Anda di halaman 1dari 4

1.

- Adanya sengketa wilayah perbatasan (boundary dispute/territorial dispute)

Menurut kamus Merriam-Webster, sengketa wilayah adalah ketidaksepakatan tentang siapa


yang mengendalikan wilayah tertentu. Biasanya, sengketa ini terjadi di daerah perbatasan.
Karena adanya ketidakpastian ini, banyak masyarakat dari negara lain yang melakukan
tindakan illegal seperti illegal fishing, menyedot SDA Indonesia tanpa izin, perburuan flora
dan fauna Indonesia secara illegal. Tindakan penindasan ini dapat merusak roda ekonomi
Indonesia terutama mereka yang ada di daerah perbatasan. Seperti kasus sengketa Pulau
Natuna di Kepulauan Riau, China dengan sengaja melakukan illegal fishing tanpa meminta
izin terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena China memasukan Pulau Natuna ke dalam petanya
(berdasarkan Nine-Dash Line) secara sepihak.

- Kurangnya perhatian pemerintah

Pemerintah sebagai pengemudi jalannya kedaulatan rakyat sudah seharusnya berlaku adil di
setiap wilayah Indonesia. Namun, pada kenyataanya, pemerintah masih melakukan
pembangunan yang terlalu sentralisir, artinya mereka hanya memajukan satu daerah tertentu
dan mengacuhkan daerah lainnya. Biasanya, daerah yang selalu diperhatikan adalah kota –
kota besar, sedangkan daerah kecil seperti daerah perbatasan, hampir tidak tersentuh sama
sekali.

Dua gambar di atas adalah perbandingan antara daerah perbatasan (kiri) dan kota besar
(kanan). Adanya ketidakrataan pembangunan infrastruktur membuat masyarakat daerah
perbatasan merasa dianaktirikan. Hal ini dapat menyebabkan konflik seperti gerakan
separatisme.

- Tingginya angka kemiskinan

Pada Senin, 28 Oktober 2013 silam, Deputi II Badan Nasional Pengelola Perbatasan
(BNPP), Suhatmansyah, pernah mengatakan bahwa angka kemiskinan daerah perbatasan
tembus 18,7%. Beliau mengatakan bahwa pertumbuhan kemiskinan di daerah perbatasan
melebihi rata – rata pertumbuhan kemiskinan nasional sebesar 14,1%. Meskipun data ini
berumur cukup lama, menurut saya, data tersebut masih relevan untuk dijadikan bukti terkait
permasalahan daerah perbatasan. Karena daerah perbatasan langsung menyinggung daerah
negara lain, khususnya darat, banyak dari mereka yang tertindas oleh sengketa wilayah.
Menurut Suhatmansyah, setidaknya ada 170 kawasan perkebunan kelapa sawit di Sintang,
Kalimantan Barat yang mayoritas dimiliki Malaysia. Hal ini tentu saja menghambat roda
perekonomian masyarakat daerah perbatasan.

2. - Pembangunan infrastruktur yang merata di Indonesia

Menurut saya, sesuai sila ke-2 dan sila ke-5, sudah menjadi tugas pemerintah untuk
menegakan keadilan demi mewujudkan keharmonian masyarakat. Salah satu caranya adalah
dengan menyelenggarakan pembangunan yang merata. “Pembangunan” yang saya maksud
disini tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial. Artinya, selain pengadaan sarana dan
prasarana, pemerintah juga seharusnya membangun SDM di wilayah manapun itu.

- Adanya antusiasme masyarakat

Setelah pemerintah melengkapi infrastruktur, langkah selanjutnya ada di tangan masyarakat.


Masyarakat merupkan peran utama dalam mendirikan kesejahteraan sosial. Jika fasilitas
sudah terpenuhi tetapi masyarakatnya tidak bergerak, maka kesejahteraan hanyalah angan –
angan belaka. Dengan kata lain, harus ada hubungan timbal balik antara pemerintah dan
masyarakat. Agar antusias masyarakat terkobar, menurut saya, dibutuhkan sosialisasi besar –
besaran dan sepatah kata dari pemerintah seperti pidato presiden atau pidato mentri.

- Adanya perlindungan dari segala bentuk ancaman

Di daerah perbatasan, ancaman utamanya adalah sengketa wilayah. Meskipun sudah diatur
dalam undang – undang, banyak terjadi pelanggaran pada implementasinya. Contohnya
seperti perkebunan kelapa sawit yang sudah disebutkan sebelumnya. Hal ini menyebabkan
keterbelakangan ekonomi di wilayah perbatasan. Oleh karena itu, menurut saya, dibutuhkan
perlindungan intensif seperti petugas militer yang berjaga maupun teknologi untuk
mendeteksi penyelewengan ini.

3. – Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

17 tahun yang lalu, Indonesia kehilangan dua pulau, yaitu Pulau Sipadan dan Ligitan.
Persengketaan ini terjadi pada tahun 1967 antara Indonesia dan Malaysia. Keadaan mencuat
ketika pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara terjadi. Baik Indonesia maupun
Malaysia sama-sama memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke dalam batas-batas
wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat Pulau Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam
keadaan status quo. Namun ternyata terjadi kesalahpahaman. Indonesia mengartikan bahwa
status quo berarti Sipadan dan Ligitan tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau itu selesai. Sedangkan Malaysia memahami status quo sebagai tetap
berada di bawah pemerintahannya sampai persengketaan selesai. Malaysia pun membangun
resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia di pulau sengketa itu. Hal tersebut
menjadi sorotan pemerintahan Indonesia. Karena keadaan mulai memanas, Indonesia
mengajak Malaysia untuk mengangkat kasus ini ke Dewan Tinggi ASEAN. Namun, pihak
Malaysia menolak dengan alasan negeri jiran itu juga tengah bersengketa dengan negara-
negara lain soal perbatasan. Akhirnya, kasus tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional.
Sayangnya, Indonesia kalah dalam sidang tersebut karena MI memandang situasi Pulau
Sipadan-Ligitan lebih stabil di bawah pengaturan pemerintah Malaysia.

- Agresi Negara China di Pulau Natuna

Baru – baru ini pada tanggal 19-24 Desember 2019 Indonesia kembali bersengketa dengan
China terkait masalah Pulau Natuna. Perseteruan itu dipicu berlayarnya Kapal Coast Guard
China di Perairan Natuna yang memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) tanpa
izin. China mengklaim Perairan Natuna masih wilayah mereka. Padahal, secara tegas, badan
hukum laut internasional di bawah PBB, UNCLOS 1982 menyatakan Natuna merupakan
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pemerintahan Indonesia langsung bersikap tegas
dengan memanggil Duta Besar China untuk Indonesia hingga menambah pasukan TNI untuk
berjaga di Natuna.

Sebenarnya, hidden gem termasuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di
Malaysia pada tahun 1597. Namun pada abad 19, Kesultanan Riau menjadi penguasa pulau.
Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menyerahkan kedaulatan pulau ini dan pada
18 Mei 1956, Indonesia resmi mendaftarkan kepulauan itu sebagai wilayahnya ke PBB.
Pasalnya, pulau ini sempat jadi rebutan Malaysia. Berdasarkan kajian dari akademisi Malaysia,
Natuna secara sah seharusnya milik Negeri Jiran. Namun, untuk menghindari konflik lebih
panjang setelah era konfrontasi pada 1962-1966, Malaysia tidak lagi menggugat status Natuna.

Sumber Kajian :

https://gurunakal.com/apa-saja-penyebab-timbulnya-permasalahan-di-daerah-perbatasan/

https://www.liputan6.com/news/read/4154735/menilik-sejarah-sengketa-natuna-dan-ambisi-
china-untuk-menguasai

https://www.liputan6.com/news/read/4131990/indonesia-relakan-pulau-sipadan-dan-ligitan-
untuk-malaysia-17-tahun-silam

https://www.viva.co.id/arsip/454468-angka-kemiskinan-daerah-perbatasan-tembus-18-7

http://www.habibullahurl.com/2016/06/permasalahan-di-daerah-perbatasan.html

Anda mungkin juga menyukai