Anda di halaman 1dari 6

Riwayat Hidup Sutan Sjahrir

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sjahrir sudah menjadi salah satu intelektual
muda di masa itu karena latar belakang pendidikannya yang cukup baik (sekolah-sekolah
Belanda). Lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 5 Maret 1909, Sjahrir
dibesarkan di Medan, kota yang memperkenalkannya pada kemelaratan. Lahir di Padangpanjang,
Sumatera Barat, pada tanggal 5 Maret 1909, Sjahrir dibesarkan di Medan, kota yang
memperkenalkannya pada kemelaratan. kemudian Sjahrir masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di
Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda pada waktu itu. Teman-teman Sjahrir menyatakan
bahwa pada tanggal 20 Februari 1927, Sjahrir termasuk orang yang membentuk himpunan kaum
nasionalis Jong Indonesie. Tidak ditemukan catatan sezaman tentang keikutsertaannya.
Meskipun demikian dia disebutkan dalam laporan polisi sebagai pimpinan salah satu rapat
perhimpuan tersebut. Pada bulan Agustus 1928, Sutan Sjahrir, sudah dikenal oleh polisi Bandung
sebagai pemimpin redaksi dari majalah himpunan tersebut. Setelah lulus dari AMS ia mengikuti
jejak kakaknya di belanda, dan melanjutkn kuliahnya disana. Ia melanjutkan studinya di
Universitas Amsterdam, di fakultas Hukum.

Peran Sjahrir Sebelum Kemerdekaan


1. Peran Sjahrir Sebelum Kemerdekaan
Sejak bulan Juni 1931 Hatta dan Sjahrir mulai menunjukkan dukungan bagi Golongan
Merdeka. Dorongan serta saran dari Hatta dan Sjahrir mulai menujukkan hasil menjelang
pertengahan Agustus 1931. Seperti diberitakan oleh Warna Warta, pada tanggal 12 Agustus
1931, Golongan Medeka sudah membentuk suatu panitia pusat untuk merancang penerbitan
Daulat Ra’jat. Panitia pusat berkedudukan di Batavia, dengan sub-panitia di Bandung, Malang,
Surabaya, dan Pelembang. Karena sering mengadakan pertemuan, mereka sepakat bahwa wadah
yang terbaik bagi mereka bukan partai, bukan pula perhimpunan, melainkan pendidikan. Sejak ia
telah menempuh banyak ilmu di Belanda, setelah kembali menjadi tahap baru dalam
perkembangan politiknya. ia telah memperoleh kebiasaan untuk melakukan analisis yang tajam,
menggunakan logika yang tidak sentimental, dan kesediaannya untuk melancarkan kritik yang
tajam terhadap hal-hal yang dianggapnya tak berharga.
Pada saat politik di masa sebelum kemerdekaan memilih untuk tidak bekerjasama dengan
Partindo terang-terangan memilih bergabung dengan kelompok nasionalis Golongan Merdeka
yang relatif kecil, dan punya kesadaran politik yang lebih tinggi, punya arti penting. Sjahrir
yakin bahwa pergerakan semacam itu hanya mempunyai kekuatan jika sejumlah rakyat
Indonesia dididik agar matang dalam masalah- masalah politik, dan punya pengertian yang
mendalam tentang prinsip-prinsip kebangsaan. Proses pendidikan itu direncanakan sebagai
pelaksanaan jangka panjang secara tidak spektakuler. Sjahrir menggantikan Soekemi pada bulan
Juni 1932 sebagai pemimpin PNI-Baru, kemudian menyerahkan pimpinan tersebut kepada Hatta
sekembalinya Hatta ke Hindia Belanda pada bulan Agustus. Partai tersebut. menjadi organisasi
yang berfungsi, dengan sekitar selusin cabang, dan beberapa di antaranya terus berkembang
dalam bulan-bulan berikutnya. Dimasukkannya kata ’Pendidikan’ ke dalam nama partai tersebut
mempunyai maksud khusus dan juga serius. Sebagian kegiatan partai itu adalah
menyelenggarakan pendidikan politik bagi para anggotanya. Para anggota Pendidikan Nasional
Indonesia, bukanlah kaum buruh dalam artian suatu kelas sosial walaupun sebagian terbesar dari
mereka hanya berpendidikan menengah dan bukan berpendidikan tinggi.

Pendudukan Jepang pada Tahun 1942

Pada mulanya Jepang mencoba memanfaatkan elemen-elemen feodal dan agama guna
memperoleh dukungan. Ketika usaha tersebut gagal, mereka berpaling kepada Hatta dan Sjahrir.
Kedua pemimpin ini tidak mempercayai Jepang, mereka mengetahui bahwa Jepang akan
berusaha untuk membentuk sebuah pemerintah Indonesia dengan kendali di tangan Jepang..
Sjahrir dan Hatta. Keduanya bersepakat untuk sementara waktu Hatta bekerja sama dengan pihak
Jepang, sedangkan Sjahrir akan memimpin pengorganisasian gerakan revolusioner bawah tanah
yang terkoordinasi. Pada bulan Juli tahun 1942, Hatta, Sukarno, dan Sjahrir, mengadakan
pertemuan rahasia di kediaman Hatta. Pada pertemuan itu Sukarno menyetujui rencana yang
telah dipikirkan secara matang oleh Hatta dan Sjahrir. Akhirnya diputuskan bahwa Sukarno-
Hatta akan menawarkan kerja sama mereka dengan pihak Jepang, melindungi roda pemerintahan
dari campur tangan Angkatan Perang Jepang, dan menyediakan basis legal yang luas bagi
perjuangan nasional sambil secara rahasia membantu gerakan perlawanan revolusioner pimpinan
Sjahrir dengan memberikan informasi dan juga uang. Pada bulan Oktober 1944, menyusul
pernyataan Perdana Menteri Koiso di Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan segera diberi
kemerdekaan, Sukarno- Hatta dan yang lain-lainnya diizinkan untuk secara terbuka
menganjurkan kemerdekaan. Pada tanggal 1 Maret 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan yang
berbasis luas di Jawa dibentuk. Setelah mengadakan sidang secara rutin pada bulan Mei, Juni,
dan Juli, Panitia tersebut berhasil mencapai keputusan-keputusan mengenai soal-soal ekonomi
dan konstitusi.

Peran Sjahrir Dalam Mencapai Kemerdekaan


Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945

Setelah membicarakan soal proklamasi kemerdekaan Indonesia, disitu diputuskan bahwa Panitia
Persiapan Kemerdekaan harus bersidang pada tanggal 19 Agustus 1945 di Jakarta. Sebelum
berangkat ke Saigon, Hatta dan Sjahrir telah sepakat bahwa saat yang menentukan bagi usaha
revolusioner besar- besaran, yaitu secara terang-terangan menggabungkan berbagai kekuatan
legal di bawah Sukarno-Hatta dan gerakan bawah tanah dalam usaha mendirikan negara
Indonesia yang merdeka. Setelah mendengar kabar pada tanggal 14 Agustus 1945 bahwa jepang
dijatuhkan bom atom, retjadilah perdebatan sengit mengenai strategi yang akan ditempuh untuk
memproklamasikan kemerdekaan. Diam-diam Hatta berunding dengan Sjahrir yang mendesak
agar proklamasi kemerdekaan harus diadakan sesegera mungkin karena jika menunggu tanggal
19 Agustus mungkin akan terlambat. Panitia Persiapan yang akan melangsungkan sidang
peresmiannya pada tanggal 18 Agustus. Sjahrir meminta agar segera proklamasi dilaksanakan.
Namun Soekarno tetap menolak. Di zaman Jepang pemuda dan mahasiswa di Jakarta berhimpun
di tiga lokasi, yakni Asrama Prapatan 10 yang menjadi tempat tinggal mahasiswa kedokteran Ika
Dai Gaku (Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran), Asrama Angkatan Baru Menteng 31 yang
didirikan oleh Sendenbu (Badan Propaganda Jepang), Asrama Indonesia Merdeka di Jalan
Bungur Besar yang didirikan oleh kalangan Kaigun (Angkatan Laut Jepang) Menyangkut para
pemuda, tampuk (ujung) pimpinan terlepas dari tangan Sjahrir dan beralih ke tangan berbagai
pemimpin pemuda lainnya, di antaranya adalah Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Maruto
Nitimihardjo, Wikana dan wakil-wakil yang lain dari asrama mahasiswa kedokteran di Prapatan.
Di antara mereka terdapat beberapa pengikut Sjahrir. Sebagai hasil diskusi di antara
kelompok-kelompok itu maka diputuskan bahwa pandangan mereka harus disampaikan langsung
kepada Sukarno, maka sebuah delegasi yang dipimpin oleh Wikana menemui Sukarno di tempat
tinggalnya di Pegangsaan Timur 56 pada malam hari tanggal 15 Agustus. Pada waktu perdebatan
sengit antara Sukarno dan para mahasiswa tersebut, Sukarno tetap teguh tidak mau mengalah.
Sebagai tindak lanjut mereka melakukan untuk menculik kedua pemimpin yaitu Sukarno dan
Hatta, yang dilangsungkan di Asrama Baperpi di Cikini. Sjahrir diberitahu tentang rencana-
rencana tersebut tetapi, ia menolak untuk ambil bagian di dalamnya. Para pemuda kemudian
memindahkan Sukarno dan Hatta ke kota kecil Rengasdengklok, di mana mereka juga tidak
berhasil membujuk Sukarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Jakarta
pada malam tanggal 16 Agustus Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan dengan anggota
PPKI dan sejumlah pemimpin pemuda di rumah Laksamana Maeda dan menyiapkan naskah
proklamasi kemerdekaan yang akan diumumkan esok paginya. Namun saat pembacaan
proklamasi Sjarir tidak hadir.

KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat ) Tahun 1945

Pada tanggal 7 Oktober 1945, 40 orang anggota Komite Nasional menandatangani petisi untuk
Presiden Sukarno. Mereka menuntut Komite menjadi badan legislatif, bukan pembantu Presiden.
Selain itu, menteri kabinet harus bertanggung jawab kepada Dewan, bukan Presiden. Pada rapat
Komite Nasional kedua pada tanggal 16 Oktober 1945 merupakan salah satu titik penting
perjalanan politik Sjahrir. Pada tanggal 25 Oktober 1945 Sjahrir diterima menjadi salah seorang
anggota KNIP, sekaligus dipilih dengan suara bulat untuk menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP
sedangkan wakilnya adalah Amir Sjarifuddin. Dengan demikian sebenarnya terjadi penyegaran
personalia dan penyempurnaan organisasi KNIP. Badan itu lebih mencerminkan aspirasi-aspirasi
dan kekuatan-kekuatan sosial politik yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sebagai ketua
KNIP yang baru, Sjahrir mengarahkan agar hendaknya keanggotaan KNI (Komite Nasional
Indonesia), baik di pusat maupun di daerah-daerah, lebih mencerminkan aspirasi politik nasional.
Dan sejalan dengan itu, atas saran Sjarir selaku ketua KNIP, wakil presiden yaitu Hatta pada
tanggal 3 November 1945 mengumumkan Maklumat X tentang pembentukan partai-partai di
Indonesia. Setelah keluarnya Maklumat X dan berdirinya partai-partai maka komposisi
keanggotaan KNIP diperluas lagi dengan wakil-wakil dari partai-partai. KNIP pun lebih
mencerminkan suatu lembaga dengan keanggotaan dan fungsi legislatif yang mencerminkan
aspirasi-aspirasi (kelompok politik) yang hidup, apalagi karena kepala pemerintah (Perdana
Menteri) bertanggung jawab kepada KNIP. Prestasi Sjahrir di dalam KNIP membuktikan bahwa
ia memahami secara mendalam masalah Negara Republik Indonesia yang baru lahir serta tahu
apa saja yang harus dilakukan. Lagi pula ia mendapat dukungan kuat di KNIP. Sjahrir pun
menyusun dan memimpin suatu kabinet parlementer yakni yang bertanggung jawab kepada
legislatif (dalam hal ini KNIP).

Perdana Menteri (15 November 1945 – 27 Juni 1947)


Sjahrir menjadi Perdana Menteri dan mulai memimpin kabinetnya pada tanggal 14
November 1945. Dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Pada saat itu Sjahrir
menegaskan, bahwa demi keutuhan Indonesia merdeka dan untuk menetralisirkan tuduhan
Sekutu, ia akan menerbitkan buku Perjuangan Kita yang disebarluaskan dalam beberapa bahasa.
Buku yang menggemparkan itu kemudian diterbitkan oleh Kementrian Penerangan Republik
Indonesia yang saat itu dipimpin Amir Sjarifuddin. Pada bulan Oktober 1945 Sjahrir berhasil
meyakinkan Sukarno dengan konsep dan sejumlah usulannya, yakni membentuk Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang kemudian akan menjadi badan penyusun UUD. Sjahrir
juga mengusulkan pembentukan partai-partai politik. Kemudian dia meminta Sukarno
membubarkan kabinet dan membentuk kabinet baru dipimpin oleh seorang perdana menteri yang
dipilih oleh KNIP. Langkahnya itu dilandasi pemikiran bahwa Republik harus demokratis, bebas
dari para kolaborator Jepang (untuk mengesankan bahwa Republik Indonesia bukan bentukan
Jepang). Maka pada bulan Oktober 1945 terbentuklah dua partai sosialis (Partai Rakyat Sosialis
pimpinan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Amir Sjarifuddin) yang akhirnya
bergabung menjadi Partai Sosialis. Pada bulan Oktober 1945 Sjahrir memutuskan untuk
membuka perundingan dengan pihak Belanda. Sjahrir memanfaatkan diplomasi Inggris. Butir-
butir penting yang dikemukakannya dalam tulisannya Perjuangan Kita menjadi pedoman kerja.
Pasukan Belanda kemudian mulai kembali menduduki Jakarta pada awal tahun 1946, para
pemimpin nyawanya terancam, dan akhirnya Sukarno, Hatta dan Sjahrir memindahkan
pemerintahan ke Yogyakarta. Namun, Sjahrir tetap memilih melanjutkan negosiasi dan
diplomasi.Pada pertengahan bulan Desember 1945, Sjahrir mengeluarkan kebijakan politik
militer. Semua kekuatan bersenjata, baik tentara maupun lascar, harus keluar dari Jakarta. Untuk
menghindari terjadinya perang dengan Belanda Sjahrir mengadakan pidato radio pada tanggal 19
Juni 1947 yang berisi antara lain memberi konsesi (kerelaan) pada Belanda secara hukum mau
mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia selama masa peralihan, akan tetapi juga
mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia ke dalam. Ketika Belanda pada tanggal 21 Juli
1947 menyerang Republik, Sjahrir sebagai penasehat Presiden dan selaku Duta Keliling
Republik berangkat ke luar negeri dengan mengunakan pesawat terbang. Pada tanggal 14
Agustus 1947 Sjahrir sebagai wakil Republik Indonesia berbicara dalam sidang Dewan
Keamanan PBB. Di sana ia menjelaskan politik penjajahan Belanda dan mendesak supaya
Dewan Keamanan PBB membentuk suatu Badan Arbitrase yang tidak berpihak. Sjahrir di dalam
forum internasional di Dewan Keamanan mempertahankan dan membela kemerdekaan Republik
Indonesia seperti memperkuat perhubungan dalam perjanjian Linggarjati dan diakui oleh dunia
internasional. Jabatan sebagai ketua Delegasi Rupublik Indonesia di Dewan Keamanan PBB
adalah kedudukan Sjahrir yang terakhir sebagai pejabat negara.

Referensi dari buku yang berjudul Soekarno Bapak Bangsa karya Andi Setiadi
Jumlah halaman ± 180

Anda mungkin juga menyukai