Anda di halaman 1dari 18

PAPER

APENDISITIS AKUT

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)


Ilmu Bedah
Di Rumah Sakit Haji Medan
Sumatera Utara

Disusun Oleh :
Bella Sabila Dananda (20360065)
Beta Gustilawati (20360066)
Ekha Margarestu (18360194P)

Pembimbing :
dr. Tarmizi, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATERA UTARA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas paper ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian
ilmu Bedah Rumah Sakit Haji Medan dengan judul “Apendisitis Akut”
Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang
penuh ilmu pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri
tauladan yang baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dosen pembimbing KKS dibagian ilmu Bedah.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Paper masih terdapat banyak
kekurangan baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga
bermanfaat dalam penulisan Paper selanjutnya. Semoga Paper ini bermanfaat
bagi pembaca dan terutama bagi penulis.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar isi................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan...............................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka.......................................................................................2
Anatomi .........................................................................................................2
Fisiologi .........................................................................................................3
Definisi...........................................................................................................4
Etiologi...........................................................................................................4
Patofisiologi....................................................................................................5
Gejala Klinis...................................................................................................5
Diagnosis........................................................................................................6
Diagnosis Banding.........................................................................................9
Penatalaksanaan..............................................................................................11
Komplikasi.....................................................................................................11
Prognosis........................................................................................................13
BAB III Kesimpulan..............................................................................................14
Daftar Pustaka.......................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Apendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang


mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid. 1 Apendiks memiliki
panjang bervariasi sekitar 6cm hingga 9cm pada orang dewasa. Dasarnya melekat
pada sekum dan ujungnya memiliki kemungkinan beberapa posisi seperti
retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal, atau perikolik kanan.

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering.2 Apendisitis adalah suatu keadaan
yang sering terjadi yang membutuhkan operasi kegawatan perut pada anak.
Diagnosisnya sulit ditegakkan pada anak-anak, dan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan perforasi hingga 30%-60% pada anak. Risiko untuk perforasi
terbanyak terjadi pada usia 1-4 tahun (70%-75%) dan terendah pada remaja (30%-
40%). Sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis di Amerika Serikat setiap
tahunnya, di mana terjadi 4 per 1000 anak di bawah 14 tahun. Kejadian
apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, dan memuncak pada remaja,
namun jarang terjadi pada anak kurang dari 1 tahun.3

Penelitian yang dilakukan di Korea Selatan pada periode tahun 2005


hingga 2007 dengan populasi 142.621.326 penduduk, sekitar 310.961 penduduk
didiagnosis dengan apendisitis, dan 98,77% dari pasien ini yang didiagnosa
apendisitis merupakan apendisitis akut. Insidensi total di negara ini dari
apendisitis sebanyak 22,71 per 10.000 penduduk per tahun, pada laki-laki
sebanyak 23,58 per 10.000 penduduk per tahun dan 21,81 per 10.000 penduduk
per tahun pada perempuan dengan angka kejadian tertinggi pada laki-laki di usia
15-19 tahun dan perempuan di usia 10-14 tahun.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Apendiks


Apendiks vermiformis atau yang sering disebut apendiks merupakan organ
sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan
limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat
pada permukaan sekum. Sekum adalah bagian dari usus besar yang terletak di
perbatasan ileum dan usus besar. Bagian apendiks lainnya bebas. Apendiks
ditutupi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah
mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek yang
dinamakan mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf-saraf.1

Gambar 2.1 Posisi dari usus besar. (1) sekum. (2) apendiks vermiformis. (3) ascending colon.
(4) transverse colon. (5) descending colon. (6) sigmoid colon. (7) rektum. (8) anal canal.
Sumber: ColorAtlas of Human Anatomy Internal Organ

Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke


dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung apendiks mudah
bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:

2
1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis kanan,
2. Melengkung di belakang sekum,
3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum. Posisi pertama dan kedua
merupakan posisi yang paling sering ditemukan.1

Posisi apendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ


lainnya. Yang paling sering, sekitar 75 % terletak di belakang sekum. Sekitar 20%
menggantung ke bawah di bawah tulang panggul.5

Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan


parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Perdarahan apendiks berasal
dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya pada thrombosis, apendiks akan mengalami gangren.6

2.2 Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan suatu jaringan limfoid. Jaringan limfoid adalah
jaringan yang memproduksi, menyimpan atau memproses limfosit.7 Apendiks
menghasilkan lendir sebanyak 1-2ml per hari, yang dikeluarkan ke dalam lumen

3
dan mengalir ke sekum. Imunoglobulin yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.6

2.3 Definisi Apendisitis


Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab nyeri akut abdomen yang paling sering.2

2.4 Etiologi Apendisitis


Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada apendisitis
akut. Fecalith (Faex = tinja, lithos = batu) merupakan penyebab paling umum
obstruksi apendiks. Penyebab yang paling jarang adalah pembesaran dari jaringan
limfoid, penggumpalan barium dalam pemeriksaan x-ray, tumor, sayur-sayuran
dan biji-bijian dari buah, dan parasit dari usus halus. Frekuensi obstruksi
meningkat seiring dengan tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan
pada 40% kasus apendisitis akut, pada 65% kasus apendisitis gangren tanpa
adanya ruptur apendiks, dan 90% kasus pada apendisitis gangren dengan ruptur
apendiks.8 Obstruksi pada bagian apendiks menyebabkan tertutupnya kedua ujung
segmen usus (close-loop obstruction), dan sekreksi pada mukosa apendiks yang
normalnya terus menerus menyebabkan distensi pada apendiks. Kapasitas lumen
dari apendiks normalnya hanya 0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang
melebihi kapasitas menyebabkan peningkatan tekanan di dalam lumen apendiks.
Distensi dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang
menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian
tengah abdomen dan bawah epigastrium. Distensi yang terjadi tiba-tiba juga
menstimulasi terjadinya peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral pada
apendiks didahului oleh kram perut. Sekresi mukosa yang berlanjut dan
berkembangnya bakteri dalam apendiks semakin meningkatkan distensi. Distensi
pada tingkat ini juga menyebabkan mual, muntah dan nyeri viseral yang berat.

4
Tekanan pada organ yang semakin meningkat melebihi tekanan pada vena
menyebabkan kapiler dan pembuluh darah venule tersumbat tetapi aliran darah
arteriole sehingga menyebabkan pembesaran dan kongesti vascular. Proses
inflamasi kemudian melibatkan bagian serosa pada apendiks dan kemudian ke
arah peritoneum parietal dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap gagguan pada
aliran darah. Oleh sebab itu integritas mukosa apendiks menjadi terganggu.
Dengan distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah yang tidak adekuat,
progresi dari nekrosis jaringan dapat menyebabkan munculnya perforasi. Perforasi
biasanya muncul di sisi luar obstruksi daripada ujung karena efek tekanan
intraluminal pada dinding yang paling tipis.8

2.5 Patofisiologi Apendisitis


Patofisiologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.
Sistem pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang dikenal dengan istilah apendicial mass. Di dalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.6

2.6 Gejala Klinis Apendisitis

Gejala dari apendisitis dapat berupa:


1. Nyeri kolik periumbilikus Nyeri abdomen merupakan keluhan utama
apendisitis akut. Nyeri pada awalnya terpusat pada epigastrium atau
periumbilikus, nyeri bersifat berat menetap dan biasanya disertai dengan
kram intermiten.Distensi dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf
aferen viseral yang menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak
terlokalisir di bagian tengah abdomen dan bawah epigastrium.

5
2. Nyeri pada fossa-iliaca kanan Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari
periumbilikus ke kanan bawah daerah fosa iliaka kanan. Disini, nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.
3. Demam (Pyrexia) Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC.
Bila suhu lebih tinggi kemungkinan sudah terjadinya perforasi.

4. Mual, muntah, dan anoreksia Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan
mual, muntah, dan anoreksia. Apendisitis hampir selalu disertai dengan
anoreksia dan biasanya terjadi satu atau dua kali episode muntah. Hal ini
konstan sehingga pada saat diagnosis harus ditanyakan ada tidaknya keluhan
anoreksia. Walaupun 75% pasien menunjukkan gejala muntah namun hal itu
tidak berlangsung lama, kebanyakan hanya satu atau dua kali saja. Gejala
muntah ini disebabkan stimulasi dari neuron maupun gerakan dari usus. Pada
95% pasien dengan apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala utama
diikuti oleh nyeri abdomen kemudian dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika
muntah lebih dominan dari gejala nyeri abdomen maka apendisitis harus
dipertanyakan.8

2.7 Diagnosis Apendisitis

1. Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien
dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan gejala klinis yakni mual dan
muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut periumbilikal yang
kemudian nyeri perut kuadran kanan bawah yang makin progresif. Urutan
munculnya gejala memiliki peranan penting dalam diagnosis banding apendisitis.2

2. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan apendisitis akut akan tampak kesakitan dan berbaring.
Umumnya demam sekitar 38oC. Pada pemeriksaan abdomen, bising usus akan
berkurang dan nyeri tekan daerah apendiks pada titik sepertiga bawah garis antara
umbilicus dengan spina iliaka anterior superior (McBurney’s point). Pada palpasi

6
akan didapatkan muscle guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan dijumpai,
batuk juga akan meningkatkan rasa nyeri pada apendisitis.
Tanda khas yang dapat ditemukan pada apendisitis akut adalah:
 Pointing sign
Nyeri pada kuadran kanan bawah pada Mc’Burney point.
 Rovsing sign
Nyeri pada fosa iliaka kanan pada saat palpasi dalam di region fosa iliaka kiri.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam diagnosis klinis apendisitis.
 Psoas sign
Disebut juga cope sign. Penderita akan memfleksikan pinggul atau nyeri pada
hiperekstensi pinggul akibat kontak antara prosesus yang meradang dengan otot
psoas.
 Obturator sign
Nyeri pada pinggul pada saat dilakukan rotasi internal. Apendiks yang
mengalami inflamasi akan menyebabkan nyeri pada daerah hipogastrium ketika
dilakukan manuver ini.9
Pada apendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat dan
tersebar, peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga menyebabkan kaku
otot (muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat dan temperatur akan
meningkat hingga melebihi 39OC.10

3. Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan Laboratorium Pada kebanyakan pasien, sel darah putih akan
meningkat dengan neutrofil lebih dari 75%. Kadar leukosit normal pada
apendisitis ditemukan pada 10% kasus. Kadar leukosit yang tinggi, lebih dari
20.000/ml didapatkan apabila terjadinya gangren atau apendisitis perforasi.
Urinalisis dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding pyelonephritis
ataunephrolithiasis.2

7
Pemeriksaan Radiografi
 Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter
anteroposterior apendiks yang lebih besar dari 7mm, penebalan dindng, struktur
lumen yang tidak dapat dikompresi, atau adanya apendikolit.
 CT-scan
CT-scan merupakan pilihan untuk pasien pria, pasien yang lebih tua dan
ketika pasien diduga terdapat abses sekitar apendiks. Diagnosis CT-scan pada
apendisitis didasarkan pada penemuan sebagai berikut:
1. dilatasi apendiks hingga > 6mm,
2. apendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses,
3. abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan apendicolith.11

Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor


Alvarado. Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis
apendisitis.12
THE MODIFIED ALVARADO SCORE SKOR

PERPINDAHAN NYERI ULU HATI KE PERUT KANAN 1

BAWAH
MUAL-MUNTAH 1
ANOREKSIA 1
NYERI PERUT KANAN BAWAH 2
NYERI LEPAS 1

DEMAM > 37,5C 1

LEUKOSITOSIS 2
HITUNG JENIS LEUKOSIT SHIFT TO THE LEFT 1
TOTAL 10

Interpretasi dari Modified Alvarado Score:

1-4     : sangat mungkin bukan apendisitis akut

5-7     : sangat mungkin apendisitis akut

8
8-10   : pasti apendisitis akut

2.8 Diagnosis Banding Apendisitis

Beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosa banding, yaitu6:


1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual muntah dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri
perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya
hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.
2. Demam Dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada
penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel leed trombositopenia dan
peningkatan hematokrit
3. Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului olen enteritis atau
gastroenteritis, ditandai olehnyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta
perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah
kanan.
4. Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis nyeri yang sama
pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam
waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri
hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur
jika perlu.
6. Kehamilan di luar kandungan

9
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan
penonjolan rongga Douglas.
7. Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis
ini.
8. Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak
ada jalan keluar.
9. Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis penyakit ini.
10. Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti
divertikulus Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,
pankreatitis, obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid
dan mukokel apendiks.

2.9 Penatalaksanaan Apendisitis


Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Hal-hal yang perlu
diperhatikan2:

10
1. Pre operatif
Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta
pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks dapat
dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spektrum luas dan
analgesik dapat diberikan. Pada apendisitis perforasi perlu diberikan resusitasi
cairan sebelum operasi.
2. Operatif
A. Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran
kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada
diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan subumbilikal pada garis tengah.
B. Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan kemungkinan
infeksi lebih kecil.
3. Pasca operatif Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi
adanya perdarahan dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan. Pasien
dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu.
Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga
fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan
saring, makanan lunak dan makanan biasa.

2.10 Komplikasi Apendisitis


Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang mengalami pendindingan sehingga
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks , sekum, dan lekuk usus halus.
 Massa apendikular
Massa Apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau di bungkus oleh omentum. Pada massa periapendikuler dengan
pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke
seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya
segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih
mudah. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa

11
dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang
sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil
dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai
dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. Apendektomi
dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan.
Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob
dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian,
dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut,
jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan
operasi secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja.
Apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minngu kemudian. Jika pada saat dilakukan
drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan
apendektomi.6
 Apendisitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, penderita pada usia anak-anak maupun
orangtua, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insidensi perforasi pada penderita di atas usia 60
tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi
perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat,
adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks
yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu
diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang
berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Perforasi apendiks
akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi,
nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi distensi (tegang dan

12
kembung). Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin
disertai dengan pungtum maksimun di regio iliaka kanan, peristalsis usus dapat
menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga
peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat,
paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen
yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat
membantu mendeteksi adanya abses. Perbaikan keadaan umum dengan infus,
pemberian antibiotik untuk kuman Gram negatif dan positif serta kuman
anaecrob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum
pembedahan. Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya
dapat dilakukan pencucian ronga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin
yang adekuat secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-akhir ini mulai
banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi
apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah.
Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparatomi terbuka,
tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih
baik.6

2.11 Prognosis Apendisitis


Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
dan disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada intervensi bedah. Pada anak,
angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien diatas 70 tahun angka ini
meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi.2

BAB III

KESIMPULAN

13
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Insidensi total di negara ini dari
apendisitis sebanyak 22,71 per 10.000 penduduk per tahun, pada laki-laki
sebanyak 23,58 per 10.000 penduduk per tahun dan 21,81 per 10.000 penduduk
per tahun pada perempuan dengan angka kejadian tertinggi pada laki-laki di usia
15-19 tahun dan perempuan di usia 10-14 tahun

Diagnosis dapat ditegakan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan
menggunakan skor Alvarado.

Dengan berpegangan pada prinsip-prinsip diatas diharapkan dokter-dokter


dapat memberikan perawatan optimal dan efektif untuk pasien dan menekan
angka morbiditas dan mortalitas serendah mungkin.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Rongga


abdomen. Edisi 6. Alih bahasa ole Sugiharto L. Jakarta: EGC.
2. Wibisno, E., dan Jeo, W.S., 2014. Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis.
Edisi 4, vol 1. Jakarta: Media Aesculapius.
3. Hartman, G.E., 2012. Nelson Ilmu Kesehatan Anak: Apendisitis akut. Edisi
12, vol 2. Alih bahasa oleh Wahab A.S., Noerhayati, Soebono H., et al.
Jakarta: EGC.
4. Lee, J.H., Park, Y.S., dan Chai, J.S., 2010. The Epidemiology of
Appendicitis and Appendectomy in South Korea: National Registry Data.
Seoul: J Epidimol 20(2): 97-105
5. Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Applied Anatomy for Students and
Junior Doctors: The abdomen and pelvis. 11thed. United States of America:
Blackwell.
6. Sjamsuhidajat, R., dan De Jong, W., 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat-De Jong: Usus halus, apendiks, kolon dan anorektum. Edisi
3. Jakarta: EGC.
7. Sherwood, L., 2007. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem: Pertahanan
tubuh. Edisi 6. Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
8. Berger, D.H., 2010. Schawrtz Principle of Surgery: The appendix.9th ed.
United States of America: The Mc Graw-Hill Companies.
9. O’Connell, P.R., 2008. Bailey & Love’s Short Pratice of Surgery: The
vermiform appendix. 25th ed. United Kingdom: Hodder Arnold.
10. Maa. J., 2007. Sabiston Textbook of Surgery: The appendix.18th ed. United
States of America: Saunders Elsevier.
11. Brant, W.E., Helms, C.A., 2007. Fundamentals of Diagnostic Radiology:
Gastrointestinal Tract. 3rd ed. United States of America: Lippincott
Williams & Wilkins
12. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Shwartz’s Principles of
Surgery. 9thEd. USA: McGrawHill Companies. 2010.

15

Anda mungkin juga menyukai