Anda di halaman 1dari 4

Kesenian Tradisional Tari Rudat asal

Lombok
Tari Rudat asal Lombok

Sejak awal perjumpaannya, agama senantiasa bernegosiasi dengan tradisi.


Agama mempengaruhi tradisi lokal, demikian juga sebaliknya.

Pada awalnya, tari rudat tumbuh dan berkembang di pesantren sebagai


sarana dakwah. Seiring berjalannya waktu, tarian ini menjadi tarian rakyat.
Tak heran, kita pun bisa dengan mudah menjumpainya di daerah
Kuningan, Banten, Lampung, bahkan di Karangasem Bali. Di Lombok
Timur, tarian ini bahkan bisa dijumpai hampir di setiap Kecamatan.

Sampai kini, tidak diketahui secara pasti, asal-usul tari rudat dan siapa
penciptanya. Sebagian berpendapat, tari rudat merupakan perkembangan
dari zikir saman dan burdah, yaitu zikir yang disertai gerakan pencak silat.

Burdah adalah nyanyian yang diiringi rebana. Tradisi ini banyak


berkembang di lingkungan pesantren tradisional. Sedangkan zikir saman
adalah gerakan-gerakan yang diiringi zikir tanpa musik. Tradisi ini tumbuh
subur di Aceh.

Zikir saman itu terdiri dari tiga tahapan. Pertama, menceritakan masalah
haji. Kedua, melakukan gerakan mirip askar (tentara). Gerakan ketiga,
ungkapan kegembiraan. Dalam tari rudat, yang biasa dipakai hanya
tahapan kedua.

Konon, tarian ini berasal dari Turki yang masuk bersama penyebaran
agama Islam di Nusantara pada abad ke-15. Oleh karena itu, kostum tarian
ini banyak dipengaruhi pakaian serdadu Turki dan sangat kentara warna
Islamnya, terutama dalam lagu dan musiknya.

Secara terminologi, rudat berasal dari kata “raudhah” yang berarti taman
bunga. “Raudhah” juga digunakan untuk menyebut taman nabi yang
terletak di masjid Nabawi, Madinah. Jumlah pemain tari rudat dibatasi
jumlahnya, berkisar antara 12 sampai 24 orang, mulai dari penabuh
waditra, penari, dan penyanyi.

Mereka berdandan ala prajurit. Berbaju lengan panjang warna kuning,


celana sebatas lutut warna biru. Dan berkopiah panjang mirip aladin,
warnanya merah dan dililit kain warna putih, yang disebut dengan tarbus.
Kostum seragam ini menandakan bahwa mereka harus hidup rukun
dengan tetangga.

Dari segi kostum, tarian ini terbagi dalam dua bagian. Barisan depan
berjumlah empat orang memakai kostum lengkap dengan atributnya.
Berselempang, bertopi miring mirip perwira, dan berkacamata hitam.
Barisan belakang berjumlah 17 orang, berselempang merah menyala,
berkopiah hitam. Adapun komando atau pemimpin tari ini biasanya berada
di urutan paling depan, dengan memegang pedang.

Kemudian diiringi dengan melodi dan irama seperti lagu Melayu. Syairnya
berbahasa Arab, ada pula yang berbahasa Indonesia. Adapun alat-alat
musik yang digunakan di antaranya, rebana, jidur (rebana besar), trenteng
(drum kecil), dap, mandolin, dan biola.

Dari segi gerak, rudat menggunakan gerakan silat, namun unsur tenaga
tidak banyak mempengaruhi. Gerakan ini menunjukkan sikap waspada dan
siap siaga prajurit Islam tempo dulu.

Oleh karena itu, tarian ini banyak menggunakan gerakan tangan dan kaki.
Tangan diayun ke kanan kiri, mirip gelombang. Sesekali pemain juga
melakukan gerakan memukul, menendang, menangkis, dan memasang
kuda-kuda.

Formasi berikutnya adalah memutari lapangan. Sambil terus menyanyi dan


diiringi musik yang sangat meriah. Sang pemimpin atau komando terus
memberikan aba-aba sambil memperagakan gerak-gerak silat dan
mengacung-acungkan pedang.

Pementasan tari rudat memiliki tiga bagian. Pertama, pembukaan atau


ucapan salam/hormat. Syair yang diucapkan, “Tabik tuan-tuan, tabik nona-
nona, mulailah bermain di hadapan tuan-tuan melihat keramaian. Kedua,
bershalawat. Syairnya, “E, Allah hibismillah. Loh, Allah ya Allah Ya Allah
hu.” Ketiga, penutup sekaligus permintaan maaf kalau ada salah laku dan
ucap selama menari.

Rudat Banten
Seni rudat mulai ada dan berkembang di Banten pada masa pemerintahan
Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan
Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).

Tidak banyak yang mengetahui seluk beluk tari rudat, karena hanya sedikit
sesepuh yang masih hidup sampai sekarang. Di samping itu, naskah yang
berisi sejarah rudat dan nilai-nilai filosofis rudat pun hanya dimiliki oleh
satu sampai dua orang. Salah satunya merupakan anak dari mendiang
pemilik naskah yang menjadi sesepuh di Banten.

Namun demikian, warga Banten meyakini bahwa rudat sebetulnya jurus


silat yang dikembangkan menjadi tarian, diiringi musik dan shalawat. Seni
tradisional Banten ini menjadi rangkaian utama, tatkala Kesultanan Banten
mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan
yang berasal dari mancanegara.

Pasang surut Seni rudat Banten sangat erat kaitannya dengan sejarah
Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni rudat malah terkubur.
Yakni pada masa kepemimpinan Sinuhun Kesultanan Banten IV, Pangeran
Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651
M).

Seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda. Karena


dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa, berlatih bela diri, dan
menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.

Kemudian Syekh Nawawi al-Bantani membangkitkan kembali tari rudat


lewat muridnya yang berasal dari Sukalila, bernama Kyai Sulaiman. Sejak
itu, rudat dijadikan media penyebar ajaran agama Islam. Sampai kini, tari
rudat diwariskan secara turun-temurun selama lima generasi di desa
Sukalila.

Desa Sukalila merupakan induk dari beberapa kelompok seni rudat. Di


sinilah seni rudat asli Banten berakar dengan kuat. Warga desa ini menjadi
satu dengan tradisi rudat. Mulai dari anak-anak hingga orang lanjut usia
gemar memainkan kesenian tradisional khas Banten ini.

Syair Rudat

Yang paling menonjol dalam pementasan seni rudat adalah perpaduan


unsur tari, olah kanuragan, dan shalawat. Pementasan diawali dengan
lantunan shalawat As-Salam yang mengiringi masuknya penari.
Selanjutnya, mereka menari diiringi musik dan lantunan syair rudat, yang
diyakini sebagai peninggalan ulama Banten saat melakukan penyebaran
agama Islam.

Syair yang biasa digunakan untuk mengiringi penari rudat di antaranya


adalah Thalab-Naba, Khasbiyun,Ya khayyu ya Qayyum. Syair utamanya
adalah Shalawat As-Salam, Khasbiyyun, Ya Khayyu Ya Qayyum, dan
Shalawat Penutup yang akan mengiringi penari rudat keluar.

Jika diresapi secara mendalam, syair rudat memiliki makna batin yang
kuat. Misalnya syair, “Ya Khayyu ya Qayyum, La khaula wa laa quwwata illa
billahi aliyyil adzim.” Syair ini memiliki arti bahwa tiada daya dan upaya
tanpa hidayah dan izin Allah.

Syair rudat mengisyaratkan munajat dan kepasrahan total akan


keterbatasan manusia. Gerakan tariannya juga demikian, tiap tembang
yang dilantunkan akan memiliki gerakan yang berbeda.

Tidak ada prosesi khusus yang dilakukan sebelum mementaskan rudat.


Beberapa hal yang harus dimiliki oleh pemain rudat adalah tekun berlatih,
ketulusan hati, dan kebersihan batin. Selanjutnya, secara khusus semua
penabuh alat musik (pemusik), penari, dan pelantun tembang harus
dikasih ijazah oleh sesepuhnya.

Kini, tarian Rudat banyak ditampilkan pada upacara peringatan Maulid


Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, Khataman Al-Qur’an, gebyar
Muharam, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari besar Islam lainnya. Atau
dipertunjukkan dalam acara hiburan di lingkungan pesantren, upacara
perkawinan, dan khitanan. Karena memang, norma agama akan menjadi
kering tanpa tradisi, seni, dan budaya.

Anda mungkin juga menyukai