Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENDAPATAN DARI HASIL RAPAI

DABOH

Hikayat Rapai Daboh

Rapai Daboh atau yang lebih dikenal dengan nama dabus merupakan sebuah
pertunjukan seni anti mainstream yang terkenal di Aceh. Betapa tidak, pertunjukan yang
ditontonkan berupa kolaborasi apik antara alunan musik rapai, yang merupakan salah satu
alat perkusi khas Aceh, dengan atraksi para pedabus yang menikam, memukul kepala dan
badannya dengan benda tajam. Anehnya, aksi ekstrim ini tidak meninggalkan sayatan apapun
pada tubuh si pedabus. Seakan semua benda tajam dan pukulan benda keras menjadi lunak di
badan mereka.

Aksi seorang penabuh dengan sebilah pedang

Menurut Abdul Rani Usman, dkk di dalam buku Budaya Aceh (2009), dikatakan
bahwa sebenarnya kata rapai berasal dari suatu tarikat yang menggunakan sebuah alat
perkusi (alat musik pukul) sebagai media penyampaian ajaran untuk mengumpulkan massa.
Tarikat yang dimaksud adalah sebuah jalan mendekati Allah. Ada beberapa tarikat yang
terkenal di Aceh kala itu, yaitu Tarikat Naqsabandiyah dan Qadariyah. Masing-masing tarikat
ini memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan ajarannya, termasuk dengan media
penyebaran ajaran yang berbeda.

Awalnya, rapai daboh berfungsi sebagai latihan untuk memperkuat fisik. Layaknya
para jawara di daerah Pasundan yang terkenal dengan kesaktian dan kekuatannya, maka tak
heran jika di Aceh pun kita sering mendengar cerita tentang para leluhur Aceh yang terkenal
kuat dan kebal terhadap senjata. Latihan rapai daboh ini dipimpin oleh seorang syeikh yang
disebut khalifah. Kemampuan syeikh inilah yang nantinya akan melindungi para pedabus dari
cedera benda tajam.

Walaupun banyak atraksi ekstrim yang dilakukan oleh para pedabus, namun tidak
sekalipun mengurungkan niat masyarakat Aceh untuk menonton pertunjukan ini. Karena
semakin banyaknya penonton yang menyenanginya, maka rapai daboh berubah fungsi
menjadi sebuah pertunjukan seni. Rapai daboh berkembang di daerah Aceh Barat dan Nagan
Raya. Di kota-kota besar seperti Banda Aceh dan kota-kota lainnya, penampilan rapai daboh
telah dilengkapi dengan pentas yang dilengkapi dengan sound system dan lighting yang apik,
sehingga menambah kedramatisan pertujukan.
Aksi ekstrim lainnya dari sang penabuh

Tim rapai daboh akan dibagi ke dalam dua tim. Tim pertama adalah para pemukul
rapai yang berjumlah 8 s.d. 12 orang. Mereka semua berbusana serba hitam, memakai
tangkulok di atas kepala dan memegang satu per satu rapai sambil duduk dengan posisi
melingkar di arena pentas. Kemudian masuklah para pedabus berjumlah 2 s.d. 4 orang ke
dalam lingkaran para pemain rapai. Kemudian para pedabus mengikuti setiap alunan bunyi
rapai sambil menikam dan memukul badannya dengan benda tajam. Contoh benda tajam
yang biasa digunakan adalah rencong, pedang, pisau, rantai dan kayu-kayu pemukul yang
besar. Saat ini aksi dabus pun bermacam-macam, seperti dilengkapi dengan aksi pertunjukan
kebal terhadap api, aksi membakar diri, bahkan aksi menyemburkan minyak dan
menyulutkan api ke udara. Namun sekali lagi, di bawah pemantauan sang khalifah, semua
aksi menyeramkan ini tidak membuat luka apapun bagi si pedabus. Sekilas, pertunjukan ini
mirip dengan pertunjukan kuda lumping di Jawa, saat pemainnya memakan pecahan kaca
tanpa takut terluka.

Di sinilah letak perbedaannya, walaupun atraksi yang dilakukan oleh para pedabus
sangat ekstrim, mereka melakukannya semuanya secara sadar. Biasanya, busana yang dipakai
para pedabus hanya celana panjang setinggi betis, memakai ikat kepala dan tidak memakai
baju. Sedangkan khalifah memakai pakaian lengkap seperti celana, baju dan tangkulok.

Aksi semburan api

Kenangan yang begitu membekas di ingatan saya adalah saat pertama sekali saya
menonton pertunjukan rapai daboh secara langsung ketika saya masih kanak-kanak di
Meulaboh. Biasanya rapai daboh sering dihadirkan di acara perkawinan atau hajatan sunatan
orang-orang besar dan bernama. Namun saat ini, pertunjukan rapai daboh semakin sulit
untuk dijumpai. Banyaknya pegiat seni di Aceh, tidak menjamin banyaknya pegiat seni yang
melestarikan rapai daboh.
Padahal Aceh masih sangat memerlukan kaderisasi perangkat khalifah, pedabus dan penabuh
rapai untuk dapat melestarikan pertunjukan unik itu. Hal ini sangat disayangkan, mengingat
rapai daboh bukanlah seni yang bisa dilakukan oleh sembarang orang, yang harusnya bisa
untuk terus dipertahankan kelestariannya untuk anak cucu kita.

Para pemain rapai daboh

Mengenal Sekilas Tentang seni Rapa'i Dabus Di Aceh Selatan

Kesenian tradisional ini hampir dimiliki oleh setiap Kecamatan di Aceh Selatan.
Kesenian ini merupakan gabungan antara seni, agama dan ilmu metafisik (ilmu kebal).
Kelompok kesenian ini mempunyai pemain minimal 10 orang yang dipimpin oleh seorang
yang biasa disebut khalifah. Kesenian ini menggunakan alat musik yang disebut dengan
rapai (gendang yang terbuat dari kulit kambing). Kesenian ini umumnya melagukan syair-
syair dan zikir dan pujian kepada Allah Sang Pencipta dan kepada Rasulullah SAW sesuai
dengan ajaran Islam.

Asal-usulnya:
Konon, menurut riwayat kaum sufi (abad ke 7 H), Rapai Dabus ini berasal dari nyanyian-
nyanyian (puisi yang berbentuk doa) yang dibacakan oleh seorang mursyid (pemimpin
tarikat) dalam ajaran tasawuf-nya. Mursyid ini membacakan doa dan zikir dengan suara yang
merdu dan lemah lembut dalam waktu lama, sampai dirinya dan pengikutnya tak sadarkan
diri (fana billah). Fana billah inilah yang jadi tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan
kelezatan jiwa.

Kadang-kadang dalam doa dan munajat mereka kerap terdengar seruan kepada para
Malaikat Allah agar segera turun dari langit untuk membimbing mereka yang sedang berjalan
menuju makam Makhrifatullah. Rapai Zikir masuk ke Aceh bersamaan dengan masuknya
agama Islam pada akhir tahun 1 Hijriyah atau awal tahun 2 Hijriyah. Waktu itu pemuka-
pemuka agama Islam menggunakan gendang (rapai) sambil berzikir atau bersalawat kepada
Nabi Muhammad SAW. Bukan untuk berdebus.

Untuk pembacaan puisi, salawat dan doa agar lebih bersemangat, digunakanlah alat
berupa gendang yang ditabuh berirama oleh para murid-murid tasawuf untuk mengiringi
pembacaan puisi doa itu oleh Mursyid. Biasanya kelompok tasawuf tersebut membuat posisi
melingkar. Mereka berdiri melingkari sang Mursyid yang berada di tengah-tengah. Kemudian
bergerak pelan-pelan dari kanan ke kekiri sambil mengikuti doa yang dibacakan oleh
Mursyid sembari memukul gendang oleh beberapa orang muridnya.

Adakalanya gendang dipukul cepat sesuai irama pembacaan puisi doa dan adakalanya
dipukul lambat. Suara mereka terdengar serentak dan merdu sesuai dengan bunyi gendang,
tidak membentak-bentak, karena maklum kelompok sufi (orang suci) ini sedang mermunajat
(mujahadah) kepada Al-Khalik yang akan menurunkan Nur kelembutan-Nya kepada setiap
hamba-Nya yang sedang berjalan menuju makam-Nya.

Menurut sejarahnya, kelompok Sufi ini sebelum melakukan kegiatan mujahadah


secara bersama itu, terlebih dahulu berwuduk serta berpakaian sopan serta bersih dan
biasanya dilakukan setelah shalat Ashar di dalam ruangan tertutup dan tidak dipertontonkan
kepada umum (untuk menghindari sifat riya, takabur dan pamer taat).

Lantas, pada akhir-akhir ini saja (awal abad 19 M oleh generasi berikutnya menyalahgunakan
fungsi zikir dengan gendang (rapai) ini kepada hal-hal yang memamerkan ilmu kebal
kepada khalayak. Bahkan sudah sangaja dipertontonkan atau dilombakan. Padahal kesenian
Zikir Gendang (Rapai) ini hanya sebagai alat/media orang-orang suci untuk berjalan dengan
ajaran tarikat menuju fana billah (asyik dan masyuk). Kalaupun ingin juga zikir dalam lagu
Rapai Dabus itu digunakan untuk pengebalan diri, biasanya para leluhur kita dahulu
memanfaatkan ilmu itu saat mereka berperang dengan Belanda atau kaum kafir yang
menjajah negeri mereka.

Para leluhur yang mengamalkan tarikat Naqsyabandy, atau tarikat lainnya,


kebanyakan mereka tidak pernah merasa takut kepada kaum kafir, meskipun mereka harus
mati syahid saat berperang di medan laga, demi berjuang mempertahankan tanah air, bangsa
dan agama. Justru itu tak heran jika rakyat berperang melawan Belanda, selalu yang jadi
pemimipin (khalifah/komandannya) terdiri dari kaum ulama yang taat seperti: Teungku Chik
Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hidayatullah, Pangeran
Antasari, dan yang lain-lain.

Dikisahkan sewaktu Tengku Amir, Teuku Cut Ali dan Panglima Rajo Lelo, Tengku
Ali Usuh dan Mat Sisir berperang melawan pasukan Belanda pada abad 19 adalah lima
orang pejuang dari Aceh Selatan yang memiliki ilmu kebal, tapi karena sedikit terbesit rasa
riya pada diri pejuang bangsa itu (karena memaki Belanda saat berperang) maka akhirnya
sebagian mereka tewas akibat kena peluru dan senjata tajam. Tengku Amir dari Tapaktuan
tewas tertembak di Pegunungan Meukek dan dikebumikan di pinggir lapangan bola kaki Kota
Naga Tapaktuan, Teuku Cut Ali tewas di Alue Bebrang Lawesawah Kluet Timur,
kepalanya dipotong dan dibawa dan ditanamam di Suaq Bakung Kluet Selatan.

Sebutan Khalifah dalam Debus


Secara logika agama, pemakaian sebutan khalifah sebenarnya khusus kepada orang-
orang tertentu yang sanggup memikul warisan para Nabi dan mampu mengayomi
kesejahteraan ummat manusia dengan bimbingan Nur Ilahi. Itulah dia Khalifah yang
sebenarnya atau bisa juga sebutan itu dipikul oleh seorang Wali Allah yang terpilih
(Aulia/Waliyullah). Tetapi dalam kesenian tradisional Rapai Dabus, khalifah adalah sang
pemimpinnya yang bertanggung jawab pada kelompok dabus jika terjadi hal-hal yang tidak
diingini. Mulai dipopulerkan: Rapai Dabus (bahasa Aceh daboih), merupakan seni tari
kesaktian yang digemari sebagian masyarakat Aceh Selatan sejak Belanda datang ke Aceh.
Biasanya dipertunjukan pada acara keramaian, pesta perkawinan, sunat rasul dan malam
resepsi kesenian rakyat pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dulu, di Tapaktuan pada awal abad XIX M, Kesenian Rapai Dabus ini mulai
dipertandingkan antara daerah (Kewedanaan) oleh Pemerintah Belanda pada Hari HUT
Kelahiran Ratu Wihelmina. Padahal semasa Sultan Iskandar Muda (1607 1636) Kesenian
Rapai Dabus ini sangat dilarang ditampilkan. Karena waktu itu Syekh Abdurrauf (Syiah
Kuala) yang menjadi penasehat Sulthan Iskandar Muda mengharamkan permainan Rapai
Dabus ini dengan alasan, pada kesenian Rapai Dabus terdapat beberapa hal yang melanggar
syariat Islam yang kaffah, antara lain adalah:

a. menampak-nampakkan sikap takabbur (dasarnya dari firman Allah SWT dalam surat Al-
Mukmin ayat 72 yang berbunyi: Fabik samast wal mutakabbiriiin, artinya: maka neraka
jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri
(takabbur).

b. mengundang sikap sombong/membanggakan diri kepada manusia (karena sengaja


dipertontonkan pada khalayak). Agama Islam sangat melarang penganutnya menyombongkan
diri karena suatu kelebihan yang dipunyai, padahal yang berhak sombong seharusnya hanya
Allah. Sombong itu adalah selendang Allah yang tidak bisa dipakai oleh manusia. Bila
dipakai juga Allah akan marah dan murka sebagaimana ancaman-Nya di dalam Al-Quran.

c. mengundang sikap ingin bersaing, berlomba-lomba mengalahkan kelebihan dan


kesaktian lawan. Kemudian memberi peluang untuk berbuat curang (khianat) kepada lawan
dalam berdabus. Sehingga tak jarang peserta rapai dabus yang terluka bersimbah darah
(menjadi korban kecurangan pihak lawan).

d. diragukan anggota (peserta) Rapai Dabus tidak mampu bersikap tawaduk dan wara
(rendah hati) dalam pergaulan sehari-hari serta tidak suka menampak-nampakkan (menonjol-
nonjolkan) kesaktiannya/kekebalan di sembarang tempat. Padahal sikap wara dan tawaduk
serta rendah hati, sabar, menyembunyikan/merahasiakan kekeramatan (kalau dalam rapai
dabus disebut sakti), dan tidak riya adalah tuntunan Islam yang kaffah. Dasarnya adalah
firman Allah dalam surat Al Maun ayat 6 yang berbunyi: Alladziinahum yuraaa-un.
Artinya: yaitu orang-orang yang berbuat riya. Tafsir dari ayat ini: Riya ialah melakukan
sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian
atau kemasyhuran di mata masyarakat.

e. Rapai Dabus akhirnya akan mengundang sikap permusuhan, karena masing-masing


pihak yang bertanding dipastikan ingin lebih dari lawannya; ingin lebih sakti, lebih hebat atau
ingin lebih dipuji oleh para penonton, yang akhirnya jika sudah merasa serba lebih akan
tersemat rasa ujub (mengagumi diri), bila sudah tersemat dalam hati rasa ujub, maka timbul
rasa merendahkan atau meremehkan orang lain. Agama Islam tidak pernah mengajarkan hal
seperti itu. Maka dari dasar-dasar itulah Syekh Abdurrauf (Syiah Kuala) mengharamkan
permainan Rapai Dabus ini pada zaman keemasan Kerajaan Sulthan Iskandar Muda!

Cara Permainan Rapai Dabus

Dalam permainan Rapai Dabus, selain menggunakan alat musik gendang, juga
diperlukan alat-alat senjata tajam, antara lain yaitu:
a. buah dabus

b. Rencong

c. Pedang

d. Parang

e. pisau belati

f. batu bulat yang beratnya 5 10 kg

g. Rantai

h. besi per mobil

i. gergaji chain-saw (alat penebang pangkal pohon besar).

Kesenian Rapai Dabus dimainkan sekitar 20 -30 orang dengan formasi duduk
melingkar, masing-masing memegang sebuah rapai (gendang). Kelompok ini dipimpin oleh
seorang khalifah) yaitu orang yang menguasai seluk-beluk perdabusan, termasuk menguasai
ilmu kebal/tahan senjata tajam.

Begitu syair-syair itu dilantunkan, sang pemimpin atau salah seorang dari anggota
dabus masuk ke dalam lingkaran tersebut dan menyalami (berjabat tangan) dengan sang
khalifah serta anggota-anggota dabus yang sedang memukul gendang satu persatu.
Kemudian dengan senjata tajam di tangan, dia melakukan gerakan-gerakan tari secara
konsentrasi mengikuti irama gendang sembari menyimak doa-doa yang diyakini di dalam
hati. Bila suara rapai telah membahana gemuruh, anggota yang sedang memegang senjata
tajam itu mulai meloncat sambil meliuk-liukkan tubuhnya sambil menikam paha, tangan,
perut atau kepalanya.

Dan bahkan pemain itu sangat beraninya memotong-motong lidahnya serta menggorok
lehernya sendiri malah mencongkel biji matanya dengan ujung pisau atau rencong di
tangannya. Semua yang ia lakukan bisa terjadi secara sakti; yakni paha, perut, tangan yang
ditikamnya itu tahan tikam atau tidak terluka sama sekali. Bahkan parang tajam sengaja
digorokkan ke leher anggota lain, tetapi juga kebal dan malah tampak rencong, pisau atau
senjata tajam lainnya itu tampak bengkok dan patah saat dihantamkan kebahagian tubuh
mereka. Saat itulah menarik dan serunya permainan Rapai Dabus ini. Ada juga khalifah dan
anggota dabus beratkrasi melilitkan rantai besi panas yang sedang memerah ke leher, badan
atau ke pinggang mereka. Ada juga permainan memukul diri dengan rantai secara beruntun
ke kepala serta menari-nari dalam bloh apui (unggunan api), atau menimpakan batu bulat
yang beratnya 5 10 kg ke atas kepala. Atau membengkokkan besi per sampai patah dengan
tangan. Serta menggergaji perut mereka dengan chain-saw. Kesimpulannya, semua atraksi
mereka tidak mempan oleh benda tajam atau kebal dari pukulan dan hempasan benda berat
sekalipun.

Di kalangan anggota rapai dabus, karena kesenian ini merupakan pertunjukan kesaktian,
maka masing-masing mereka sangat ditekankan agar jangan menyombongkan diri dan
angkuh terhadap siapapun serta jangan ada niat-niat tertentu (bersifat merugikan orang lain).
Jika pantangan ini dilanggar, maka pada diri anggota rapai dabus akan terjadi mala petaka, ia
bisa tersungkur bersimbah darah dengan luka yang sangat dalam akibat tusukan dia sendiri.
Atau akan celaka pada waktu-waktu tertentu dan semua ilmu kebal yang diyakininya akan
sirna sekejab dengan hal-hal yang sepele. Karena yang Akbar (besar) adalah Allah, bukan
manusia!

Ada 2 (dua) jenis kesenian Rapai Dabus yang dikenal di Aceh Selatan yaitu: Dabus Rapai
Ngadap Yaitu kesenian dabus yang hanya menggunakan alat musik rapai tanpa zikir. Acara
kesenian ini umumnya dilakukan pada malam Jumat di Meunasah (Balai Pertemuan Desa).
Kedua Dabus Rapai Biasa Yaitu kesenian dabus yang ditampilkan sebagai hiburan para
perayaan, peringatan dan acara-acara lainnya.

Memang orang yang kebal senjata tajam atau peluru terdapat di mana-mana karena mereka
memang mengamalkan ilmu kebal tersebut dengan mengkaji asal usul besi atau asal usul
benda lain, bahkan mereka mengetahui asal usul sesuatu benda malah diyakini sesuatu benda
itu mempunyai nyawa. Nah dengan mengutarakan asal usul benda tersebut dalam pembacaan
doa atau mantera, benda tersebut patuh dan tunduk kepada orang tadi, maka itulah benda itu
bisa bengkok, patah atau pecah menurut kemauan orang yang memerintahkan.

Logikanya memang kepada Nabi Adam Allah SWT mempercayakan mandat untuk
menguasai nama-nama benda di dunia bukan kepada malaikat atau iblis, bahkan iblis sendiri
disuruh bersujud kepada Nabi Adam, namun iblis membangkang hingga hari kiamat.
Sedangkan Nabi Adam bersama keturunannya dipercayakan oleh Allah untuk menjadi
Khalifah (pemimpin) di muka bumi dengan firman-firman-Nya yang banyak kita jumpai
dalam Kitab Suci Al Quranul Karim.

Maka dengan menggali sejarah itulah lahir ilmu kebal dan diamalkan oleh orang
dengan tujuan sebagai tangkal tubuh dalam menghadapi binatang buas dan benda tajam
tentu semuanya itu setelah mendapat izin dan reda dari Allah SWT. Karena semua ilmu
asalnya adalah dari Allah SWT termasuk ilmu berdebus. Pada zaman penjajahan Ilmu ini
semata-mata dijadikan sebagai perlengkapan perang menghadapi musuh di meda laga.

Adapun untuk mengetahui mukmin-mukminat yang mengamalkan ilmu kebal ini dia
selalu taat dan rendah hati, penyabar dan suit menyakiti perasaan sesama muslim, tiap
perbuatannya ikhlas dan kukuh/istiqamah pendirian tidak tinggi hati, tidak sombong, ria dan
takbur. Jika pun terlanjur ria, mereka cepat-cepat mohon ampun dengan memperbanyak
istighfar dan zikir. Karena bagi yang mengamalkan ilmu kebal ini sangat takut sekali mati
dalam keadaan hatinya sedang sombong dan ujub! Justru tiap detik mereka selalu berdoa
mohon ampun kepada Allah Azza Wa Jalla yang Menguasai seluruh kekuatan! Aamiiin!

Mengenal Sekilas Tentang seni Rapa'i Dabus Di Aceh Selatan


Kesenian tradisional ini hampir dimiliki oleh setiap Kecamatan di Aceh Selatan.
Kesenian ini merupakan gabungan antara seni, agama dan ilmu metafisik (ilmu kebal).
Kelompok kesenian ini mempunyai pemain minimal 10 orang yang dipimpin oleh seorang
yang biasa disebut khalifah. Kesenian ini menggunakan alat musik yang disebut dengan
rapai (gendang yang terbuat dari kulit kambing). Kesenian ini umumnya melagukan syair-
syair dan zikir dan pujian kepada Allah Sang Pencipta dan kepada Rasulullah SAW sesuai
dengan ajaran Islam.

Asal-usulnya:
Konon, menurut riwayat kaum sufi (abad ke 7 H), Rapai Dabus ini berasal dari nyanyian-
nyanyian (puisi yang berbentuk doa) yang dibacakan oleh seorang mursyid (pemimpin
tarikat) dalam ajaran tasawuf-nya. Mursyid ini membacakan doa dan zikir dengan suara yang
merdu dan lemah lembut dalam waktu lama, sampai dirinya dan pengikutnya tak sadarkan
diri (fana billah). Fana billah inilah yang jadi tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan
kelezatan jiwa.

Kadang-kadang dalam doa dan munajat mereka kerap terdengar seruan kepada para
Malaikat Allah agar segera turun dari langit untuk membimbing mereka yang sedang berjalan
menuju makam Makhrifatullah. Rapai Zikir masuk ke Aceh bersamaan dengan masuknya
agama Islam pada akhir tahun 1 Hijriyah atau awal tahun 2 Hijriyah. Waktu itu pemuka-
pemuka agama Islam menggunakan gendang (rapai) sambil berzikir atau bersalawat kepada
Nabi Muhammad SAW. Bukan untuk berdebus.

Untuk pembacaan puisi, salawat dan doa agar lebih bersemangat, digunakanlah alat
berupa gendang yang ditabuh berirama oleh para murid-murid tasawuf untuk mengiringi
pembacaan puisi doa itu oleh Mursyid. Biasanya kelompok tasawuf tersebut membuat posisi
melingkar. Mereka berdiri melingkari sang Mursyid yang berada di tengah-tengah. Kemudian
bergerak pelan-pelan dari kanan ke kekiri sambil mengikuti doa yang dibacakan oleh
Mursyid sembari memukul gendang oleh beberapa orang muridnya.

Adakalanya gendang dipukul cepat sesuai irama pembacaan puisi doa dan adakalanya
dipukul lambat. Suara mereka terdengar serentak dan merdu sesuai dengan bunyi gendang,
tidak membentak-bentak, karena maklum kelompok sufi (orang suci) ini sedang mermunajat
(mujahadah) kepada Al-Khalik yang akan menurunkan Nur kelembutan-Nya kepada setiap
hamba-Nya yang sedang berjalan menuju makam-Nya.

Menurut sejarahnya, kelompok Sufi ini sebelum melakukan kegiatan mujahadah


secara bersama itu, terlebih dahulu berwuduk serta berpakaian sopan serta bersih dan
biasanya dilakukan setelah shalat Ashar di dalam ruangan tertutup dan tidak dipertontonkan
kepada umum (untuk menghindari sifat riya, takabur dan pamer taat). Lantas, pada akhir-
akhir ini saja (awal abad 19 M oleh generasi berikutnya menyalahgunakan fungsi zikir
dengan gendang (rapai) ini kepada hal-hal yang memamerkan ilmu kebal kepada khalayak.
Bahkan sudah sangaja dipertontonkan atau dilombakan. Padahal kesenian Zikir Gendang
(Rapai) ini hanya sebagai alat/media orang-orang suci untuk berjalan dengan ajaran tarikat
menuju fana billah (asyik dan masyuk).

Kalaupun ingin juga zikir dalam lagu Rapai Dabus itu digunakan untuk pengebalan
diri, biasanya para leluhur kita dahulu memanfaatkan ilmu itu saat mereka berperang dengan
Belanda atau kaum kafir yang menjajah negeri mereka.
Para leluhur yang mengamalkan tarikat Naqsyabandy, atau tarikat lainnya,
kebanyakan mereka tidak pernah merasa takut kepada kaum kafir, meskipun mereka harus
mati syahid saat berperang di medan laga, demi berjuang mempertahankan tanah air, bangsa
dan agama. Justru itu tak heran jika rakyat berperang melawan Belanda, selalu yang jadi
pemimipin (khalifah/komandannya) terdiri dari kaum ulama yang taat seperti: Teungku Chik
Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hidayatullah, Pangeran
Antasari, dan yang lain-lain.

Dikisahkan sewaktu Tengku Amir, Teuku Cut Ali dan Panglima Rajo Lelo, Tengku
Ali Usuh dan Mat Sisir berperang melawan pasukan Belanda pada abad 19 adalah lima
orang pejuang dari Aceh Selatan yang memiliki ilmu kebal, tapi karena sedikit terbesit rasa
riya pada diri pejuang bangsa itu (karena memaki Belanda saat berperang) maka akhirnya
sebagian mereka tewas akibat kena peluru dan senjata tajam. Tengku Amir dari Tapaktuan
tewas tertembak di Pegunungan Meukek dan dikebumikan di pinggir lapangan bola kaki Kota
Naga Tapaktuan, Teuku Cut Ali tewas di Alue Bebrang Lawesawah Kluet Timur,
kepalanya dipotong dan dibawa dan ditanamam di Suaq Bakung Kluet Selatan.

Anda mungkin juga menyukai