemungkinan antara hidup dan mati.
c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang bukan haqiqi dan
bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat.
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga ) bagian, yakni (1) Ashabul furudh atau
Dzawil furudh, (2) Ashabah, dan (3) Dzawil arham.
a. Ashabul Furudh
Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah
ditentukan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijmak. Adapun bagian yang sudah ditentukan
adalah 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6.
Orang-orang yang dapat mewarisi harta peninggalan dari yang sudah meninggal dunia
berjumlah 25 orang yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
1. Anak laki-laki.
3. Ayah.
13
6. Saudara laki-laki seayah.
14. Suami.
Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 (tiga) ahli waris yang mendapatkan
warisan, yaitu sebagai berikut.
1. Suami
2. Ayah
3. Anak
Adapun ahli waris dari pihak perempuan ada 10 (sepuluh) orang, yaitusebagai berikut.
1. Anak perempuan.
3. Ibu.
14
9. Istri.
Apabila ahli waris di atas ada semuanya, maka yang mendapatkan harta waris hanya 5
orang, yaitu:
1. Anak perempuan.
3. Ibu.
5. Istri.
Andaikan ahli waris yang jumlahnya 25 orang itu ada semuanya maka yang berhak
mendapatkan harta warisan, adalah sebagai berikut.
1. Ayah.
2. Ibu.
3. Anak laki-laki.
4. Anak perempuan.
5. Suami/istri.
b. Ashabah
Kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela, penolong, pelindung, atau kerabat
dari jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaanya
tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima seluruhnya atau menerima sisa atau
tidak mendapat sama sekali. Denga kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang
bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi
kepada ahli waris (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:64).
Ahli waris ashobah akan mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada ketentuan
bagian yang pasti. Baginya berlaku:
1. Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris untuk ahli waris
ashabah;
2. Jika da ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah menerima sisa dari ashabul
furudh tersebut;
15
3. Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh maka ahli waris
ashabah tidak mendapat apa-apa.
Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari
garis keturunan laki-laki, seperti anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, kakek. Dalam keadaan
tertentu anak perempuan juga mendapat ashabah apabila ia didampingi atau bersama
saudaranya laki-laki. Kelompok ashabah ini menerima pembagian harta waris setelah selesai
pembagian untuk ashabul furudh.
1. Anak laki-laki.
3. Bapak.
4. Kakek.
9. Paman kandung.
c. Dzawil Arham
16
Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah.
Atau atau dzawil arham, ahli waris yang tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula
ashabah. Mereka dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya, yaitu sebagi berikut.
5. Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak maupun seibu).
7. Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung sebapak atau seibu).
8. Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara permpuan dari kakek.
9. Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek.
Di dalam Al-Qur’an tidak ada keterangan yang tegas tentang kedudukan dzawil arham
sebagi ahli waris. Oleh karena itu, ada sebagian fuqaha yang tidak menjadikan dzawil arham
sebagai ahli waris, meskipun dalam keadaan tidak ada orang lain yang akan mewarisi harta
peninggalan si mayit. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa dzawil arham juga ahli
waris yang berhak menerima bagian harta warisan sekalipun ada dzawil furudh atau
ashabah.
Menurut Sayid Sabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena 3 (tiga) hal, yaitu
sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan dan wala’ (pemerdekaan budak). Adapun pada
literatur hukum islam lainnya disebutkan ada 4 (empat) sebab hubungan seseorang dapat
menerima harta wrisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu:
a. Perkawinan,
b. Kekerabatan/nasab,
17
c. Wala’ (pemerdekaan budak), dan
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang
untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka
mereka tidak dapat menerima hak waris (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:75).
Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang mewarisi
adalah sebagai berikut.
a. Perbudakan
b. Pembunuhan
c. Berlainan agama
d. Berlainan Negara
b. Sepertiga (1/3)
c. Seperenam (1/6)
d. Seperdua (1/2)
e. Seperempat (1/4)
f. Seperdelapan (1/8)
Disamping furudhul muqaddarah di atas, masih terdapat satu furudhul muqaddarah hasil
ijtihad para jumhur fuqaha, yaitu sepertiga sisa harta peninggalan.
18
Ahli waris yang Memiliki Furudhul Muqaddarah Bredasarkan Surah An-Nisaa’ ayat 11, 12,
dan 176 sebagai berikut.
Para ahli waris yang memperoleh fard 2/3 (du pertiga) ada 4 (empat) orang, yaitu:
1. Dua anak perempuan atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan anak laki-laki. Atau dengan kata lain mereka tidak bersama-sama dengan
mu’ashshib-nya (orang yang menjadikan ashabah).
2. Dua cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit
tidak meningglkan:
a. Anak, dan
b. Cucu laki-laki
3. Dua orang saudari sekandung atau lebih, dengan dengan ketentuan apabila si mayit
tidak meninggalkan:
a. Anak,
b. Cucu,
c. Bapak,
d. Kakek,
4. Dua orang saudari seayah atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan:
c. Saudari kandung,
d. Bapak,
e. Kakek, dan
f. Saudara seayah.
Adapun saudara-saudari tunggal ibu tidak termasuk ahli waris yang memiliki bagian dua
pertiga, andaikata ia seorang diri ia tidak menerima 1/2 (seperdua) fardh (bagian).
Para ahli waris yang memiliki fardh 1/3 (sepertiga) ada 2 (dua) orang:
19
1. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak,
b. Cucu, dan
c. Saudara-saudari lebih dari seorang, sekandung atau seayah atau seibu saja.
2. Anak-anak ibu (saudara seibu/saudara tiri bagi si mayit) laki-laki, maupun perempuan,
dua orang atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak,
b. Cucu,
c. Bapak, dan
d. Kakek.
Para ahli waris yang mendapat fardh 1/6 (seperenam) ada 7 (tujuh) orang
a. Anak, dan
b. Cucu.
a. Anak,
b. Cucu, dan
a. Anak, dan
b. Cucu.
a. Anak,
b. Cucu,
20
c. Bapak, dan
d. Kakek.
6. Cucu perempuan pancar laki-laki seorang atau lebih, apabila si mayit meninggalkan
(bersama-sama) dengan seorang anak perempuan kandung.
7. Seorang saudari seayah atau lebih, apabila si mayit meninggalkan seorang saudara
perempuan sekandung, tidak lebih, dan tidak mennggalkan:
a. Anak laki-laki,
b. Cucu laki-laki,
c. Bapak,
Para ahli waris yang menerima 1/2 (seperdua) ada 5 (lima) orang, yaitu:
1. Seorang anak perempuan, dengan ketentuan apabila ia tidak bersama dengan anak
laki-laki yang mu’ashshib-nya (tidak ada anak laki-laki).
2. Seorang cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan apabila ia tidak bersama-
sama dengan anak permpuan atau cucu laki-laki yang menjadi mu’ashshib-nya.
a. Anak dan
b. Cucu
a. Anak laki-laki,
b. Cucu laki-laki,
f. Bapak, dan
21
g. Kakek.
a. Anak laki-laki,
b. Cucu laki-laki,
e. Bapak,
f. Kakek,
Para ahli waris yang mendapat 1/4 (seperempat) ada 2 (dua) orang, yaitu:
a. Anak dan
b. Cucu.
a. Anak dan
b. Cucu
Ahli waris yang mendapat fardh 1/8 (seperdelapan) 1 (satu) orang, yaitu:
a. Anak dan
b. Cucu
22
1. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak,
b. Cucu, dan
2. Saudara seibu (saudara tiri) lebih dari seorang, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan:
a. Anak,
b. Cucu,
c. Bapak, dan
d. Kakek
11. Aul
Aul menurut bahasa (etimologi) berarti irtifa’: mengangkat. Dikatakan ‘alal miizaan bila
timbangan itu naik, terangkat. Kata aul ini terkadang berarti cenderung kepada perbuatan
aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan di dalam firman Allah Surah An-Nisaa’ ayat 3:
“yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Secara terminologi (istilah) Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh dan
berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Atau bertambahnya jumlah bagian yang
ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing ahli waris.
Pada masa rasulullah saw. dan kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq peristiwa aul belum
pernah terjadi. Aul pertama kali terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Contoh Aul:
Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri atas suami, du orang saudara perempuan
sekandung. Harta yang ditinggalkan setelah dipotong untuk biaya pemakaman dan
keperluan yang lain, masih sisa 42 juta. Maka proses penyelesaiannya sebagai berikut:
Cara penyelesaiannya:
Ahli Waris
Bagian
Asal Masalah 6
23
Bagian yang diterima Suami :
1/2 3
3 x 6 juta = 18 juta
2/3 4
4x 6 juta = 24 juta
Jumlah 7
42 juta
Keterangan:
Jumlah asal masalah yang semula 6, kemudian di-‘aul-kan menjadi 7, sehingga uang 42 juta
dibagi 7 = 6 juta.
12. Radd
Kata radd secara bahasa (etimologi) berarti I’aadah: menembalikan. Kata radd juga berarti
sharf: memulangkan kembali.
Radd menurut istilah (terminologi) adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian
dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka
apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian, radd
merupakan kebalikan dari Aul. Apabila hata peninggalan masih mempunyai kelebihan
setelah dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai dengan ketentuannya masing-masing dan
tidak ada ahli waris yang mendapatkan ashabah, kelebihan harta tersebut dikembalikan
kepada ahli waris yang ada menurut pembagiannya masing-masing.
Rukun Radd
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
3.1 Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Perkawinan
dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya.
Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan
manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun
kehidupan baru secara sosial dan cultural. Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan
rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi
masa depan masyarakat dan negara.
Waris adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara yar'i.
Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa
yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-
Qur’an, terutama Surah An-Nisaa’ ayat 7, 8, 11, 12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang
berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan
penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah saw.
melalui hadisnya. Namun demikian penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan
pembahasan di kalangan para pakar hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang
25
bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta
menjadi pedoman bagi umat muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.
B. Saran
Semoga dengan adanya pembahasan ini bisa bermanfaat untuk semua orang. Penulis menyadari
bahwa penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu penulis
sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat harapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar
kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
26
DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia
Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Sumber Internet
27