Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS JURNAL

DISUSUN OLEH:
Mutia

21220042

INSTITUTE KESEHATAN DAN TEKNOLOGI


MUHAMMADIYAH PALEMBANG
PROGRAM PROFESI NERS
TAHUN 2020-2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia (Elisanti, 2018).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke
dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini
ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik

B. KLASIFIKASI

Menurut Nursalam (2007) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada


empat stadium yaitu
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologi ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif
menjadi positif. Rentan waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai
tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama
window period satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang berlangsung
sampai enam bulan.
b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala )
Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan
gejala - gejala. Keadaan ini dapat berlangsung selama 5 – 10 tahun.
Pasien yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang
lain.
c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (Persistent
Generalized Lymphadenopaty), tidak hanya muncul pada satu tempat
saja, dan berlangsung selama satu bulan.
d. Stadium keempat AIDS.
Keadaan ini disertai adanya bermacam – macam penyakit antara lain
penyakit saraf, infeksi sekunder dan lain – lain.

C. ETIOLOGI
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang

disebut HIV dari kelompok virus yang dikenal dengan retrovirus. Retrovirus

ditularkan oleh darah melalui kontak intim dan mempunyai afinitas yang kuat

terhadap limfosit T (Desmawati, 2013). Virus HIV menyerang sel CD4

menjadikannya tempat berkembangbiak virus HIV baru dan menyebabkan

kerusakan pada sel darah putih sehingga tidak dapat digunakan lagi. Ketika

seseorang terkena HIV, virus ini tidak langsung menyebabkan penyakit AIDS

tapi memerlukan waktu yang cukup lama (Rimbi, 2014).

D. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research


(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam,
sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah
bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS
dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel
imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala
yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan
gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan
pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi
tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

E. KOMPLIKASI
1. Oral lesi
Karena kandidia herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,
nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik

a. kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human


Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi social.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek :
sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
a. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
b. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk,
nyeri, hipoksia, keletihan,gagal nafas.

5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.

6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri

F. PENATALAKSANAAN
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan
pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah
terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan:

1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan


pasangan yang tidak terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks
terakhir yang tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas
status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka
pengendaliannya yaitu:
1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya
<>3. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500
mm3
3. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus
pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat larut
4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk
menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
a. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat, hindari stress,gizi yang kurang, alcohol dan obat-
obatan yang mengganggu fungsi imun.
b. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T
dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

G. PEMERIKSAAN
1. Serologis
a. Tes antibody serum : Skrining Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
b. Tes blot western : Mengkonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
c. Sel T limfosit :Penurunan jumlah total
d. Sel T4 helper ( CD 4 ) :Indikator system imun (jumlah <200 )
e. T8 ( sel supresor sitopatik ) :Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar
dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan
supresi imun.
f. Kadar Ig : Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
2. Histologis: pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka,
sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit,
protozoa, jamur, bakteri, viral.
3. Neurologis : EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
4. Sinar X dada ; Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial tahap lanjut
atau adanya komplikasi lain.
BAB II
PEMBAHASAN
1. KASUS
Klien berusia 40 tahun di rawat di RS D. Klien mengatakan klien
tidak pernah lagi melakukan hubungan seksual dengan alasan klien takut
menularkan ke istrinya. Berdasarkan pengkajian, klien mengatakan bahwa
nafsu makan berkurang, badan terasa lemah, BB menurun, status emosional
tampak murung dan lesu. Klien mengatakan cemas karena kondisinya
semakin memburuk, ttv dalam keadaan normal.

2. PERTANYAAN KLINIS
Apakah faktor yang menyebabkan klien tidak pernah lagi melakukan
hubungan seksual dengan istrinya?

3. PICO
P: Pencegahan infeksi menular seksual
I: Pendidikan kesehatan
C: -
O: Menggunakan metode perlindungan seksual dalam melakukan hubungan
seksual

4. SEARCHING LITERATURE (JOURNAL)


Setelah dilakukan Searching literature (journal) di Google scholar,
didapatkan 520 journal yang terkait dan dipilih 1 jurnal dengan judul
“Komponen Health Belief Model Dengan Upaya Pencegahan Infeksi
Menular Seksual Melalui Penggunaan Kondom”. Dengan alasan: jurnal
tersebut sesuai dengan kasus, dan terbaru.

5. VIA
Validity:
a) Desain: mixed methodology dengan strategi eksplanatoris
sekuensial.
b) Sampel: data kuantitatif sebanyak 101 responden, dan
untuk data kualitatif 2 ibu rumah tangga, 2 suami dan petugas
Puskesmas yang melayani penapisan Infeksi Menular Seksual..
c) Kriteria inklusi dan ekslusi:
Kriteria inklusi: semua yang bersedia secara sukarela dan telah
mendapatkan ijin untuk mengikuti penelitian ini secara penuh dan
sebagai subyek penelitia melalui informed consent, bersifat
kooperatif selama pengambilan data.
Kriteria eksklusi: pasien yang tidak memenuhi kriteria.
d) Randomisasi: Tidak dilakukan randomisasi dalam
pengambilan sampel, dilakukan pemberian Teknik pengambilan
sampel dengan menggunakan teknik purposive Sampling. Sampel
pada penelitian ini dengan besar sampel kuantitatif yaitu 101
responden dan data kualitatif 2 ibu rumah tangga, 2 suami dan
petugas Puskesmas yang melayani penapisan Infeksi Menular
Seksual.

a. Importance dalam hasil


1) Karakteristik subjek : Karakteristik subjek dalam penelitian ini jenis
kelamin responden, dan pekerjaan responden
2) Beda proporsi : Hasil wawancara dapat diketahui bahwa ada
responden berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Hasil asumsi berdasarkan tabel 1
dapat diketahui apakah variabel yang akan diuji
memenuhi syarat, dan dapat disimpulkan bahwa
model tersebut telah terbebas dari adanya
multikolinieritas. Dalam gambar 4.2 dapat dilihat
bahwa grafik residual tidak memiliki pola
tertentu, yang artinya dalam model tersebut tidak
mengalami heteroskesdatisitas. Uji asumsi klasik
yang terakhir adalah uji normalitas. Pengujian
normalitas sebaran residu data pada penelitian ini
dipergunakan metode Kolmogorov-Smirnov.
3) Beda mean : Hasil penelitian Berdasarkan hasil penelitian pada
tabel 3 menunjukan bahwa proporsi pengaruh
variabel persepsi kerentanan, persepsi keparahan,
persepsi manfaat kondom, persepsi hambatan
kondom efikasi diri, dan cues to action terhadap
penggunaan kondom sebesar 32%. Artinya,
persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi
manfaat kondom, persepsi hambatan kondom
efikasi diri, dan cues to action memiliki proporsi
pengaruh terhadap penggunaan kondom sebesar
32%, sedangkan sisanya 68% dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak ada didalam model
regresi linier.
4) Nilai p value : Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa
nilai probabilitas F hitung (sig.) pada tabel di atas
nilainya 0,000 lebih kecil dari tingkat signifikansi
0.01 sehingga dapat disimpulkan bahwa model
regresi linier yang diestimasi layak digunakan
untuk menjelaskan pengaruh variabel independen
dengan variabel dependen tersebut.

b. Applicability
1) Dalam diskusi
Mengidentifikasi hasil penelitian yang telah dilakukan, Health Belief
Model (HBM) merupakan sebuah model perubahan perilaku yang
berfokus pada sikap dan keyakinan individu. Salah satu upaya penting
dalam pencegahan IMS dan HIV adalah dengan mempromosikan
penggunaan kondom untuk hubungan seks berisiko atau hubungan
seks tidak aman. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalam
pembagian kondom gratis kepada populasi berisiko tinggi. Puskesmas
Cangkringan sudah mendistribusikan kondom secara gratis kepada
warga yang melakukan kunjungan IMS di Puskesmas Cangkringan.
Akan tetapi upaya ini belum juga menurunkan angka kejadian IMS
secara signifikan setiap bulannya. Hal ini diduga berakitan dengan
persepsi warga terhadap penggunaan kondom yang masih kurang.
Sehingga dibutuhkan sebuah perubahan perilaku masyarakat.
2) Karakteristik klien : jenis kelamin responden, pekerjaan responden.
3) Fasilitas biaya : Tidak dicantumkan jumlah biaya yang
digunakan

6. Diskusi (membandingkan jurnal dan kasus)


Berdasarkan jurnal yang berjudul “Komponen Health Belief Model Dengan
Upaya Pencegahan Infeksi Menular Seksual Melalui Penggunaan
Kondom” pada tabel 3 menunjukkan layak digunakan untuk menjelaskan
pengaruh variabel independen dengan variabel dependen. Hal ini dibuktikan
dalam hasil analisis nilai probabilitas F hitung (sig.) pada tabel diatas nilainya
0,000 lebih kecil dari tingkat signifikan 0,01. Berdasarkan kasus, klien
mengatakan tidak pernah lagi melakukan hubungan seksual dengan alasan
klien takut menularkan ke istrinya. Klien seharusnya diberikan penjelasan
mengenai Health Belief Model. Health Belief Model adalah model teoritis
yang dapat digunakan untuk memandu promosi kesehatan dan program
pencegahan penyakit. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, efikasi diri
telah ditemukan menjadi salah satu faktor terpenting dalam kemampuan
seseorang untuk berhasil menegosiasikan penggunaan kondom. Penggunaan
kondom sangat efektif mencegah penularan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) serta Infeksi Menular Seksual (IMS).
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Health Belief Model adalah model teoritis yang dapat digunakan untuk
memandu promosi kesehatan dan program pencegahan penyakit. HBM digunakan
untuk menjelaskan dan memprediksi perubahan individu dalam perilaku
kesehatan. Kontruksi teori HBM berasal dari teori-teori kognitif dan psikologis.
Harapannya adalah bahwa tindakan kesehatan tertentu dapat mencegah kondisi
dimana orang pada infeksi menular seksual yang mungkin membutuhkan
pemeliharaan perilaku jangka panjang. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir,
efikasi diri telah ditemukan menjadi salah satu faktor terpenting dalam
kemampuan seseorang untuk berhasil menegosiasikan penggunaan kondom.
Penggunaan kondom sangat efektif mencegah penularan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) serta Infeksi Menular Seksual (IMS).
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Silvia Ari. 2019. Hubungan Komponen Health Belief Model Dengan
Upaya Pencegahan Infeksi Menular Seksual Pada Ibu Rumah Tangga
Melalui Penggunaan Kondom. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 7 No.2
ISSN. 2338-7475. Tanggal Akses 17 Oktober 2020.

Ardhiyanti, Yulrina. Bahan Ajar AIDS pada Asuhan Kebidanan. Edisi 1.


Yogyakarta: DEEPUBLISH.

Elisanti, Alinea Dwi. 2018. HIV-AIDS, Ibu Hamil dan Pencegahan pada Janin.
Yogyakarta: DEEPUBLISH.

Desmawati. 2013. Sistem Hematologi dan Imunologi. Edited by D. Juliastuti.


Jakarta: Penerbit In Media

Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER). HIV


symptoms and causes. Diunduh dari https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/hiv-aids/symptomscauses/syc-20373524

Nursalam. (2007). Manajemen Keperawatan dan Aplikasinya. Penerbit Salemba


Medika, Jakarta

Rimbi, N. 2014. Buku Cerdik penyakit-penyakit Menular (1st ed.). Yogyakarta:


Saufa

Anda mungkin juga menyukai