Anda di halaman 1dari 7

Nama : IRHAM

Kelas : XII IIS 1


Mapel : SBK
( No Absen 13)

TUGAS LAGU TRADISIONAL “MADIHIN” ASAL BANJAR


Pengertian
Sastra lisan Madihin merupakan salah satu budaya yang masih eksis dan sering dipentaskan di
tengah masyarakat suku Banjar namun secara perlahan mulai berkurang peminatnya. Ia
merupakan sastra lisan yang diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat Banjar,
Kalimantan Selatan dan beberapa daerah lain di Pulau Kalimantan. Syukrani (1994: 6)
berpendapat bahwa madihin merupakan karya sastra dipentaskan mempunyai fungsi sebagai
penyajian estetis yang dinikmati penonton. Madihin sering dipentaskan di berbagai acara
masyarakat seperti acara keagamaan, acara adat, acara perkawinan, acara menyambut tamu
kehormatan, acara hari jadi daerah, acara kenegaraan dan acara-acara meriah lainnya. Kalimat
tutur dalam syair dan pantun berbahasa Banjar yang dipentaskan dalam madihin kaya humor
yang tujuannya memberikan hiburan sekaligus nasihat.

Madihin adalah salah satu jenis sastra lisan yang ada di masyarakat Banjar. Madihin adalah
kesenian khas Kalimantan Selatan, bersyair atau berpantun diiringi dengan pukulan rebana Hapip
(2008: 114). Madihin cukup dikenal di Indonesia setelah dibawakan oleh John Tralala di TVRI
pada era 1980-an. John Tralala mampu mengangkat sastra lisan madihin menjadi populer di
Indonesia karena pantun dan syair dalam madihin bisa dia kemas dengan bahasa humor. John
Tralala sering diundang ke berbagai daerah di Indonesia untuk membawakan madihin.
Pemadihinan adalah orang memainkan madihin. Dalam penyajian madihin ada yang
dibawakan oleh 1 orang pemadihinan (pemain tunggal), bisa juga dibawakan oleh 2 orang dan 4
orang pemadihinan. Pemain tunggal membawakan syair dan pantunnya harus pandai membawa
timber atau warna suara yang agak berbeda seperti orator. Pemadihinan harus pandai menarik
perhatian penonton dengan humor segar dan mengundang tawa. Pemadihinan harus benar-benar
sanggup memukau dengan irama dinamis pukulan terbangnya (rebana).
Seniman madihin Banjar (pemadihinan) di daerah Kalimantan Selatan adalah John Tralala
dan Hendra. Selain itu juga ada Mat Nyarang dan Masnah pasangan pamadihinan yang paling
senior di kota Martapura, Rasyidi dan Rohana di Tanjung, Imberan dan Timah di Amuntai,
Nafiah dan Mastura di Kandangan, Khair dan Nurmah di Kandangan, Utuh Syahiban di
Banjarmasin, Syahrani di Banjarmasin, dan Sudirman di Banjarbaru.
Pemain-pemain madihin (pemadihinan) ini mementaskan syair dan pantun dengan lancar
secara spontanitas (tanpa konsep maupun hapalan) menggunakan bahasa Banjar dengan muatan
nasihat (papadah) dan informasi sesuai perkembangan zaman, situasi dan kondisi yang
menghibur penonton. Pemadihinan menyampaikan syair atau pantun madihin berisi nasihat,
sindiran, dan unsur humor. Dalam kaitannya dengan aspek humor yang merupakan cabang dari
fungsi seni, tuturan pemadihinan dalam membawakan madihin dapat memberi kesan lucu atau
jenaka yang membuat penonton bangkit semangatnya, bahagia dan antusias dalam mengikuti
jalannya pertunjukkan madihin. Di samping itu, madihin juga mengandung unsur pendidikan
nasihat dan nilai-nilai kemasyarakatan yang dapat menunjang penyampaian pesan-pesan kepada
pemerintahan dalam hal pembangunan dan lain-lain.
Dalam setiap pementasan sastra lisan madihin Banjar ini selalu dibatasi oleh aturan-aturan
yang sudah baku. Aturan-aturan itu harus dipatuhi oleh para seniman madihin (pemadihinan).
Setiap pementasan madihin Banjar terlihat adanya struktur yang sudah baku yaitu terdiri dari
pembukaan, memasang tabi, menyampaikan isi dan penutup. Selaras dengan hal ini, Thabah
(1999:9) berpendapat dalam penyampaian pantun madihin yang dibawakan pemadihinan sudah
ada struktur penyampaiannya yang baku yaitu terdiri atas 4 langkah.
a. Pembukaan, yaitu dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan terbang
yang disebut pukulan membuka. Sampiran pantun ini biasanya akan memberikan informasi tema
apa yang akan dibawakan dalam penyampaian pantun madihin.
b. Memasang tabi, yaitu membawakan syair-syair atau pantun yang isinya menghormati
penonton, dan memohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam penyampaian.
c. Menyampaikan isi (manguran), yaitu menyampaikan syair-syair atau pantun yang selalu
selaras dengan tema penyampaian atau sesuai dengan permintaan pihak penyelenggara. Sebelum
sampiran pantun dipembukaan harus disampaikan isinya terlebih dahulu (mamacah bunga).
d. Penutup, yaitu menyampaikan kesimpulan dari apa yang baru saja disampaikan sambil
menghormati penonton, dan mohon pamit, serta ditutup dengan pantun- pantun serta lagu-lagu.

I. Sejarah Madihin
Asal mula adanya kesenian madihin sulit untuk dipastikan, namun ada yang berpendapat bahwa :
1. Madihin berasal dari Hindia sebab madihin dipengaruhi oleh syair dan gendang
tradisional dari Semenajung Malaka.
2. Madihin berasal dari Tawia Kec. Angkinang  Kab. H.S.S, dari kampung Tawia inilah
madihin tersebar luas hingga luar daerah. Salah satu pemadihinan yang terkenal adalah
almarhum Dullah Nyangnyang.
3. Madihin bersal dari Kec. Paringin (sekarang  Kabupaten Balangan) Kalimanatan Selatan.
Jadi siapa pencipta madihin dan asal pencipta tersebut belum diketahui secara nyata, yang jelas
madihin berbahasa Banjar ini berarti penciptannya pun berasal dari orang Banjar. Madihin sudah
ada setelah Islam menyebar di Kalimantan Selatan sekitar 1800 an, diperkirakan kesenian
madihin ini dipengaruhi oleh kasidah atau rebana oleh sebab itu memiliki kemiripan antara satu
sama lain ( Anwar , 2002 : 4).
II.  Diskripsi Madihin
Madihin merupakan suatu kesenian yang mempunyai karakter dan ciri-ciri khusus atau ciri
tersendiri, baik dari syair, pemadihinan (pemain Madihin) sampai pada alat musik yang
digunakan.  Madihin sebagai suatu karya sastra lisan yang dipentaskan mempunyai fungsi
sebagai penyajian estitis (tontonan) yang dinikmati penonton ( Syukrani,1994:6 ).
Syair madihin dapat disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi, sebab kata-kata yang
dilontarkan tanpa ada konsep tertulis terlebih dahulu (spontanitas) dan pada saat ditampilkan
tergantung pada permintaan penggemarnya.
Dalam kehidupan masyarakat orang Banjar, mungkin kata madihin sudah tak asing lagi dan
pernah melihat pertunjukannya. Madihin berasal dari kata Madah, yakni sejenis puisi lama
dalam sastra Indonesia, yang terdiri dari syair-syair  dengan kalimat akhir bersamaan bunyi,
sedang Madah dalam bahasa Arab mengandung makna puji-pujian. Pendapat lain mengatakan
bahwa madihin berasal dari bahasa Banjar papadah atau mamadahi (dalam bahasa Indonesia
memberi nasehat). Semua opini ini dapat dibenarkan, sebab masing-masing mempunyai kaitan
yang sama dengan syair pantun dalam kesenian madihin (Anwar , 2002 : 4)
III. Instrumen Madihin
Instrumen madihin berupa Terbang kecil yang bergaris tengah sekitar 30 cm yang bahannya biasa
dibuat dari batang pohon jingah dan kadang-kadang juga dari batang pohon nangka. Guna
mengencangkan gendangnya dipergunakan lingkaran rotan yang disisipkan dari dalam rongga
badan di bawah gendang kulit kambing. Terbang kecil yang dimiliki oleh pamadihinan tersebut
berfungsi sebagai pendukung utama dari materi syair-syair yang disajikan oleh pamadihinan.
Seorang pamadihinan harus memiliki keterampilan memukul Terbang sesuai dengan penyajian
syair-syair yang dibacakan. Irama Terbang yang dipukul oleh pamadihinan mempunyai notasi
yang sama dan datar atau monoton, kecuali pada saatsaat prolog dan epilog, yang iramanya terjadi
perubahan nada yang menunjukkan tanda awal dan akhir kesenian madihin itu disajikan 
IV. Cara Pementasan
Madihin dipergelarkan bisa sendirian atau berpasangan, dalam bentuk pertandingan, sedang
penonton sebagai jurinya. Biasanya madihin dipergelarkan pada malam hari, lama waktu
pergelaran disesuaikan dengan keinginan penyelenggaranya, atau tergantung pada hasrat
penonton, terkadang penonton menghendaki madihin bergelar hingga jauh
malam. Pemadihinan tampil dengan sebuah terbang, sejenis gendang berkulit. Ukurannya cukup
besar, lebih besar dari pada rebana yang di pakai untuk kesenian hadrah, terbang itu dipukul
dengan  kedua telapak tangannya menurut rentak irama tertentu sebagai pembuka untuk menarik
perhatian penonton. Dinamik terbang yang dipalunya dikurangi sehingga berfungsi sebagai
iringan suaranya melagukan larik-larik yang selalu bersajak pada setiap akhir kalimat. Larik-larik
pembukaan tersebut merupakan perkenalan, isinya menyebutkan jati dirinya, tujuan pelaksanaan
madihin, dan topik-topik apa yang dimadihinkannya, serta tidak lupa memohon kemaafan
sekitarnya dalam pergelaran madihin nanti dapat kekurangan dan kekhilapan yang dapat
membuat penonton kurang berkenan ( Azidin, 1994:5).
Pantun-pantun Madihin diucapkan oleh pemadihinan secara spontanitas dan secara perlahan-
lahan menuju sasaran yang sudah direncanakan. Sasaran itu bisa berupa orang, kelompok orang,
lingkungan, perilaku birokrasi, lelucon dan bahkan apa pun bisa disampaikannya dengan baik.
Kata-kata dalam kesenian madihin mengandung unsur humor yang tinggi, karena itu menonton
madihin berarti siap untuk tertawa.
Menurut Syukrani (1994:9), struktur baku permainan madihin adalah sebagai berikut:
1. Pembukaan.
Yakni dengan melantunkan sebuah sampiran pantun yang disebut membawakan Hadiyan yang
diawali terlebih dahulu dengan pukulan terbang pembukaan.
2. Memasang tabi
Yaitu membawakan pantun yang berisi penghormatan terhadap penonton, ucapan terima kasih,
minta maaf jika ada kesalahan atau kekeliruan ketika membawakan pertunjukan.
3. Menyampaikan isi
Bagian ini disebut juga dengan manguran, yaitu menyampaikan pantun yang isinya selaras
dengan tema pergelaran madihin. Sampiran pantun di dalam pembukaan harus selaras dengan isi
yang akan disampaikan oleh pamadihinan.
4. Penutup
Yaitu menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan isi yang sudah disampaikan. Pada bagian
penutup ini juga membawakan kata penghormatan kepada penonton, serta mohon pamit dan di
tutup dengan membawakan sebuah pantun penutup.
Kesenian madihin pada mulanya dipergelarkan di tempat-tempat terbuka, misalnya
dipekarangan-pekarangan, tanah lapang atau di sawah yang padinya sudah dipanen. Sawah yang
padinya sudah dipanen tanahnya keras karena pada waktu itu berbetulan dengan musim kemarau.
Di tempat-tempat itu dibuatkan semacam panggung frontal, diatas panggung diletakkan kursi
yang diperuntukkan bagi para pemadihinan duduk (Syukrani,1994:7)
V. Eksistensi Madihin
Dalam perkembangan sampai sekarang, kesenian madihin sudah sering dipergelarkan di gedung-
gedung mewah atau di tempat-tempat yang dipandang cukup terhormat, sehingga ruang lingkup 
tempat bergelar tidak lagi terbatas pada pekarangan rumah dan tanah lapang saja, namun
keberadaan kesenian madihin meski masih dipentaskan tetapi tidak seintensif dahulu. Dahulu
kesenian madihin hampir setiap malam dipentaskan, tetapi sekarang hanya dipergelarkan dua
minggu sampai empat minggu sekali dipergelarkan. Hal ini disebabkan karena hadirnya kesenian
modern yang sifatnya memanjakan masyarakat.
Keberadaan kesenian madihin terjadi penurunan Intensitas, dahulu hampir semua acara memakai
pergelaran kesenian madihin, sekarang hanya dalam acara pengantin, pergelaran panggung
hiburan yang sifatnya pencarian dana, dan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
VI.  Fungsi Madihin
Pada dasarnya fungsi madihin adalah sebagai hiburan namun didalamnya terdapat juga berfungsi
sebagai memberi pesan, media informasi, sosialisasi program pemerintah, media pendidikan,
pengarahan agama dan media hiburan untuk mengumpulakan masyarakat untuk mencarian dana.
Peranan kesenian madihin sebagai memberi pesan adalah karena madihin asal katanya dari
kata maddah yang artinya memberi nasehat atau papadah baik berupa nasehat mengenai
pendidikan maupun mengenai kelurga berencana. Madihin juga berperan sebagai mengkritik
pemerintah, kritik jenaka, media informasi, sosialisasi program pemerintah, media pendidikan,
dan pengarahan agama, karena kesenian madihin ini identik dengan syair atau pantun sambil
diiringgi lelucon agar orang itu tidak mudah tersinggung, dalam hal apa saja kesenian madihin
bisa masuk baik berupa mengkritik pemerintah dalam hal yang bersifat tidak selaras dengan
pembangunan.
Media informasi, pendidikan, sosialisasi program pemerintah dan pengarahan agama juga bisa
disampaikan lewat kesenian madihin. Pemerintah  menyampaikan program lewat pementasan
kesenian madihin karena dengan pementasan kesenian madihin orang dapat mendengarkan
sosialisasi pemerintah dengan santai dan juga sering diselinggi pesan-pesan agama.

Kesan Lagu Madihin yang berjudul “Pengantin” Dan “Madihin Banjar John Tralala live
Binuang”
Dari apa yang saya dengar, music madihin ini sangat enak dan mendayu,selain itu terdapat
lelucon dan hiburan yang membuat saya tertawa mendengarnya.. Musiknya terdengar seperti
kasida namun terdapat pukulan gendang yang menyerupai music dangdut sehingga orang yang
mendengarkan akan merasa bersemngat, gembira dan ikut alunan sehinggu ikut berjoget. Secara
pribadi, walaupun saya bukan orang banjar, namun music ini sangat saya senangi, alasannya
karena music yang disampaikan bukan hanya sekedar lagu, namun jika kita hayati setiap bait
lagu yang disampaikan terkandung berbagai informasi yang bermanfaat yang menyerupai
nasehat yang bersifat didaktis yaitu memberi pengajaran atau pendidikan. Walaupun music ini
dibawakan dalam bahasa daerah banjar namun tetap menjadi unik dan sangat bagus kaena di
dalamnya terdapat bahasa Indonesia yang berdialek bahasa banjar di iringi pukulan rebana. Jika
kita mendengarkan dengan penuh perasaan music ini memberikan pelajaran-pelajaran hidup
yang bisa kita terapkan dala kehidupan sehari-hari, seperti lagu madihin yang berjudul
“pengantin”. Dalam lagu tersebut mengajarkan kepada kita, terutama anak muda ketika ingin
menikah ada pelajaran-pelajaran yang berharga ketika kita kelak berumah tangga. Bukan hanya
itu, kita juga diajak untuk selalu beribadah kepada allah yang maha kuasa. Lagu ini memberikan
gambaran terhadap kehidupan masyarakat banjar secara umum, seperti adanya kegiatan hajatan
atau nikahan yang melibatkan lagu madihin. Menurut saya sendiri, music ini tujuannya untuk
memberikan penyampaian nasehat dan pembelajaran kepada masyarakat melalui bait lagu.
Menurut saya orang banjar menggunakan bait lagu madihin dengan menerapkan sastra lisan di
dalamnya. Sastra lisan ini salah satu cara masyarakat banjar menjaga kekayaan budayanya.
Dimana kita ketahui bahwa, sastra lisan adalah ungkapan dari mulut ke mulut, hasil kebudayaan
lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis dalam
masyarakat modern. Dengan kata lain, sastra yang diwariskan secara lisan seperti pantun,
nyanyian rakyat, dan cerita rakyat. Sastra lisan ini disebut juga sastra rakyat.
Sastra lisan menjadi basis acuan bagi masyarakat untuk menjaga kekayaan alam dan lingkungan
karena alam dan lingkungan tempat mereka tinggal merupakan sumber penghidupan yang harus
terus dijaga. Selain itu, sastra lisan menjadi basis acuan masyarakat untuk menjaga kekayaan
budaya yang mereka miliki. Jadi sastra lisan menjadi alat untuk melestarikan kekayaan baik
alam, lingkungan dan budaya dalam bentuk tutur secara turun temurun.

Di dalam lagu tersebut juga terdapat syair-syair, Syair-syair itu terdiri atas bait-bait yang tidak
tentu jumlah barisnya. Akan tetapi setiap baris yang terdiri atas beberapa kata itu memiliki
hukum puisi terikat dengan bunyi akhir baris yang selalu sama. Dalam situasi yang bersifat
tradisional, kesenian madihin yang berjudul “pengantin” menyajikan syairsyair yang berisikan
tentang kehidupan keluar, nasihat kepada pengantin baru, pendidikan agama Islam dan riwayat
nabi-nabi. Suatu penyajian yang unik dari sebuah pergelaran kesenian madihin ini ialah adanya
tema saling sindir-menyindir antara para pamadihinan. Suatu pertunjukan seakan-akan ada dua
pihak yang saling berpolemik. Inilah yang menarik perhatian penonton yang berada di
sekelilingnya, sehingga tanpa disadari lahir keterlibatan spontan dari para penonton yang
mengelilinginya. Dalam gambaran di atas jelas bahwa kesenian madihin merupakan suatu media
kesenian yang cukup komunikatif sifatnya. Selain itu itu lagu madihin ini juga memberikan
hiburan yang menyajikan cerita, pesan-pesan melalui penyampaian yang jenaka dan menghibur.

Di dalam lagu madihin tersebut juga terdapat nilai-nilai budaya yang wajib dilestarikan. Sistem
nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu
disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang besar dari
warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting
dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi
kepada kehidupan para warga masyarakat. Sebuah nilai budaya bukan sesuatu yang konkret. Jadi
konsep mengenai nilai budaya itu berada dalam benak manusia itu sendiri dan diharap memberi
arahan dalam hidup. Dalam sastra lisan Madihin, terdapat banyak sekali nilai-nilai budaya. untuk
menganalisis nilai-nilai budaya dalam sastra lisan tradisional Madihin Banjar yang terdiri dari
tujuh hal, yaitu:
(1) ciri khas dan karakteristik tertentu (major values),
(2) tradisi berfikir (habits of thought),
(3) cara pandang (world picture or beliefs),
(4) tingkat pengetahuan (verifiable knowledge),
(5) bentuk-bentuk seni (art forms),
(6) bahasa yang digunakan (language), dan
(7) a. kualitas vokal atau disebut paralanguage (meliputi intonasi, level suara atau pitch,
kecepatan bicara (speed of speaking), gesture, ekspresi wajah) dan b. kinesis (bahasa tubuh).
Maka dengan demikian nilai-nilai tersebut terdiri atas
a. Nilai material yaitu segala sesuatu berguna bagi unsur jasmani manusia.
b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi masyarakat untuk dapat mengadakan
kegiaatan aktivitas.
c. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian
dibedakan menjadi 4 yaitu:
1) Nilai kebenaran atau kesatuan yang bersumber pada unsur-unsur akal manusia.
2) Nilai keindahan yang bersumber pada masa manusia
3) Nilai kebaikan atau nilai normal yang bersumber pada unsur kehendak atau kemauam
manusia (will, karsa, ethi).
4) Nilai religius yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tertinggi dan mutlak.
Nilai religius bersumber pada kepercayaan. Berdasarkan penggolongan nilai budaya yang
telah dijelaskan ada nilai kebenaran. Dalam sebuah cerita memang memiliki kebenaran, lalu
ada nilai keindahan dan kebaikan. Sebuah cerita tentu memiliki unsur keindahan. Nilai
religius tidak akan selalu hadir pada setiap cerita semua bergantung pada cerita dan asal cerita
yang hidup dalam alam pikiran tersebut.

Anda mungkin juga menyukai