Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEPERAWATAN

1. Pengertian

Keperawatan telah dijelaskan dalam UU No. 38 tahun 2014 pasal 1

ayat 1 bahwa yang dimaksud keperawatan adalah kegiatan pemberian

asuhan kepada indvidu, keluarga, kelompok, dan masyarakat, baik

dalam keadaan sakit maupun sehat. Alligood dan Tomey (dalam)

menjelaskan bahwa keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional

berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu

yang sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis, dan

sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Bentuk

pemenuhan dasar dapat berupa meningkatkan kemampuan yang ada

pada individu, mencegah, memperbaiki, dan melakukan rehabilitasi

dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu

(Retnaningtyas, 2018)

Keputusan Menteri Kesehatan I, Nomor 64/MenKes/SK/IV/2000

tentang registrasi dan Praktik Keperawatan, yang kemudian diperbarui

dengan Kepmenkes I Nomor 1239/SK/XI/2001, menjelaskan bahwa

perawat adalah orang yang telah lulus dari pendidikan perawat baik di

dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Selanjutnya, perawat adalah suatu profesi

yang mandiri yang mempunyai hak untuk memberikan layanan

7
8

keperawatan secara mandiri, dan bukan profesi sebagai pembantu

dokter (Retnaningtyas, 2018)

2. Peran Perawat

Peran perawat dapat diartikan sebagai tingkah laku yang

diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan

kedudukan dalam sistem, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan

sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi perawat.

Peran profesional perawat adalah memberikan asuhan keperawatan

pada manusia yang meliputi (Retnaningtyas, 2018) :

a. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan dan

kebutuhan klien.

b. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi

masalah keperawatan, mulai dari pemeriksaan fisik, psikis, sosial,

dan spiritual.

c. Memberikan asuhan keperawatan kepada klien (klien, keluarga, dan

masyarakat.

Pelayanan yang diberikan oleh perawat harus dapat mengatasi

masalah-masalah fisik, psikis, dn sosial-spiritual pada klien dengan

fokus utama mengubah perilaku klien (pengetahuan, sikap dan

keterampilannya) dalam mengatasi masalah kesehatan sehingga klien

dapat mandiri. Telah dijelaskan dalam UU No. 38 tahun 2014 pada

pasal 1 ayat 3, bahwa yang dimaksud dengan pelayanan keperawatan

adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian

integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
9

keperawatan ditunjukkan kepada individu, keluarga, kelompok, atau

masyarakat, baik sehat maupun sakit. Secara lebih rinci, konsorsium

Ilmu Kesehatan tahun 1989 menjelaskan peran perawat antara lain

(Retnaningtyas, 2018) :

a. Pemberian asuhan keperawatan, dengan memperhatikan keadaan

kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberi

pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan,

dari yang sederhana sampai kompleks.

b. Advokat pasien/klien, dengan menginterpretasikan berbagai

infromasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya

dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang

diberikan kepada pasien serta mempertahankan hak-hak pasien.

c. Pendidik, dengan cara membantu klien dalam meningkatkan tingkat

pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang

diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah

dilakukan pendidikan kesehatan.

d. Koordinator, dengan cara mengarahkan, merencanakan, serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan diri tim kesehatan sehingga

pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah, serta sesuai dengan

kebutuhan klien.

e. Kolaborator, peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim

kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi, dan lain-lain

yang berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang


10

diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan

bentuk pelayanan selanjutnya.

f. Konsultan, perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau

tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini

dilakukan atas permintaan klien terhdap informasi tentang tujuan

pelayanan keperawatan yang diberikan.

g. Peneliti, perawat mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan

yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian

pelayanan keperawatan.

3. Fungsi Perawat

Fungsi perawat adalah suatu pekerjaan atau kegiatan yang

dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi tersebut dapat berubah

disesuaikan dengan keadaan yang ada. Perawat dalam menjalankan

perannya memiliki beberapa fungsi yaitu (Retnaningtyas, 2018) :

a. Funsi Independen

1) Dalam fungsi ini, tindakan perawat tidak memerlukan

perintah dokter.

2) Tindakan perawat bersifat mendiri, berdasarkan pada ilmu

keperawatan.

3) Perawat bertanggung jawab pada klien, atas akibat yang

timbul dari tindakan yang diambil. Contohnya adalah saat

perawat melakukan pengkajian.


11

b. Fungsi Interdependen

1) Tindakan perawat berdasarkan kerjasama dengan tim

perawatan atau tim kesehatan.

2) Contoh dari fungsi interdependen ini adalah perawat

melakukan perencanaan dengan profesi lain saat memberikan

pelayanan kesehatan.

4. Tugas dan Tanggung Jawab perawat

Tugas perawat dalam menjalankan perannya sebagai pemberi

asuhan keperawatan dapat dilaksanakan sesuai tahap dalam proses

keperawatan. Tugas ini disepakati dalam Lokakarya tahun 1983

(Retnaningtyas, 2018), yaitu :

a. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada klien (sincere

interst)

b. Jika perawat terpaksa menunda pelayanan maka perawat bersedia

memberikan penjelasan dengan ramah kepada klien (explanation

about the delay)

c. Menunjukkan kepada klien sikap menghargai (respect) yng

ditunjukkan dengan perilaku perawat.

d. Berbicara pada klien yang berorientasi pada perasaan klien

(subject the patient desire) bukan pada kepentingan atau keinginan

perawat.

e. Tidak mendiskusikan klien lain didepan pasien dengan maksud

menghina (derogatory).
12

f. Menerima sikap kritis klien dan mencoba memahami klien dalam

sudut pandang klien (see the patient point of view).

UU No. 38 tahun 2014 pasal 29 ayat 1 menjelaskan bahwa dalam

menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai :

pemberi asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi klien,

pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan serta

pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang : dan/atau

pelaksanaan tugas dalam keterbatasan tertentu. Tugas perawat di rumah

sakit, seperti (Retnaningtyas, 2018) :

a. Memberikan pelayanan keperawatan pada pasien, baik untuk

kesembuhan maupun pemulihan status fisik dan mentalnya.

b. Memberikan pelayanan lain bagi kenyamanan dan keamanan

pasien, seperti penataan tempat tidur dan lain-lain.

c. Melakukan tugas-tugas administratif.

d. Menyelenggarakan pendidikan keperawatan secara berkelanjutan.

e. Melakukan penelitian/riset untuk senantiasa meningkatkan mutu

pelayanan keperawatan.

Selanjutnya dilihat dari jenis tanggung jawab perawat dalam

menjalankan tugas dan fungsinya dapat diklasifikasikan sebagai berikut

(Retnaningtyas, 2018) :

a. Tanggung jawab utama terhadap tuhannya (responbility to god)

b. Tanggung jawab kepada klien dan masyarakat (responbility to

client and society)


13

c. Tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan atasan (responbility to

colleague and supervisor)

B. CORONA VIRUS (COVID-19)

Pada tanggal 31 desember 2019, Tiongkok melaporkan kasus

pneumonia misterius yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam 3 hari,

pasien dengan kasus tersebut berjumlah 44 pasien dan terus-menerus

bertambah sehingga berjumlah ribuan kasus. Pada awalnya data

epidemiologi menunjukkan 66% pasien berkaitan atau terpajan dengan

satu pasar seafood atau live market di wuhan, provinsi Hubei Tiongkok.

Sampel isolat dari pasien diteliti dengan hasil menunjukkan adanya infeksi

coronavirus, jenis betacoronavirus tipe baru, diberi nama 2019 novel

coronavirus (2019-nCoV). Pada tanggal 11 Februari 2020, World Health

Organization memberi nama virus baru tersebut Severa acute respiratory

syndrome coronavirus-2 (SARS-Cov-2) dan nama penyakitnya sebagai

Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Pada mulanya transmisi virus ini

belum dapat ditentukan apakah dapat melalui antara manusia-manusia.

Jumlah kasus terus bertambah seiring dengan waktu. Selain itu, terdapat

15 kasus petugas medis terinfeksi oleh salah satu pasien. Salah satu pasien

tersebut dicurigai kasus “super spreader”. Akhirnya dikonfirmasi bahwa

transmisi pneumonia ini dapat menular dari manusia ke manusia. Sampai

saat ini virus ini dengan cepat menyebar masih misterius dan penelitian

masih terus berlanjut. (Burhan et al., 2020)


14

Saat ini sebanyak 29 negara mengonfirmasi terdapatnya kecurigaan

serta terkonfirmasi kasus COVID-19. Per-tanggal 13 Februari 2020,

berdasarkan data terakhir website oleh center for systems Science and

ngineering (CSSE) Universitas John Hopkins yang diperbaharui berkala,

data terakhir menunjukkan total kasus lebih dari 60.331 pasien, dengan

total kematian lebih dari 1.369 pasien dan perbaikan lebih dari 6.061

pasien. Saat ini data terus berubah seiring dengan waktu. Banyak kota di

Tiongkok dilakukan karantina. Kasus-kasus yang ditemukan diluar

Tiongkok sampai tanggal 12 Februari 2020 tercatat ada 28 negara

diantaranya : Amerika, Thailand, Hong Kong, Prancis, Malaysia,

Singapura, Taiwan, Macau, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Australia,

Nepal dan lain-lainnya. Kasus-kasus yang ditemukan di berbagai negara

tersebut sebagian besar memiliki riwayat bepergian ke Wuhan atau

berkontak dengan kasus confirmed yang memiliki riwayat ke Wuhan.

Empat kasus di Singapura merupakan seorang laki-laki 36 tahun, warga

negara Tiongkok bersama keluarganya datang pada 22 Januari dengan

tanpa gejala kemudian hari berikutnya mengeluh betuk dan terkonfirmasi

COVID-19 pada tanggal 2 Januari 2020. Laporan terbaru per-tanggal 9

ebruari 2020 sudah terdapat 43 kasus terkonfirmasi infeksi COVID-19 di

Singapura. Beberapa diantaranya dilaporkan tidak memiliki riwayat

perjalanan ke Tiongkok (Burhan et al., 2020)

Berdasarkan data sampai dengan 12 Februari 2020, angka

mortalitas di seluruh dunia 2,1% sedangkan khusus di kota Wuhan adalah

4,9%, dan di provinsi Hubei 3,1%. Angka ini di provinsi lain di Tiongkok
15

adalah 0,16%. Berdasarakan penelitian terhadap 41 pasien pertama di

Wuhan terdapat 6 orang meninggal (5 orang pasien di ICU dan 1 orang

pasien non-ICU). Kasus kematian banyak pada orang tua dan dengan

penyakit penyerta. Kasus kematian pertama pasien lelaki usia 61 tahun

dengan penyakit penyerta tumor intra abdomen dan kelainan di liver

(Burhan et al., 2020)

Kejadian luar biasa oleh coronavirus bukanlah merupakan kejadian

yang pertama kali Tahun 2002 severe acute respiratory syndrome (SARS)

disebabkan oleh SARS-coronavirus (SARS-Cov) dan penyakit Middle

east respiratory syndrome (MERS) tahun 2012 disebabkan oleh MERS-

coronavirus (MERS-Cov) dengan total akumulatif kasus sekitar 10.000

(1000-an kasus MERS dan 8000-an kasus SARS). Mortalitas akibat SARS

sekitar 10% sedangkan MERS lebih tinggi yaitu sekitar 40% (Burhan et

al., 2020)

COVID-19 di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tanggal 2

Maret 2020 sejumlah 2 kasus. Sementara itu data untuk Indonesia update

hingga tanggal 20 April 2020 pukul 16.30 WIB adalah 6.760 kasus

konfirmasi, 590 kasus meninggal (8,7%), 747 kasus sembuh (11,1%),

5.423 kasus dalam perawatan (80,2%). COVID-19 telah banyak mengubah

kebiasaan yang telah berlangsung lama. Dan data terbaru di di Indonesia

tanggal 10 juni 2020 pukul 12.00 WIB adalah 43.945 kasus ODP, 14.242

kasus PDP, 34.316 kasus positif, 12.129 kasus sembuh, 1.959 kasus

meninggal (Abdillah, 2020)


16

1. Pengertian COVID-19

Corona Virus Disease (COVID-19) adalah jenis virus baru yang

menular pada manusia dan menyerang gangguan sistem pernapasan

sampai berujung kematian (Zulva, 2020)

COVID-19 telah didefenisikan sebagai virus saluran ernapasan

baru dalam sampel yang dikumpulkan dari individu yang menunjukkan

gejala infeksi saluran pernapasan (Sahin et al., 2020)

Corona Virus adalag sekumpulan virus dari sub famili

Orthocronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo

Nidovirales. Kelompok virus ini yang dapat menyebabkan penyakit

pada burung dan mamalia, termasuk manusia. Pada manusia cornavirus

menyebabkan infeksi saluran pernapasan (Yunus and Rezki, 2020)

Coronavirus merupakan virus NA strain tunggal positif, berkapsul

dan tidak bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales,

keluarga Coronaviridae. Coronaviridae diabgi dua sub keluarga

dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom. Terdapat

empat genus yaitu alpha coronavirus, beta coronavirus, delat

coronavirus dan gamma coronavirus (Susilo et al, 2020)

Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160

nm. Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk diantaranya

adalah kelelawar dan unta (Susilo et al, 2020)


17

2. Karakteristik

Coronavirus memiliki kapsul, pertikel berbentuk bulat atau elips,

sering pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m. Semua virus ordo

Nidovirales memiliki kapsul, tidak bersegmen, dan virus positif RNA

serta memiliki genom RNA sangat panjang. Struktur coronavirus

membentuk struktur seperti kubus dengan protein S berlokasi di

permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satu

protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk

penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan masuknya

virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel

inang) (Burhan et al., 2020)

Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif

dapat di inaktifkan oleh disinfektan mengandung klorin, pelarut lipid

dengan suhu 56℃ selama 30 menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat,

detergen non-ionik, formalin, oxidizing agent dan kloroform.

Klorheksidin tidak efektif dalam menonaktifkan virus (Burhan et al.,

2020)
18

3. Patogenesis Dan Patofisiologi

Kebanyakan coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di

hewan. Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada

hewan dan kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan

seperti babi, sapi, kuda, kucing dan ayam. Coronavirus disebut sebagai

virus zoonotik yaitu virus yang ditransmisikan dari hewan kemanusia.

Banyak hewan liar yang dapat membawa patogen dan bertindak

sebagai vektor untuk penyakit menular tertentu (Burhan et al., 2020)

Kelelawar, tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang

biasa ditemukan untuk coronavirus. Coronavirus pada kelelawar

merupakan sumber utama untuk kejadian severe acute respiratory

syndrome (SARS) dan Middle East respiratory syndrome (MERS).

Namun pada kasus SARS, saat itu host intermediet (masked palm civet

atau luwak) justru ditemukan terlebih dahulu dan awalnya disangka

sebagai host alamiah. Barulah pada penelitian lebih lanjut ditemukan

bahwa luwak hanyalah sebagai host intermediet dan kelelawar tapal

kuda (horseshoe bars) sebagai host alamiahnya. Secara umum, alur

coronavirus dari hewan ke manusia dan dari manusia ke manusia

melalui transmisi kontak, transmisi droplet, rute feses dan oral (Burhan

et al., 2020)

Berdasarkan pertemuan, terdapat 7 tipe coronavirus yang dapat

menginfeksi manusia saat ini yaitu dua alphacoronavirus (229E dan

NL63) dan empat betacoronavirus, yakni OC43, HKU1, Middle East

respiratory syndrome-associated coronavirus (MERS-CoV), dan


19

severe acute respiratory syndrome-associated coronavirus (MERS-

CoV). Yang ketujuh adalah Coronavirus tipe baru yang menjadi

penyebab kejadian luar biasa di Wuhan, yakni Novel Coronavirus

2019 (2019-nCoV). Isolat 229E dan OC43 ditemukan sekitar 50 tahun

yang lalu. NL63 dan HKU1 diidentifikasikan mengikuti kejadian luar

biasa SARS. NL63 dikaitkan dengan penyakit akut laringotrakeiitis

(croup) (Burhan et al., 2020)

Coronavirus terutama menginfeksi dewasa atau anak usia lebih

tua, dengan gejala klinis ringan seperti common cold dan faringitis

sampai berat seperti SARS atau MERS serta beberapa strain

menyebabkan diare pada dewasa. Infeksi Coronavirus biasanya sering

terjadi pada musim dingin dan semi. Selain itu, terkait dengan

karakteristik Coronavirus yang lebih menyukai suhu dingin dan

kelembaban tidak terlalu tinggi (Burhan et al., 2020)

Semua orang secara umum rentan infeksi. Pneumonia Coronavirus

jenis baru dapat terjadi pada pasien immunocompromis dan populasi

normal, bergantung paparan jumlah virus. Jika kita terpapar virus

dalam jumlah besar dalam satu waktu, dapat menimbulkan penyakit

walaupun sistem imun tubuh berfungsi normal. Orang-orang dengan

sistem imun lemah seperti orang tua, wanita hamil, dan kondisi

lainnya, penyakit dapat secara progesif lebih cepat dan lebih parah.

Infeksi Coronavirus menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang lemah

terhadap virus ini lagi sehingga dapat terjadi re-infeksi (Burhan et al.,

2020)
20

Pada tahun 2002-2003, terjadi kejadian yang luar biasa di provinsi

Guangdong, Tiongkok yaitu kejadian SARS. Total kasus SARS sekitar

8098 tersebar di 32 negara, total kematian 5774 kasus. Agen virus

Coronavirus pada kasus SARS disebut SARS-CoV, grup 2b

betacoronavirus (Burhan et al., 2020)

Penyebaran kasus SARS sangat cepat total jumlah kasus tersebut

ditemukan dalam waktu sekitar 6 bulan. Virus SARS diduga sangat

mudah dan cepat menyebar antar manusia. Gejala yang muncul dari

SARS yaitu demam, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, dan gejala infeksi

saluran napas lain. Kebanyakan pasien sembuh sendiri, dengan tingkat

kematian sekitar 10-14% terutama pasien dengan usia lebih dari 40

tahun dengan penyakit penyerta seperti penyakit jantung, asma,

penyakit paru kronik dan diabetes (Burhan et al., 2020)

Tahun 2012, Coronavirus jenis baru kembali ditemukan di Timur

Tengah diberi nama MERS-CoV (grup 2c betacoronavirus). Kasus

pertama MERS pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 ditemukan

jumlah total 1143 kasus. Berbeda dengan SARS, MERS cenderung

tidak bersifat infeksius dibandingkan SARS. Dalam 3 tahun ditemukan

jumlah kasus 1143. MERS diduga tidak mudah menyebar dari manusia

ke manusia, namun SARS dapat dengan mudah dan cepat menyebar

dari manusia ke manusia. Namun, disisi lain MERS lebih tinggi tingkat

kematiannya, jika SARS sekitar 10%, tingkat kematian MERS

mencapai 40% (Burhan et al., 2020)


21

Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya.

Virus tidak bisa hidup tanpa sel-host. Berikut siklus dari coronavirus

setelah menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan

dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh protein S yang ada

dipermukaan virus. Protein S penentu utama dalam menginfeksi

spesies host-nya serta penentu tropisnya. Pada studi SARS-CoV

protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu enzim ACE-2

(angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada

mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus

besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel

alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel

otot polos. Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi replikasi dan

transkripsi dimana sintesis virus RNA genom virus. Selanjutnya

replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi

dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah

perakitan dan rilis virus (Burhan et al., 2020)

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas

kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus

hidupnya). Setelah itu menyebarkan ke saluran napas bawah. Pada

infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat

berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah

penyembuhan. Masa inkubasi virus muncul penyakit sekitar 3-7 hari

(Burhan et al., 2020)


22

Studi pada SARS menunjukkan virus bereplikasi di saluran napas

bawah diikuti dengan respon sistem imun bawaan dan spesifik. Faktor

virus dan sistem berperan penting dalam patogenesis. Pada tahap

pertama terjadi kerusakan difus alveolar, makrofag, dan infiltrasi sel T

dan poliferasi pneumosit tipe 2. Pada rontgen toraks diawal tahap

infeksi terlihat infiltrat pulmonar seperti bercak-bercak. Pada tahap

kedua, organisasi terjadi sehingga terjadi perubahan infiltrat atau

konsolidasi luas di paru. Infeksi tidak sebatas di sistem pernapasan

tetapi virus juga bereplikasi di enterosit sehingga menyebabkan diare

dan luruh di feses, juga urin dan cairan tubuh lainnya (Burhan et al.,

2020)

Studi terbaru menunjukkan peningkatan sitokin proinflamasi di

serum seperti IL1B, IL6, IL12, IFNγ,IP10, dan MCP1 dikaitkan

dengan inflamasi di paru dan kerusakan luas di jaringan paru-paru pada

pasien dengan SARS. Pada infeksi MERS-CoV dilaporkan

menginduksi peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti

IFNγ, TNFα, IL15,dan IL17. Patofisiologi dari tingginya patogenitas

yang tidak biasa dari SARS-CoV atau MERS-CoV sampai saat ini

belum sepenuhnya dipahami (Burhan et al., 2020)

SARS-CoV-2

Virus SARS-CoV-2 merupakan Coronavirus, jenis baru yang

menyebabkan epidemi, dilaporkan pertama kali di Wuhan Tiongkok

pada tanggal 31 Desember 2019. Analisis isolat dari saluran respirasi

bawah pasien tersebut menunjukkan penemuan Coronavirus tipe baru,


23

yang diberi nama oleh WHO COVID-19. Pada tanggal 11 februari

2020 WHO memberi nama penyakitnya menjadi Coronavirus Disease

2019 (COVID-19). Coronavirus tipe baru ini merupakan tipe ketujuh

yang diketahui manusia. SARS-CoV-2 diklasifikasikan pada genus

betacoronavirus. Pada 10 januari 2020, sekuensing pertama genom

SARS-CoV-2 terindefikasi dengan lima subsekuens dari sekuens

genom virus dirilis. Sekuens genom dari Coronavirus baru (SARS-

CoV-2) diketahui hampir mirip dengan SARS-CoV dan MERS-CoV.

Secara pohon evolusi sama dengan SARS-CoV dan MERS-CoV tetapi

tidak tepat sama (Burhan et al., 2020)

Kejadian luar biasa di Wuhan mirip dengan kejadian luar biasa

SARS di Guangdong pada tahun 2002. Keduanya terjadi di musim

dingin. Apabila dibandingkan dengan SARS, pneumonia COVID-19

cenderung lebih rendah dari segi angka kematian. Angka kematian

SARS mencapai 10% dan MERS 37%. Namun, saat ini tingkat

infektivitas virus pneumoni COVID-19 ini diketahui setidaknya lebih

tinggi dari SARS-CoV. Hal ini ditunjukkan oleh R0-nya, dimana

penelitian terbaru menunjukkan R0 dari virus pneumoni SARS-CoV-2

ini adalah 4,08. Sebagai perbandingan, R0 dari SARS-CoV adalah 2,0.

Coronavirus jenis baru ini bersifat letal namun tingkat kematian masih

belum pasti, serta saat ini masih dapat dicegah dan dikontrol (Burhan

et al., 2020)

Evolusi group dari SARS-CoV-2 ditemukan di kelelawar sehingga

diduga host alami atau utama dari SARS-CoV-2 mungkin juga


24

kelelawar. Coronavirus tipe baru ini dapat bertransmisi dai kelelawar

kemudian host perantara kemudian manusia melalui mutasi evolusi.

Ada kemungkinan banyak host perantara dari kelelawar ke manusia

yang belum dapat diidentifikasi. Coronavirus baru, memproduksi

variasi antigen baru dan populasi tidak memiliki imunitas terhadap

strain mutan virus sehingga dapat menyebabkan pneumonia. Pada

kasus ini ditemukan kasus “super-spreader”, jika lebih dari 10 lebih

tepat lagi dikatakan super spreader. Secara patofisiologi, pemahaman

mengenai COVID-19 masih perlu studi lanjut. Pada SARS-CoV-2

ditemukan target sel kemungkinan berlokasi di saluran napas bawah

(Burhan et al., 2020)

Respon imun pada pejamu pada COVID-19 dengan klinis ringan.

Respon imun yang terjadi pada pasien dengan menifestasi COVID-

19 yang tidak berat tergambar dari sebuah laporan kasus di Australia.

Pada pasien tersebut didapatkan peningkatan sel T CD38+HLA-DR+

(sel T teraktivasi), terutama sel T CD8 pada hari ke 7-9. Selain itu

antibody secreting cells (ASCs) dan sel T helper folikuler di darah

pada hari ke-7, tiga hari sebelum resolusi gejala. Peningkatan IgM/IgG

SARS-CoV-2 secara progesif juga ditemukan dari hari ke-7 hingga

hari ke-20. Perubahan imunologi tersebut bertahan hingga 7 hari

setelah gejala beresolusi. Ditemukan pula penurunan monosit

CD16+CD14+ dibandingkan kontrol sehat. Sel natural killer (NK)

HLA-DR+CD3-CD56+ yang teraktivasi dan monocyte

chemoattractanct protein-1 (MCP-1;CCL2) juga ditemukan menurun,


25

namun kadarnya sama dengan kontrol sehat. Pada pasien dengan

menifestasi COVID-19 yang tidak berat ini tidak ditemukan

peningkatan kemokin dan sitokin proinflamasi, meskipun pada saat

bergejala (Susilo et al, 2020)

Respon imun pada pejamu pada COVID-19 dengan klinis Berat

perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan

berat bisa dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut

mendapatkan hitung limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio

neutrofil-limfosit yang lebih tinggi, serta persentase monosit, eosinofil,

dan basofil yang lebih rendah pada kasus COVID-19 yang berat.

Sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-8 dan

penanda infeksi seperti prokalsitonin, ferritin, dan C-reactive protein

juga didapatkan lebih tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel helpe,

T supresor, dan T regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-

19 dengan kadar T helper dan T regulator yang lebih rendah pada

kasus berat. Laporan kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS

juga menunjukkan penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4

dan CD8 tersebut berada dalam status hiperaktivasi yang ditandai

dengan tingginya proporsi fraksi HLA-DR+CD38+. Limfosit T CD8

didapatkan mengandung granula sitotoksik dalam konsentrasi tinggi

(31,6% postif perforin, 64,2% positif granulisin, dan 30,5% positif

granulisin dan perforin). Selain itu ditemukan pula peningkatan

konsentrasi Th17 CCR6+ yang proinflamasi (Susilo et al, 2020)


26

ARDS merupakan penyebab utama kematian pada pasien COVID-

19. Penyebabnya terjadinya ARDS pada infeksi SARS-CoV-2 adalah

badai sitokin, yaitu respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol

akibat pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar (IFN-α, IFN-

γ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan

TGFβ) serta kemokin dalam jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5,

CXCL8, CXCL9, dan CXCL10). Granulocyte-colony stimulating

faktor, interferon-γ- inducible protein 10, monocyte chemoattractant

protein 1, dan macrophage inflammatory protein 1 alpha juga

didapatkan peningkatan. Respon imun yang berlebihan ini dapat

menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis sehingga terjadi disabilitas

fungsional (Susilo et al, 2020)

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,

mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia,

pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80%

kasus tergolong ringan atau sedang 13,8% mengalami sakit berat, dan

sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar

proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load

yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah

dilaporkan (Susilo et al, 2020)

Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut

saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam,


27

fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri

tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak

membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga

mengeluhkan diare dan muntah. Pasien COVID-19 dengan pneumonia

berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu dari gejala : a.

Frekuensi pernapasan >30x/menit, b. Distres pernapasan berat, atau c.

Saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri

dapat muncul gejala-gejala yang atipikal (Susilo et al, 2020)

Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan

gejala-gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan

sesak napas. Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah

demam, batuk kering dan fantigue. Gejala lain yang dapat ditemukan

adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,

mialgia/artalgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri

abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40%

demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-

39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C (Susilo

et al, 2020)

Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya

sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit

masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada

fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah,

diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-

paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan.
28

Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala

awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru

memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan

mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya

inflamasi semakin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang

mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya. (Susilo et al,

2020)

Interval serial COVID-19 mendekati atau lebih pendek dari median

inkubasinya. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penularan

sekunder dapat terjadi sebelumnya timbul penyakit. Interval serial

COVID-19 juga lebih pendek dari interval serial sindrom pernafasan

akut yang parah (SARS), menunjukkan bahwa perhitungan yang dibuat

dengan menggunakan interval serial SARS dapat menimbulkan bias

(Nishiura, Linton and Akhmetzhanov, 2020)

5. Penegakan Diagnosis

Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala

utama : demam, batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit

bernapas atau sesak (Yuliana, 2020)

a. Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek/possible

1. Seseorang yang mengalami :

a) Demam (≥38°C) atau riwayat demam

b) Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan


29

c) Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan klinis

dan/atau gambaran radiologis, (pada pasien

immunocompromised presentasi kemungkinan atipikal)

DNA disertai minimal satu kondisi sebagai berikut :

1) Memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau

Wilayah/ negara yang terjangkit dalam 14 hari

sebelum timbul gejala.

2) Petugas kesehatan yang sakit dengan gejala yang

sama setelah merawat pasien infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) berat yang tidak diketahui

penyebab/etiologi penyakitnya, tanpa memperhatikan

riwayat bepergian atau tempat tinggal.

2. Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan

ringan sampai berat dan salah satu berikut dalam 14 hari

sebelum onset gejala (Yuliana, 2020):

a) Kontak erat dengan pasien kasus terkonfirmasi atau

problable COOVID-19, atau

b) Riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan sudah

teridentifikasi), atau

c) Bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan

dengan kasus terkonfirmasi atau problable infeksi

COVID-19 di Tiongkok atau Wilayah /negara yang

terjangkit.
30

d) Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki

demam (suhu 38°C) atau riwayat demam.

b. Orang dalam pemantauan

Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat

demam tanpa pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan ke

Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit, dan tidak

memiliki satu atau lebih riwayat paparan antaranya (Yuliana,

2020) :

1. Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19

2. Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang

berhubungan dengan pasien konfirmasi COVID-19 di

Tiongkok atau wilayah/negara yag terjangkit (sesuai

dengan perkembangan penyakit)

3. Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika

hewan sudah teridentifikasi) di Tiongkok atau

wilayah/negara yang terjangkit (sesuai dengan

perkembangan penyakit )

c. Kasus problable

Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk COVID-19

tetapi inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang

dengan hasil konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta

coronavirus (Yuliana, 2020)


31

d. Kasus terkonfirmasi

Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi

COVID-19 (Yuliana, 2020)

6. Pemeriksaan Penunjangan

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin,

hitung jenis, fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah,

hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai

dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai,

sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue. Di Singapura

melaporkan adanya pasien positif palsu serologi dengue, yang

kemudian diketahui positif COVID-19. Karena gejala awal

COVID-19 tidak khas, hal ini harus diwaspadai. Profil temuan

laboratorium pada pasien COVID-19 (Susilo et al, 2020)

b. Pencitraan

Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah

foto toraks dan Computed Tomography Scan (CT-scan) toraks.

pada poto toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi

ground-glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi

fokal, efusi pleura, dan atelectasis. Foto toraks kurang sensitif

dibandingkan CT scan, karena sekitar 40% kasus tidak

ditemukan kelainan pada foto toraks (Susilo et al, 2020)


32

Studi dengan USG toraks menunjukkan pola B yang difus

sebagai temuan utama. Konsolidasi subpleural posterior juga

ditemukan walaupun jarang. Studi lain mencoba menggunakan

F-FDG PET/CT, namun dianggap kurang praktis untuk praktik

sehari-hari (Susilo et al, 2020)

Berdasarkan telaah sistematis temuan utama pada CT scan

toraks adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau

tanpa konsolidasi, sesuai dengan pneumonia viral. Keterlibatan

paru cenderung bilateral (87,5%), multilobuar (78,8%), lebih

sering pada lobus inferior dengan distribusi lebih perifer (76%).

Penebalan septum, penebalan pleura, bronkiektasis, dan

keterlibatan pada subpleural tidak banyak ditemukan (Susilo et

al, 2020)

Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu efusi

pleura, efusi perikardium, limfa denopati, kavitas, CT halo

sign, dan pneumotoraks. Walaupun gambaran-gambaran

tersebut bersifat jarang, namun bisa saja ditemui seiring dengan

progresivitas penyakit. Studi ini juga melaporkan bahwa pasien

di atas 50 tahun lebih sering memiliki gambaran konsolidasi

(Susilo et al, 2020)

Gambaran CT scan dipengaruhi oleh perjalanan klinis

(Susilo et al, 2020) :

1. Pasien asimtomatis : cenderung unilateral, multifokal,

predominan gambaran ground-glass. Penebalan septum


33

interlobularis, efusi pleura, dan limfa denopati jarang

ditemukan.

2. Satu minggu sejak onset gejala : lesi bilateral dan difus,

predominan gambaran ground-glass. Efusi pleura 5%,

limfa denopati 10%.

3. Dua minggu sejak onset gejala : masih predominan

gambaran ground-glass, namun mulai terdeteksi

konsolidasi.

4. Tiga minggu sejak onset gejala : predominan gambaran

ground-glass dan pola retikular. Dapat ditemukan

bronkiektasis, penebalan pleura, efusi pleura, dan limfa

denopati.

c. Pemeriksaan diagnostik SARS-CoV-2

1. Pemeriksaan Antigen-Antibodi

Ada beberapa perusahaan yang mengklaim telah

mengembangkan uji serologi untuk SARS-CoV-2, namun

hingga saat ini belum banyak artikel hasil penelitian alat uji

serologi yang dipublikasi (Susilo et al, 2020)

Salah satu kesulitan utama dalam melakukan uji

diagnostik tes cepat yang sahih adalah memastikan negatif

palsu, karena angka deteksi virus pada rRT-PCR sebagai

baku emas tidak ideal. Selain itu, perlu mempertimbangkan

onset paparan dan durasi gejala sebelum memutuskan

pemeriksaan serologi. IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi


34

mulai hari 3-6 setelah onset gejala. Pemeriksaan jenis ini

tidak direkomendasikan WHO sebagai dasar diagnosis

utama. Pasien negatif serologi masih perlu observasi dan

diperiksa ulang bila dianggap pada faktor risiko tertular

(Susilo et al, 2020)

2. Pemeriksaan Virolog

Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan

molekuler untuk seluruh pasien yang termasuk dalam

kategori suspek. Pemeriksaan pada individu yang tidak

memenuhi kriteria suspek atau asimtomatis juga boleh

dikerjakan dengan mempertimbangkan aspek epidemilogi,

protokol skrining setempat, dan ketersedian alat. Pengerjaan

pemeriksaan molekuler membutuhkan fasilitas dengan

biosafety level 2 (BSL-2), sementara untuk kultur minimal

BSL-3. Kultur virus tidak direkomendasikan untuk

diagnosis rutin (Susilo et al, 2020)

Metode yang dianjurkan untuk deteksi virus adalah

amplifikasi asam nukleat dengan real-time

reverstranscription (rRT-PCR) dan dengan sequencing.

Sampel dikatakan positif (konfirmasi SARS-CoV-2) bila

rRT-PCR positif pada minimal dua target genom (N,E,S,

atau RdRP) yang spesifik SARS-CoV-2 atau rRT-PCR

positif betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing


35

sebagian atau seluruh genom virus yang sesuai dengan

SARS-CoV-2 (Susilo et al, 2020)

Berbeda dengan WHO, CDC sendiri saat ini hanya

menggunakan primer N dan RP untuk diagnosis molekuler.

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat juga

telah menyetujui penggunaan tes cepat molekuler berbasis

GenXpert yang diberi nama Xpert, Xpress SARS-CoV-2.

Perusahaan lain juga sedang mengembangkan teknologi

serupa. Tes cepat molekuler lebih mudah dikerjakan dan

lebih cepat karena prosesnya otomatis sehingga sangat

membantu mempercepat deteksi (Susilo et al, 2020)

Hasil negatif palsu pada tes virologi dapat terjadi bila

kualitas pengambilan atau manajemen spesimen buruk,

spesimen diambil saat infeksi masih sangat dini, atau

gangguan teknis di laboratorium. Oleh karena itu, hasil

negatif tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi SARS-

CoV-2, terutama pada pasien dengan indeks kecurigaan

yang tinggi (Susilo et al, 2020)

3. Pengambilan Spesimen

WHO merekomendasikan pengambilan spesimen pada

dua lokasi, yaitu dari saluran napas atas (swab nasofaring

atau orofaring) atau saluran napas bawah (sputum,

bronchoalveolar lavage (BAL), atau aspirat endotrakeal).

Sampel diambil selama 2 hari berturut-turut untuk PDP dan


36

ODP, boleh diambil sampel tambahan bila ada perburukan

klinis. Pada kontak erat risiko tinggi, sampel diambil pada

hari 1 dan hari 14 (Susilo et al, 2020)

Studi lain melaporkan deteksi virus pada hari ke-7

setelah kontak pada pasien asimtomatis dan deteksi virus di

hari pertama onset pada pasien dengan gejala demam. Titer

virus lebih tinggi pada sampel nasofaring dibandingkan

orofaring. Titer virus dari sampel swab dan sputum

memuncak pada hari 4-6 sejak onset gejala. Bronkoskopi

untuk mendapatkan sampel BAL merupakan metode

pengambilan sampel dengan tingkat deteksi paling baik.

Induksi sputum juga mampu meningkatkan deteksi virus

pada pasien yang negatif SARS-CoV-2 melalui swab

nasofaring/orofaring. Namun, tindakan ini tidak

direkomendasikan rutin karena risiko aerosolisasi virus

(Susilo et al, 2020)

Sampel darah, urin, maupun feses untuk pemeriksaan

virologi belum direkomendasikan rutin dan masih belum

dianggap bermanfaat dalam praktek lapangan. Vrius hanya

terdeteksi pada sekitar <10% sampel darah, jauh lebih

rendah dibandingkan swab. Belum ada yang berhasil

mendeteksi virus di urin. SARS-CoV-2 dapat dideteksi

dengan baik di saliva. Studi di Hong Kong melaporkan

tingkat deteksi 91,7% pada pasien yang sudah positif


37

COVID-19, dengan titer virus paling tinggi pada awal onset

(Susilo et al, 2020)

7. Pencegahan

COVID-19 merupakan penyakit yang baru ditemukan oleh karena

itu pengetahuan terkait pencegahannya masih terbatas. Kunci

pencegahan meliputi pemutus rantai penularan dengan isolasi, deteksi

dini, dan melakukan proteksi dasar (Susilo et al, 2020)

a. Vaksin

Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah

pembuatan vaksin guna membuat imunitas dan mencegah

transmisi. Saat ini, sedang berlangsung 2 uji klinis fase 1 vaksin

COVID-19. Studi pertama dari National Institute of Health (NIH)

menggunakan mRNA – 1273 dengan dosis 25, 100, 250 μg. Studi

kedua berasal dari china menggunakan adenovirus type 5 vector

dengan dosis ringan, sedang dan tinggi (Susilo et al, 2020)

b. Deteksi dini dan isolasi

Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah

berkontak dengan pasien yang positif COVID-19 harus segera

berobat ke fasilitas kesehatan. WHO juga sudah membuat

instrumen penilaian risiko bagi petugas kesehatan yang menangani

pasien COVID-19 sebagai panduan rekomendasi tindakan lanjut.

Bagi kelompok risiko tinggi, direkomendasikan pemberhentian

seluruh aktivitas yang berhubungan dengan pasien selama 14 hari,

pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan isolasi. Pada kelompok


38

risiko rendah, dihimbau melaksanakan pemantauan mandiri setiap

harinya terhadap suhu dan gejala pernapasan selama 14 hari dan

mencari bantuan jika keluhan memberat. Pada tingkat masyarakat,

usaha mitigasi meliputi pembatasan bepergian dan kumpul massa

pada acara besar (social distancing) (Susilo et al, 2020)

c. Higiene, cuci tangan, dan desinfektan

Rekomendasi WHO dalam mengahadapi wabah COVID-19

adalah melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan

secara rutin dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga jarak,

dengan seseorang yang memiliki gejala batuk atau bersin,

melakukan etika batuk atau bersin, dan berobat ketika memiliki

keluhan yang sesuai kategori suspek. Rekomendasi jarak yang

harus dijaga adalah satu meter. Pasien rawat inap dengan

kecurigaan COVID-19 juga harus diberi jarak minimal satu meter

dari pasien lainnya, diberikan masker bedah, diajarkan etika

batuk/bersin, dan diajarkan cuci tangan (Susilo et al, 2020)

Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas

kesehatan pada lima waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien,

sebelum melakukan prosedur, setelah terpajan cairan tubuh, setelah

menyentuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan pasien. Air

sering disebut sebagai pelarut universal, namun mencuci tangan

dengan air saja tidak cukup untuk menghilangkan coronavirus

karena virus tersebut merupakan virus RNA dengan selubung lipid

bilayer (Susilo et al, 2020)


39

Sabun mampu mengangkat dan mengurai senyawa hidrofobik

seperti lemak atau minyak. Selain menggunakan air dan sabun,

etanol 62-71% dapat mengurangi infektivitas virus. Oleh karena

itu, membersihkan tangan dapat dilakukan dengan hand rub

berbasis alkohol atau sabun dan air. Berbasis alkohol lebih dipilih

ketika secara kasat mata tangan tidak kotor sedangkan sabun

dipilih ketika tangan tampak kotor (Susilo et al, 2020)

Hindari menyentuh wajah terutama bagian wajah, hidung dan

mulut dengan permukaan tangan. Ketika tangan terkontaminasi

dengan virus, menyentuh wajah dapat menjadi portal masuk.

Terakhir, pastikan menggunakan tisu satu kali pakai ketika bersin

atau batuk untuk menghindari penyebaran droplet (Susilo et al,

2020)

d. Alat pelindung diri

SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat

pelindung diri (APD) merupakan salah satu metode efektif

pencegahan penularan selama penggunanya rasional. Komponen

APD terdiri atas sarung tangan, masker wajah, kacamata pelindung

atau face shield, dan gaun nonsteril lengan panjang. Alat pelindung

diri akan efektif dan terkontrol lingkungan dan teknik (Susilo et al,

2020)

Penggunaan APD secara rasional dinilai berdasarkan risiko

pajanan dan dinamika transmisi dari patogen. Pada kondisi

berinteraksi dengan pasien tanpa gejala pernapasan, tidak


40

diperlukan APD. Jika pasien memiliki gejala pernapasan, jaga jarak

minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker. Tenaga medis

disarankan menggunakan APD lengkap. Alat seperti stetoskop,

thermometer, dan spigmomanometer sebaiknya disediakan khusus

untuk satu pasien. Bila akan digunakan untuk pasien lain,

bersihkan dan desinfektan dengan alkohol 70% (Susilo et al, 2020)

World Health Organization tidak merekomendasikan

penggunaan APD pada masyarakat umum yang tidak ada gejala

demam, batuk, atau sesak (Susilo et al, 2020)

e. Mempersiapkan daya tahan tubuh

Terdapat beragama upaya dari berbagai literatur yang dapat

memperbaiki daya tahan tubuh terhadap infeksi saluran napas.

Beberapa di antaranya adalah berhenti merokok dan konsumsi

alkohol, memperbaiki kualitas tidur, serta konsumsi suplemen

(Susilo et al, 2020)

Berhenti merokok dapat menurunkan risiko infeksi saluran

napas atas dan bawah. Merokok menurunkan fungsi proteksi epitel

saluran napas, makrofag alveolus, sel dendritik, sel NK, dan sistem

imun adaptif. Merokok juga dapat meningkatkan virulensi mikroba

dan resistensi antibiotika (Susilo et al, 2020)

Suatu meta-analisis dan telaah sistemik menunjukkan bahwa

konsusmsi alkohol berhubungan dengan peningkatan risiko

pneumonia komunitas. ARDS juga berhubungan dengan konsusmsi

alkohol yang berat. Konsumsi alkohol dapat menurunkan fungsi


41

neutrofil, limfosit, silia saluran napas, dan makrofag alveolus

(Susilo et al, 2020)

Kurang tidur juga dapat berdampak terhadap imunitas.

Gangguan tidur berhubungan dengan peningkatan kerentanan

terhadap infeksi yang ditandai dengan gangguan proliferasi

mitogenik limfosit, penurunan ekspresi HLA-DR, upregulasi

CD14+, dan variasi sel limfosit T CD14+ dan CD8+ (Susilo et al,

2020)

Salah satu suplemen yang didapatkan bermanfaat yaitu vitamin

D. Suatu meta-analisis dan telaah sistematik menunjukkan bahwa

suplementasi vitamin D dapat secara aman memproteksi terhadap

infeksi saluran napas akut. Efek proteksi tersebut lebih besar pada

orang dengan kadar 25-OH vitamin D kurang dari 25 nmol/L dan

yang mengonsumsi harian atau mingguan tanpa dosis bolus (Susilo

et al, 2020)

Suplementasi probiotik juga dapat mempengaruhi respon

imun. Suatu review Cochrane mendapatkan pemberian probiotik

labih baik dari plasebo dalam menurunkan episode infeksi saluran

napas atas akut, durasi episode infeksi, penggunaan antibiotik dan

absensi sekolah. Namun kualitas bukti masih rendah. Terdapat

penelitian yang memiliki heterogenitas besar, besar sampel kecil

dan kualitas metode kurang baik (Susilo et al, 2020)

Defisiensi seng juga berhubungan dengan penurunan respon

imun. Suatu meta-analisis tentang suplementasi seng pada anak


42

menunjukkan bahwa suplementasi rutin seng dapat menurunkan

kejadian infeksi saluran napas bawah akut (Susilo et al, 2020)

Anda mungkin juga menyukai