Lalu sejak kapan randai ini berkembangnya? Seperti juga kesenian tradisi
lainnya, tidak ada catatan pastiyang menyebutkan. Namun dari beberapa
penelitian, menyebutkan bahwa randai tercipta dan dimainkan oleh anak-anak
muda di sebuah sasaran,perguruan silat. Pada mulanya, anak laki-laki di
Minangkabau harus mampu membela diri dengan mempelajari ilmu beladiri
yang disebut silat. Gerak-gerak silat, yang disebut juga pancak,pencak, bila
dilakukan pengulangan terasa cukup ritmis dan dinamis, sehingga kalau distilir
akan nampak lebih indah, bahkan menyerupai sebuah tari. Lalu gerak-gerak
tersebut dilakukan secara melingkar, yang terkadang membentuk rantai
pertanda kekompakan. Semua pemain mengenakan celana latihan silat yang
disebut galembong, sehingga ketika celana galembong tersebut ditepuk
secara serentak akan menimbulkan bunyi yang khas, bagaikan deburan ombak
di pantai.
Bila ada cerita, maka tentu ada tokoh/ pemerannya. Menurut Chairul Harun
(1992; 112) pemegang peran dalam sebuah randai ditentukan oleh pangka tuo
randai, karena dialah yang mengetahui setiap karakter dan kemampuan
bersilat setiap pemainnya. Pemeran utama misalnya, haruslah orang yang
memiliki vocal yang lantang dan mantap. Dia haruslah seorang pendekar,yang
mahir balabek, gerak khas pesilat, pandangan mata dan seluruh geraknya
memperlihatkan kewaspadaan.
Karena umumnya latihan ini dilaksanakan pada malam hari (usai salat Isa),
maka tentu tokoh wanita dalam sebuah cerita, terpaksa dimainkan oleh laki-
laki, karena wanita di Minangkabau tidak diperbolehkan ke luar malam. Itu
sebabnya –pada mulanya - semua pemain randai adalah laki-laki. Tokoh
wanita diperankan oleh laki-laki yang suaranya mirip suara perempuan,
bahkan diberi pakaian wanita dan umumnya mengenakan kacamata hitam.
Maka jadilah ia sebuah pertunjukan di sebuah arena. Cerita rakyat yang
dimainkan, umumnya menjadi ciri khas bagi sebuah grup randai, bahkan
sekaligus menjadi nama grup randai yang memainkannya, seperti; Kaba
Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, Sabai Nan Aluih,dan seterusnya.
Gerak dasar dalam galombang yang melingkar (juga merupakan frame, atau
panggung) ialah bunga-bunga silat yang disebut pancak, pencak yang
distilirisasi menjadi gerak yang indah. Beberapa gerak pencak tersebut, juga
menjadi gerak akting yang dominan bagi setiap tokoh cerita dalam
pengisahannya..
Itulah sebabnya, sasaran atau gelanggang randai berada tidak jauh dari
masjid/surau. Mereka berandai, berandai-andai, yang tidak hanya mengacu
pada pengertian, bermisal-misal melainkan jauh lebih menukik lagi
yakni‘membaca alam dengan tanda-tanda’. Dulu, anak randai cukup disegani,
karena mereka calon pendekar, dan mahir memainkan kata-kata; petatah-
petitih, gurindam,berkias dan bermisal. Mampu ‘membaca’ gerak dari garik
dan garok.
**
Untuk mengantisipasi agar randai tidak punah, maka Pusat Kesenian Padang
(PKP, kiniTaman Budaya) mengadakan Festival Randai 1978 yang diikuti oleh
beberapa grup randai yang ada di Padang, lalu Badan Koordinasi Kesenian
Nasional Indonesia (BKKNI) Sumbar yang lebih banyak bergerak ke arah
pelestarian kesenian tradisi, mengadakan Festival Randai 1982 antar Nagari se
Sumatera Barat di Kayu Tanam. Umumnya peserta terdiri dari kelompok/grup
randai anak nagari yang pemainnya orang dewasa. Kalau pun ada anak muda,
jumlahnya sangat sedikit.Namun, sejak usai festifal tersebut, denyut kesenian
randai kembali terasa. Bahkan pihak Departemen Penerangan (Depen)
memanfaatkan randai sebagai salah satu alat kampanye, mempromosikan
program-progam pemerintah, terutama dari materi yang terkait pada dasar
negara, Pancasila.
Meskipun, secara tradisi yang sudah diadatkan, grup randai di setiap nagari
sampai hari ini masih tetap eksis. Terutama di beberapa nagari di luhak Tanah
datar, Agam dan Limo puluah Koto. Kelompok, grup randai di nagari-nagari
tersebut tidak bisa dikuasai oleh orang luar.Tuo Randai,orang yang dituakan
haruslah seorang pendekar, ahli silat dari pihak penghulu.Sebab, bagaimana
pun setiap sasaran, gelanggang randai, pasti ada guru silatnya, baik secara
lahir mau pun batin.