Anda di halaman 1dari 3

Protokol Kyoto To The Un Framework Convention On Climate Change merupakan perjanjian

internasional yang mengikat negaranegara berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK dinegara-negara
pihak. Perjanjian ini merupakan hasilkesepakatan dalam rangka melaksanakan Konvensi Kerangka Kerja
PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC). UNFCCC merupakan respon terhadap lebih dari 10 tahun
diskusi dan penelitian tentang perubahan iklim. Menurut ketentuan UNFCCC, negara-negara peserta
sepakat untuk mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca. . Protokol Kyoto,
yang selanjutnya mengikat secara hukum bagi negara peserta untuk mengurangi emisi karbon dioksida,
metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC).
Protokol Kyoto mendorong pembangunan berwawasan lingkungan dan perdagangan emisi, sehingga
memungkinkan negara-negara yang memenuhi kuota untuk menjual kredit ke negara-negara yang
menghadapi kesulitan

Jepang memiliki peran besar dalam Kyoto Protokol dimana Jepang melakukan lobby kepada negara-
negara yang belum menjadi negara pihak untuk ikut serta bergabung didalam Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto menjadi lebih kuat pada 18 November 2004 setelah 55 anggota meratifikasi emisinya
termasuk negara-negara industri. Kebijakan negara Annex didalam Kyoto Protokol juga berbeda dengan
UNFCCC karena didalam Protokol Kyoto hanya terdapat 2 Annex Negara Annex I dan negara non Annex.
Negara Annex I terdiri dari negara pihak yang memiliki ekonomi maju sedangkan non Annex merupakan
negara dengan ekonomi yang sedang berkembang.

Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak
membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan
penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5 % di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode
2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi
(Emission Trading), dan Mekanisme PembangunanBersih (Clean Development Mechanism).

Jadi Secara umum, Protokol Kyoto sangat penting yang berisi kesepakatan mengenai pengurangan emisi
gas rumah kaca dalam beberapa periode serta tanggung jawab untuk meminimalisir dampak emisi gas
rumah kaca terhadap perubahan iklim. Meskipun metode pengurangan emisi gas rumah kaca ini
diserahkan kepada masing-masing negara, namun Protokol Kyoto memberikan opsi-opsi tambahan
dalam bentuk Perdagangan emisi (emission trading), Mekanisme pembangunan bersih (clean
development mechanism), Pelaksanaan bersama (joint implementation).

Kesamaan dari ketiga opsi di atas adalah menjadikan enam jenis gas rumah kaca yang meliputi
karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon
(PFCs), serta sulfurheksafluorida (SF6) (terkadang keenam jenis GRK ini cukup disebut sebagai karbon)
sebagai komoditas perdagangan baru dalam satuan setara-ton-CO2 (tCO2).

Tanggung jawab yang diusung dengan konsep "common but differentiated responsibility" ini membagi
beban tanggung jawab terutama pada negara maju sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar.
Dalam prakteknya, perdagangan emisi dan pelaksanaan bersama yang tertuang dalam Protokol Kyoto
hanya dilakukan oleh negara industri daripada negara berkembang. Sedangkan dalam mekanisme
pembangunan bersih, negara maju bertindak sebagai pihak yang diberi "sanksi" atas emisinya dalam
bentuk membantu negara berkembang melalui pembangunan yang ramah lingkungan.
Pada tahun 1992 PBB menyelenggarakan Konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan
(The United Nations Conference on Environment and Development - UNCED) atau dikenal sebagai KTT
Bumi (Fart Summit) di Rio de Janeiro, Brasil, tanggal 3-14 Juni 1992, diadakan dalam rangka pelaksanaan
resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan Keputusan No. 46/468
tertanggal 13 April 1992. Konferensi Rio ini, menghasilkan lima dokumen penting yaitu: 1. Deklarasi Rio;
2. Agenda 21; 3. Komisi Perubahan Iklim 4. Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati,dan 5. Pernyataan
Prinsip-prinsip Kehutanan atau istilah aslinya "the forest principles", pedoman untuk mengclola,
konservasi dan pembangunan berkekelanjutan dari sumber daya hutan. yang tercantum dalam “Forest
Principle 19” yang memberikan arahan pembangunan sumberdaya hutan secara holistik bagi seluruh
elemen ekosistem demi keberlanjutan, yang relevan diantaranya adalah:

States have the sovereign and inalienable right to utilize, manage and develop their forests in
accordance with their development needs and level of socio-economic development and on the basis of
national policies consistent with sustainable development and legislation, including the conversion of
such areas for other uses within the overall socioeconomic development plan and based on rational
land-use policies (principe 2a)

Governments should promote and provide opportunities for the participation of interested parties,
including local communities and indigenous people, industries, labour,
nongovernmental organisations and individuals, forest dwellers and women, in the development,
implementation and planning of national forest policies (principe 2d)

Meskipun “Forest Principle” tidak bersifat mengikat secara hukum (non legally binding), tetapi prinsip ini
merupakan norma dasar bagi tata kelola yang harus dilaksanakan oleh negara-negara yang
menandatanganinya.

Perjanjian the forest principles mempunyai arti penting, karena hal tersebut merupakan salah satu
upaya akademik untuk mengungkapkan dan menjelaskan berbagai aspek masalah pengelolaan hutan
serta memberikan kontribusi praktis yang berguna tentang berbagai masalah pengelolaan hutan
berkelanjutan. Penelitian ini, berpangkaltolak pada aspek hukum, dalam kaitannya dengan Implementasi
the forest principles" dalam pengelolaan hutan di Indonesia. the forest principles"dalam pengelolaan
hutan dan kehutanan sangat siguifikan dengan arah dan tujuan upaya memelihara, mempertahankan
kelestarian fungsi hutan dan ekosistemnya serta upaya penentuan keputusan dalam mewujudkan
pengelolaan hutan berkelanjutan melalui jalur hukum. Disamping itu, telah disepakati pula chapter 11
Agenda 21 dan The Forest Principles mengenai Deforestasi, maka "the forest principles" merupakan
salah satu unsur penting dan utama dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.

Kita perlu ketahui bahwa Indonesia sangat sering memliki masalah di musim kemarau yaitu hamper
setiap tahuN di Indonesia terjadi kebakaran hutan, Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan antara lain:
eksploitasi hutan yang tidak tertib (over-exsploitation), kebakaran hutan, proyek-proyek pembangunan
serta perubahan kawasan hutan menjadi kawasan budidaya air-kehutanan. Keadaan hutan di Indonesia
dengan luas sekitar 121.268.901 juta Ha atau sekitar 10% dari luas hutan tropika dunia, telah mengalami
kerusakan dengan laju yang luar biasa. Menurut laporan studi lapangan yang dilakukan oleh GOI dan
ADB (1994) menunjukkan laju kerusakan hutan Indonesia berkisar antara 600.000 Ha hingga 1,3 juta Ha
pertahun.
Dengan demikian Perjanjina ini bukan hanya peran pemerintah saja, masyarakat juga harusberperan
aktif dalam upaya menjaga kelestariannya. Sehingga hutan tetap ada, dan dapat diwariskan untuk cucu
anak kita yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai